Implementasi Program Penanggulangan TB Paru di Puskesmas Pijorkoling Kota Padangsidimpuan tahun 2015

(1)

IMPLEMENTASI PROGRAM PENANGGULANGAN TB PARU DI PUSKESMAS PIJORKOLING KOTA PADANGSIDIMPUAN

TAHUN 2015

SKRIPSI

OLEH NIM : 111000207

WILDA ZULIHARTIKA NASUTION

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(2)

IMPLEMENTASI PROGRAM PENANGGULANGAN TB

PARU DI PUSKESMAS PIJORKOLING KOTA

PADANGSIDIMPUAN

TAHUN 2015

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kesehatan Masyarakat

OLEH NIM : 111000207

WILDA ZULIHARTIKA NASUTION

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(3)

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “IMPLEMENTASI PROGRAM PENANGGULANGAN TB PARU DI PUSKESMAS PIJORKOLING KOTA PADANGSIDIMPUAN TAHUN 2015” ini beserta seluruh isinya adalah benar hasil karya saya sendiri dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung resiko atau sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.

Medan, Juni 2015


(4)

(5)

ABSTRAK

Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dan salah satu penyebab kematian sehingga perlu dilaksanakan program penanggulangan tuberkulosis secara berkesinambungan. Di Puskesmas Pijorkoling pada tahun 2013, cakupan penemuan kasus TB paru sebesar 11,23% atau dari 187 suspek TB paru yang ditemukan dan yang ditangani 21 orang. Data tersebut menunjukkan masih adanya kendala dalam pelaksanaan program penanggulangan TB paru.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui secara jelas dan lebih mendalam tentang implementasi program penanggulangan TB paru di Puskesmas Pijorkoling. Jenis penelitian adalah penelitian kualitatif dengan metode wawancara mendalam terhadap 7 informan yang terdiri dari Dinas Kesehatan Kota Padangsidimpuan, Kepala Puskesmas Pijorkoling, Petugas TB Paru Puskesmas Pijorkoling, Petugas Analis Puskesmas Padangmatinggi, Penderita TB Paru, Penderita TB Paru sembuh dan Pengawas Menelan Obat. Analisa data dengan metode Miles dan Huberman.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi program penanggulangan TB paru belum berjalan dengan maksimal. Hal ini ditandai dengan kurangnya komitmen politis, tidak adanya kerjasama lintas sektor, minimnya dukungan dana, petugas belum mendapatkan pelatihan, penemuan kasus kebanyakan hanya menunggu, kegiatan penjaringan dan penyuluhan hanya dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan puskesmas keliling, dan masyarakat tidak kooperatif.

Berdasarkan hasil penelitian, diharapkan kepada Pemda Kota Padangsidimpuan agar meningkatkan komitmen, kepada Dinas Kota Padangsidimpuan meningkatkan pengawasan, pemantauan dan kualitas tenaga kesehatan. Kepada puskesmas agar meningkatkan kerjasama lintas sektor, lintas program, penyuluhan dan sosialisasi TB paru, manajemen, kepada petugas TB paru agar lebih aktif melakukan kegiatan penemuan kasus TB paru, memanfaatkan sarana dan prasarana.


(6)

ABSTRACT

Tuberculosis is a transmitted disease which still becomes the health problem for the people and one of the causes of mortality so that it is necessary to implement the handling program of tuberculosis continuously. In Pijorkoling Puskesmas, in 2013, the coverage of lung tuberculosis was 11.23%, or of 187 lung tuberculosis suspects, only 21 of them have been handled. These data indicate that there are some obstacles in handling lung tuberculosis.

The objective of the research was to find out clearly and deeply the implementation of the handling program of lung tuberculosis at Pijorkoling Puskesmas. The research used qualitative method by conducting in-depth interviews with seven informants that consisted of the Head of Padangsidempuan Health Service, the Head of Pijorkoling Puskesmas, the analysts of Padangmatinggi Puskesmas, lung tuberculosis patients, recovered lung tuberculosis patients, and medicine taking supervisors. The data were analyzed by using Miles and Huberman methods.

The result of the research showed that the implementation of the handling lung tuberculosis problem was not done maximally as indicated by the lack of political commitment, the absence of cross sectoral cooperation, the lack of financial support, the lack of training for the health personnel, the case was found only accidentally, the activity of netting and counseling was done at the same time by itinerant puskesmas, and people did not cooperative.

It is recommended that Padangsidempuan City Administration increase their commitment and the Health Service increase supervision, control, and the quality of health care supervisors. It is also recommended that the management of Puskesmas increase cross sectoral cooperation cross program, counseling, and socialization on lung tuberculosis and management. The lung-tuberculosis personnel should activate the finding of lung tuberculosis case and use facility and infrastructure.


