Penggunaan Genjring Bonyok dan Tardug

3.8.2 Penggunaan Genjring Bonyok dan Tardug

Penggunaan genjring bonyok dan tardug dalam kebudayaan Sunda mencakup berbagai aktivitas, seperti: memeriahkan suasana pesta perkawinan, memeriahkan suasana pesta khitanan, meruwat bumi (memohon agar Tuhan menghindarkan bahaya suatu daerah), menyambut tetamu, untuk festival-festival budaya, untuk mengiringi acara-acara peresmian, untuk kepentingan pariwisata, dan lain-lain.

3.8.2.1 Upacara pesta kawin

Dalam kebudayaan Sunda pada umumnya, pernikahan merupakan kegiatan yang bersifat keagamaan dan adat sekaligus. Pernikahan secara konseptual, adalah penyatuan jasmani dan rohani antara laki-laki dan perempuan yang diabsahkan baik oleh agama maupun norma-norma sosial. Dalam kebudayaan masyarakat Sunda di Jawa Barat, upacara perkawinan ini terdapat beberapa tahapan.

Di beberapa tempat di Banten jodoh seseorang sudah ditentukan oleh orang tuanya sejak masih anak-anak. Di daerah pedesaan lainnya masih berlaku pula jodoh ditentukan oleh orang tua ketika anak sudah dianggap dewasa (baleg). Pada keluarga petani yang kaya, seriang kali jodoh ditentukan oleh orang tua yaitu sama- sama orang yang kaya juga. Kalau perlu dengan kerabat besarnya. Hal ini dimaksudkan untuk memelihara kekayaan. Perkawinan seperti ini, menurut istilah Buah Batu Bandung, yaitu ngadu galeng (mengadu pematang). Akan tetapi pada umumnya dewasa ini para pemuda dan pemudi bebas memilih jodohnya masing- masing. Berikut adalah adat perkawinan yang masih dipegang oleh sebilangan orang Sunda.

Jika seorang pemuda sudah menentukan pilihannya, maka kedua orang tuanya melakukan neundeun omong (menaruh kata) kepada orang tua si gadis. Setelah itu terjadilah proses amat-mengamati, penelitian, atau pengkajian atas dasar prinsip: babat, bibit, dan bobot. Periode ini disebut dengan bene beureuh (kekasih laki-laki dan kekasih perempuan). Babad artinya apakah calon itu sebanding apa tidak. Jika tidak sebanding strata sosialnya mungkin bisa diurungkan. Namun ini tergantung dari pihak keluarga masing-masing. Yang dimaksud bibit adalah faktor keturunan, apakah orang baik-baik atau tidak. Sedangkan bobot berkaitan dengan pribadi dan tingkat sosial ekonomi si calon pendamping hidup. Jika pengkajian tiga hal di atas tidak sesuai maka ini digambarkan seperti pada pantun Sunda berikut ini.

Lain pandan lain pancing, Lain cempaka kuduna, Lain babad lain tanding, Lain ka dina kuduna.

(Bukan pandan bukan pancing, Bukan cempaka mestinya, Bukan babad bukan tanding, Bukan kepada dia mestinya). Di samping prinsip di atas juga ada prinsip lainnya. Kepada seorang pemuda

yang telah berkeinginan untuk berkeluarga, para sanak dan sahabatnya selalu menasihatkan agar memeiliki terlebih dahulu sarat, sirit, sorot. Sarat artinya si pemuda sudah memiliki penghasilan dan hal-hal materi lain untuk keluarganya. Sirit pula adalah kemampuan berhubungan seksual. Selanjutnya sorot adalah berupa kedudukan, jabatan, dan pangkat yang secara sosial memang diperlukan.

J ika dalam periode bene beureuh tadi ternyata menemukan kecocokan, maka periode selanjutnya adalah dilanjutkan lamaran oleh keluarga si pernuda. Biasanya untuk melamar itu diserahkan kepada orang yang binekas pinter nyarita, yaitu orang yang pandai mengungkapkan maksud hati dengan kata-kata berirama, bersajak, indah, dan halus. Tentu saja pihak pemuda membawa barang-barang dan uang sebagai ciri asih tanda cinta, meneuhkeun tineung ka jungjunan pupunden hate (ciri kasih, tanda cinta, mengokohkan rindu dendam kepada pujaan hati). Biasanya pada waktu melamar ini ditentukan pula hari baik bulan baik bagi pernikahan. Setelah itu sering terjadi hubungan antara kedua keluarga tersebut.

