Analisis Perbandingan Pendapatan Petani Kopi Ateng yang Menjual dalam Bentuk Gelondong Merah (Cherry red) dengan Kopi Biji di Desa Bangun Das Mariah, Kecamatan Panei, Kabupaten Simalungun)

(1)

ANALISIS PERBANDINGAN PENDAPATAN PETANI KOPI ATENG

YANG MENJUAL DALAM BENTUK GELONDONG MERAH

(Cherry red) DENGAN KOPI BIJI

(Studi Kasus : Desa Bangun Das Mariah, Kecamatan Panei Kabupaten Simalungun)

SKRIPSI

DEWI IRWANA SARI 110304005 AGRIBISNIS

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ANALISIS PERBANDINGAN PENDAPATAN PETANI KOPI ATENG

YANG MENJUAL DALAM BENTUK GELONDONG MERAH

(Cherry red) DENGAN KOPI BIJI

(Studi Kasus : Desa Bangun Das Mariah, Kecamatan Panei Kabupaten Simalungun)

SKRIPSI

OLEH:

DEWI IRWANA SARI 110304005 AGRIBISNIS

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Dapat Memperoleh Gelar Sarjana di Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara, Medan

Disetujui Oleh: Komisi Pembimbing

Ketua Anggota

(Ir. Iskandarini, MM, Ph.D) (Ir. Thomson Sebayang, MT) NIP. 196405051994032002 NIP. 195711151986011001

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

ABSTRAK

Dewi Irwana Sari (110304005) dengan judul skripsi Analisis Perbandingan Pendapatan Petani Kopi Ateng yang Menjual dalam Bentuk Gelondong Merah (Cherry red) dengan Kopi Biji di Desa Bangun Das Mariah, Kecamatan Panei, Kabupaten Simalungun. Dibimbing oleh Ir. Iskandarini, MM, Ph.D dan Ir. Thomson Sebayang, MT.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan antara pendapatan petani yang menjual kopi Ateng dalam bentuk gelondong merah (cherry red) dengan menjual dalam bentuk kopi biji dan untuk menganalisis nilai tambah (value

added) yang diperoleh petani yang menjual kopi Ateng dalam bentuk kopi biji di

Desa Bangun Das Mariah, Kecamatan Panei, Kabupaten Simalungun.

Penentuan daerah penelitian secara purposive. Metode pengambilan sampel dengan metode purposive sampling sebanyak 30 sampel untuk masing-masing petani yang menjual kopi dalam bentuk gelondong merah (cherry red) dan kopi biji. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis pendapatan dengan metode uji beda model independent sample T-test, analisis nilai tambah (value added) digunakan metode Hayami.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Ada perbedaan nyata antara pendapatan usahatani kopi Ateng yang dijual dalam bentuk gelondong merah (cherry red) dengan yang dijual dalam bentuk kopi biji, dimana pendapatan usahatani yang dijual dalam bentuk kopi biji lebih tinggi (dua kali lebih besar) dari pendapatan usahatani yang dijual dalam bentuk gelondong merah (cherry red) per hektar dalam 1 tahun. Ada nilai tambah yang diperoleh petani yang menjual kopi dalam bentuk biji yaitu sebesar Rp.992/Kg.

Kata Kunci: Analisis Perbandingan Pendapatan, Kopi Ateng, Gelondong Merah (Cherry red), Kopi Biji


(4)

RIWAYAT HIDUP

Dewi Irwana Sari lahir di Kampung Jawa, Kecamatan Panei, Kabupaten Simalungun pada tanggal 16 Januari 1993 anak dari Bapak Wagino dan Ibu Juminah. Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara.

Pendidikan yang pernah ditempuh penulis adalah sebagai berikut:

1. Tahun 1999 masuk Sekolah Dasar di SD Negeri 095143 Batuduapuluh dan tamat pada tahun 2005.

2. Tahun 2005 masuk Sekolah Menengah Pertama di MTSN Panei Tongah dan lulus tahun 2008.

3. Tahun 2008 masuk Sekolah Menengah Atas di MAN Pematangsiantar dan lulus tahun 2011.

4. Tahun 2011 diterima di Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara melalui jalur SNMPTN Undangan.

5. Bulan Agustus hingga September 2014 melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Desa Teluk Meku, Kecamatan Babalan, Kabupaten Langkat.

6. Melaksanakan Penelitian pada Bulan Maret 2015 di Desa Bangun Das Mariah, Kecamatan Panei, Kabupaten Simalungun.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah Swt, Tuhan Yang Maha Kuasa atas anugrah dan karunia- Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan, dukungan, dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini secara penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Ir. Iskandarini, MM, PhD selaku Ketua Komisi pembimbing skripsi yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan arahan serta saran dengan penuh kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Serta Bapak Ir. Thomson Sebayang, MT selaku Anggota Komisi pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan arahan serta saran dengan penuh kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Ibu Dr. Ir. Salmiah, MS dan Bapak Dr. Ir. Satia Negara Lubis, Mec selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak dan Ibu dosen serta staf pegawai Program Studi Agribisnis yang telah banyak memberikan pengetahuan selama masa pendidikan di Fakultas Pertanian.

3. Ayahanda tercinta Wagino dan Ibunda tercinta Juminah, serta abang kakak tercinta Suprianto, Hermansyah, Muhammad Syafii, Junaidah, Yanti, Rosita Sinaga yang telah memberikan doa dan dukungan baik secara moril maupun


(6)

materil bagi penulis dalam menyelesaikan pendidikan di Universitas Sumatera Utara.

4. Kawan-Kawan Seperjuangan, Siti Fatimah, Putri Filza Hidayat, Risa Yanti Diannisa, Rizky Annisa Lubis, Nur Sakinah Situmorang, Fadhilah Arisandy dan Kawan-Kawan 2011 yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.

5. Abang Kakak Senior yang telah banyak membantu serta memberikan motivasi baik secara langsung maupun tidak langsung.

6. Segenap pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah memberikan bantuan dan dukungan selama penulis menempuh pendidikan dan penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya penulis ucapkan terima kasih dan berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang bersangkutan.

Medan, Juli 2015


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Identifikasi Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 5

1.4. Kegunaan Penelitian ... 6

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Tinjauan Pustaka ... 7

2.2. Landasan Teori ... 13

2.2.1. Pendapatan ... 13

2.2.2. Nilai Tambah (Value Added) ... 17

2.3. Penelitian Terdahulu ... 18

2.4. Kerangka Pemikiran ... 20

2.5. Hipotesis Penelitian ... 22

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Metode Penentuan Daerah Penelitian ... 23

3.2. Metode Penentuan Sampel ... 24

3.3. Metode Pengumpulan Data ... 25

3.4. Metode Analisis Data ... 25

3.5. Defenisi dan Batasan Operasional ... 29

3.5.1. Defenisi ... 29

3.5.2. Batasan Operasional ... 31

BAB III. DESKRISI DAERAH PENELITIAN 4.1. Deskripsi Wilayah ... 32

4.1.1. Letak Geografis, Batas dan Luas Wilayah ... 32

4.1.2. Tata Guna Lahan ... 32

4.1.3. Keadaan Penduduk ... 33


(8)

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1.Jenis Penjualan Usahatani Kopi Ateng ... 36 5.2. Biaya Produksi Usahatani Kopi Ateng ... 36 5.3. Perbandingan Penerimaan Usahatani Kopi Ateng yang Dijual dalam Bentuk Gelondong Merah (Cherry red) dengan Kopi Biji ... 41 5.4. Perbedaan Pendapatan Usahatani Kopi Ateng yang Dijual dalam

Bentuk Gelondong Merah (Cherry red) dan Kopi Biji ... 42 5.5. Nilai Tambah Usaha Pengolahan Kopi Biji ... 44 BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan ... 49 6.2. Saran ... 49 DAFTAR PUSTAKA


(9)

DAFTAR TABEL

No. JUDUL HALAMAN

1. Luas Lahan dan Produksi Kopi Arabika Tanaman Perkebunan Rakyat di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2013

2 2. Luas Lahan dan Produksi Kopi Arabika Tanaman

Perkebunan Rakyat di Kabupaten Simalungun Tahun 2013

23 3. Perhitungan Nilai Tambah dengan Menggunakan Metode

Hayami

28

4. Distribusi Penggunaan Lahan 33

5. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin di Desa Bangun Das Mariah

33 6. Distribusi penduduk Menurut Mata Pencaharian Desa

Bangun Das Mariah

34

7. Sarana dan Prasarana Desa Bangun Das Mariah 35

8. Rata-Rata Biaya Produksi Usahatani Kopi Ateng 37 9. Rata-Rata Biaya Pasca Panen Usahatani Kopi Ateng 40 10. Perbandingan Rata-Rata Penerimaan Usahatani Kopi Ateng

Petani yang Dijual dalam Bentuk Gelondong Merah (cherry red) dengan Kopi Biji

41

11. Perbedaan Rata-Rata Pendapatan Usahatani Kopi Ateng Petani yang Dijual dalam Bentuk Gelondong Merah (cherry red) dan Kopi Biji

42

12. Hasil Analisis Uji Beda Rata-Rata Pendapatan Gelondong Merah (cherry red) dengan Kopi Biji Per Hektar dalam 1 Tahun

43

13. Nilai Tambah Produk Kopi Biji 45

DAFTAR GAMBAR

No. JUDUL HALAMAN


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

No. JUDUL

1. Karakteristik Petani Sampel Usahatani Kopi Ateng yang Menjual dalam Bentuk Gelondong Merah (Cherry red) di Desa Bangun Das Mariah


(11)

Bentuk Kopi Biji di Desa Bangun Das Mariah

3. Total Penggunaan dan Biaya Penyusutan Alat-alat Pertanian pada Usahatani Kopi Ateng

4. Total Penggunaan dan Biaya Pupuk serta Obat-Obatan pada Usahatani Kopi Ateng

5. Total Penggunaan dan Biaya Tenaga Kerja Dalam Keluarga (TKDK) pada Usahatani Kopi Ateng

6. Total Penggunaan dan Biaya Tenaga Kerja Luar Keluarga (TKLK) pada Usahatani Kopi Ateng

7. Total Biaya Tenaga Kerja pada Usahatani Kopi Ateng

8. Total Biaya PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) pada Usahatani Kopi Ateng 9. Produksi Kopi Ateng pada Usahatani Gelondong Merah (Cherry red) 10. Produksi Kopi Ateng pada Usahatani Kopi Biji

11. Penerimaan Kopi Ateng yang Dijual Dalam Bentuk Gelondong Merah

(Cherry red)

12. Penerimaan Kopi Ateng Yang Menjual Dalam Bentuk Kopi Biji 13. Total Biaya Produksi Pada Usahatani Kopi Ateng

14. Pendapatan Petani Kopi Ateng yang Dijual Dalam Bentuk Gelondong Merah (Cherry red)

15. Pendapatan Petani Kopi Ateng yang Dijual Dalam Bentuk Kopi Biji

16. Hasil Output Uji Beda Rata-Rata Pendapatan Usahatani Kopi Ateng yang Dijual dalam Bentuk Gelondong Merah (Cherry red) dan yang Dijual dalam Bentuk Kopi Biji Per Hektar


(12)

ABSTRAK

Dewi Irwana Sari (110304005) dengan judul skripsi Analisis Perbandingan Pendapatan Petani Kopi Ateng yang Menjual dalam Bentuk Gelondong Merah (Cherry red) dengan Kopi Biji di Desa Bangun Das Mariah, Kecamatan Panei, Kabupaten Simalungun. Dibimbing oleh Ir. Iskandarini, MM, Ph.D dan Ir. Thomson Sebayang, MT.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan antara pendapatan petani yang menjual kopi Ateng dalam bentuk gelondong merah (cherry red) dengan menjual dalam bentuk kopi biji dan untuk menganalisis nilai tambah (value

added) yang diperoleh petani yang menjual kopi Ateng dalam bentuk kopi biji di

Desa Bangun Das Mariah, Kecamatan Panei, Kabupaten Simalungun.

