Analisis Konsentrasi Spasial dan Faktor yang Memengaruhi Aglomerasi Industri Manufaktur di Kawasan Barat Indonesia

ix

ANALISIS KONSENTRASI SPASIAL DAN FAKTOR YANG
MEMENGARUHI AGLOMERASI INDUSTRI MANUFAKTUR
DI KAWASAN BARAT INDONESIA

MEILANI PUTRI

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

ii

ix

PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Konsentrasi
Spasial dan Faktor yang Memengaruhi Aglomerasi Industri Manufaktur di

Kawasan Barat Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013

Meilani Putri
NIM H14090029

ii

ABSTRAK
MEILANI PUTRI. Analisis Konsentrasi Spasial dan Faktor yang Memengaruhi
Aglomerasi Industri Manufaktur di Kawasan Barat Indonesia. Dibimbing oleh
WIWIEK RINDAYANTI
Ketimpangan regional terjadi akibat perbedaan sumberdaya dan kegiatan ekonomi
yang dihasilkan oleh tiap daerah. Pengembangan potensi daerah yang dilakukan

harus mendorong sektor-sektor perekonomian sesuai dengan keunggulan yang
dimiliki oleh daerahnya. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis
perkembangan ketimpangan regional, konsentrasi spasial dan aglomerasi industri
manufaktur di wilayah Kawasan Barat Indonesia (KBI). Penelitian ini
menggunakan alat analisis, yaitu Indeks Williamson, Sistem Informasi Geografi
(SIG), Indeks Hoover Balassa dan data panel. Hasil penelitian mengindikasikan
bahwa terdapat ketimpangan regional yang relatif sedang antar wilayah dan
terdapat beberapa provinsi dengan titik konsentrasi spasial industri manufaktur.
Variabel-variabel yang secara signifikan memengaruhi aglomerasi sektor industri
manufaktur adalah Indeks Persaingan Industri, ukuran perusahaan, Penanaman
Modal Asing (PMA), panjang jalan, nilai tambah dan jumlah perusahaan Industri
Besar dan Sedang (IBS). Peta distribusi lokasi industri manufaktur yang lebih
merata dapat meningkatkan pendapatan serta kesejahteraan masyarakat daerah.
Kata kunci: Indeks Williamson, Indeks Hoover Balassa, SIG, aglomerasi, data
panel

ABSTRACT
MEILANI PUTRI. Analysis of Spatial Consentration and Agglomeration Factor
of Manufacturing Industry in Western Region of Indonesia. Supervised by
WIWIEK RINDAYATI

Regional inequalities can be occured because of differences in resources
and the economic activity generated by each region. Manufacturing industry is
important sector that can encourage growth and development of other sectors.
The purposes of this research is to analyze the development of regional
imbalances, spatial concentration and agglomeration factor of manufacturing
industry in the western region of Indonesia. This research uses the analysis tool
Williamson Index, Geography Information System (GIS), Hoover Balassa Index
and panel data. Results of the study indicate that there is a relatively medium
regional imbalances in the distribution income and there are regions have point
of consentration spatial of manufacturing industries. Variables that constantly
affect the agglomeration of manufacturing industry is Competition Industry Index,
size of company, foreign investment, road, value added and number of large and
medium manufacturing industries. Map of the distribution of the location of the
manufacturing industry which is more evenly distributed can increase the income
and welfare of society.
Keywords: Williamson Index, Hoover Balassa Index, GIS, agglomeration, panel
data

ix


ANALISIS KONSENTRASI SPASIAL DAN FAKTOR YANG
MEMENGARUHI AGLOMERASI INDUSTRI MANUFAKTUR
DI KAWASAN BARAT INDONESIA

MEILANI PUTRI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

iv


ix

Judul Skripsi : Analisis Konsentrasi Spasial dan Faktor yang Memengaruhi
Aglomerasi Industri Manufaktur di Kawasan Barat Indonesia
Nama
: Meilani Putri
NIM
: H14090029

Disetujui oleh

Dr. Ir. Wiwiek Rindayati
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:


vi

PRAKATA
Puji dan syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya
sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 ini ialah industri
manufaktur di wilayah Kawasan Barat Indonesia (KBI), dengan judul Analisis
Konsentrasi Spasial dan Faktor yang Memengaruhi Aglomerasi Industri
Manufaktur di KBI. Masalah industri manufaktur dipilih menjadi topik penelitian
karena dianggap penting terutama dalam kontribusinya dalam Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) wilayah KBI yang semakin meningkat. Pembangunan
industri manufaktur yang tidak merata di setiap daerah mengindikasikan adanya
ketimpangan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi daerah. Selanjutnya,
masalah ini akan menimbulkan titik-titik konsentrasi di wilayah tertentu karena
perbedaan sumberdaya dan kemampuan yang dihasilkan tiap daerah. Titik-titik
konsentrasi ini mengumpul dan membentuk aglomerasi dengan tujuan agar
mendapatkan manfaat skala, lokasi dan urbanisasi.
Terima kasih juga diucapkan kepada orang tua dan keluarga penulis, yakni
Bapak Hermawan SH MM dan Ibu Erwina SH serta kakak dari penulis, Ripal

Agusta atas segala doa dan dukungan yang selalu diberikan. Selain itu ucapan
terima kasih juga ditujukan kepada:
1. Ibu Dr Ir Wiwiek Rindayati selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
memberikan arahan, bimbingan, saran dan motivasi dengan sabar dan
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
2. Ibu Sahara Ph.D selaku dosen penguji utama dan Ibu Laily Dwi Arsyianti,
M.Sc selaku dosen penguji dari komisi pendidikan atas kritik dan saran yang
telah diberikan untuk perbaikan skripsi ini.
3. Para dosen, staf dan seluruh civitas akademik Departemen Ilmu Ekonomi
FEM IPN yang telah memberikan ilmu dan berbagai bantuan.
4. Teman-teman satu bimbingan Astrid, Alfi dan Rahmat yang telah banyak
memberikan bantuan, saran, kritik, motivasi dan dukungannya dalam
penyelesaian skripsi ini.
5. Sahabat penulis Ilmu Ekonomi 46 Sonya, Manda, Gina, Srikandhi, Raisha,
Anisaul, Irene, Nella, Merlyn yang telah membantu dalam menyelesaikan
skripsi ini.
6. Sahabat penulis “Kost Sinabung” Echi, Wewe, Bagas, Tesa, Anin, Vera, Vini,
Vici, Yusi dan Rahma yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.
7. Sahabat penulis Ady Mentayadiputra yang telah banyak memberikan bantuan,
motivasi dan dukungannya dalam penyelesaian skripsi ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2013

