Kelentingan Nafkah Rumahtangga Petani Di Wilayah Rentan Banjir: Studi Kasus Dua Desa Di Kabupaten Kudus

KELENTINGAN NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI DI WILAYAH
RENTAN BANJIR : STUDI KASUS DUA DESA DI KABUPATEN KUDUS

ADITYA CAHYA SAPUTRA

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

ii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa proposal skripsi berjudul “Kelentingan
Nafkah Rumahtangga Petani di Wilayah Rentan Banjir: Studi Kasus Dua
Desa di Kabupaten Kudus” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan

maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2016

Aditya Cahya Saputra
NIM I34120002

iii

ABSTRAK
ADITYA CAHYA SAPUTRA. Kelentingan Nafkah Rumahtangga Petani di
Wilayah Rentan Banjir: Studi Kasus Dua Desa di Kabupaten Kudus. Dibimbing
oleh ARYA HADI DHARMAWAN
Krisis ekologi memberi dampak secara langsung pada perubahan strategi
nafkah rumahtangga petani. Salah satunya bencana banjir yang selalu menjadi
bencana musiman bagi rumahtangga petani pada musim penghujan. Lahan
pertanian yang menjadi sumber nafkah usahatani mereka terendam banjir dan

tidak bisa digunakan. Hal ini memaksa rumahtangga petani harus memiliki
strategi lain untuk mempertahankan kehidupannya dengan memanfaatkan modalmodal nafkah yang mereka miliki. Pemanfaatan modal-modal nafkah yang
maksimal oleh petani berpengaruh pada strategi nafkah baru yang bisa diciptakan
untuk meminimalisasi kerentanan nafkah rumahtangga petani. Dengan kata lain,
rumahtangga petani yang mampu memanfaatkan modal-modal nafkah akan
membawa penguatan pada kelentingan nafkah dan mengurangi kerentanan nafkah
rumahtangga petani dalam menghadapi krisis ekologi yang terjadi.
Kata kunci: strategi nafkah, modal nafkah, kerentanan nafkah

ABSTRACT
ADITYA CAHYA SAPUTRA. The Livelihood Resilience of Farmer Households
in Flooded Area : Case Study of Two Villages of District of Kudus. Supervised by
ARYA HADI DHARMAWAN
The ecological crisis is directly impacting on farm household livelihood
strategy changes. The direct impact is the economic disaster that hits farmer
households in the rainy season. Agricultural lands as livelihood source of them are
flooded and stay unused. In this case, the flood forces the farm households to have
another strategy to sustain livelihood by utilizing the livelihood assets that they
have. The utilization of livelihood assets by farmers optimally effected on new
livelihood strategies to minimize the livelihood vulnerability of farmer

households. In other words, farmer households utilize livelihood assets to
strengthen the livelihood resilience and reduce the vulnerability to ecological
crisis that occured.
Keywords: livelihood strategy, livelihood assets, livelihood vulnerability

iv

KELENTINGAN NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI DI WILAYAH
RENTAN BANJIR : STUDI KASUS DUA DESA DI KABUPATEN KUDUS

ADITYA CAHYA SAPUTRA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2016

vi

PRAKATA
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan
karunianya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan
judul “Kelentingan Nafkah Rumahtangga Petani di Wilayah Rentan Banjir :
Studi Kasus Dua Desa di Kabupaten Kudus” ini dengan baik. Tulisan ini
memaparkan konsep kelentingan nafkah yang dialami rumahtangga petani dalam
menghadapi krisis banjir melalui pendekatan kerentanan nafkah dengan
membandingkan desa yang terdampak banjir dengan desa yang tidak terdampak
banjir dalam wilayah satu kecamatan.
Penulis menyadari bahwa studi pustaka ini tidak dapat terselesaikan dengan
baik tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan rasa terimaksih kepada
1. Bapak Dr.Ir. Arya Hadi Dharmawan, MScAgr selaku dosen pembimbing
yang telah banyak meluangkan waktunya untuk arahan, masukan, kritik dan
saran, serta sabar dalam membimbing penulis selama penulisan studi

pustaka ini,
2. Ayahanda Kasmanto Setyo Wibowo dan Ibunda Endang Megawati, adik
tercintai Nabella Dwi Ayu Ramadhani sebagai sumber motivasi dan telah
mendukung penulis dalam menempuh pendidikan menjadi mahasiswa
Departemen Sains Komunkasi dan Pengembangan Masyarakat,
3. Semua dosen di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan akademisi
dan ilmu kehidupan kepada penulis selama studi,
4. Teman sekelompok bimbingan skripsi Egi Nurridwan dan Abednego
Geovanni yang telah memberikan dukungan dan masukan selama menyusun
studi pustaka,
5. Teman-teman seperjuangan SKPM 49 lainnya yang telah memberikan
dukungan dan keceriaan selama melewati masa kuliah di SKPM IPB,
6. Keluarga Kudus Bogor Menara Kota, yang telah memberikan banyak
pengalaman organisasi dan dukungan kepada penulis. Serta telah menjadi
keluarga terdekat selama menempuh pendidikan di IPB.
7. Teman-teman Rumah Kepemimpinan PPSDMS Bogor yang menjadi
sumber inspirasi untuk selalu melakukan perbaikan diri dan peningkatkan
kapasitas kepemimpinan dalam upaya mewujudkan kemajuan bagi bangsa
dan negara di masa mendatang.

Akhirnya penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi
penulis dan pembaca dalam memahami lebih jauh tentang pengaruh krisis ekologi
terhadap strategi nafkah dan kelentingan nafkah rumahtangga petani. Kritik dan
saran sangat diharapkan dari semua pihak sehingga dapat membangun ke arah
yang lebih baik.
Bogor, Juni 2016

Aditya Cahya Saputra
NIM I34120002

vii

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

ix

DAFTAR GAMBAR


xi

DAFTAR LAMPIRAN

xi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Masalah Penelitian

2

Tujuan Penelitian


4

Kegunaan Penelitian

4

PENDEKATAN TEORITIS

7

Tinjauan Pustaka

7

Krisis Ekologi

7

Konsep Nafkah


7

Rumahtangga Petani

9

Kelentingan Nafkah

9

Kerentanan Nafkah

10

Indeks Kerentanan Nafkah

11

Kerangka Pemikiran


12

Hipotesis Penelitian

14

Definisi Operasional

15

METODE PENELITIAN

19

Lokasi dan Waktu Penelitian

19

Pendekatan Penelitian


19

Teknik Pengumpulan Data

19

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

21

GAMBARAN UMUM WILAYAH

23

Kondisi Geografis

23

Kondisi Sosial

24

Kondisi Ekonomi

26

STRUKTUR NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI
Struktur Pendapatan Rumahtangga Petani di Kedua Wilayah

29
29

viii

Struktur Pengeluaran Rumahtangga Petani di Dua Wilayah

37

Struktur Saving Capacity Rumahtangga Petani di Dua Wilayah

39

STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI

43

Bentuk-bentuk Strategi Nafkah di Wilayah Banjir

43

Bentuk-bentuk Strategi Nafkah di Wilayah Tidak Banjir

49

PENGARUH MODAL NAFKAH TERHADAP KERENTANAN NAFKAH
RUMAHTANGGA PETANI

53

Modal Nafkah Rumahtangga Petani di Kedua Wilayah

54

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kerentanan Nafkah di Wilayah Banjir

62

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kerentanan Nafkah di Wilayah Tidak Banjir 64
Pengaruh Modal Nafkah terhadap Kerentanan Nafkah Rumahtangga Petani di
Kedua Wilayah
INDEKS KERENTANAN NAFKAH

71
85

Analisis Perhitungan Livelihood Vulnerability Index di Wilayah Banjir

85

Analisis Perhitungan Livelihood Vulnerability Index di Wilayah Tidak Banjir

88

KONSEPTUALISASI GAGASAN

93

SIMPULAN DAN SARAN

95

DAFTAR PUSTAKA

97

LAMPIRAN

101

RIWAYAT HIDUP

121

ix

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

17.