Penentuan daerah penelitian secara purposive. Metode pengambilan sampel dengan metode purposive sampling sebanyak 30 sampel untuk masing-masing petani yang menjual kopi dalam bentuk gelondong merah (cherry red) dan kopi biji. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis pendapatan dengan metode uji beda model independent sample T-test, analisis nilai tambah (value added) digunakan metode Hayami.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Ada perbedaan nyata antara pendapatan usahatani kopi Ateng yang dijual dalam bentuk gelondong merah (cherry red) dengan yang dijual dalam bentuk kopi biji, dimana pendapatan usahatani yang dijual dalam bentuk kopi biji lebih tinggi (dua kali lebih besar) dari pendapatan usahatani yang dijual dalam bentuk gelondong merah (cherry red) per hektar dalam 1 tahun. Ada nilai tambah yang diperoleh petani yang menjual kopi dalam bentuk biji yaitu sebesar Rp.992/Kg.

Kata Kunci: Analisis Perbandingan Pendapatan, Kopi Ateng, Gelondong Merah (Cherry red), Kopi Biji


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Sektor perkebunan merupakan sektor yang berperan sebagai penghasil devisa negara, salah satu komoditas perkebunan penghasil devisa adalah komoditas kopi. Lebih dari 90% produksi kopi Indonesia merupakan produksi kopi rakyat dan sisanya adalah produksi kopi perkebunan besar milik negara dan swasta. Saat ini kopi robusta mendominasi pasar kopi Indonesia sebesar 90%, sisanya kopi arabika dan jenis kopi lainnya (Tim Karya Mandiri, 2010).

Bagi bangsa indonesia, kopi merupakan salah satu komoditi perdagangan yang memiliki kontribusi yang cukup tinggi. Selain sebagai komoditi ekspor, komoditi kopi juga merupakan komoditi yang dikonsumsi didalam negeri. Selain itu kopi merupakan salah satu komoditas ekspor yang mampu menciptakan penyerapan tenaga kerja dengan melibatkan banyak sektor. Permasalahan petani pada umumnya masih mengusahakan tanaman kopi secara bersamaan yaitu kopi Robusta dan kopi Arabika (Najiyati dan Danarti, 2004).

Perkebunan kopi berbeda dengan perkebunan lainnya yang lebih banyak dikuasai oleh perusahaan dan usaha perkebunan pemerintah, perkebunan kopi lebih banyak dikuasai oleh rakyat. Dengan luasan kebun yang bervariasi dan semakin sempitnya lahan, menjadikan efektifitas produksi menjadi beragam dengan model yang berbeda-beda pula. Permasalahan yang sering dihadapi dalam mendapatkan kopi yang berkualitas adalah kesadaran dan kemampuan petani kopi yang berbeda-beda. Misalnya kampanye “petik merah” adalah usaha untuk mendorong


(14)

petani untuk menunggu kopi menjadi matang dipetik, karena hal ini sangat mempengaruhi harga jual dan kualitas kopi dan yang lebih luas lagi adalah pencitraan kopi di daerah tersebut (Anggraini, 2006).

Salah satu sentra produksi komoditi kopi di Sumatera Utara adalah kabupaten Simalungun. Usaha perkebunan di kabupaten ini umumnya adalah usaha perkebunan rakyat. Belum terdapat usaha perkebunan kopi yang diusahakan perusahaan perkebunan besar walaupun demikian dimasa mendatang diharapkan usaha perkebunan rakyat semakin berkembang. Hal itu terlihat semakin bertambahnya produksi komoditi kopi dari perkebunan rakyat setiap tahunnya.

Data luas tanaman dan produksi kopi tanaman perkebunan rakyat menurut kabupaten dapat dilihat pada tabel 1 berikut.

Tabel 1. Luas Lahan dan Produksi Kopi Arabika Tanaman Perkebunan Rakyat di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2013

Kabupaten Luas Areal (Ha) Produksi (Ton) 1. Mandailing Natal

2. Tapanuli Utara 3. Toba Samosir 4. Simalungun 5. Dairi

6. Karo

7. Deli Serdang

8. Humbang Hasundutan 9. Pakpak Bharat

10.Samosir 1.764,00 13.768,00 2.837,00 7.079,00 10.617,00 5.890,00 700,00 11.325,00 1.385,00 4.193,00 14,75 10.121,00 2.351,00 8.475,00 9.543,00 8.543,00 548,00 5.896,00 1.233,00 2.712,00


(15)

11.Nias Barat 20,00 7,00 Jumlah/Total

2013 2012 2011 2010

59,578,00 59.064,00 59.144,67 57.721,06

49.052,00 47.230,23 48.354,25 47.755,11 Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sumatera Utara

Dari tabel 1 diketahui bahwa Kabupaten Simalungun adalah salah satu penghasil kopi di Sumatera Utara dengan produksi 8.475,00 ton atau 26,32% dari total produksi di tahun 2013. Dan dari tabel diatas juga dapat diketahui bahwa terjadi peningkatan luas lahan produksi kopi pada tahun 2013.

Menurut data BPS (2014) Kabupaten Simalungun merupakan daerah penghasil produksi Kopi Arabika dan klon yang banyak dikembangkan saat ini adalah Kopi Ateng. Kopi Ateng merupakan yang dominan selain kopi yang berjenis Arabika dan Robusta. Petani banyak menanam kopi Ateng karena umur produksinya yang relatif cepat, kemudian dapat dijual dalam bentuk gelondong merah (cherry red).

Kopi Ateng adalah kopi jenis Arabika yang tinggi tanamannya sangat pendek, bijinya padat namun memiliki aroma yang harum serta cita rasa yang enak. Kopi Ateng banyak dijumpai di Tapanuli Utara, Aceh Tengah, Simalungun dan beberapa daerah lainnnya (Anonimous, 2011).

Sebagian besar petani kopi Ateng menjual kopi dalam bentuk gelondongan merah


(16)

padahal apabila dilakukan pengolahan menjadi kopi biji harga kopi yang dibeli oleh pedagang pengumpul bisa mencapai Rp. 20.000/kg hingga Rp. 24.000/kg.

Suatu agroindustri diharapkan dapat menciptakan nilai tambah yang tinggi selain mampu untuk memperoleh keuntungan yang berlanjut. Nilai tambah yang diperoleh dari pengolahan merupakan selisih antara nilai komoditas yang mendapat perlakuan pada suatu tahap dengan nilai korbanan yang harus dikeluarkan selama proses produksi terjadi. Nilai tambah yang diperoleh lebih dari 50% maka nilai tambah dikatakan besar dan sebaliknya nilai tambah yang diperoleh kurang dari 50% maka nilai tambah dikatakan kecil (Sudiyono, 2004).

Pendapatan kotor atau penerimaan adalah seluruh pendapatan yang diperoleh dari usaha tani selama satu periode usaha tani. Pendapatan bersih adalah selisih dari pendapatan kotor dengan biaya mengusahakan. Pendapatan petani meliputi upah tenaga kerja keluarga sendiri, upah petani sebagai manajer, biaya modal sendiri, dan keuntungan. Pendapatan tenaga keluarga merupakan selisih dari pendapatan petani dikurangi dengan bunga modal sendiri, dan keuntungan atau kerugian petani merupakan selisih dari pendapatan petani dikurangi dengan upah keluarga dan bunga modal sendiri (Suratiyah, 2006).

Perbedaan cara menjual kopi Ateng didaerah penelitian menyebabkan adanya perbedaan pendapatan petani kopi Ateng didaerah penelitian. Kopi Ateng yang dijual adalah kopi yang dipanen dalam bentuk gelondong merah (cherry red) dan kopi biji yang sudah dilakukan pengupas, pencucian dan penjemuran terlebih dahulu..


(17)

Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang analisis perbandingan pendapatan petani kopi Ateng yang menjual dalam bentuk gelondong merah (cherry red) dengan kopi biji di desa Bangun Das Mariah, Kecamatan Panei, Kabupaten Simalungun.

1.2Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian dan permasalahan yang ada diatas dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:

1. Apakah ada perbedaan antara pendapatan usahatani kopi Ateng yang dijual dalam bentuk gelondong merah (cherry red) dengan kopi biji?

2. Apakah ada nilai tambah (value added) yang diperoleh petani yang menjual kopi Ateng dalam bentuk kopi biji?

1.3Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah yang dipaparkan diatas maka tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk menganalisis perbedaan antara pendapatan usahatani kopi Ateng yang dijual dalam bentuk gelondong merah (cherry red) dengan kopi biji.

2. Untuk menganalisis nilai tambah (value added) yang diperoleh petani yang menjual kopi Ateng dalam bentuk kopi biji.


(18)

1.4Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian yang telah diuraikan tersebut, maka manfaat penelitian ini adalah :

1. Sebagai bahan masukan bagi petani kopi di Provinsi Sumatera Utara dan khususnya bagi petani kopi Ateng di Kabupaten Simalungun dalam rangka meningkatkan pendapatan petani.

2. Sebagai bahan informasi dan referensi bagi pihak yang membutuhkan dan penelitian-penelitian lain yang berhubungan.


(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pustaka

Kopi merupakan salah satu jenis tanaman perkebunan yang sudah lama dibudidayakan dan memiliki nilai ekonomis yang lumayan tinggi. Konsumsi kopi dunia mencapai 70% berasal dari spesies kopi arabika dan 26% berasal dari spesies kopi robusta. Kopi berasal dari Afrika, yaitu daerah pegunungan di Etiopia. Namun, kopi sendiri baru dikenal oleh masyarakat dunia setelah tanaman tersebut dikembangkan di luar daerah asalnya, yaitu Yaman di bagian selatan Arab, melalui para saudagar Arab (Rahardjo, 2012).

Menurut Suwarto dan Octavianty (2010), klasifikasi botanis kopi mempunyai sistematika sebagai berikut:

Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Rubiales Famili : Rubiaceae Genus : Coffea Spesies : Coffea sp.

Tanaman kopi merupakan tanaman perkebunan yang penting di Indonesia. Sejarah perkopian di Indonesia mencatat bahwa pertama kali masuk ke Indonesia sekitar tahun 1699 yang merupakan jenis kopi Arabika (Coffea arabica). Pada


(20)

sejak abad ke-18 kopi Arabika menjadi andalan ekspor utama Indonesia. Jenis kopi Arabika tersebut menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia, dengan nama sesuai dengan daerah pengembangannya selain yang dikenal sebagai Kopi Jawa diantaranya dikenal dengan nama Kopi Gayo, Kopi Sidikalang, dan Kopi Toraja (Syamsulbahri, 1996).

