Materi Pokok Hukum Perdata

MATERI POKOK

HUKUM PERDATA
Oleh :
JANUARSE H. DJAMI RIWU
NIM. 1202011076

Bagian Hukum Acara
Fakultas Hukum
Universitas Nusa Cendana

Tahun 2014

MATERI POKOK
HUKUM PERDATA

0

Berikut saya akan bagikan materi kuliah hukum perdata, yang saya
ringkas materinya dari buku karangan
Prof. Subketi. S.H. yaitu buku "Pokok-Pokok Materi Hukum Perdata.

I. KEADAAN HUKUM PERDATA DI INDONESIA
Perkataan "Hukum Perdata" dalam arti yang luas meliputi semua hukum
"privat materiil", yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingankepentingan perseorangan. Perkataan "perdata" juga lazim dipakai
sebagai lawan dari "pidana".
Ada juga orang memakai perkataan "hukum sipil" untuk hukum privat
materiil itu, tetapi karena perkataan "sipil" itu juga lazim dipakai sebagai
lawan dari "militer," maka lebih baik kita memakai istilah "hukum
perdata" untuk segenap peraturan hukum privat materiil.
Perkataan "Hukum Perdata", adakalanya dipakai dalam arti yang sempit,
sebagai lawan "hukum dagang," seperti dalam pasal 102 Undang-undang
Dasar Sementara, yang menitahkan pembukuan (kodifikasi) hukum di
negara kita ini terhadap Hukum Perdata dan Hukum Dagang, Hukum
Pidana Sipil maupun Hukum Pidana Militer, Hukum Acara Perdata dan
Hukum Acara Pidana, dan susunan serta kekuasaan pengadilan.
II. SISTEMATIK HUKUM PERDATA
Adanya Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Wetboek vanKoophandel,
disingkat W.v.K.) di samping Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(Burgerlijk Wetboek, disingkat B.W.) sekarang dianggap tidak pada
tempatnya, karena Hukum Dagang sebenarnya tidaklah lain dari Hukum
Perdata. Perkataan "dagang" bukanlah suatu pengertian hukum,

melainkan suatu pengertian perekonomian. Di berbagai negeri yang
modern, misalnya di Amerika Serikat dan di Swis juga, tidak terdapat
suatu Kitab Undang-undang Hukum Dagang tersendiri di samping
pembukuan Hukum Perdata seumumnya. Oleh karena itu, sekarang
terdapat suatu aliran untuk meleburkan Kitab Undang-undang Hukum
Dagang itu ke dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

1

Memang, adanya pemisahan Hukum Dagang dari Hukum Perdata dalam
perundang-undangan kita sekarang ini, hanya terbawa oleh sejarah saja,
yaitu karena di dalam hukum Rumawi — yang merupakan sumber
terpenting dari Hukum Perdata di Eropah Barat — belumlah terkenal
Hukum Dagang sebagaimana yang terletak dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang kita sekarang, sebab
memang perdagangan internasional juga dapat dikatakan baru mulai
berkembang dalam Abad Pertengahan.
Hukum Perdata menurut ilmu hukum sekarang ini, lazim dibagi dalam
empat bagian, yaitu :
1. Hukum tentang diri seseorang,
2. Hukum Kekeluargaan,

3. Hukum Kekayaan dan
4. Hukum warisan.
Hukum tentang diri seseorang , memuat peraturan-peraturan tentang
manusia sebagai subyek dalam hukum, peraturan-peraturan perihal
kecakapan untuk memiliki hak-hak dan kecakapan untuk bertindak
sendiri melaksanakan hak-haknya itu serta hal-hal yang mempengaruhi
kecakapan-kecakapan itu.
Hukum Keluarga, mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang
timbul dari hubungan kekeluargaan, yaitu : perkawinan beserta
hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami dan isteri,
hubungan antara orang tua dan anak, perwalian dan curatele.
Hukum Kekayaan, mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang
dapat dinilai dengan uang. Jika kita mengatakan tentang kekayaan
seorang, yang dimaksudkan ialah jumlah segala hak dan kewajiban orang
itu, dinilai dengan uang. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang
demikian itu, biasanya dapat dipindahkan kepada orang lain. Hak-hak

2

kekayaan, terbagi lagi atas hak-hak yang berlaku terhadap tiap orang dan

karenanya dinamakan hak mutlak dan hak-hak yang hanya berlaku
terhadap seorang atau suatu fihak yang tertentu saja dan karenanya
dinamakan hak perseorangan. Hak mutlak yang memberikan kekuasaan
atas suatu benda yang dapat terlihat dinamakan hak kebendaan. Hak
mutlak yang tidak memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat
terlihat, misalnya hak seorang pengarang atas karangannya, hak seorang
atas suatu pendapat dalam lapangan ilmu
pengetahuan atau hak seorang pedagang untuk memakai sebuah merk,
dinamakan hak mutlak saja.
Hukum Waris, mengatur hal ikhwal tentang benda atau kekayaan
seorang jikalau ia meninggal. Juga dapat dikatakan, Hukum Waris itu
mengatur akibat-akibat hubungan' keluarga terhadap harta peninggalan
seseorang. Berhubung dengan sifatnya yang setengah-setengah ini,
Hukum Waris lazimnya ditempatkan tersendiri.
Bagaimanakah sistematik yang dipakai oleh Kitab Undang-undang
Hukum Perdata?
B.W. itu terdiri atas empat buku, yaitu :
Buku I, yang berkepala "Perihal Orang", memuat hukum tentang diri
seseorang dan Hukum Keluarga;
Buku II yang berkepala "Perihal Benda", memuat hukum perbendaan

serta Hukum Waris;
Buku III yang berkepala "Perihal Perikatan", memuat hukum kekayaan
yang mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berlaku terhadap
orang-orang atau pihak-pihak yang tertentu;
Buku IV yang berkepala "Perihal Pembuktian dan Lewat
waktu(Daluwarsa), memuat perihal alat-alat pembuktian dan akibatakibat lewat waktu terhadap hubungan-hubungan hukum.
Sebagaimana kita lihat, Hukum Keluarga di dalam B.W. itu dimasukkan
dalam bagian hukum tentang diri seseorang, karena hubungan-hubungan
keluarga memang berpengaruh besar terhadap kecakapan seseorang

3

untuk memiliki hak-hak serta kecakapannya untuk mempergunakan hakhaknya itu. Hukum Waris, dimasukkan dalam bagian tentang hukum
perbendaan, karena dianggap Hukum Waris itu mengatur cara-cara untuk
memperoleh hak atas benda-benda, yaitu benda-benda yang ditinggalkan
seseorang. Perihal pembuktian dan lewat waktu (daluwarsa) sebenarnya
adalah soal hukum acara, sehingga kurang tepat dimasukkan dalam B.W.
yang pada asasnya mengatur hukum perdata materiil. Tetapi pernah ada
suatu pendapat, bahwa hukum acara itu dapat dibagi dalam bagian
materiil dan bagian formil. Soal-soal yang mengenai alat-alat pembuktian

