Manajemen Konflik Partai

SUARA PEMBARUAN

OPINI & EDITORIAL 5

SENIN, 17 DESEMBER 2012

Manajemen Konflik Partai
IDING
R HASAN

P

artai-partai politik di Indonesia
hampir semuanya pernah
mengalami keretakan internal
yang berujung pada konflik. Sebagian
partai bahkan mengalami konflik
yang sangat tajam sehingga mengakibatkan perpecahan. Partai-partai baru
akibat dari perpecahan tersebut pun
kemudian bermunculan dengan nama
yang hampir serupa dengan partai induknya. Sebut saja misalnya Partai

Demokrasi Pembaruan (PDP) yang
merupakan pecahan dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kedaulatan Bangsa Indonesia Baru (PKBIB) yang notabene pecahan dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan lain sebagainya.
Konflik, seperti yang diungkapkan Thomas dan Killman (1978), merupakan kondisi terjadinya ketidakcocokan antar nilai atau tujuan-tujuan
yang ingin dicapai baik dalam diri individu atau antar individu. Realitas
ini biasa terjadi dalam sebuah organisasi seperti partai politik Perbedaan tersebut biasanya tidak bisa dikelola dengan baik
oleh para elite partai sehingga
alih-alih dapat diredam, justru
kian menajam. Hal ini kian diperparah dengan kecenderungan adanya faksionalisme
di tubuh partai politik. Sebenarnya keberadaan faksi di
dalam sebuah partai merupakan sesuatu yang wajar dan
alamiah, namun jika tidak dimanage dengan baik justru
dapat mengakibatkan konflik
semakin melebar.
Kasus Demokrat
Apa yang terjadi pada Partai Demokrat belakangan ini,
yaitu pencopotan Ruhut Sitompul dari jabatannya di
DPP sebagai Ketua Divisi Komunikasi dan Informasi, bisa dipandang dari perspektif di atas. Meskipun sebagian elite Demokrat ada
yang berargumentasi bahwa pencopotan tersebut merupakan hal yang
biasa, atau sekadar rotasi seperti ditegaskan Saan Mustafa, namun tidak
dapat dimungkiri bahwa ada aroma

politis di dalamnya. Apalagi Ruhut
pada kenyataannya tidak diberikan
jabatan baru di DPP alias dibiarkan
berada di luar kepengurusan. Dengan
demikian, Ruhut hanya menjadi anggota partai biasa.
Aroma politis tersebut sangat kental jika melihat pada konteks politik
yang terjadi di partai yang berlambang mercy tersebut. Sebagaimana
diketahui bahwa Ruhut kerap berseberangan dengan pemikiran mainstream partai. Selain itu, Ruhut merupakan pengurus partai yang paling sering mengeluarkan pernyataan agar
Ketua Umum Demokrat, Anas Urbaningrum, mengundurkan diri untuk
sementara, terutama setelah namanya
sering disebut-sebut oleh Muhammad

Nazaruddin dalam proses pengadilan.
Padahal kebijakan partai menegaskan
bahwa seorang pengurus harus mau
mengundurkan diri jika sudah menjadi tersangka. Sementara Anas sampai
saat ini belum dijadikan tersangka
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK).
Tentu saja para pengurus harian

DPP di bawah pimpinan Anas merasa
gerah dengan pernyataan-pernyataan
Ruhut tersebut karena bisa mengganggu soliditas partai. Maka, pencopotan pun tidak dapat dihindari. Meskipun Ruhut sendiri menolak pencopotan tersebut dan bersikeras bahwa
hanya Presiden SBY selaku Ketua
Dewan Pembina yang berhak mencopotnya, tetapi sulit baginya untuk berada kembali di DPP sebagai pengurus. Dengan kata lain, sudah ada resistensi atas keberadaan Ruhut di Demokrat, setidaknya seperti terlihat pada aksi pengusiran dirinya dari Silaturahmi Nasional (Silatnas) pada Jumat kemarin.
Persoalannya adalah apakah pencopotan Ruhut dari kepengurusan di
DPP akan berimplikasi pada keretakan
internal partai? Kecenderungan ke
arah itu sangat mungkin terjadi apalagi
jika kita melihat adanya faksionalisme
di tubuh Demokrat itu sendiri. Seperti
diketahui bahwa sejak Kongres Demokrat di Bandung beberapa waktu
yang lalu di mana Anas muncul seba-

gai ketua umum, ada tiga faksi di partai biru ini, yaitu faksi Andi Alfian
Mallarangeng yang dekat dengan Cikeas, faksi Marzuki Alie dan faksi
Anas Urbaningrum. Sampai saat
ini tampaknya residu kekalahan pada
faksi Andi dan Marzuki masih ada
meskipun di permukaan tidak kelihatan.

