Hubungan Struktur Tari, Musik Iringan, dan Fungsi Sosial Tari Galombang yang Dipertunjukan Sanggar Tigo Sapilin pada Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Minangkabau di Kota Medan

(1)

HUBUNGAN STRUKTUR TARI, MUSIK IRINGAN, DAN FUNGSI TARI GALOMBANG YANG DIPERTUNJUKAN SANGGAR TIGO SAPILIN PADA UPACARA ADAT PERKAWINAN MASYARAKAT MINANGKABAU DI KOTA MEDAN

SKRIPSI SARJANA O

L E H

RENY YULYATI BR. LUMBAN TORUAN NIM: 090707016

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN


(2)

ABSTRAKSI

Skripsi ini berjudul Hubungan Struktur Tari, Musik Iringan, dan Fungsi Sosial Tari Galombang yang Dipertunjukan Sanggar Tigo Sapilin pada Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Minangkabau di Kota Medan. Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara dan perekaman. Informan yang didapat di lapangan berjumlah empat orang, terdiri dari satu orang pemilik sanggar Tigo Sapilin Medan, satu orang pengelola sanggar, satu pemain musik pengiringnya, dan satu orang penari tari Galombang tersebut yang aktif.

Penelitian difokuskan kepada bagaimana pertunjukan tari Galombang yang di sajikan pada saat upacara perkawinan masyarakat Minangkabau. Adanya hubungan struktur tari, musik pengiring, dan fungsi sosial yang berhubungan dalam penyajiannya. Pada bagian musik yang mengiringi tarian tersebut mengandung struktur melodi dan ritem yang merupakan kajian dalam dunia Etnomusikologi.

Dalam proses meneliti gerak tari tersebut, penulis tidak terlalu memfokuskan secara detail pada gerak tari, dalam tulisan penulis menggunakan lambang-lambang umum dan sederhana yang dapat mewakili pola gerak tari Galombang. Proses pentranskripsian musik pada musik pengiringnya dilakukan dengan program Sibelius yang hasilnya akan dituliskan kedalam notasi balok. Skripsi ini menjelaskan hubungan struktur tari, musik pengiring, dan fungsi sosial seni pertunjukan tari


(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan kekuatan, kemampuan serta berkat dan kemurahan-Nya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini berjudul Hubungan Struktur Tari, Musik Iringan, dan Fungsi Sosial Tari Galombang yang Dipertunjukan Sanggar Tigo Sapilin pada Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Minangkabau di Kota Medan. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang S-1 dan memperoleh gelar Sarjana Seni (S.Sn) pada Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

Selama proses penyusunan skripsi, penulis memperoleh bantuan yang luar biasa banyak dan baik dari Bapak Drs. Muhammad Takari, M.hum., Ph.D selaku pembimbing I dan Ibu Arifni Netrirosa, SST., M.A. selaku pembimbing II serta dosen pembimbing akademik penulis selama kuliah. Kedua pembimbing yang hebat ini sangat membantu penulis selama penyelesaian skripsi. Mereka juga memberikan banyak pelajaran kepada penulis terutama hal kesabaran, keberanian dan kepandaian dalam penulisan skripsi ini. Saran dan arahan mereka membuat penulis semakin termotivasi dan semakin semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Ketua dan Sekretaris Departemen Etnomusikologi, serta seluruh dosen-dosen dan pegawai di lingkungan Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya yang telah memberikan peluang, kesempatan dan kemudahan dalam menyelesaikan mata kuliah selama masa perkuliahan hingga sampai kepada tahap penyelesaian skripsi ini.


(4)

Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Abu Bakar Siddiq SH, teteh Riza, Bapak Zul Alinur, selaku informan, serta semua anggota penari sanggar Tigo Sapilin dan bapak/ibu informan lainnya, yang telah bersedia memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian dan juga sudah memberikan waktunya kepada penulis untuk mengadakan wawancara.

Dalam kesempatan ini, secara khusus penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada kedua orangtua terhebat yang sangat penulis cintai, Bapak S. Lumban Toruan dan Mama M. Br. Sinaga. Terimakasih buat segala kerja keras dan kebaikan mama bapak sehingga penulis bisa seperti sekarang. Terimakasih buat perhatian yang tak pernah putus-putus khususnya selama pengerjaan skripsi ini, terimakasih buat motivasi-motivasi yang mama bapak berikan sehingga penulis tetap semangat dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis bangga memiliki orangtua yang sangat perhatian seperti mereka. Secara khusus terima kasih buat doa-doa bapak dan mama terutama kepada mama yang selalu setia mendoakan penulis sehingga penulis mendapatkan kekuatan dan penghiburan dari Tuhan. Mungkin sudah banyak berlinang air mata di pipi mereka sepanjang membesarkan penulis hingga saat ini, tapi penulis percaya, semuanya akan dicukupkan oleh Tuhan kepada mama bapak. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada saudara-saudara penulis yang sangat penulis sayangi yaitu abang Charles B. Juniadi Lumban Toruan, adik Sri Juliany Br.Lumban Toruan, dan adik Maya Armitha Br. Lumban Toruan. Terima kasih buat doa dan perhatian kalian semua sehingga membuat semangat bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Kalian adalah bagian dari hidup penulis yang terhebat dan penulis sangat cintai yang takkan pernah tergantikan sampai kapanpun.

Ucapan terima kasih kepada seluruh teman-teman seperjuangan yang sudah penulis anggap keluarga selama proses perkuliahan yaitu NANOLAN yakni Nesya


(5)

Vania Sinaga, Syarifah Aini Nasution, Teti Elena Siburian, Fitri Suci Hati Saragih, Verawati Simbolon, Anita P.R Purba, H.A Martin Tambunan, Maruli Purba, Sugiardi, Wahyu Boang Manalu, Dicky Arloy Silalahi, Krisrendy Masdeo Siregar, Herman Simanjuntak, Septianta Bangun, Giat Raja Hizkia Sihotang, dan Ranto Samuel Manik. Terima kasih telah menjadi saudara dan keluarga buat penulis. Tidak terasa sudah hampir 4 tahun kita merasakan susah senang selama duduk dibangku perkuliahan.

Terima kasih terkhusus juga buat seseorang yang penulis sayangi abang Sandro Batubara S.Sn., selaku orang yang sangat terdekat dengan penulis di sini yang selalu mengingatkan, yang tidak bosan memberikan semangat, mendengarkan keluhan dan masalah penulis, mengajarkan, bahkan memotivasi penulis untuk mengerjakan dan menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih, walaupun terkadang merasa kesal melihat tingkah penulis yang diluar dari biasanya jika disaat penat mengerjakan skripsi ini, tetapi dia tetap sabar dan selalu ikut membantu dan mendukung dengan caranya sendiri. Terima kasih juga buat doa-doanya, perhatian dan pengertiannya selama ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih banyak kepeda teman-teman satu rumah yaitu bang Daniel Sianturi, Zani Marbun, bang Bonggud Sidabutar, Erwin Simbolon, Erwin Sijabat, dan teman sekamar penulis Frita Pakpahan. Mereka adalah saudara seperjuangan merasakan bagaimana enaknya anak kos. Begitu juga teman-teman satu group tari penulis, kak Dina Mayantuti Sitopu S.Sn., kak Jery Periance Saragih S.Sn., teteh Riza, kak Chrismes Manik S.Sn., kak Sari Ramadhani S.E., Friska Simamora, Frita Angelina Pakpahan, Syafwan Arrazak, dan bang Adra. Terima kasih buat kalian semua.

Penulis juga mengucapkan beribu-ribu maaf apabila ada kata yang kurang berkenan dalam hati. Akhir kata, penulis ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak


(6)

yang sudah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini, dan mohon maaf apabila ada nama yang lupa penulis cantumkan. Semoga hasil penelitian dari skripsi ini dapat berguna bagi masyarakat Minangkabau, bagi pembaca dan juga kepada peneliti berikutnya. Shalom...

Medan, Juli 2013


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAKSI ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR TABEL ... ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah ... 1

1.2Pokok Permasalahan ... 14

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 15

1.3.1 Tujuan ... 15

1.3.2 Manfaat ... 15

1.4Konsep dan Teori ... 16

1.4.1 Konsep ... 16

1.4.2 Teori ... 18

1.5Metode Penelitian ... 22

1.5.1 Studi Kepustakaan ……… 23

1.5.2 Penelitian Lapangan ……….. 24

1.5.3 Kerja Laboratorium ………... 25

1.6Lokasi Penelitian ... 26

BAB II TINJAUAN UMUM MASYARAKAT MINANGKABAU DAN SANGGAR TIGO SAPILIN DI KOTA MEDAN 2.1 Asal-Usul Masyarakat Minangkabau ... 29

2.2 Masuknya Masyarakat Minangkabau di Kota Medan ... 32

2.3 Sistem Agama dan Kepercayaan ... 35

2.4 Sistem Kekerabatan ... 35

2.5 Sistem Kesenian ... 38

2.6 Sanggar Tigo Sapilin ... 40

BAB III PERTUNJUKAN TARI GALOMBANG PADA UPACARA ADAT PERKAWINAN MINANGKABAU 3.1 Asal Usul Tari Galombang ... 42

3.2 Perkawinan Pada Masyarakat Minangkabau ... 44

3.3 Tahapan-Tahapan Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Minangkabau ... 46


(8)

3.4 Jalannya Pertunjukan Tari Galombang Pada Upacara

Perkawinan Masyarakat Minangkabau di Kota Medan... 49

3.5 Tempat dan Waktu Pelaksanaan Pertunjukan ... 55

3.6 Pendukung Pertunjukan ... 56

3.6.1 Penari ... 57

3.6.2 Pemusik ... 58

3.6.3 Penonton ... 58

3.7 Perlengkapan Pertunjukan ... 59

3.7.1 Lapangan ... 59

3.7.2 Alat Musik yang Digunakan ... 60

BAB IV STRUKTUR TARI GALOMBANG, MUSIK IRINGAN, FUNGSI, DAN HUBUNGANNYA 4.1Struktur Tari Galombang ... 57

4.1.1 Ragam dan Pola Gerak ... 58

4.1.2 Pola Lantai ... 59

4.1.3 Kostum dan Tata Rias... 78

4.1.3.1 Kostum ... 79

4.1.3.1.1Kostum Penari Perempuan ... 79

4.1.3.1.2Kostum Penari Laki-Laki ... 81

4.1.3.2 Tata Rias ... 84

4.2 Struktur Musik ... 86

4.2.1 Analisis Musik ... 86

4.2.2 Model Notasi ... 88

4.2.3 Ensambel Talempong Pacik ... 89

4.2.4 Melodi Puput Serunai dan Strukturnya ... 90

4.2.4.1 Tangga Nada ... 91

4.2.4.2 Nada Dasar ... 91

4.2.4.3 Wilayah Nada ... 92

4.2.4.4 Frekuensi Pemakaian Nada ... 92

4.2.4.5 Jumlah Interval ... 93

4.2.4.6 Formula Melodik ... 94

4.2.4.7 Pola Kadensa... 95

4.2.4.8 Kontur ... 96

4.3 Fungsi Tari Galombang ... 98

4.4 Hubungan Struktur Tari, Musik Iringan, dan Fungsi Tari Galombang ... 104

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan ... 106

5.2 Saran ... 109

DAFTAR PUSTAKA ... 111


(9)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 3.1 Akad Nikah ... 50

Gambar 3.2 Anak daro menunggu datangnya marapulai ... 51

Gambar 3.3 Rombongan marapulai yang akan disambut ... 52

Gambar 3.4 Tari Galombang menyambut marapulai ... 52

Gambar 3.5 Carano dan isinya ... 53

Gambar 3.6 Suguhan diterima rombongan marapulai ... 54

Gambar 3.7 Pasangan pengantin bersanding ... 55

Gambar 3.8 Area jalan yang digunakan ... 60

Gambar 3.9 Tasa dan cara memainkannya ... 61

Gambar 3.10 Gandang Tambua ... 62

Gambar 3.11 Cara memainkan Gandang Tambua ... 63

Gambar 3.12 Puput Serunai ... 64

Gambar 3.13 Cara memainkan Puput Serunai ... 65

Gambar 3.14 Talempong ... 66

Gambar 3.15 Cara memainkan Talempong Pacik ... 67

Gambar 4.1 Kostum perempuan ... 81


(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Jumlah Penduduk Kota Medan Berdasarkan Suku... 34

Tabel 4.1 Ragam dan Pola Gerak ... 60

Tabel 4.2 Pola Lantai ... 75


(11)

ABSTRAKSI

Skripsi ini berjudul Hubungan Struktur Tari, Musik Iringan, dan Fungsi Sosial Tari Galombang yang Dipertunjukan Sanggar Tigo Sapilin pada Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Minangkabau di Kota Medan. Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara dan perekaman. Informan yang didapat di lapangan berjumlah empat orang, terdiri dari satu orang pemilik sanggar Tigo Sapilin Medan, satu orang pengelola sanggar, satu pemain musik pengiringnya, dan satu orang penari tari Galombang tersebut yang aktif.

