Duduk Perkara Kasus Putusan KPPU Nomor 02KPPU-L2005 Tentang Carrefour

diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 25.000.000.000,00 dua puluh lima miliar rupiah dan setinggi-tingginya Rp 100.000.000.000,00 seratus miliar rupiah atau pidana kurungan pengganti denda selama- lamanya 6 enam bulan. 2 Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan pasal 26 Undang-Undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 5.000.000.000,00 lima miliar rupiah dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 dua puluh lima miliar rupiah atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 lima tahun. 3 Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 satu miliar rupiah dan setingi-tingginya Rp 5.000.000.000,00 lima miliar rupiah, atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 tiga bulan.

B. Duduk Perkara Kasus Putusan KPPU Nomor 02KPPU-L2005 Tentang Carrefour

Perkembangan industri ritel dalam beberapa tahun terakhir berkembang dengan sangat pesat di berbagai belahan dunia. Industri ritel kini telah menjadi bagian yang sangat penting bagi pelaku usaha yang ingin mendistribusikan produknya sampai di tangan konsumen. Industri ritel berkembang seiring dengan perubahan yang juga terjadi pada masyarakat. Tingkat pendapatan masyarakat yang terus berkembang telah menyebabkan terjadinya semen-segmen konsumen yang menginginkan adanya perubahan dalam model pengelolaan industri ritel. Universitas Sumatera Utara Apabila di jaman dulu, ketersediaan barang menjadi acuan utama sebuah industri ritel umumnya berupa pasar tradisional untuk didatangi konsumen, maka kini kedatangan konsumen tidak hanya dipicu oleh hal tersebut. Ritel telah berkembang menjadi industri dan tidak hanya dimonopoli oleh satu pelaku usaha di satu lokasi. Perusahaan ritel kini bermunculan dengan menawarkan tidak hanya ketersediaan barang, tetapi juga menyangkut berbagai hal yang lebih terkait dengan aspek psikologis konsumen. Misalnya menyangkut aspek kebersihan, kenyamanan, keamanan, bahkan juga menyangkut image yang dicoba ditanamkan di mata konsumen, seperti tempat barang murah dengan kualitas bagus, bergengsi dan sebagainya. Kecenderungan ini merupakan sebuah hal yang tidak dapat dihindari lagi dalam perkembangan ritel saat ini. Peningkatan pendapatan masyarakat serta munculnya kemajuan di berbagai bidang menjadi salah satu penyebabnya, yang menyebabkan segmen konsumen ritel tumbuh beraneka ragam. Perkembangan lain yang sangat menonjol adalah bahwa ritel kini telah berubah fungsinya dari sekedar tempat menyalurkan produk ke konsumen, tetapi juga menjadi industri tersendiri. Perspektif baru terhadap industri ritel kini justru muncul dari mata produsen. Ritel kini dianggap menjadi tempat yang strategis, untuk memasarkan barangnya secara tepat waktu, lokasi dan konsumen. Dengan dimensi seperti itu, maka kini para pelaku usaha ritel mencoba membangun keunggulan bersaing dengan model seperti itu. Lepasnya monopoli ritel oleh Negara umumnya dalam bentuk pasar, menyebabkan persaingan menjadi sangat terbuka. Di sinilah kiprah para raksasa bisnis ritel bermunculan, Universitas Sumatera Utara seperti Wall Mart, Carrefour, 7-Eleven dan sebagainya. Di Indonesia pun demikian kini bermunculan Giant, Carrefor, Hypermart, Makro dan sebagainya. Raksasa bisnis tersebut, kini berhasil mengembangkan industri ritel menjadi sebuah tempat yang justru diperebutkan oleh para pemasok untuk mendistribusikan barangnya. Hal yang luar biasa adalah kemampuan para peritel besar ini, untuk menciptakan brand image, yang tertanam di hati konsumen, bahwa untuk berbelanja dengan harga miring, kualitas bagus, produk yang lengkap dengan kenyamanan dan kebersihan yang terjamin maka merekalah pilihannya. Masyarakatpun pada akhirnya berpaling ke industri ritel modern ini. Tidaklah mengherankan apabila dalam suatu wilayah tidak ada penyekat yang berarti dalam industri ritel, maka ritel tradisional berada dalam kondisi yang terancam. Hal yang kemudian juga terjadi adalah posisi peritel yang justru sangat dominan terhadap para produsen pemasok barang. Perkembangan yang terjadi dalam industri ritel dunia, juga terjadi di Indonesia. Sebagaimana diungkap di awal tulisan, industri ritel Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat akhir-akhir ini. Terdapat banyak penyebab dari pesatnya industri ritel Indonesia. Dorongan pertama lahir dari munculnya kebijakan yang pro terhadap liberalisasi ritel, antara lain diwujudkan dalam bentuk mengeluarkan bisnis ritel dari negative list bagi Penanaman Modal Asing PMA. Hal ini antara lain diwujudkan dalam bentuk Keputusan Presiden No 962000 tentang Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Tertentu Bagi Penanaman Modal dan Keputusan Presiden