(7)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Wilda Zulihartika Nasution Tempat Lahir : Padangsidimpuan

Tanggal Lahir : 23 Oktober 1992 Suku Bangsa : Batak

Agama : Islam

Nama Ayah : H. Zulkarnein Nasution, S.H Suku Bangsa : Batak

Nama Ibu : Hj. Eli Hefrienti Harahap Suku Bangsa : Batak

Pendidikan Formal

1. SD/Tamat tahun : SD N 200108 Padangsidimpuan/1999-2005 2. SMP/Tamat tahun : SMP N 1 Padangsidimpuan/2005-2008 3. SMA/Tamat tahun : SMA N 2 Padangsidimpuan/2008-2011 4. Lama studi di FKM USU : September 2011 – Mei 2015


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Implementasi Program Penanggulangan TB Paru di Puskesmas Pijorkoling Kota Padangsidimpuan tahun 2015”.

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan pendidikan Strata Satu (S-1) peminatan Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini.

Dalam penulisan ini penulis banyak mengalami kesulitan namun bantuan dari berbagai pihak kesulitan dapat teratasi, sehingga pada kesempatan ini penulis dengan segala kerendahan hati dan penuh rasa hormat menngucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan moril maupun materil secara langsung maupun tidak langsung kepada penulis hingga skripsi selesai, terutama saya hormati :

1. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS., selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak dr. Heldy B.Z, MPH, selaku Ketua Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan dan dosen pembimbing I atas waktu, tenaga dan pikiran


(9)

yang diluangkan untuk memberikan arahan dan bimbingan dalam penlisan skripsi ini.

3. Ibu dr. Rusmalawaty, M.Kes., selaku dosen pembimbing II atas waktu, tenaga dan pikiran yang telah diluangkan untuk yang diluangkan untuk memberikan arahan dan bimbingan dalam penlisan skripsi ini.

4. Ibu Siti Khadijah Nasution, SKM, M.Kes., selaku dosen penguji I yang telah memberian saran dan masukan untuk kesempurnaan skripsi ini.

5. Bapak dr. Fauzi, SKM., selaku dosen penguji II yang telah memberian saran dan masukan untuk kesempurnaan skripsi ini.

6. Bapak H. Letnan Dalimunthe, SKM, M.Kes, sebagai Kepala Dinas Kesehatan Kota Padangsidimpuan yang telah memberikan izin penelitian kepada penulis.

7. Bapak dr. H. N. Syafran MTD, selaku Kepala Puskesmas Pijorkoling yang merupakan lokasi penelitian dan Kak Nurul Hudaina, sebagai pemegang program TB paru pada Puskesmas Pijorkoling yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

8. Bapak Ahmad Faisal, selaku kepala desa Salambue yang turut membantu penulis menemukan alamat penderita TB paru.

9. Teristimewa kepada Orang Tua penulis, Zulkarnein Nasution SH dan Eli Hefrienti Harahap yang selalu mendoakan, memberi motivasi dan pengorbanannya baik dari segi moril maupun materi kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.


(10)

10. Terima kasih kepada ketiga saudara yang sangat penulis sayangi Dina Azmirahayu Nasution, Ariq Fahdi Anugrah Nasution dan terkhusus Ricky Alwidani Nasutin yang telah meluangkan waktu untuk menghibur, menemani dan mengantarkan penulis ke lokasi penelitian.

11. Terima kasih untuk Syawaluddin Sitompul yang memberikan motivasi dan turut membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.

12. Terima kasih juga kepada teman-teman terdekat penulis selama kuliah Ivory Inderani, Legia Asrina, Putri Wella Suresty, Riri Oktiviolien dan Syaidhatul Aidha Fitri yang telah memberikan semangat kepada penulis.

13. Terima kasih untuk Kak Sri Rizki Amanda, Kak Futri Rizkiyah, Nurholijah Siregar, Muhammad Azhar Rasyid, Muhammad Fauzi Siregar, yang telah memberikan masukan dan saran dalam menyelesaikan skripsi

14. Terima kasih kepada Bang Ali yang menemani penulis ke lokasi penelitian dan memudahkan penulis dalam penelitian.

15. Terima kasih kepada Yuni, Yohana, Rury, Widia, Riza, Meiliza, Halimah, Ummiyun yang menjadi teman saat menunggu dosen di departemen.

16. Terima kasih juga kepada teman-teman seperjuangan dari departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan stambuk 2011 yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu per satu yang sudah memberikan motivasi dalam penulisan skripsi.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membantu dan penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan menjadi bahan masukan bagi dunia pendidikan.