Ruhut sendiri sebenarnya pada
awalnya merupakan salah seorang
tim sukses Anas pada saat kongres,
tetapi belakangan ia lebih merapat ke
kubu Cikeas terutama setelah terkuat
kasus korupsi pembangunan Wisma
Atlit dan Hambalang dengan terdakwa Nazaruddin. Oleh karena itu, bukan tidak mungkin pencopotan Ruhut
dari kepengurusan di DPP akan menyimpan benih “dendam” pada kubu
Cikeas terhadap kubu Anas. Komentar dari sejumlah anggota Dewan
Pembina Demokrat, meski tidak bernada keras, yang menyayangkan tindakan pencopotan tersebut sebenarnya merupakan sinyal ketidaksetujuan terhadap kebijakan kubu Anas.

Manajemen Konflik
Seberapa besar potensi konflik
yang mungkin muncul dari sebuah
kebijakan dalam organisasi apapun,
sebenarnya dapat diantisipasi jika para pengurus organisasi tersebut mampu mengelolanya dengan baik. Potensi konflik dari dampak pencopotan
Ruhut, misalnya, dapat diredam jika
Anas Urbaningrum sebagai ketua
umum partai mampu mengelolanya
dengan baik setidaknya dengan meminimalisasi potensi konflik tersebut.

Pencopotan Ruhut sendiri sebenarnya merupakan salah satu ikhtiar
Anas untuk mengambil salah satu
yang lebih ringan dari dua hal yang
sama-sama merugikan partai. Membiarkan Ruhut berada di dalam kepengurusan tetapi selalu berseberangan
dengan pemikiran utama para pengurus lainnya, tentu jauh lebih buruk
daripada membuatnya di luar kepengurusan. Oleh karena itu, pencopotan Ruhut dari kepengurusan di DPP
mau tidak mau harus diambil oleh
Anas.
Namun satu hal yang tidak boleh
dilupakan Anas adalah bagaimanapun
Ruhut merupakan orang yang pernah
sangat dekat dengan dirinya, sehingga mengetahui betul kebaikan sekaligus keburukannya. Maka, jika Ruhut
dibiarkan berada di luar kepengurusan dengan rasa dendam yang memuncak akibat dicopot, bukan tidak
mungkin Ruhut akan lebih kencang menyuarakan kritiknya. Bahkan
mungkin akan lebih nekat
dengan “menelanjangi”
Anas habis-habisan di
muka publik. Dengan kata lain, Ruhut tidak segansegan untuk mengungkapkan “borok-borok”
Anas di muka umum. Jika
ini yang terjadi, tentu sangat tidak menguntungkan bagi kelangsungan

Demokrat ke depan apalagi akan menghadapi pemilu pada 2014.
Salah satu hal yang
perlu diperhatikan dalam
manajemen konflik adalah
bagaimana elite atau pemimpin organisasi mampu
mengarahkan perselisihan
pada suatu titik yang berorientasi pada
penyelesaian konflik sehingga dapat
meminimalisasi potensi konflik tersebut. Salah satu caranya antara lain dengan kesediaan untuk mengakomodasi
kepentingan orang yang di dalam konflik tersebut berada di pihak yang “dirugikan”. Dalam konteks Demokrat,
Ruhut sebagai orang yang “dirugikan”
karena dicopot dari kedudukannya,
seyogianya tetap diakomodasi di dalam partai. Meskipun tidak dalam kepengurusan di DPP, mungkin saja di
lembaga lain seperti lembaga non
struktural tetapi memiliki garis koordinasi dengan ketua umum.
Dengan cara seperti di atas, setidaknya Ruhut merasa tetap dihargai
sehingga tidak akan terlalu kencang
bersuara miring di luar. Demokrat
pun bisa lebih fokus untuk melakukan konsolidasi guna mempersiapkan
diri menghadapi Pemilu 2014.