No 1182000 tentang Perubahan Universitas Sumatera Utara atas Keputusan Presiden Nomor 96 Tahun 2000 tentang Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Tertentu Bagi Penanaman Modal. Kebijakan tersebut telah menyebabkan tidak adanya lagi pembatasan kepemilikan dalam industri ritel. Setiap pelaku usaha yang memiliki modal cukup untuk mendirikan perusahaan ritel di Indonesia, maka dapat segera melakukannya. Akibatnya, pelaku usaha di industri ini terus bermunculan. Hal yang kemudian nampak sering menjadi kontroversi adalah kehadiran para pelaku usaha asing seperti Carrefour. Bahkan perkembangan terakhir memperlihatkan munculnya sinyal akan masuknya peritel asing dalam segmen ritel yang selama ini terlarang bagi penanaman modal asing PMA seperti di minimarket dan convenience store. Hal ini terjadi seiring ditandatanganinya kerjasama ekonomi economic partnership agreement Indonesia Jepang. Disebut-sebut Jepang menginginkan pelaku usaha ritel mereka di convenience store, 7-Eleven, untuk masuk ke Indonesia. Konsumen Indonesia sendiri saat ini sangat sangat familiar dengan beberapa pelaku usaha di sektor tersebut dan beberapa di antaranya telah menjadi konsumen tetap pelaku usaha tersebut, misalnya Carrefour, Giant, hypermart, Indomaret, Alfamart, K Circle, Yomart dan sebagainya. Industri ritel dipandang sangat strategis dalam ekonomi Indonesia. Ritel merupakan salah satu tulang punggung ekonomi nasional. Pada tahun 2003 saja potensi pasar bisnis ritel mencapai sekitar Rp. 600. Trilyun. Pada saat itu diperkirakan ritel modern sudah menguasai sekitar 20 atau sekitar Rp 120 Trilyun1. Kontribusi sektor ritel Universitas Sumatera Utara terhadap Produk Domestik Bruto PDB mencapai 20. Demikian juga dilihat dari kuantitas, dari sekitar 22, 7 juta jumlah usaha di Indonesia sebanyak 10.3 juta atau sekitar 45 merupakan usaha perdagangan besar dan eceran. Terkait dengan struktur pasar ritel, secara khusus asosiasi pedagang pasar seluruh Indonesia menyatakan bahwa jumlah pasar tradisional tercatat 13.450 unit, sedangkan jumlah pedagang pasar mencapai 12,6 juta orang. Total aset pasar tradisional sendiri mencapai Rp 65 triliun Pengakuan sedikit berbeda dinyatakan oleh Asosiasi Perusahaan Ritel Indonesia APRINDO, yang menyatakan bahwa omset ritel modern garmen dan produk sehari-hari tidak mencapai Rp 120 Triliun sebagaimana digambarkan di atas, tetapi hanya berada di kisaran Rp 50-60 Triliuntahun. Carrefour adalah sebuah kelompok supermarket internasional, berkantor pusat di Perancis. Carrefour adalah kelompok ritel terbesar di eropa dan kedua terbesar setelah Wal-Mart. Sampai saat ini mayoritas sahamnya masih dikendalikan oleh Jose luis duran sekeluarga. Gerai Carrefour pertama dibuka pada 3 Juni, 1957, di Annecy di dekat sebuah persimpangan carrefour, dalam Bahasa Perancis. Kelompok ini didirikan oleh Marcel Fournier dan Louis Deforey. Hingga kini, gerai pertama ini adalah gerai Carrefour terkecil di dunia. tidak seperti carrefour lainnya yang karyawannya menggunakan sepatu roda untuk menjelajahi luasnya tuh gerai. Kelompok Carrefour memperkenalkan konsep hipermarket untuk pertama kalinya, sebuah supermarket besar yang mengombinasikan department store toko serba ada. Mereka membuka hipermarket pertamanya pada 1962 di Sainte-Geneviève-des-Bois, dekat Paris, Perancis. dan sekarang total gerainya Universitas Sumatera Utara sekitar 15.000 dengan karyawan sekitar 700.000 di seluruh dunia. Gerai Carrefour di Indonesia dibuka pada bulan Oktober 1998 dengan membuka unit pertama di Cempaka Putih, Jakarta. Di Indonesia, Carrefour memiliki 41 gerai di sepuluh kota, yaitu Bandung, Bekasi, Bogor, Denpasar, Jakarta, Makassar, Medan, Palembang, Semarang, Surabaya, dan Yogyakarta. Perkara PT Carrefour Indonesia muncul setelah KPPU menerima laporan tanggal 20 Oktober 2004 mengenai dugaan pelanggaran Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang dilakukan oleh PT Carrefour Indonesia dalam menetapkan syarat- syarat perdagangan traiding terms kepada pemasok barang. Adapun syarat- syarat perdagangan tersebut adalah antara lain : listing fee, minus margin, fixed rebate, payment term, regular discount, common assortment cost, opening costnew store, penalty. Untuk itu, KPPU telah membentuk Majelis Komisi Perkara Nomor 02KPPU-L2005. Setelah melakukan serangkaian pemeriksaan, maka Majelis Komisi membacakan Putusan terhadap perkara tersebut dalam Sidang Majelis Komisi pada hari Jumat, 19 Agustus 2005. Dalam putusannya, KPPU menyatakan bahwa Carrefour melanggar pasal 19 huruf a Undang- Undang No.5 Tahun 1999, dan mewajibkan PT Carrefour menghentikan persyaratan minus margin serta membayar denda. Walaupun mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, fakta bahwa PT