Penelitian difokuskan kepada bagaimana pertunjukan tari Galombang yang di sajikan pada saat upacara perkawinan masyarakat Minangkabau. Adanya hubungan struktur tari, musik pengiring, dan fungsi sosial yang berhubungan dalam penyajiannya. Pada bagian musik yang mengiringi tarian tersebut mengandung struktur melodi dan ritem yang merupakan kajian dalam dunia Etnomusikologi.

Dalam proses meneliti gerak tari tersebut, penulis tidak terlalu memfokuskan secara detail pada gerak tari, dalam tulisan penulis menggunakan lambang-lambang umum dan sederhana yang dapat mewakili pola gerak tari Galombang. Proses pentranskripsian musik pada musik pengiringnya dilakukan dengan program Sibelius yang hasilnya akan dituliskan kedalam notasi balok. Skripsi ini menjelaskan hubungan struktur tari, musik pengiring, dan fungsi sosial seni pertunjukan tari


(12)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Manusia adalah makhluk sosial, yang selalu berinteraksi dengan sesamanya. Manusia sebagai makhluk individu memiliki berbagai kelebihan alamiah yang dianugerahkan oleh Tuhan. Selain itu, manusia biasanya membentuk kelompok sosial berdasarkan berbagai persamaan dan tujuan. Kelompok manusia bisa saja berbentuk keluarga inti, keluarga luas, etnik, kelompok profesi, ras, bangsa, dan seterusnya. Dalam konteks ini, manusia selalu ingin melanjutkan peradabannya dan generasi keturunannya. Kesinambungan generasi ini penting agar manusia tidak musnah di muka bumi. Oleh karena itu, manusia dianugerahi Tuhan untuk meneruskan keturunan ini melalui hubungan perkawinan yang diatur oleh norma-norma agama dan adat. Perkawinan dalam masyarakat tertentu tidak boleh bertentangan dengan ajaran agama dan norma-norma adat.

Seorang pakar antropologi Eropa, Gough (1959) melihat perkawinan, di sepanjang masa dan semua tempat di dunia ini, sebagai satu kontrak menurut adat-istiadat, yang bertujuan untuk menetapkan pengabsahan anak yang baru dilahirkan sebagai anggota yang dapat diterima masyarakat. Dalam usaha menemukan definisi yang universal, Goodenough memusatkan pemikirannya kepada hak atas seksualitas wanita yang diperoleh berdasarkan kontrak sosial.

Perkawinan adalah satu transaksi yang menghasilkan satu kontrak, yaitu seorang (laki-laki atau perempuan, korporatif atau individual, secara pribadi atau melalui wakil, memiliki hak secara terus-menerus untuk menggauli seorang perempuan secara seksual – hak ini memiliki keutamaan atas hak menggauli secara seksual yang sedang dimiliki atau kemudian diperoleh oleh orang-orang lain terhadap perempuan tersebut, sampai hasil transaksi itu berakhir dan perempuan yang bersangkutan


(13)

dianggap memenuhi syarat untuk melahirkan anak (Goodenough, 1970:12-13).

Dalam berbagai kebudayaan manusia di dunia ini, terjadi beberapa orientasi dalam perkawinan. Ada masyarakat yang mendasarkan kepada perkawinan monogami, adapula yang memperbolehkan poligami, namun ada pula yang membolehkan perkawinan dalam bentuk penyimpangan sosial umum dan moralitas yaitu perkawinan poliandri (satu perempuan kawin dengan lebih dari satu suami). Dalam beberapa kelompok masyarakat, dua orang pria atau lebih bisa bersama-sama menggauli wanita secara seksual, yang biasanya melibatkan sekelompok saudara laki-laki (poliandri fraternal). Poliandri sering dihubungkan dengan ketidakseimbangan penduduk, yang disebabkan oleh kebiasaan membunuh bayi perempuan. Di Himalaya sebagai contoh, poliandri dilakukan kerana tujuannya mengurangi jumlah keluarga yang terlalu besar, sementara lahan pertanian terbatas luasnya. Dalam agama Yahudi, Kristen, dan Islam praktik demikian sangat dilarang. Begitu juga hubungan incest yaitu antara kerabat kandung. Semua ini adalah aturan Tuhan untuk makhluk manusia ciptaan-Nya agar manusia menjadi rahmat kepada alam, bukan merusak alam, atau generasi keturunannya.

Setiap agama juga memiliki konsep yang berbeda-beda tentang perkawinan. Agama Kristen (Protestan dan Katholik) secara umum hanya membenarkan seorang laki-laki kawin dengan satu perempuan. Namun demikian, beberapa sekte agama Kristen (misalnya Mormon di Amerika Serikat) membenarkan perkawinan poligami. Dalam Islam, sesuai dengan panduan Al-Qur’an seorang pria Islam bisa kawin dengan sebanyak-banyaknya empat perempuan, tetapi ada syaratnya yaitu adil. Allah mengingatkan bahwa jika seorang lelaki muslim tidak dapat berlaku adil kepada isteri-isterinya, maka kawinlah dengan satu perempuan saja. Dimensi pembelajaran ayat ini adalah bahwa Allah menciptakan lebih banyak perempuan


(14)

dibandingkan laki-laki. Agar perempuan-perempuan mendapat suami, maka tentu saja secara umum harus ada laki-laki yang beristeri lebih daripada satu untuk melakukan respon terhadap kenyataan jenis kelamin ini yang penuh dengan rahasia Tuhan. Dalam realitasnya, di negara-negara Islam mayoritas rakyatnya kawin secara monogami.

Upacara perkawinan hanyalah salah satu rangkaian dari sejumlah upacara siklus hidup dan sesudah meninggalnya manusia. Siklus hidup manusia biasanya dimulai dari sejak janin, lahir, akil baligh atau dewasa, khitan, perkawinan, memiliki anak, memasuki keorganisasian, kematin, pasca kematian, dan seterusnya.

Secara sosiologis dan agama, fungsi utama perkawinan adalah untuk melanjutkan generasi keturunan manusia sepanjang zaman, dan manjaga peradaban manusia. Sedangkan guna perkawinan di antaranya adalah: memuaskan nafsu biologis manusia, menerima dan memberi kasih sayang kepada pasangan hidup, membina keluarga, menyatukan dua keluarga besar, dan sebagainya. Dalam hal ini, agama memegang peran utama dalam upacara perkawinan. Pengabsahan perkawinan selalu melibatkan para pemuka agama pada semua agama di dunia. Ritual perkawinan melibatkan aspek adat dan agama sekaligus. Demikian juga yang terjadi pada masyarakat Minangkabau.

Minangkabau merupakan salah satu suku (etnik) yang wilayah budayanya yang lazim disebut dengan Ranah Minang. Minangkabau dikenal sebagai salah satu bentuk kebudayaan di Pulau Sumatera. Masyarakat Minangkabau menerapkan sistem matrilineal, dimana garis keturunannya berdasarkan garis keturunan ibu.

Masyarakat Minangkabau, di dalam melaksanakan tata cara adat perkawinan, menunaikan dua norma penting. Pertama adalah perkawinan menurut adat, dan kedua, menurut agama (syarak). Dalam tata cara perkawinan menurut adat, maka


(15)

akan diadakan penganugerahan kedudukan kepada mempelai perempuan. Hal ini dilakukan semata-mata karena sistem kemasyarakatan Minangkabau menganut sistem matrilineal (garis keturunan dari pihak ibu).1

Partisipan baralek melibatkan ninik mamak (paman), sanak saudara, termasuk pemimpin nagari (wilayah adat Minangkabau) (A.A. Navis, 1986:197-198). Dalam mengawali upacara baralek ini ditampilkan pertunjukan tari Galombang, yaitu suatu tari yang mengekspresikan suasana sukacita pihak keluarga anak daro (pengantin perempuan) akan kedatangan marapulai (pengantin laki-laki) dan keluarganya.

Selanjutnya, perkawinan baru dianggap sah bila telah dilakukan upacara perkawinan sesuai agama. Sesudah pelaksanaan kedua fase tersebut biasanya upacara perkawinan dilanjutkan dengan upacara baralek, yaitu upacara perayaan terhadap perkawinan yang sudah dilaksanakan.

2

Tari Galombang adalah salah satu jenis tarian masyarakat Minangkabau yang sudah mereka praktikkan di dalam kegiatan kehidupan sehari-hari jauh sebelum masa kemerdekaan bangsa Indonsesia. Dari tradisi lisan mereka ini dapat diketahui bahwa

1

Matrilineal adalah suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ibu. Kata ini seringkali disamakan dengan matriarkhat atau matriarkhi, walaupun pada dasarnya artinya berbeda. Matrilineal berasal dari dua kata, yaitu mater (bahasa Latin) yang berarti "ibu," dan linea

(bahasa Latin) yang berarti "garis." Jadi matrilineal berarti mengikuti garis keturunan yang ditarik dari pihak ibu. Sementara itu, matriarkhat berasal dari dua kata yang lain, yaitu mater yang berarti ibu dan

archein (bahasa Yunani) yang berarti memerintah. Jadi, matriarkhi berarti kekuasaan berada di tangan ibu atau pihak perempuan. Dalam konteks kebudayaan-kebudayaan etnik di seluruh dunia ini, penganut adat matrilineal adalah suku Indian di Apache Barat; suku Navajo, sebagian besar suku Pueblo, suku Crow, dan lain-lain. yang kesemuanya adalah penduduk asli Amerika Serikat. Kemudian ada pula suku Khasi di Meghalaya, India Timur Laut; suku Nakhi di Provinsi Sichuan dan Yunnan, Tiongkok; beberapa suku yang jumlahnya relatif kecil di kepulauan Asia Pasifik, suku Minangkabau di Sumatera Barat (yang menjadi topik kajian dalam skripsi ini), dan lain-lain. Dalam kajian antropologis, adat matrilineal berumur lebih tua dari adat patrilineal. Lawan dari matrilineal adalah patrilineal yaitu suatu adat masyarakat yang menyatakan alur keturunan berasal dari pihak ayah. Penganut adat patrilineal di Indonesia sebagai contohnya adalah suku Batak Toba, Mandailing-Angkola, Pakpak, Karo, suku Rejang, Gayo, dan lain-lainnya. Walaupun lebih belakangan datangnya, adat patrilineal lebih umum digunakan kelompok masyarakat dunia dibandingkan matrilineal yang lebih jarang penggunaannya (sumber: id.wikipedia.org/Wiki/Matrilineal). Selain itu ada pula adat yang mendasarkan penarikan garis keturunan baik dari pihak ibu maupun ayah. Adat yang seperti ini disebut dengan bilateral.

2

Baca skripsi Hery Gunawan “Analisis Musik Galombang Pada Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Minangkabau di Kota Medan.” Medan: Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, tahun 2011.


(16)

bahwa tari Galombang berkembang dan terintegrasi menjadi bagian adat istiadat Minangkabau yang mengakar di masyarakat tersebut. Bahkan hingga dewasa ini penyajian tari Galombang masih bertahan dan sangat lazim disajikan pada saat pesta perkawinan di kalangan anggota masyarakat Minangkabau, baik di kampung halaman mereka di Sumatera Barat, maupun di kota Medan, yaitu salah satu kota tujuan merantau3

Tari Galombang, dalam konteks praktik adat istiadat ditampilkan untuk menyambut kedatangan marapulai beserta keluarganya oleh anak daro. Pada penyambutan itu, marapulai akan dipayungi dengan payung kebesaran dengan simbol kebesaran suatu upacara sebagai penghormatan. Sesuai adat, seseorang yang ditunjuk oleh keluarga anak daro untuk memberikan suguhan daun sirih, pinang, dan gambir, yang disajikan di dalam carano

masyarakat Minangkabau di Indonesia.