terhitung bagian yang termasuk hukum acara materiil yang dapat diatur
juga dalam suatu undang-undang tentang hukum perdata materiil.
III. PERIHAL ORANG DALAM HUKUM
Dalam hukum, perkataan orang (persoon) berarti pembawa hak atau
subyek di dalam hukum. Sekarang ini boleh dikatakan, bahwa tiap
manusia itu pembawa hak, tetapi belum begitu lama berselang masih ada
budak belian yang menurut hukum tidak lebih dari suatu barang saja.
Peradaban kita sekarang sudah sedemikian majunya, hingga suatu
perikatan pekerjaan yang dapat dipaksakan tidak diperbolehkan lagi di
dalam hukum. Seorang yang tidak suka melakukan suatu pekerjaan yang
ia harus lakukan menurut perjanjian, tidak dapat secara langsung dipaksa
untuk melakukan pekerjaan itu. Paling banyak ia hanya dapat dihukum
untuk membayar kerugian yang berupa uang yang untuk itu harta
bendanya dapat disita. Karena memang sudah menjadi suatu asas dalam
Hukum Perdata, bahwa semua kekayaan seseorang menjadi tanggungan
untuk segala kewajibannya. Juga yang dinamakan "kematian perdata",
yaitu suatu hukuman yang menyatakan bahwa seseorang tidak dapat
memiliki sesuatu hak lagi — tidak terdapat dalam hukum sekarang ini
(pasal 3 B.W.). Hanyalah mungkin, seseorang — sebagai hukuman — dicabut sementara hakhaknya, misalnya kekuasaannya sebagai orang tua terhadap anak4


anaknya, kekuasaannya sebagai wali, haknya untuk bekerja pada
angkatan bersenjata dan sebagainya.
Berlakunya seseorang sebagai pembawa hak, mulai dari saat ia dilahirkan
dan berakhir pada saat ia meninggal. Malahan, jika perlu untuk
kepentingannya, dapat dihitung surut hingga mulai orang itu berada di
dalam kandungan, asal saja kemudian ia dilahirkan hidup, hal mana
penting sekali berhubung dengan waris-an-warisan yang terbuka pada
suatu waktu, di mana orang itu masih berada di dalam kandungan.
Meskipun menurut hukum sekarang ini, tiap orang tiada yang terkecuali
dapat memiliki hak-hak, akan tetapi di dalam hukum tidak semua orang
diperbolehkan bertindak sendiri dalam melaksanakan hak-haknya itu.
Berbagai golongan orang, oleh undang-undang telah dinyatakan "tidak
cakap," atau "kurang cakap" untuk melakukan sendiri perbuatanperbuatan hukum. Yang dimaksudkan di sini, ialah orang-orang yang
belum dewasa atau masih kurang umur dan orang-orang yang telah
ditaruh di bawah pengawasan (curatele), yang selalu harus diwakili oleh
orang tuanya, walinya atau kuratornya.
IV. HUKUM PERKAWINAN
1. Arti dan syarat-syarat untuk perkawinan
Perkawinan, ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang
perempuan untuk waktu yang lama. Undang-undang memandang

perkawinan hanya dari hubungan keperdataan, demikian
pasal 26 Burgerlijk Wetboek.
Apakah artinya itu? Pasal tersebut hendak menyatakan, bahwa suatu
perkawinan yang sah, hanyalah perkawinan yang memenuhi syaratsyarat yang ditetapkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
(Burgerlijk Wetboek) dan syarat-syarat serta peraturan agama
dikesampingkan. Suatu asas lagi dari B.W., ialah polygami dilarang.
Larangan ini termasuk ketertiban umum, artinya bila dilanggar selalu
diancam dengan pembatalan perkawinan yang dilangsungkan itu.

5

Syarat-syarat untuk dapat sahnya perkawinan, ialah :
a.
kedua pihak harus telah mencapai umur yang ditetapkan dalam undang-undang, yaitu untuk seorang lelaki
18 tahun dan untuk seorang perempuan 15 tahun;
b.
harus ada persetujuan bebas antara kedua pihak;
c.
untuk seorang perempuan yang sudah pernah kawin
harus lewat 300 hari dahulu sesudahnya putusan perkawinan pertama;

d.
tidak ada larangan dalam undang-undang bagi kedua
pihak;
e.
untuk pihak yang masih di bawah umur, harus ada izin
dari orang tua atau walinya. *)
Tentang hal larangan untk kawin dapat diterangkan, bahwa seorang tidak
diperbolehkan kawin dengan saudaranya, meskipun saudara tiri; seorang
tidak diperbolehkan kawin dengan iparnya; seorang paman dilarang
kawin dengan keponakannya dan sebagainya.
2. Hak dan kewajiban suami-isteri
Suami-isteri harus setia satu sama lain, bantu-membantu, berdiam
bersama-sama, saling memberikan nafkah dan bersama-sama mendidik
anak-anak.
Perkawinan oleh undang-undang dipandang sebagai suatu
"perkumpulan" (echtvereniging). Suami ditetapkan menjadi kepala atau
pengurusnya. Suami mengurus kekayaan mereka bersama di samping
berhak juga mengurus kekayaan si isteri, menentukan tempat kediaman
bersama, melakukan kekuasaan orang tua dan selanjutnya memberikan
bantuan(bijstand) kepada si isteri dalam hal melakukan perbuatanperbuatan hukum. Yang belakangan ini, berhubungan dengan ketentuan

dalam Hukum Perdata Eropah, bahwa seorang perempuan yang telah
kawin tidak cakap untuk bertindak sendiri di dalam hukum. Kekuasaan

6

seorang suami di dalam perkawinan itu dinamakan "maritale macht"
(dari bahasa Perancis mari =suami).
3. Percampuran kekayaan
Sejak mulai perkawinan terjadi, suatu percampuran antara kekayaan
suami dan kekayaan isteri (algehele gemeenschap van goederen), jikalau
tidak diadakan perjanjian apa-apa Keadaan yang demikian itu
berlangsung seterusnya dan tak dapat diubah lagi selama
perkawinan. *) Jikalau orang ingin menyimpang dari peraturan umum itu,
ia harus meletakkan keinginannya itu dalam suatu "perjanjian
perkawinan" (huwelijksvoorwaarden). Perjanjian yang demikian ini,
harus diadakan sebelumnya pernikahan
4. Perjanjian perkawinan
Jika seorang yang hendak kawin mempunyai benda-benda yang berharga
atau mengharapkan akan memperoleh kekayaan, misalnya suatu warisan,
maka adakalanya diadakan perjanjian

perkawinan(huwelijksvoorwaarden). Perjanjian yang demikian ini
menurut Undang-undang harus diadakan sebelumnya pernikahan
dilangsungkan dan harus diletakkan dalam suatu akte notaris.
Mengenai bentuk dan isi perjanjian tersebut, sebagaimana halnya dengan
perjanjian-perjanjian lain pada umumnya, kepada kedua belah pihak
diberikan kemerdekaan seluas-luasnya, kecuali satu dua larangan yang
termuat dalam undang-undang dan asal saja mereka itu tidak melanggar
ketertiban umum atau kesusilaan.
Suatu perjanjian perkawinan misalnya, hanya dapat menyingkirkan suatu
benda saja (misalnya satu rumah) dari percampuran kekayaan, tetapi
dapat juga menyingkirkan segala percampuran. Undang-undang hanya
menyebutkan dua contoh perjanjian yang banyak terpakai, yaitu
perjanjian "percampuran laba rugi" ("gemeenschap van winst en
verlies") dan perjanjian "percampuran
penghasilan" ('gemeenschap van vruchten en inkomsten"").