Kopi adalah tanaman tropis, pada dasarnya ada sekitar 30 jenis spesies dari genus ini dan sampai saat ini hanya tiga jenis kopi, yaitu Robusta, Arabika dan Liberika. Tanaman kopi bisa mencapai 4-6 meter pada usia yang matang. Pada awal masa berbuah, bunga akan tumbuh sekitar 6-7 bulan yang kemudian menjadi buah kopi. Biji buah kopi hijau lama-kelamaan berubah menjadi merah dan siap untuk dipetik. Kopi bisa tumbuh baik di beberapa belahan dunia di negara tropis seperti di Asia Selatan, Amerika Tengah dan Selatan, Afrika dan Indonesia. Di Indonesia, tanaman kopi banyak ditemukan di Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara sampai Papua (Najiyati dan Danarti, 2004).

Kondisi tanah yang mencakup struktur, tekstur dan topografi tanah sangat mempengaruhi kualitas pertumbuhan tanaman kopi. Tanaman kopi menurut persyaratan tanah yang disatu pihak cukup berpori sehingga memungkinkan air mengalir ke dalam tanah secara bebas, tetapi dilain pihak harus dapat menahan cukup air. Tanaman kopi tidak cocok untuk ditanam di tanah liat yang terlalu lekat karena menahan terlalu banyak air, sebaliknya tidak pula cocok untuk ditanam ditanah berpasir karena terlalu berpori. Tanaman kopi memerlukan distribusi curah hujan yang tepat. Kopi memerlukan masa agak kering selama ± 3 bulan


(21)

yakni pada masa pembentukan primordial bunga, pemekaran bunga dan penyerbukan (Retnadari dan Tjokrowinoto, 1991).

Tanaman kopi yang sudah cukup dewasa dan dipelihara dengan baik dapat menghasilkan ribuan bunga. Bunga tersusun dalam kelompok, masing-masing terdiri dari 4-6 kuntum bunga. Pada setiap ketiak daun dapat menghasilkan 2-3 kelompok bunga sehingga setiap ketiak daun dapat menghasilkan 8-18 kuntum bunga atau setiap buku menghasilkan 16-36 kuntum bunga. Bila bunga sudah dewasa, kelopak dan mahkota akan membuka sehingga terjadi penyerbukan. Setelah itu bunga akan berkembang menjadi buah. Ciri-cirinya adalah mahkota bunga tampak mengering dan berguguran. Kemudian kulit buah berwarna hijau semakin membesar. Bila sudah tua, kulitnya menguning, lalu menjadi merah tua. Waktu yang diperlukan sejak terbentuknya bunga hingga buah menjadi matang sekitar 6-8 bulan untuk kopi Arabika (Najiyati dan Danarti, 2004).

Buah kopi pada umumnya mengandung 2 butir biji, tetapi kadang-kadang mengandung hanya sebutir saja. Pada kemungkinan yang pertama biji-bijinya mempunyai bidang datar (perut biji) dan bidang cembung (punggung biji). Pada kemungkinan yang kedua biji kopi berbentuk bulat panjang (kopi jantan). Komposisi kimia biji kopi berbeda-beda, tergantung tipe kopi, tanah tempat tumbuh dan pengolahan kopi (Ridwansyah, 2003).

Pemanenan buah kopi dilakukan secara manual dengan cara memetik buah yang telah masak. Ukuran kematangan buah ditandai oleh perubahan warna kulit buah. Kulit berwarna hijau tua ketika masih muda, berwarna kuning ketika setengah masak dan berwarna merah saat masak penuh dan menjadi kehitam-hitaman


(22)

setelah masak penuh terlampaui (over ripe). Maka, sortasi pada buah kopi ini sangat penting, sebab perlakuan mulai dari penggilingan buah (pulping), fermentasi, penjemuran dan penyosohan biji buah merah, kuning hijau berbeda-beda. Apabila penggilingan kopi buah disatukan maka resikonya buah kopi hijau hancur sampai ke biji-bijinya, kulit buah kuning masih tetap utuh sementara buah merah hanya hancur kulit buahnya (Budiman, 2008).

Menurut Panggabean (2011) kualitas kopi yang baik hanya dapat diperoleh dari buah yang telah masak dan melalui pengolahan yang tepat. Buah kopi yang baru dipanen harus segera diolah. Pasalnya, buah kopi mudah rusak dan menyebabkan perubahan cita rasa pada seduhan kopi. Berikut ini langkah proses pengolahan kopi:

1. Pemetikan buah.

2. Penerimaan di pabrik atau gudang. 3. Sortasi buah.

4. Pengupasan kulit buah (pulping). 5. Fermentasi.

6. Pencucian. 7. Pengeringan.

8. Pendinginan (tempering). 9. Pengupasan kulit tanduk. 10.Sortasi (grading).

11.Pengemasan. 12.Penyimpanan.


(23)

Pertumbuhan ekspor dunia dan Indonesia sedang mengalami penurunan, tetapi penurunan Indonesia lebih tinggi dibandingkan penurunan dunia. Pertumbuhan negatif ekspor kopi Indonesia terjadi karena adanya kelemahan pada komposisi produk, distribusi pasar, dan daya saing. Indonesia belum memanfaatkan jenis produk dan negara pengimpor yang sedang tumbuh permintaannya, yaitu kopi olahan. Dalam hal nilai tambah, industri kopi bubuk memberikan nilai tambah tertinggi yang mencapai Rp. 318.9 miliar atau 43,5% dari total nilai tambah seluruh industri pengolahan kopi, kemudian diikuti oleh industri kopi Arabika pada urutan kedua dan industri kopi Robusta pada urutan ketiga masing-masing dengan nilai tambah sebesar Rp. 226,7 miiliar dan Rp. 105 milliar (Anggraini, 2006).

Dari hasil ekspor kopi, negara dapat memperoleh uang dalam jumlah besar, sehingga dapat dipergunakan untuk membeli alat-alat dan bahan-bahan industri yang belum bisa dibuat. Disamping itu tanaman kopi juga mempunyai fungsi sosial, sebab dengan adanya perkebunan kopi tersebut, berarti memberi kesempatan kerja bagi orang-orang yang terlibat didalamnya. Misalnya saja terdapat perkebunan dengan luas 1000 ha. Kalau rata-rata tiap hektar diperlukan satu pekerja, dan tiap pekerja memiliki istri dengan 2 atau 3 anak, berarti tiap satu hektar perkebunan tersebut dapat memberi penghidupan 3 atau 4 orang (Aak, 2009).

Menurut Panggabean (2011) pada perkembangan bisnis kopi dalam negeri pada tahun 1980-an hingga 1990-an, petani kopi dalam negeri sempat khawatir dengan harga kopi yang sangat rendah (Rp. 1.000 – Rp. 2.500/kg). Namun pada tahun


(24)

1998 – 2008 harga kopi sudah lumayan stabil. Pada awal tahun 2010, harga kopi Arabika grade 1 dipasaran lokal sebesar Rp. 34.000 hingga Rp. 45.000/kg, sedangkan kopi Arabika dengan grade asalan atau cabutan Rp. 22.000 – Rp. 30.000/kg.

Selain itu terdapat kecenderungan masyarakat mengkonsumsi kopi baik di Indonesia maupun di luar Indonesia. Untuk di luar Indonesia terutama di benua Eropa dan Amerika masyarakat sangat menyukai cita rasa kopi Arabika. Rata-rata peningkatan konsumsi kopi di Benua Asia sebesar 5-8% setiap tahun. Sementara itu, di Benua Eropa dan Amerika naik melebihi 8% pertahun. Didalam negeri sendiri permintaan kopi mencapai 140.000 ton pada tahun 2003. Dalam lima tahun terakhir harga perdagangan kopi lokal di Indonesia rata-rata meningkat 15-30%. Bahkan untuk jenis kopi Arabika, harga jualnya pada tahun 2006-2007 meningkat 60% (Aak, 2009).


(25)

2.2 Landasan Teori 2.2.1 Pendapatan

Menurut Soekartawi (1999), biaya produksi adalah biaya yang dikeluarkan petani dalam proses produksi, dihitung dalam rupiah per satuan luas tanam (Ha). Sedangkan pendapatan dapat dihitung dengan mengurangi nilai output total (penerimaan) dengan nilai input (biaya). Singkatnya adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya. Persamaan ini dapat ditulis sebagai berikut:

Pd = TR – TC Dimana:

Pd = pendapatan TR = total penerimaan TC = total biaya

Penerimaan diperoleh dengan perhitungan jumlah hasil produksi dikalikan dengan harga atau:

TR= Q.P Dimana:

TR = Total penerimaan Q = Jumlah Hasil Produksi P = Harga produksi


(26)

Usahatani adalah usaha yang tidak terlepas dari biaya-biaya. Biaya dalam usahatani dibedakan menjadi dua yakni biaya tetap (Fixed cost) dan biaya variabel (Variable cost). Jumlah dari kedua biaya tersebut dikenal dengan biaya total (Total Cost).

TC= TFC + TVC. Dimana:

TC = Total Biaya FC = Biaya Tetap VC = Biaya Variabel (Soekartawi, 1995)

Menurut Hermanto (1993), ada beberapa ukuran pendapatan petani yaitu:

a. Pendapatan kerja petani (operator labor income); diperoleh dengan menghitung semua penerimaan yang berasal dari penjualan yang dikonsumsi keluarga dan kenaikan nilai inventaris. Setelah itu dikurangi dengan semua pengeluaran baik yang tunai maupun yang tidak diperhitungkan.

b. Penghasilan kerja petani (operator farm labor earning); diperoleh dari menambah pendapatan kerja petani ditambah dengan penerimaan tidak tunai. c. Pendapatan kerja keluarga (family farm labor earning); merupakan hasil balas

jasa dari petani dan anggota keluarga.

d. Pendapatan keluarga (family income); yaitu dengan menjumlahkan semua pendapatan petani dan keluarganya dari berbagai sumber.


(27)

Pendapatan bersih usahatani merupakan suatu tolak ukur untuk melihat profitabilitas tahunan suatu usaha tani. Pendapatan bersih usahatani diperoleh dari hasil pengurangan seluruh biaya secara rill yang dikeluarkan oleh petani terhadap pendapatan kotornya. Beberapa faktor produksi seperti tenaga kerja keluarga, modal sendiri, dan tanah milik sendiri tidak perlu dihitung jasanya (Wahyudi, 2008).

Tujuan akhir usahatani keluarga adalah pendapatan keluarga petani (familiy farm

income) yang terdiri atas laba, upah tenaga kerja keluarga dan bunga modal

sendiri. Pendapatan yang dimaksud adalah selisih antara nilai produksi dikurangi dengan biaya yang betul-betul dikeluarkan oleh petani. Laba, upah tenga kerja, dan bunga modal sendiri dianggap satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan lagi (Suratiyah, 2006).

2.2.2 Nilai Tambah (Value Added)

Pada proses distribusi komoditas pertanian terjadi arus yang mengalir dari hulu ke hilir, yang berawal dari petani dan berakhir pada konsumen akhir. Komoditas pertanian mendapat perlakuan-perlakuan seperti pengolahan, pengawetan, dan pemindahan untuk menambah kegunaan atau menimbulkan nilai tambah. Ada dua cara untuk menghitung nilai tambah yaitu dengan cara menghitung nilai tambah selama proses pengolahan dan menghitung nilai tambah selama proses pemasaran (Baroh, 2007).