Carrefour Indonesia melanggar Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 sebagaimana Putusan KPPU No. 02KPPU-L2005 terbukti benar. Majelis Universitas Sumatera Utara hakim perkara ini menolak seluruh keberatan yang diajukan pihak Carrefour dan menguatkan putusan KPPU. Sesuai dengan Putusan KPPU sebelumnya, Mahkamah Agung juga menyatakan bahwa PT Carrefour Indonesia terbukti telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 19 huruf a Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, dan memerintahkan perusahaan tersebut untuk menghentikan kegiatan pengenaan persyaratan minus margin kepada pemasok, serta membayar denda sebesar Rp 1.500.000.000,00 satu miliar rupiah. Berkaitan dengan perintah untuk menghentikan kegiatan pengenaan minus margin terhadap pemasok, berdasarkan surat dari PT Carrefour tanggal 3 Agustus 2005, PT Carrefour tidak lagi menerapkan persyaratan minus margin dalam kontraknya dengan pemasok, dan tidak lagi memberlakukan persyaratan ini kepada para pemasok yang telah menyetujui hal tersebut di dalam kontrak yang masih berlaku. Berdasarkan Putusan KPPU yang telah dikuatkan Mahkamah Agung melalui Putusan No. 01 KKPPU2006 pada tanggal 18 Januari 2007, PT Carrefour telah melakukan pembayaran denda yang telah ditetapkan kepada Departemen Keuangan Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara KPPN Jakarta I. Denda tersebut dimasukkan ke dalam Kas Negara sebagai setoran penerimaan negara bukan pajak pada tanggal 8 Juni 2007. Pembayaran denda tersebut menjadi bukti bahwa hukum persaingan mulai Universitas Sumatera Utara ditegakkan di negeri ini, walaupun pada awalnya KPPU menghadapi tantangan yang dinamis dari berbagai sektor usaha di Indonesia. C. Penerapan Hukum Terhadap Penyalahgunaan Posisi Dominan dalam Putusan KPPU No. 02 KPPU-L 2005 Tentang Carrefour PT Carrefour merupakan perusahaan yang menjadi monopoli karena menikmati skala ekonomi yang membuat biaya rata-rata menjadi tingkat paling minimum. Hal ini akan menghambat perusahaan lain masuk ke dalam industri, karena sangat sukar menyaingi keefisienan perusahaan yang dapat mencapai skala ekonomi. Jika monopoli didasarkan pada pemaksimuman keuntungan, maka akan menimbulkan kerugian yang besar kepada masyarakat. Mereka akan membayar harga yang lebih tinggi untuk barang yang jumlah penawarannya lebih sedikit dari jumlah barang yang dapat diproduksikan secara optimal. PT Carrefour mungkin dapat menguasai pasar pemasok dan konsumen, karena itu, tidak terdapat kemungkinan bagi perusahaan lain untuk memasuki industri ini, selain itu, PT Carrefour mempunyai modal yang sangat besar. PT Carrefour merupakan penentu harga, sehingga dapat menentukan harga pada tingkat yang dikehendakinya. Selain itu, promosi kurang diperlukan oleh PT Carrefour, oleh sebab itu, PT Carrefour jika membuat iklan hanya untuk menjaga hubungan baik dengan masyarakat. PT Carrefour melakukan diskriminasi harga, ini terbukti dengan banyaknya Carrefour di seluruh dunia, dan Carrefour juga merupakan perusahaan Universitas Sumatera Utara ritel terbesar kedua di dunia. Salah satu cabang Carrefour ada di Indonesia, yaitu PT Carrefour Indonesia. Beberapa waktu lalu, PT Carrefour Indonesia melakukan akuisisi terhadap PT. Alfa Retailindo. Setelah akuisisi tersebut, banyak masalah yang terjadi antara PT Carrefour Indonesia dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Menurut Komisi Pengawas Persaingan Usaha, PT Carrefour Indonesia tidak hanya menjual komoditi ke konsumen, tapi juga menjual servis ke pemasok berupa biaya awal yang harus dibayar pemasok pada swalayan yang bersedia menjual produk pemasok atau disebut juga listing fee, penyediaan tempat, promosi, dan sebagainya. Yang dibidik Komisi Pengawas Persaingan Usaha sebenarnya segmen pasar dengan pemasok, sedangkan dari sisi pangsa pasar ke konsumen, sampai saat ini Komisi Pengawas Persaingan Usaha tidak melihat ada masalah. Di dalam Pasal 25 Undang-undang No. 5 Tahun 1999 terdapat pengaturan tentang posisi dominan. Peraturan ini melarang menggunakan posisi dominan, baik langsung maupun tidak langsung untuk menetapkan syarat-syarat perdagangan. Dominasi tidak disalahkan kalau seandainya tidak membebani. Monopoli boleh asal tidak jadi beban. Jadi, posisi dominan dalam hal ini adalah adanya persyaratan perdagangan, apa-apa yang boleh dan tidak boleh. Dalam kasus ini, PT Carrefour Indonesia melakukan kegiatan yang dilihat Komisi Pengawas Persaingan Usaha bermasalah. PT Carrefour Indonesia menurut Komisi Pengawas Persaingan Usaha membebani para pemasok dan pedagang kecil dengan syarat perdagangan yang tinggi. Hal ini diikuti dengan PT Carrefour Universitas Sumatera Utara Indonesia mendapat untung yang besar, tetapi para pemasok dan para