Meilani Putri

ix

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ................................................................................................ viii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... ix
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
Latar Belakang .................................................................................................... 1
Perumusan Masalah ............................................................................................. 4
Tujuan Penelitian ................................................................................................. 5
Manfaat Penelitian ............................................................................................... 5
Ruang Lingkup Penelitian ................................................................................... 6
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 6
Ketimpangan Pembangunan Wilayah ................................................................. 6

Konsentrasi Spasial ............................................................................................. 8
Aglomerasi Sektor Industri Manufaktur .............................................................. 9
Penelitian Terdahulu .......................................................................................... 11
Kerangka Pemikiran .......................................................................................... 13
METODE .............................................................................................................. 14
Jenis dan Sumber Data ...................................................................................... 14
Metode Analisis Data ........................................................................................ 14
Indeks Williamson ......................................................................................... 15
Analisis Sistem Informasi Geografi ............................................................... 15
Indeks Hoover Balassa................................................................................... 16
Analisis Regresi Data Panel ........................................................................... 17
Pemilihan Model Terbaik .............................................................................. 18
Pengujian Asumsi .......................................................................................... 19
Spesifikasi Model .......................................................................................... 20
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................. 21
Gambaran Umum .............................................................................................. 21
Ketimpangan Pembangunan Wilayah ............................................................... 31
Konsentrasi Spasial Industri Manufaktur .......................................................... 33

viii


Faktor yang Memengaruhi Aglomerasi Industri Manufaktur ............................ 38
SIMPULAN DAN SARAN................................................................................... 41
Simpulan ............................................................................................................ 41
Saran .................................................................................................................. 42
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 43
LAMPIRAN .......................................................................................................... 45
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................... 53

DAFTAR TABEL

1 PDRB Atas Dasar Harga Konstan Menurut Kawasan dan Lapangan
Usaha Tahun 2011
2 Luas wilayah KBI dan Persentase Terhadap Luas Indonesia Tahun
2011
3 Perkembangan Jumlah Perusahaan IBS Wilayah KBI Tahun 2007-2010
4 Jumlah Perusahaan IBS Menurut Subsektor dan Provinsi Wilayah KBI
Tahun 2011
5 Peringkat (rank) Menurut Tenaga Kerja IBS Wilayah KBI Tahun 2011
6 Peringkat (rank) menurut Rata-Rata Nilai Tambah IBS Menurut

Provinsi Tahun 2011
7 Indeks Hoover Ballasa menurut Provinsi Tahun 2009-2011
8 Hasil Estimasi Persamaan Faktor yang Memengaruhi Aglomerasi

2
3
22
23
34
35
37
39

DAFTAR GAMBAR

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

PDB Atas Dasar Harga Konstan tahun 2007-2012
PDRB Per Kapita Menurut Provinsi Tahun 2011
Hipotesis Teori Neo-klasik
Perkembangan Konsep dan Paradigma Mengenai Aglomerasi
Kerangka Pemikiran Penelitian
Indeks Persaingan Industri Menurut Provinsi Wilayah KBI Tahun 2011
Ukuran Perusahaan Menurut Provinsi Wilayah KBI Tahun 2011
PMA Menurut Provinsi Wilayah KBI Tahun 2011
PMDN Menurut Provinsi Wilayah KBI Tahun 2011
Panjang Jalan Menurut Provinsi Wilayah KBI Tahun 2011
UMP Menurut Provinsi Wilayah KBI Tahun 2011
Nilai Tambah Menurut Provinsi Wilayah KBI Tahun 2011
Jumlah IBS Menurut Provinsi Wilayah KBI Tahun 2011
Indeks Williamson Antar Provinsi di Wilayah KBI Tahun 2002-2011

1
4
7
10
13
24
25
26
27
28
29
30
30
31

ix

15 Indeks Williamson Intra Provinsi Wilayah KBI Tahun 2011
16 Perkembangan SIG menurut Jumlah Tenaga Kerja IBS Wilayah KBI
Tahun 2011
17 Perkembangan SIG Rata-Rata Nilai Tambah IBS Wilayah KBI Tahun
2011

32
34
36

DAFTAR LAMPIRAN

18 Indeks Williamson Antar Provinsi Wilayah KBI tahun 2002-2011
19 Indeks Williamson Intra Provinsi Wilayah KBI Tahun 2002-2011
20 Indeks Hoover Balassa (LQ TK) Provinsi Wilayah KBI Tahun 20092011
21 Faktor yang Memengaruhi Aglomerasi Industri Manufaktur

45
45
46
47

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia memiliki rencana pembangunan secara terarah dan intensif
melalui program Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional
tahun 2010 sampai tahun 2014. Program ini bertujuan sebagai bahan
pertimbangan bagi pemerintah daerah dalam menyusun atau menyesuaikan
rencana pembangunan daerahnya masing-masing dalam rangka pencapaian
sasaran pembangunan nasional. Rencana pembangunan sangat diperlukan oleh
pemerintah daerah sebagai arahan dalam rangka mempercepat pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi daerah. Arah pembangunan Indonesia sejak tahun 1990
telah bertransformasi dari negara berbasis pertanian menjadi negara berbasis
industri, dimana kontribusi sektor industri manufaktur dalam PDB (Produk
Domestik Bruto) telah melampaui kontribusi sektor pertanian (Shofiyana 2012).
Hal ini sesuai dengan target Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II bahwa
pertumbuhan ekonomi rata-rata 7%, tingkat pengangguran turun menjadi kisaran
5 sampai 6%, serta tingkat kemiskinan turun menjadi kisaran 8 sampai 10%.
Tujuan tersebut dapat diwujudkan dengan kontribusi sektor industri manufaktur
yang diharapkan dapat menjadi penggerak utama perekonomian nasional. Berikut
merupakan gambar yang menunjukkan kontribusi lima sektor tertinggi dalam
PDB nasional.
800000

PDRB (miliar rupiah)

700000

Pertanian, Peternakan,
Kehutanan dan Perikanan
Industri Manufaktur

600000
500000

Perdagangan, Hotel &
Restoran
Keuangan, Real Estate &
Jasa Perusahaan
Jasa-jasa

400000
300000
200000
100000
0

2007

2008

2009

2010

2011

2012

tahun
sumber: BPS, 2012 (diolah)

Gambar 1 PDB Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2007-2011
Gambar 1 menunjukkan bahwa sektor industri manufaktur merupakan
sektor yang memberikan kontribusi tertinggi terhadap PDB nasional dari tahun
2007 sampai 2012. Sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan
merupakan sektor tertinggi ketiga dalam kontribusinya terhadap PDB nasional.
Selanjutnya, sektor-sektor lainnya mengalami perkembangan yang berfluktuasi,
namun belum ada yang mampu melampaui kontribusi sektor industri manufaktur.
Menurut Shofiyana (2012), industri manufaktur mempunyai peranan sebagai
leader sector, artinya dengan pembangunan sektor industri maka akan memacu