Industri pengolahan hasil pertanian dapat menciptakan nilai tambah. Jadi konsep nilai tambah adalah suatu pengembangan nilai yang terjadi karena adanya input fungsional seperti perlakuan dan jasa yang menyebabkan bertambahnya kegunaan


(28)

dan nilai komoditas selama mengikuti arus komoditas pertanian (Hardjanto, 1993). Selanjutnya perlakuan-perlakuan serta jasa-jasa yang dapat menambah kegunaan komoditi tersebut disebut dengan input fungsional. Input fungsional dapat berupa proses mengubah bentuk (from utility), menyimpan (time utility), maupun melalui proses pemindahan tempat (place utility) dan kepemilikan.

Proses nilai tambah merujuk kepada aktivitas mengubah bahan mentah dan produk setengah jadi yang memiliki nilai lebih tinggi. Proses menghasilkan nilai tambah merupakan proses kompleks yang berjalan terus menerus dan hanya dapat dikatakan berhasil jika berlakunya pemanfaatan mesin, kemahiran manusia, dan bahan mentah sepenuhnya dapat dipadukan oleh teknologi sehingga menghasilkan

produk yang bernilai tinggi daripada nilai bahan mentah yang asli (Rasli dan Sukri, 2005).

Aktivitas dikatakan bernilai tambah bila secara bersamaan memenuhi tiga kondisi yaitu aktivitas yang menghasilkan perubahan, perubahan itu tidak dapat dicapai oleh aktivitas sebelumnya, aktivitas itu memungkinkan aktivitas lainnya dapat dilakukan. Dari pengertian tersebut dapat didefenisikan biaya bernilai tambah adalah biaya untuk melakukan aktivitas bernilai tambah secara efisien (Nafarin, 2007).

Proses pengolahan hasil pertanian memberikan nilai tambah yang jauh lebih besar dibandingkan dengan produk pertanian itu sendiri sehingga mampu memberikan kontribusi nilai ekonomis yang tinggi. Dalam beberapa peranan pengolahan hasil baik pengolahan hasil pertanian maupun penunjang dapat meningkatkan


(29)

meningkatkan devisa negara, dan mendorong tumbuhnya industri lain (Soekartawi, 1999).

Perhitungan nilai tambah yang diperoleh dari proses pengolahan suatu produk dapat menggunakan metode Hayami. Kelebihan dari analisis nilai tambah dengan metode Hayami adalah :

1. Dapat diketahui besarnya nilai tambah, nilai output dan produktifitas.

2. Dapat diketahui besarnya balas jasa terhadap pemilik-pemilik faktor produksi. 3. Prinsip nilai tambah menurut Hayami dapat diterapkan untuk subsistem lain

diluar pengolahan, misalnya kegiatan pemasaran (Suprapto, 2006).

2.2.3 Pengolahan dan Pasca Panen

Pasca panen adalah cara penanganan hasil panen atau perlakuan khusus yang diberikan terhadap hasil panen sehingga memiliki keunggulan dari bentuk sebelumnya. Perlakuan pasca panen dapat berupa sortasi (pemilihan), pengolahan, pengepakan dan penyimpanan (Panggabean, 2011).

Untuk mempermudah pasca panen kopi, dibutuhkan prasarana dan sarana yang memadai sehingga diharapkan diperoleh hasil pasca panen yang bermutu tinggi. Sarana pendukung dalam penanganan pasca panen kopi antara lain bangunan, alat, mesin, wadah dan pembungkus (Natawidjaya, 2012).

Secara prinsip pengembangan dan pengolahan produk dilakukan untuk memperbaiki penampilan produk, sehingga pembeli lama mau membeli lagi produk dengan penampilan baru (bentuk, ukuran, gaya dan kemasan). Karena pelanggan merasa mendapat kepuasan dari produk lama (Yusuf, 2007).


(30)

Menurut Pearce dan Robinson (1997, dalam Yusuf 2007) yang menyatakan bahwa pengembangan produk seringkali digunkan untuk memperpanjang daur hidup produk yang sudah ada, atau untuk memanfaatkan reputasi ataupun merek favorit. Pemikirannya adalah menarik pelanggan yang puas untuk membeli produk baru sebagai akibat pengalaman positif mereka dengan produk sebelumnya.

Pemahaman tentang komponen-komponen pengolahan memerlukan pemahaman fungsi-fungsinya. Dari segi teknis, tiga tujuan pengolahan agroindustri adalah merubah bahan baku menjadi mudah diangkut, diterima konsumen dan tahan lama. Fungsi pengolahan harus pula dipahamai sebagai kegiatan strategis yang menambah nilai dalam mata rantai produksi dan menciptakan keunggulan kompetitif. Sasaran-sasaran ini dicapai dengan merancang dan mengoperasikan kegiatan pengolahan yang hemat biaya atau dengan meragamkan produk (Soekartawi, 2000).

Alternatif teknologi yang tersedia untuk pengolahan hasil-hasil pertanian bervariasi mulai dari teknologi tradisional yang digunakan oleh industri kecil (cottage industry) sampai kepada teknologi canggih yang biasanya digunakan oleh industry besar. Dengan demikian alternative teknologi tersebut bervariasi dari teknologi yang padat karya sampai teknologi yang padat modal (Said dkk, 2004).

2.3 Penelitian Terdahulu

Nailul Khairati (2011) meneliti dengan judul “Analisis Perbedaan Pendapatan Penjualan Kopi Arabika dalam Bentuk Buah Panen (cherry red) dan Kopi Biji di


(31)

digunakan adalah metode analisis pendapatan, metode independent sample T-test dan metode deskriptif dengan uji Kendall’s. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pendapatan dalam bentuk kopi biji lebih besar dari pada dalam bentuk gelondong merah. Terdapat perbedaan secara nyata volume jual dan biaya produksi antara petani yang menjual kopi Arabika dalam bentuk gelondong merah dan kopi biji akan tetapi untuk pendapatan tidak terdapat perbedaan secara nyata, serta alasan yang membuat petani menjual dalam bentuk gelondong merah adalah umur tanaman, jumlah permintaan, tenaga kerja, keadaan cuaca serta efisiensi waktu.

Jandwi Sarah (2013) meneliti dengan judul “Analisis Perbandingan Pendapatan Petani Jagung yang Menjual Biji Basah dengan Menjual Biji Kering di Desa Tuppak Raja, Kecamatan Gunung Sitember, Kabupaten Dairi. Metode yang digunakan adalah metode independent sample T-test dan metode Hayami. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan pendapatan petani yang menjual biji basah dengan petani yang menjual biji kering per petani, tetapi terdapat perbedaan pendapatan petani yang menjual biji basah dengan menjual biji kering per Ha. Ada nilai tambah yang diperoleh dari pengolahan biji basah menjadi biji kering. Alasan petani menjual biji basah adalah butuh pengembalian uang yang cepat, jumlah hari hujan yang tidak menentu, upah tenga kerja pada proses pengeringan, tidak tersediannya tempat penyimpanan biji jagung. Sedangkan alasan petani menjual biji kering adalah harga jual yang lebih tinggi dan ketersediaan tempat penyimpanan jagung.


(32)

2.4 Kerangka Pemikiran

Usahatani Kopi Ateng merupakan suatu kegiatan yang produktif bagi masyarakat di daerah Kabupaten Simalungun. Dalam melakukan usahatani petani pasti membutuhkan input produksi yang diperlukan untuk menghasilkan output usahatani kopi. Output langsung dari usahatani Kopi Ateng berupa produksi Kopi Ateng dalam bentuk gelondong merah (cherry red). Petani dalam menjual hasil produksinya dapat menggunakan alternatif bentuk penjualan Kopi Ateng sesuai kebutuhan dan permintaan.

Penjualan kopi Ateng dapat berupa gelondong merah (cherry red) secara langsung, atau dengan perlakuan pasca panen seperti kopi biji. Dalam penjualan Kopi Ateng dalam bentuk kopi biji terdapat nilai tambah (value added) yang diperoleh petani.

Kopi Ateng yang dijual dalam bentuk kopi biji memiliki nilai tambah (value

added) berupa tenga kerja. Kopi Ateng dalam bentuk kopi biji dijual dengan harga


(33)

Secara sistematika kerangka pemikiran dapat digambarkan sebagai berikut :

Keterangan :

: Menyatakan Hubungan

Gambar 1: Skema Kerangka Pemikiran Usahatani

Kopi Ateng

Produksi

Penjualan

Kopi Biji Gelondong

Merah ( Cherryred)

Pendapatan Nilai Tambah


(34)

2.5 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan identifikasi masalah, tinjauan pustaka, dan kerangka pemikiran maka hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Ada perbedaan pendapatan antara usahatani kopi Ateng yang dijual dalam bentuk gelondong merah (cherry red) dengan kopi biji.

2. Ada nilai tambah (value added) yang diperoleh petani yang menjual kopi dalam bentuk kopi biji.


(35)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penentuan Daerah Penelitian

Penelitian dilakukan di Desa Bangun Das Mariah Kecamatan Panei Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara. Daerah penelitian ini ditentukan secara metode purposive. Purposive maksudnya dalam hal ini adalah pengambilan daerah penelitian berdasarkan pertimbangan tertentu. Daerah penelitian dipilih secara sengaja dengan pertimbangan bahwa daerah penelitian ini merupakan salah satu daerah penghasil komoditi Kopi Ateng di Kabupaten Simalungun.

Tabel 2. Luas Lahan dan Produksi Kopi Arabika Tanaman Perkebunan Rakyat di Kabupaten Simalungun Tahun 2013

Kecamatan Luas Areal

(Ha)

Produksi (Ton) Jumlah Petani (KK) 1. Silimakuta

2. Pamatang Silimahuta 3. Purba

4. Haranggaol Horison 5. Dolok Pardamean 6. Sidamanik

7. Pamatang Sidamanik 8. Girsang Sipangan Bolon 9. Tanah Jawa

10.Hatonduhan 11.Dolok Panribuan 12.Jorlang Hataran 13.Panei 554,01 972,03 1266,94 55,00 877,84 555,55 388,94 404,28 9,15 15,25 146,89 83,21 186,97 767,07 1390,16 1733,47 50,52 1.260,10 583,07 402,03 502,17 13,38 21,72 201,69 125,08 247,76 824 1.074 1.515 100 1.518 1.301 842 1.035 87 115 697 998 1.165


(36)

14.Panombean Panei 15.Raya

16.Dolok Silau 17.Silou Kahean 18.Raya Kahean 19.Tapian Dolok 20.Siantar 47,88 1188,50 752,01 18,63 18,64 55,00 0,63 70,90 1593,26 808,07 - 24,27 71,13 - 533 3.894 1.574 15 236 44 1 Kabupaten Simalungun 7.589,35 9.865,85 17.568 Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sumatera Utara

3.2 Metode Penentuan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah semua petani yang membudidayakan tanaman kopi Ateng yang berada di Desa Bangun Das Mariah yaitu sebanyak 100 orang. Penarikan sampel dilakukan dengan metode Purposive Sampling yaitu teknik pengambilan sampel secara sengaja, peneliti menentukan sendiri sampel yang diambil karena ada pertimbangan tertentu. Jadi sampel diambil tidak secara acak, tapi ditentukan sendiri oleh peneliti. Jumlah petani sampel yang diambil adalah sebanyak 30 petani untuk masing-masing petani yang menjual kopi dalam bentuk gelondong merah (cherry red) dengan kopi biji. Jumlah ini dianggap sudah mewakili dari populasi (Walpole, 1992).