pelaku retail modern yang berhubungan dengan PT Carrefour Indonesia tidak ikut menikmati keuntungan tersebut. Dengan aktivitas seperti itu, dikhawatirkan PT Carrefour Indonesia akan menguasai seluruh pangsa pasar retail modern. Secara factual, produk PT Carrefour Indonesia beragam. PT Carrefour Indonesia menjual elektronik, bersaing dengan Agis, Best Denki, dan Electronic City. PT Carrefour Indonesia juga menjual busana, bersaing dengan Matahari dan Ramayana. Kemudian untuk produk pangan PT Carrefour Indonesia bersaing dengan Hypermarket dan Giant. Sebenarnya, pesaing PT Carrefour Indonesia tidak terbatas dari segmen hipermarket saja, tapi PT Carrefour Indonesia bersaing dengan multiformat. Tidak ada satu pun retail modern yang mendominasi pasar. Semua berkompetisi di area yang sama dengan target konsumen yang sama. Ini sangat fundamental sekali, mengingat monopoli adalah pasar satu perusahaan. Dengan keadaan seperti itu, seolah-olah Komisi Pengawas Persaingan Usaha berhadapan dengan pasar oligopoly. Pasar oligopoly tersebut menimbulkan monopoli power bagi PT Carrefour Indonesia. Akan tetapi, melihat banyaknya pesaing PT Carrefour Indonesia seperti diatas, dapat menimbulkan kecurigaan tersendiri. Jika memang PT Carrefour Indonesia tidak melakukan monopoli, maka seharusnya produk PT Carrefour Indonesia dan pesaing-pesaingnya homogen dan tidak dapat menetapkan harga. Disini, PT Carrefour Indonesia jelas dapat mempermainkan harga. Dengan modal Universitas Sumatera Utara yang besar, PT Carrefour Indonesia dapat menarik konsumen dengan permainan harga yang PT Carrefour Indonesia lakukan. Sedangkan dari hubungan PT Carrefour Indonesia dengan pemasok, Komisi Pengawas Persaingan Usaha melihat masalah dengan konsep upstream dan downstream. Tapi, ketika timbul pernyataan bahwa Komisi Pengawas Persaingan Usaha menemukan pangsa pasar ritel modern yang dikuasai perusahaan asal Perancis itu di sisi hulu penguasaan terhadap pemasok sudah melampaui 60 persen sedangkan di sisi hilir antara hipermarket dan supermarket melampaui 40 persen, PT Carrefour Indonesia mengaku hanya menguasai tujuh persen pangsa pasar ritel di Indonesia. Hal ini agaknya rancu untuk dibuktikan, mengingat kedua badan tersebut merupakan badan yang professional, maka tidak mungkin mengeluarkan pernyataan yang tidak mempunyai dasar dan kredibilitas. Komisi Pengawas Persaingan Usaha menciptakan teori seolah-olah PT Carrefour Indonesia adalah produsen yang menjual jasa kepada pemasok. Dalam hubungan dengan pemasok justru PT Carrefour Indonesia adalah pembeli barang. PT Carrefour Indonesia membeli barang dari pemasok. Yang diributkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha tidak masuk akal. Tidak mungkin 60 persen pemasok penjualannya didapat dari PT Carrefour Indonesia. PT Carrefour Indonesia memiliki sekitar 4.000 pemasok dan 70 persennya adalah usaha kecil menengah. Sedangkan persyaratan dagang trading term adalah hasil negosiasi, kontrak jual- beli. Jika PT.Carrefour Indonesia menekan, logikanya pemasok akan lari dan mereka punya pilihan untuk menjual ketempat lain. Itu membuat PT Carrefour Universitas Sumatera Utara Indonesia tidak menerima pernyataan Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang menyatakan bahwa PT Carrefour Indonesia menekan para pemasok. Dari sudut akuisisi, dengan membeli PT. Alfa Retailindo, PT Carrefour Indonesia dituduh membuat biaya tinggi kepada para pemasok. PT Carrefour Indonesia sepertinya mengakuisisi tidak sekadar mengganti logo, tapi sistem teknologi informasinya ditambah, dalamnya diubah, dan jumlah barang yang dijual bertambah. Itu yang membuat biaya yang dibebankan lebih besar, agar PT Carrefour Indonesia tidak mengalami kerugian. Akan tetapi, telah kita ketahui bersama bahwa PT. Alfa Retailindo merupakan firma yang cukup besar, sehingga tidak menutup kemungkinan mempunyai pemasok yang banyak. Pasca akuisisi, syarat perdagangan PT. Alfa Retailindo mengikuti PT Carrefour Indonesia dan dinilai memberatkan pemasok karena semakin besar. Dengan demikian, dengan adanya syarat perdagangan itu, persaingan usaha menjadi tidak sehat. Persaingan usaha yang sehat itu artinya memberi kesempatan yang sama, jangan hanya pemilik modal yang menguasai segala-galanya, seperti PT Carrefour Indonesia yang menekan pemasok dengan syarat perdagangan yang tinggi. PT Carrefour Indonesia pernah tersandung kasus yang menekan pemasok juga, yaitu kasus tentang listing fee. Komisi Pengawas Persaingan Usaha pernah melakukan investigasi terhadap kasus antara PT Carrefour Indonesia dan PT Sariboga Snack. Seperti diketahui, pada akhir tahun 2004 pihak manajemen PT Carrefour Indonesia diadukan ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha oleh pemasoknya karena