18.

Definisi operasional variabel penelitian
Teknik pengumpulan data
Faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kerentanan nafkah rumahtangga
petani di wilayah banjir, Desa Wonosoco tahun 2014-2015
Faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kerentanan nafkah rumahtangga
petani di wilayah tidak banjir, Desa Kalirejo tahun 2014-2015
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kepemilikan aset di
kedua wilayah, Desa Wonosoco dan Desa Kalirejo tahun 2015
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat modal finansial di kedua
wilayah, Desa Wonosoco dan Desa Kalirejo tahun 2015
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat penguasaan lahan di
kedua wilayah, Desa Wonosoco dan Desa Kalirejo tahun 2015
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kekuatan jaringan di
kedua wilayah, Desa Wonosoco dan Desa Kalirejo tahun 2015
Jumlah dan persentase responden menurut ketrampilan rumahtangga di
kedua wilayah, Desa Wonosoco dan Desa Kalirejo tahun 2015
Komponen-komponen modal nafkah yang memengaruhi kerentanan nafkah
rumahtangga petani di kedua wilayah, Desa Wonosoco dan Desa Kalirejo
tahun 2014-2015
Komponen-komponen modal nafkah yang memengaruhi kerentanan nafkah
rumahtangga petani lapisan bawah di kedua wilayah, Desa Wonosoco dan
Desa Kalirejo tahun 2014-2015
Komponen-komponen modal nafkah yang memengaruhi kerentanan nafkah
rumahtangga petani lapisan menengah di kedua wilayah, Desa Wonosoco
dan Desa Kalirejo tahun 2014-2015
Komponen-komponen modal nafkah yang memengaruhi kerentanan nafkah
rumahtangga petani lapisan atas di kedua wilayah, Desa Wonosoco dan
Desa Kalirejo tahun 2014-2015
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kerentanan dan tingkat
luas penguasaan lahan rumahtangga petani di kawasan banjir, Desa
Wonosoco tahun 2014-2015
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kerentanan dan tingkat
penguasaan lahan rumahtangga petani di kawasan tidak banjir, Desa
Kalirejo tahun 2014-2015
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kerentanan dan tingkat
kekuatan jaringan rumahtangga petani di kawasan banjir, Desa Wonosoco
tahun 2014-2015
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kerentanan dan tingkat
kekuatan jaringan rumahtangga petani di kawasan tidak banjir, Desa
Kalirejo tahun 2014-2015
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kerentanan dan tingkat
tabungan rumahtangga petani di kawasan banjir, Desa Wonosoco tahun
2014-2015

15
20
62
65
67
68
69
70
70

72

74

75

76

77

77

78

79

80

x

19. Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kerentanan dan tingkat
tabungan rumahtangga petani di kawasan tidak banjir, Desa Kalirejo tahun
2014-2015
81
20. Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kerentanan dan tingkat
kepemilikan aset rumahtangga petani di kawasan banjir, Desa Wonosoco
tahun 2014-2015
82
21. Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kerentanan dan tingkat
kepemilikan aset rumahtangga petani di kawasan tidak banjir, Desa Kalirejo
tahun 2014-2015
82
22. Livelihood Vulnerability Index rumahtangga petani di wilayah banjir, Desa
Wonosoco 2015
86
23. Livelihood Vulnerability Index rumahtangga petani di wilayah tidak banjir,
Desa Kalirejo 2015
89
24. Perbandingan Livelihood Vulnerability Index rumahtangga petani di kedua
wilayah, Desa Wonosoco dan Desa Kalirejo tahun 2015
91

xi

DAFTAR GAMBAR
1.

Kerangka konseptual pendekatan penilaian kerentanan partisipatif berbasis
komunitas dan keterlibatan stakeholder (Smit & Wandel 2006)
2. Kerangka pemikiran
3. Skema penentuan responden
4. Struktur nafkah rumahtangga petani rata-rata per tahun menurut lapisan di
wilayah banjir, Desa Wonosoco tahun 2014-2015
5. Struktur nafkah rumahtangga petani rata-rata per tahun menurut lapisan di
wilayah tidak banjir, Desa Kalirejo tahun 2014-2015
6. Komposisi pendapatan rata-rata rumahtangga petani menurut lapisan di
wilayah banjir, Desa Wonosoco tahun 2014-2015
7. Komposisi pendapatan rata-rata rumahtangga petani menurut lapisan di
wilayah tidak banjir, Desa Kalirejo tahun 2014-2015
8. Struktur pengeluaran rumahtangga petani di wilayah banjir, Desa Wonosoco
tahun 2014-2015
9. Struktur pengeluaran rumahtangga petani di wilayah tidak banjir, Desa
Kalirejo tahun 2014-2015
10. Struktur saving capacity rumahtangga petani di wilayah banjir, Desa
Wonosoco tahun 2014-2015
11. Struktur saving capacity rumahtangga petani di wilayah tidak banjir, Desa
Kalirejo tahun 2014-2015
12. Strategi berhutang rumahtangga petani di wilayah banjir

11
14
20
30
31
32
32
37
38
39
40
44

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Peta Lokasi
Jadwal Kegiatan Penelitian
Hasil Uji Regresi Linier
Kuesioner
Panduan Wawancara Mendalam
Kerangka Sampling
Dokumentasi

103
104
105
109
117
118
120

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Krisis ekologi merupakan tantangan bagi umat manusia dalam perannya
memanfaatkan sumberdaya alam. Menurut Dharmawan (2007), krisis ekologi
dapat dimaknai sebagai suatu keadaan dimana sistem ekologi mengalami
ketidakstabilan kesetimbangan pertukaran energi-materi dan informasi, yang
mengakibatkan ketidakseimbangan pada fungsi-fungsi distribusi serta akumulasi
energi-materi antara satu organisme dengan organisme lain dan alamlingkungannya, sementara itu organisme (manusia) dengan teknologi, perilaku
dan organisasi sosialnya belum mampu melakukan penyesuaian yang berarti
dalam mengantisipasi atau merespons guncangan tersebut. Krisis ekologi menjadi
momok bagi kelangsungan hidup umat manusia dalam rangka mempertahankan
kehidupannya.
Krisis ekologi memiliki hubungan yang erat antara manusia, kebudayaan,
dan lingkungannya. Manusia sering dianggap sebagai aktor utama penyebab
terjadinya krisis ekologi. Sebagian besar aktivitas manusia dalam usaha
memenuhi kebutuhan ekonominya tidak berorientasi pada keseimbangan alam
sehingga terjadi pemanfaatan sumberdaya yang tidak sustainable. Selain itu,
faktor budaya juga berperan penting dalam upaya pelestarian ekologi berbasis
masyarakat. Pengelolaan dan pemanfaatan alam berbasis masyarakat menjadi
salah satu solusi dalam mengatasi krisis ekologi.
Rumahtangga petani merupakan pihak yang paling terdampak dengan
terjadinya krisis ekologi. Rumahtangga petani menurut Sensus Pertanian 1993
(BPS 1994) dalam Turasih (2012) adalah rumahtangga yang sekurang-kurangnya
satu anggota rumahtangganya melakukan kegiatan bertani atau berkebun,
menanam tanaman kayu-kayuan, beternak ikan di kolam, karamba, maupun
tambak, menjadi nelayan, melakukan perburuan atau penangkapan satwa liar,
mengusahakan ternak/unggas, atau berusaha dalam jasa pertanian dengan tujuan
sebagian atau seluruh hasilnya untuk dijual guna memperoleh
pendapatan/keuntungan atas resiko sendiri. Rumahtangga petani bergantung pada
sumberdaya alam (lahan) dan iklim sebagai faktor utama dalam strategi nafkah
mereka. Adanya krisis ekologi mengganggu dan menghambat secara langsung
terhadap upaya-upaya rumahtangga petani untuk memanfaatkan sumber-sumber
nafkah yang tersedia secara maksimal.
Sebagian besar daerah-daerah di Indonesia merupakan daerah rawan
bencana. Banjir, tanah longsor, gempa bumi, dan lain-lain merupakan bencana
paling sering terjadi di Indonesia. Statistik dari BNPB (2014) menyebutkan bahwa
bencana banjir menempati posisi pertama (31,3%) dari total keseluruhan bencana
yang terjadi di Indonesia pada tahun 2014. Sedangkan angin puting beliung dan
tanah longsor menempati posisi kedua (19,4%) dan posisi ketiga (16,3%) setelah
banjir. Sebagian besar banjir yang terjadi di Indonesia merupakan akibat dari
kerusakan ekologis hutan dan tidak berfungsinya wilayah serapan air karena