(37)

3.3 Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung melalui wawancara kepada responden dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuisioner) yang telah dibuat terlebih dahulu. Sedangkan data sekunder merupakan data yang diperoleh dari sumber-sumber lain yang relevan, seperti Badan Pusat Statistik Sumatera Utara, Badan Pusat Statistik Kabupaten Simalungun, Kantor Kepala Desa dan dari dinas terkait lainnya yang dapat mendukung kelengkapan data dalam penelitian ini.

3.4 Metode Analisis Data

Untuk hipotesis (1) digunakan uji beda rata-rata (Compare Means) karena berasal dari dua variabel yang berbeda maka uji beda rata-rata yang digunakan dalam penelitian ini adalah independent test, dengan rumus sebagai berikut:

= �̅̅̅ − �̅̅̅�̅̅̅ − �̅̅̅

keterangan:

�̅̅̅ : Rata-rata variabel 1

�̅̅̅ : Rata-rata variabel 2

�̅̅̅ − �̅̅̅ : Rata-rata standar deviasi variabel atau kekeliruan baku

Apabila N1 ≠ N2, maka untuk menghitung �̅̅̅ − �̅̅̅ digunakan rumus sebagai

berikut:

�̅̅̅ − �̅̅̅ = √

(

∑ � − ∑ �� + ∑ � −(∑ � )� � + � −

) (


(38)

Keterangan:

�̅̅̅ − �̅̅̅ : Rata-rata standar deviasi variabel atau kekeliruan baku X1 : Variabel 1

X2 : Variabel 2

N : Jumlah Sampel

N1 : Jumlah sampel untuk variabel 1

N2 :Jumlah sampel untuk variabel 2

Apabila N1 = N2, maka untuk menghitung �̅̅̅ − �̅̅̅ digunakan rumus sebagai

berikut:

�̅̅̅ − �̅̅̅ = √∑ � − ∑ �� + ∑ � − ∑ �� � � −

Keterangan:

�̅̅̅ − �̅̅̅ : Rata-rata standar deviasi variabel atau kekeliruan baku X1 : Variabel 1

X2 : Variabel 2

N : Jumlah Sampel

N1 : Jumlah sampel untuk variabel 1

N2 :Jumlah sampel untuk variabel 2 (Ritonga, 2004).

Dari hipotesis (1) maka peneliti menguji hipotesis peneliti dengan menggunakan uji beda rata-rata dengan bantuan SPSS.

1. Menggunakan nilai signifikan/P – Value


(39)

dijual dalam bentuk gelondong merah (cherry red) dengan yang dijual dalam bentuk kopi biji.

- Jika nilai signifikan/P – Value < 0,05 ; maka H0 ditolak. Artinya ada

perbedaan yang nyata antara pendapatan usahatani kopi Ateng yang dijual dalam bentuk gelondong merah (cherry red) dengan yang dijual dalam bentuk kopi biji.

2. Menggunakan perbandingan antara t hitung dengan t tabel

Nilai t tabel didapat dari α (taraf nyata/tingkat signifikan) dengan derajat bebas/degree of freedom (df).

- Jika t hitung > t tabel ; maka H1 diterima. Artinya ada perbedaan yang

nyata antara pendapatan usahatani kopi Ateng yang dijual dalam bentuk gelondong merah (cherry red) dengan yang dijual dalam bentuk kopi biji. - Jika t hitung < t tabel ; maka H1 ditolak. Artinya tidak ada perbedaan yang

nyata antara pendapatan usahatani kopi Ateng yang dijual dalam bentuk gelondong merah (cherry red) dengan yang dijual dalam bentuk kopi biji.

Untuk hipotesis (2) dianalisis dengan Metode Hayami. Menurut Sudiyono (2004), analisis dengan menggunakan Metode Hayami dapat dilihat pada tabel 3 sebagai berikut:


(40)

Tabel 3. Perhitungan Nilai Tambah dengan Menggunakan Metode Hayami

No Output, Input, Harga Rumus

1 2 3 4 5 6 7

Hasil produksi (kg/produksi) Bahan baku (kg/produksi) Tenaga kerja (HOK) Faktor konversi

Koefesien tenaga kerja Harga produksi (Rp/kg) Upah rerata (Rp/HOK)

A B C

A/B = M C/B = N D E Pendapatan 8 9 10 11 12 13

Harga bahan baku (Rp/kg) Bahan Tambahan (Rp/kg) Nilai Produk (Rp/kg)

a. Nilai Tambah (Rp/kg) b. Rasio Nilai Tambah (%) a. Imbalan TK Langsung (Rp/kg) b. Bagian TK Langsung (%) a. Keuntungan (Rp/kg) b. Tingkat Keuntungan %

F G

K = MxD L = K-F-G H = (L/K)*100% P = NxE

Q = (P/L) *100% R = L-P

I = (R/L) *100% Balas Jasa Untuk Faktor Produksi

14 Margin (Rp/kg)

a. Pendapatan TK Langsung (%) b. Sumbangan Input Lain (%) c. Keuntungan Pengusaha (%)

S = K-F

T = (P/S) *100% U = (G/S) *100% V = (R/S) *100%


(41)

Keterangan :

HOK : Hari Orang Kerja TK : Tenaga Kerja

Analisis nilai tambah metode Hayami menghasilkan beberapa informasi sebagai berikut :

1. Nilai tambah (Rp) adalah selisih antara nilai produk dengan harga bahan baku dan bahan tambahan.

2. Rasio nilai tambah (%) menunjukkan nilai tambah dari nilai produk.

3. Imbalan tenaga kerja langsung (Rp) menunjukkan upah yang diterima tenaga kerja langsung dalam mengolah satu satuan bahan baku.

Dari hasil perhitungan tersebut akan diperoleh keterangan sebagai berikut: 1. Perkiraan nilai tambah dalam rupiah

2. Rasio nilai tambah terhadap nilai produk yang dihasilkan (dalam %)

3. Imbalan bagi modal dan manajemen (keuntungan yang diterima perusahaan) dalam rupiah.

3.5 Defenisi dan Batasan Operasional

Defenisi dan batasan operasional dalam penelitian ini dibuat dengan tujuan untuk menghindari kekeliruan dan kesalahpahaman atas penafsiran dan pengertian maka digunakan defenisi dan batasan operasional sebagai berikut:

3.5.1 Defenisi

1. Petani kopi Ateng adalah orang yang melakukan usahatani Kopi Ateng sebagai mata pencaharian pokoknya dan menjual kopi Ateng dalam bentuk gelondong merah (cherry red) dan kopi biji.


(42)

2. Usahatani kopi Ateng adalah kombinasi yang tersusun dari faktor produksi yaitu modal, alam, tenaga kerja, dan keahlian yang ditujukan untuk proses produksi yang nantinya menghasilkan output dan keberhasilannya tergantung kemampuan petani mengelolanya.

3. Produksi adalah semua hasil tanaman kopi Ateng yang dibudidayakan petani kopi dalam bentuk gelondong merah maupun kopi biji (Kg).

4. Luas lahan adalah areal pertanaman kopi yang dimiliki oleh petani diukur dengan satuan hektar.

5. Kopi adalah jenis tanaman berkeping dua (dikotil) dan memiliki akar tunggang.

6. Kopi biji adalah biji kopi yang sudah dijemur terlebih dahulu dibawah sinar matahari.

7. Gelondong merah (cherry red) adalah bentuk buah panen atau biji kopi yang langsung dijual setelah dipetik dari pohonnya.

8. Nilai tambah (value added) adalah selisih penjualan dan biaya yang dikeluarkan untuk bahan baku dan pembelian material pendukung.

9. Pendapatan adalah semua penerimaan usahatani kopi Ateng dikurangi semua biaya selama 1 tahun terakhir dalam bentuk gelondong merah maupun kopi biji.


(43)

3.6 Batasan Operasioal

1. Penelitian dilakukan di Desa Bangun Das Mariah, Kecamatan Panei, Kabupaten Simalungun.

2. Sampel penelitian adalah petani kopi Ateng yang masing-masing menjual dalam bentuk gelondong merah (cherry red) dan kopi biji.


(44)

BAB IV

DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN

4.1 Deskripsi Wilayah

4.1.1 Letak Geografis, Batas dan Luas Wilayah

Desa Bangun Das Mariah merupakan salah satu desa yang memiliki potensi pada sektor pertanian khususnya dalam berusahatani kopi. Desa Bangun Das Mariah terletak di dataran tinggi dengan ketinggian 1000 m di atas permukaan laut dengan suhu rata-rata berkisar 25°C dengan curah hujan rata-rata 300mm/tahun. Secara administratif Desa Bangun Das Mariah mempunyai batas wilayah sebagai berikut:

Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Simpang Sigodang Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Sipoldas

Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Simpang Raya Dasma Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Bangun Rakyat

4.1.2 Tata Guna Lahan

Desa Bangun Das Mariah mempunyai luas lahan 350 Ha. Sebagian besar lahan digunakan sebagai lahan pertanian bukan sawah. Penggunaan lahan yang paling luas adalah untuk pertanian bukan sawah dan selebihnya digunakan untuk pertanian sawah, pemukiman dan perkantoran. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4 sebagai berikut:


(45)

Tabel 4. Distribusi Penggunaan Lahan

No. Jenis Penggunaan Lahan Luas Areal (Ha)

1 Sawah 70

2 Bukan Sawah 228

3 Pemukiman 40

4 Perkantoran 12

Jumlah 350

Sumber: Kantor Kepala Desa, 2015

Dari Tabel 4 dapat disimpulkan bahwa penggunaan lahan yang paling banyak digunakan adalah lahan untuk pertanian bukan sawah seluas 228 Ha. Sedangkan untuk lahan pertanian sawah seluas 70 Ha, pemukiman seluas 40 Ha dan selebihnya digunakan untuk lahan perkantoran seluas 12 Ha.

4.1.3 Keadaan Penduduk

Desa Bangun Das Mariah memiliki empat dusun dan masing masing dusun memiliki jumlah penduduk yang berbeda-beda digolongkan berdasarkan jenis kelamin. Jumlah penduduk Desa Bangun Das Mariah dapat dilihat pada Tabel 5 sebagai berikut:

Tabel 5. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin di Desa Bangun Das Mariah

No. Jenis Kelamin Jumlah (Jiwa)

1 Laki-laki 364

2 Perempuan 357

Jumlah 721


(46)

Dari Tabel 5 dapat diketahui bahwa jumlah penduduk sebanyak 721 jiwa diantaranya 364 jiwa laki-laki dan 357 jiwa perempuan. Dari total jumlah penduduk sebanyak 721 jiwa diketahui perbandingan antara jumlah laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan jumlah laki-laki.

Tabel 6. Distribusi penduduk Menurut Mata Pencaharian Desa Bangun Das Mariah

No. Mata Pencaharian Laki-laki Perempuan

1 Petani 213 213

2 Buruh Tani 40 40

3 PNS 6 2

4 Wiraswasta 5 2

Jumlah 264 257

Sumber: Kantor Kepala Desa, 2015

Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa sebagian besar penduduk di Desa Bangun Das Mariah bermata pencaharian sebagai petani sebanyak 426 jiwa dengan rincian 213 laki-laki dan 213 perempuan.