masalah listing fee biaya awal yang harus dibayar pemasok Universitas Sumatera Utara pada swalayan yang bersedia menjual produk pemasok. Para pemasok menilai biaya itu terlalu tinggi. Salah satu pemasok tersebut adalah Sariboga, produsen pisang goreng dalam kemasan. PT Carrefour Indonesia akhirnya memutuskan untuk tidak menempatkan dua produk Sariboga pada displaynya padahal telah membayarkan listing fee. Masalah PT Carrefour Indonesia dengan pemasok agaknya terjadi karena PT Carrefour Indonesia mempunyai modal yang besar. Setelah itu, PT Carrefour Indonesia mengakuisisi PT. Alfa Retailindo dan menambah pengaruh mereka di pasar retail modern, karena PT. Alfa Retailindo juga mempunyai pengaruh di pasar retail modern. Para pemasok yang berhubungan dengan Alfamart, otomatis menjadi berhubungan dengan PT Carrefour Indonesia setelah akuisisi tersebut. Pemasok sebelumya, tidak dapat memutuskan perjanjian karena ada kontrak dan juga di zaman sekarang, sangat susah mencari klien seperti PT Carrefour Indonesia, walaupun PT Carrefour Indonesia sering memberatkan para pemasok, mereka tidak akan lari dari memasok barang ke PT Carrefour Indonesia. PT Carrefour Indonesia juga bisa berleha-leha karena jarang ada yang punya modal sebesar PT Carrefour Indonesia. Dengan modal seperti itu, PT Carrefour Indonesia dapat mengontrol pemasok dan malah membuat pemasok tergantung kepada PT Carrefour Indonesia. Perusahaan lain tidak dapat menyaingi PT Carrefour Indonesia dengan modalnya, apalagi dengan sejumlah besar pemasok-pemasok yang melakukan perjanjian dengan PT Carrefour Indonesia sehingga menyebabkan perusahaan lain mempunyai hambatan untuk membuat Universitas Sumatera Utara perjanjian dengan pemasok lain, karena para pemasok lain sudah terikat dan bergantung kepada PT Carrefour Indonesia. PT Carrefour Indonesia juga dapat mempengaruhi harga produk mereka. Hal ini dikarenakan PT Carrefour Indonesia menekan pemasok, dengan begitu, PT Carrefour Indonesia mendapat produk dengan harga yang memadai dan kemudian menjualnya ke konsumen dengan harga sesuai kehendak mereka. Kelakuan PT Carrefour Indonesia yang menekan pemasok dapat digunakan juga sebagai cara untuk memaksimumkan keuntungan PT Carrefour Indonesia. Dengan asumsi pemasok tetap mengadakan perjanjian dengan mereka, PT Carrefour Indonesia membebani pemasok dengan syarat penjualan yang tinggi. Belum lagi jika mereka melakukan listing fee, hal itu bisa jadi sebagai pendukung pemaksimuman keuntungan mereka. Seperti pada kasus dengan PT Bogasari Snack, PT Carrefour Indonesia memutuskan tidak menampilkan produk PT Bogasari Snack pada display PT Carrefour Indonesia, padahal mereka, PT Bogasari Snack telah membayar listing fee. Hal ini tentu merugikan pemasok, sehingga tidak jarang PT Carrefour Indonesia harus berhadapan dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha karena pengaduan pemasok yang merasa dirugikan oleh kesewenang-wenangan oleh PT Carrefour Indonesia. Sayangnya, karena merasa telah melakukan penjualan sesuai prosedur, PT Carrefour Indonesia menolak tuduhan penekanan kepada para pemasok tersebut. Hal ini menimbulkan konflik di antara PT Carrefour Indonesia dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha dan menimbulkan perkara bagi PT Carrefour Universitas Sumatera Utara Indonesia, karena Komisi Pengawas Persaingan Usaha telah mencium gelagat yang kurang baik dari PT Carrefour Indonesia. Hal ini tercetus karena, menurut data penelitian yang dilakukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, pangsa pasar PT Carrefour Indonesia untuk sektor ritel dinilai telah melebihi batas yang dianggap wajar, sehingga berpotensi menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat. Selain itu, para pemasok juga melaporkan tentang adanya dugaan PT Carrefour Indonesia menjual barang secara mahal serta biaya dan syarat perdagangan yang memberatkan. Jadi, selain meningkatnya pangsa pasar PT Carrefour Indonesia dalam bisnis ritel nasional, akuisisi PT Carrefour Indonesia terhadap PT. Alfa Retailindo juga mengakibatkan meningkatkan biaya syarat perdagangan yang harus ditanggung pemasoknya. Komisi Pengawas Persaingan Usaha juga telah melakukan dua kajian pangsa pasar PT Carrefour Indonesia di sektor hulu dengan pemasoknya dan sektor hilir dengan pesaingnya. Komisi Pengawas Persaingan Usaha menemukan bukti awal, pasca akuisisi PT. Alfa Retailindo, pangsa pasar PT Carrefour Indonesia di sisi hulu naik dari 44,75 persen menjadi 66,73 persen. Sedangkan di sisi hilirnya naik dari 37,98 persen menjadi 48,38 persen. Pangsa pasar inilah yang jadi dalih bahwa PT Carrefour Indonesia telah diduga melanggar Pasal 17 ayat 1 dan Pasal 25 ayat 1 huruf a. Pasal 17 tentang larangan melakukan monopoli yaitu