2

dampak krisis ekologis yang terjadi secara akumulatif di wilayah hutan pedesaan
dan ruang hijau di perkotaan. Akibat dari krisis ekologi berupa banjir tersebut
memengaruhi kerentanan terhadap kebutuhan lahan (sawah) sebagai sumber
nafkah utama rumahtangga petani.
Kelentingan nafkah menjadi perhatian khusus dalam bidang studi nafkah
berkaitan krisis ekologi berupa banjir dan bencana alam lain yang secara langsung
memengaruhi keberlangsungan strategi nafkah rumahtangga petani. Upaya untuk
mengetahui kelentingan rumahtangga petani dalam menghadapi dampak bencana
dapat dianalisis dengan mengukur tingkat kelentingan nafkah rumahtangga petani.
Speranza et al. (2014) berpendapat bahwa kelentingan nafkah menyoroti cara
mempertahankan nafkah walaupun mengalami perubahan, pendekatan terhadap
masyarakat, perbedaan dalam mengatasi ancaman, dan untuk mengurangi
kemiskinan, serta memperbaiki kapasitas adaptif sebagai pusat analisis.
Pada sisi yang lain, krisis ekologi secara langsung juga memengaruhi
kerentanan nafkah rumahtangga petani. Rumahtangga petani yang tidak memiliki
kesiapan dan modal yang kuat sangat rentan terhadap gangguan yang berpotensi
menghambat aktifitas nafkah rumahtangga petani dalam memenuhi kebutuhan
kehidupannya. Kajian ini menjadi penting dalam rangka melihat sudut pandang
lain dampak krisis ekologi terhadap eksistensi rumahtangga petani melalui
pendekatan kerentanan nafkah.
Berdasarkan logika pemikiran masyarakat umum diketahui bahwa
rumahtangga dengan status sosial kaya mempunyai kelentingan yang tinggi dan
kerentanan yang rendah. Sedangkan rumahtangga dengan status sosial miskin
mempunyai kelentingan yang rendah dan kerentanan yang tinggi. Hal ini terjadi
pula pada rumahtangga petani yang sangat bergantung pada sumberdaya alam
yang penuh ketidakpastian dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
mereka. Aktifitas nafkah rumahtangga petani ditentukan oleh kondisi sumberdaya
alam yang menjadi sumber nafkah mereka. Studi penelitian Azzahra (2015)
menyatakan bahwa rumahtangga petani yang terdampak banjir memiliki
kelentingan yang lebih tinggi dan kerentanan lebih rendah dibandingkan dengan
rumahtangga petani yang tidak terdampak banjir. Oleh karena itu, menjadi
bagian penting dalam kajian studi nafkah untuk menganalisis resiliensi
rumahtangga petani di wilayah rentan banjir dengan mengukur tingkat
kerentanan nafkah rumahtangga petani tersebut. Livelihood Vulnerability
Index (LVI) atau Indeks Kerentanan Nafkah menjadi salah satu cara yang dapat
digunakan berdasarkan kesepakatan yang dihasilkan dalam forum IPCC
(Intergovernmental Panel on Climate Change) untuk mengetahui kerentanan
suatu masyarakat melalui pengukuran yang matematis dan terukur.
Masalah Penelitian
Krisis ekologi yang bermuara pada terjadinya bencana alam, seperti banjir,
tanah longsor, dan lain-lain membawa perubahan pada strategi nafkah yang akan
dihadapi rumahtangga petani. Rumahtangga petani yang memiliki kesiapan dan
ketahanan akan mampu menghadapi krisis dengan memanfaatkan livelihood
assets atau modal nafkah yang mereka miliki. Namun rumahtangga petani yang

3

tidak mempunyai kesiapan dan ketahanan yang kuat berpotensi menghadapi
kerentanan nafkah.
Bencana banjir yang sering terjadi di Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus
membawa dampak pada strategi nafkah rumahtangga petani di daerah tersebut.
Bencana banjir merendam sawah produktif rumahtangga petani sehingga
berakibat pada hilangnya sumber mata pencaharian mereka untuk sementara
waktu karena kondisi lahan yang tidak bisa digunakan. Lahan pertanian yang
menjadi sumber mata pencaharian rumahtangga petani rusak diterjang banjir dan
tidak bisa dimanfaatkan. Sedangkan rumahtangga petani harus tetap memiliki
sumber matapencaharian untuk terus bertahan hidup. Oleh karena itu penting
untuk mengetahui apa strategi nafkah rumahtangga petani dalam
menghadapi krisis banjir.
Hampir setiap tahun pada musim hujan, Kecamatan Undaan memang
menjadi langganan banjir sejak dulu. Kondisi geografis yang merupakan dataran
rendah dengan dikelilingi banyak aliran sungai menjadikan daerah ini sangat
rentan terkena bencana banjir pada musim penghujan. Banyak persawahan
mengalami kerusakan yang parah karena terendam oleh banjir dan menggagalkan
budidaya pertanian yang telah diusahakan rumahtangga petani. Hal ini
mengancam keberlangsungan dan keberlanjutan nafkah dalam memenuhi
kebutuhan sehari-hari rumahtangga petani.
Sebagai contoh kasus pada penelitian Wulan (2014) di Desa Ciganjeng,
Kabupaten Pangandaran yang rutin mengalami bencana banjir dan kekeringan
setiap tahun. Hal ini memengaruhi strategi nafkah rumahtangga petani dan tingkat
resiliensi masyarakat Desa Ciganjeng dalam menghadapi krisis yang melanda
setiap tahun tersebut. Hasil penelitian Wulan (2014) menunjukkan bahwa semua
lapisan rumahtangga petani memiliki porsi pendapatan sektor non pertanian yang
lebih tinggi dibanding pendapatan dari sektor pertanian di Desa Ciganjeng. Hal ini
dipengaruhi dampak dari kondisi Desa Ciganjeng yang rutin mengalami banjir
dan kekeringan tiap tahunnya. Hal ini berpengaruh pula terhadap strategi nafkah
yang diusahakan oleh petani. Bentuk-bentuk penerapan strategi nafkah yang
digunakan rumahtangga petani Desa Ciganjeng, diantaranya strategi alokasi
sumberdaya manusia, strategi pola nafkah ganda, strategi migrasi, strategi
intensifikasi pertanian, strategi berhutang, dan strategi investasi non pertanian.
Beragamnya strategi nafkah yang diusahakan rumahtangga petani Desa Ciganjeng
berdampak pada tingkat kelentingan nafkah yang tinggi. Hal ini terjadi karena
rumahtangga petani mempunyai sumber-sumber nafkah lain selain sektor on farm
yang mampu menopang kehidupan dan penghidupan rumahtangga petani seharihari.
Kondisi di Desa Ciganjeng mirip dengan kondisi yang terjadi pada sebagian
besar desa-desa di Kecamatan Undaan yang terendam banjir pada musim
penghujan hampir setiap tahun. Bencana banjir berpengaruh pada strategi nafkah
rumahtangga petani dalam mengusahakan alternatif untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-harinya selama krisis melalui livelihood assets (modal nafkah) yang
mereka miliki. Modal nafkah yang dimiliki rumahtangga petani mampu
mendukung peningkatkan kelentingan nafkah rumahtangga petani.
Bencana alam akibat krisis ekologi berpengaruh secara langsung maupun
tidak langsung terhadap strategi nafkah rumahtangga petani. Dalam kasus