4.1.4 Sarana Dan Prasarana

Sarana dan prasarana yang tersedia di Desa Bangun Das Mariah cukup tersedia dan mendukung aktivitas masyarakat di desa. Sarana dan prasarana sangat menunjang pembangunan masyarakat desa. Bila sarana dan prasarana baik, maka pembangunan desa dan masyarakat akan semakin baik pula. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 7 berikut ini:


(47)

Tabel 7. Sarana dan Prasarana Desa Bangun Das Mariah

No. Sarana dan Prasarana Jumlah (Unit)

1 Gereja 2

2 Mesjid 1

3 Balai Desa 1

4 TK 1

5 Puskesmas Pembantu 1

Jumlah 6

Sumber: Kantor Kepala Desa, 2015

Dari Tabel 7 dapat disimpulkan bahwa sarana dan prasarana di Desa Bangun Das Mariah memiliki 2 gerja, 1 mesjid, 1 balai desa, 1 TK dan 1 puskesmas pembantu.


(48)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Jenis Penjualan Usahatani Kopi Ateng

Dalam menjual hasil produksi usahatani kopi Ateng di daerah penelitian, terdapat dua macam cara yang dilakukan petani yaitu menjual kopi Ateng dalam bentuk gelondong merah (cherry red) dan menjual kopi Ateng dalam bentuk kopi biji.

Kopi Ateng yang dijual dalam bentuk gelondong merah (cherry red) adalah biji kopi yang langsung dijual oleh petani setelah biji dipanen dari pohonnya (tanpa dikupas). Sedangkan kopi Ateng yang dijual dalam bentuk kopi biji adalah biji kopi yang dijual dengan melalui tahapan melepas biji kopi dari daging buah atau kulit buah dengan menggunakan alat penggiling, kemudian biji kopi direndam dan dijemur dibawah sinar matahari dan selanjutnya dikemas dan dipasarkan.

Penjualan hasil produksi usahatani kopi Ateng dalam bentuk yang berbeda, berdampak pada perbedaan besarnya pendapatan petani yang diperoleh.

5.2 Biaya Produksi Usahatani Kopi Ateng

Biaya produksi usahatani dalam hal ini adalah seluruh biaya yang dikeluarkan petani dalam usahatani Kopi Ateng selama 1 tahun. Biaya produksi terdiri dari biaya tetap berupa biaya penyusutan peralatan dan biaya PBB, serta biaya variabel berupa biaya sarana produksi (saprodi) yang terdiri dari biaya pupuk dan pestisida. Biaya variabel lainnya adalah biaya tenaga kerja serta biaya pasca panen.


(49)

Rata-rata biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani kopi Ateng per petani dan per hektar dapat dilihat pada tabel 8 sebagai berikut.

Tabel 8. Rata-Rata Biaya Produksi Usahatani Kopi Ateng

No Jenis Biaya Per Petani Per Hektar

1 Biaya Penyusutan 428.830,56 929.321,65

2 Biaya Saprodi 1.468.950,00 2.934.111,06

3 Biaya Tenaga Kerja 489.166,67 992.591,63

4 Biaya PBB 6.289,58 12.500,00

Total 2.393.236,81 4.868.524,34

Sumber: Data Primer Lampiran 13 diolah

Dari tabel 8 dapat diketahui bahwa rata-rata biaya produksi usahatani kopi Ateng per petani adalah sebesar Rp. 2.393.236,81 dan rata-rata biaya produksi usahatani kopi Ateng per hektar adalah sebesar Rp. 4.868.524,34.

1. Biaya Penyusutan

Biaya penyusutan adalah biaya yang dikeluarkan akibat adanya penurunan nilai dari alat yang mengalami penyusutan. Ada beberapa alat yang mengalami penyusutan yaitu alat-alat pertanian dan perlengkapan milik petani. Alat-alat dan perlengkapan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cangkul, garu, angkong, parang, mesin giling dan pompa.

Dari tabel 8 dapat dilihat bahwa biaya rata-rata penyusutan alat pertanian yang dikeluarkan oleh petani dalam usahatani kopi ateng adalah sebesar Rp. 428.830,56 per petani dan Rp. 929.321,65 per hektar.


(50)

2. Biaya Saprodi (Sarana Produksi)

Yang termasuk dalam biaya saprodi adalah semua biaya yang dikeluarkan petani untuk membeli pupuk dan obat-obatan.

a. Pupuk

Pupuk yang digunakan oleh petani kopi Ateng didaerah penelitian adalah pupuk organik dan pupuk kimia. Pupuk organik merupakan pupuk kandang yang dibeli dan pupuk kompos yang biasanya dari sampah (kulit kopi) serta daun-daun dan tanaman pelindung setelah dipangkas.

Selain pupuk organik petani kopi Ateng didaerah penelitian juga menggunakan pupuk kimia dalam usahataninya. Pupuk kimia yang digunakan adalah Urea, Ponska, dan SP-36.

b. Obat-obatan

Obat-obatan yang digunakan oleh petani kopi Ateng didaerah penelitian adalah herbisida Gramoxone dan pelita yang bertujuan untuk membasmi gulma yang ada di kebun kopi petani.

Dari tabel 8 dapat dilihat bahwa biaya rata-rata saprodi (sarana produksi) yang

dikeluarkan oleh petani dalam usahatani kopi ateng adalah sebesar Rp. 1.468.950,00 per petani dan Rp. 2.934.111,06 per hektar.

c. Biaya Tenaga Kerja

Biaya tenaga kerja adalah biaya yang dikeluarkan petani untuk membayar upah baik tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) maupun tenaga kerja luar keluarga (TKLK). Dari hasil penelitian yang dilakukan diketahui bahwa tenaga kerja yang


(51)

digunakan adalah tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) dan tenaga kerja luar keluarga (TKLK). Sistem pengupahan didaerah penelitian adalah sistem harian dengan upah pria sebesar Rp. 50.000/hari dan upah wanita sebesar Rp. 40.000/hari. Tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) digunakan pada tahap pemupukan, penyemprotan, pemangkasan, pemanenan, penggilingan dan pengeringan. Tenaga kerja luar keluarga (TKLK) digunakan pada tahap pemupukan, penyemprotan, pemangkasan, pemanenan, dan penggilingan.

Dari tabel 8 dapat dilihat bahwa biaya tenaga kerja yang dikeluarkan oleh petani dalam usahatani kopi ateng adalah sebesar Rp. 489.166,67 per petani dan Rp. 992.591,63 per hektar.

d. Biaya PBB (Pajak Bumi dan Bangunan)

Besarnya biaya PBB tergantung pada lokasi lahan. Semakin jauh lahan dari wilayah kota maka akan semakin murah biaya PBB-nya. Untuk Desa Bangun Das Mariah biaya PBB sama rata semuanya dengan biaya sebesar Rp. 12.500 setiap tahun per hektar.

Dari tabel 8 dapat dilihat bahwa biaya tenaga kerja yang dikeluarkan oleh petani dalam usahatani kopi ateng adalah sebesar Rp. 6.289,58 per petani dan Rp. 12.500,00 per hektar.


(52)

Hasil produksi usahatani kopi Ateng tersebut dijual dalam 2 bentuk yakni kopi dijual dalam bentuk gelondong merah (cherry red) dan dalam bentuk kopi biji. Perlakuan pasca panen atas kedua bentuk cara memberikan konsekuensi biaya pasca panen yang berbeda.

Rata-rata biaya pasca panen yang dikeluarkan oleh petani kopi Ateng per petani dan per hektar dapat dilihat pada tabel 9 sebagai berikut.

Tabel 9. Rata-Rata Biaya Pasca Panen Usahatani Kopi Ateng

No Keterangan Per Petani Per Hektar

1 Gelondong Merah (Cherry red) 0 0

2 Kopi Biji 124.000,00 221.560,32

Total 124.000,00 221.560,32

Sumber: Data Primer Lampiran 13 diolah

Biaya pasca panen dalam hal ini adalah biaya tenaga kerja untuk menggiling/mengupas dan menjemur kopi Ateng. Dari tabel 9 dapat diketahui bahwa rata-rata biaya pasca panen usahatani kopi Ateng per petani dan per hektar yang menjual dalam bentuk gelondong merah (cherry red) adalah sebesar Rp.0 karena kopi yang dijual dalam bentuk gelondong merah (cherry red) tidak melakukan pengolahan pasca panen dan rata-rata biaya pasca panen usahatani kopi Ateng yang menjual dalam bentuk kopi biji adalah sebesar Rp. 124.000,00 untuk setiap petaninya dan per hektarnya adalah sebesar Rp. 221.560,32.

Sebagai akibat perlakuan pasca panen maka harga jual juga berbeda. Harga kopi gelondong merah (cherry red) rata-rata Rp.7.000/Kg sedangkan harga kopi biji rata-rata Rp.24.000/Kg.


(53)

5.3 Perbandingan Penerimaan Usahatani Kopi Ateng yang Dijual dalam Bentuk Gelondong Merah (Cherry red) dengan Kopi Biji

Penerimaan adalah hasil yang diterima petani kopi atas penjualan hasil usahatani kopi Ateng. Penerimaan diperoleh dari hasil perkalian seluruh hasil produksi kopi Ateng dengan harga jual kopi per kilogram. Harga jual produksi didaerah penelitian sering kali mengalami perubahan, akan tetapi perubahan harga ini bukan ditentukan oleh petani. Dalam hal ini petani sampel didaerah penelitian merupakan price taker. Rata-rata petani memperoleh harga jual kopi dalam bentuk gelondong merah (cherry red) Rp. 7.000/Kg dan kopi biji Rp. 24.000/Kg.

Perbandingan rata-rata penerimaan usahatani kopi Ateng yang dijual dalam bentuk gelondong merah (cherry red) dan kopi biji dapat dilihat pada tabel 10 berikut.

Tabel 10. Perbandingan Rata-Rata Penerimaan Usahatani Kopi Ateng yang Dijual dalam Bentuk Gelondong Merah (cherry red) dengan Kopi Biji

No Jenis Penjualan Kopi Per Petani (Rp) Per Hektar (Rp) 1 Gelondong Merah (Cherry red)

a. Produksi b. Harga c. Penerimaan 492,27 7.000 3.445.866,67 1.102,99 7.000 7.720.902,78 2 Kopi Biji

a. Produksi b. Harga c. Penerimaan 282,73 24.000 6.785.600 505,35 24.000 12.128.515,87 Sumber: Data Primer Lampiran 9,10,11,12 diolah

Dari Tabel 10 dapat dilihat bahwa rata-rata penerimaan usahatani kopi Ateng yang dijual dalam bentuk gelondong merah (cherry red) adalah Rp. 3.445.866,67 per petani dalam 1 tahun dan Rp. 7.720.902,78 per hektar dalam 1 tahun.


(54)

Rata-rata penerimaan usahatani kopi Ateng yang dijual dalam bentuk kopi biji adalah Rp. 6.785.600 per petani dalam 1 tahun dan Rp. 12.128.515,87 per hektar dalam 1 tahun.