menguasai lebih dari 50 persen pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu, sedangkan pasal 25 tentang penyalahgunaan posisi dominan yang bisa merugikan konsumen dan menghalangi pelaku usaha lain masuk ke pasar serupa. Sampai sejauh ini PT Carrefour Indonesia membantah Universitas Sumatera Utara tudingan monopoli dan menyebut hanya menguasai kurang dari tujuh persen pangsa pasar dari total ritel Indonesia. Sedangkan terkait masalah syarat perdagangan, PT Carrefour Indonesia mengaku telah mengacu pada semua aturan hukum yang berlaku di Indonesia. Menurut PT Carrefour Indonesia, perjanjian dengan pemasok termasuk syarat perdagangan telah disepakati oleh kedua pihak. Dalam perkara ini, memang terdapat beda pendapat antara Komisi Pengawas Persaingan Usaha dan PT Carrefour Indonesia. Setidaknya, peritel ini mempermasalahkan beberapa poin ‘kesalahan’ yang dituduhkan kepadanya. Terkait dengan relavan market, menurutnya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha mau menelusuri praktik monopoli PT Carrefour Indonesia dari supermarket dan hipermarket. Padahal, berdasarkan Perpres No.112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern, pasar modern dikategorikan menjadi lima, antara lain supermarket, hypermarket, department store, minimarket dan pusat perkulakan. Sedangkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha menyoroti monopoli PT Carrefour Indonesia dari pertarungan sembilan ritel modern, yakni PT. Carrefour Indonesia, Matahari dan Hypermart, Hero dan Giant, PT. Alfa Retailindo, Lion Superindo, Yaohan, Sogo, Metro, Grand Lucky dan Lucky. Menurut Carrefour, terdapat inkonsistensi lembaga persaingan usaha itu. Pasalnya, Sogo dan Metro bukanlah tergolong pada supermarket dan hypermarket, melainkan department store. Peritel yang beromzet Rp10 triliun sepanjang tahun lalu itu memang membenarkan adanya pendapatan lain yang diperolehnya. Pendapatan itu bukanlah berasal dari penjualan, melainkan berasal dari sixth area, misalnya, dari kartu kredit dan kerja sama Universitas Sumatera Utara dengan perusahaan asuransi dan perbankan. Satu yang menjadi permasalahan paling fundamental antara kedua pihak adalah perbedaan pandangan mengenai pangsa pasar. Meski dugaan monopoli terjadi akibat akuisisi PT Carrefour Indonesia terhadap PT. Alfa Retailindo, namun gerakan Komisi Pengawas Persaingan Usaha ini memang terkesan ingin menghambat laju Carrefour yang kian ugal-ugalan dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha tidak menutup kemungkinan menghentikan pemeriksaan perkara terhadap PT Carrefour Indonesia. Jika Komisi Pengawas Persaingan Usaha mendapatkan bukti baru dan mempermasalahkan tentang penjualan produk PT Carrefour Indonesia kepada kosumen, Komisi Pengawas Persaingan Usaha dapat membujuk pemerintaah dan pemerintah dapat menerapkan pajak lump-sum dan pajak per unit kepada PT Carrefour Indonesia. Pajak lump-sum adalah pajak izin usaha ataupun pajak pajak keuntungan yang dapat digunakan pemerintah untuk dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan keuntungan PT Carrefour Indonesia tanpa mepengaruhi harga komoditi. Sedangkan pajak perunit adalah biaya variable yang dikenakan kepada monopolis, akan tetapi, pajak per unit mempunyai kelemahan, yaitu monopolis dapat mengalihkan beban pajak perunit kepada para konsumen, dalam bentuk harga yang lebih tinggi. Sebenarnya, konsumen akan lebih untung jika monopolis yang mengendalikan harga. Konsumen dapat membeli output yang lebih besar dan harga yang lebih rendah daripada dengan pemerintah mengendalikan monopolis memakai pajak lump-sum dan pajak perunit. Universitas Sumatera Utara Namun, Komisi Pengawas Persaingan Usaha menyoroti masalah PT Carrefour Indonesia dari segi hubungan dengan pemasok dan proses akuisisi yang dilakukan PT Carrefour Indonesia terhadap PT. Alfa Retailindo. Dalam proses akuisisi sebenarnya semuanya berjalan dengan baik tanpa ada masalah yang cukup berarti. Namun ada beberapa hal menarik yang dapat ditelisik lebih lanjut, yaitu :

1. Keharusan Tender Offer

