i.e. restrictions on new businesses entering or existing businesses leaving the market
56
4. Indonesia
a. Perkembangan Persaingan Usaha di Indonesia
Dalam perkembangan sistem ekonomi Indonesia, persaingan usaha menjadi salah satu instrumen ekonomi sejak saat reformasi
digulirkan. Sebetulnya sudah sejak lama masyarakat Indonesia, khususnya para pelaku bisnis, merindukan sebuah undang-undang yang
secara komprehensif mengatur persaingan sehat. Keinginan itu didorong oleh munculnya praktik-praktik perdagangan yang tidak sehat,
terutama karena penguasa sering memberikan perlindungan ataupun priveleges kepada para pelaku bisnis tertentu, sebagai bagian dari
praktik-praktik kolusi, korupsi, kroni, dan nepotisme. Dikatakan secara komprehensif, karena sebenarnya secara pragmentaris, batasan-batasan
yuridis terhadap praktik-praktik bisnis yang tidak sehat atau curang dapat ditemukan secara tersebar di berbagai hukum positif. Tetapi
karena sifatnya yang sektoral, perundang-undangan tersebut sangat tidak efektif untuk secara konseptual memenuhi berbagai indikator
sasaran yang ingin dicapai oleh undang-undang persaingan sehat tersebut.
57
56
Ibid, Page 224
57
Muladi, “Menyongsong Keberadaan UU Persaingan Sehat di Indonesia”, dalam UU Antimonopoli Seperti Apakah yang Sesungguhnya Kita Butuhkan?Newsletter Nomor 34 Tahun IX,
Yayasan Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta, hal 35
Universitas Sumatera Utara
Sebuah undang-undang yang secara khusus mengatur persaingan dan antimonopoli sudah sejak lama dipikirkan oleh para
pakar, partai politik, lembaga swadaya masyarakat, serta instansi pemerintah. Pernah suatu ketika Partai Demokrasi Indonesia pada tahun
1995 menelurkan konsep Rancangan Undang-undang tentang Antimonopoli. Demikian pula Departemen Perdagangan yang bekerja
sama dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia pernah membuat naskah akademik Rancangan Undang-Undang tentang Persaingan Sehat
di Bidang Perdagangan. Namun patut disayangkan karena semua usulan dan inisiatif tersebut tidak mendapat tanggapan yang positif, karena
pada masa-masa itu belum ada komitmen maupun political will dari elite politik yang berkuasa untuk mengatur masalah persaingan usaha.
58
Ada beberapa alasan mengapa pada waktu itu sulit sekali suatu Undang-Undang Antimonopoli disetujui oleh Pemerintah, yaitu
59
1. Pemerintah menganut konsep bahwa perusahaan-perusahaan
besar perlu ditumbuhkan untuk menjadi lokomotif pembangunan. Perusahaan-perusahaan tersebut hanya
mungkin menjadi besar untuk kemudian menjalankan fungsinya sebagai lokomotif pembangunan apabila diberi
perlakuan khusus. Perlakuan khusus ini, dalam pemberian :
58
Hikmahanto Juwana, Op.cit., hal 4
59
Sutan Remy Sjahdeini, “Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat” Jurnal Hukum Bisnis Volume 10, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, 2000,
hal 5
Universitas Sumatera Utara
proteksi yang dapat menghalangi masuknya perusahaan lain dalam bidang usaha tersebut atau dengan kata lain
mernberikan posisi monopoli; 2.
Pemberian fasilitas monopoli perlu ditempuh karena perusahaan itu telah bersedia menjadi pioner di sektor yang
bersangkutan. Tanpa fasilitas monopoli dan proteksi, Pemerintah sulit memperoleh kesediaan investor untuk
menanamkan modalnya di sektor tersebut; 3.
Untuk menjaga berlangsungnya praktik KKN demi kepentingan kroni mantan Presiden Soeharto dan pejabat-
pejabat yang berkuasa pada waktu itu. Kebijakan pembangunan ekonomi yang kita jalankan selama
tiga dasawarsa, selain menghasilkan banyak kemajuan, yang ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi, juga masih banyak
melahirkan tantangan atau persoalan pembangunan ekonomi yang belum terpecahkan. Di samping itu, ada kecenderungan globalisasi
perekonomian serta dinamika dan perkembangan usaha swasta sejak awal tahun 1990-an. Peluang-peluang usaha yang telah diciptakan oleh
penguasa pada waktu itu dalam kenyataannya belum membuat seluruh masyarakat mampu dan dapat berpartisipasi dalam pembangunan di
berbagai sektor ekonomi.