Sehari sebelum pernikahan diadakan upacara seserahan (serah terima) yang kalau dahulu lalu dilanjutkan dengan ngeuyeuk seueuh (mengolah sirih). Bila pernikahan itu bukan besok harinya, seserahan dilakukan sore hari atau malam hari sebelumnya. Atau bila si pemuda tempat tinggalnya jauh, sering terjadi seserahan dilakukan sebelum saat walimah (pernikahan). Bagi keluarga marnpu penghuru Sehari sebelum pernikahan diadakan upacara seserahan (serah terima) yang kalau dahulu lalu dilanjutkan dengan ngeuyeuk seueuh (mengolah sirih). Bila pernikahan itu bukan besok harinya, seserahan dilakukan sore hari atau malam hari sebelumnya. Atau bila si pemuda tempat tinggalnya jauh, sering terjadi seserahan dilakukan sebelum saat walimah (pernikahan). Bagi keluarga marnpu penghuru

Selesai pernikahan diadakan upacara adat yaitu nyawer, nincak endog, (menginiak terur), buka pintu, dan huap ringkung (suap lingkung). Nyawer berupa nasihat-nasihat kepada mempelai yang dibawakan dengan tembang atau puisi. Nyawer merupakan acara paling meriah dimana hadirin berebutan uang, gula- gula, yang dicampur dengan beras kuning, beras putih dan kuning (turmeric), yang semuanya itu disemburkan oleh penyawer kepada hadirin pada akhir setiap bait tembangnya.

Uang dan beras melambangkan dunya barana (harta benda) yang pokok dalam kehidupan. Beras kuning dan kuning (kunyit), turmeric melarnbangkan keagungan, itu bisa berupa wibawa yang merupakan pengaruh dari pangkat atau jabatan. Warna kuning dan putih (beras putih) mengisyaratkan kepada emas dan perak. Sedangkan gula-guti adalah unsur baru yang mulai masuk cada dekade enampuluhan.

Upacara nyawer ini lebih berintikan nasihat dan doa dari si Denyawer yang bertindak atas nama orang tua dan kedua mernpelai. Juga ajakan kepada hadirin untuk ikut mendoakan. Makna yang dikandung benda-benda simbolis tu biasanya secara vokal disenandungkan si penyawer (biasanya wanita cantik): "luhur kuta gede dunya, luhur oangkai gede darajat, dan seterusnya."

Upacara nyawer ini biasanya dilakukan di halaman repan rumah mempelai wanita, sebab biasanya pernikahan itu selalu dilakukan di rumah pengantin wanita. Selama nyawer itu kedua mempelai dipayungi payung kebesaran. Seusai nyawer kedua mempetai berjalan berdampingan ke depan pintu. Pengantin pria bertugas Upacara nyawer ini biasanya dilakukan di halaman repan rumah mempelai wanita, sebab biasanya pernikahan itu selalu dilakukan di rumah pengantin wanita. Selama nyawer itu kedua mempelai dipayungi payung kebesaran. Seusai nyawer kedua mempetai berjalan berdampingan ke depan pintu. Pengantin pria bertugas

Setelah itu harupat (semacam duri dari pohon enau) dinyalakan dan harus ditiup hingga padam oleh mempelai wanita. Hal ini melambangkan jika suami sedang marah, si istri harus dapat meredakan kemarahannya itu dengan cara yang tepat. Kernudran kendi yang masih berisi air itu dijatuhkan oleh mempelai wanita hingga pecah dan airnya bercipratan. Keadaan ini mengisyaratkan suasana rumah tangga mereka harus tiis dingin paripurna, tata tentrem kertaraharja, tenang dan tenteram. Upacara ini disebut upacara nincak endog (memijak telur).

Berikutnya adalah upacara buka pintu. Mempelai wanita masuk ke dalam rumah dan berdiri di balik atau di samping pintu. Mempelai pria yang berdiri di luar mengetuk pintu, sehingga terjadilah dialog dalam tembang, yang tentu saja disenandungkan penembang pria dan wanita. Dalam dialog itu biasanya mempelai wanita mengajukan permintaan sebagai syarat untuk mempelai pria bisa masuk rumah. Permintaan itu bisa macam-macam, tetapi biasanya berupa pembacaan syahadat oleh mempelai pria. Setelah selesai membaca syahadat, pintu dibuka oleh mempelai wanita. Keduanya bersalaman menurut tata cara adat Sunda.

Kedua mempelai ini lalu berjalan berdampingan diiringi oleh sanak keluarga menuju kamar pengantin. Di sini sudah disiapkan hidangan lengkap. Hidangan utama dalam upacara huap lingkung (suap lingkung) ini adalah bakakak hayam (ayam panggang) dan nasinya. Kedua mempelai saling menarik bakakak itu hingga terbagi dua. Mempelai yang memperoleh bahagian terbesar dianggp bakal memperoleh rezeki yang besar.

Setelah selesai upacara huap lingkung ini, kedua mempelai lalu duduk di kursi kebesaran, kursi gading gelang kencana. Keduanya menerima ucapan selamat dari handai taulan ataupun undangan lainnya. Pada saat inilah genjring bonyok atau tardug dipertunjukkan kepada semua yang hadir dalam pesta perkawinan adat Sunda tersebut.

3.8.2.2 Upacara Pesta Khitan

Acara berkhitan (sunat Rasul atau sirkumsisi) merupakan salah satu aktivitas dalam peradaban Islam. Berdasarkan hukum Islam, berkhitan adalah wajib ‘ain —wajib dilakukan oleh setiap individu muslim, sesuai ajaran Nabi Muhammad SAW. Usia untuk berkhatan tidak ada ketentuannya, tetapi biasanya untuk anak perempuan dilakukan setelah berusia lebih setahun, anak laki-laki lebih dari tujuh tahun menjelang akil baligh (usia remaja).