5.4 Perbedaan Pendapatan Usahatani Kopi Ateng yang Dijual dalam Bentuk Gelondong Merah (Cherry red) dan Kopi Biji

Pendapatan usahatani kopi Ateng adalah hasil bersih yang diperoleh petani kopi baik petani yang memproduksi gelondong merah (cherry red) maupun kopi biji yang dinyatakan dalam nilai rupiah yang diperoleh dari selisih antara total penerimaan usahatani dengan total biaya produksi. Rata-rata pendapatan usahatani kopi gelondong merah dengan kopi biji dapat dilihat pada tabel 11 berikut.

Tabel 11. Perbedaan Rata-Rata Pendapatan Usahatani Kopi Ateng yang Dijual dalam Bentuk Gelondong Merah (cherry red) dan Kopi Biji No Pendapatan Petani Rata-rata pendapatan

per petani (Rp)

Rata-rata pendapatan per hektar (Rp)

1 Gelondong Merah 1.330.757,78 2.869.907,19

2 Kopi Biji 3.866.235,28 6.799.342,13

Sumber: Data Primer Lampiran 14,15 diolah

Dari Tabel 11 dapat dilihat bahwa rata-rata pendapatan usahatani kopi Ateng yang dijual dalam bentuk gelondong merah (cherry red) adalah Rp. 1.330.757,78 per petani dalam 1 tahun dan Rp. 2.869.907,19 per hektar dalam 1 tahun. Rata-rata pendapatan usahatani kopi Ateng yang dijual dalam bentuk kopi biji adalah Rp. 3.866.235,28 per petani dalam 1 tahun dan Rp. 6.799.342,133 per hektar dalam 1 tahun.

Hasil analisis uji beda model Independent Sampel t-Test antara pendapatan usahatani kopi yang dijual dalam bentuk kopi gelondong merah (cherry red)


(55)

Tabel 12. Hasil Analisis Uji Beda Rata-Rata Pendapatan Usahatani Kopi Ateng yang Dijual dalam Bentuk Gelondong Merah (cherry red) dengan Kopi Biji Per Hektar dalam 1 Tahun

Independent Sample t Test Means Std

Deviasi

Std Error Mean

T df Sig

Gelondong Merah 2869 5013 9152 -11,617 58 0,000

Kopi Bij 6799 1783 3256

Sumber: Data Primer Lampiran 16 diolah

Dari Tabel 15 diketahui nilai signifikansi sebesar 0,000 artinya nilai signifikansi yang diperoleh lebih kecil dari nilai α (0,000 < α 0,05). Disimpulkan bahwa ada perbedaan nyata antara pendapatan usahatani kopi Ateng yang dijual dalam bentuk gelondong merah (cherry red) dengan yang dijual dalam bentuk kopi biji per hektar dalam 1 tahun.

Dari hasil uji diatas maka dapat disimpulkan bahwa pendapatan usahatani kopi Ateng per hektar yang menjual kopi Ateng dalam bentuk biji jauh lebih tinggi dari pendapatan usahatani kopi yang menjual kopi dalam bentuk gelondong merah

(cherry red). Kesimpulan yang sama juga dihasilkan oleh penelitian Nailul

Khairati (2011) yang menunjukkan bahwa pendapatan dalam bentuk kopi biji lebih besar dari pada dalam bentuk gelondong merah (cherry red).


(56)

5.5 Nilai Tambah Usaha Pengolahan Kopi Biji

Menurut Hayami (1987), nilai tambah (value added) adalah pertambahan nilai suatu komoditas karena mengalami proses pengolahan, pengangkutan ataupun penyimpanan dalam suatu produksi. Dalam proses pengolahan, nilai tambah dapat didefenisikan sebagai selisih antara nilai produk dengan nilai biaya bahan baku dan input lainnya, tidak termasuk tenaga kerja. Sedangkan marjin adalah selisih antara nilai produk dengan harga bahan baku saja. Dalam marjin ini tercakup komponen faktor produksi yang digunakan yaitu tenaga kerja, input lainnya dan balas jasa pengusaha pengolahan.

Metode yang digunakan untuk mengetahui nilai tambah yang diperoleh dari pengolahan kopi gelondong merah (cherry red) sehingga menjadi kopi biji adalah Metode Hayami. Perhitungan nilai tambah yang dilakukan pada proses pengolahan kopi gelondong merah (cherry red) di daerah penelitian dengan tujuan untuk mengukur besarnya nilai tambah yang terjadi akibat adanya proses pengolahan kopi gelondong merah (cherry red) menjadi kopi biji yang siap dipasarkan.

Analisis nilai tambah berguna untuk menguraikan masing-masing faktor produksi menurut sumbangan masing-masing faktor produksi, serta berguna untuk mengetahui distribusi nilai tambah terhadap tenaga kerja.


(57)

Perhitungan nilai tambah usaha pengolahan kopi biji dengan Metode Hayami dapat dilihat pada tabel 17 sebagai berikut.

Tabel 13. Nilai Tambah Produk Kopi Biji

No Output, Input, Harga Rumus Nilai

1 2 3 4 5 6 7

Hasil produksi (kg/produksi) Bahan baku (kg/produksi) Tenaga kerja (HOK) Faktor konversi Koefesien tenaga kerja Harga produksi (Rp/kg) Upah rerata (Rp/HOK)

A B C A/B=M C/B=N D E 163,92 492,27 3,53 0,333 0,00717 24.000 70.000 Pendapatan 8 9 10 11 12 13

Harga bahan baku (Rp/kg) Bahan Tambahan (Rp/kg) Nilai Produk (Rp/kg)

a. Nilai Tambah (Rp/kg) b. Rasio Nilai Tambah (%) a. Imbalan TK Langsung (Rp/kg) b. Bagian TK Langsung (%) a. Keuntungan (Rp/kg) b. Tingkat Keuntungan (%)

F G K=MxD L=K-F-G H=(L/K) P=NxE Q=(P/L) R=L-P I=(R/L) 7.000 0 7.992 992 12,41 501,4 50,59 490,1 49,4 Balas Jasa Untuk Faktor Produksi

14 Margin (Rp/kg)

a. Pendapatan TK Langsung (%) b. Sumbangan Input Lain (%) c. Keuntungan Pengusaha (%)

S=K-F T=(P/S) U=(G/S) V=(R/S) 992 50,59 0 49,4

Dari tabel 17 dapat diuraikan bahwa usaha pengolahan kopi gelondong merah


(58)

Ouput, Input, Harga

Rendemen hasil pengolahan kopi Ateng berkisar antara 33,33 % artinya setiap 1 Kg kopi biji dibutuhkan buah kopi gelondong merah (cherry red) sebesar 3 Kg. Rata-rata produksi kopi gelondong yang menjadi bahan baku (input) adalah sebanyak 492,27 Kg yang dapat menghasilkan hasil produksi (output) sebanyak kopi biji sebesar 163,92 Kg, sehingga menghasilkan faktor konversi sebesar 0,333. Hal ini menunjukkan bahwa 1 Kg kopi gelondong merah (cherry red) akan menghasilkan 0,333 kopi biji. Proses pengolahan tersebut membutuhkan tenaga kerja sebanyak 3,53 HOK. Koefesien Tenaga kerja yang digunakan untuk memproduksi 1 Kg kopi biji adalah 0,00717 HOK.

Pendapatan

Bahan baku pengolahan biji kopi di daerah penelitian adalah kopi gelondong merah (cherry red) dengan harga rata-rata sebesar Rp. 7.000/Kg. Proses pengolahan kopi biji tersebut tidak menggunakan bahan tambahan karena prosesnya karena hanya dijemur dengan menggunakan matahari tanpa adanya bahan tambahan didaerah penelitian.

Nilai produk biji kopi adalah sebesar Rp.992/Kg. Nilai tersebut diperoleh dari hasil perkalian antara faktor konversi dengan harga produk sebesar Rp.24.000/Kg.

Dari tabel diatas dapat dijelaskan bahwa nilai tambah diperoleh dari hasil pengolahan kopi gelondong merah (cherry red) menjadi kopi biji adalah sebesar Rp.992/Kg. Nilai tambah tersebut diperoleh dari pengurangan nilai produk dengan bahan tambahan dan harga bahan baku. Sedangkan rasio nilai tambah kopi biji


(59)

yang diperoleh dari proses pengolahan kopi gelondong merah (cherry red) menjadi kopi biji.

Imbalan tenaga kerja langsung diperoleh dari hasil kali antara koefesien tenaga kerja dengan upah rerata yaitu sebesar Rp.501,4Kg dengan persentase terhadap nilai tambah sebesar 50,59%.

Keuntungan diperoleh dari besarnya nilai tambah dikurangi dengan besarnya imbalan tenaga kerja. Keuntungan yang diperoleh dari pengolahan kopi gelondong merah (cherry red) menjadi kopi biji adalah sebesar Rp.490/Kg dengan tingkat keuntungan sebesar 49,4%.

Balas Jasa Untuk Faktor Produksi

Margin diperoleh dari nilai produk dikurangi dengan harga bahan baku, maka marjin yang diperoleh dari pengolahan kopi gelondong merah (cherry red) menjadi kopi biji adalah sebesar Rp.992/Kg.

Pendapatan tenaga kerja langsung adalah dari hasil perbandingan antara imbalan tenaga kerja langsung dengan margin dikali dengan 100%, maka diperoleh pendapatan tenaga kerja langsung sebesar 50,59%.

Sumbangan input lain diperoleh dari sumbangan input lain dengan margin dikali 100%. Dalam proses pengolahan kopi gelondong merah (cherry red) menjadi biji kopi tidak menggunakan bahan tambahan lain maka sumbangan input lain yang diperoleh dari penelitian ini adalah nol.


(60)

Keuntungan pengusaha diperoleh dari perbandingan antara keuntungan dengan marjin dikali 100%. Keuntungan pengusaha yang diperoleh dalam proses pengolahan kopi gelondong merah (cherry red) menjadi kopi biji adalah sebesar 49,4%.


(61)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Ada perbedaan nyata antara pendapatan usahatani kopi Ateng yang dijual dalam bentuk gelondong merah (cherry red) dengan kopi biji, dimana pendapatan usahatani yang dijual dalam bentuk kopi biji lebih tinggi atau dua kali lebih besar dari pendapatan usahatani yang dijual dalam bentuk gelondong merah (cherry red).

2. Ada nilai tambah (value added) yang diperoleh petani yang menjual kopi dalam bentuk kopi biji, dimana diperoleh nilai tambah sebesar Rp.992/Kg.

6.2 Saran

1. Kepada Petani Kopi Ateng

Diharapkan untuk lebih memilih menjual kopi Ateng dalam bentuk kopi biji agar mendapat pendapatan dan nilai tambah yang lebih tinggi.

2. Kepada Pemerintah

Agar membantu petani kopi dalam meningkatkan kemampuan mengolah kopi, dengan memfasilitasi kegiatan pelatihan-pelatihan proses pengolahan serta bantuan peralatan pengolahan kopi.

3. Kepada Peneliti Selanjutnya

Agar meneliti alasan-alasan dan pertimbangan petani menjual kopi Ateng dalam bentuk gelondong merah (cherry red) dan meneliti hambatan-hambatan petani dalam menjual kopi dalam bentuk kopi biji.