Universitas Sumatera Utara
Perkembangan usaha swasta, di satu sisi diwarnai oleh berbagai bentuk kebijakan penguasa yang kurang tepat, sehingga pasar menjadi
terdistorsi. Di sisi lain, sebagian besar perkembangan usaha swasta pada kenyataannya merupakan perwujudan dari kondisi persaingan usaha
yang tidak sehat atau curang. Fenomena yang demikian telah berkembang dan didukung oleh adanya hubungan antara pengambil
keputusan dan para pelaku usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung. Keadaan ini makin memperburuk keadaan. Penyelenggaraan
ekonomi nasional kurang memperhatikan amanat Pasal 33 Undang- Undang Dasar 1945, serta cenderung menunjukkan corak yang sangat
monopolistik. Para pengusaha yang dekat dengan elite kekuasaan mendapatkan kemudahan-kemudahan yang berlebihan, sehingga
menimbulkan kesenjangan sosial. Munculnya konglomerasi dan sekelompok kecil pengusaha kuat yang tidak didukung oleh semangat
kewirausahaan sejati merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan ketahanan ekonomi menjadi sangat rapuh dan tidak mampu bersaing.
Padahal dalam era pasar bebas nanti, kita dituntut untuk mampu bersaing dengan mengandalkan kekuatan sendiri. Lebih ironis lagi,
perilaku dari pelaku-pelaku bisnis kita, yaitu para konglomerat yang telah memperoleh perlakuan istimewa dari penguasa tersebut, ternyata
sangat tidak bertanggung jawab, dan tidak mau berbuat positif untuk memperbaiki kondisi ekonomi nasional yang sangat parah.
Universitas Sumatera Utara
Kondisi semacam ini mengharuskan pemerintah mencari bantuan dari donor-donor lain, baik yang bersifat kolektif maupun
negara per negara. Ketergantungan pada bantuan asing, ini mengharuskan pemerintah mengikuti berbagai persyaratan yang
disepakati bersama; semuanya meletakkan Indonesia pada posisi yang lemah. Walau demikian, dalam hal-hal tertentu, banyak hal yang
berkaitan dengan persyaratan utang luar negeri itu yang mengandung hikmah, yaitu mengakselerasi pembuatan undang-undang yang
sebenarnya sudah lama didambakan, yang dalam kondisi normal tidak akan dibentuk pada umumnya ini telah terjadwal di antara Indonesia
dengan IMF.
60
Di samping merupakan tuntutan nasional, Undang-Undang Persaingan Usaha Fair Competition Law juga merupakan tuntutan
atau kebutuhan rambu-rambu yuridis dalam hubungan bisnis antar bangsa. Dari sisi kehidupan nasional jelas bahwa basis kultural asas
kekeluargaan dan konstitusional demokrasi ekonomi kita memang sama sekali menolak prakrik-praktik monopolistik dalam kehidupan
ekonomi yang merugikan rakyat. Dari sisi hubungan antar bangsa pun, apalagi dengan munculnya fenomena globalisasi ekonomi yang
mengandung makna, semakin meningkatnya ketergantungan antar bangsa di berbagai bidang kehidupan ekonomi, mengharuskan
berbagai bangsa menaati rambu-rambu peraturan baku dalam bisnis
60
Muladi, Op.cit, hal 35-36
Universitas Sumatera Utara
antar bangsa, sebagai konsekuensi WTO, APEC, AFTA, NAFTA, EC, dan lain sebagainya.
61
Sebab, para ahli banyak yang mengatakan, adanya kondisi persaingan the state of competition dalam pasar domestik merupakan
hal yang sangat penting dari suam kebijakan publik public policy, khususnya untuk mengukur kemampuan bangsa dalam bersaing di pasar
internasional, serta untuk meyakinkan investor dan eksportir asing untuk bersaing dalam pasar domestik. Dengan demikian tujuan dari
kebijakan persaingan nasional adalah untuk menciptakan dan memastikan bahwa konsep persaingan dapat dijalankan dalam kerangka
ekonomi pluralistik. Konsep dasar kompetitif ini pun pada dasarnya mengandung unsur HAM yang kental, karena di dalamnya terkait
pemajuan promotion dari kondisi persaingan condition of rivalry dan kebebasan memilih freedom of choose untuk mengurangi dan
melarang konsentrasi kekuatan-kekuatan ekonomi.
62
Untuk itulah, akhirnya harus ada campur tangan negara government regulation untuk mengembangkan dan memelihara
kondisi persaingan. Bahkan globalisasi menciptakan atmosfer yang kondusif untuk persaingan yang menembus batas-batas negara, yang
membutuhkan harmonisasi kebijakan yang sering dinamakan super national of regional standards. Bahkan Masyarakat Ekonomi Eropa
61
Ibid, hal 36
62
Ibid
Universitas Sumatera Utara
EC juga masih terus mengembangkan apa yang dinamakan Minimum Competition Policy Requirements Within the Framework of the GATT.