4

Kecamatan Undaan, banjir yang sering terjadi setiap tahun akan membawa
kerentanan nafkah bagi setiap rumahtangga petani. Lahan persawahan dan hasil
usahatani sebagai sumber nafkah mereka terendam banjir sehingga memberi
ancaman penundaan musim tanam dan gagal panen yang diakibatkan gangguan
banjir. Modal nafkah yang dimiliki rumahtangga petani melalui modal alam,
modal fisik, modal finansial, modal sosial, dan modal manusia mempunyai peran
penting dalam memengaruhi tinggi rendahnya tingkat kerentanan nafkah
rumahtangga petani. Sebagai contoh pada penelitian Azzahra (2015) bahwasanya
modal sosial melalui kekuatan jaringan dan kepercayaan yang tinggi berdampak
pada tingkat kerentanan nafkah yang rendah, sedangkan pada penelitian Ginting
(2015) modal manusia melalui tingkat pendidikan dan ketrampilan yang tinggi
berdampak pada tingkat kerentanan nafkah rumahtangga petani yang rendah. Oleh
karena itu penting untuk mengetahui seberapa jauh modal nafkah
rumahtangga petani memengaruhi kerentanan nafkah rumahtangga petani.
Selain itu penelitian untuk menganalisis tingkat kerentanan nafkah
rumahtangga petani dalam menghadapi krisis ekologi ini menjadi suatu kajian
yang penting. Indeks Kerentanan Nafkah (Livelihood Vulnerability Index) dapat
menjadi rujukan untuk mengukur tingkat kerentanan nafkah rumahtangga petani
dalam rangka mencari solusi, kebijakan, dan tindakan yang tepat untuk
menyelamatkan rumahtangga petani dari kerentanan nafkah. Oleh karena
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar Indeks Kerentanan
Nafkah (Livelihood Vulnerability Index) yang dialami rumahtangga petani.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian adalah
sebagai berikut :
1.
Mengidentifikasi strategi nafkah rumahtangga petani dalam menghadapi
krisis banjir
2.
Menganalisis seberapa jauh modal nafkah rumahtangga petani memengaruhi
tingkat kerentanan nafkah rumahtangga petani
3.
Menganalisis Indeks Kerentanan Nafkah (Livelihood Vulnerability Index)
rumahtangga petani
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan kegunaan bagi
para stakeholder yang terkait mengenai kelentingan nafkah rumahtangga petani di
wilayah rentan banjir Kecamatan Undaan :
1.

Masyarakat
Penelitian diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan kepada
rumahtangga petani mengenai strategi nafkah dan tingkat kelentingan
nafkah mereka dalam menghadapi krisis yang sering terjadi dalam usaha
budidaya tani mereka. Selain itu, penelitian diharapkan memberikan solusi
dan manfaat kepada masyarakat khususnya rumahtangga petani dalam
menentukan keputusan yang tepat berkaitan strategi nafkah alternatif dalam
menghadapi krisis

5

2.

3.

Pemerintah
Penelitian diharapkan menjadi referensi dan landasan dalam merumuskan
kebijakan dan tindakan yang tepat dalam membantu rumahtangga petani
yang mengalami krisis terutama bagi rumahtangga petani yang memiliki
tingkat kelentingan nafkah yang rendah
Peneliti dan akademisi
Penelitian diharapkan menambah khasanah pengetahuan mengenai resiliensi
nafkah di daerah rentan bencana dan dapat menjadi sumber informasi
kembali untuk melakukan penelitian-penelitian selanjutnya. Penelitian juga
menjadi akumulasi kajian ilmu mengenai resiliensi nafkah dalam upaya
mengadvokasi pemerintah dan pula berkontribusi langsung kepada
masyarakat sebagai peneliti dan akademisi.

PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Krisis Ekologi
Menurut Dharmawan (2007) krisis ekologi dapat dimaknai sebagai suatu
keadaan dimana sistem ekologi mengalami ketidakstabilan kesetimbangan
pertukaran energi-materi dan informasi, yang mengakibatkan ketidakseimbangan
pada fungsi-fungsi distribusi serta akumulasi energi-materi antara satu organisme
dengan organisme lain dan alam-lingkungannya. Sementara itu organisme
(manusia) dengan teknologi, perilaku dan organisasi sosialnya belum mampu
melakukan penyesuaian yang berarti dalam mengantisipasi atau merespons
guncangan tersebut. Selanjutnya Raharja (2011) dalam Wulan (2014) menjelaskan
bahwa krisis ekologi merupakan krisis hubungan antar manusia dan
kebudayaannya dengan lingkungan hidup tempat mereka berlindung, bermukim,
dan mengeksploitasi sumberdaya alam. Krisis ekologi telah menjadi realita
kontemporer yang melebihi batas toleransi dan kemampuan adaptasi lingkungan.
Penelitian yang dilakukan Wulan (2014) di Desa Ciganjeng, Kecamatan
Padaherang, Kabupaten Pangandaran menyimpulkan bahwasanya krisis ekologi di
Desa Ciganjeng, yaitu banjir dan kekeringan memengaruhi strategi nafkah
rumahtangga petani. Krisis ekologi memberi dampak secara langsung terhadap
perubahan strategi nafkah. Berbeda kasus dengan penelitian Kuswijayanti, et. al
(2007), krisis ekologi yang terjadi di wilayah Gunung Merapi pasca penetapan
sebagai Taman Nasional memengaruhi strategi nafkah masyarakat lokal yang
dipicu oleh aktivitas tambang pasir dan wisata yang dilakukan oleh komunitas
luar. Krisis ekologi era sekarang sudah menjadi isu publik yang menyedot
perhatian dunia pada masalah keberlanjutan lingkungan dalam memenuhi
kebutuhan kehidupan manusia di masa depan.
Konsep Nafkah
a)
Definisi Nafkah
Dalam sosiologi nafkah, Dharmawan (2007) memberikan penjelasan
bahwa livelihood memiliki pengertian yang lebih luas daripada sekedar means of
living yang bermakna sempit mata pencaharian. Pengertiannya lebih mengarah
pada livelihood strategy (strategi penghidupan) daripada means of living strategy
(strategi cara hidup). Strategi nafkah merupakan taktik dan aksi yang dibangun
oleh individu maupun kelompok dalam rangka mempertahankan kehidupan
mereka dengan tetap memperhatikan eksistensi infrastruktur sosial, struktur sosial,
dan sistem nilai budaya yang berlaku.
b)