2
dan mengangkat pembangunan di sektor lainnya, seperti sektor pertanian,
perdagangan dan jasa. Hal ini juga sejalan dengan Peraturan Presiden Nomor 28
tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional, yaitu untuk mewujudkan
Indonesia sebagai negara industri yang tangguh pada tahun 2025, menghadapi
tantangan dan kendala yang ada, serta merevitalisasi industri nasional.
Pengembangan sektor industri manufaktur yang merata merupakan salah
satu cara untuk meningkatkan pendapatan dan laju pertumbuhan ekonomi nasional.
Pembangunan sektor industri manufaktur merupakan titik awal pengembangan
perekonomian daerah dalam rangka untuk meningkatkan PDRB (Produk
Domestik Regional Bruto) dan pertumbuhan ekonomi daerah. Dimulainya era
otonomi daerah dan desentralisasi fiskal mendorong masing-masing daerah untuk
meningkatkan daya saing dan keunggulan komparatif daerahnya.
Pemerataan hasil-hasil pembangunan adalah salah satu upaya untuk
mewujudkan pembangunan melalui konsentrasi spasial melalui kontribusi sektor
industri terhadap PDRB (Chollidah 2012). Pembangunan industri manufaktur
yang tidak merata menimbulkan ketimpangan dalam pembangunan, karena
perbedaan sumberdaya dan kegiatan ekonomi yang dihasilkan. Ketidakmerataan
sumberdaya ini tercermin pada konsentrasi kegiatan ekonomi di daerah tertentu
saja. Oleh karena itu, masalah lokasi dari setiap kegiatan pembangunan industri
baik secara nasional maupun regional harus dipertimbangkan secara mendalam
dan tepat.
Wilayah Indonesia diklasifikasikan menjadi dua kawasan, yaitu Kawasan
Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Setiap kawasan
memiliki keunggulan komparatif yang terspesialisasi pada sektor tertentu sesuai
dengan kemampuan daerahnya. Tabel 1 menunjukkan PDRB Atas Dasar Harga
Konstan 2000 pada wilayah KBI dan KTI.
Tabel 1 PDRB Atas Dasar Harga Konstan Menurut Kawasan dan Lapangan Usaha
Tahun 2011 (miliar rupiah)
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Lapangan Usaha
Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan
Pertambangan dan Penggalian
Industri Manufaktur
Listrik, Gas dan Air Bersih
Konstruksi
Perdagangan, Hotel dan Restoran
Pengangkutan dan Komunikasi
Kuangan, Real Estat dan Jasa
Jasa-jasa
Total

Wilayah
KBI
283 471
150 295
543 914
26 100
130 833
468 654
175 319
198 245
195 770

Wilayah
KTI
52 332
20 011
17 366
85 347
15 259
30 530
17 144
11 198
25 350

2 172 601

274 537

Sumber: BPS, 2013 (diolah)

Tabel 1 menunjukkan sektor industri manufaktur merupakan sektor yang
memberikan kontribusi terbesar bagi pembentukan PDRB di wilayah KBI. Sektor
listrik, gas dan air bersih merupakan sektor yang memberikan kontribusi terbesar

3
bagi pembentukan PDRB di wilayah KTI. Namun, sektor listrik, gas dan air
bersih merupakan perusahaan negara yang pengelolaannya dilakukan oleh
pemerintah setempat, sehingga tidak digolongkan sebagai usaha pribadi
masyarakat. Sektor kedua terbesar dalam pembentukan PDRB wilayah KTI
adalah sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan yang merupakan
sektor yang dikelola dan diolah oleh masyarakat. Sektor industri manufaktur dan
pertanian merupakan sektor yang sangat penting dalam pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi daerah. Kedua sektor ini juga memiliki lokasi dan
karakteristik tertentu dalam pembangunan dan perkembangannya. Sektor industri
manufaktur umumnya berlokasi di daerah maju dan berkembang pesat (perkotaan),
sedangkan sektor pertanian umumnya berlokasi di daerah perdesaan dimana masih
terdapat lahan bagi aktivitas pertanian (Kurniawan dan Sugiyanto 2013).
Penelitian ini akan menganalisis sektor industri manufaktur sehingga objek
lokasi yang akan diteliti adalah wilayah KBI. Wilayah KBI dipilih berdasarkan
kontribusi sektor industri manufaktur yang lebih besar dibandingkan dengan
sektor lainnya. Wilayah KBI memiliki potensi yang dibutuhkan untuk
pembangunan industri manufaktur, didukung dengan letak geografisnya yang
dekat dengan pusat pemerintahan dan kegiatan ekonomi. Potensi lainnya yang
dimiliki oleh wilayah KBI dapat ditunjukkan dari luas wilayah total yang
mencapai 995 778.58 km2.
Tabel 2 Luas Wilayah KBI dan Persentase Terhadap Luas Indonesia Tahun 2011
Provinsi
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Lampung
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI. Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Timur

Luas (km2)
72 981.2
42 012.8
8 023.6
50 058.1
91 592.4
34 623.8
664.01
353 77.7
9 662.9
3 133.1
47 799.7
9 662.9
5 780.0
1 47307.0
153 564.5
204 534.3

Perbandingan terhadap Luas Indonesia (%)
3.82
2.2
4.55
2.62
4.79
1.81
0.03
1.85
1.72
0.16
2.5
0.51
0.3
7.71
8.04
10.7

Sumber : BPS, 2010 (diolah)

Tabel 2 menunjukkan bahwa provinsi terluas di wilayah KBI adalah
Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat dengan luas area
yaitu sebesar 204 ribu km2, 153 ribu km2 , dan 147 ribu km2 .Provinsi dengan luas
area terkecil adalah DKI Jakarta dengan luas wilayah sebesar 664.01 km2. Hal ini
menunjukkan bahwa masih terdapat potensi pengembangan industri manufaktur

4
yang dimiliki oleh wilayah KBI yang dapat ditingkatkan, sesuai dengan
keunggulan komparatif masing-masing provinsi. Setiap provinsi memiliki sumber
daya yang berbeda-beda, sehingga setiap kebijakan industri yang dibuat oleh
pemerintah akan menimbulkan hasil yang tidak sama. Salah satu cara untuk
mengatasinya adalah menciptakan spesialisasi sesuai dengan kemampuan dan
keunggulan sektor yang dimiliki tiap provinsi. Sektor industri manufaktur
diharapkan dapat mempercepat pemerataan dan pertumbuhan ekonomi daerah.
Perumusan Masalah

PDRB per kapita (000)