PENULIS ADALAH DEPUTI DIREKTUR
THE POLITICAL LITERACY INSTITUTE, DOSEN
KOMUNIKASI POLITIK FISIP UIN JAKARTA

Sosok Tegas dan Cepat Mengambil Keputusan
dari halaman 1

Namun, pola kepemimpinan seperti itu juga
menuai kritik. JK dinilai terlalu banyak mengambil
peran yang seharusnya dimainkan presiden. Apalagi JK yang berlatar belakang pengusaha, dikhawatirkan mempengaruhi pembuatan kebijakan yang
menguntungkan bisnisnya.
Kiprah JK yang belakangan ini fokus pada kegiatan kemanusiaan, antara lain menjadi ketua umum Palang Merah Indonesia (PMI), dan menjadi
penengah konflik masyarakat, dinilai Ary sebagai
upaya memperbaiki citranya menjelang Pilpres
2014. Meski demikian, jalan menuju Pilpres 2014
juga belum mulus karena JK tidak memiliki partai
politik (parpol).
“Undang-undang memang mengatakan begitu
(capres hanya diajukan oleh parpol, Red). Pilpres
berbeda dengan pilkada yang bisa maju secara

independen. Pertanyaannya, apakah JK punya kendaraan politik? Golkar yang pernah dipimpin JK,
kini mencalonkan Aburizal Bakrie. Pencalonan JK
masih harus dilihat dari tingkat elektabilitasnya
beberapa waktu ke depan,” kata Ary.
Pengabdian
Dalam berbagai kesempatan, JK menyambut
positif hasil survei dan respons masyarakat terhadap dirinya. Mantan wakil presiden ini pun memberikan apresiasi dan rasa terima kasihnya kepada
masyarakat.
“Saya berterima kasih jika masyarakat memberikan penilaian positif. Memang penilaian positif
tentunya memakan waktu. Orang menilai karena
pengabdian yang lama,” katanya di sela-sela acara
penganugerahan penghargaan Satyalencana Kebaktian Sosial kepada donor darah sukarela (DDS)
100 kali di Jakarta, pekan lalu.
JK mengaku belum ada pembicaraan serius dengan parpol mengenai pengajuan dirinya sebagai
salah satu capres dalam Pilpres 2014. Menurutnya,

saat ini belum waktunya membicarakan capres-cawapres karena parpol masih mempelajari semua
keadaan. Menurutnya, pencalonan seseorang sebagai capres atau cawapres tetap bergantung pada hasil Pemilu Legislatif 2014.
Dalam kesempatan berbeda, saat ditemui di sela-sela acara pemberian penghargaan sebagai tokoh
publik pilihan versi SPS 2012, JK menyatakan belum ada kesepakatan dengan pihak mana pun terkait Pilpres 2014. Meski begitu, JK tidak menyangkal kalau dirinya sudah melakukan pembicaraan

dan diskusi dengan sejumlah pihak mengenai pencalonan dirinya sebagai presiden. Secara tegas JK
menyatakan pencalonannya tidak melalui Partai
Golkar.
Secara pribadi, JK mengakui tidak bisa mencalonkan diri karena UU Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden menyebutkan pengajuan capres dan cawapres harus melalui parpol. “Nanti, kita tunggu saja.
Sekarang masih terlalu jauh,” ujarnya.
Dalam pandangan JK, salah satu persoalan besar bangsa Indonesia adalah menjamurnya praktik
korupsi di berbagai bidang kehidupan. JK menyatakan, apa pun alasan dan motifnya, pelaku korupsi
tidak dapat dimaafkan.
Baginya, hukum harus berlaku umum dan tidak
pandang bulu, termasuk bagi pejabat aktif yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. “Bisa saja
benar, banyak orang tidak tahu (telah melakukan
korupsi, Red). Tetapi tidak berarti dia harus terbebas hukuman,” tegasnya.
Seseorang yang melakukan tindak pidana korupsi pasti memenuhi salah satu dari tiga unsur
korupsi, yakni melanggar hukum, menguntungkan
diri sendiri atau orang lain, dan merugikan negara.
“Tindakan korupsi, selama memenuhi tiga unsur
tersebut, tetap dikatakan korupsi. Dalam aturan hukum, tidak bisa dikatakan sengaja atau tidak. Yang
korupsi, harus dihukum,” tegasnya. [R-15/152]