Biasanya pada saat anak dikhitan, disertai acara yang berhubungan dengan adat-istiadat, yaitu kenduri sebagai rasa syukur dan mohon keselamatan kepada Allah. Dalam budaya Sunda, acara khitan ini dilaksanakan menurut hari baik dan bulan baik, biasanya Sya’ban, Syawal, Zulhijjah, atau Zulkaidah. Sesuai dengan penanggalan Islam, berdasarkan pada siklus tahun qamariah (siklus bulan

mengedari bumi), 23 dimulai dari tahun awal kali Nabi Muhammad dan pengikutnya hijrah (migrasi sementara) dari Mekah ke Medinah.

23 Di dunia ini ada pelbagai sistem kalender yang digunakan oleh manusia. Ada yang mengikut sistem bumi mengedari matahari seeperti kalender Masihi. Ada pula yang mengikut bulan

mengelilingi bumi seperti kalender Islam dan Jawa. Ada juga kalender-kalender lain seperti China, Thailand, Batak Toba, Karo, Simalungun dan lainnya.

Pada hari yang ditentukan, anak tersebut dikhatan. Setelah selesai dikhatan ditidurkan di sebuh ranjang. Beberapa masa kemudian, didudukkan di pelaminan. Di depan pelaminan disediakan tumpengan (nasi dan lauk pauk). Saat anak didudukkan di pelaminan inilah biasanya dipertunjukkan genjring bonyok, atau tardug, keyboard tunggal , atau seni Sunda yang lainnya.

3.8.2.3 Ruwatan

Ruwatan adalah salah satu upacara yang lazim dilakukan oleh masyarakat Sunda. Ruwatan adalah upacara yang bertujuan untuk menolak bala atau menghindarkan malapetaka yang akan dilakukan oleh Tuhan Yang maha Kuasa karena murka kepada manusia atau segelintir manusia yang berakibat kepada manusia lainnya. Malapetaka itu adalah seperti datangnya penyakit, panen yang tidak berhasil, bencana alam,. Kemarau, gempa bumi, dan lain-lainnya.

Ruwatan ini dilakukan dengan cara musyawarah para pemuka adat Sunda dan juga tokoh agama, serta tokoh-tokoh pemerintahan. Waktu dan tempat pelaksanaan ditentukan berdasarkan musyawarah tersebut. Setelah disepakati bersama maka pesta ruwatan ini dilakukan menurut tempatnya. Tetapi pesta ruwatan bisa juga dilakukan oleh keluarga tertentu yang ingin terbebas dari malapetaka tersebut.

Seni genjring bonyok dan tardug biasanya diselenggarakan setelah upacara secara agama di suatu perhelatan ruwatan. Seni genjring bonyok atau tardug ini bisa dilakukan di lapangan, atau juga pentas, atau juga secara berkeliling memakai mobil pick up. Dahulu kala dilakukan dengan menggunakan sepeda dan berjalan Seni genjring bonyok dan tardug biasanya diselenggarakan setelah upacara secara agama di suatu perhelatan ruwatan. Seni genjring bonyok atau tardug ini bisa dilakukan di lapangan, atau juga pentas, atau juga secara berkeliling memakai mobil pick up. Dahulu kala dilakukan dengan menggunakan sepeda dan berjalan

3.8.2.4 Menyambut Tetamu

Selain itu, sesuai dengan perkembangan zaman, musik genjring bonyok dan tardug pada masa-masa akhir ini digunakan untuk menyambut tetamu-tetamu kehormatan dari kepala desa, camat, atau bupati Kabupaten Subang. Biasanya tamu-tamu diundang untuk mengikuti upacara-upacar resmi yang dilakukan oleh pihak eksekutif. Adapun upacara itu di antaranya adalah emrsmikan digunakannya gedung-gedung pemerintah, meresmikan dibukanya acara festival budaya, meresmikan pasar malam, meresmikan pameran, dan lain-lainnya.

3.8.2.5 Peresmian

Seni genjring bonyok dan tardug juga digunakan dalam upacara-upcara peresmian yang biasanya dilakukan juga oleh pihak pemerintahan di Kabupaten Subang, baik dari tingkat bupati, camat, kepala desa, dan yang lainnya. Adapun peresmian-peresmian yang lazim dilakukan oleh pihak eksekutif ini adalah seperti persemian penggunaan gedung baru, peresmian pameran hasil pertanian, peresmian festival dan lomba budaya, peresmian upacara ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia di bulan Agustus, peresmian perlombaan olah raga, dan persemian- persemian lainnya. Kesenian ini digunakan untuk memeriahkan suasana upacara tersebut, yang dinikmati oleh masyarakat umum. Juga menjadi sarana komunikasi sosial antara pemerintah dengan rakyatnya.