Dalam Keputusan Ketua Bapepam Nomor 04PM2000 Peraturan Nomor IX.H.1 tentang Pengambilalihan Perusahaan Terbuka ditentukan adanya keharusan melakukan tender offer dalam hal melakukan akuisisi saham dari perusahan terbuka, yang ditawarkan oleh pengendali perusahaan terbuka yang baru terhadap seluruh sisa saham yang bersifat ekuitas dari perusahaan yang tersebut, kecuali efek yang dimiliki oleh pemegang saham utama atau pihak pengendali lain dari perusahaan terbuka tersebut, sesuai dengan syarat dan tata cara yang diatur dalam peraturan pasar modal yang khusus mengatur tentang tender offer, yaitu Peraturan Nomor IX.F.1 . Sehubungan dengan Tender Offer, pengumuman rencana Tender Offer telah diumumkan oleh PT. Carrefour Indonesia dalam dua surat kabar harian, yaitu Bisnis Indonesia dan Investor Daily serta mengajukan Pernyataan Penawaran Tender kepada Ketua Badán Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ”BAPEPAM-LK” sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan BAPEPAM No. IX.F.1. dan Peraturan BAPEPAM No. IX.F.2. Universitas Sumatera Utara 2. Merugikan kepentingan masyarakat dalam proses pengambilalihan sesuai pasal 106 dalam Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Kepentingan masyarakat paska akuisisi yang dilakukan PT. Carrefour terhadap PT. Alfa Retailindo Tbk terkait dengan dugaan monopoli. Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 mengatur bahwa pengambilalihan saham dilarang apabila mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Namun ketentuan lebih lanjut mengenai pengambilalihan saham yang dilarang sebagaimana Pasal 28 ayat 3 tetap merujuk pada Peraturan Pemerintah, yang sampai sekarang belum ditetapkan. Sehingga belum diketahui parameter larangan tersebut. Hal ini mengakibatkan PT Carrefour Indonesia yang mempunyai hubungan dengan banyak pemasok, dapat melakukan kegiatan ekonominya sesuai keinginan PT Carrefour Indonesia. Kemudian pengawasan yang dilakukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui mekanisme pre merger notification belum diatur atau ditetapkan, sedangkan untuk post merger notification diatur dalam Pasal 29 ayat 2 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, namun baik mengenai tata caranya maupun mengenai ‘nilai yang melebihi jumlah tertentu masih merujuk pada Peraturan Pemerintah, yang sampai saat ini juga belum ditetapkan. Bila mengacu pada Undang-Undang No 5 Tahun 1999, parameter yang ada adalah parameter mengenai praktek monopoli danatau persaingan usaha tidak Universitas Sumatera Utara sehat, yaitu penguasaan pangsa pasar melebihi 50. Sebagai gambaran riset Nielsen Indonesia bahwa pangsa pasar gabungan PT. Carrefour Indonesia dan PT. Alfa Retailindo hanya mencapai 6,4 untuk pangsa pasar nasional grocery, untuk 54 kategori. Dengan demikian tindakan pengambil alihan ini bukan sesuatu yang melanggar peraturan yang berlaku untuk menjadi dasar pembatalan pengambilalihan tersebut, jika memang riset yang dilakukan oleh Nielsen Indonesia benar. Sayang, Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang punya team peneliti mengungkapkan bahwa pangsa pasar PT. Carrefour Indonesia lebih dari 60. Seperti kita ketahui bersama, Komisi Pengawas Persaingan Usaha merupakan badan yang sangat menetang konsep usaha dengan persaingan yang tidak sehat. Oleh kerana itu, Komisi Pengawas Persaingan Usaha sangat bersemangat untuk menghentikan perilaku PT. Carrefour Indonesia yang sudah mulai merambah pasar pemasok. 3. Batasan tentang harus dijual hanya kepada warga negara Indonesia, khusus bagi perusahaan yang bukan merupakan perusahaan penanaman modal asing. Dalam kasus ini terdapat hal yang menarik mengenai batasan ini, yakni perusahaan penanaman modal asing. Terlebih dahulu ingin disebutkan definisi supermarket menurut Perpres no. 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern, supermarket adalah toko dengan sistem pelayanan mandiri, menjual berbagai jenis barang secara eceran . Dalam Perpres no. 111 Tahun 2007 tentang revisi daftar negatif Universitas Sumatera Utara investasi DNI khususnya huruf f nomor 34 menyatakan, supermarket dengan luas lantai penjualan kurang dari 1.200 m2 harus 100 modal dari dalam negeri. Dalam akuisisi ini tidak bermasalah karena 29 gerai supermarket yang dimiliki oleh PT. Alfa Retailindo Tbk. mempunyai luas area di atas 1.200m2. Namun dalam Perpres no. 112 Tahun 2007 khususnya Pasal 3 ayat 2 huruf b mengenai batasan luas lantai penjualan Toko Modern menyebutkan bahwa supermarket mempunyai batasan 400 m2 sampai dengan 5.000 m2. Sehingga telah terjadi kerancuan mengenai batasan luas supermarket di Indonesia antara Perpres No. 111 Tahun 2007 ataupun Perpres No.112 Tahun 2007. Dari pejelasan tersebut, maka hal-hal yang menyebabkan adanya perkara PT Carrefour Indonesia dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha sebenarnya berasal dari kerancuan dan kesalahpahaman salah satu pihak di antara PT Carrefour Indonesia dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam hal proses akuisisi, padahal : 1. Proses akuisisi yang dilakukan oleh PT. Carrefour Indonesia terhadap PT. Alfa Retailindo telah berjalan dan sesuai dengan UU. No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, khususnya pasal 125. 