Di lingkungan ASEAN pun, tanpa mengesampingkan divergensi struktur institusional ekonomi, politik, dan sosial, para ahli sudah mulai
berpikir tentang perlunya pengembangan di samping hukum persaingan nasional dan harmonisasi peraturan-peraturan komersial, termasuk
hukum persaingan di antara masyarakat ASEAN.
63
Doktrin yang berlaku pada masa lalu, yang secara absolute menyatakan bahwa hukum ekonomi itu bersifat value loaded, yang
dekat dengan kondisi sosial budaya bangsa, tidak sepenuhnya dapat dipertanggungjawabkan dalam kaitannya dengan proses globalisasi.
Konsep harmonisasi hukum dan keberadaan fenomena internasionalisasi pasar menumbuhkan perhatian yang semakin intensif
terhadap apa yang dinamakan international dimension of antitrust and the fit between competition policy and the world trading system. Dalam
kerangka ini, muncul antitrust family international link ages of market economies.
64
b. Berbagai Peraturan Perundang-undang tentang Persaingan Usaha sebelum lahirnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999
Saat ini, bagi negara Indonesia pengaturan persaingan usaha bersumber pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
63
Ibid, hal 37
64
Ibid, hal 37-38
Universitas Sumatera Utara
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang secara efektif berlaku pada 5 Maret 2000. Sesungguhnya keinginan
untuk mengatur larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dapat dijumpai dalam beberapa perundang-undangan yang ada.
Praktik-praktik dagang yang curang unfair trading practices dapat dituntur seeara pidana berdasarkan Pasal 382 bis Kitab Undang-undang
Hukum Pidana. Demikian pula pesaing yang dirugikan akibat praktik-praktik
dagang yang curang tersebut, dapat menuntut seeara perdata berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Dalam bidang industri juga diharapkan tidak terjadi industri yang monopolistik dan tidak sehat, sebagaimana diamanat dalam
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1984 tentang Perindustrian. Pasal 7 ayat 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1984 tersebut
menentukan bahwa pemerintah melakukan pengaturan, pembinaan, dan pengembangan terhadap industri untuk mengembangkan persaingan
yang baik dan sehat, mencegah persaingan tidak jujur, mencegah pemusatan industri oleh satu kelompok atau perseorangan, dan bentuk
monopoli yang merugikan masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang
Merek Sebagaimana telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 14
Universitas Sumatera Utara
Tahun 1997 , pemakai merek tanpa izin dapat dituntut secara perdata maupun pidana.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas juga memuat ketentuan yang melarang penguasaan sumber
ekonomi dan pemusatan kekuaran ekonomi pada suatu kelompok atau golongan tertentu melalui tindakan merger, konsolidasi, dan akuisisi
perseroan; hal ini dapat dilakukan asalkan memperhatikan kepentingan perseroan, pemegang saham minoritas, dan karyawan perseroan, serta
kepentingan masyarakat, termasuk pihak ketiga yang berkepentingan dan persaingan bisnis yang sehat dalam perseroan, mencegah monopoli
dan monopsoni. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa sebelum ada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, pengaruran larangan
praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat masih diatur secara parsial dan tersebar ke dalam berbagai perundang-undangan yang ada.
Realitanya, antara teori undang-undang dan praktik malah sama sekali bertolak belakang. Selama kurun waktu sekitar 15 lima belas
tahun terakhir, perekonomian Indonesia dipenuhi tindakan-tindakan yang bersifat monopolistik dan tindakan-tindakan persaingan usaha
yang curang unfair business practices, misalnya pembentukan Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh BPPC pada 1991 yang
memberikan kewenangan tunggal untuk membeli cengkeh dari para petani cengkeh dan kewenangan menjualnya kepada para produsen
Universitas Sumatera Utara
rokok; dan Tata Niaga ]eruk ataupun PT Timor yang memperoleh banyak kemudahan fasilitas. Semua itu dengan dalih untuk
pembangunan nasional dan menciptakan efisiensi, serta kemampuan bersaing walaupun realitanya tidak demikian. Hal itu terjadi karena
kekuasaan rezim Orde Baru terlalu kuat, baik di bidang sosial, politik, ekonomi, dan hukum.