Strategi Nafkah
Menurut Ellis (2000), konsep strategi nafkah ialah mengenai penghidupan
yang terdiri dari aset (modal fisik, modal alam, modal, manusia, modal sosial, dan
modal finansial), aktifitas, dan akses (yang dimediasi oleh kelembagaan dan

8

hubungan sosial) yang bersama-sama menentukan kehidupan individu atau
rumahtangga. Ellis (2000) juga menyatakan bahwa tiga klasifikasi sumber nafkah
mengacu pada tiga sektor, yaitu sektor farm income, sektor off farm income, dan
sektor non farm income. Sebagai contoh pola penguasaan lahan di Desa
Cipeuteuy, Kabupaten Sukabumi mengalami dampak perluasan wilayah hutan
konservasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Kecenderungan yang terjadi
adalah perubahan strategi nafkah dari sektor pertanian menuju sektor non
pertanian, seperti menjadi pedagang, tukang ojek, buruh bangunan, dan lain-lain.
Perbandingan kontribusi sektor pertanian dan non pertanian terhadap pendapatan
rata-rata rumahtangga petani menunjukkan angka yang hampir seimbang. Sektor
pertanian menyumbang kontribusi sebesar 57%, sedangkan sektor non pertanian
menyumbang kontribusi sebesar 43%. Hal ini dipengaruhi ketidakjelasan
penguasaan dan pemanfaatan lahan di sekitar wilayah hutan konservasi yang
menyebabkan petani enggan untuk mengakses dan memanfaatkan lahan hutan
sehingga berpengaruh pada strategi nafkah mereka.
Scoones (1998) dalam Ginting (2015) mengatakan bentuk-bentuk strategi
nafkah, dintaranya adalah intensifikasi pertanian (lebih banyak output per satuan
luas melalui investasi modal atau peningkatan penyerapan tenaga kerja),
ekstensifikasi (lebih banyak mengusahakan lahan untuk ditanami/perluasan lahan
untuk kepentingan peningkatan produksi), diversifikasi (mengusahakan strategi
nafkah ganda untuk menghasilkan pendapatan), dan migrasi (pindah dan mencari
mata pencaharian, baik sementara maupun permanen di tempat lain). Menurut
Ellis (2000) dalam Ginting (2015) terdapat tiga sumber nafkah atau struktur
nafkah yaitu on farm income, off farm income, dan non farm income.
c)

Modal Nafkah

Menurut Ellis (2000) terdapat lima modal sebagai livelihood assets yaitu
modal alam, modal fisik, modal manusia, modal sosial, dan modal finansial.
Modal alam merujuk pada sumberdaya alam (tanah, air, barang tambang) yang
digunakan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Modal fisik merujuk
pada aset-aset yang dibawa ke dalam ekstensi proses produksi ekonomi, seperti
alat-alat, mesin, saluran irigasi, dan lain-lain. Modal manusia merujuk pada
eksistensi sumberdaya manusia melalui tingkat pendidikan dan status kesehatan
dalam populasi. Modal sosial merujuk jaringan sosial dan kelembagaan dimana
orang terlibat dan berpartisipasi untuk memberui dukungan pada kehidupan
mereka. Sedangkan modal finansial merujuk pada persediaan uang tunai dan
kemudahan kredit untuk diakses masyarakat dalam mendukung kehidupan
mereka.
Dapat diketahui berdasarkan penelitian Azzahra (2015) bahwa semakin
tinggi modal nafkah rumahtangga petani berbanding lurus dengan tingkat
resiliensi yang terjadi. Rumahtangga petani di wilayah tidak terdampak banjir
memiliki modal sosial, modal fisik, modal alam lebih tinggi dibanding
rumahtangga petani di wilayah terdampak banjir. Sedangkan rumahtangga petani
di wilayah terdampak banjir memiliki modal manusia lebih tinggi dibanding

9

rumahtangga petani di wilayah tidak terdampak banjir. Modal sosial yang dimiliki
kedua komunitas menunjukkan sama-sama tinggi. Sedangkan modal finansial
yang dimiliki kedua komunitas menunjukkan sama rendah. Dengan demikian
tingkat resiliensi rumahtangga petani di wilayah tidak terdampak banjir lebih
tinggi dibanding rumahtangga petani di wilayah terdampak banjir.
Rumahtangga Petani
Menurut Purnomo (2006) menjelaskan bahwa rumahtangga merupakan
lembaga dasar yang melakukan pengaturan konsumsi dan produksi, alokasi tenaga
kerja dan sumberdaya sebagai upaya memenuhi kebutuhan hidup anggotanya.
Rumahtangga merupakan unit sosial yang mengikat anggotanya dalam kesatuan
sosial dan ekonomi dengan menjalankan strategi nafkah sebagai upaya
mempertahankan kehidupannya. Rumahtangga bisa berarti hubungan berdasarkan
ikatan darah maupun hubungan yang tidak berdasarkan ikatan darah.
Menurut Shanin (1966) dalam Widiyanto et al. (2010) mencirikan petani
dengan beberapa karakteristik, yaitu 1) ciri-ciri ekonomi petani ditentukan oleh
keterkaitan petani dengan lahan dan karakteristik produksi pertanian yang khas, 2)
usahatani keluarga adalah unit dasar dari kepemilikan petani, produksi, konsumsi,
dan kehidupan sosial, 3) tidak terlalu memperhatikan spesialisasi kerja, 4) budaya
tradisional petani sangat berkaitan dengan kehidupan masyarakat desa, dan 5)
didominasi oleh pihak luar melalui land tenure, penyalahgunaan dalam kekuatan
pasar. Basis ekonomi petani dikelola pada unit rumahtangga dan komunitas
berbasis kekerabatan.
Rumahtangga petani menurut Sensus Pertanian 1993 (BPS 1994) dalam
Turasih (2012) adalah rumahtangga yang sekurang-kurangnya satu anggota
rumahtangganya melakukan kegiatan bertani atau berkebun, menanam tanaman
kayu-kayuan, beternak ikan di kolam, karamba, maupun tambak, menjadi nelayan,
melakukan perburuan atau penangkapan satwa liar, mengusahakan ternak/unggas,
atau berusaha dalam jasa pertanian dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya
untuk dijual guna memperoleh pendapatan/keuntungan atas resiko sendiri.
Menurut Nakajima (1986) dalam Wulan (2014) rumahtangga petani mempunyai
pengertian dan karakteristik yaitu satu unit kelembagaan yang setiap saat
mengambil keputusan produksi pertanian, konsumsi, curahan kerja, dan
reproduksi.
Kelentingan Nafkah
Speranza et al. (2014) berpendapat bahwa kelentingan atau resiliensi
nafkah menyoroti cara mempertahankan nafkah walaupun mengalami perubahan,
pendekatan terhadap masyarakat, perbedaan dalam mengatasi ancaman, dan untuk
mengurangi kemiskinan, serta memperbaiki kapasitas adaptif sebagai pusat
analisis. Speranza et al. (2014) menjabarkan konsep dan kerangka analisis
karakteristik resiliensi menjadi tiga, yaitu buffer capacity, self-organization, dan
capacity for learning. Adapun buffer capacity melingkupi lima modal nafkah
(livelihood assets), diantaranya adalah modal alam, modal fisik, modal manusia,
modal sosial, modal finansial. Modal alam merujuk pada sumberdaya alam (tanah,