Pembangunan yang merata di setiap daerah merupakan target dan sasaran
yang ingin dicapai oleh pemerintah pusat. Perbedaan sumber daya, faktor
produksi dan kebijakan daerah menyebabkan pembangunan yang tidak merata dan
terpusat hanya di beberapa titik tertentu. Provinsi yang memiliki banyak faktor
produksi akan memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dibandingkan
provinsi lain. Kondisi ini menyebabkan munculnya ketimpangan terutama
pembangunan sektor industri manufaktur yang tidak merata. Hal ini terjadi karena
wilayah maju memiliki daya tarik yang tidak dimiliki oleh wilayah pinggiran atau
terbelakang. Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengukur
ketimpangan wilayah adalah PDRB per kapita. Berikut merupakan PDRB per
kapita Atas Dasar Harga Konstan 2000 menurut provinsi wilayah KBI.
50000
45000
40000
35000
30000
25000
20000
15000
10000
5000
0

Provinsi
Sumber: BPS, 2013 (diolah)

Gambar 2 PDRB Per Kapita Menurut Provinsi Tahun 2011
Gambar 2 menunjukkan bahwa PDRB per kapita tertinggi dimiliki oleh
provinsi DKI Jakarta dan PDRB per kapita terendah adalah provinsi Lampung.
PDRB per kapita menunjukkan perbandingan pendapatan suatu daerah yang
terhadap jumlah penduduk. Tingginya tingkat pendapatan per kapita
mencerminkan tingginya jumlah barang dan jasa yang dihasilkan dan tingkat
kemakmuran masyarakat pun relatif baik. Gambar 2 menunjukkan hanya ada dua
provinsi yang memiliki PDRB per kapita yang tinggi, yaitu DKI Jakarta dan
Kalimantan Timur, hal ini dikarenakan DKI Jakarta merupakan pusat kegiatan

5
ekonomi dan pemerintahan serta Kalimantan Timur yang memiliki kekayaan alam
yang tidak dimiliki oleh daerah lainnya.
Sektor industri manufaktur akan lebih mudah ditingkatkan bila industri
mengelompok dan berkumpul sehingga tercapai suatu peghematan, kegiatan ini
disebut juga sebagai aglomerasi. Pengelompokkan ini akan meningkatkan kinerja
sektor industri melalui beberapa keunggulan, seperti penghematan skala, lokasi
dan urbanisasi. Menurut Purwaningsih (2011) bahwa semakin teraglomerasi
secara spasial suatu perekonomian, maka akan semakin meningkat
pertumbuhannya. Pembangunan sektor industri manufaktur dengan kebijakan
yang berorientasi spasial dan regional merupakan salah satu faktor kunci yang
dapat mendukung pemerintah pusat dan daerah dalam merumuskan dan
mengimplementasikan kebijakan pembangunan. Penelitian ini akan menganalisis
konsentrasi daerah industri yang mengakibatkan terbentuknya aglomerasi sektor
industri maufaktur pada lokasi tertentu. Oleh karena itu, penelitian ini juga akan
menganalisis faktor-faktor apa saja yang memengaruhi terbentuknya aglomerasi.
Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahan utama yang ingin dibahas
dalam penelitian ini adalah:
1 Bagaimana kondisi ketimpangan wilayah antar dan intra provinsi di wilayah
KBI?
2 Dimanakah titik-titik konsentrasi spasial industri manufaktur di wilayah KBI?
3 Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi aglomerasi industri manufaktur di
wilayah KBI?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian pada latar belakang dan perumusan masalah, maka
penelitian ini pada intinya bertujuan untuk:
1 Menganalisis kondisi ketimpangan wilayah antar dan intra provinsi di
wilayah KBI.
2 Menganalisis letak titik-titik konsentrasi spasial industri manufaktur di
wilayah KB.
3 Mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi aglomerasi industri manufaktur
di wilayah KBI.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan gambaran
kepada pembaca mengenai ketimpangan wilayah, konsentrasi spasial dan
aglomerasi sektor industri manufaktur di wilayah KBI. Penelitian ini juga
diharapkan dapat memberikan saran dan masukan bagi pemerintah terutama
pemerintah daerah terkait dengan ketimpangan pembangunan wilayah dan
aglomerasi sektor industri manufaktur. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan
dapat menjadi sumber referensi, literatur dan informasi tambahan bagi penelitianpenelitian terkait selanjutnya.

6
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini mencakup periode 10 tahun, yaitu dari tahun 2002 sampai
dengan tahun 2011. Penelitian ini akan menganalisis wilayah KBI dengan yang
dibatasi menjadi 16 provinsi, dimana provinsi Aceh, Kepulauan Bangka Belitung,
Kepulauan Riau, dan Kalimantan Selatatan tidak diikutsertakan. Alasannya,
karena terdapat beberapa provinsi baru sehingga dikembalikan pada daerah
asalnya serta keterbatasan data yang dimiliki oleh penulis. Data yang terkaitan
dengan industri manufaktur dibatasi hanya untuk perusahaan yang tergolong
Industri Besar dan Sedang (IBS) tanpa mengikutsertakan industri kecil karena
keterbatasan data. Kategori industri besar sedang mengikuti klasifikasi BPS, yaitu
suatu perusahaan industri dikatakan berskala sedang jika mempunyai tenaga kerja
20 orang sampai dengan 99 orang dan berskala besar jika mempunyai tenaga kerja
100 orang atau lebih.

TINJAUAN PUSTAKA
Ketimpangan Pembangunan Wilayah
Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses kerja antara pemerintah
daerah dan masyarakatnya dalam mengelola sumber daya dan membentuk suatu
pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan
suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi
(pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut (Kuncoro 2004). Perbedaan
tingkat pembangunan akan menyebabkan tingkat kesejahteraan yang berbeda
antar daerah, dan akan menimbulkan ketimpangan regional. Ketimpangan wilayah
adalah ketidakmerataan dalam hal penguasaan sumberdaya alam atau sumber
penerimaan daerah satu dengan daerah lainnya, dan juga perkembangan sektorsektor ekonomi setempat (Adisasmita 2006).
Teori pertumbuhan neo-klasik memprediksi hubungan antara tingkat
pembangunan ekonomi nasional dengan ketimpangan regional antar wilayah.
Hipotesis neo-klasik ketimpangan wilayah pada permulaan proses cenderung
meningkat, proses ini akan terjadi sampai ketimpangan tersebut mencapai titik
puncak. Kemudian, bila proses pembangunan terus berlanjut maka secara
berangsur-angsur ketimpangan wilayah akan menurun (Sjafrizal 2008). Hal ini
menunjukkan bahwa ketimpangan pada negara berkembang cenderung lebih
tinggi dibandingkan ketimpangan pada negara maju. Kurva ketimpangan wilayah
berbentuk U terbalik pada Gambar 3.