4

Dalam praktik tari Galombang, komposisi penari biasanya terdiri dari enam atau lebih penari. Umumnya, semakin banyak penarinya semakin terlihat bagus, karena memberikan lebih banyak kemungkinan untuk menyusun pola lantai tarian tersebut. Namun demikian, bisa saja semua penari adalah perempuan saja, bisa juga diberikan kepada marapulai sebagai wakil dari rombongan setelah tari Galombang di sajikan dan marapulai di payungi dengan payung kebesaran. Suguhan tersebut juga biasanya disuguhkan kepada kedua orang tua dan keluarga marapulai. Suguhan yang disuguhkan wajib diterima, sebagai tanda kerendahan hati dan keikhlasan yang tulus untuk menjalin silahturahmi.

3

Merantau adalah salah satu budaya dan kebiasaan orang Minangkabau. Sebagai masyarakat yang matrilineal, di mana dalam situasi itu, pihak wanitalah yang memiliki kekuasaan terhadap harta benda dan lainnya. maka oleh karenanya para pria biasanya akan melalukan perantauan terutama ke luar wilayah budaya Minangkabau. Mereka ini pergi untuk satu tujuan meningkatkan kehidupan ekonomi, dan kemudian hasilnya dibawa ke kampung halaman. Oleh sebab itu, dalam konsep budaya Minangkabau pun ada tiga kawasan budayanya yaitu: (a) darek (darat); (b) pasisie (pesisir), dan (c)

rantau.

4

Wadah yang terbuat dari kuningan berbentuk bulat serta dipenuhi ukiran yang umumnya terdapat ukiran itiak pulang patang (itik pulang petang), menjadi tempat untuk menaruh sirih, pinang,


(17)

campuran dengan laki-laki, yaitu beberapa penari perempuan dan beberapa lagi penari laki-laki. Dalam konteks penyajian saat upacara berlangsung, para penari diposisikan di sepanjang jalan menuju tempat upacara, menghadap ke arah datangnya

marapulai dan para tamu.

Dari pengamatan di lapangan yang penulis lakukan,5

Pada dasarnya, konsep tari Galombang kurang lebih sama di seluruh satuan sosial Minangkabau, yakni pola-pola gerakan yang diambil dari gerakan bungo silek. Tiap kelompok penari di dalam anggota masyarakat Minangkabau menciptakan berbeda-beda ragam gerakan dalam strukturnya. Hal ini disesuaikan dengan selera masing-masing kelompok. Namun dalam pola gerakannya semua sama, berdasarkan pola gerakan yang sudah tradisi adat dari dahulunya. Dalam penyajiannya, tari

Galombang ini memerlukan keahlian agar dapat bergerak, gerakan-gerakan kaki dan

ada beberapa catatan penting tentang penyajian tari Galombang. Pertama, penari perempuan selalu mengenakan baju kuruang (baju kurung), selayaknya busana adat Minangkabau, sementara di bagian kepala penari diberi aksesoris sesuai kesepakatan bersama para penari. Biasanya aksesoris yang dipilih adalah tengkuluk (hiasan kepala perempuan yang berbentuk runcing dan bercabang), magek (hiasan kepala dari kain sejenis sarung yang dibentuk seperti bunga), ataupun sunting. Kedua, penari laki-laki selalu mengenakan guntiang Cino (baju longgar), sarawa galembong (celana longgar), dan

deta (ikat kepala). Warna pakaian yang dikenakan bervariasi mulai dari warna

merah, hitam, kuning, dan biru. Catatan berikutnya adalah bahwa dalam menarikan tari Galombang, gerakan tariannya diambil dari gerakan bungo silek, yaitu gerakan variatif yang bersumber dari gerakan pencak silat Minangkabau yang pada dasarnya bersifat cekatan dan tegas.

5

Pengamatan langsung ini penulis lakukan pada tanggal 5 Februari 2012, di Jalan Gurilla Gang Toke Umar, No. 18, Kelurahan Sei Kerah Hilir II, Kecamatan Medan Perjuangan, Kota Medan.


(18)

tangan saling digerakkan yang begitu diperhatikan. Gerakan kaki dilakukan dengan menggunakan langkah-langkah, dimana langkah-langkah ini berupa langkah maju, langkah mundur, langkah sambil angkat salah satu kaki, dan langkah dengan penyilangan kedua kaki (langkah simpie). Sedangkan gerakan tangan dilakukan dengan gerakan-gerakan “kasar” yang identik dengan kekhasan masyarakat Minangkabau, seperti gerakan menyembah sebagai penghormatan, gerakan tepuk paha sebagai ketangkasan, gerakan tangan menyilang sebagai menolak kejahatan, dan gerakan menepuk tangan ke depan sebagai tanda penyuguhan sirih. Dimana semua makna yang terkandung di dalam gerakan-gerakan tersebut mempunyai fungsi bagi masyarakat Minangkabau. Semua gerakan diatur dalam gerak kaki maupun tangan demi keseragaman tarian terhadap antar penari. Setiap peralihan atau perubahan gerakan yang ada sesuai dengan ketukan tempo musik pengiringnya.

Keberadaan musik iringan dalam tari Galombang merupakan hal yang berkaitan. Dalam hal ini, musik menjadi pembentuk suasana, dan juga untuk memperjelas tekanan-tekanan gerakan begitu juga pergantian ragam dan pola-pola gerakan yang dibuat. Jadi, jika musik tidak ada maka tarian tidak dapat terbentuk keindahannya. Untuk mengiringi tari Galombang, masyarakat Minangkabau menggunakan musik tradisional mereka yang lazim digunakan.

Dalam mengiringi tari Galombang ada 3 struktur musik iringan yang baku. Pertama musik pembuka, yaitu menggunakan 2 alat musik, yakni tasa (gendang satu sisi berbentuk mangkuk) dan gandang tambua (gendang berbentuk barel dua sisi). Kedua alat musik ini saling bersahut-sahutan (litany). Struktur musik kedua adalah musik Galombang, menggunakan 4 alat musik, yakni tasa sebagai peningkah atau bisa dikatakan sebagai pengisi, gandang tambua sebagai pembawa ritem dasar untuk


(19)

tarian, talempong pacik (dipegang tangan pemainnya) sebagai pembawa melodi dan ritem interloking, dan puput serunai sebagai pembawa melodi yang dikembangkan (improvisasi). Ketiga musik penutup, yang juga menggunakan keempat alat musik tadi yaitu tasa, gandang tambua, talempong pacik, dan serunai. Pada keempat alat musik ini yang menjadi pembawa tempo yang paling penting dalam pembuka dan penutup musik adalah tasa. Lagu yang dimaninkan bernama lagu Tigo Duo.

Guna dan fungsi tari Galombang ini dalam setiap upacara mengalami pergeseran dari zaman dulu, yang dimana saat dulu tari ini penting digunakan dalam upacara perkawinan masyarakat Minangkabau. Namun dalam penerapan di masa sekarang adalah sebagai salah satu pelengkap atau bisa dikatakan penyemaraknya upacara perkawinan. Sesuai tingkat ekonomi yang mempunyai acara perkawinan. Hal ini dikarenakan sanggar-sanggar yang memfokuskan pelatihan pada tari Minangkabau semakin banyak, dan saling bersaing. Jika tari ini tidak ditampilkan, upacara akan tetap terlaksana. Namun terasa kurang lengkap jika kesenian tradisional ini tidak ditampilkan. Dengan kata lain, dalam hal ini ada sisi menjaga

image antar anggota masyarakat mereka.

Di Kota Medan sendiri kelompok masyarakat Minangkabau ini hampir menempati seluruh kawasan Kota Medan. Tercatat paling banyak terdapat di antaranya di Medan Denai dan Sukaramai (Flora Hutagalung, 2009:5). Walaupun jumlah penduduk masyarakat Minangkabau sebagai pendatang bukan yang terbanyak di Kota Medan, tetapi kelompok masyarakat ini mampu menampilkan bahkan memperkenalkan budaya tradisi mereka. Ini dapat dilihat dari banyaknya pagelaran seni tari yang menampikan tari Minangkabau khususnya tari Galombang, seperti di sanggar Tigo Sapilin Sumatera Utara, di Taman Budaya Sumatera Utara, sanggar


(20)

Sumara Anjuang dan sanggar-sanggar lainnya yang memberikan pelatihan tari Minangkabau.

Di antara beberapa sanggar yang ada di Kota Medan yang penulis sebutkan tadi, penulis memilih sanggar Tigo Sapilin untuk penulis fokuskan kajiannya dalam skripsi ini. Sanggar Tigo Sapilin ini merupakan salah satu sanggar yang memfokuskan pelatihan pada tari tradisi dan masih sering dipanggil untuk mengadakan pertunjukan.

Tulisan ini dimaksudkan untuk mendiskusikan tentang pertunjukan tari

Galombang dalam upacara adat perkawinan di kalangan anggota masyarakat

Minangkabau yang ada di kota Medan. Pertunjukan yang dimaksud mencakup dua aspek, yaitu tari dan musik.

Ada tiga aspek utama yang akan penulis diskusikan di dalam tulisan ini. Pertama adalah bagaimana struktur tari Galombang tersebut. Dalam konteks struktur tersebut, akan dideskripsikan ragam gerakan yang ada, demikian juga halnya dengan pola-pola lantai yang digunakan, serta dalam pola-pola gerakan, hal spesifik apa yang menyangkut nilai adat, nilai agama, atau nilai yang terkait budaya lokal yang dilambangkan atau diekspresikan. Kedua, bagaimana struktur musik iringan pada tari Galombang. Selanjutnya apakah fungsi tari Galombang dalam konteks upacara adat perkawinan dimaksud? Jika dimaksud eksis, lantas bagaimanakan proses penyajian tari Galombang tersebut sehingga dapat memenuhi fungsi dimaksud?

Keberadaan tari Galombang dalam upacara perkawinan adat Minangkabau di Kota Medan seperti terurai dalam latar belakang ini, dapat didekati dengan pendekatan multidisiplin ilmu. Yang pertama adalah untuk mengkaji struktur tarinya digunakan pendekatan-pendekatan ilmu antropologi tari.


(21)

Yang dimaksud antropologi tari atau disebut juga etnologi tari dan etnokoreologi adalah sebagai berikut.

Ethnochoreology (also dance ethnology, dance anthropology) is the study of dance through the application of a number of disciplines such as anthropology, musicology (ethnomusicology), ethnography, etc. The word, itself, is relatively recent and means, literally, “the study of folk dance”, as opposed to, say, the formalized entertainment of classical ballet. Thus, ethnochoreology reflects the relatively recent attempt to apply academic thought to why people dance and what it means. It is not just the study or cataloging of the thousands of external forms of dances—the dance moves, music, costumes, etc.— in various parts of the world, but the attempt to come to grips with dance as existing within the social events of a given community as well as within the cultural history of a community. Dance is not just a static representation of history, not just a repository of meaning, but a producer of meaning each time it is produced—not just a living mirror of a culture, but a shaping part of culture, a power within the culture. The power of dance rests in acts of performance by dancers and spectators alike, in the process of making sense of dance… and in linking dance experience to other sets of ideas and social experiences. Ethnologic dance is native to a particular ethnic group. They are performed by dancers associated with national and cultural groups. Religious rituals (ethnic dances) are designed as hymns of praise to a god, or to bring in good fortune in peace or war (Blacking, 1984).

Dari kutipan di atas, dapat diartikan bahwa yang dimaksud etnokoreologi (juga disebut dengan etnologi tari dan antropologi tari) adalah studi tari melalui penerapan sejumlah disiplin ilmu seperti antropologi, musikologi (etnomusikologi), etnografi, dan lain-lain. Istilah itu sendiri, adalah relatif baru, yang secara harfiah berarti studi tentang tarian rakyat (sebagai lawan dari tari hiburan yang diformalkan dalam bentuk balet klasik). Dengan demikian, etnokoreologi mencerminkan upaya yang relatif baru dalam dunia akademis untuk mengkaji mengapa orang menari dan apa artinya. Dalam konteks tersebut para ilmuwan etnokoreologi tidak hanya belajar ribuan tarian yang mencakup gerak, musik iringan, kostum, dan hal-hal sejenis, di berbagai belahan dunia ini, tetapi juga meneliti tarian dalam kegiatan sosial dari suatu masyarakat, serta sejarah budaya tari dari suatu komunitas. Tari bukan hanya


(22)

representasi statis sejarah, bukan hanya repositori makna, namun menghasilkan makna setiap kali tari itu dihasilkan. Tari bukan hanya cermin hidup suatu budaya, tetapi merupakan bagian yang membentuk budaya, sebagai kekuatan dalam budaya. Kekuatan tari terletak pada tindakan penampilan penari dan penonton, dalam proses pembentukan rasa dalam tari, dan menghubungkan pengalaman gagasan tari dan wujud sosialnya. Tari juga berkait dengan kelompok etnik tertentu. Tarian ini dilakukan oleh penari yang berhubungan dengan kelompok bangsa dan budayanya. Tarian etnik dirancang sebagai himne pujian untuk Tuhan, atau untuk membawa keberuntungan dalam damai atau perang.