Kemudahan fasilitas-fasilitas yang diberikan pemerintah kepada orang atau golongan tertentu tidak banyak membawa hasil bagi
kemajuan ekonomi nasional, malah menimbulkan kepincangan sosial ekonomi dalam masyarakat. Prinsip pemerataan dan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia belum dapat dilaksanakan dengan baik. Persaingan domestik dalam berusaha belum tercipta dengan baik. Hal
ini disebabkan banyaknya kegiaran usaha yang dijalankan secara monopolistik, yang mengakibatkan mereka tidak mampu bersaing
dalam kancah perdagangan dunia internasional. Untuk itu perlu ada pembaruan struktural, yang salah satunya
menghapus hambatan persaingan domestik dalam berusaha melalui deregulasi ekonomi nasional. Butir-butir yang tertera dalam
Memorandum International Monetary Fund IMF tanggal 15 Januari 1998, khususnya yang mengacu pada pernbaruan-pembaruan struktural,
menunjukkan bahwa berbagai rintangan artifisial yang selama ini telah menghambat persaingan domestik telah atau akan dihapus oleh
Universitas Sumatera Utara
Pemerintah Indonesia. Akan tetapi di samping itu diperlukan pula Undang-Undang Persaingan Domestik yang Sehat, yang menetapkan
asas-asas persaingan usaha yang sehat, yang tidak memberikan peluang bagi timbulnya rintangan-rintangan artificial baru terhadap persaingan
domestik di masa mendatang.
65
Seiring dengan peralihan pernerintahan dari Presiden Soeharto kepada Presiden B.J. Habibie, berlangsung pula Sidang Istimewa
Atas dasar itu, pemerintah mengumumkan kebijakan deregulasi dengan melahirkan sebanyak 13 tiga belas peraturan perundang-
undangan, yang terdiri dari 3 Peraturan Pemerintah, 7 Keputusan Presiden, dan 3 Instruksi Presiden. Pemberian fasilitas-fasilitas
istimewa yang menjurus pada praktik monopoli dan menguntungkan golongan atau kelompok tertentu. Monopoli Badan Urusan Logistik
BULOG dalam distribusi komoditi primer, kecuali beras dieabut berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1998.
Demikian pula pemerintah mencabut berbagai fasilitas istimewa yang diberikan kepada PT Timoer dalam .proyek mobil nasional
berdasarkan Keputusan Presiden nomor 20 Tahun 1998. Kemudian membubarkan Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh BPPC
berdasarkan Kepurusan Presiden Nomor 21 Tahun 1998.
65
Thee Kian Wie, “Aspek-aspek Ekonomi yang Perlu Diperhatikan dalam Implementasi UU No. 51999”, dalam Mencermati Prinsip dan Visi UU No. 51999 tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Newsletter Nomor 37 Tahun X, Yayasan Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta, 1999, hal 27
Universitas Sumatera Utara
Majelis Permusyawaratan Rakyat MPR pada tahun 1998. Sidang Istimewa MPR ini telah berhasil membuat 12 ketetapan, Dari 12
ketetapan tersebut, ada 2 ketetapan yang berkaitan dengan pelaksanaan reformasi dan strukturisasi di bidang ekonomi nasional, yakni
Ketetapan MPR Nomor XMPR1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan
Nasional sebagai Haluan Negara dan Ketetapan MPR Nomor XVIMPR1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi
Ekonomi. Dalam Naskah Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam
Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupamn Nasional sebagai Haluan Negara sebagai lampiran Ketetapan MPR Nomor XMPR1998
pada Bab II Kondisi Umum Bidang Ekonomi antara lain menyatakan: Keberhasilan pembangunan yang telah dicapai selama tiga puluh dua
tahun Orde Baru telah mengalami kemerosotan yang memprihatinkan, karena terjadinya krisis moneter pertengahan tahun 1997, yang
berlanjut menjadi krisis ekonorni yang lebih luas. Landasan ekonomi yang dianggap kuat, ternyata tidak berdaya menghadapi gejolak
keuangan eksternal serta kesulitan-kesulitan makro dan mikro ekonomi. Hal ini disebabkan oleh karena penyelenggaraan perekonomian
nasional kurang mengacu kepada amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 dan cenderung menunjukkan corak yang sangat
monopolistik. Para pengusaha yang dekat dengan elite kekuasaan
Universitas Sumatera Utara
mendapatkan prioritas khusus yang berdampak timbulnya kesenjangan sosial. Kelemahan fundamental iru juga disebabkan pengabaian
perekonomian kerakyatan yang sesungguhnya bersandar pada basis sumber daya alam dan sumber daya manusia sebagai unggulan
komparatif dan kornpetitif Munculnya konglomerasi dan sekelompok kecil pengusaha kuat yang tidak didukung oleh semangat
kewirausahaan sejati, mengakibatkan ketahanan ekonomi menjadi sangat rapuh dan tidak kompetitif Sebagai akibatnya, krisis moneter
yang melanda Indonesia, tidak dapat diatasi secara baik sehingga memerlukan kerja keras untuk bangkit kembali.
c. Lahirnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999