10

air, barang tambang) yang digunakan manusia untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Modal fisik merujuk pada sosial-aset yang dibawa ke dalam ekstensi
proses produksi ekonomi, seperti alat-alat, mesin, saluran irigasi, dan lain-lain.
Modal manusia merujuk pada eksistensi sumberdaya manusia melalui tingkat
pendidikan dan status kesehatan dalam populasi. Modal sosial merujuk jaringan
sosial dan kelembagaan dimana orang terlibat dan berpartisipasi untuk memberui
dukungan pada kehidupan mereka. Sedangkan modal finansial merujuk pada
persediaan uang tunai dan kemudahan kredit untuk diakses masyarakat dalam
mendukung kehidupan mereka. Sedangkan konsep kelentingan yang dijelaskan
oleh Sapirstein (2006) dalam Wulan (2014) menyatakan bahwa kelentingan
adalah kemampuan individu ataupun kelompok dalam menghadapi krisis internal
atau eksternal dan tidak hanya menyelesaikannya secara efektif tetapi juga belajar
dari hal tersebut, menjadi lebih kuat oleh hal tersebut, dan muncul perubahan dari
hal tersebut.
Kerentanan Nafkah
Fussel (2006) menyebutkan bahwa para Ilmuwan menggunakan istilah
“Kerentanan” pada kondisi yang merujuk pada penelitian mengenai bencana alam
di dunia. Namun saat ini istilah Kerentanan sudah digunakan dalam penelitian
yang merujuk pada konteks ekologi, kesehatan masyarakat, kemiskinan, studi
nafkah, dan adaptasi perubahan iklim. Kerentanan dikonsepsikan berbeda dalam
berbagai konteks keilmuan sesuai bidang masing-masing dengan indikatorindikator pengukuran kerentanan yang berbeda pula.
Kerentanan nafkah merupakan sudut pandang lain dari kelentingan nafkah
dalam menganalisis strategi nafkah rumahtangga petani. Keduanya seperti dua sisi
mata uang yang berlawanan dan saling memengaruhi. Apabila kerentanan nafkah
rendah dapat disimpulkan kelentingan nafkah tinggi, sebaliknya apabila
kerentanan nafkah tinggi dapat dipastikan kelentingan nafkahnya rendah. Gallopin
(2006) memandang kerentanan sebagai suatu gangguan spesifik yang terjadi pada
suatu sistem sehingga memaksa sistem menjadi rentan dengan adanya gangguan.
Adger (2006) mengklasifikan faktor-faktor yang dapat berkontribusi untuk
mengukur tingkat kerentanan. Faktor-faktor tersebut adalah (1) exposure to
perturbation atau keterpaparan terhadap gangguan, (2) sensitivity to perturbation
atau kepekaan terhadap gangguan, dan (3) adaptive capacity atau kemampuan
adaptasi atau penyesuaian.
Dalam penelitian Shah et al. (2013) menjelaskan mengenai delapan
komponen utama yang dimasukkan ke dalam tiga faktor yang berkontribusi pada
pengukuran Indeks Kerentanan Nafkah di Trinidad dan Tobago. Delapan
komponen utama tersebut diantaranya bencana alam dan variabilitas iklim,
kesehatan, pangan, air, pemukiman dan penguasaan lahan, sosio-demografi,
strategi nafkah, dan jaringan sosial. Adapun komponen bencana alam dan
variabilitas iklim dimasukkan ke dalam faktor keterpaparan (exposure).
Komponen kesehatan, pangan, air, pemukiman dan penguasaan lahan dimasukkan
ke dalam faktor kepekaan (sensitivity). Sedangkan sosio-demografi, strategi
nafkah, dan jaringan sosial dimasukkan ke dalam faktor kapasitas adaptasi
(adaptive capacity).

11

Gambar 1 Kerangka konseptual pendekatan penilaian kerentanan partisipatif
berbasis komunitas dan keterlibatan stakeholder (Smit & Wandel 2006)
Menurut Smit & Wandel (2006) menjelaskan bahwa keterpaparan dan
sensitifitas yang terjadi sekarang akan memengaruhi keterpaparan dan sensitifitas
pada masa mendatang. Begitu pula pada kapasitas adaptasi suatu wilayah akan
mengalami perubahan dalam menghadapi krisis yang terjadi. Faktor-faktor yang
memengaruhi perubahan ketiga faktor kerentanan tersebut ditandai dengan adanya
perubahan lingkungan dan alam. Selain itu sistem sosial masyarakat yang
berkembang juga turut andil memengaruhi perubahan yang terjadi. Suatu wilayah
yang menghadapi kerentanan akan belajar dan berupaya keras beradaptasi untuk
bertahan di tengah-tengah krisis yang mungkin akan kembali terjadi di masa
mendatang.
Indeks Kerentanan Nafkah
Pada penelitian yang dilakukan Etwire et al. (2013), upaya untuk
mengetahui kerentanan masyarakat Ghana Utara dilakukan melalui pengukuran
Indeks Kerentanan Nafkah atau Livelihood Vulnerability Index (LVI)
menggunakan tujuh komponen utama, yaitu sosio-demografi, strategi nafkah,
jaringan sosial, bencana alam dan variabilitas iklim, kesehatan, pangan, dan air.
Pada penelitian Etwire et al. (2013) tersebut mengindikasikan bahwa Daerah
Utara merupakan daerah yang paling terpapar (exposure) dengan perubahan dan
variabilitas iklim. Daerah Barat merupakan daerah yang paling peka (sensitive)
terhadap perubahan dan variabilitas iklim melalui status pangan, kesehatan, dan
air yang memiliki kerentanan tinggi. Sedangkan Daerah Timur merupakan daerah