Yang kedua untuk mengkaji struktur musik iringan penulis menggunakan disiplin etnomusikologi. Seperti yang penulis ketahui dari pakar etnomusikologi yaitu Merriam yang dimaksud etnomusikologi adalah sebagai berikut.

Ethnomusicology carries within itself the seeds of its own division, for it has always been compounded of two distinct parts, the musicological and the ethnological, and perhaps its major problem is the blending of the two in a unique fashion which emphasizes neither but takes into account both. This dual nature of the field is marked by its literature, for where one scholar writes technically upon the structure of music sound as a system in itself, another chooses to treat music as a functioning part of human culture and as an integral part of a wider whole. At approximately the same time, other scholars, influenced in considerable part by American anthropology, which tended to assume an aura of intense reaction against the evolutionary and diffusionist schools, began to study music in its ethnologic context. Here the emphasis was placed not so much upon the structural components of music sound as upon the part music plays in culture and its functions in the wider social and cultural organization of man. It has been tentatively suggested by Nettl (1956:26-39) that it is possible to characterize German and American "schools" of ethnomusicology, but the designations do not seem quite apt. The distinction to be made is not so much one of geography as it is one of theory, method, approach, and emphasis, for many provocative studies were made by early German scholars in problems not at all concerned with music structure, while many American studies heve been devoted to technical analysis of music sound (Merriam 1964:3-4).6

6

Sebuah buku yang terus populer di kalangan etnomusikologi dunia sampai sekarang ini, dalam realitasnya menjadi “bacaan wajib ” bagi para pelajar dan mahasiswa etnomusikologi seluruh dunia,


(23)

Menurut pendapat Merriam seperti kutipan di atas, para ahli etnomusikologi membawa dirinya sendiri kepada benih-benih pembagian ilmu, untuk itu selalu dilakukan percampuran dua bagian keilmuan yang terpisah, yaitu musikologi dan etnologi [antropologi]. Selanjutnya menimbulkan kemungkinan-kemungkinan masalah besar dalam rangka mencampur kedua disiplin itu dengan cara yang unik, dengan penekanan pada salah satu bidangnya, tetapi tetap mengandung kedua disiplin tersebut.

Sifat dualisme lapangan studi etnomusikologi ini, dapat ditandai dari bahan-bahan bacaan yang dihasilkannya. Katakanlah seorang sarjana etnomusikologi menulis secara teknis tentang struktur suara musik sebagai suatu sistem tersendiri. Di lain sisi, sedangkan sarjana lain memilih untuk memperlakukan musik sebagai suatu bagian dari fungsi kebudayaan manusia, dan sebagai bagian yang integral dari keseluruhan kebudayaan. Di dalam masa yang sama, beberapa sarjan dipengaruhi secara luas oleh para pakar antropologi Amerika, yang cenderung untuk mengasumsikan kembali suatu reaksi terhadap aliran-aliran yang mengajarkan teori-teori evolusioner difusi, dimulai dengan melakukan studi musik dalam konteks etnologisnya. Di dalam kerja yang seperti ini, penekanan etnologis yang dilakukan para sarjana ini lebih luas dibanding dengan kajian struktur komponen suara musik sebagai suatu bagian dari permainan musik dalam kebudayaan, dan fungsi-fungsinya dalam organisasi sosial dan kebudayaan manusia yang lebih luas.

Hal tersebut telah disarankan secara tentatif oleh Bruno Nettl yaitu terdapat kemungkinan karakteristik "aliran-aliran" etnomusikologi di Jerman dan Amerika, yang sebenarnya tidak persis sama. Mereka melakukan studi etnomusikologi ini, tidak begitu berbeda, baik dalam geografi, teori, metode, pendekatan, atau

yang diterbitkan tahun 1964 oleh North Western University di Chicago Amerika Serikat ini, menjadi semacam “karya utama” di antara karya-karya yang bersifat etnomusikologis.


(24)

penekanannya. Beberapa studi provokatif awalnya dilakukan oleh para sarjana Jerman. Mereka memecahkan masalah-masalah yang bukan hanya pada semua hal yang berkaitan dengan struktur musik saja. Para sarjana Amerika telah mempersembahkan teknik analisis suara musik.

Dari kutipan di atas tergambar dengan jelas bahwa etnomusikologi dibentuk dari dua disiplin ilmu dasar yaitu antropologi dan musikologi. Walaupun terdapat variasi penekanan bidang yang berbeda dari masing-masing ahlinya. Namun terdapat persamaan bahwa mereka sama-sama berangkat dari musik dalam konteks kebudayaannya.

Khusus mengenai beberapa definisi tentang etnomusikologi telah dikemukakan dan dianalisis oleh para pakar etnomusikologi. Pada tulisan edisi berbahasa Indonesia, Rizaldi Siagian dari Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dan Santosa dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta, telah mengalihbahasakan berbagai definisi etnomusikologi, yang terangkum dalam buku yang bertajuk Etnomusikologi, tahun 1995, yang diedit oleh Rahayu Supanggah, terbitan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, yang berkantor pusat di Surakarta. Dalam buku ini, Alan P. Merriam mengemuakan 42 definisi etnomusikologi dari beberapa pakar, menurut kronologi sejarah dimulai oleh Guido Adler 1885 sampai Elizabeth Hesler tahun 1976.7

7

Buku ini diedit oleh R. Supanggah, diterbitkan tahun 1995, dengan tajuk Etnomusikologi. Diterbitkan di Surakarta oleh Yayasan bentang Budaya, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Buku ini merupakan kumpulan enam tulisan oleh empat pakar etnomusikologi (Barat) seperti: Barbara Krader, George List, Alan P. Merriam, dan K.A. Gourlay; yang dialihbahasakan oleh Santosa dan Rizaldi Siagian. Dalam buku ini Alan P. Merriam menulis tiga artikel, yaitu: (a) “Beberapa Definisi tentang ‘Musikologi Komparatif’ dan ‘Etnomusikologi’: Sebuah Pandangan Historis-Teoretis,” (b) “Meninjau Kembali Disiplin Etnomusikologi,” (c) “Metode dan Teknik Penelitian dalam Etnomusikologi.” Sementara Barbara Krader menulis artikel yang bertajuk “Etnomusikologi.” Selanjutnya George List menulis artikel “Etnomusikologi: Definisi dalam Disiplinnya.” Pada akhir tulisan ini K.A. Gourlay menulis artikel yang berjudul “Perumusan Kembali Peran Etnomusikolog di dalam Penelitian.” Buku ini barulah sebagai alihbahasa terhadap tulisan-tulisan etnomusikolog (Barat). Ke depan, dalam konteks Indonesia diperlukan buku-buku panduan tentang etnomusikologi terutama yang ditulis oleh anak negeri, untuk kepentingan perkembangan disiplin ini. Dalam ilmu


(25)

Sedangkan untuk mengkaji fungsi tari Galombang dalam kelompok etnik Minangkabau, pada masyarakat Medan yang bersifat urban (perkotaan) dan heteroden digunakan pendekatan fungsionalisme dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora, baik itu dari antropologi maupun antropologi tari.

Berdasarkan fakta lapangan dan latar belakang keilmuan, penulis memilih judul untuk penelitian ini, sebagai berikut: “Hubungan Struktur Tari, Musik Iringan, dan Fungsi Sosial Tari Galombang yang Dipertunjukan Sanggar Tigo Sapilin pada Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Minangkabau di Kota Medan.”

1.2 Pokok Permasalahan

Agar pembahasan lebih terarah maka ditentukan pokok permasalahan. Dalam skripsi nantinya, masalah yang akan dibahas meliputi tiga hal sebagai berikut.

(1) Bagaimana struktur tari Galombang dan musik iringannya disajikan dalam upacara adat perkawinan masyarakat Minangkabau di Kota Medan?

(2) Bagaimana struktur musik iringan tari Galombang yang disajikan dalam upacara adat perkawinan masyarakat Minangkabau di Kota Medan?

(3) Bagaimana hubungan antara struktur tari, struktur musik iringannya, dan fungsi dalam tari Galombang yang disajikan dalam adat perkawinan masyarakat Minangkabau di Kota Medan.

antropolog Koentjaraningrat, diikuti oleh berbagai buku antropologi lainnya oleh para pakar generasi berikut seperti James Dananjaya, Topi Omas Ihromi, Parsudi Suparlan, Budi Santoso, dan lain-lainnya.


(26)

1.3 Tujuan dan Manfaat 1.3.1 Tujuan

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

(1) Untuk mengetahui dan memahami bagaimana struktur tari dan struktur musik iringan tari Galombang disajikan dalam perkawinan masyarakat Minangkabau di Kota Medan.

(2) Untuk mengetahui dan memahami fungsi sosial yang terdapat dalam penyajian tari Galombang pada perkawinan masyarakat Minangkabau di Kota Medan.

(3) Untuk mengetahui dan memahami hubungan antara struktur tari, struktur musik iringannya, dan fungsi dalam tari Galombang yang disajikan dalam adat perkawinan masyarakat Minangkabau di Kota Medan.

1.3.1 Manfaat

Manfaat yang diambil dari penelitian yang diwujudkan dalam skripsi ini adalah (1) Menambah referensi tentang kesenian (khususnya tari Galombang).

(2) Sebagai bahan masukan bagi pembaca khususnya mahasiswa yang bergelut dalam seni tari dan musik, agar dapat mengetahui penyajian tari

Galombang dan musik dalam konteks acara perkawinan masyarakat

Minangkabau.

(3) Menambah pengetahuan bagi penulis dan peneliti-peneliti lain, baik mencakup teori maupun uraian tentang bentuk penyajian tari Galombang. (4) Mengembangkan kajian-kajian ilmiah di bidang musik dan tari, yang

dampaknya turut mengembangkan aspek keilmuan dalam disiplin-disiplin ilmu seni.


(27)

(5) Memberikan pengetahuan secara empiris kepada para pembaca, bagaimana seni budaya (musik dan tari) berkembang menyebar ke kawasan lain tempat suatu etnik merantau.

1.4 Konsep dan Teori 1.4.1 Konsep

Dalam penelitian dan penulisan ini yang dimaksud dengan kata struktur, yaitu struktur adalah bagaimana bagian-bagian dari sesuatu berhubungan satu dengan yang lain atau bagaimana sesuatu tersebut disatukan. Dalam hal ini, struktur yang penulis maksud dalam tulisan ini adalah bagian-bagian yang melengkapi tari Galombang dalam pertunjukannya, dan tahapan-tahapan dari pola-pola gerakan, dengan kata lain yang berarti ragam-ragam yang ada dalam tarian Galombang. Identifikasi suatu struktur tergantung pada asumsi kriteria bagi pengenalan bagian-bagiannya dan gerakan yang terkandung dalam tiap-tiap ragam yang terbentuk.

Jadi dalam hal ini struktur dan pola sangat berhubungan, yakni bagaimana bagian-bagian dari gerakan tari saling berhubungan sehingga disatukan dan adanya bentuk atau model (suatu set peraturan) yang bisa dipakai untuk membuat atau untuk menghasilkan suatu tari. Khususnya jika tari yang ditimbulkan cukup mempunyai suatu tari yang sejenis untuk pola dasar yang dapat ditunjukkan atau terlihat, yang mana gerakan tarian itu dikatakan memamerkan pola.

Tari adalah segala gerak yang berirama atau sebagai segala gerak yang dimaksudkan untuk menyatakan keindahan ataupun kedua-duanya (Tengku Luckman Sinar, 1996:5). Dalam tulisan ini yang penulis maksud dengan tari Galombang adalah salah satu tari tradisional Minangkabau yang digunakan pada upacara adat


(28)

perkawinan. Tarian Galombang ini memakai 6 orang atau lebih penari, yang gerakannya diambil dari gerakan-gerakan bungo silek. Dengan iringan musik dari alat musik tradisional Minangkabau yang terdiri dari tasa, gandang tambua,

talempong pacik, dan puput serunai, dengan menggunakan lagu Tigo Duo sehingga

menampilkan suatu keindahan untuk dipersembahkan bagi kedatangan marapulai ke rumah anak daro.

Istilah fungsi sosial yang penulis maksud dalam tulisan ini adalah bagaimana fungsi tari Galombang ini bagi masyarakat Minangkabau. Dimana saya akan melihat dan bertanya apakah fungsi adalah sesuatu yang akan dibagi atau diakibatkan, dengan kata lain dampak dari sesuatu hal yang khas.