ERP Diusulkan Rp 30.000
dari halaman 1

Sedangkan, gerbang dua untuk mengurangi deposit pada alat pembayaran elektronik di kendaraan
(onboard unit/OBU).
Deputi Gubernur DKI Jakarta Soetanto Soehodho mengatakana, pembatasan kendaraan dengan metode ERP rencananya mulai diterapkan
awal 2014. Selama dua tahun ke depan, ujarnya,
selain penyiapan infrastruktur pendukung, pihaknya juga akan menyiapkan payung hukum berupa
peraturan pemerintah (PP), yang mengatur prosedur pemungutan biaya.
Menurut dia, rancangan peraturan darah (perda) tentang penerapan ERP di Jakarta telah lama
rampung. Namun, perda penerapan ERP itu memerlukan payung hukum yang lebih tinggi.
“PP yang mengatur tentang prosedur pemungutan tarif, yang ada pada UU Nomor 28 tahun 2009
tentang Pajak dan Retribusi, sampai sekarang masih diproses di Kementerian Keuangan. PP itu
mengatur masalah pengadaan alat, tarif, dan halhal terkait ERP,” ujarnya.
Dia juga menegaskan, nantinya ERP juga diberlakukan untuk roda dua. Sebab, menurut dia, jika ERP hanya diterapkan untuk kendaraan roda
empat, penggunanya bisa saja beralih ke roda dua.
Lebih Baik
Pakar transportasi dari Universitas Indonesia
(UI) Jakarta, Alvinsyah mengatakan, penerapan
ERP lebih baik dibandingkan pembatasan kendaraan pribadi dengan metode ganjil-genap. Di negaranegara maju, ERP sukses mengurai kemacetan, sedangkan sistem pembatasan dengan nomor kendaraan genap-ganjil ternyata gagal.

“Sejumlah negara yang pernah menerapkan kebijakan ganjil-genap rata-rata gagal mengurai kemacetan lalu lintas. Kota-kota yang pernah menerapkan kebijakan itu, antara lain Athena, Mexico
City, Roma, dan Beijing. Sedangkan, ERP rata-rata
sukses diterapkan di negara maju, seperti Singapura. ERP mampu memecah kemacetan di kota-kota

yang menerapkan aturan itu,” ujarnya.
Alvinsyah mengatakan, rencana penerapan
ganjil-genap harus benar-benar dikaji secara matang oleh Pemprov DKI Jakarta. Hal utama yang
harus diperhatikan jika sistem genap-ganjil tetap
digunakan adalah penyediaan angkutan umum.
Pemprov DKI harus mengkaji secara mendalam
tentang kesiapan dana dan waktu yang diperlukan
untuk menyediakan kapasitas tambahan angkutan
umum, karena sebanyak 50 persen warga yang
menggunakan kendaraan pribadi akan beralih ke
angkutan umum.
Selain itu, ujarnya, ada beberapa pertanyaan
yang perlu dijawab terkait penerapan sistem genapganjil, yakni seberapa akurat data jumlah armada
angkutan umum yang benar-benar layak beroperasi
saat ini. Lingkup trayek pelayanan angkutan umum
pun harus mampu mengakomodasi kebutuhan masyarakat, terutama yang berada di pinggir Jakarta.
Kalau transportasi umum tidak dibereskan dulu,
menurut dia sulit menerapkan sistem genap-ganjil.
Menurut Alvinsyah, fakta beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa masyarakat sangat kecewa terhadap kondisi angkutan umum di Jakarta.
Sikap masyarakat itu terlihat dari meningkatnya
kepemilikan dan penggunaan kendaraan bermotor,
baik roda dua maupun roda empat. Belum lagi aspek sosial, ekonomi, psikologi, dan hukum yang
perlu dikaji lebih mendalam agar pembatasan kendaraan dengan nomor genap-ganjil bisa diterapkan.
Pandangan berbeda disampaikan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Institute Studi Transportasi (Instran)
Achmad Izzul Waro. Menurut dia, sistem ERP baru
bisa diterapkan setelah sistem genap-ganjil tak mampu mengatasi kemacetan di Jakarta. Sebab, kata dia,
ERP membutuhkan biaya yang lebih besar.
“ERP itu masih membutuhkan peralatan elektronik yang canggih dan mahal jika ingin diterapkan. Sedangkan, kalau sistem genap-ganjil tidak
terlalu mahal. Tinggal aparat kepolisian yang
memperketat pengawasan,” katanya. [H-14]