12

yang paling rentan kemampuan adaptasi (adaptive capacity) rumahtangganya
dengan kondisi sosio-demografi, jaringan sosial, dan strategi nafkah rumahtangga
yang memiliki kerentanan tinggi.
Metode pengukuran Indeks Kerentanan Nafkah atau Livelihood
Vulnerability Index (LVI) model IPCC (Intergovernmental Panel on Climate
Change) yang digunakan dalam penelitian Etwire et al. (2013) dapat dihitung
melalui rumus berikut:
)
Keterangan :
= tingkat keterpaparan (exposure) rumahtangga
= tingkat kemampuan adaptasi (adaptive capacity) rumahtangga
= tingkat kepekaan (sensitivity) rumahtangga
LVI-IPCC merupakan model penghitungan Indeks Kerentanan Nafkah suatu
daaerah dengan menggunakan kerangka kerentanan model IPCC
(Intergovernmental Panel on Climate Change) untuk mengukur tingkat
kerentanan masyarakat dalam suatu regional (daerah).
merupakan
penghitungan mengenai tingkat keterpaparan rumahtangga petani,
merupakan
tingkat kemampuan adaptasi rumahtangga petani, dan
merupakan tingkat
kepekaan rumahtangga petani. Rumus model IPCC merupakan cara praktis untuk
mengukur tingkat kerentanan rumahtangga petani di wilayah terdampak banjir
menggunakan pengukuran tiga komponen tersebut. Skala pengukuran LVI-IPCC
adalah mulai dari -1 (wilayah paling tidak rentan) hingga +1 (wilayah paling
rentan). Artinya, semakin tinggi nilai LVI-IPCC maka semakin tinggi pula tingkat
vulnerability (kerentanan) rumahtangga petani tersebut. Begitu pula sebaliknya,
semakin rendah nilai LVI-IPCC maka semakin rendah pula tingkat vulnerability
(kerentanan) rumahtangga petani tersebut.
Kerangka Pemikiran
Krisis ekologi merupakan ketidakseimbangan yang terjadi pada lingkungan
atau sumberdaya alam yang disebabkan oleh berbagai faktor yang berpotensi
mengganggu akses dan pemanfaatan lingkungan dan atau sumberdaya alam
tersebut untuk pemenuhan kebutuhan organisme (manusia). Krisis ekologi
berpotensi menimbulkan bencana yang secara langsung memengaruhi pemenuhan
kebutuhan hidup manusia. Indonesia merupakan negara yang sebagian besar
wilayahnya berada pada wilayah rawasan bencana. Banjir, tanah longsor, angin
puting beliung, gunung meletus, gempa bumi dan lain-lain merupakan bencanabencana yang sering terjadi di Indonesia dengan ciri khas iklim tropisnya.
Bencana yang terjadi berpengaruh langsung terhadap strategi nafkah
masyarakat, terutama rumahtangga petani yang terkena dampak langsung karena
terganggunya aset fisik mereka dalam berusaha tani (lahan, irigasi, benih).
Rumahtangga petani merupakan kelompok yang menggantungkan kehidupan
sehari-hari dari hasil bumi (lahan) pertanian mereka. Apabila lahan sebagai faktor

13

produksi utama mereka terganggu otomatis akan memengaruhi bentuk-bentuk
strategi nafkah mereka. Rumahtangga petani akan menerapkan beragam strategi
nafkah dalam upaya mempertahankan kehidupannya. Hal ini mendorong mereka
untuk memanfaatkan modal-modal nafkah (livelihood assets) sebagai upaya
bertahan dan mendapatkan sumber-sumber nafkah baru dengan strategi-strategi
nafkah yang baru pula.
Kondisi pasca bencana menjadi titik balik bagi rumahtangga petani dalam
menghadapi krisis yang mengancam strategi nafkah mereka. Resiliensi nafkah
rumahtangga petani menjadi isu yang harus menjadi perhatian khusus bagi
pemangku kebijakan daerah setempat. Rumahtangga petani yang mempunyai
livelihood assets yang kuat akan mempunyai tingkat resiliensi yang tinggi dalam
menghadapi krisis. Sebaliknya, rumahtangga petani yang mempunyai livelihood
assets yang lemah berpotensi besar mengalami kerentanan nafkah atau tingkat
resiliensi yang rendah.
Kerangka pemikiran dibawah ini menjelaskan bahwasanya krisis ekologi
yang terjadi di daerah hulu memengaruhi strategi nafkah rumahtangga petani di
daerah hilir, yaitu Kecamatan Undaan. Disamping itu, modal nafkah (modal alam,
modal fisik, modal manusia, modal sosial, dan modal finansial) memengaruhi
pula terhadap strategi nafkah rumahtangga petani yang terdampak banjir. Dari
strategi nafkah yang terbentuk dan tersedia akan berpengaruh pada tingkat
resiliensi nafkah rumahtangga petani dalam menghadapi krisis (banjir) selama
musim penghujan terjadi.

14

Krisis Ekologi

Livelihood Assets
Kerentanan Nafkah

Modal Alam
- Luas penguasaan lahan

Keterpaparan (exposure)

- Jarak sawah dari sungai
- Persentase luas lahan tergenang banjir
- Persentase kerusakan lahan
- Persentase luas gagal panen

Modal Fisik
- Tingkat kepemilikan aset

Modal Finansial
- Jumlah pendapatan
- Jumlah tabungan

-

Modal Sosial
Tingkat kekuatan jaringan

-

-

Modal Manusia
Tingkat alokasi tenaga kerja
Tingkat pendidikan
Tingkat ketrampilan
Tingkat penggunaan tenaga kerja

Kepekaan (sensitivity)
Ketiadaan lahan alternatif
Ketiadaan tabungan cadangan
Ketiadaan subsidi pestisida
Ketiadaan subsidi pupuk

Adaptive Capacity
- Tingkat penguasaan teknologi
- Tingkat keberfungsian kelembagaan
petani
- Tingkat kemampuan finansial petani

Strategi Nafkah
- Struktur nafkah pertanian - struktur nafkah non pertanian

Livelihood
Vulnerability Index
(LVI)

Gambar 2 Kerangka pemikiran
Keterangan :
= memengaruhi
= berhubungan dengan
= lingkup penelitian
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, hipotesis penelitian yang akan diajukan
adalah :
1.
2.

Diduga bahwa kepemilikan modal alam rumahtangga petani memengaruhi
kerentanan nafkah rumahtangga petani
Diduga bahwa kepemilikan modal fisik rumahtangga petani memengaruhi
kerentanan nafkah rumahtangga petani

15

3.
4.
5.

Diduga bahwa kepemilikan modal finansial rumahtangga petani
memengaruhi kerentanan nafkah rumahtangga petani
Diduga bahwa kepemilikan modal sosial rumahtangga petani
memengaruhi kerentanan nafkah rumahtangga petani
Diduga bahwa kepemilikan modal manusia rumahtangga petani
memengaruhi kerentanan nafkah rumahtangga petani
Definisi Operasional

Untuk menguji dan mengukur variabel-variabel penelitian dibutuhkan
definisi operasional sebagai pembatas dan acuan dalam menetapkan lingkup
pertanyaan yang akan menjadi bahan pengumpulan data untuk mengukur variabel
penelitan. Adapun definisi operasional masing-masing variabel yang akan diukur
adalah sebagai berikut :
Tabel 1 Definisi operasional variabel penelitian
No

Variabel

1

Data

Pengukuran

Modal Alam
Luas
Penguasaan
Lahan

Luas lahan yang digunakan
untuk mendukung aktifitas
nafkah, baik milik sendiri,
sewa, maupun bagi hasil

Rasio

Wilayah Banjir
Sempit : x < 0,5 Ha
Sedang : 0,5 Ha ≤ x ≤ 1 Ha
Luas : x > 1 Ha
Wilayah Tidak Banjir
Sempit : x < 0,68 Ha
Sedang : 0,68 Ha ≤ x ≤ 1,6 Ha
Luas : x > 1,6 Ha

2

Modal Fisik
Tingkat
Kepemilikan
Aset

Derajat tingkat kepemilikan
aset berharga yang dimiliki
rumahtangga

Ordinal

Wilayah Banjir
Rendah : 10 - 14
Sedang : 15
Tinggi : 16 - 20
Wilayah Tidak Banjir
Rendah : 10 - 15
Sedang : 15
Tinggi : 16 - 20

3

Modal Finansial

3a

Jumlah
Pendapatan

Derajat jumlah uang yang
didapat atau diterima
rumahtangga petani dari
usaha on farm, off farm, dan
non farm dalam kurun waktu
setahun

Rasio

Rendah : x < x - ½ sd
Sedang : x - ½ sd ≤ x ≤ x + ½
sd
Tinggi : x > x + ½ sd

3b

Jumlah
Tabungan

Derajat jumlah uang yang
disimpan atau ditabung, baik
di rumah maupun di bank
untuk keperluan jaga-jaga
atau kebutuhan mendesak
atau sebagai investasi dalam

Rasio

Rendah : x < x - ½ sd
Sedang : x - ½ sd ≤ x ≤ x + ½
sd
Tinggi : x > x + ½ sd

16

kurun waktu setahun
4

Modal Sosial
Tingkat
Kekuatan
Jaringan

Derajat tingkat keterlibatan
aktif rumahtangga sebagai
anggota organisasi

Ordinal

Wilayah Banjir
Rendah : 6 - 10
Sedang : 11 - 17
Tinggi : 18 - 30
Wilayah Tidak Banjir
Rendah : 6 - 9
Sedang : 10 - 15
Tinggi : 16 – 30

8

Modal Manusia

8a

Tingkat
Alokasi
Tenaga Kerja

Derajat jumlah anggota
rumahtangga yang bekerja
dan mendapatkan
pendapatan

Ordinal

Rendah : Hanya 1 orang
Sedang : Dua orang
Tinggi : Lebih dari dua orang

8b

Tingkat
Pendidikan

Derajat tingkat pendidikan
kepala rumahtangga

Ordinal

8c

Tingkat
Ketrampilan

Derajat banyaknya
ketrampilan yang dimiliki
rumahtangga selain bertani

Ordinal

8d

Tingkat
Penggunaan
Tenaga Kerja

Derajat banyaknya tenaga
kerja yang dipekerjakan
rumahtangga

Ordinal

9

Tingkat
Kerentanan
Nafkah

Derajat tingkat kerentanan
nafkah yang terdiri atas
tingkat keterpaparan, tingkat
kepekaan, dan tingkat
kapasitas adaptasi

Ordinal

Tidak Tamat SD
:1
Tamat SD
:2
Tamat SMP
:3
Tamat SMA
:4
Lulus PT
:5
Rendah : Hanya bertani
Sedang : Bertani dan satu
ketrampilan lain
Tinggi : Bertani dan ebih dari
satu ketrampilan
Rendah : Hanya petani saja
Sedang : Petani dan anggota
keluarga
Tinggi : Petani, anggota, dan
tenaga kerja luar
Wilayah Banjir
Rendah : `16 - 41
Sedang : 42 - 53
Tinggi : 54 - 80

9a

Tingkat
Keterpaparan

Derajat paparan/pengenaan
banjir dalam memengaruhi
lahan persawahan
rumahtangga petani yang
dapat dilihat dari jarak
sawah dari sungai,
persentase luas lahan
tergenang banjir, persentase
luasan kerusakan lahan,
persentase luasan lahan yang
gagal panen

Rasio

9b

Tingkat

Derajat tingkat kepekaan
rumahtangga petani dalam

Ordinal

Wilayah Tidak Banjir
Rendah : 16 - 38
Sedang : 39 - 48
Tinggi : 49 – 80
Rendah : x < x - ½ sd
Sedang : x - ½ sd ≤ x ≤ x + ½ sd
Tinggi : x > x + ½ sd

Sangat Tidak Setuju
Tidak Setuju

:1
:2

17

9c

Kepekaan

menghadapi krisis banjir

Tingkat
Kapasitas
Adaptasi

Derajat respon/penyesuaian
yang dilakukan rumahtangga
petani untuk menghadapi
dampak banjir

Ordinal

Tidak Tahu
Setuju
Sangat Setuju
Sangat Tidak Setuju
Tidak Setuju
Tidak Tahu
Setuju
Sangat Setuju

:3
:4
:5
:1
:2
:3
:4
:5

METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Desa Wonosoco dan Desa Kalirejo,
Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus. Desa Wonosoco merupakan desa yang
terdampak banjir sedangkan Desa Kalirejo merupakan desa yang tidak terdampak
banjir. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja dengan beberapa faktor yang
menjadi pendukung. Pertama, mengenai Desa Wonosoco dan Desa Kalirejo yang
masing-masing merupakan representasi desa terdampak banjir dan tidak
terdampak banjir. Kedua, sebagian besar penduduknya bekerja di sektor pertanian.
Dan ketiga, masih banyaknya lahan persawahan yang menjadi sumber nafkah
sebagian besar penduduk di kedua desa. Penelitian ini akan dilaksanakan dalam
kurun waktu dua bulan dari akhir bulan Februari 2016 sampai akhir bulan Maret
2016.
Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian adalah pendekatan
kuantitatif yang didukung dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan kuantitatif
dilaksanakan melalui penelitian survei dengan menggunakan kuesioner sebagai
alat pengumpulan data. Penelitian survei merupakan penelitian yang mengambil
sampel dari suatu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan
data yang pokok (Singarimbun 1989). Pendekatan kuantitatif digunakan untuk
menganalisis hubungan antar variabel secara terukur dan obyektif dalam
penelitian. Tes validity dan reliability akan dilakukan untuk menguji kevalidan
dan kesesuaian kuesioner dengan kondisi di lapangan melalui proses uji coba
terhadap minimal 10 responden rumahtangga petani.
Selain itu penelitian juga didukung dengan pendekatan kualitatif yang
berfungsi untuk memperkaya data dan lebih memahami fenomena sosial yang
diteliti (Singarimbun 1989). Pendekatan kualitatif dilaksanakan melalui teknik
wawancara mendalam (indepth interview) kepada responden dan informan dengan
menggunakan beberapa pertanyaan sebagai panduan wawancara (Lampiran 4).
Pendekatan kualitatif berfungsi sebagai infornasi pendukung yang ditambahkan
untuk memperkuat data kuantitatif yang akan didapatkan melalui kuesioner
(Lampiran 3). Kemudian jenis penelitian yang akan dilakukan merupakan jenis
peneli

Dokumen yang terkait

STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI MISKIN DI DESA SUKORAHAYU KECAMATAN LABUHAN MARINGGAI KABUPATEN LAMPUNG TIMUR

0 16 9

Strategi Nafkah Rumahtangga Nelayan (Studi Kasus di Dua Desa Nelayan Tangkap Kabupaten Lamongan Jawa Timur)

0 6 208

Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Lahan Kering (Kasus Komunitas Petani Lahan Kering Di Desa Lolisang, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan)

0 10 188

Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Tembakau di Lereng Gunung Sindoro Sumbing (Studi Kasus di Desa Wonotirto dan Campursari Kecamatan Bulu Kabupaten Temanggung)

1 28 318

Sistem nafkah rumahtangga petani kentang di dataran tinggi dieng (kasus desa Karangtengah, kecamatan Batur, kabupaten Banjarnegara, provinsi Jawa Tengah)

2 31 212

Dampak Krisis Ekologi terhadap Strategi Nafkah Rumahtangga Petani di Desa Ciganjeng, Kecamatan Padaherang, Kabupaten Pangandaran

1 18 99

Resiliensi Nafkah Rumahtangga Petani Hutan Rakyat di Kecamatan Giriwoyo, Wonogiri

2 13 119

Pola Strategi Nafkah Rumahtangga di Kawasan Rentan Banjir Pedesaan (Kasus Desa Sungai Buntu, Kecamatan Pedes, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat)

0 17 122

Kelentingan Nafkah Masyarakat Desa Di Kawasan Banjir (Kasus:Daerah Aliran Sungai Cibeet, Desa Karangligar,Kecamatan Telukjambe Barat, Kabupaten Karawang)

0 13 117

Strategi Dan Kelentingan Nafkah Rumahtangga Petani Di Daerah Rawan Bencana (Kasus Rumahtangga Petani Desa Tunggilis, Kecamatan Kalipucang, Kabupaten Pangandaran, Provinsi Jawa Barat)

4 10 138