Perkawinan dalam tulisan ini merupakan perkawinan yang ada pada masyarakat manapun. Biasanya melibatkan aspek agama atau religi yang disahkan secara adat maupun agama. Pada umumnya acara perkawinan biasa disertai dengan pertunjukan kesenian tari, musik, teater, atau pun sastra.

Istilah masyarakat dalam penulisan judul memiliki arti seperti yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto (1993:106-107), yaitu sebagai asosiasi manusia yang ingin mencapai tujuan-tujuan tertentu yang terbatas sifatnya, sehingga direncanakan pembentukan organisasi-organisasi tertentu. Selain itu Soerjono Soekanto menambahkan bahwa istilah masyarakat sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai, norma-norma, tradisi, kepentingan-kepentingan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, maka pengertian masyarakat tidak mungkin dipisahkan dari kebudayaan dan kepribadian.

Masyarakat Minangkabau yang penulis maksud di sini, adalah masyarakat yang telah lama ada di Kota Medan, serta masyarakat Minangkabau yang telah melakukan perpindahan dari daerah asalnya dan menetap ke Kota Medan dengan


(29)

membawa kebiasaan mereka, adat istiadat, tingkah laku, budaya, serta tradisi mereka. Dimana perpindahan tersebut dapat terjadi karena berbagai faktor, seperti halnya faktor ekonomi, pendidikan, dan lainnya. Seperti yang juga dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1986:160), bahwa masyarakat merupakan kesatuan hidup yang berinteraksi menurut sistem adat tertentu yang bersifat kontiniu dan terikat oleh rasa identitas bersama.

1.4.2 Teori

Dalam menulis skripsi ini, penulis berpegang pada beberapa teori yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas dan dianggap relevan. Teori yang dimaksud sesuai dengan pendapat Koentjaraningrat (1977:30), yaitu bahwa pengetahuan yang diperoleh dari buku-buku, dokumen-dokumen serta pengalaman kita sendiri merupakan landasan dari pemikiran untuk memperoleh pengertian tentang suatu teori-teori yang bersangkutan. Dengan demikian teori adalah pendapat yang dijadikan acuan dalam membahas tulisan ini.

Dalam meneliti gerak tari tersebut, penulis akan mendiskripsikan bagaimana uraian mengenai ragam gerak, pola lantai, motif gerak, frase gerak, bentuk tari, hitungan tari, busana tari, properti tari, dan hal-hal sejenis yang berkait dengan keberadaan tari sebagi produk manusia Minangkabau dalam konteks adatnya. Struktur dan pola gerakan-gerakan yang terdapat dalam tari Galombang yang nantinya juga penulis akan menggunakan lambang-lambang umum dan sederhana yang penulis buat sendiri yang dapat mewakili pola gerak tari Galombang.

Penyusunan gerak dalam seni tari, gerak dari masing-masing penari maupun dari kelompok penari bersama, ditambah dengan penyesuaiannya dengan ruang, sinar, warna, dan seni sastranya, kesemuanya merupakan suatu pengorganisasian seni


(30)

tari yang disebut koreografi (Djelantik, 1990:23). Dalam hal ini yang dimaksud koreografi adalah gerakan-gerakan yang dilakukan para penari pada upacara perkawinan masyarakat Minangkabau. Memiliki ciri-ciri khas tertentu dari bentuk tarian etnik lain yang dapat dilihat dan dinikmati oleh pelakunya dan penontonnya. Gerakan-gerakannya terpola didalam aturan-aturan adat dan nilai keindahan setempat yang dilakukan secara simbolis serta memiliki makna-makna tersendiri.

Musik dan tarian merupakan fenomena yang berbeda, tetapi dapat bergabung apabila terdapat aspek yang sama mengkoordinasikannya. Menurut Pringgobroto, musik adalah rangkaian ritmis nada, sedangkan tarian adalah rangkaian ritmis dan pola gerak tubuh (dalam Wimbrayardi, 1988:13-14). Musik merupakan fenomena audio (bunyi) yang tidak terlihat, dan tari merupakan fenomena audio (bunyi) yang tidak terdengar. Baik musik dan tari bergerak di dalam ruang dan waktu (Sachs 1993:1-4 dan Blacking 1985:64-74) serta dapat dirasakan melalui getaran yang dihasilkannya. Aspek dasar yang menghubungkan keduanya adalah waktu, yaitu gerak ritmis (musik dan tari) dan tempo. Untuk mengkaji struktur musik iringan tari

Galombang ini, dibahas dengan uraian mengenai struktur melodi dan ritem yang

dihasilkan alat pembawa melodi dan ritem dalam konteks mengiringi tari Galombang ini. Melodi dibawa oleh alat musik serunai. Sementara ritem dibawa secara interloking oleh talempong pacik, yang diiringi pola-pola ritem gandang tambua dan tasa. Untuk melodi penulis akan menggunakan teori bobot tangga nada (weighted

scale) yang ditawarkan oleh Malm (1977). Dianalisis melalui 8 struktur melodinya

yaitu: (1) tangga nada, (2) wilayah nada, (3) nada dasar, (4) interval, (5) jumlah nada-nada yang digunakan, (6) formula melodi, (7) pola-pola kadensa, dan (8) kontur (garis melodi).


(31)

Untuk mengkaji fungsi tari Galombang di dalam kebudayaan masyarakat Minangkabau digunakan teori fungsionalisme baik dalam ilmu antropologi maupun dalam etnologi tari, yang ditawarkan oleh beberapa pakar. Mereka menggagas teori fungsi itu sebagai berikut.

Radcliffe-Brown mengemukakan bahawa fungsi sangat berkait erat dengan struktur sosial masyarakat. Bahwa struktur sosial itu hidup terus, sedangkan individu-individu dapat berganti setiap saat. Dengan demikian, Radcliffe-Brown yang melihat fungsi ini dari sudut sumbangannya dalam suatu masyarakat, mengemukakan bahawa fungsi adalah sumbangan satu bagian aktivitas kepada keseluruhan aktivitas di dalam sistem sosial masyarakatnya. Tujuan fungsi adalah untuk mencapai tingkat harmoni atau konsistensi internal, seperti yang diuraikannya berikut ini.

By the definition here offered ‘function’ is the contribution which a partial activity makes of the total activity of which it is a part. The function of a perticular social usage is the contribution of it makes to the total social life as the functioning of the total social system. Such a view implies that a social system ... has a certain kind of unity, which we may speak of as a functional unity. We may define it as a condition in which all parts of the social system work together with a sufficient degree of harmony or internal consistency, i.e., without producing persistent conflicts can neither be resolved not regulated (1952:181).

Dalam kaitannya dengan tari Galombang pada upacara perkawinan adat Minangkabau dalam kebudayaan Minangkabau di Kota Medan, maka tari ini adalah salah satu aktivitas dari sekian banyak aktivitas etnik Minangkabau, yang tujuannya adalah untuk mencapai harmoni atau konsistensi internal. Tari Galombang dan musik iringannya adalah bahagian dari sistem sosial yang bekerja untuk mendukung tegaknya budaya Minangkabau.


(32)

Curt Sachs (1963:5) seorang ahli musik dan tari dari Belanda mengemukakan dalam bukunya yang berjudul World History of the Dance mengutarakan bahwa fungsi tari secara mendasar ada dua, yaitu (1) Tari berfungsi untuk tujuan magis, dan (2) Tari berfungsi sebagai media hiburan atau tontonan. Pakar lainnya Gertrude Prokosch Kurath yang mengemukakan adanya 14 fungsi tari dalam masyarakat, yaitu (1) sebagai media inisiasi (upacara pendewasaan), (2) sebagai media percintaan, (3) sebagai media persahabatan atau kontak sesial, (4) sarana untuk perkawinan atau pernikahan, (5) sebagai pekerjaan atau matapencaharian, (6) sebagai media untuk sarana kesuburan atas pcrtanian, (7) sebagai sarana untuk perbintangan, (8) sebagai sarana untuk ritual perburuan, (9) sebagai imitasi satwa, (10) sebagai imitasi peperangaa, (11) sebagai sarana pengobatan, (12) sebagai ritual kematian, (13) sebagai bentuk media untuk pemanggilan roh, dan (14) sebagai komedian (lawak).

Dari empat belas fungsi yang dikemukakan oleh Sachs seperti tersebut di atas, maka salah satu fungsi tari Galombang yang paling utama adalah fungsinya sebagai sarana untuk perkawinan atau pernikahan. Dalam hal ini pernikahan dalam adat Minangkabau secara umum disebut baralek.

Anthony V. Shay dalam disertasinya yang berjudul: The Function of Dance in

Human Society, membagi tari dalam 6 fungsi, yaitu (1) sebagai refleksi dari

organisasi sosial, (2) sebagai sarana ekspresi sekuler serta ritual keagamaan, (3) sebagai aktivitas rekreasi atau hiburan, (4) sebagai ungkapan serta pembebasan psikologis, (5) sebagai refleksi nilai-nilai estetik atau murni sebagai aktivitas estetis, dan (6) sebagai refleksi dari kegiatan ekonomi.

Kalau ditinjau dari teori fungsi tari yang dikemukakan Shay ini, maka tari Galombang dalam kebudayaan Minangkabau adalah sebagai refleksi organisasi


(33)

sosial Minangkabau. Juga berfungsi sebagai ekspresi ritual keagamaan, hiburan, estetik, dan juga ekonomi.

Sementara pakar tari lndonesia yaitu Narawati dan R.M. Soedarsono membedakan fungsi tari menjadi dua, yaitu (1) kategori fungsi tari yang besifat primer, yang dibedakan menjadi tiga, yaitu: (a) fungsi tari sebagai sarana ritual, (b) fungsi tari sebagai ungkapan pribadi, dan (c) fungsi tari sebagai presentasi estetik, dan (2) kategori fungsi tari yang bersifat sekunder, yaitu lebih mengarah pada aspek komersial atau sebagai lapangan mata pencaharian (Narawati dan Soedarsono, 2005: 15-16).

Berdasarkan teori fungsi tari dari Narawati dan Soedarsono ini, maka fungsi tari galombang, mencakup baik itu fungsi primer dan juga fungsi sekunder. Di dalam kegiatan tari ini terdapat fungsi ritual, ungkapan pribadi, estetik, dan mata pencaharian.

1.5 Metode Penelitian

Metode penelitian adalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Untuk meneliti tari Galombang pada upacara perkawinan masyarakat Minangkabau di Kota Medan ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif, sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Kirk Miller dalam Moleong (1990:3) yang mengatakan: “Penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang dalam bahasa dan peristilahannya.”

Penelitian kualitatif dapat dibagi dalam empat tahap yaitu: tahap sebelum ke lapangan, pekerjaan lapangan, analisis data dan penulisan laporan. Pada tahap pra


(34)

lapangan penulis mempersiapkan segala macam kebutuhan yang diperlukan sebelum turun ke dalam penelitian itu sendiri. Dalam bagian ini disusun rancangan penelitian ini, menjajaki atau menilai keadaan lapangan, memilih informan, perlengkapan penelitian, dan etika penelitian.

Selanjutnya pada tahap pekerjaan di lapangan seorang peneliti untuk mengumpulkan data semaksimal mungkin. Dalam hal ini, penulis menggunakan alat bantu yaitu Handycam merk Sony, kamera digital merk Casio, dan catatan lapangan. Pengamatan langsung (menyaksikan) upacara perkawinan masyarakat Minangkabau di Kota Medan.

Sedangkan wawancara tidak berstruktur adalah wawancara yang dalam pelaksanaan tanya jawabnya berlangsung seperti percakapan sehari-hari. Informan biasanya terdiri dari mereka yang terpilih saja karena sifat-sifatnya yang khas. Biasanya mereka telah mengetahui informasi yang dibutuhkan, dan wawancara biasanya berlangsung lama.

Dalam tahap menganalisis data penulis mengorganisasikan data yang telah terkumpul dari catatan lapangan, foto, studi kepustakaan, rekaman, dan sebagainya ke dalam suatu pola atau kategori. Dan sebagai hasil akhir dari menganalisis data adalah membuat laporan yang dalam hal ini adalah penulisan skripsi.

1.5.1 Studi Kepustakaan

Dalam tahapan ini penulis mencari, mempelajari, dan menggunakan literatur-literatur yang berhubungan dan dapat membantu pemecahan permasalahan. Dari hasil studi kepustakaan yang dilakukan penelitian tari Galombang dalam upacara perkawinan masyarakat Minangkabau masih sulit didapat.