2. Pelanggaran terhadap kepentingan masyarakat seperti yang tercantum dalam pasal 126 tidak menyiratkan indikasi yang sesuai, karena sesuai dengan riset yang dilakukan oleh AC Nielsen Indonesia, pangsa pasar gabungan Carrefour dan Alfa hanya mencapai 6,4 untuk pangsa pasar nasional grocery, untuk 54 kategori. Universitas Sumatera Utara 3. Dalam hal kaitannya dengan penanaman modal asing tidak dapat dipastikan bahwa akuisisi PT. Carrefour Indonesia terhadap PT. Alfa Retailindo Tbk. melanggar Ketentuan huruf f Perpres No. 111 Tahun 2007 tentang revisi daftar negatif investasi DNI atau Perpres No. 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern karena batasan mengenai luas area supermarket tidak jelas. Hal ini sangat disayangkan, padahal kedua badan diatas merupakan badan professional yang notabene melakukan kegiatan untuk kepentingan rakyat dan untuk kesejahteraan rakyat. Terlebih soal Komisi Pengawas Persaingan Usaha, terlihat jelas bahwa Komisi Pengawas Persaingan Usaha baru menyelidiki proses setelah akuisisi. Mengingat jika memang benar proses kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah setelah proses akuisisi selesai Komisi Pengawas Persaingan Usaha baru memeriksanya, bukan sebelum proses akuisisinya, maka disini ada hal yang sangat diluar logika dan kebiasaan. Jika menurut hasil Komisi Pengawas Persaingan Usaha dinyatakan tidak layak dianggap monopoli atau hal- hal lain yang dianggap sebagai persaingan yang tidak sehat maka akuisisi ini bisa dibatalkan dan kembali ke bentuk firma masing-masing. Hal ini justru membuat sejenis keanehan dan dapat merugikan kedua pihak yang telah melakukan akuisisi. Komisi Pengawas Persaingan Usaha tidak memproses dari awal, tetapi malah ketika semua gerai PT. Alfa Retailindo sudah berubah jadi PT. Carrefour Indonesia, baru dipermasalahkan. Universitas Sumatera Utara Dalam kasus PT. Carrefour Indonesia, yang menurut KPPU menguasai pangsa pasar lebih dari 60 persen, menimbulkan pertanyaan apakah sebenarnya KPPU yang tidak adil dalam menentukan apakah PT. Carrefour Indonesia yang bersalah dalam dugaan melakukan persaingan usaha yang tidak sehat, atau PT. Carrefour Indonesia yang memang membandel dalam kegiatannya yang berhubungan dengan pemasok. Dapat juga terjadi bahwa kedua pihak tersebut sama-sama melakukan kesalahan, tapi tidak mau mengakuinya. Sebenarnya, banyak kabar yang beredar bahwa yang sudah pernah merasakan berurusan dengan PT. Carrefour Indonesia sudah mengalami banyak kesimpangsiuran dalam menyelesaikan urusan mereka. Hal ini disebabkan karna PT. Carrefour Indonesia memberlakukan banyak biaya yang kurang jelas dialokasikan kemana dan untuk apa. Oleh karna itu, para pemasok atau pihak yang berurusan dengan PT. Carrefour Indonesia sudah me mark up harga dengan gila-gilaan agar semua biaya tertutup, terutama biaya total dan biaya berubah. Jika para pemasok tidak dapat menutup biaya rata-rata, hal tersebut masih dapat tertolong oleh harga barang dan hasil penjualan. Tetapi jika para pemasok tidak dapat menutup biaya berubah rata-rata dengan hasil penjualan pasokan barang ke PT. Carrefour Indonesia, maka pemasok akan merugi. Lain halnya dengan produk baru yang belum terkenal dan belum dapat melakukan promosi dengan iklan yang besar, maka dengan image PT. Carrefour Indonesia yang terkenal dan memegang peranan dalam pasar retail modern, masuknya produk baru tersebut ke display PT. Carrefour Indonesia dapat menaikkan reputasi produk baru tersebut. Jika dirunut dari dasarnya, dapat dikatakan pemerintah melakukan keputusan yang bagai buah Universitas Sumatera Utara simalakama. Pemerintah mengeluarkan izin bagi Carrefour untuk membuat PT. Carrefour Indonesia, di Indonesia, tapi hal ini mengakibatkan pasar tradisional makin lesu karena tidak dapat mengimbangi kekuatan modal dari PT. Carrefour Indonesia. Dari analisa tersebut di atas sudah lah jelas bahwa PT. Carrefour Indonesia memiliki kecenderungan melakukan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat melalui posisi dominan yang perusahaan ini miliki. Berbicara traiding terms tidak akan mungkin dapat di lakukan apabila suatu perusahaan tidak memiliki market power dan dalam hal ini traiding terms tersebut di lakukan untuk menghentikan langkah para pemasok memberikan perlakuan yang sama kepada perusahaan retail yang lain. Serta dalam hal ini juga bentuk akuisisi yang dilakukan oleh PT. Carrefour Indonesia terhadap perusahaan PT. Alfa Retailindo juga menunjukkan suatu bentuk yang lain dari keinginan PT. Carrefour Indonesia dalam menguasai pangsa pasar yang ada. Walaupun dalam hal ini bentuk nyata dari tujuan akuisisi tersebut tidak dapat secara gamblang di arahkan ketujuan tersebut namun secara pasti ketika Carrefour mengakuisisi PT. Alfa Retailindo maka secara otomatis akan memperbesar Pasar Bersangkutan dan menjadi Carrefour lebih Multiformat. Universitas Sumatera Utara

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN