Identifikasi Cendawan Dan Mikotoksin Dalam Pakan Ayam Petelur Yang Dijual Di Pasar Tradisional Kota Bogor

IDENTIFIKASI CENDAWAN DAN MIKOTOKSIN DALAM
PAKAN AYAM PETELUR YANG DIJUAL DI PASAR
TRADISIONAL KOTA BOGOR

KHUSNUL KHOTIMAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Identifikasi Cendawan
dan Mikotoksin dalam Pakan Ayam Petelur yang dijual di Pasar Tradisional
Kota Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Khusnul Khotimah
NIM B251120141

RINGKASAN
KHUSNUL KHOTIMAH. Identifikasi Cendawan dan Mikotoksin dalam Pakan
Ayam Petelur yang Dijual di Pasar Tradisional Kota Bogor. Dibimbing oleh
AGUSTIN INDRAWATI dan HADRI LATIF.
Pakan merupakan sumber nutrisi utama bagi ternak ayam yang berperan
dalam mendukung pertumbuhan dan produktivitasnya. Pakan dapat berfungsi
sebagai substrat pertumbuhan untuk berbagai mikroorganisme, karena bahan
pakan mengandung air, karbohidrat, protein termasuk enzim, lemak, mineral, dan
vitamin sehingga bahan pakan tersebut mudah terkontaminasi cendawan.
Kontaminasi cendawan dalam pakan ayam petelur dapat terjadi selama
penyimpanan. Kontaminasi tersebut dapat mengakibatkan kerugian ekonomi
berupa turunnya nilai harga jual pakan serta gangguan kesehatan berupa penyakit
mikosis dan mikotoksikosis pada hewan dan manusia. Hal ini disebabkan oleh
cendawan yang mampu menghasilkan senyawa metabolit sekunder berupa
mikotoksin. Salah satu jenis mikotoksin yang sering dijumpai adalah aflatoksin.

Aflatoksin memiliki tingkat potensi bahaya yang lebih tinggi dibandingkan
dengan mikotoksin lain, karena selain berpotensi menyebabkan karsinogenik,
aflatoksin juga dapat menyebabkan mutagenik, teratogenik, dan bersifat
imunosupresif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis cendawan dan
mikotoksin dalam pakan ayam petelur yang dijual di Pasar Tradisional Kota
Bogor.
Identifikasi cendawan menggunakan slide culture metode Riddel dan
deteksi mikotoksin menggunakan metode high performance liquid
chromatography (HPLC). Hasil penelitian menunjukan dari 100 sampel pakan
ayam petelur, ditemukan 13 jenis cendawan yang berpotensi sebagai kontaminan
pada pakan ayam petelur adalah Aspergillus flavus, A. fumigatus, A. niger,
A. ochraceus, A. tamarii, A. terreus, Cladosporium cladosporioides, C. herbarum,
Endomyces fibuliger, Eupenicillium ochrosalmonecum, Eurotium chevalieri,
Fusarium verticillioides, dan Penicillium citrinum. Cendawan yang dominan
ditemukan adalah A. flavus (36.9%) dengan kepadatan populasi per spesies
sebanyak 10.3x105 cfu/g. Terdapat 8 dari 100 sampel pakan ayam petelur di Pasar
Tradisional Kota Bogor yang memiliki kepadatan populasi cendawan di atas 104
cfu/g. Delapan sampel tersebut kemudian diuji lanjut kandungan mikotoksinnya.
Kandungan mikotoksin yang diukur adalah aflatoksin. Jenis kandungan aflatoksin
yang ditemukan yaitu AFB1, AFB2, AFG1 dan AFG2. Semua sampel yang diuji

mengandung aflatoksin B1 dengan rataan konsentrasi 13.43 ppb. Kandungan
aflatoksin yang terdapat dalam pakan ayam petelur tersebut tidak melebihi batas
maksimum residu yang ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia
No 01-3929-2006. Walaupun demikian kandungan aflatoksin yang relatif rendah,
harus tetap diwasapadai, hal ini disebabkan aflatoksin dapat terakumulasi dalam
tubuh dan sulit didegradasi, sehingga dapat menyebabkan gangguan kesehatan
yang bersifat kronis.
Kata kunci: cendawan, kontaminasi, mikotoksin, pakan ayam petelur

SUMMARY
KHUSNUL KHOTIMAH. Identification of Fungi and Mycotoxin in Layer Feed
Sold in Traditional Markets of Bogor. Supervised by AGUSTIN INDRAWATI
and HADRI LATIF.
Feed is the main nutritional source for livestock supporting their growth and
productivity. Feed can also function as substrate for the growth of various
microorganisms because it consists of water, carbohydrates, proteins, including
enzymes, fats, minerals, and vitamins, making it prones to fungal contamination.
Fungal contamination in layer feed can occur during storage period. Such
contamination leads to economic loss in the form of decreasing feed selling price,
in addition to health problems such as mycosis and mycotoxicosis in human and

animals. This is because of particular fungi which is capable to produce
mycotoxin as secondary metabolic compound. One of the most familiar
mycotoxins is aflatoxin which has higher potential risk than other mycotoxins
because it can potentially cause carcinogenic, mutagenic, and terratogenic, in
addition to having immunosuppressive nature. The present study was aimed to
determine fungal species and mycotoxin in laying-hen feed sold in traditional
markets in Bogor.
Fungal identification was carried out using slide culture following Riddell’s
method while mycotoxin detection using high performance liquid chromatography
(HPLC) method. Out of 100 samples, 13 fungal species were found as potential
contaminant for layer feed, i.e. Aspergillus flavus, A. fumigatus, A. niger,
A. ochraceus, A. tamarii, A. terreus, Cladosporium cladosporioides, C. herbarum,
Endomyces fibuliger, Eupenicillium ochrosalmonecum, Eurotium chevalieri,
Fusarium verticillioides, and Penicillium citrinum. Aspergillus flavus was found
dominantly (36.9%) with the population density per species of 10.3x105 cfu/g.
This study found 8 out 100 samples of poultry feed in traditional market in Bogor
whereas the population density were higher than 104 cfu/g, making aflatoxin test
was carried out for the 8 samples to determine their mycotoxin content. Aflatoxin
contents found were AFB1, AFB2, AFG1, and AFG2. All the tested samples
contained aflatoxin B1 with average concentration of 13.4 ppb. The aflatoxin

content did not exceed the maximum limit of residu permitted by Indonesian
National Standard (SNI) No. 01-3929-2006, i.e. 50 ppb. Although the aflatoxin
content was considered low, it was still should be aware of because aflatoxin
could be accumulated in body and hardly degraded, and eventually could cause
chronical health problems.
Key words: fungi, contaminant, mycotoxin, layer feed

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

IDENTIFIKASI CENDAWAN DAN MIKOTOKSIN DALAM
PAKAN AYAM PETELUR YANG DIJUAL DI PASAR
TRADISIONAL KOTA BOGOR


KHUSNUL KHOTIMAH

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

2

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Drh Trioso Purnawarman, MSi

4


5

PRAKATA
Alhamdulillahirobbil’alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kepada
Allah subhanahu wa ta’ala yang telah memberikan rahmat dan karunia sehingga
penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Tema yang dipilih dalam penelitian
ini ialah Identifikasi Cendawan dan Mikotoksin dalam Pakan Ayam Petelur yang
dijual di Pasar Tradisional Kota Bogor. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan
Desember 2014 hingga Juli 2015 di Laboratorium Bagian Mikrobiologi Medik
Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet, Fakultas Kedokteran Hewan,
Institut Pertanian Bogor dan di Laboratorium Mikotoksin, Balai Pengujian Mutu
dan Sertifikasi Pakan, Bekasi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Drh Agustin Indrawati,
M.Biomed dan Dr med vet Drh Hadri Latif, MSi, selaku pembimbing atas arahan
dan bimbingan yang diberikan dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan
karya ilmiah ini. Terima kasih juga kepada Dr Drh Trioso Purnawarman, MSi,
selaku dosen penguji luar komisi atas masukan serta saran yang diberikan. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
(Ditjen Tinggi) Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi yang telah
mendanai penelitian ini melalui program Penelitian Unggulan Strategis Nasional.

Terima kasih sebesar-besarnya kepada suami tersayang Saiyid Ridho Maritsa atas
perhatiannya, dukungan, motivasi, serta do’anya. Penulis juga mengucapkan
terimakasih kepada keluarga tercinta almarhum Ayahanda H. Mahsun Zuhri,
Ibunda Siti Indarti, Doni Wahyu Candra, Yudi Sugianto, Dewi Masitah, dan
seluruh keluarga besar Bapak Saihudin atas do’a, dukungan serta kasih sayang
yang diberikan. Terima kasih juga kepada seluruh staf dan pegawai Laboratorium
Mikrobiologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet, Fakultas
Kedokteran Hewan, dan seluruh staf dan pegawai Laboratorium Mikotoksin di
Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Pakan, Bekasi, atas bantuan serta kerja
samanya selama pelaksanaan penelitian. Terima kasih kepada seluruh staf
pengajar program studi Kesehatan Masyarakat Veteriner atas semua ilmunya yang
diberikan selama perkuliahan. Terima kasih kepada teman-teman seperjuangan
angkatan 2013 program studi Kesehatan Masyarakat Veteriner (Edi, Ai, dan Isti)
serta teman-teman seperjuangan satu kost (Kakak Henny, Kakak Robika dan
Mawar) dan seluruh teman-teman di organisasi HIMPAS, atas semua
kebersamaan dan motivasi yang telah diberikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2015

Khusnul Khotimah


6

7

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xii

DAFTAR GAMBAR

xii

DAFTAR LAMPIRAN

xii

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Tujuan Penelitian
Hipotesis Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
2
2
2

TINJAUAN PUSTAKA
Pakan Ayam Petelur
Kontaminasi Cendawan dalam Pakan
Mikotoksin

2
2
3
5


METODE
Waktu dan Tempat
Bahan dan Alat
Prosedur Penelitian
Analisis Data

7
7
7
8
10

HASIL DAN PEMBAHASAN
Jenis-jenis cendawan
Karakteristik cendawan
Kandungan aflatoksin pada pakan ayam petelur

10
10
12
16

SIMPULAN DAN SARAN

17

DAFTAR PUSTAKA

18

LAMPIRAN

21

8

DAFTAR TABEL
1 Persyaratan mutu pakan untuk ayam ras petelur (layer)
2 Beberapa cendawan dan toksin yang dihasilkan serta pengaruhnya pada
hewan
3 Besaran sampel pakan ayam petelur yang diperoleh dari Pasar
Tradisional Kota Bogor
4 Jenis cendawan dalam pakan ayam petelur yang terdapat di 5 Pasar
Tradisional Kota Bogor
5 Rataan konsentrasi aflatoksin dalam pakan ayam petelur di Pasar
Tradisional Kota Bogor

2
7
8
11
17

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18

Suhu optimum pertumbuhan cendawan gudang
Mekanisme pencemaran kapang pada jagung
Struktur kimia dari aflatoksin

Identifikasi cendawan menurut metode Riddel
Persentasi jenis cendawan pada pakan ayam petelur
Aspergillus flavus
Aspergillus fumigatus
Aspergillus niger
Aspergillus ochraceus
Aspergillus tamarii
Aspergilus terreus
Cladosporium cladosporioides
Cladosporium herbarium
Endomyces fibuliger
Eupenicillium ochrosalmonecum
Eurotium chevalieri
Fusarium verticillioides
Penicillium citrinum

3
4
5
10
11
12
12
13
13
13
13
14
14
14
14
15
15
15

DAFTAR LAMPIRAN
1 Jenis cendawan dalam pakan ayam petelur yang terdapat di 5 Pasar
Tradisional Kota Bogor
2 Sampel pakan ayam petelur yang memiliki kepadatan populasi
cendawan diatas 104 cfu/g
3 Metode pengujian aflatoksin menggunakan HPLC
4 Komposisi media pertumbuhan cendawan

21
21
21
23

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Cendawan merupakan salah satu mikroorganisme yang dapat berpotensi
sebagai sumber kontaminan. Cendawan yang berasal dari genus Mucor, Rhizopus,
Aspergillus, Cladosporium, Dictyostelium dan Saccharomyces merupakan
golongan cendawan kontaminan (Susilowati dan Listyawati 2001). Menurut
Ahmad (2009) golongan cendawan dari Aspergillus spp., merupakan cendawan
gudang yang sering ditemukan dalam pakan. Tyasningsih (2010) melaporkan
bahwa kehadiran Aspergillus spp., yang melebihi nilai ambang batas pada pakan
dapat menyebabkan kasus aspergillosis pada unggas yang mengkonsumsinya.
Pakan merupakan sumber nutrisi utama bagi ternak yang berperan dalam
mendukung pertumbuhan dan produktifitasnya. Menurut Jahan et al. (2006) ada 3
jenis bentuk pakan ayam yaitu mash (tepung), crumble, dan pellet. Pakan dalam
bentuk tepung lebih mudah tercemar cendawan dibandingkan dalam bentuk
butiran (Ahmad 2009). Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi turunnya
kualitas pakan di Indonesia ialah iklim (Rachmawati et al. 1999). Kondisi iklim
tropis di Indonesia dapat mendukung pertumbuhan cendawan pada pakan selama
penyimpanan (Tyasningsih 2010; Ahmad 2009). Pitt dan Hocking (1997)
menyatakan bahwa Aspergillus spp., dan Eurotium spp., merupakan cendawan
pencemar utama yang dapat hadir pada daerah beriklim tropis.
Beberapa jenis cendawan yang terdapat dalam pakan ayam petelur
berpotensi menghasilkan senyawa metabolit sekunder berupa mikotoksin, salah
satunya ialah aflatoksin. Menurut Lewis et al. (2005) terdapat dua jenis cendawan
yang mampu menghasilkan aflatoksin yaitu A. flavus dan A. parasiticus. Bryden
(2012) melaporkan bahwa mikotoksin dapat mempengaruhi keamanan pakan.
Dampak yang ditimbulkan oleh mikotoksin meliputi aspek kesehatan dan
ekonomi. Aspek kesehatan berupa mikotoksikosis akut sampai timbulnya kanker
hati kronis pada manusia dan hewan. Aspek ekonomi berupa perubahan bahan
pakan baik berupa fisik, biologi dan kimiawi, sehingga menurunkan kualitas dan
nilai jual pakan (Hastiono 1983). Rocha et al. (2014) menyatakan bahwa
mikotoksin merupakan penyebab karsinogenik pada hewan dan manusia. Bahri
(1998) melaporkan bahwa lebih dari 80% pakan unggas komersil terkontaminasi
oleh aflatoksin B1 (AFB1), dari 193 sampel pakan unggas yang diuji, terdapat
13.5% yang positif mencapai konsentrasi 200 ppb. Ahmad (2009) melaporkan
kandungan aflatoksin pada biji jagung di Indonesia berkisar antara 10-300 ppb.
Kandungan maksimal aflatoksin menurut standar BSN (2006) dalam SNI No
01-3929-2006 ialah 50 ppb.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis cendawan dan mikotoksin
dalam pakan ayam petelur yang dijual di Pasar Tradisional Kota Bogor.
Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai
kontaminasi cendawan dan produk metabolitnya, sehingga mampu menyadarkan
para pedagang pakan ayam petelur dan peternak, akan pentingnya dalam
memperhatikan kualitas pakan selama masa simpan berlangsung.

2
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis cendawan dan
mikotoksin dalam pakan ayam petelur yang dijual di Pasar Tradisional Kota
Bogor.
Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah kepadatan populasi cendawan dalam sampel
pakan ayam petelur tidak melebihi dari 104 cfu/g dan jumlah kadar mikotoksin
(aflatoksin) yang dihasilkan tidak melebihi batas maksimum residu yang
ditetapkan dalam SNI No 01-3929-2006 yaitu 50 ppb.
Manfaat Penelitian
Data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada
masyarakat serta pedagang pengumpul pakan ayam mengenai cemaran cendawan
dan mikotoksin pada pakan ayam petelur. Hasil penelitian ini juga diharapkan
dapat menjadi salah satu acuan untuk menanggulangi cemaran cendawan dengan
meningkatkan kesadaran para pedagang pengumpul dan peternak untuk
melakukan pencegahan terhadap cemaran cendawan.

TINJAUAN PUSTAKA
Pakan Ayam Petelur
Pakan merupakan sumber nutrisi bagi ternak yang terdiri dari beberapa
bahan-bahan pakan yang memiliki kandungan nilai gizi yang sesuai dengan
kebutuhan ternak. Sarno (2007) melaporkan dari segi ekonomi, pakan memegang
peranan penting dalam usaha atau produksi peternakan yaitu meliputi 60-70% dari
total biaya produksi, sedangkan dari segi teknis, produktivitas dan kelangsungan
hidup ternak sangat tergantung dari asupan pakan yang diberikan. Menurut Uzer
et al. (2013) pakan yang dikonsumsi oleh ternak sangat menentukan pertumbuhan
bobot badan sehingga berpengaruh terhadap efisiensi suatu usaha peternakan.
Menurut BSN (2006) dalam SNI No 01-3929-2006 standar pakan ayam ras
petelur (layer) disusun sebagai upaya untuk meningkatkan jaminan mutu (quality
assurance), serta dapat diperdagangkan dan mutunya dapat mempengaruhi kinerja
ayam ras yang sedang bertelur.
Ahmad (2009) melaporkan bahan penyusun pakan umumnya tidak tahan
disimpan dalam waktu lama. Daya tahan serta daya simpan pakan dan bahan baku
pakan sangat tergantung pada kadar air yang terkandung di dalamnya. Menurut
BSN (2006) kadar air dalam pakan ternak yang tepat tidak melebihi 14%. Medion
(2009) menyampaikan semakin rendah kadar air dalam bahan pakan ayam petelur,
akan semakin lebih baik, hal ini karena pertumbuhan cendawan dapat ditekan
secara tidak langsung. Berikut disajikan pada Tabel 1 mengenai persyaratan mutu
pakan ayam ras petelur (layer) dalam SNI No 01-3929-2006.

3
Tabel 1 Persyaratan mutu pakan ayam ras petelur (layer)
No
Parameter (%)
Persyaratan
1
Kadar air
Maks. 14.0
2
Protein kasar
Min. 16.0
3
Lemak kasar
Maks. 7.0
4
Serat kasar
Maks. 7.0
5
Abu
Maks. 14.0
6
Kalsium(Ca)
3.25-4.25
7
Fosfor (P) total
0.60-1.00
8
Fosfor tersedia
Min. 0.32
9
Energi termetabolis (ME)
Min. 2650
10
Total aflatoksin
Maks. 50.0
11
Asam Amino:
- Lisin
Min.0.80
- Metionin
Min. 0.35
- Metionin + Sistin
Min. 0.60
Sumber : (SNI 2006)
Cendawan mampu tumbuh secara optimal saat kadar air bahan baku dalam
pakan berkisar antara 15-20% dan disimpan pada suhu 30-32 oC. Beberapa
cendawan mempunyai karakteristik suhu spesifik dalam mendukung
pertumbuhannya secara optimal, seperti pada (Gambar 1) cendawan Aspergillus
spp., yang akan tumbuh optimal di suhu 22-32 oC, Penicillium spp., disuhu
17-30 oC dan Fusarium spp., akan tumbuh optimal pada suhu 2-15 oC.

Gambar 1 Suhu optimum pertumbuhan cendawan gudang (Sumber: Medion
2009)
Kontaminasi Cendawan dalam Pakan
Menurut He et al. (2013) pakan yang mengandung jumlah koloni cendawan
lebih besar atau sama dengan 105 cfu/g dapat berpotensi sebagai sumber
kontaminan. Handayani dan Sulistyo (2000) melaporkan bahwa, jika didalam
pakan terdapat jumlah cendawan lebih dari 1.6 x 107 cfu/g, maka dapat
menyebabkan mikosis bagi yang mengonsumsinya. Ahmad (2009) melaporkan

4
bahwa cendawan kontaminan yang sering dijumpai pada pakan dan bahan
penyusun pakan adalah Aspergillus flavus. Cendawan ini diproduksi pada kondisi
lingkungan yang lembab (kelembaban di atas 70%) dan suhu antara 4-40 °C
(optimum 25-32 °C) (Lai et al. 2014). A. flavus mampu menghasilkan senyawa
metabolit sekunder yaitu aflatoksin. Ada 4 jenis aflatoksin yang sering dijumpai
dan bersifat toksik, yaitu aflatoksin B1 (AFB1), aflatoksin B2 (AFB2), aflatoksin
G1 (AFG1), aflatoksin G2 (AFG2). Dari ke 4 jenis aflatoksin tersebut aflatoksin B1
memiliki efek toksik yang paling tinggi. Adapun cendawan lain penghasil
aflatoksin adalah A. oryza, A. ochraceus, Penicillium puberulum, P. citrinum, dan
P. expansum.
Menurut Dharmaputra (2004) keberadaan mikotoksin pada pakan
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain ialah faktor biologi, yaitu biji-bijian
yang telah tercemar cendawan dan cendawan penghasil toksin. Faktor lingkungan,
meliputi suhu, kelembaban, dan kerusakan biji oleh serangga. Pemanenan,
termasuk tingkat kemasakan biji, suhu, kelembaban, pendeteksian, dan pemipilan.
Penyimpanan, antara lain suhu dan kelembaban ruang simpan, pendeteksian, dan
pemisahan biji yang tercemar, dan pemrosesan, seperti pengeringan dan sortasi
biji. Handayani dan Sulistyo (2000) melaporkan kerusakan yang ditimbulkan oleh
kontaminasi cendawan penghasil toksin dapat menyebabkan pakan tidak layak
untuk dikonsumsi kembali oleh ternak, hal ini karena turunnya nilai pakan yang
meliputi gizi, perubahan warna, perubahan rasa dan bau, serta adanya
pembusukan sebagai akibat terjadinya perubahan komposisi kimia.
Proses kontaminasi cendawan dalam bahan pakan terutama jagung dapat
dilihat pada Gambar (2) yaitu dimulai saat spora (konidia) cendawan beterbangan
di udara terbawa oleh angin dan serangga, kemudian menempel secara langsung
atau tidak langsung pada tanaman jagung, cendawan akan tumbuh optimal jika
suhu dan kelembabannya sesuai dengan pertumbuhannya. Ketika jagung dipanen,
cendawan dan mikotoksin yang dihasilkan sudah menginfeksi hasil panen. Spora
cendawan sebagian juga terbawa oleh udara dan menjadi sumber infeksi
selanjutnya (Ahmad 2009). Berikut mekanisme kontaminasi cendawan dalam
salah satu bahan penyusun pakan disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Mekanisme kontaminasi cendawan pada jagung (Ahmad 2009)

5
Mikotoksin
Aflatoksin
Beberapa jenis cendawan dapat menghasilkan mikotoksin, salah satu jenis
mikotoksin yang dapat dihasilkan ialah aflatoksin. Menurut Ahmad (2009)
aflatoksin merupakan produk metabolit sekunder yang dihasilkan strain toksigenik
Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus. Handajani dan Setyaningsih (2006)
melaporkan aflatoksin memiliki tingkat potensi bahaya yang tinggi dibandingkan
dengan mikotoksin lain. Aflatoksin B1 merupakan salah satu senyawa yang
mampu menjadi penyebab karsinogen pada manusia. Menurut Lanyasunya et al.
(2005) aflatoksin selain berpotensi menyebabkan karsinogenik, aflatoksin juga
dapat menyebabkan mutagenik, teratogenik, dan bersifat imunosupresif.
Aflatoksin diisolasi pertama kali pada awal tahun 1960 di Inggris dari
penyakit yang disebut turkey “X” disease yang menyebabkan kematian mendadak
lebih dari 100 000 kalkun dengan kelainan nekrosis hepatik fulminant tanpa sebab
yang jelas. Sebab dari kematian ini diketahui setelah beberapa lama kemudian,
bahwa kematian ini terjadi karena pakan unggas tersebut terkontaminasi oleh
toksin dari cendawan Aspergillus flavus dan A. parasiticus (Yenny 2006).
Aflatoksin adalah kumpulan dari senyawa-senyawa yang mempunyai
kemiripan satu sama lain dengan sedikit perbedaan pada komposisi kimiawinya
dan diproduksi oleh Aspergillus flavus dan A. parasiticus. Dikenal ada 4 jenis
aflatoksin yaitu AFB1, AFB2, AFG1 dan AFG2. Berikut struktur kimia aflatoksin
disajikan dalam Gambar 3.

Aflatoksin B1

Aflatoksin B2

Aflatoksin G1
G

Aflatoksin G2

Gambar 3. Struktur kimia aflatoksin (Oliveria dan Corassin 2014)
Menurut Lewis et al. (2005) B dan G ini diberikan berdasarkan atas warna
fluoresensi yang ditimbulkan pada medium agar yang dilihat di bawah sinar
ultraviolet, seperti biru (blue atau B), dan hijau (green atau G). AFB2 dan AFG2

6
merupakan analog dari derivat dihidro dari AFB1 dan AFG1. Di antara ke 4 isomer
yang ditemukan, AFB1 merupakan yang paling toksik dan paling karsinogenik.
AFB2 bersifat karsinogenik ringan, karena enzim ini sebagian kecil diubah
menjadi AFB1.
Pengaruh Aflatoksin pada Tubuh
Ditinjau dari segi kesehatan masyarakat, aflatoksin menempati tempat
penting karena akibat yang ditimbulkannya pada manusia maupun hewan, baik
dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Aflatoksin mempunyai sifat
karsinogenik dan hepatotoksik. Sifat ini tergantung pada lama dan tingkat paparan
terhadap aflatoksin. Konsumsi aflatoksin dosis tinggi dapat menyebabkan
terjadinya aflatoksikosis akut yang dapat menimbulkan hepatotoksisitas (Yenny
2006).
Ternak yang mengkonsumsi pakan yang sudah terkontaminasi aflatoksin
akan menyebabkan bagian daging, telur ataupun susunya mengandung aflatoksin.
Hal ini akan menimbulkan bahaya pada kesehatan manusia, terutama kanker hati,
karena struktur aflatoksin sangat stabil, dengan beberapa cara perlakuan fisik
maupun kimia tidak mengurangi toksisitasnya karena sulit terdegradasi (Iswari
2006). Adapun jenis kanker yang dapat disebabkan oleh AFB1 yaitu Karsinoma
hepatoselular. Menurut Yenny (2006), Karsinoma hepatoselular secara umum
diderita 500 000 orang tiap tahunnya di dunia, dengan 80% kejadian ditemukan di
negara berkembang dengan five year mortality >95%. Karsinoma hepatoselular ini
merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas terutama di Cina dan Afrika.
Proses masuknya aflatoksin ke dalam tubuh dapat melalui oral dan inhalasi.
Menurut Ahmad (2009) setelah pakan yang terkontaminasi aflatoksin tertelan,
usus menyerap aflatoksin bersama pakan, dan di dalam usus dua belas jari
menjadi bagian utama penyerapan melalui difusi pasif. Tempat metabolisme
utama aflatoksin adalah organ hati. Metabolisme aflatoksin terdiri atas tiga tahap,
yaitu bioaktivasi, konjugasi, dan dekonjugasi. Bila aflatoksin tidak dapat
dikeluarkan dari tubuh maka akan terjadi perubahan patologis dan menimbulkan
beberapa gejala seperti keturunan lahir cacat (efek teratogenik) dan kanker
(manusia dan hewan). Pada hewan, aflatoksin menyebabkan kerusakan organ
dalam (pembesaran hati, limpa, ginjal), perubahan tekstur dan warna organ (hati,
tenggorokan), anemia, hemoragi, imunosupresi, nefrosis, kerusakan kulit, dan
penurunan efisiensi breeding.
Gremmels dan Dorne (2013) melaporkan senyawa aflatoksin B1 yang tinggi
pada pakan dapat menyebabkan adanya residu toksin pada produk ternak seperti
daging, hati dan susu. Menurut Iqbal et al. (2014) manusia yang mengonsumsi
daging ayam serta telur yang terkontaminasi mikotoksin dalam jangka waktu
panjang dapat menimbulkan dampak buruk terhadap kesehatannya. Menurut Lee
(2004) setiap cendawan memiliki kemampuan menghasilkan toksin yang berbeda.
Beberapa cendawan dan toksin yang dihasilkan serta pengaruhnya pada hewan
dapat dilihat pada Tabel 2.

7
Tabel 2 Beberapa cendawan dan toksin yang dihasilkan serta pengaruhnya
pada hewan.
Cendawan
Toksin yang
Pengaruh toksin
dihasilkan
Aspergillus flavus
Aflatoksin B1,
Hepatotoksik, karsinogenik,
B2
mutagenik, imunosupresif
A. parasiticus
Aflatoksin B1,
Hepatotoksik,
B2, G1, dan G2
karsinogenik,mutagenik,
imunosupresif
A. ochraceus
Okratoksin
Karsinogenik, imunosupresif
Fusarium proliferatum
Fumonisin
Neurotoksik, hepatotoksik,
hepatotoksik,karsinogenik
F. verticillioides
Fumonisin
Neprotoksik,hepatotoksik,
karsinogenik
F. subglutinans
Fumonisin
Imunosupresif, neurotoksik
F. sporotrichioides
Trikotesena
Imunosupresif, neurotoksik
F. graminearum
Trikotesena,
Estrogenik, anabolik
Zearalenon
Penicillium verrucosum
Okratoksin
Karsinogenik, imunosupresif,
neprotoksik
P. expansum
Patulin
Mutagenik, neurotoksik
P. citrinum
Citrinin
Neprotoksik
Sumber: Lee (2004).

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2014 hingga Juni tahun 2015
di Bagian Mikrobiologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet,
Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor dan di Laboratorium
Mikotoksin, Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Pakan, Bekasi.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan yaitu, pakan ayam petelur jenis mash, kantong
plastik, alkohol 70%, media Dichloran 18 Glycerol Agar (DG18), Czapek Yeast
Extract Agar (CYA), kloramfenikol, akuades, lactophenol cotton blue, metanol,
standar aflatoxin (B2, B1, G2, dan G1) 1000 ng, NaCl p.a.
Alat yang digunakan yaitu cawan petri, cutter, autoclave, bunsen, pinset,
inkubator, wadah plastik, mikroskop, timbangan digital, shaker Kotterman 4020,
labu Erlenmeyer 250 mL, alumunium foil, Seperangkat Blender–High speed
berkapasitas 500 mL, Kertas Saring Ø 24 cm (whatman 2V), Kertas Saring glass
microfiber 1.5 μm Ø 11 cm (Whatman 934AH), Immunoafinity column (aflatest),
gelas ukur, HPLC dengan detector fluorescence, Photochemical reactor.

8
Prosedur Penelitian
Metode Pengambilan Sampel dan Besaran Sampel
Sampel yang digunakan ialah pakan ayam petelur jenis mash yang diambil
dari 10 pedagang pakan ayam petelur di 5 Pasar Tradisional Kota Bogor. Besaran
sampel ditentukan pada tingkat kepercayaan 90% dan dihitung dengan
menggunakan persamaan rumus perhitungan besaran sampel menurut Thrusfield
(2006):

n=
Keterangan :
n = Besaran sampel
P = Asumsi prevalensi
Q=1–P
L = Besaran galat yang diinginkan
Dengan tingkat kepercayaan 90%, galat 10% dan asumsi prevalensi sebesar
50%, maka diperoleh hasil sebagai berikut:

n=
n=

=

n = 100 sampel
Berdasarkan perhitungan tersebut, diperoleh besaran sampel sebanyak 100
sampel yang berasal dari 10 pedagang di 5 Pasar Tradisional Kota Bogor. Sampel
yang diambil pada setiap karung sebanyak 1 kg, kemudian dimasukan ke dalam
kantong plastik yang telah diberi label kode sampel, lokasi asal pasar pengambilan
dan tanggal pengambilan. Secara lengkap besaran sampel yang diambil pada
setiap Pasar Tradisional di Kota Bogor disajikan pada Tabel 1.
Tabel 3 Besaran sampel pakan ayam petelur yang di peroleh dari Pasar Tradisional Kota
Bogor

Pasar

Jumlah pedagang

Jumlah sampel

Pasar Kebon Kembang (Pasar
Anyar)
Pasar Bogor Baru (Pasar Bogor)
Pasar Merdeka
Pasar Gunung Batu
Pasar Teknik Induk Bogor
(Pasar Induk Kemang)
Jumlah

3
2
3
1
1

30
20
30
10
10

100

9
Isolasi Cendawan
Isolasi cendawan dilakukan berdasarkan metode dari Dharmaputra et al.
(2013). Isolasi dimulai dari tahapan pengenceran berseri 10-1 hingga 10-5,
kemudian setiap pengenceran dilanjutkan dengan metode cawan tuang.
Pakan ayam ditimbang sebanyak 25 g, kemudian dimasukan ke dalam gelas
ukur 500 mL dan ditambahkan akuades steril hingga mencapai volume 250 mL,
hasil pengenceran tersebut merupakan suspensi pakan 1:10-1. Kemudian, suspensi
dipindahkan ke erlemenyer 500 mL dan dihomogenisasi menggunakan shaker
pada kecepatan 150 rpm selama 1 menit. Sebanyak 10 mL dipindahkan ke
erlemenyer 250 mL dan ditambahkan 90 mL akuades steril, kemudian dihomogen.
Hasil suspensi yang diperoleh tersebut yaitu 1:100 atau 10-2. Seri pengenceran
dibuat hingga suspensi pengenceran 10-5. Selanjutnya setiap pengenceran,
dipindahkan ke dalam 3 cawan petri, masing-masing dipindahkan ke cawan petri
sebanyak 1 mL dan ditambahkan 10 mL media DG18 cair. Cawan petri
dihomogenisasi membentuk angka 8 agar tercampur dengan baik dan selanjutnya
diinkubasi pada suhu ruang selama 5-7 hari.
Cendawan/g dihitung menggunakan rumus Dharmaputra et al. (1999)
Populasi cendawan/g
X = volume suspensi pakan ayam yang dipindahkan ke setiap cawan petri
Y = pengenceran yang memberikan koloni cendawan secara terpisah
Z = rata-rata jumlah koloni cendawan dari 3 cawan petri
Pengamatan Makroskopis Cendawan
Setiap koloni cendawan yang tumbuh pada media Dichloran 18 Glycerol
Agar (DG18), dimurnikan dalam media Czapek Yeast Extract Agar (CYA),
Kemudian diinkubasi selama 7 hari dan diamati secara makroskopis meliputi
warna koloni, diameter koloni, garis-garis radial dari pusat koloni ke arah tepi
koloni, dan lingkaran-lingkaran konsentrasi. Identifikasi cendawan mengacu pada
Pitt dan Hocking (1997), dan Gandjar et al. (1999).
Identifikasi Mikroskopis Cendawan
Identifikasi cendawan dilakukan dengan menggunakan slide culture Metode
Riddel, yaitu objek gelas dan cover gelas dimasukan ke dalam cawan petri yang
selanjutnya disterilkan dengan menggunakan autoclave, kemudian media PDA
steril pada cawan petri dipotong berbentuk kubus dan potongan tersebut diletakan
dengan menggunakan jarum ose di atas gelas objek. Spora yang telah tumbuh
diinokulasi pada bagian samping potongan media PDA yang berbentuk kubus
tersebut dengan menggunakan jarum ose, kemudian ditutup dengan cover gelas
dan diinkubasi pada suhu 35 oC selama 48 jam. Setelah diinkubasi, cover gelas
tersebut dipindahkan pada gelas objek steril yang telah diberi pewarna
lactophenol cotton blue, kemudian diamati di bawah mikroskop. Pengamatan
dilakukan di bawah mikroskop setelah 48 jam (Dorry 1980).

10
Berikut identifikasi cendawan menggunakan slide culture Metode Riddel
disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Identifikasi cendawan menurut metode Riddel (Sumber: Dorry 1980)
Variabel yang diamati dalam pengamatan mikroskopis ini yaitu bentuk
spora, bentuk konidia, dan konidiofor.
Analisis Kadar Mikotoksin
Jenis mikotoksin yang diuji pada penelitian ini adalah aflatoksin. Jenis uji
mikotoksin ini ditentukan setelah diketahui jumlah serta jenis cendawan yang
paling dominan ditemukan. Analisis aflatoksin (B1, B2, G1, dan G2) menggunakan
metode High Performance Liquid Chromatography (HPLC) yang mengacu pada
AOAC (2005) (Lampiran 2).
Analisis Data
Analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis data
deskriptif. Hasil identifikasi cendawan serta uji mikotoksin pada penelitian ini
disajikan dalam bentuk gambar dan tabel.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Jenis jenis cendawan
Pada pakan ayam petelur di Pasar Tradisional Kota Bogor ditemukan
berbagai jenis cendawan yang dapat berpotensi sebagai cendawan kontaminan.
Cendawan kontaminan ini menjadi salah satu masalah tersendiri, karena
cendawan ini mampu memproduksi toksin yang dapat menurunkan kualitas dalam
pakan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 100 sampel pakan ayam petelur
yang dijual di Pasar Tradisional Kota Bogor, ditemukan 13 spesies cendawan
yaitu Aspergillus flavus, A. fumigatus, A. niger, A. ochraceus, A. tamarii,
A. terreus, Cladosporium cladosporioides, C. herbarum, Endomyces fibuliger,
Eupenicillium ochrosalmonecum, Eurotium chevalieri, Fusarium verticillioides,
dan Penicillium citrinum. Keberadaan setiap jenis cendawan dalam pakan ayam
petelur yang terdapat di 5 Pasar Tradisional Kota Bogor disajikan pada Tabel 4,
dan persentase dari 13 jenis cendawan tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.

11
Tabel 4 Jenis cendawan dalam pakan ayam petelur yang terdapat di 5 Pasar
Tradisional Kota Bogor

Jenis cendawan

Aspergillus flavus
A. fumugatus
A. niger
A.ochraceus
A. tamarii
A. terreus
Cladosporium clodasporiodes
C. herbarium
Endomyces fibuliger
Eupenicillium ochrosalmonecum
Eurotium chevalieri
Fusarium verticeilliodes
Penicillium citrinum

Pasar
Kebon
Kembang

Lokasi Pengambilan Sampel
Pasar
Pasar
Pasar
Bogor
Merdeka
Gunung
Baru
Batu

A

B

C

D

E

F

G

H

I

Pasar
Induk
Teknik
Bogor
J

+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+

+
+
+
+
+
+
+

+
+
+
+
+
+
+
+
+

+
+
+
+
+
+
+
+
+

+
+
+
+
+
+
+
+
-

+
+
+
+
+
+
+
-

+
+
+
+
+
+
+
+
+
-

+
+
+
+
+
+
+
+
+
-

+
+
+
+
+
+
+
+
+
-

+
+
+
+
+
+
+
+
-

(+) Ada; (-) Tidak ada; (A,B,C,D,E,F,G,H,I,J) Pedagang pakan ayam petelur

Gambar 5 Persentase jenis cendawan pada pakan ayam petelur
Berdasarkan Gambar 5, Aspergillus flavus merupakan cendawan yang
paling dominan ditemukan (36.9%) dengan jumlah kepadatan populasi per
spesies sebanyak 10.3x105 cfu/g. Ahmad (2009) dan Djaenudin et al. (2004) juga
melaporkan bahwa Aspergillus flavus merupakan cendawan yang umum
ditemukan pada pakan. Hal ini disebabkan karena cendawan ini merupakan
cendawan gudang dan mampu memproduksi aflatoksin selama penyimpanan pada
kisaran suhu 11-41oC (Pitt dan Hocking 1997; Ahmad 2009).
Banyaknya jenis cendawan yang ditemukan dalam pakan ayam petelur di
setiap pedagang, dapat disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya ialah faktor
lingkungan selama penyimpanan berlangsung. Retnani et al. (2011) melaporkan

12
lama penyimpanan pakan dapat berpengaruh (P