“Outsourcing” Bukan Barang Haram
dari halaman 1

SUARA PEMBACA
Suara pembaca dikirim melalui email opini@suarapembaruan.com atau Faks
ke redaksi, disertai alamat lengkap dan fotocopy identitas yang masih berlaku

Cegah Korupsi Sejak Dini
Peringatan Hari Antikorupsi tahun ini diwarnai dengan peristiwa besar. Untuk pertama kalinya seorang
menteri aktif, yakni Menpora Andi Mallarangeng, ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Agaknya tekad pemerintah dan penegak hukum untuk serius menangani
kejahatan korupsi sehingga tidak ada pembiaran dan tebang pilih dalam penanganan kasus korupsi, mulai terwujud.
Namun laporan Transparency International Indonesia (TII) tahun 2012 masih memasukkan Indonesia
sebagai negara dengan tingkat korupsi yang tinggi, berdasarkan buruknya indeks persepsi korupsi (IPK).
Di kawasan Asia Tenggara, posisi IPK Indonesia masih
berada di jajaran bawah. Masih kalah dibandingkan
Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand, dan
Filipina.
Secara akademis penelitian itu masih bisa diperdebatkan karena yang diukur adalah variabel persepsi bukan korupsinya itu sendiri. Mengukur persepsi atau anggapan tidak bisa digunakan untuk memperlihatkan fakta
lapangan korupsi di Indonesia. Upaya pemberantasan
korupsi selain kepada aspek penindakan, harus juga
mengarah kepada aspek pencegahan.
Upaya luar biasa yang dilakukan KPK ataupun lembaga penegak hukum lain dalam hal penindakan layak
diapresiasi.
Fakta seorang pejabat publik sekelas menteri dibidik
menjadi tersangka jelas sebuah prestasi tersendiri untuk
KPK. Namun, aspek pencegahan jelas tidak boleh disepelekan dan dinomorduakan.
Meski perangkat pencegahan itu sudah ada seperti
Inpres No 17/2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi yang merupakan kelanjutan dari Inpres No 9/2011. Namun masih perlu langkah revolusioner yang bersifat dini dan membudaya.
Sebuah terobosan telah dibuat oleh KPK dan
BKKBN yang memfokuskan kerja sama

Yohane Wawengkang
Jalan Margonda Raya, Depok, Jawa Barat

Tindak Tegas Pelaku Penggelap
BBM Bersubsidi
Polda Bengkulu menangkap dua orang diduga penimbunan BBM jenis premium, pada 30 November
2011. Direktur Reskrimsus Bengkulu Kombes Mahendra Jaya mengatakan dua tersangka ditangkap anggota
Propam Polda Bengkulu, karena diduga telah menyalahgunakan pengangkutan atau perniagaan dengan menyimpan BBM bersubsidi tanpa dilengkapi surat izin
menjual BBM bersubsidi tersebut.
Kita prihatin dengan aksi penimbunan BBM bersubsidi yang mungkin akan disalahgunakan untuk
di selundupkan ke luar negeri. Besarnya subsidi yang
diberikan pemerintah untuk bahan bakar minyak di
Indonesia, ketimbang di luar negeri, membuat komoditas ini menjadi barang yang menggiurkan untuk diselundupkan.
Menteri Keuangan, Agus Martowardojo, mengatakan aksi penyelundupan atau diibaratkannya sebagai
BBM “Spanyol” atau “Separuh Nyolong”, saat ini telah
dilakukan secara sistemik, karena ada mafia besar di
balik aksi tersebut.
Penggelapan BBM bersubsidi , tentunya akan berdampak pada berkurangnya pasokan kebutuhan masyarakat dalam negeri. Negara pun dirugikan cukup besar
dari aktivitas illegal ini. Agar tidak semakin berlarut-larut dan kegiatan illegal sehingga menjadi hal yang biasa, diperlukan ketegasan untuk menindak para pelakunya. Jangan ragu menindak siapapun yang membekinginya, sehingga penyelundupan maupun penggelapan
BBM bersubsidi dapat dicegah dan tepat sasaran.
Sony Atmaja
Jl Dewi Sartika, Jakarta Timur

Dengan mengeluarkan peraturan tentang pembatasan outsourcing /subcontracting pada jenis
kegiatan tertentu, maka menakertrans telah melanggar batas kewenangannya. Kemnakertrans
tidak berhak menentukan jenis kegiatan outsourcing/subcontracting mana yang layak atau tidak
layak, karena hal tersebut bukanlah kompetensi
dari kementerian tersebut. Regulasi tentang jenisjenis usaha yang dapat digeluti dunia usaha merupakan domain dari banyak kementerian, termasuk
Kementerian Hukum dan HAM, Perdagangan,
Perindustrian, ESDM, Pertanian, BKPM, dan
sebagainya.
Dalam upaya untuk meningkatkan efisiensi dan
daya saing, mencari sumber luar (outsource) untuk
melakukan suatu tugas/kegiatan tertentu adalah hal
yang mendunia saat ini. Bahkan, menjadi suatu keharusan apabila kita ingin mempertahankan eksistensi di dalam persaingan global yang sedemikian
kerasnya.
Perusahaan-perusahaan di seluruh dunia, tidak
saja di negara-negara Barat (Amerika, Eropa),
bahkan di negara komunis pun (Tiongkok dan Rusia), melakukan langkah-langkah outsourcing untuk meningkatkan daya saing dan mengamankan
keberadaannya di tengah-tengah kompetisi global
yang semakin tajam.
Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa
hampir semua perusahaan penerbangan di Amerika meng-outsource atau menunjuk perusahaanperusahaan dari luar untuk kegiatan-kegiatan back
office-nya (pekerjaan rutin administrasi kantor),
antara lain call center, ticketing, dan payroll, yang
memang memiliki spesialisasi dan keahlian pekerjaan-pekerjaan tersebut.
Menurut pandangan pengusaha penerbangan,
lebih penting untuk memfokuskan peningkatan kemampuan dalam core business, yakni menerbangkan pesawat dengan selamat dan memuaskan penumpang dengan pelayanan yang optimal, ketimbang melakukan kegiatan-kegiatan, seperti menjawab telepon dari pelanggan ataupun kegiatan antarjemput pilot serta kru pesawat.

Sebagai dampak gejala mencari “sumber luar”
yang mendunia ini, maka tumbuhlah dengan subur
perusahaan-perusahaan spesialis dalam berbagai
bidang yang pada umumnya adalah perusahaan
menengah dan kecil yang memberikan kontribusi
luar biasa dalam menciptakan lapangan kerja.
Pertumbuhan perusahaan-perusahaan tersebut telah merangsang inovasi dan kreativitas dan penemuan teknologi baru.
India merupakan negara yang paling sukses
memanfaatkan peluang menjadi pemasok sumber
luar (outsource) bagi Amerika yang menghasilkan
devisa setiap tahun mencapai 100 miliar dolar AS
dari kegiatan tersebut.
Atas alasan-alasan di atas, marilah kita menghindari langkah-langkah yang sengaja atau tidak
sengaja dapat membelenggu dan melemahkan
bangsa kita. Untuk meningkatkan daya saing secara optimal, negara perlu menciptakan iklim yang
dapat menumbuhkan dengan subur kreativitas,
inovasi, entrepreneurship, serta peluang-peluang
pasar untuk menciptakan sebanyak mungkin lapangan kerja.
Peluang emas ada pada kita saat ini. Hampir
semua prasyarat untuk menjadi negara adidaya kita miliki. Namun, semuanya tidak akan membuahkan hasil yang optimal apabila berkah dari Allah
SWT yang melimpah tidak kita kelola secara arif
bagi kemakmuran rakyat dan bangsa kita. Salah
satu contoh ketidakarifan adalah apabila kita mengira bahwa outsourcing adalah barang yang haram dan perlu dilarang.
Diperlukan upaya sosialisasi kepada teman-teman buruh bahwa kegiatan outsourcing justru dapat menciptakan lapangan kerja yang banyak dan
bukan sesuatu kegiatan yang haram. Kegiatan outsourcing atau subcontracting adalah praktik bisnis
yang universal, dipakai oleh perusahaan-perusahaan global, efisien, dan dapat membuka lapangan
kerja yang luas. Jadi praktik ini tidak boleh dilarang. Yang dilarang adalah hubungan yang tidak
adil dalam subcontract tersebut dan penyimpangan yang merugikan buruh. ◆