(62)

DAFTAR PUSTAKA

Aak. 2009. Budidaya Tanaman Kopi. Kanisius. Yogyakarta

Anonimous. 2011. Kopi Ateng Buat Kesengsem Pengopi Luar. http://m.republika.co.id/berita/ekonomi/11/02/04/162288/kopi-ateng-buat-kesengsem-pengopi-luar. Diakses tanggal 3 Januari 2015 pukul 21.00 WIB Anggraini, D. 2006. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Permintaan Ekspor Kopi

Indonesia dan Amerika Serikat. Tesis. Program Studi Ekonomi dan

Pembangunan. Universitas Dipenogoro. Semarang

Badan Pusat Statistik Sumatera Utara. 2014. Sumatera Utara Dalam Angka. Medan

Badan Pusat Statistik Sumatera Utara. 2014. Simalungun Dalam Angka. Medan Budiman, H. 2008. Prospek Tinggi Bertanam Kopi. Pustaka Baru Press.

Yogyakarta

Hayami, Y. et al. 1987. Agrucultural Marketing and Processing in Uplan Java: a

Perspectif From Sunda Village. GGPRT Bogor.

Hermanto. 1993. Ilmu Usaha Tani. Penebar Swadaya. Jakarta

Khairati, N. 2011. Analisis Perbedaan Pendapatan Penjualan Kopi Arabika dalam Bentuk Buah Panen (cherry red) dan Kopi Biji di Desa Tanjung

Beringin Kecamatan Sumbul Kabupaten Dairi. Skripsi. Program Studi

Agribisnis, Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara. Medan

Najiyati dan Danarti, 2004. Kopi Budidaya dan Penanganan Lepas Panen. Edisi

Revisi. Penebar Swadaya. Jakarta.

Panggabean, E. 2011. Buku Pintar Kopi. Agromedia Pustaka. Jakarta

Raharjo, P. 2012. Paduan Budidaya dan Pengolahan Kopi Arabika dan Robusta. Penebar Swadaya. Jakarta

Rasli, A dan Sukri, A. 2005. Pengurusan Teknologi. University Teknologi

Malaysia. Malaysia

Retnadari dan Tjokrowinoto. 1991. Kopi, Kajian Sosial Ekonomi. Aditya Media. Yogyakarta


(63)

Ritonga, A. 2004. Statistika Terapan Untuk Penelitian. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Unversitas Indonesia. Jakarta

Soekartawi. 1999. Agribisnis Teori dan Aplikasinya. Raja Grafindo Persada. Jakarta

Soekartawi. 2000. Pengantar Agroindustri. PT. Raja Grafindo. Jakarta Sudiyono, A. 2004. Pemasaran Pertanian. UMM Press. Malang

Suprapto. 2006. Proses Pengolahan dan Nilai Tambah. Penebar Swadaya. Jakarta Suratiyah, K. 2006. Dasar Manajemen. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta Syamsulbahri. 1996. Bercocok Tanam Tanaman Perkebunan Tahunan. UGM

Press. Yogyakarta

Tim Karya Mandiri. 2010. Pedoman Budi Daya Tanaman Kopi. CV. Nuansa Aulia. Bandung.

Walpole, R.E. 1992. Pengantar Statistik Edisi ke-3. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Yusuf, M. 2007. Bahan Tesis Kajian Pemasaran dan Pengembangan Value

Added Product dengan Pemanfaatan Rajungan menjadi Produk Olahan.


(1)

Ouput, Input, Harga

Rendemen hasil pengolahan kopi Ateng berkisar antara 33,33 % artinya setiap 1 Kg kopi biji dibutuhkan buah kopi gelondong merah (cherry red) sebesar 3 Kg. Rata-rata produksi kopi gelondong yang menjadi bahan baku (input) adalah sebanyak 492,27 Kg yang dapat menghasilkan hasil produksi (output) sebanyak kopi biji sebesar 163,92 Kg, sehingga menghasilkan faktor konversi sebesar 0,333. Hal ini menunjukkan bahwa 1 Kg kopi gelondong merah (cherry red) akan menghasilkan 0,333 kopi biji. Proses pengolahan tersebut membutuhkan tenaga kerja sebanyak 3,53 HOK. Koefesien Tenaga kerja yang digunakan untuk memproduksi 1 Kg kopi biji adalah 0,00717 HOK.

Pendapatan

Bahan baku pengolahan biji kopi di daerah penelitian adalah kopi gelondong merah (cherry red) dengan harga rata-rata sebesar Rp. 7.000/Kg. Proses pengolahan kopi biji tersebut tidak menggunakan bahan tambahan karena prosesnya karena hanya dijemur dengan menggunakan matahari tanpa adanya bahan tambahan didaerah penelitian.

Nilai produk biji kopi adalah sebesar Rp.992/Kg. Nilai tersebut diperoleh dari hasil perkalian antara faktor konversi dengan harga produk sebesar Rp.24.000/Kg.

Dari tabel diatas dapat dijelaskan bahwa nilai tambah diperoleh dari hasil pengolahan kopi gelondong merah (cherry red) menjadi kopi biji adalah sebesar Rp.992/Kg. Nilai tambah tersebut diperoleh dari pengurangan nilai produk dengan bahan tambahan dan harga bahan baku. Sedangkan rasio nilai tambah kopi biji adalah sebesar 12,41%, artinya 12,41% dari nilai produk merupakan nilai tambah


(2)

yang diperoleh dari proses pengolahan kopi gelondong merah (cherry red) menjadi kopi biji.

Imbalan tenaga kerja langsung diperoleh dari hasil kali antara koefesien tenaga kerja dengan upah rerata yaitu sebesar Rp.501,4Kg dengan persentase terhadap nilai tambah sebesar 50,59%.

Keuntungan diperoleh dari besarnya nilai tambah dikurangi dengan besarnya imbalan tenaga kerja. Keuntungan yang diperoleh dari pengolahan kopi gelondong merah (cherry red) menjadi kopi biji adalah sebesar Rp.490/Kg dengan tingkat keuntungan sebesar 49,4%.

Balas Jasa Untuk Faktor Produksi

Margin diperoleh dari nilai produk dikurangi dengan harga bahan baku, maka marjin yang diperoleh dari pengolahan kopi gelondong merah (cherry red) menjadi kopi biji adalah sebesar Rp.992/Kg.

Pendapatan tenaga kerja langsung adalah dari hasil perbandingan antara imbalan tenaga kerja langsung dengan margin dikali dengan 100%, maka diperoleh pendapatan tenaga kerja langsung sebesar 50,59%.

Sumbangan input lain diperoleh dari sumbangan input lain dengan margin dikali 100%. Dalam proses pengolahan kopi gelondong merah (cherry red) menjadi biji kopi tidak menggunakan bahan tambahan lain maka sumbangan input lain yang diperoleh dari penelitian ini adalah nol.


(3)

Keuntungan pengusaha diperoleh dari perbandingan antara keuntungan dengan marjin dikali 100%. Keuntungan pengusaha yang diperoleh dalam proses pengolahan kopi gelondong merah (cherry red) menjadi kopi biji adalah sebesar 49,4%.


(4)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Ada perbedaan nyata antara pendapatan usahatani kopi Ateng yang dijual dalam bentuk gelondong merah (cherry red) dengan kopi biji, dimana pendapatan usahatani yang dijual dalam bentuk kopi biji lebih tinggi atau dua kali lebih besar dari pendapatan usahatani yang dijual dalam bentuk gelondong merah (cherry red).

2. Ada nilai tambah (value added) yang diperoleh petani yang menjual kopi dalam bentuk kopi biji, dimana diperoleh nilai tambah sebesar Rp.992/Kg.

6.2 Saran

1. Kepada Petani Kopi Ateng

Diharapkan untuk lebih memilih menjual kopi Ateng dalam bentuk kopi biji agar mendapat pendapatan dan nilai tambah yang lebih tinggi.

2. Kepada Pemerintah

Agar membantu petani kopi dalam meningkatkan kemampuan mengolah kopi, dengan memfasilitasi kegiatan pelatihan-pelatihan proses pengolahan serta bantuan peralatan pengolahan kopi.

3. Kepada Peneliti Selanjutnya

Agar meneliti alasan-alasan dan pertimbangan petani menjual kopi Ateng dalam bentuk gelondong merah (cherry red) dan meneliti hambatan-hambatan


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Aak. 2009. Budidaya Tanaman Kopi. Kanisius. Yogyakarta

Anonimous. 2011. Kopi Ateng Buat Kesengsem Pengopi Luar. http://m.republika.co.id/berita/ekonomi/11/02/04/162288/kopi-ateng-buat-kesengsem-pengopi-luar. Diakses tanggal 3 Januari 2015 pukul 21.00 WIB Anggraini, D. 2006. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Permintaan Ekspor Kopi

Indonesia dan Amerika Serikat. Tesis. Program Studi Ekonomi dan Pembangunan. Universitas Dipenogoro. Semarang

Badan Pusat Statistik Sumatera Utara. 2014. Sumatera Utara Dalam Angka. Medan

Badan Pusat Statistik Sumatera Utara. 2014. Simalungun Dalam Angka. Medan Budiman, H. 2008. Prospek Tinggi Bertanam Kopi. Pustaka Baru Press.

Yogyakarta

Hayami, Y. et al. 1987. Agrucultural Marketing and Processing in Uplan Java: a Perspectif From Sunda Village. GGPRT Bogor.

Hermanto. 1993. Ilmu Usaha Tani. Penebar Swadaya. Jakarta

Khairati, N. 2011. Analisis Perbedaan Pendapatan Penjualan Kopi Arabika dalam Bentuk Buah Panen (cherry red) dan Kopi Biji di Desa Tanjung Beringin Kecamatan Sumbul Kabupaten Dairi. Skripsi. Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara. Medan

Najiyati dan Danarti, 2004. Kopi Budidaya dan Penanganan Lepas Panen. Edisi Revisi. Penebar Swadaya. Jakarta.

Panggabean, E. 2011. Buku Pintar Kopi. Agromedia Pustaka. Jakarta

Raharjo, P. 2012. Paduan Budidaya dan Pengolahan Kopi Arabika dan Robusta. Penebar Swadaya. Jakarta

Rasli, A dan Sukri, A. 2005. Pengurusan Teknologi. University Teknologi Malaysia. Malaysia

Retnadari dan Tjokrowinoto. 1991. Kopi, Kajian Sosial Ekonomi. Aditya Media. Yogyakarta


(6)

Ritonga, A. 2004. Statistika Terapan Untuk Penelitian. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Unversitas Indonesia. Jakarta

Soekartawi. 1999. Agribisnis Teori dan Aplikasinya. Raja Grafindo Persada. Jakarta

Soekartawi. 2000. Pengantar Agroindustri. PT. Raja Grafindo. Jakarta Sudiyono, A. 2004. Pemasaran Pertanian. UMM Press. Malang

Suprapto. 2006. Proses Pengolahan dan Nilai Tambah. Penebar Swadaya. Jakarta Suratiyah, K. 2006. Dasar Manajemen. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta Syamsulbahri. 1996. Bercocok Tanam Tanaman Perkebunan Tahunan. UGM

Press. Yogyakarta

Tim Karya Mandiri. 2010. Pedoman Budi Daya Tanaman Kopi. CV. Nuansa Aulia. Bandung.

Walpole, R.E. 1992. Pengantar Statistik Edisi ke-3. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Yusuf, M. 2007. Bahan Tesis Kajian Pemasaran dan Pengembangan Value Added Product dengan Pemanfaatan Rajungan menjadi Produk Olahan. Jakarta