(35)

Tujuan dari studi kepustakaan ini adalah untuk mendapatkan konsep-konsep, teori, serta informasi yang dapat digunakan sebagai acuan dalam pembahasan atau penelitian, dan menambah wawasan penulis tentang kebudayaan masyarakat Minangkabau yang diteliti yang berhubungan dengan kepentingan pembahasan atau penelitian.

1.5.2 Penelitian Lapangan

Sebagai acuan dalam mengumpulkan data di lapangan, penulis berpedoman kepada tulisan Harsja W. Bachtiar dan Koentjaraningrat dalam buku Metode-metode

penelitian masyarakat. Dalam buku ini tersebut dikatakan, bahwa pengumpulan data

dilakukan melalui kerja lapangan (field work) dengan menggunakan:

(1) Observasi (pengamatan), dalam hal ini penulis mengadakan pengamatan langsung, hal ini sesuai dengan pendapat Harja W. Bachtiar (1990:114-115), bahwa seorang peneliti harus melihat langsung akan kegiatan-kegiatan dari sasaran penelitiannya dalam mendapatkan data-data di lapangan, maka pengamat menghadapi persoalan bagaimana cara ia dapat mengumpulkan keterangan yang diperlukan tanpa harus bersembunyi, tetapi juga tidak mengakibatkan perubahan oleh kehadirannya pada kegiatan-kegiatan yang diamatinya.

Mengacu pada teori di atas penulis mengumpulkan keterangan yang diperlukan dengan cara mengamati sasaran penelitian, misalnya tentang jalannya tari

Galombang pada upacara, sarana yang dipergunakan, pelaku, dan masalah-masalah

lain yang relevan dengan pokok permasalahan, dan dalam pengamatan, penulis juga melakukan pencatatan data-data di lapangan sebagai laporan hasil pengamatan penulis. Dalam hal ini penulis terlebih dahulu mendapat ijin dari pihak panitia upacara.


(36)

(2) Wawancara, dalam suatu penelitian yang bertujuan mengumpulkan keterangan tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat serta pendirian-pendirian mereka itu, merupakan suatu pembantu utama dari metode observasi.

Wawancara ini bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi secara lisan dari para informan. Untuk ini penulis mengacu pada pendapat Koentjaraningrat (1990:129-155) yang membagi tiga kegiatan wawancara yaitu : persiapan wawancara, teknik wawancara, dan pencatatan data wawancara. Sedangkan wawancara terdiri dari wawancara terfokus, wawancara bebas, dan wawancara sambil lalu.

Dalam wawancara terfokus, pertanyaan tidak mempunyai struktur tertentu tetapi selalu terpusat kepada pokok permasalahan lain. Wawancara sambil lalu, sifatnya hanya untuk menambah data yang lain. Dalam mengumpulkan data, penulis menggunakan ketiga wawancara ini serta terlebih dahulu membuat daftar pertanyaan dan mencatat secara langsung data-data yang diperlukan.

(3) Perekaman, dalam hal ini penulis melakukan perekaman dengan 2 cara, yaitu (a) perekaman yang penulis lakukan yaitu perekaman audio dengan menggunakan handycam merk Sony mini DVD. Perekaman ini sebagai bahan analisis tekstual dan musikal. (b) Untuk mendapatkan dokumentasi dalam bentuk gambar digunakan kamera digital merk Casio. Pengambilan gambar dilakukan setelah terlebih dahulu mendapat ijin dari pihak pelaksana dan pihak yang bersangkutan.

1.5.3 Kerja Laboratorium

Kerja laboratorium merupakan proses penganalisisan data-data yang telah didapat dari lapangan. Setelah semua data yang diperoleh dari lapangan maupun


(37)

bahan dari studi kepustakaan terkumpul, selanjutnya dilakukan pembahasan dan penyusunan tulisan. Sedangkan untuk hasil rekaman dilakukan pentranskripsian dan selanjutnya dianalisa. Pada akhirnya hasil dari pengolahan data dan penganalisaan disusun secara sistematis dengan mengikuti kerangka penulisan.

Untuk menyajikan aspek kebudayaan, penulis mengacu dari antropologi, aspek struktur musik dari musikologi, dan juga unsur sosial lainnya (sesuai dengan keperluan pembahasan ini), sebagaimana ciri Etnomusikologi yang inter-disipliner dan keseluruhannya dikerjakan di dalam laboratorium Etnomusikologi), sehingga permasalahannya yang merupakan hasil laporan penelitian yang disusun dalam bentuk skripsi. Jika data yang dirasa masih kurang lengkap, maka penulis melengkapinya dengan menjumpai informan kunci atau informan lain dan hal ini dilakukan berulang-ulang.

1.6 Lokasi Penelitian

Sebagai lokasi penelitian, penulis memilih sanggar Tigo Sapilin, yang dipimpin oleh Bapak H. Abu Bakar Siddiq, S.H. Beliau juga adalah Ketua YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) Sumatera Utara. Sanggar yang beliau pimpin ini berada di rumah kediaman belaiu di Jalan Gurilla Gang Toke Umar, No. 18, Kelurahan Sei Kerah Hilir II, kecamatan Medan Perjuangan, Medan. Lokasi penelitian ini ditetapkan dengan beberapa alasan sebagai berikut. (1) Sanggar Tigo Sapilin ini merupakan sanggar yang sudah lama didirikan, sejak tahun 1987, dan dikelola oleh keturunan turun-temurun keluarga asli orang Minangkabau. (2) Sanggar ini sudah diikuti penulis dari awal tahun 2011 lalu sebagai anggota penari. Sehingga lebih memudahkan mendapatkan informasi karena sudah cukup dekat dengan pemilik dan anggota di dalamnya. (3) Sekarang sanggar ini memang sudah


(38)

mengikuti perkembangan zaman, namun orang-orang lama di dalamnya masih mengetahui pengetahuan gerakan tradisionalnya.


(39)

BAB II

TINJAUAN UMUM MASYARAKAT MINANGKABAU DAN SANGGAR TIGO SAPILIN

DI KOTA MEDAN

2.1 Asal-Usul Masyarakat Minangkabau

Secara etimologi, Minangkabau berasal dari dua kata, yaitu minang dan

kabau. Kata minang ini awalnya dari pengucapan bahasa masyarakat yang

mengucapkan kata manang yang berarti kemenangan, dan kata kabau yang berarti kerbau. Jadi kata minangkabau berarti “kerbau yang menang”. Menurut lagenda, nama ini diperoleh dari peristiwa perselisihan di antara kerajaan Minangkabau dengan seorang putera dari Jawa yang meminta pengakuan kekuasaan di Melayu. Untuk mengelakkan diri mereka dari berperang, rakyat Minangkabau mengusulkan pertandingan adu kerbau di antara kedua pihak. Putera tersebut setuju dan mengadakan seekor kerbau yang besar badannya dan ganas. Sedangkan rakyat setempat hanya mengandalakan seekor anak kerbau yang lapar tetapi dengan diberikan pisau pada tanduknya. Sewaktu peraduan, si anak kerbau yang kelaparan dengan tidak sengaja menyerudukkan tanduknya di perut kerbau besar itu karena ingin mencari puting susu untuk meghilangkan lapar dan dahaganya. Kerbau yang ganas itu mati, dan rakyat setempat berhasil menyelesaikan pergelutan tersebut

dengan cara yang aman .

Keterkaitan masyarakat Minangkabau dengan hewan kerbau ini dapat dilihat dari berbagai identitas budaya orang Minangkabau, seperti atap rumah adat mereka yang berbentuk layaknya menyerupai tanduk kerbau. Begitu juga dengan pakaian adat perempuan Minangkabau yang disebut dengan baju tanduak kabau.


(40)

Namun dari beberapa sumber lain menyebutkan bahwa nama Minangkabau sudah ada jauh sebelum peristiwa adu kerbau itu terjadi, dimana istilah yang lebih tepat sebelumnya adalah “Minangkabwa,” “Minangakamwa,” “Minangatamwan,” dan “Phinangkabhu.” Istilah Minangakamwa atau Minangkamba berarti Minang (sungai) Kembar yang merujuk pada dua sungai Kampar yaitu Kampar Kiri dan Sungai Kampar Kanan. Sedangkan istilah Minangatamwan yang merujuk kepada Sungai Kampar memang disebutkan dalam prasasti Kedukan Bukit dimana di situ disebutkan bahwa pendiri Kerajaan Sriwijaya yang bernama Dapunta Hyang melakukan migrasi massal dari hulu Sungai Kampar (Minangatamwan) yang terletak di sekitar daerah Lima Puluh Kota, Sumatera Barat

.

Menurut para ahli kebudayaan, suku bangsa Minangkabau ini merupakan bagian dari bangsa Deutero Melayu (Melayu Muda). Dimana mereka melakukan migrasi dari dataran China Selatan ke pulau Sumatera sekitar 2500-2000 tahun yang lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat Minangkabau ini masuk dari arah timur pulau Sumatera, menyusuri aliran sungai Kampar sampai ke dataran tinggi yang disebut dengan darek (kampung halaman orang Minangkabau). Kemudian suku Minang menyebar ke daerah pesisir di pantai barat pulau Sumatera, yang terbentang dari Barus bagian utara hingga Kerinci bagian selatan. Migrasi tersebut terjadi ketika pantai barat Sumatera menjadi pelabuhan alternatif perdagangan selain Malaka, saat jatuh ke tangan Portugis.

Dalam buku Dasar-dasar adat Minangkabau (Idrus Hakimi, 1980), diebutkan bahwa nenek moyang masyarakat Minangkabau berasal dari keturunan Raja Iskandar Zulkarnain. Keturunannya menyebar kemana-mana mencari tanah-tanah baru untuk dibuka. Beberapa kawasan yang menjadi Darek tersebut membentuk semacam


(41)

konfederasi yang disebut mereka dengan nama Luhak. Sesuai dengan pembagian kawasannya, Luhak tersebut disebut mereka menjadi Luhak Nan Tigo.

Luhak Nan Tigo ada tiga bagian di daerah Minangkabau yang membawahi

daerah rantau, yaitu: (1) Luhak Agam berpusat di Bukittinggi dengan Rantau Pasaman, (2) Luhak Tanah Data berpusat di Batusangkar dengan Rantau Solok, dan

(3) Luhak Lima PuluahKoto berpusat di Paya Kumbuh dengan Rantau Kampar.

Daerah rantau terbagi atas, ke utara Luhak Agam; Pasaman, Lubuk Sikaping, dan Rao. Ke selatan dan tenggara Luhak Tanah Data; ada Solok, Silayo, Muaro Paneh, Alahan Panjang, Muaro Labuah, Alam Surambi Sungai Pagu, Sawah Lunto Sijunjung, sampai keperbatasan Riau dan Jambi. Selanjutnya rantau sepanjang hiliran sungai besar; Rokan, Siak, Tapung, Kampar, Kuantan/Indragiri, dan Batang Hari. Sedangkan daerah pesisir terbagi atas, dari utara ke selatan; Meulaboh, Tapak Tuan, Singkil, Sibolga, Sikilang, Aie Bangih, Tiku, Pariaman, Padang, Bandar Sapuluh, Air Haji, Balai Salasa, Sungai Tunu, Punggasan, Lakitan, Kambang, Ampiang Parak, Surantiah, Batang Kapeh, Painan (Bungo Pasang), dan seterusnya Bayang nan Tujuah, Indrapura, Kerinci, Muko-muko, dan Bengkulu.

Tiap-tiap luhak dibentuk dari beberapa kelarasan, dan pada kelarasan dibentuk suku, dimana setiap suku Minangkabau diatur menurut garis keturunan ibu (matrilineal). Untuk mengesahkan suku, ada harta pusaka dari nenek diwariskan kepada ibu, dan dari ibu diwariskan kepada anak perempuan.

Dalam etnik Minangkabau terdapat banyak klan, dimana mereka sendiri yang menyebutnya dengan istilah suku. Awalnya sebagai suku mereka ada empat suku, yaitu suku Bodi, Caniago, Koto, dan Piliang. Sekarang seiring jalannya waktu, berkembang sampai sudah mencapai ratusan suku, diantaranya suku Gudam, Pinawan, Padang Laweh, Salo, Tanjung, Sikumbang, Panai, dan lain-lain.