7

Kurva
ketimpangan

Tingkat
ketimpangan

Tingkat pembangunan nasional
Sumber: Sjafrizal, 2008

Gambar 3 Hipotesis Teori Neo-klasik
Ketimpangan pada negara sedang berkembang relatif lebih tinggi karena
pada waktu proses pembangunan baru dimulai, kesempatan dan peluang
pembangunan yang ada umumnya dimanfaatkan oleh daerah-daerah yang kondisi
pembangunannya sudah lebih baik sedangkan daerah yang masih terbelakang
tidak mampu memanfaatkan peluang ini karena keterbatasan prasarana dan saran
serta rendahnya kualitas sumberdaya manusai. Oleh sebab itu, pertumbuhan
ekonomi cenderung lebih cepat di daerah dengan kondisi yang lebih baik,
sedangkan daerah yang terbelakang tidak banyak mengalami kemajuan. Pada
negara yang telah maju di mana kondisi yang lebih baik dari segi prasarana dan
sarana serta kualitas sumber daya manusia, setiap kesempatan peluang
pembangunan dapat dimanfaatkan secara lebih merata antar daerah. Sehingga,
proses pembangunan pada negara maju cenderung mengurangi ketimpangan
pembangunan antar wilayah.
Ukuran ketimpangan pembangunan antar daerah dapat digunakan dengan
menggunakan alat analisis yang disebut Indeks Williamson. Indeks ini ditemukan
oleh Williamson (1965) yang meneliti hubungan antara ketimpangan wilayah
regional dan tingkat pembangunan ekonomi dengan menggunakan data ekonomi
negara yang sudah maju dan negara yang sedang berkembang. Secara statistik,
indeks ini sebenarnya adalah coefficient of variation yang lazim digunakan untuk
mengukur suatu perbedaan. Tahap awal pembangunan, ketimpangan wilayah
menjadi lebih besar dan pembangunan terkonsentrasi pada daerah-daerah tertentu.
Pada tahap pertumbuhan ekonomi yang lebih maju, terdapat keseimbangan
antardaerah dan ketimpangan akan berkurang secara signifikan.
Indikator yang juga dapat digunakan untuk menganalisis ketimpangan
pembangunan antar wilayah antara lain PDRB, Konsumsi Rumah Tangga
Perkapita, Kontribusi sektoral terhadap PDRB, Tingkat kemiskinan dan Struktur
Fiskal. Alat analisis lain yang juga dapat digunakan untuk mengukur ketimpangan
pembangunan (pendapatan) adalah Indeks Williamson, Gini Ratio, Kurva Lorentz,
Kriteria Bank Dunia, dan Indeks Entrophy Theil.

8
Konsentrasi Spasial
Konsensus umum dalam paradigma geografi ekonomi baru adalah bahwa
liberalisasi perdagangan mendorong penyebaran kegiatan manufaktur. Studi
empiris mengenai distribusi geografi kegiatan manufaktur yang tidak merata dan
terus-menerus berlangsung dalam jangka panjang telah banyak dilakukan di
negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa.
Wilayah Amerika Serikat faktanya lebih terkonsentrasi secara geografis
dibandingkan negara Uni Eropa. Negara Uni Eropa cenderung merupakan industri
yang padat modal dan berlokasi pada daerah inti, sedangkan industri-industri
padat karya relatif lebih tersebar secara geografis.
Derajat pengelompokkan industri secara geografis memainkan peranan
penting dalam menentukan sektor manakah yang memiliki keunggulan kompetitif
pada skala internasional. Dewasa ini, hipotesis bahwa kluster industri yang
ditandai dengan konsentrasi geografis dari perusahaan-perusahaan dan institusiinstitusi yang saling berkaitan satu sama lain pada suatu bidang tertentu.
Konsentrasi spasial memperlihatkan kontribusi suatu wilayah dan distribusi lokasi
dari suatu industri. Apabila ada distribusi spasial yang tidak merata dan terdapat
wilayah yang mendominasi kawasan industri, maka hal ini menunjukkan adanya
industri yang terkonsentrasi secara spasial di wilayah tersebut (Kuncoro 2004).
Konsentrasi spasial merupakan pengelompokkan setiap industri dan
aktivitas ekonomi secara spasial, dimana industri tersebut berlokasi pada suatu
wilayah tertentu. Hal ini sejalan dengan Teori Kutub Pertumbuhan oleh Perroux
yang menyatakan bahwa pertumbuhan tidak muncul di berbagai tempat dan waktu
yang sama. Pertumbuhan hanya terjadi di beberapa tempat yang merupakan pusat
(kutub) pertumbuhan dengan intensitas yang berbeda. Perusahaan yang menguasai
dominasi ekonomi pada umumnya adalah industri besar dan industri pendorong
yang dianggap sebagai titik awal proses pembangunan dan merupakan elemen
penting untuk tahapan pembangunan selanjutnya. Sehingga, industri dominan dan
pendorong akan menimbulkan aglomerasi yang hanya terjadi pada kutub-kutub
pertumbuhan tertentu (Adisasmita 2005).
Konsentrasi spasial tidak hanya disebabkan oleh perbedaan dari struktur
industri dan eksternalitas, akan tetapi juga diperluas pada transaksi yang tidak
melalui pasar. Ada tiga hal yang saling terkait dalam konsentrasi spasial, yaitu
skala ekonomi, biaya transportasi dan permintaan. Untuk mendapatkan dan
meningkatkan kekuatan skala ekonomis, perusahaan-perusahaan cenderung
berkonsentrasi secara spasial dan melayani seluruh pasar dari suatu lokasi.
Sedangkan untuk meminimalisasi biaya transportasi, perusahaan-perusahaan
cenderung pada wilayah yang memiliki permintaan lokal yang besar, akan tetapi
permintaan lokal yang besar cenderung berlokasi di sekitar terkonsentrasinya
aktivitas ekonomi, seperti kawasan industri maupun perkotaan. Konsentrasi
spasial akan menciptakan keuntungan yang berupa penghematan lokalisasi dan
penghematan urbanisasi yang merupakan faktor pendorong terjadinya aglomerasi.
Ukuran konsentrasi spasial yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi
adanya pengelompokan industri manufaktur adalah Sistem Informasi Geografi
(SIG) dan Indeks Hoover Balassa. SIG merupakan alat analisis yang bermanfaat
untuk mengidentifikasi lokasi industri dan di daerah mana industri cenderung

9
mengelompok secara spasial. Prosedur standar dalam merancang dan
menggunakan SIG, yaitu pengumpulan data awal, konstruksi basis data, analisis
dan kajian spasial dan penyajian grafis (Kuncoro 2002).
Konsentrasi spasial juga dapat diukur dengan menggunakan Indeks Hoover
Balassa yang merupakan indikator dalam menentukan seberapa jauh suatu industri
terkonsentrasi pada suatu daerah dibandingkan industri di seluruh wilayah.
Metode penentuan konsentrasi spasial dilakukan dengan cara menghitung antara
tenaga kerja sektor industri manufaktur pada terhadap tenaga kerja total semua
sektor di daerah bawah dengan tenaga kerja sektor industri manufaktur pada
daerah atas terhadap tenaga kerja total semua sektor di daerah atas (Priyarsono et
al 2007). Peningkatan nilai LQ untuk suatu daerah industri menunjukkan adanya
peningkatan spesialisasi industri dalam daerah tersebut. Sebaliknya penurunan
nilai LQ untuk suatu daerah industri menunjukkan penurunan spasialisasi industri
dalam daerah tersebut. Spesialisasi yang tinggi pada suatu daerah industri di
daerah tertentu dapat mempercepat pertumbuhan industri di wilayah tersebut. Hal
ini dikarenakan bahwa pengetahuan yang diperoleh sebuah perusahaan dapat
menguntungkan perusahaan lainnya, khususnya perusahaan yang masih dalam
suatu industri yang sama. Alat ukur untuk menganalisis konsentrasi spasial juga
dapat menggunakan KSPEC, Gini lokasional, Indeks Entrophy Theil, Herfindahl
Indeks, Indeks Ellison- Glaeser dan lain sebagainya.

Aglomerasi Sektor Industri Manufaktur
Istilah aglomerasi pertama kali diperkenalkan oleh Weber dan
disempurnakan oleh Alfred Marshall (1920) mengenai penghematan aglomerasi
(agglomeration economies) atau disebut juga sebagai industri yang terlokalisir
(localized industries). Menurut Marshall, sebuah industri akan memilih lokasi
yang memungkinkan untuk berlangsungnya kegiatan ekonomi dalam jangka
panjang sehingga keuntungan akan meningkat apabila mendirikan usaha di sekitar
lokasi tersebut. Perusahaan akan cenderung selalu mengelompok di lokasi
tertentu. Hal ini mengindikasikan bahwa skala pengembalian yang meningkat
dapat dicapai oleh perusahaan-perusahaan dalam kelompok tersebut, jika hal
tersebut tidak tercapai maka pengelompokkan yang hanya bersifat sementara.
Menurut McCann (2001) bahwa terdapat tiga sumber mengapa skala
pengembalian meningkat selalu tercapai, yaitu:
1 Kelimpahan Informasi (Information Spillovers)
Jika banyak perusahaan pada industri yang tergolong sejenis, maka dengan
beraglomerasi pada lokasi yang sama maka tenaga kerja pada perusahaan
tertentu akan secara relatif mudah berhubungan dengan tenaga kerja dari
perusahaan lokal lain. Dengan demikian, pertukaran informasi baik antar
tenaga kerja maupun antar perusahaan akan lebih mudah dan berlangsung
setiap saat.
2 Input Lokal yang Tidak Diperdagangkan (Non-traded local inputs)
Keadaan dimana perusahaan-perusahaan dalam industri yang sejenis
mengelompok di suatu tempat maka ada beberapa input produksi tertentu
yang menjadi lebih efisien jika digunakan secara bersama-sama oleh pekerja

10
di perusahaan-perusahaan tersebut dibandingkan jika input tersebut dibeli
secara individu oleh perusahaan-perusahaan tersebut.
3 Ketersediaan Tenaga Kerja Terampil Lokal (Local skilled-labour pool)
Ketersediaan tenaga kerja terampil di wilayah tersebut akan menyebabkan
turunnya biaya tenaga kerja bagi perusahaan-perusahaan di lokasi tersebut.
Tujuan dari adanya aglomerasi adalah agar mampu menciptakan manfaatmanfaat yang tidak diperoleh bila letak industri tersebut menyebar, antara lain:
1 Penghematan Skala (scala economies), yaitu adanya penghematan dalam
produksi secara internal bila skala produksinya ditingkatkan. Sehingga dapat
memberikan manfaat pada konsentrasi penduduk dalam jumlah besar
daripada jumlah penduduk yang lebih sedikit, industri dan kegiatan lainnya.
2 Penghematan lokasi (lokalization economies), yaitu kekuatan yang
diasosiasikan dengan penghematan yang dinikmati oleh semua perusahaan
dalam suatu industri yang sejenis pada suatu lokasi tertentu.
3 Penghematan urbanisasi (urbanization economies), yaitu jenis penghematan
yang diasosiasikan dengan pertambahan jumlah total (penduduk, hasil
industri, pendapatan dan kemakmuran) di suatu lokasi untuk semua kegiatan
yang dilakukan bersama-sama.
Perkembangan konsep dan paradigma mengenai aglomerasi dapat
dirangkum dalam Gambar 4. Gambar ini memperlihatkan bahwa studi atau teori
mengenai aglomerasi dapat digolongkan dalam perspektif klasik dan modern.
AGLOMERASI

KLASIK

Penghematan
eksternal (External
economies)
Lokalisasi vs
Urbanisasi

Increasing
returns akibat
skala ekonomis

MODERN

Formasi
Perkota
an

MarshallArrowRomer

Eksternalitas
Dinamis

Jacob
s

Knowledge spillover
akibat
keanekaragaman

Pertumbuhan
Kota

Biaya
Transaksi

Central
Place vs
Network
System

Ketergantungan
skala vs
netralitas

Meminimalkan
biaya transaksi

sumber: Kuncoro, 2002

Gambar 4 Perkembangan Konsep dan Paradigma Mengenai Aglomerasi

11
Perspektif atau teori klasik berpendapat bahwa aglomerasi muncul karena
para pelaku ekonomi berupaya mendapatkan penghematan aglomerasi
(agglomeration economies), baik karena penghematan lokalisasi maupun
penghematan urbanisasi, dengan mengambil lokasi yang saling berdekatan satu
sama lain. Para ekonom biasanya membedakan antara dua pendekatan, yaitu
penghematan internal dan eksternal serta penghematan akibat skala ekonomis dan
cakupannya. Penghematan internal merupakan suatu pengurangan biaya secara
internal di dalam suatu perusahaan atau pabrik. Beberapa faktor yang berperan
dalam pengurangan biaya secara internal meliputi pembagian kerja (spesialisasi)
dan penggantian tenaga manusia dengan mesin, melakukan subkontrak beberapa
aktivitas proses produksi kepada perusahaan lain dan menjaga titik optimal
operasi yang dapat meminimalkan biaya. Penghematan eksternal merupakan
pengurangan biaya yang terjadi akibat aktivitas di luar lingkup perusahaan atau
pabrik. Penghematan biaya terjadi karena terdapat perusahaan dalam industri yang
sama bersaing satu sama lain dalam memperoleh pasar atau konsumen.
Penghematan ini juga terjadi karena adanya tenaga terampil dan bahan baku
dalam daerah tersebut yang menopang jalannya usaha perusahaan (Kuncoro 2002).
Perspektif modern menunjukkan ada tiga jalur pemikiran yang dapat
diidentifikasi, yaitu teori-teori baru mengenai eksternalitas dinamis (dynamic
externalities), mazhab pertumbuhan perkotaan dan paradigma berbasis biaya
transaksi. Eksternalitas dinamis menyatakan bahwa akumulasi informasi pada
suatu lokasi tertentu akan meningkatkan produkstivitas dan kesempatan kerja.
Eksternalitas dinamis versi Marshall-Arrow-Romer (MAR) menekankan pada
pentingnya transfer pengetahuan (knowledge spillovers) antarperusahaan lokal
dalam industri yang sama. Pertumbuhan yang didorong oleh transfer pengetahuan
pada industri yang berspesialisasi pada produk tertentu dan terkonklustersi secara
spasial. Analisis biaya transaksi menyatakan bahwa dengan adanya biaya
transaksi akan mendorong munculnya perusahaan baru.
Aglomerasi merupakan proses yang lebih kompleks jika dibandingkan
dengan kluster industri. Salah satu ukuran yang menentukan dalam pembentukan
aglomerasi sektor industri manufaktur adalah Indeks Spesialisasi. Indeks ini
adalah ukuran konsentrasi suatu industri dalam suatu kluster, dimana banyak studi
sebelumnya percaya mampu mendorong kemajuan teknologi dan pembentukan
aglomerasi. Indeks Spesialisasi juga menunjukkan seberapa jauh spesialisasi
industri dalam suatu kluster dibandingkan apabila industri tersebut tersebar secara
random diseluruh wilayah.
Penelitian Terdahulu
Hasil penelitian dari Arifin (2006) yang berjudul “Konsentrasi Spasial
Industri Manufaktur Berbasis Perikanan di Jawa Timur (Studi Kasus Industri
Besar Sedang)”. Penelitian ini menggunakan metode Sistem Informasi Geografi
(SIG) dimana peneliti menggunakan indikator nilai output yang dihasilkan
perusahaan Industri Besar dan Sedang (IBS). Dari analisis ini akan diperoleh
hasil daerah industri dan non industri. SIG yang digunakan digunakan untuk
mengidentifikasi dimana industri manufaktur cenderung berkumpul atau
membentuk kluster. Sehingga penelitian ini akan menunjukkan konsentrasi spasial

12
yang terjadi di Jawa Timur yang dapat menimbulkan ketimpangan distribusi
lokasi industri manufaktur antar pulau yang cukup besar. Pada penelitiaannya
yang lain Zainal Arifin juga meneliti dengan menggunakan alat analisis SIG untuk
mengukur dinamika spasial industri manufaktur. Indikator yang digunakan adalah
jumlah tenaga kerja yang akan menunjukkan daerah industri dan non industri.
Hasil penelitian dari Shofiyana (2012) yang berjudul “Analisis Konsentrasi
Spasial Industri Manufaktur Besar dan Sedang di Provinsi Jawa Tengah Tahun
2002-2008” menunjukkan bahwa letak konsentrasi spasial industri manufaktur di
Jawa Tengah tertinggi berada di Kabupaten Kudus, Kota Semarang dan Kota
Pekalongan. Hal ini menunjukkan bahwa pola pengembangan industri di Jawa
Timur mengindikasikan adanya spesialisasi industri di beberapa wilayah tertentu.
Sehingga memberikan keuntungan pada nilai tambah produksi dan penyerapan
tenaga kerja. Metodologi yang digunakan adalah dengan Loqation Quotient (LQ)
untuk menunjukkan daya saing dan keunggulan komparatif subsektor industri.
Analisis konsentrasi kegiatan industri juga digunakan untuk menunjukkan
konsentrasi kegiatan industri berdasarkan jumlah tenaga kerja dan nilai tambah
yang dihasilkan oleh IBS.
Penelitian yang dilakukan oleh Mudrajat Kuncoro dan Sari Wahyuni (2009)
yang berjudul “FDI Impact On Industrial Agglomeration: The Case of Java,
Indonesia” menganalisis tentang teori mana yang paling tepat untuk menjelaskan
konsentrasi geografi pada sektor industri manufaktur di Pulau Jawa. Metode data
panel digunakan untuk mengukur konsentrasi spasial subsektor industri di Pulau
Jawa pada periode tahun 1991 sampai 2002. Variabel terikat yang digunakan
adalah Indeks Spesialisasi dengan variabel bebasnya, yaitu skala ekonomi,
intensitas sumber daya, kandungan impor, pendapatan per kapita, persaingan,
biaya tenaga kerja, path dependency,orientasi ekspor, investasi asing serta
dilengkapi oleh dummy industri, dummy regional dan dummy waktu. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa intensitas sumber daya dan investasi asing tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap Indeks Spesialisasi. Variabel-variabel
yang berpengaruh secara signifikan pada taraf 5% adalah kandungan impor, skala
ekonomi, orientasi ekspor, Indeks Persaingan, path dependency dan pendapatan
per kapita. Variabel yang berpengaruh secara signifikan pada taraf 10%
ditunjukkan oleh biaya tenaga kerja.
Penelitian yang dilakukan oleh Purwaningsih (2011) yang berjudul “Tren
Konsentrasi dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Aglomerasi Industri
Manufaktur Besar Sedang di Jawa Barat” menunjukkan bahwa ketimpangan
ekonomi di Jawa Barat yang diukur dengan menggunakan Indeks Williamson
mempunyai tren yang menurun dari tahun ke tahun. Hal ini menunjukkan bahwa
antar kabupaten di Jawa Barat masih terjadi ketimpangan pendapatan.
Perkembangan ketimpangan distribusi geografis aktivitas industri manufaktur
dapat dihitung dan dianalisis dengan Indeks Entrophy Theil yang menunjukkan
bahwa ada indikasi yang sangat tinggi pada periode 2001-2008. Namun, tren
konsentrasi spasial terbukti cenderung menurun dari tahun ke tahunnya.
Selanjutnya faktor-faktor yang secara positif memengaruhi aglomerasi industri
manufaktur di Jawa Barat adalah ukuran perusahaan, keanekaragaman industri,
kepemilikan modal asing, besarnya pangsa pasar dan infrastruktur jalan.
Sedangkan faktor-faktor yang secara negatif mempengaruhi aglomerasi industri
manufaktur di Jawa Barat adalah tingkat upah dan kenaikan BBM. Terdapat tiga