7

Pada umumnya seorang yang masih di bawah umum, yaitu belum
mencapai usia 21 tahun, tidak diperbolehkan bertindak sendiri dan harus diwakili oleh orang tuanya atau walinya. Tetapi untuk
membuat suatu perjanjian perkawinan, oleh undang-undang diadakan
peraturan pengecualian. Seorang yang belum dewasa di sini,
diperbolehkan bertindak sendiri tetapi ia harus "dibantu" ("bijgestaan")
oleh orang tua atau orang-orang yang diharuskan memberi izin
kepadanya untuk kawin. Apabila pada waktu membuat perjanjian itu
salah satu pihak ternyata belum mencapai usia yang diharuskan oleh
undang-undang, maka perjanjian itu tidak sah, meskipun mungkin
perkawinannya sendiri — yang baru kemudian dilangsungkan — sah.
Selanjutnya diperingatkan, apabila di dalam waktu antara pembuatan
perjanjian dan penutupan pernikahan orang tua atau wali yang
membantu terjadinya perjanjian itu meninggal, maka perjanjian itu batal
dan pembuatan perjanjian itu harus diulangi di depan notaris, sebab
orang yang nanti harus memberi izin untuk melangsungkan perkawinan
sudah berganti. Karena itu sebaiknya orang membuat perjanjian perkawinan, apabila hari pernikahan sudah dekat.
5. Perceraian
Perkawinan hapus, jikalau satu pihak meninggal. Selanjutnya ia hapus
juga, jikalau satu pihak kawin lagi setelah mendapat izin hakim, bilamana
pihak yang lainnya meninggalkan tempat tinggalnya hingga sepuluh
tahun lamanya dengan tiada ketentuan nasibnya. Akhirnya perkawinan
dapat dihapuskan dengan perceraian.
Perceraian ialah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau
tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.
Undang-undang tidak membolehkan perceraian dengan permufakatan
saja antara suami dan isteri, tetapi harus ada alasan yang sah. Alasanalasan ini ada empat macam :

8

a)
zina (overspel);
b)
ditinggalkan dengan sengaja (kwaadwillige verlating);
c)
penghukuman yang melebihi 5 tahun karena dipersalahkan
melakukan suatu kejahatan dan
d)
penganiayaan berat atau membahayakan jiwa (pasal 209B.W.).
Undang-undang Perkawinan menambahkan dua alasan, u. salah satu
pihak mendapat cacad badan/penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri; I). antara suami isteri
terus-menerus terjadi perselisihan/pertengkaran dan tidak ada harapan
akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga (pasal 19 PP 9/1975).
Tuntutan untuk mendapat perceraian diajukan kepada hakim secara
gugat biasa dalam perkara perdata, tetapi harus didahului dengan
meminta izin pada Ketua Pengadilan Negeri untuk menggugat. Sebelum
izin ini diberikan, hakim harus lebih dahulu mengadakan percobaan
untuk mendamaikan kedua belah pihak (verzoeningscomparitie).
Selama perkara bergantung, Ketua Pengadilan Negeri dapat memberikan
ketetapan-ketetapan sementara, misalnya dengan memberikan izin pada
si isteri untuk bertempat tinggal sendiri terpisah dari suaminya,
memerintahkan supaya si suami memberikan nafkah tiap-tiap kali pada
isterinya serta anak-anaknya yang turut pada isterinya itu dan
sebagainya. Juga hakim dapat memerintahkan supaya kekayaan suami
atau kekayaan bersama disita agar jangan dihabiskan oleh suami selama
perkara masih bergantung.
Larangan untuk bercerai atas permufakatan, sekarang ini sudah lazim
diselundupi dengan cara mendakwa si suami telah berbuat zina.
Pendakwaan itu lalu diakui oleh si suami. Dengan begitu alasan sah untuk
memecahkan perkawinan telah dapat "dibuktikan" di muka hakim.
Gemeenschap hapus dengan perceraian dan selanjutnya dapat diadakan
pembagian kekayaan gemeenschap itu (scheiding en deling).Apabila ada

9

perjanjian perkawinan, pembagian ini harus dilakukan menurut
perjanjian tersebut.
6. Pemisahan kekayaan
Untuk melindungi si isteri terhadap kekuasaan si suami yang sangat luas
itu atas kekayaan bersama serta kekayaan pribadi si isteri, undangundang memberikan pada si isteri suatu hak untuk meminta pada hakim
supaya diadakan pemisahan kekayaan dengan tetap berlangsungnya
perkawinan.
Pemisahan kekayaan itu dapat diminta oleh si isteri :
a)
apabila si suami dengan kelakuan yang nyata-nyata tidak baik,
mengorbankan kekayaan bersama dan membahayakan keselamatan
keluarga;
b)
apabila si suami melakukan pengurusan yang buruk terhadap
kekayaan si isteri, hingga ada kekhawatiran kekayaan ini akan menjadi
habis;
c)
apabila si suami mengobralkan kekayaan sendiri, hingga si isteri
akan kehilangan tanggungan yang oleh Undang-undang diberikan
padanya atas kekayaan tersebut karena pengurusan yang dilakukan oleh
si suami terhadap kekayaan isterinya.
Gugatan untuk mendapatkan pemisahan kekayaan, harus diumumkan
dahulu sebelum diperiksa dan diputuskan oleh hakim, sedangkan putusan
hakim ini pun harus diumumkan. Ini untuk menjaga kepentingankepentingan pihak ketiga, terutama orang-orang yang mempunyai
piutang terhadap si suami. Mereka itu dapat mengajukan perlawanan
terhadap diadakannya pemisahan kekayaan.
Selain membawa pemisahan kekayaan, putusan hakim berakibat pula, si
isteri memperoleh kembali haknya untuk mengurus kekayaannya sendiri
dan berhak mempergunakan segala penghasilannya sendiri sesukanya.
Akan tetapi, karena perkawinan belum diputuskan, ia masih tetap tidak
cakap menurut undang-undang untuk bertindak sendiri dalam hukum.

10

BAB I
PENGERTIAN HUKUM PERDATA SECARA UMUM
Tujuan Instruksional Umum / TIU
Setelah mengikuti kuliah pokok bahasan di atas diharapkan mahasiswa
dapat menjelaskan dan memahaminya.
Sub Pokok Bahasan:
A. Pengertian Hukum Perdata dan Hukum Publik
B. Pengertian Hukum Perdata Dalam Arti Luas dan Dalam Arti Sempit
C. Pengertian Hukum Perdata Materiil dan Hukum Perdata Formil
D. Sistem Hukum Perdata di Indonesia
E. Sistematika Hukum Perdata
Tujuan Instruksional Khusus / TIK
Setelah mengikuti kuliah sub-sub pokok bahasan di atas diharapkan
mahasiswa dapat menjelasakn dan menyebutkan pengertian:
A. Hukum Perdata dan Hukum Publik
B. Hukum Perdata Dalam Arti Luas dan Arti Sempit
C. Hukum Perdata Materiil dan Formil
D. Sistem Hukum Perdata di Indonesia
E. Sistematika Hukum Perdata
Pendahuluan : Pengantar tentang mata kuliah Perdata menjelaskan
pengertianpengertian dan memberikan contoh-contoh.
Penyajian
: lihat buku
Evaluasi
: Mahasiswa disuruh merangkum apa yang sudah
dikuliahkan.
Penutup
:
Bab I menjelaskan pengertian secara umum mengenai
Hukum Perdata dan Bab II menjelasakn apa yang termasuk ruang lingkup
Hukum Perdata diantaranya Hukum Perorangan.
BAB I
PENGERTIAN HUKUM PERDATA SECARA UMUM

11

Penyajian :
A. Pengertian Hukum Perdata dan Hukum Publik
Ada beberapa sarjana yang memberikan pengertian tentang Hukum
Perdata, diantaranya :
1. Subekti
Hukum Perdata dalam arti luas meliputi semua hukum privat materiil,
yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan
perseorangan.
2. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan
Hukum Perdata adalah hukum yang mengatur kepentingan antara warga
negara perseorangan yang ada dengan warga negara perseorangan yang
lain.
3. Wirjono Prodjodikoro
Hukum Perdata adalah suatu rangkaian hukum antara orang-orang atau
badan hukum satu sama lain tentang hak dan kewajiban.
4. Sudikno Mertokusumo
Hukum Perdata adalah hukum antar perorangan yang mengatur hak dan
kewajiban perorangan yang satu terhadap yang lain di dalam hubungan
keluarga dan di dalam pergaulan masyarakat. Pelaksanaannya diserahkan
masing-masing pihak.
5. Asis Safioedin
Hukum Perdata adalah hukum yang memuat peraturan dan ketentuan
hukum yang meliputi hubungan hukum antara orang yang satu dengan
yang lain (antara subyek hukum yang satu dengan subyek hukum yang
lain) di dalam masyarakat dengan menitik beratkan kepada kepentingan
perorangan.
Dari pengertian-pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa
Hukum Perdata itu adalah hukum yang mengatur hubungan hukum
antara orang/badan hukum yang satu dengan orang/badan hukum yang
lain di dalam masyarakat dengan menitikberatkan kepentingan
perseorangan (pribadi).badan hukum.

12

Sedangkan Hukum Perdata adalah hukum yang mengatur
kepentingan umum/masyarakat. Oleh karena itu Sudikno Mertokusumo
menyebutkan perbedaan antara Hukum Perdata dan Hukum Publik itu
(menurut pembagian klasik) adalah sebagai berikut:
1. Dalam Hukum Publik salah satu pihak adalah penguasa, sedangkan
dalam Hukum Perdata kedua belah pihak adalah perorangan tanpa
menutup kemungkinan bahwa dalam Hukum Perdatapun penguasa dapat
menjadi pihak juga.
2. Sifat Hukum Publik adalah memaksa, sedangkan Hukum Perdata
pada umumnya bersifat melengkapi meskipun ada juga yang memaksa.
3. Tujuan Hukum Publik adalah melindungi kepentingan umum,
sedangkan Hukum Perdata melindungi kepentingan
individu/perorangan.
4. Hukum Publik mengatur hubungan hukum antara negara dengan
individu, sedangkan Hukum Perdata mengatur hubungan hukum antara
individu.
Perbedaan-perbedaan tersebut, sekarang tidak bersifat mutlak lagi,
karena sudah mengalami perkembangan. Oleh karena itu Abdulwahab
Bakri menyebutkan bahwa Hukum Perdata adalah hukum yang
mempunyai kedudukan yang sederajat, sedangkan Hukum Publik adalah
hukum yang mengatur hubungan antara dua subyek hukum atau lebih
yang kedudukannya tidak sederajat. Jadi dalam Hukum Publik ada atasan
dan ada bawahan.
B. Pengertian Hukum Perdata Dalam Arti Luas Dan Dalam Arti Sempit
Hukum Perdata dalam arti luas adalah bahan hukum sebagaimana tertera
dalam KItab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), Kitab UndangUndang Hukum Dagang (WVK) beserta sejumlah undang-undang yang
disebut undang-undang tambahan lainnya.
Hukum Perdata dalam arti sempit adalah Hukum Perdata sebagaimana
terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW}.

13

Subekti mengatakan Hukum Perdata dalam arti luas meliputi semua
hukum privat materiil, yaitu segala hukum pokok yang mengatur
kepentingan perseorangan.
Hukum Perdata adakalanya dipaki dalam arti sempit sebagai lawan
Hukum Dagang.
Soedewi Masjchoen Sofwan mengatakan Hukum Perdata yang diatur
dalam KUHPerdata disebut Hukum Perdata dalam arti sempit. Sedangkan
Hukum Perdata dalam arti luas termasuk didalamnya Hukum Dagang.
Antara KUHPerdata dengan KUHDagang mempunyai hubungan yang erat.
Hal ini dapat dilihat dari isi Pasal 1 KUHDagang, yang isinya sebagai
berikut:
Adagium mengenai hubungan tersebut adalah specialist derogat legi
generali artinya hukum yang khusus: KUHDagang mengesampingkan
hukum yang umum: KUHPerdata.
C. Pengertian Hukum Perdata Materil Dan Hukum Perdata Formal
Hukum Perdata dilihat dari fungsinya ada dua macam, yaitu:
1. Hukum Perdata materil yaitu aturan-aturan hukum yang mengatur
hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata, yaitu mengatur kepentingankepentingan perdata setiap subyek hukum.
2. Hukum Perdata formal yaitu hukum yang mengatur bagaimana cara
mempertahankan hukum perdata materil.
Bagaimana tata cara seseorang menuntut haknya apabila diinginkan oleh
orang lain, Hukum Perdata formal biasa juga disebut Hukum Acara
Perdata.
D. Sistem Hukum Perdata di Indonesia
Sistem Hukum Perdata di Indonesia bersifat pluralisme (beraneka
ragam). Keanekaragamannya ini sudah berlangsung sejak jaman
penjajahan Belanda.
Hal ini disebabkan karena adanya Pasal 163 IS (Indische Staatsregeling)
dan Pasal 131 IS.

14

Pada Pasal 163 IS disebutkan bahwa golongan penduduk di Indonesia
dibagi 3, yaitu:
Golongan Eropah
Golongan Timur Asing
Golongan Bumi Putera
Pasal 131 IS mengatur mengenai hukum yang berlaku bagi golongan
penduduk tersebut.
Untuk golongan Eropah berlaku Hukum Perdata Eropah (BW)
Untuk golongan Timur Asing Tionghoa berlaku seluruh Hukum Perdata
Eropah dengan beberapa pengecualian dan tambahan. Untuk golongan
Timur Asing bukan Tionghoa berlaku Hukum Perdata Eropah dan hukum
adatnya masing-masing.
Untuk golongan Bumi Putera berlaku hukum adatnya masing-masing,
kecuali yang mengadakan perundukkan secara sukarela berdasarkan S.
1917 No. 12, yaitu:
a) tunduk pada seluruh Hukum Perdata Eropah
b) tunduk pada sebagian Hukum Perdata Eropah
c) tunduk pada perbuatan tertentu
d) tunduk secara diam-diam
Hukum Perdata/BW mulai berlaku di Indonesia pada tanggal 1 Mei 1848
dengan berlakunya asas konhordansi/asas persamaan.
E. SISTEMATIKA HUKUM PERDATA
Sistematikan Hukum Perdata itu ada 2, yaitu sebagai berikut:
1. Menurut Ilmu Hukum/Ilmu Pengetahuan
2. Menurut Undang-Undang/Hukum Perdata
Sistematika Menurut Ilmu Hukum/Ilmu Pengetahuan terdiri dari:
a) Hukum tentang orang/hukum perorangan/badan pribadi (Personen
Recht)
b) Hukum tentang keluarga/hukum keluarga (Familie Recht)

15

c) Hukum tentang harta kekayaan/hukum harta kekayaan/hukum
harta benda (Vermogen Recht)
d) Hukum waris/Erfrecht
Sistematika Hukum Perdata menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata
Buku I tentang orang/van personen
Buku II tentang benda/van zaken
Buku III tentang perikatan/van verbintenissen
Buku IV tentang pembuktian dan daluarsa/van bewijs en verjaring
Apabila kita gabungkan sistematika menurut ilmu pengetahuan ke dalam
sistematika menurut KUHPerdata maka:
Hukum perorangan termasuk Buku I
Hukum Keluarga termasuk Buku I
Hukum harta kekayaan termasuk Buku II sepanjang yang
bersifat absolut dan termasuk Buku III sepanjang yang bersifat relatif.
Hukum waris termasuk Buku II karena Buku II mengatur tentang benda
sedangkan hukum waris juga mengatur benda dari pewaris.
Selain itu hukum waris dimasukkan dalam Buku II pewarisan merupakan
salah satu cara untuk memperoleh hak milik yang diatur dalam Pasal 584
KUHPerdata (terdapat dalam Buku II).
BAB II
HUKUM PERORANGAN
Tujuan Instruksional Umum / TIU
Setelah mengikuti kuliah pokok bahasan di atas diharapkan mahasiswa
dapat menjelaskan mengenai Hukum Perorangan.
Sub Pokok Bahasan:
A. Pengertian Subyek Hukum
B. Manusia sebagai Subyek Hukum
C. Badan Hukum sebagai Subyek Hukum
D. Nama dan Kewarganegaraan

16

E. Domisili
F. Keadaan Tidak Hadir (Afwezeigheid)
Tujuan Instruksional Khusus / TIK
Setelah mengikuti kuliah sub-sub pokok bahasan di atas diharapkan
mahasiswa dapat:
A. Menjelasakn Pengertian Subyek Hukum
B. Menjelaskan Manusia sebagai Subyek Hukum
C. Menjelaskan Badan Hukum sebagai Subyek Hukum
D. Menjelaskan Nama dan Kewarganegaraan
E. Menjelaskan dan menyebutkan macam-macam Domisili
F. Menjelaskan Keadaan Tidak Hadir (Afwezeigheid)
Pendahuluan : Menjelaskan secara garis besar dan mengadakan Tanya
jawab dua arah.
Penyajian
: lihat buku
Evaluasi
: Memberikan soal-soal yang dijawab di rumah, terus
dikumpulkan.
Penutup
:
Bab II ada kaitannya dengan Bab III karena manusia
dalam kehidupannya mengalami peristiwa-peristiwa penting di
antaranya melakukan perkawinan, juga termasuk hokum perdata.
BAB II
HUKUM PERORANGAN
Penyajian:
A. Pengertian Subyek Hukum
Menurut Subekti Subyek (ukum adalah pembawa hak atau subyek di
dalam hukum, yaituorang .
Mertokusumo mengatakan bahwa Subyek (ukum adalah segala sesuatu
yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum . (anya manusia
yang dapat jadi Subyek Hukum.
Syahran mengatakan Subyek (ukum adalah pendukung hak dan
kewajiban .
17

Dari pendapat para sarjana tersebut dapat disimpulkan bahwa Subyek
(ukum itu adalah segala sesuatu yang dapat menjadi pendukung hak
dan kewajiban .
Segala sesuatu yang dimaksud di sini menunjuk pada manusia dan badan
hukum.
B. Manusia Sebagai Subyek Hukum
Kapan mulai dan berakhirnya seseorang sebagai Subyek Hukum?
Seseorang mulai sebagai Subyek Hukum atau sebagai pendukung hak dan
kewajiban sejak dilahirkan sampai dengan meninggal dunia dengan
mengingat Pasal 2 KUHPerdata.
Pasal 2 KUHPerdata menyatakan:
1. Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap
sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak
menghendakinya.
2. Mati sewaktu dilahirkannya, dianggaplah ia tidak pernah telah ada.
Kalau kita lihat Pasal 2 ayat (1) di atas dapat dismpulkan bahwa anak
yang masih di dalam kandangan seorang wanita juga sudah dianggap
sebagai Subyek Hukum atau pembawa hak dan kewajiban apabila
kepentingan si anak menghendakinya.
Hal ini erat hubungannya dengan Pasal 836 dan Pasal 899 KUHPerdata
Pasal 836 KUHPerdata adalah sebagai berikut:
Dengan mengingat akan ketentuan dalam Pasal 2 Kitab ini, supaya dapat
bertindak sebagai waris, seorang harus telah ada, pada saat warisan jatuh
meluang.
Pasal-pasal 899 KUHPerdata adalah sebagai berikut:
Dengan mengindahkan akan ketentuan dalam Pasal 2 Kitab UndangUndang ini, untuk dapat menikmati sesuatu dari suatu surat wasiat,
seorang harus telah ada, tatkala si yang mewariskan meninggal dunia.
Ketentuan ini tidak tak berlaku bagi mereka yang menerima hak yang
menikmati sesuatu dari lembaga-lembaga.

18

Terhadap Pasal 2 KUHPerdata ini ada para sarjana yang menyebut rechts
fictie, yaitu anggapan hukum. Anak yang berada dalam kandungan
seorang wanita sudah dianggap ada pada waktu kepentingannya
memerlukan, jadi yang belum ada dianggap ada (fictie).
Selain itu ada para sarjana yang mengatakan bahwa Pasal 2 KUHPerdata
merupakan suatu norma sehingga disebut fixatie (penetapan hukum).
Pembuat undang-undang menetapkan bahwa anak yang ada dalam
kandungan seorang wanita adalah Subyek hukum apabila kepentingan si
anak itu menghendaki/memerlukan. Hal ini demi adanya keadilan
disamping kepastian hukum.
C. Badan Hukum Sebagai Subyek Hukum
Selain manusia juga badan hukum termasuk sebagai Subyek Hukum.
Badan hukum menurut pendapat Wirjono Prodjodikoro adalah sebagai
berikut:
Suatu badan yang di samping manusia perorangan juga dapat bertindak
dalam hukum dan yang mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban dan
kepentingan-kepentingan hukum terhadap orang lain atau badan lain.
Sarjana lain mengatakan:
Badan hukum adalah kumpulan dari orang-orang yang bersama-sama
mendidrikan suatu badan (perhimpunan) dan kumpulan harta kekayaan,
yang ditersendirikan untuk tujuan tertentu (yayasan).
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan mengatakan:
Baik perhimpunan maupun Yayasan kedua-duanya berstatus sebagai
badan hukum, jadi merupakan person pendukung hak dan kewajiban.
Kalau kita lihat dari pendapat tersebut badan hukum dapat dikategorikan
sebagai Subyek Hukum sama dengan manusia disebabkan karena:
1. Badan hukum itu mempunyai kekayaan sendiri
2. Sebagai pendukung hak dan kewajiban
3. Dapat menggugat dan digugat di muka pengadilan
4. Ikut serta dalam lalu lintas hukum.
Semuanya itu dilakukan melalui para pengurusnya.

19

Badan hukum (rechts/person) biasa juga disebut pribadi hukum
(Soerjono Soekamto), pusara hukum (Oetarid Sadino), awak hukum
(malikul Adil).
Ada beberapa teori tentang hakikat badan hukum, yaitu:
1. Teori Fiksi dari Freidrich Carl Von Savigny
Hanya manusialah yang menjadi Subyek Hukum, sedangkan badan
hukum dikatakan sebagai Subyek Hukum hanyalah fiksi, yaitu sesuatu
yang sebenarnya tidak ada tetapi orang menghidupkannya dalam
bayangannya Badan hukum itu ciptaan negara/pemerintah yang
wujudnya tidak nyata.
Untuk menerangkan sesuatu hal.
2. Teori Organ dari Otto Von Gierke
Badan hukum adalah organ seperti halnya manusia yang menjelma dalam
pergaulan hukum yang dapat menyatakan kehendak melalui alat-alat
yang ada padanya (pengurus, anggota) seperti halnya manusia. Badan
hukum itu nyata adanya.
3. Teori Harta Kekayaan Bertujuan dari Brinz
Badan hukum merupakan kakayaan yang bukan kekayaan perorangan,
tapi serikat pada tujuan tertentu.
Badan hukum itu mempunyai pengurus yang berhak dan berkehendak.
4. Teori Kekayaan Bersama dari Molengraaft
Apa yang merupakan hak dan kewajiban badan hukum pada hakekatnya
merupakan hak dan kewajiban para anggota bersama-sama.
Kekayaan badan hukum juga merupakan kekayaan bersama seluruh
anggotanya.
5. Teori Kenyataan Yuridis dari Paul Scholter
Badan hukum itu merupakan kenyataan yuridis. Badan hukum sama
dengan manusia hanya sebatas pada bidang hukum saja.
Suatu badan atau perkumpulan atau badan usaha dapat berstatus badan
hukum harus memenuhi syarat-syarat materil maupun syarat formal.
Syarat materialnya adalah sebagai berikut:
Harus adanya kekayaan yang terpisah

20

Mempunyai tujuan tertentu
Mempunyai kepentingan sendiri
Adanya organisasi yang teratur
Syarat formalnya harus memenuhi syarat yang ada hubungannya dengan
permohonan untuk mendapatkan status sebagai badan hukum (diatur
dalam KUHD).
Menurut Pasal 1653 KUHPerdata badan hukum dibedakan menjadi:
Badan hukum yang didirikan oleh pemerintah: propinsi, bank-bank
pemerintah
Badan hukum yang diakui pemerintah; perseroan, gereja
Badan hukum yang didirikan untuk maksud tertentu; PT
Badan hukum berdasarkan sifatnya:
Badan Hukum Publik: propinsi, kabupaten
Badan Hukum Keperdataan: Yayasan, firma
D. NAMA DAN KEWARGANEGARAAN
a. Nama
Nama bagi seseorang adalah sangat penting. Nama selain untuk
membedakan orang yang satu dengan yang lain, juga untuk mengetahui
apa hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang.
Selain itu juga nama merupakan tanda diri atau identifikasi seseorang
sebagai subyek hukum. Nama penting juga untuk mengetahui seseorang
itu keturunan siapa, penting untuk urusan pembagian harta warisan dan
soal-soal yang ada hubungannya dengan kekeluargaan.
Mengenai nama ini di Indonesia diatur dalam UU No. 4 tahun 1961.
b. Kewarganegaraan
Seperti halnya nama, kewarganegaraan seseorang juga sangat penting.
Kewarganegaraan seseorang merupakan satu factor yang mempengaruhi
kewenangan berhak seseorang.
Seperti kita lihat dalam Pasal 21 ayat 1 UUPA yang menyatakan:
Hanya warganegara Indonesia dapat mempunyai hak milik.

21

Jadi tersimpul dari pasal tersebut di atas, warga negara asing tidak
diperbolehkan memiliki hak milik atas tanah.
UU Kewarganegaraan yang berlaku di Indonesia adalah UU No. 62 tahun
1958. Dalam undang-undang tersebut jelas dibedakan siapa yang warga
negara, siapa yang bukan, cara memperoleh kewarganegaraan, hapusnya
kewarganegaraan, dan apa hak dan kewajiban seorang warganegara.
E. Domisili/Tempat Tinggal
1. Pengertian Domisili
Domisili adalah terjemahan dari Domicili atau Woonplaats yang artinya
tempat tinggal.
Menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan domisili atau tempat kediaman
itu adalah:
Tempat dimana seseorang dianggap selalu hadir mengenai hal melakukan
hak-haknya dan memenuhi kewajibannya juga meskipun kenyataannya
dia tidak di situ.
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tempat kediaman itu
seringkali ialah rumahnya, kadang-kadang kotanya.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa setiap orang dianggap selalu
mempunyai tempat tinggal dimana ia sehari-harinya melakukan
kegiatannya atau dimana ia berkediaman pokok.
Kadang-kadang menetapkan tempat kediaman seseorang itu sulit, karena
selalu berpindah-pindah (banyak rumahnya). Untuk memudahkan hal
tersebut dibedakan antara tempat kediaman hukum (secara yuridis) dan
tempat kediaman yang sesungguhnya.
Tempat kediaman hukum adalah:
Tempat dimana seseorang dianggap selalu hadir berhubungan dengan hal
melakukan hak-haknya serta kewajiban-kewajibannya, meskipun
sesungguhnya mungkin ia bertempat tinggal di lain tempat.
Menurut Pasal 77, Pasal 1393; 2 KUHPerdata tempat tinggal itu adalah
tempat dimana sesuatu perbuatan hukum harus dilakukan .
22

Bagi orang yang tidak mempunyai tempat kediaman tertentu, maka
tempat tinggal dianggap dimana ia sungguh-sungguh berada.
2. Macam-macam Domisili
a.
Tempat tinggal sesungguhnya yaitu tempat yang bertalian dengan
hak-hak melakukan wewenang perdata seumumnya.
Tempat tinggal sesungguhnya dibedakan antara:
§ Tempat tinggal sukarela/bebas yang tidak terikat/tergantung
hubungannya dengan orang lain.
§ Tempat tinggal yang wajib/tidak bebas yaitu yang ditentukan oleh
hubungan yang ada antara seseorang dengan orang lain.
Misalnya: tempat tinggal suami isteri, tempat tinggal anak yang belum
dewasa di rumah orang tuanya, orang di bawah pengampuan di tempat
curatornya.
b. Tempat tinggal yang dipilih, yaitu tempat tinggal yang berhubungan
dengan hal-hal melakukan perbuatan hukum tertentu saja.
Tempat tinggal yang dipilih ini untuk memudahkan pihak lain atau untuk
kepentingan pihak yang memilih tempat tinggal tersebut.
Tempat tinggal yang dipilih ada dua macam yaitu:
§ Tempat kediaman yang dipilih atas dasar undang-undang misalnya
dalam hukum acara dalam menentukan waktu eksekusi dari vonis.
§ Tempat kediman yang dipilih secara bebas misalnya dalam melakukan
pembayaran memilih Kantor Notaris (menurut Sri Soedewi M. Sofwan).
Menurut Subekti ada juga yang disebut rumah kematian atau domisili
penghabisan , yaitu rumah dimana seseorang meninggal dunia.
Rumah penghabisan ini mempunyai arti penting untuk:
Menentukan hukum waris yang harus diterapkan
Untuk menentukan kewenangan mengadili kalau ada gugatan
Tempat kediaman untuk Badan Hukum disebut tempat kedudukan badan
hukum ialah tenpat dimana pengurusnya menetap.
Menurut KUHPerdata domisili/tempat tinggal itu ada dua jenis, yaitu:
I. Tempat tinggal umum terdiri dari :

23

a.
Tempat tinggal sukarela atau bebas
Pasal 17 KUHPerdata menyatakan bahwa setiap orang dianggap
mempunyai tempat tinggal dimana ia menempatkan kediaman utamanya.
Dalam hal seseorang tidak mempunyai tempat kediaman utama maka
tempat tinggal dimana ia benar-benar berdiam adalah tempat tinggalnya.
b. Tempat tinggal yang tergantung pada orang lain, misalnya:
§ Wanita bersuami mengikuti suaminya
§ Anak di bawah umur mengikuti tempat tinggal orangtuanya/walinya
§ Orang dewasa yang ada di bawah pengampuan mengikuti curatornya
§ Pekerja/buruh mengikuti tempat tinggal majikannya
II. Tempat tinggal khusus atau yang dipilih menurut Pasal 24
KUHPerdata ada dua macam, yaitu:
a.
Tempat tinggal yang terpaksa dipilih ditentukan undang-undang
(Pasal 106 : 2 KUHPerdata)
b. Tempat tinggal yang dipilih secara sukarela harus dilakukan secara
tertulis artinya harus dengan akta (Pasal 24 : 1 KUHPerdata), bila ia
pindah maka untuk tindakan hukum yang dilakukannya ia tetap
bertempat tinggal di tempat yang lama.
3. Arti Pentingnya Domisili Untuk Seseorang
Domisili itu penting untuk seseorang dalam hal sebagai berikut:
Untuk menentukan atau menunjukan suatu tempat dimana berbagai
perbuatan hukum harus dilakukan, misalnya mengajukan gugatan,
pengadilan mana yang berwenang mengadili (menurut Sri Soedewi M.
Sofwan).
Untuk mengetahui dengan siapakan seseorang itu melakukan hubungan
hukum serta apa yang menjadi hak dan kewajiban masing-masing
(Ridwan Syahrani).
Untuk membatasi kewenangan berhak seseorang.
F.

KEADAAN TIDAK HADIR (AFWEZEIGHEID)

24

Kadang-kadang terjadi seseorang meninggalkan tempat tinggalnya
selama waktu tertentu(lama dan seterusnya) untuk suatu
keperluan/suatu kepentingan atau suatu peristiwa tanpa memberi kuasa
terlebih dulu pada seseorang untuk mengurus kepentingannya.
Dalam hal demikian maka dikatakan ia sedang tidak ada di tempat atau
tidak hadir, sehingga akan menimbulkan kesulitan bagi pihak lain yang
ada hubungan dengan orang tersebut.
Keadaan tidak hadir seseorang itu tidaklah menghentikan status sebagai
subyek hukum. Oleh karena itu demi adanya kepastian hukum harus ada
pengaturannya.
Dalam Pasal 463 KUHPerdata disebutkan bahwa:
Seorang tidak hadir jika ia meninggalkan tempat tinggalnya tanpa
membuat suatu surat kuasa untuk mewakilinya dalam usahanya serta
kepentingannya atau dalam mengurus hartanya serta kepentingannya
atau jika kuasa yang diberikan tidak berlaku lagi.
Dapat simpulkan bahwa jika seorang meninggalkan tempat tinggalnya
sedang ia tidak atau tidak sempurna mewakilkan kepentingannya pada
seseorang.
Dalam KUHPerdata dikenal ada 3 masa (3 tingkatan) keadaan tidak hadir
seseorang, yaitu:
1. Pengambilan Tindakan Sementara
Masa ini diambil jika ada alasan-alasan yang mendesak untuk mengurus
seluruh atau sebagian harta kekayaannya.
Tindakan sementara ini dimintakan kepada Pengadilan Negeri oleh orang
yang mempunyai kepentingan terhadap harta kekayaannya.
Misalnya istrinya, para kreditur, sesame pemegang saham dan lain-lain,
juga jaksa dapat memohon tindakan sementara tersebut.
Dalam tindakan sementara ini hakim memerintahkan BPH (Balai Harta
peninggalan) untuk mengurus seluruh harta kekayaan serta kepentingan
dari orang tak hadir.
Adapun kewajiban BHP adalah:
1. Membuat pencatatan harta yang diurusnya

25

2. Membuat daftar pencatatan harta, surat-surat lain uang kontan,
kertas berharga dibawa ke kantor BHP
3. Memperhatikan segala ketentuan untuk seseorang wali mengenai
pengurusan harta seorang anak (Pasal 464 KUHPerdata)
4. Tiap tahun memberi pertanggung jawaban pada jaksa dengan
memperlihatkan surat-surat pengurusan dan efek-efek (Pasal 465
KUHPerdata)
BHP berhak atas upah yang besarnya sama dengan seorang wali (Pasal
411 KUHPerdata).
2. Masa Adanya Kemungkinan Sudah Meninggal
Seseorang dapat diputuskan kemungkinan sudah meninggal jika:
Tidak hadir 5 tahun, bila tidak meninggalkan surat kuasa (Pasal 467
KUHPerdata), di mulai pada hari ia pergi tidak ada kabar yang diterima
dari orang tersebut atau sejak kabar terakhir diterima.
Tidak hadir 10 tahun, bila surat kuasa ada tetapi sudah habis berlakunya
(Pasal 470 KUHPerdata), di mulai pada hari ia pergi tidak ada kabar yang
diterima dari orang tersebut atau sejak kabar terakhir diterima.
Tidak hadir 1 tahun, bila orangnya termasuk awak atau penumpang kapal
laut atau pesawat udara ( S. 1922 No. 455), di mulai sejak adanya kabar
terakhir dan jika tidak ada kabar sejak hari berangkatnya.
Tidak hadir 1 tahun, jika orangnya hilang pada suatu peristiwa fatal yang
menimpa sebuah kapal laut atau pesawat udara (S. 1922 No. 455), di
mulai sejak tanggal terjadinya peristiwa.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 9/1975, dikatakan bahwa apabila salah
satu pihak meninggalkannya 2 tahun berturut-turut, pihak yang
ditinggalkan boleh mengajukan perceraian.
Akibat-akibat dari masa kemungkinan sudah meninggal bagi para ahli
waris dan penerima hibah wasiat/legataris adalah:
1. Menuntut pembukaan surat wasiat

26

2. Mengambil (menerima) harta orang yang tak hadir dengan
kewajiban membuat pencatatan harta yang diambil serta memberi
jaminan yang harus disetujui oleh hakim (Pasal 472 KUHPerdata)
3. Meminta pertanggung jawab oleh BHP bila BHP dahulu
mengurusnya
4. Mengoper segala kewajiban dan gugatan orang tak hadir (asal 488
KUHPerdata). Para ahli waris yang diperkirakan demi hukum menerima
harta warisan secara terbatas (Pasal 277 KUHPerdata)
5. Pada umumnya merka bertindak sebagai orang yang mempunyai hak
pakai hasul (Pasal 474 KUHPerdata)
6. Berhak mengadakan pemisahan dan pembagian dengan ketentuan
harta tetap tidak dapat dijual kecuali dengan ijin hakim (Pasal 478 dan
481 KUHPerdata)
Keadaan mungkin suadh meninggal berakhir:
1. JIka orang yang tidak hadir kembali atau ada kabar baru tentang
hidupnya
2. Jika si tak hadir meninggal dunia
3. Jika masa pewarisan definitive termaksud dalam Pasal
KUHPerdata di mulai .
3. Masa Pewarisan Definitif
Masa ini terjadi apabila setelah lewat 30 tahun sejak tanggal tentang
mungkin sudah meninggal atas keputusan hakim, atau setelah lewat
100 tahun setelah lahirnya si tak hadir.
Akibat-akibat pemulaan masa pewarisan definitive:
1. Semua jaminan dibebaskan
2. Para ahli waris dapat mempertahankan pembagian harta warisan
sebagaimana telah dilakukan atau membuat pemisahan dan pembagian
definitive.
3. Hak menerima warisan secara terbatas berhenti dan para ahli waris
dapat diwajibkan menerima warisan atau menolaknya.

27

Seandainya orang yang tidak hadir kembali setelah masa pewarisan
definitive, ia ada hak untuk meminta kembali hartanya dalam keadaan
sebagaimana adanya berikut harga dari harta yang tidak
dipindatangankan, semuanya tanpa hasil dan pendapatannya (Pasal 486
KUHPerdata).
Akibat-akibat keadaan tidak hadir terhadap isteri adalah:
1. Jika suami atau isteri tak hadir 10 tahun tanpa ada kabar tentang
hidupnya, maka isteri/suami yang ditinggal dapat menikah lagi dengan
ijin Pengadilan Negeri (Pasal 493 KUHPerdata).
Sebelumnya pengadilan harus mengadakan dulu pemanggilan 3x
berturut-turut.
2. Waktu 10 tahun dapat diperpendek jadi satu tahun dalam masa
mungkin sudah meninggal S.
No.
.
3. Dalam PP No. 9/1975 boleh kawin lagi apabila ditinggal 2 tahun
berturut-turut.
4. Jika ijin pengadilan sudah diberikan tanpa perkawinan baru belum
dilangsungkan sedang orang yang tak hadir kembali atau memberi kabar
masih hidup, ijin untuk menikah dari pengadilan gugur demi hukum.
5. setelah suami/isteri yang ditinggal menikah lagi dan kemudian
orang yang tak hadir kembali, maka orang yang tak hadir boleh menikah
lagi dengan orang lain.
Akibat keadaan tak hadir bagi anak:
Untuk anak yang masih di bawah umur berlaku Pasal 300 : 2, Pasal 359 :
3, dan Pasal 374 KUHPerdata.
BAB III
PERKAWINAN MENURUT UU NO. I/1974
Tujuan Instruksional Umum / TIU
Setelah mengikuti kuliah pokok bahasan di atas diharapkan mahasiswa
dapat menjelaskan dan memahami perkawinan menurut UU No. I/1974
dan melaksanakannya sesuai dengan UU yang berlaku..

28

Sub Pokok Bahasan:
A. Arti dan Tujuan Perkawinan
B. Sahnya Perkawinan
C. Asas Perkawinan
D. Syarat-syarat Perkawinan
E. Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan
F. Perjanjian Perkawinan
G. Akibat Hukum Perkawinan
H. Perkawinan Campuran
I.
Putusnya Perkawinan
J.
Perkawinan Menurut Hukum Islam
K. Catatan Sipil
Tujuan Instruksional Khusus / TIK
Setelah mengikuti kuliah sub-sub pokok bahasan di atas diharapkan
mahasiswa dapat:
A. Menjelaskan Arti dan Tujuan Perkawinan
B. Menjelaskan Sahnya Perkawinan
C. Menjelaskan Asas Perkawinan
D. Menjelaskan Syarat-syarat Perkawinan
E. Membedakan antara Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan
F. Menjelaskan Perjanjian Perkawinan
G. Menjelaskan Akibat Hukum Perkawinan
H. Menjelaskan Perkawinan Campuran
I.
Menyebutkan Sebab-sebab Putusnya Perkawinan
J.
Menjelaskan Perkawinan Menurut Hukum Islam
K. Membedakan Catatan Sipil yang dulu dengan Catatan Sipil yang
sekarang berlaku
Pendahuluan : Menjelaskan dan memberikan contoh yang terjadi dalam
masyarakat
Penyajian : lihat buku
Evaluasi
: Tanya jawab dan ts tertulis

29

Penutup
: Bab III ada kaitannya dengan Bab IV karena manusia /
orang yang sudah melakukan perkawinan memerlukan harta untuk
kelangsungan kehidupannya, oleh karena itu hokum benda perlu juga
dipelajari.
BAB III
PERKAWINAN MENURUT UU NO. I/1974
Sebelum berlakunya UU No. I Tahun 1974 tentang Perkawinan,
peraturan perkawinan di Indonesia banyak macamnya seperti: Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, Ordonansi Perkawinan Indonesia
Kristen, S. 1933 No. 74, Peraturan Perkawinan Campuran (RGHS S. 1898
No. 158) dan peraturan-peraturan lainnya.
Setelah diberlakukannya UU No. I Tahun 1974, peraturan-peraturan yang
ada dinyatakan tidak berlaku lagi sepanjang telah diatur dalam UU
tersebut.
UU No. I Tahun 1974 merupakan undang-undang yang bersifat
nasional yang berlaku bagi seluruh warga Negara Indonesia baik yang di
luar negeri maupun dalam negeri.
UU No. I Tahun 1974 juga berlaku bagi semua pemeluk agama yang diakui
di Indonesia.
A. Arti Dan Tujuan Perkawinan
Pasal 1 menyatakan bahwa:
Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.
Menurut K. Wantjik Saleh, ikatan lahir bathin itu harus ada. Ikatan lahir
mengungkapkan adanya hubungan formal, sedang ikatan bathin
merupakan hubungan yang tidak formal, tak dapat dilihat.

30

Ikatan lahir tanpa ikatan bathin akan menjadi rapuh. Ikatan lahir bathin
menjadi asar utama pembentukan dan pembinaan keluarga bahagia dan
kekal.
Kekal artinya perkawinan itu hanya dilakukan satu kali seumur hidup,
kecuali ada hal yang tidak dapat diduga sebelumnya.
Perkawinan itu harus didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa artinya
perkawinan itu harus berdasarkan atas agama.
Ali Afandi menyatakan bahwa:
Perkawinan adalah suatu persetujuan kekeluargaan.
Persetujuan kekeluargaan yang dimaksud bukanlah seperti persetujuan
biasa, tetapi mempunyai cirri-ciri tertentu.
Subekti mengatakan:
Perkawinan adalah hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang
wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui oleh Negara.
B. Sahnya Perkawinan
Menurut Pasal 2 UU No. I/1974 sahnya perkawinan apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu (Pasal
2 ayat 1).
Ayat 2 mengatakan:
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Kalau kita lihat Pasal 1 dan 2 tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa
perkawinan di Indonesia itu sangat menjunjung tinggi nilai-nilai
keagamaan.
Perkawinan itu dinyatakan sah apabila menurut agama, baru setelah itu
dicatata berdasarkan peraturan yang berlaku.
Bagi mereka yang melangsungkan perkawinan secara Islam harus dicatat
di Kantor Urusan Agama (KUA), sedang mereka yang melangsungkan
perkawinan di luar agama Islam dicatat di Kantor Catatan Sipil.

31

Perkawinan menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata itu sebaiknya
yaitu dilakukan dulu pencatatan di Kantor Catatan Sipil, baru dilakukan
secara agama kalau mau.
Menurut Pasal 26 KUHPerdata perkawinan itu hanya dipandang dalam
hubungan-hubungan perdata; artinya undang-undang menyatakan bahwa
suatu perkawinan itu sah, apabila memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan dalam KUHPerdata sedang syarat-syarat serta peraturan
agama tidaklah diperhatikan/dikesampingkan.
C. Asas Perkawinan
UU No. I/1974 menganut aas monogami tidak mutlak.
Hal tersebut dapat kita lihat dari isi Pasal 3 sebagai berikut:
(1) Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh
mempunyai seorang isteri. Sedang seorang wanita hanya boleh
mempunyai seorang suami.
(2) Pengadilan dapat memberi ijin kepada seorang suami untuk
beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan.
Ijin pengadilan diberikan kepada seorang suami yang akan beristeri lebih
dari satu orang apabila memenuhi syarat fakultatif dan syarat kumulatif.
Syarat fakultatif adalah syarat yang terdapat dalam Pasal 4 ayat 2, yaitu:
a.
Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri.
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluankeperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
c.
Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteriisteri dan anak-anak mereka.
Jadi seorang suami yang akan beristri lebih dari