(42)

2.2 Masuknya Masyarakat Minangkabau di Kota Medan

Medan merupakan salah satu kota di Indonesia yang menjadi tujuan perantau beberapa suku di Indonesia. Pada tahun 1909, Medan menjadi kota yang penting di luar Jawa. Terutama setelah pemerintah kolonial membuka perusahaan perkebunan secara besar-besaran. Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 terdapat dua gelombang migrasi besar ke kota Medan. Gelombang pertama kedatangan dari orang Tionghoa dan Jawa sebagai kuli kontrak perkebunan. Gelombang kedua ialah kedatangan orang Minangkabau, Mandailing, dan Aceh. Kedatangan merea ke Kota Medan dan sekitarnya bukan untuk bekerja sebagai buruh perkebunan, tetapi umumnya untuk berdagang, menjadi guru dan alim ulama (https://id.wikipedia. org/wiki/Kota Medan

Keinginan masyarakat Minangkabau untuk merantau sangatlah tinggi, hal ini dilihat dari hasil studi yang pernah dilakukan tahun 1973 lalu. Pada tahun 1961 terdapat sekitar 32% orang Minang yang berdomisili di luar Sumatera Barat, tetapi pada tahun 1971, jumlahnya semakin meningkat menjadi 44% yang berdomisili di luar Sumatera Barat. Dalam hal ini berarti lebih dari separuh orang Minang berada di luar Sumatera Barat. Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa keinginan merantau orang Minangkabau begitu besarnya. Dibanding dengan suku lainnya yang ada di Indonesia, keinginan merantau orang Minangkabau cukup besar. Sebab menurut sensus pada tahun 1930, suku perantau tertinggi di Indonesia adalah suku Bawean (35,9%), kemudian suku Batak (14,3%), selanjutnya suku Banjar (14,2%), setelah itu suku Minang sebesar 10,5% (Ahmad Yunus, 1985:4).

).

Ada beberapa faktor yang menjadi alasan masyarakat Minangkabau merantau, baik itu faktor budaya maupun ekonomi. Salah satu penyebab terhadap fenomena budaya ialah sistem kekerabatan matrilineal mereka. Dengan sistem tersebut,


(43)

penguasaan harta pusaka dipegang oleh kaum wanita, sedangkan kaum lelaki cukup kecil. Selain itu, setelah masa akil balik laki-laki tidak lagi dapat tidur di rumah orang tuanya, karena rumah hanya diperun tukkan untuk kaum wanita beserta suaminya, dan anak-anaknya. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan banyaknya kaum laki-laki semangat untuk mengubah nasib dengan merantau untuk mencari kekayaan dengan berdagang dan meniti karir, serta melanjutkan pendidikan. Begitu juga pada penjelasan pada faktor ekonomi dimana pertumbuhan penduduk yang tidak diiringi dengan bertambahnya sumber daya alam yang dapat diolah mereka, yang menyebabkan tidak cukup memenuhi keperluan bersama. Faktor-faktor inilah yang mendorong orang Minang pergi merantau.

Masyarakat Minangkabau mendorong para pemuda dan anak-anak mereka untuk merantau dan membawa sesuatu sebagai tanda bahwa mereka telah mengadu nasib di negeri orang. Semua itu akan digunakan untuk membangun dan memperbaiki masing-masing rumah mereka di kampung halaman mereka, membeli tanah, ataupun memberikan pemikiran-pemikiran mereka demi kemajuan daerah mereka.

Kota Medan sendiri memiliki penduduk yang heterogen, baik itu dari segi budaya, agama, profesi, dan lain-lain. Masuknya berbagai suku masyarakat membawa budaya tradisi asal mereka masing-masing. Begitu juga masyarakat Minangkabau yang merupakan salah satu suku yang merantau ke kota Medan ini memberikan keberagaman seni dan budaya yang ada di Kota Medan dari budaya tradisi yang dibawa oleh mereka sendiri.

Di kota Medan sendiri, kelompok masyarakat Minangkabau ini hampir menempati seluruh kawasan kota Medan. Tercatat masyarakat Minangkabau paling


(44)

banyak bermukim di Medan Denai dan Sukaramai. Dimana lokasi-lokasi ini juga merupakan daerah strategis dalam melakukan kepentingan perdagangan.

Menurut data statistik kota Medan tahun 2000, suku Minangkabau di Sumatera Utara berjumlah 306.550 jiwa, seperti yang dilihat pada Tabel 1. Meskipun jumlah suku Minangkabau berada pada urutan ke-9, akan tetapi suku Minangkabau dan kebudayaannya cukup dikenal umum, karena kemampuan mereka memperkenalkan diri dari segi perdagangan, seperti banyaknya usaha rumah makan Minang, pedagang sate Padang, dan lain-lainnya.

Tabel 2.1:

Jumlah Penduduk Kota Medan Berdasarkan Suku Hasil Sensus Penduduk Tahun 2000

Suku Persentase Jumlah Penduduk

Melayu 5,89% 674.112 jiwa

Karo 5,09% 585.173 jiwa

Simalungun 2,04% 234.515 jiwa

Toba 25,62% 2.948.264 jiwa

Mandailing 11,27% 1.296.518 jiwa

Pakpak 0,73% 83.866 jiwa

Nias 6,36% 731.620 jiwa

Jawa 33,40% 3.843.602 jiwa

Minang 2,66% 306.550 jiwa

Cina 2,71% 311.779 jiwa

Aceh 0,97% 111.686 jiwa

Lainnya 3,29% 379.113 jiwa


(45)

2.3 Sistem Agama dan Kepercayaan

Awal sebelum agama Islam masuk di Minangkabau, agama Hindu dan Budha telah muncul di Minangkabau. Tetapi kedua agama ini hanya berkembang di sekitar istana saja. Diperkirakan sekitar pertengahan abad ke tujuh agama Islam masuk dibawa oleh para pedagang, akan tetapi mulai berkembang sekitar abad ke tiga belas.

Hingga saat ini agama Islam menjadi satu-satunya agama yang berkembang di Minangkabau dan telah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari identitas masyarakat Minangkabau. Pengaruh agama Islam kuat di dalam adat Minangkabau, seperti yang tercatat di dalam pepatah mereka, adat basandi syara’, syara’ basandi

Kitabullah, yang artinya, adat (Minangkabau) bersendi hukum Islam dan hukum

Islam bersendi Al Qur’an. Sehingga nyata bahwa antara adat Minangkabau dengan agama Islam memiliki suatu kesatuan yang saling menunjang dalam membina masyarakatnya.

Setiap orang yang menjalankan adat Minangkabau haruslah beragam Islam karena adat mereka sejalan dengan agama Islam. Terdapat banyak persamaan di antara paham Islam dengan paham orang Minangkabau. Ciri-ciri Islam begitu mendalam dalam adat Minangkabau, sehingga mereka yang tidak mengamalkan agama Islam dianggap telah terkeluar dari masyarakat Minangkabau.

2.4 Sistem Kekerabatan

Masyarakat Minangkabau menggunakan sistem matrilineal, baik itu di Medan ataupun daerah perantauan mereka lainnya maupun di kampung halaman mereka sendiri Sumatera Barat. Dimana yang artinya keluarga yang menganut prinsip silsilah keturunan yang diperhitungkan melalui garis ibu. Dalam sistem kekerabatan matrilineal terdapat 3 unsur yang paling dominan, yaitu: Pertama, garis keturunan


(46)

“menurut garis ibu.” Kedua, perkawinan harus dengan kelompok lain, di luar kelompok sendiri, yang sekarang dikenal dengan istilah eksogami matrilineal. Ketiga, ibu memegang peran sentral dalam pendidikan, pengamanan kekayaan, dan kesejahteraan keluarga.

Dalam perkawinan masyarakat Minangkabau menganut sistem eksogami, dimana yang artinya adalah sistem perkawinan di luar batas suatu lingkungan tertentu, atau dengan kata lainnya perkawinan di luar kelompoknya. Serta matrilokal dimana suami tinggal di sekitar rumah kerabat isterinya, atau di dalam lingkungan kekerabatan isterinya. Semua harta dan tanah yang dimiliki diwariskan kepada anak perempuan.

Masyarakat Minangkabau memiliki kelompok kekerabatan, dimana ikatan kekerabataan tersebut terbentuk berdasarkan paruik, kampueng, dan suku. Paruik adalah kelompok kerabat seketurunan menurut garis keturunan ibu yang merupakan kelompok keluarga terkecil yang terdiri dari ibu, anak laki-laki dan perempuan, saudara laki-laki ibu, saudara perempuan ibu, serta anak-anaknya dan cucu-cucu dari anak perempuannya. Dimana dulunya mereka tinggal dirumah yang disebut dengan Rumah Gadang (rumah besar). Kumpulan dari paruik membentuk klen besar, yaitu kampueng yang dipimpin oleh seorang penghulu andiko atau datuek kampueng. Kemudian gabungan kampueng membentuk sukuyang merupakan satu keturunan yang sama berdasarkan prinsip matrilineal dan dipimpin oleh seorang penghulu suku.

Dalam keluarga Minangkabau, ayah tidak termasuk dalam anggota keluarga istri dan anaknya, akan tetapi ia tetap menjadi anggota kaum warganya masing-masing, yaitu ibunya. Ayah dipandang sebagai pemberi keturunan. Dimana ayah atau laki-laki yang menikahi seorang perempuan dari satu paruik atau kampueng lain disebut dengan urang sumando (orang pendatang). Ada pula keluarga batih ada


(47)

dalam sistem kekeluargaan Minangkabau yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak meskipun tidak begitu dikenal, mengingat ibu dan ayah akan tetap menjadi anggota dan terlibat dalam keluarga asalnya, yaitu ibunya.

Pada dasarnya anak laki-laki di Minangkabau telah diajarkan untuk hidup berpisah dengan orangtua dan sudara-saudara perempuannnya. Mereka tidak lagi tinggal di rumah gadang dengan ibunya, melainkan hidup berkelompok di surau-surau (mushola atau mesjid). Disana mereka belajar mengaji, silat, dan bergaul dengan kelompok pria dengan segala tingkatan usia.

Dalam masyarakat Minangkabau, di beberapa daerah ada terdapat sebutan atau nama panggilan yang digunakan keluarga. Panggilan ini juga berlaku pada sebagian besar masyarakat Minangkabau di kota Medan, seperti seorang adik memanggil kakak perempuannya dengan panggilan uni, dan panggilan uda untuk kakak laki-laki. Panggilan mande untuk panggilan ibu, paman atau saudara laki-laki ibu dipanggil mamak, dan orang yang lebih tua memanggil upiak kepada anak perempuannya, dan buyuang untuk anak laki-laki. Anak memanggil mak adang kepada saudara perempuan ibu yang lebih tua dan mak etek kepada yang lebih muda dari ibu. Semua laki-laki dalam pesukuan dan dalam suku yang serumpun yang menjadi kakk atau adik dari ibu kita, disebut juga dengan mamak. Jadi mamak tidak hanya sebatas saudara kandung ibu, tapi semua laki-laki yang segenerasi dengan ibu dalam suku yang serumpun.

Dalam keluarga Minangkabau, mamak memiliki peranan dan tanggung jawab yang penting. Mamak yang merupakan saudara laki-laki ibu berkewajiban membimbing kemenakan (keponakan), mengatur, dan mengawasi penggunaan harta pusaka. Untuk itulah mamak dapat dikatakan memiliki kedudukan yang sejajar dengan ibu. Dalam ikatan perkawinan, mamak memiliki tanggung jawab dalam


(48)

kesepakatan yang dilakukan. Jika terjadi ingkar janji, maka mamak-lah yang harus membayar semua hutang tersebut bukan kemenakan yang akan dikawinkan.

Di dalam setiap kelompok orang saparuik (seperut) yang disebut satu suku dalam sistem kekerabatan Minangkabau mempunyai gelar pusaka kaum sendiri yang diturunkan dari ninik kepada mamak dan dari mamak kepada keponakan laki-lakinya. Gelar ini yang nantinya diberikan turun-temurun kepada para laki-laki yang akan berumah tangga. Mereka akan lebih dihargai dan dihormati dengan pemberian gelar tersebut. Gelar yang diberikan kepada laki-laki yang akan menikah di Minangkabau dapat diberikan kepada siapa saja tanpa suatu acara khusus. Lain halnya dengan gelar yang harus disandang oleh seorang penghulu (kepala kaum) yang merupakan warisan adat yang hanya bisa diturunkan pada kemenakannya dalam upacara adat dengan kesepakatan kaum setelah penghulu meninggal dunia.

Perkawinan yang dilakukan menimbulkan tali kekerabatan yang baru, yaitu kerabat perempuan dari pihak laki-laki disebut pasumandan. Saudara perempuan dari ayah bagi anak-anaknya disebut bako atau induak bako, sedangkan anak-anak dari saudara laki-laki bagi saudara perempuannya disebut anak pisang.