13
variabel bebas yang tidak signifikan memengaruhi aglomerasi industri, yaitu
Indeks Persaingan Industri, Orientasi Ekspor dan Impor dan Infrastruktut Listrik.
Kerangka Pemikiran
Ketimpangan yang terjadi antar daerah di wilayah KBI disebabkan oleh
perbedaan sumberdaya dan kegiatan ekonomi, terutama pembangunan sektor
industri manufaktur. Pengembangan sektor industri manufaktur berpengaruh
penting terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi wilayah KBI, karena
merupakan salah satu indikator pendorong nilai tambah dan lapangan kerja.
Secara keseluruhan kerangka pemikiran penelitian ini seperti pada yang di
tunjukkan pada Gambar 4.
Kawasan Barat Indonesia

Kesenjangan regional antar daerah :
Indeks Williamson
Perbedaan sumber daya dan
kegiatan ekonomi

Pembangunan industri manufaktur di titik-titik tertentu
saja

Konsentrasi spasial sektor industri
manufaktur

Sistem Informasi
Geografi

Indeks Hoover
Balassa

Implikasi Kebijakan

Faktor-faktor yang memengaruhi
aglomerasi

Indeks Persaingan Industri, Ukuran
Perusahaan, Penanaman Modal
Asing, Penanaman Modal Dalam
Negeri, Panjang Jalan, Upah
Minimum Provinsi, Nilai Tambah,
dan Jumlah IBS

Gambar 5 Kerangka Pemikiran Penelitian
Gambar 5 menunjukkan bahwa penelitian ini bertujuan untuk meninjau
lokasi industri manufaktur yang cenderung terkonsentrasi dan faktor-faktor apa
saja yang dapat memengaruhi pembentukan aglomerasi tersebut. Hal ini
menyebabkan perlunya perencanaan yang mendalam terhadap lokasi industri agar

14
tidak terjadi konsentrasi dan menciptakan aglomerasi hanya pada titik-titik
tertentu saja. Sehingga diperlukan analisis untuk melihat titik-titik lokasi industri
manufaktur yang telah berkembang serta faktor-faktor apa yang menciptakan
aglomerasi agar pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih merata di
wilayah KBI.

METODE
Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder 16 provinsi di wilayah Kawasan
Barat Indonesia (KBI) dengan periode tahun 2002 sampai dengan tahun 2011,
yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM). Dalam penelitian ini data dianalisis secara kuantitatif
dan kualitatif. Berikut merupakan data-data yang diperlukan pada penelitian ini.
1 Data PDRB per kapita Provinsi Atas Dasar Harga Konstan 2000 KBI.
2 Data jumlah penduduk dan tenaga kerja tingkat provinsi di wilayah KBI.
3 Data tenaga kerja yang diserap Industri Besar dan Sedang (IBS) menurut
provinsi wilayah KBI.
4 Data nilai tambah dan ouput yang dihasilkan IBS menurut provinsi di
wilayah KBI.
5 Data realisasi nilai Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman
Modal Dalam Negeri (PMDN) menurut provinsi di wilayah KBI.
6 Data Upah Minimum Provinsi (UMP), yaitu upah minimal yang
seharusnya diterima oleh tenaga kerja industri besar dan sedang menurut
provinsi Kawasan Barat Indonesia.
7 Data panjang jalan menurut kondisi baik di masing-masing provinsi di
Kawasan Barat Indonesia.
8 Data jumlah perusahaan, yaitu banyaknya jumlah perusahaan Industri
Besar dan Sedang (IBS) menurut provinsi wilayah KBI
Metode Analisis Data
Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif dan analisis metode
kuantitatif. Analisis deskriptif digunakan untuk memberikan gambaran secara
umum mengenai kondisi sektor industri manufaktur di wilayah KBI dan
karakteristik variabel-variabel yang terkait dengan penelitian. Variabel-variabel
tersebut adalah Indeks Persaingan Industri, ukuran perusahaan, PMA, PMDN,
panjang jalan, UMP, nilai tambah, dan jumlah perusahaan IBS. Penelitian ini akan
diolah dengan menggunakan program Eviews 6.1, Quantum Geographic
Information System (GIS) 1.7.4 dan Microsoft Excel 2007. Penggunaan metode
kuantitatif bertujuan untuk melakukan perhitungan dalam rangka menjawab
permasalahan dalam penelitian. Alat analisis pertama yang digunakan adalah
dengan Indeks Williamson, yaitu untuk mengukur seberapa besar ketimpangan
wilayah di wilayah KBI. Kedua, dengan Indeks Hoover Balassa dan Sistem
Informasi Geografi (SIG) untuk melihat titik-titik konsentrasi spasial pada

15
wilayah KBI. Selanjutnya, analisis dilakukan dengan menggunakan data panel
untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi aglomerasi industri manufaktur
di tiap provinsi wilayah KBI. Berikut merupakan penjelasan lebih mendalam
mengenai metode kuantitatif yang digunakan.
Indeks Williamson
Tujuan pertama akan dijawab dengan menggunakan Indeks Williamson,
yaitu untuk mengukur ketimpangan ekonomi wilayah antar dan intra provinsi di
wilayah KBI. Indeks Williamson yang diperoleh terletak antar 0 sampai dengan 1,
semakin mendekati 0 maka ketimpangan wilayah semakin rendah, tetapi jika
mendekati 1 maka ketimpangan wilayah akan semakin tinggi serta
mengindikasikan adanya pertumbuhan ekonomi yang tidak merata.
Formulasi Indeks Williamson untuk mengukur ketimpangan antar provinsi
wilayah KBI adalah sebagai berikut:

Keterangan:

IW = √







IW
= Indeks Williamson
yi
= PDRB per kapita di provinsi i
ӯ
= PDRB per kapita rata-rata wilayah KBI
fi
= Jumlah penduduk di provinsi i
n
= Jumlah penduduk wilayah KBI
Formulasi Indeks Williamson untuk mengukur ketimpangan intra provinsi
wilayah KBI adalah sebagai berikut:
IW = √







Keterangan:
IW
= Indeks Williamson
yj
= PDRB per kapita kabupaten j
ӯ
= PDRB per kapita rata-rata provinsi
fj
= Jumlah penduduk di kabupaten j
n
= Jumlah penduduk total provinsi
Kusumantoro (2009) menetapkan sebuah kriteria yang digunakan untuk
menentukan apakah ketimpangan ada pada ketimpangan rendah, sedang atau
tinggi. Berikut ini adalah kriterianya:
Bila mendekati 0 - 0.34
Artinya ketimpangan ekonomi wilayah rendah
Bila antara 0.35 - 0.80
Artinya ketimpangan ekonomi wilayah sedang
Bila di atas 0.80
Artinya ketimpangan ekonomi wilayah tinggi
Analisis Sistem Informasi Geografi
Tujuan kedua adalah untuk menentukan letak titik konsentrasi spasial
industri manufaktur wilayah KBI dengan menggunakan Sistem Informasi
Geografi (SIG). SIG mentransformasikan data menjadi informasi dengan
mengintegrasikan sejumlah data yang berbeda, menerapkan analisi