Di kota Medan sendiri, sistem kekrabatan ini masih digunakan oleh masyarakat Minangkabau yang merantau ke kota Medan ini. Akan tetapi peranan datuek

kampueng dan penghulu suku tidak ditemukan di sini.

2.5 Sistem Kesenian

Kesenian merupakan ekspresi manusia terhadap keindahan, dalam kebudayaan suku-suku bangsa yang pada mulanya bersifat deskriptif (Koentjaraningrat, 1982:395-397). Kesenian Minangkabau pada mulanya merupakan permainan rakyat yang bersifat terbuka dari rakyat untuk rakyat. Oleh karena sifatnya yang terbuka


(49)

maka menjadi milik suatu komunitas yang mudah berubah. Pengertian berubah dalam hal ini yakni dalam konteks sosiobudaya masyarakat Minangkabau yang dapat diartikan sebagai berkembang, memperkaya, dan memperbanyak aspek-aspeknya (Nerosti Adnan, 2008). Masyarakat Minangkabau memiliki berbagai macam bentuk kesenian, yakni seni bangunan, semi rupa, seni suara, dan seni tari.

Seni bangunan, dilihat dari rumah adat Minangkabau yang disebut dengan rumah gadang. Dimana rumah gadang ini terdiri atas biliek sebagai ruang tidur, dan

didieh sebagai ruang tamu. Ciri utama rumah ini adalah bentuk lengkung atapnya

yang disebut dengan gonjong yang artinya tanduk kerbau.

Seni rupa adalah suatu bentuk kesenian yang dapat dinikmati melalui penglihatan. Pada masyarakat Minangkabau, hal ini dapat dilihat dari ukiran-ukiran pada rumah gadang. Dimana biasanya ada motif gambar tumbuh-tumbuhan dan binatang yang menghiasi tiang-tiang dan dindingnya.

Seni musik dan suara merupakan suatu bentuk karya seni yang dapat dinikmati manusia melalui pendengaran, seperti seni vokal, seni instrumental, dan seni sastra. Dimana seni vokal yang berkembang pada masyarakat Minangkabau, yaitu berupa

dendang (nyanyian), indang, dan dikie (zikir). Sedangkan seni suara melalui

instrumen, ada saluang, bansi, talam, rabano, gandang, talempong, dan lainnya. Seni sastra terutama sastra lisan, yaitu berupa pantun yang berupa nasihat dan syair yang paling banyak dikuasai oleh masyarakat Minangkabau.

Seni tari dan gerak merupakan gabungan antara seni rupa dan seni suara yang dapat dinikmati oleh manusia melalui penglihatan dan pendengaran. Seni tari yang berkembang pada masyarakat Minangkabau, yaitu berupa silat, randai, tari piring, tari Galombang, dan banyak lagi.


(1)

pesta perkawinan di kalangan anggota masyarakat Minangkabau, baik di kampung halaman mereka di Sumatera Barat, maupun di kota Medan.

Kedudukan tari Galombang ini dalam setiap upacara mengalami pergeseran dari zaman dulu, yang dimana saat dulu tari ini penting digunakan dalam upacara perkawinan masyarakat Minangkabau, namun dalam penerapan di masa sekarang adalah sebagai salah satu pelengkap atau bisa dikatakan penyemaraknya upacara perkawinan. Jika tari ini tidak ditampilkan, upacara akan tetap terlaksana. Namun terasa kurang lengkap jika kesenian tradisional ini tidak ditampilkan. Berfungsi sebagai tanda penyambutan marapulai beserta keluarga dan juga sebagai tanda sukacita dari pihak anak daro.

Konsep tari Galombang kurang lebih sama di seluruh satuan sosial Minangkabau, yakni pola-pola gerakan yang diambil dari gerakan bungo silek. Tiap kelompok penari di dalam anggota masyarakat Minangkabau menciptakan berbeda-beda ragam gerakan dalam strukturnya, namun dalam pola gerakannya semua sama, berdasarkan pola gerakan yang sudah tradisi adat dari dulunya. Dalam penyajiannya, memerlukan keahlian agar dapat bergerak, gerakan-gerakan kaki dan tangan saling di gerakkan yang begitu di perhatikan. Gerakan kaki dilakukan dengan menggunakan langkah-langkah, sedangkan gerakan tangan dilakukan dengan gerakan-gerakan kasar yang identik dengan kekhasan masyarakat Minangkabau. Dimana semua makna yang terkandung di dalam gerakan-gerakan tersebut mempunyai fungsi bagi masyarakat Minangkabau. Semua gerakan di atur dalam gerak kaki maupun tangan demi keseragaman tarian


(2)

terhadap antar penari. Tiap peralihan atau perubahan gerakan yang ada sesuai dengan ketukan tempo musik pengiringnya.

Persiapan kostum dan tata rias yang digunakan sangat diperlukan oleh penari dan pemusik untuk mendukung pertunjukan yang mereka sajikan di lapangan. Dimana penggunaan kostum dalam pertunjukan memiliki symbol-simbol tersendiri. Lewat pertunjukan tari Galombang ini mengekspresikan perasaan dan semua pengalaman lingkungan yang subjektif.

Eksistensi iringan musik dalam tari Galombang ini sangatlah penting, karena dalam konteksnya tari ini mengikuti musik. Dimana sebagai pembentuk suasana dan juga untuk memperjelas tekanan-tekanan gerak, sehingga tari dapat dinikmati secara keseluruhan dengan baik. Dimana Siklus tari dalam satu bentuk yang terdiri dari empat ragam memerlukan 24 ketukkan dasar. Siklus musik pembawa ritem sesuai kebutuhan siklus tari dalam birama 2/4 atau meter 2. Siklus musik pebawa melodi dalam satu bentuk melodi yang diulang-ulang membutuhkan ketukan dasar 32.

Dilihat dari segi fungsi tari Galombang ini memiliki banyak fungsi, yaitu sebagai suatu sumbangan bahagian aktivitas kepada keseluruhan aktivas di dalam sistem sosial masyarakatnya, sebagai sarana untuk perkawinan atau pernikahan, sebagai refleksi organisasi sosial Minangkabau, begitu juga sebagai ekspresi ritual keagamaan, hiburan, estetik, dan ekonomi.

Dalam konteks kegiatan tari Galombang, ada keterkaitan hubungan antara struktur tari, struktur musik iringan, dan fungsi tari di dalam masyarakat


(3)

Minangkabau di Kota Medan. Hubungan itu berupa hubungan pertunjukan, yang memiliki bentuk dan siklusnya tersendiri dalam dimensi waktu dan ruang.

5.2 Saran

Tari Galombang sebagai salah satu kesenian tradisional masyarakat Minangkabau yang kini telah berkembang di luar daerah asalnya, khususnya kota Medan. Kesenian ini berbaur dengan kesenian yang ada di daerah tempat perantauan, yang tentu saja akan mendapat pengaruh dari kesenian yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu, sebagai upaya pelestariannya diperlukan wadah seperti sanggar Tigo Sapilin yang memiliki kesadaran untuk menjaga kesenian tradisional ini.

Para generasi muda diharapkan untuk berperan aktif dalam menjaga kelangsungan kesenian daerahnya. Ini dapat dilakukan dengan melakukan sosialisasi melalui pertunjukan kesenian tradisi yang sering diadakan untuk membiasakan mereka mengenalnya. Rasa kesadaran dan cinta akan kesenian tradisional merupakan kunci permasalahannya.

Penulis juga menyadari bahwa penelitian yang baru merupakan tahap awal ini masih banyak memiliki kekurangan dan perlu mendapatkan penyempurnaan. Penelitian ini hanyalah sebahagian kecil permasalahan yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu penulis menyarankan dan mengharapkan kepada siapa saja yang berminat untuk melanjutkan penelitian ini untuk lebih mendalam lagi, sehingga dapat bermanfaat bagi pengembangan Etnomusikologi dan sebagai


(4)

dokumentasi data mengenai kebudayaan musical yang berkaitan dengan Minangkabau.

Akhir kata penulis mengharapkan semoga tulisan ini dapat memberikan kontribusi yang positif terhadap apresiasi budaya dan pengetahuan terhadap ilmu pengetahuan secara umum dan bidang Etnomusikologi secara khusus.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Blacking, John. 1984. “Dance as Cultural System and Human Capability: An Anthropological Perspective.” dalam buku Dance, A Multicultural Perspective. Report of the Third Study of Dance Conference, ed. J. Adshead, 4-21 Guildford. University of Surrey.

1985. “Movement, Dance, Music, and Venda girl’s Laitation” dalam buku Society and Dance. Cambridge University Press.

Djelantik. 1990. Estetika, Sebuah Pengantar. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.

Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. 2004. “Studia Kultura” dalam buku Jurnal Ilmiah Ilmu Budaya.

Gunawan, Hery. 2005. Analisi Musik Galombang Pada Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Minangkabau di Kota Medan, Skripsi Etnomusikologi USU.

Hutagalung, Flora. 2009. Analisis Pertunjukan Tari Piring pada Upacara Perkawinan Adat Masyarakat Minangkabau di Kota Medan, Skripsi Etnomusikologi USU.

Lorimer, Lawrence T. et al., (eds.). 1991. Encyclopedia of Knowledge (Volume 8). Danbury, Connecticut: Grolier Incorporated.

Koentjaraningrat. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Maleong. 1908. Metode Penelitian. Jakarta: Gramedia.

Malm, Wiliam P., 1977. Music Cultures of Pacific, Near East, and Asia. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall.

Merriam, Alan P. 1964. The Anthropology of Music. Chicago: North Western University Press.

Navis, A.A. 1986. Alam Terkembang Jadi Guru: Adat Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: PT.Temprint.

Nettl, Bruno. 1964. Theory and Method in Etnomusicology. New York: The Pree Press.


(6)

Sachs, Curt. 1963. World History of the Dance. California: University of California.

1993. World History of The Dance. New York: The Norton Library. Siagian, Rizaldi. 1995. “Etnomusikologi” Masyarakat Seni Pertunjukan

Indonesia. Surakarta : Yayasan Bentang Budaya.

Sinar, Luckman. 1996. Pengantar Etnomusikologi dan Tarian malayu. Medan: Perwira.

Soedarsono. 1978. Komposisi Tari. Yoyakarta: ASTI

Soekanto, Soerjono. 1993. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Wimbrayardi. 1989. Analisis Ritem Musik Adok Pengiring Tari Bentan. Medan, Skripsi Sarjana Sastra USU.

Internet :


Dokumen yang terkait

Deskripsi Pertunjukan Tari Merak dalam Upacara Perkawinan Masyarakat Adat Sunda di Kota Medan

8 185 116

Tradisi Kelisanan Baralek Gadang Pada Upacara Perkawinan Adat Sumando Masyarakat Pesisir Sibolga: Pendekatan Semiotik Sosial

12 220 273

Tari Inai dalam konteks Upacara Adat Perkawinan Melayu di Batang Kuis: Deskripsi Gerak, Musik Iringan, dan Fungsi

3 143 72

Pertunjukan Galombang Dalam Konteks Upacara Baralek Pada Masyarakat Minangkabau Di Kota Medan : Analisis Hubungan Struktur Tari dengan Musik Iringan

0 0 17

Pertunjukan Galombang Dalam Konteks Upacara Baralek Pada Masyarakat Minangkabau Di Kota Medan : Analisis Hubungan Struktur Tari dengan Musik Iringan

0 0 2

Pertunjukan Galombang Dalam Konteks Upacara Baralek Pada Masyarakat Minangkabau Di Kota Medan : Analisis Hubungan Struktur Tari dengan Musik Iringan

0 1 42

Pertunjukan Galombang Dalam Konteks Upacara Baralek Pada Masyarakat Minangkabau Di Kota Medan : Analisis Hubungan Struktur Tari dengan Musik Iringan

0 2 24

Pertunjukan Galombang Dalam Konteks Upacara Baralek Pada Masyarakat Minangkabau Di Kota Medan : Analisis Hubungan Struktur Tari dengan Musik Iringan

0 1 3

Pertunjukan Galombang Dalam Konteks Upacara Baralek Pada Masyarakat Minangkabau Di Kota Medan : Analisis Hubungan Struktur Tari dengan Musik Iringan

0 0 4

BAB II TINJAUAN UMUM MASYARAKAT MINANGKABAU DAN SANGGAR TIGO SAPILIN DI KOTA MEDAN 2.1 Asal-Usul Masyarakat Minangkabau - Hubungan Struktur Tari, Musik Iringan, dan Fungsi Sosial Tari Galombang yang Dipertunjukan Sanggar Tigo Sapilin pada Upacara Adat Per

0 1 13