(11)

Medan, Juni 2015

Penulis,


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR ISTILAH ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1 Tuberkulosis ... 8

2.1.1 Pengertian Tuberkulosis ... 8

2.1.2 Penyebab Tuberkulosis ... 9

2.1.3 Penularan Tuberkulosis ... 9

2.1.4 Manifestasi Klinis ... 10

2.1.5 Riwayat Terjadinya Tuberkulosis ... 11

2.1.6 Penentuan Klasifikasi Tuberkulosis dan Tipe Tuberkulosis ... 12

2.1.7 Pencegahan Tuberkulosis ... 15

2.1.8 Pengawasan Menelan Obat (PMO) Tuberkulosis ... 18

2.2 Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) ... 19

2.2.1 Pengertian Puskesmas ... 19

2.2.1.1 Pengertian Upaya Kesehatan Masyarakat dan Upaya Kesehatan Perseorangan ... 19

2.2.2 Prinsip Penyelenggaraan Puskesmas ... 20

2.2.3 Tugas, Fungsi dan Wewenang Puskesmas ... 21

2.2.4 Puskesmas dalam Program Penanggulangan Tuberkulosis ... 23

2.3 Program Penanggulangan Tuberkulosis ... 24

2.3.1 Tujuan Program Penanggulangan TB Paru ... 24


(13)

2.3.3 Kebijakan Program Penanggulangan TB Paru... 25

2.4 Kegiatan Program TB Paru ... 27

2.4.1 Penemuan Kasus Tuberkulosis ... 27

2.4.2 Pemeriksaan Dahak Secara Mikroskopis ... 29

2.4.3 Diagnosis Tuberkulosis ... 30

2.4.4 Penyuluhan Tuberkulosis ... 33

2.5 Pelatihan ... 34

2.6 Monitoring dan Evaluasi ... 34

2.7 Strategi DOTS ... 35

2.8 Kerangka Pikir ... 37

BAB III METODE PENELITIAN ... 39

3.1 Jenis Penelitian ... 39

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 39

3.2.1 Lokasi Penelitian ... 39

3.2.2 Waktu Penelitian ... 40

3.3 Informan Penelitian ... 40

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 40

3.4.1 Data Primer ... 40

3.4.2 Data Sekunder ... 40

3.5 Triangulasi ... 41

3.6 Instrumen Pengambilan Data ... 41

3.7 Metode analisis Data ... 41

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 42

4.1 Gambaran Umum Puskesmas Pijorkoling ... 42

4.2 Karakteristik Informan ... 44

4.3 Wawancara Program Penanggulangan TB Paru di Puskesmas Pijorkoling Informan Penelitian ... 45

4.3.1 Pernyataan Informan tentang Komitmen Politis dalam Program Penanggulangan TB Paru ... 45

4.3.2 Pernyataan Informan tentang Pendanaan dalam Program Penanggulangan TB Paru ... 46

4.3.3 Pernyataan Informan tentang Dana Global Fund dalam Program Penanggulangan TB Paru ... 47

4.3.4 Pernyataan Informan tentang Sarana dan Prasarana dalam Program Penanggulangan TB Paru ... 47

4.3.5 Pernyataan Informan tentang Persediaan Obat Anti Tuberkulosis dalam Program Penanggulangan TB Paru ... 48

4.3.6 Pernyataan Informan tentang Kerjasama Lintas Sektor dalam Program Penanggulangan TB Paru ... 49

4.3.7 Pernyataan Informan tentang Peran Dinas Kesehatan dalam Program Penanggulangan TB Paru ... 49 4.3.8 Pernyataan Informan tentang Kendala Program


(14)

Penanggulangan TB Paru ... 50

4.3.9 Pernyataan Informan tentang Strategi Program Penanggulangan TB Paru ... 50

4.3.10 Pernyataan Informan tentang Penemuan Kasus Program Penanggulangan TB Paru ... 51

4.3.11 Pernyataan Informan tentang Pemeriksaan BTA (+) Program Penanggulangan TB Paru ... 52

4.3.12 Pernyataan Informan tentang Penyuluhan Program Penanggulangan TB Paru ... 53

4.3.13 Pernyataan Informan tentang Pemberian Informasi Penyakit TB dalam Program Penanggulangan TB Paru .... 54

4.3.14 Pernyataan Informan tentang Pelatihan Petugas TB Paru dalam Program Penanggulangan TB Paru ... 54

4.3.15 Pernyataan Informan tentang Alur Pemeriksaan Penderita TB Paru dalam Program Penanggulangan TB Paru ... 55

4.3.16 Pernyataan Informan tentang Prosedur Diagnosis TB Paru dalam Program Penanggulangan TB Paru ... 56

4.3.17 Pernyataan Informan tentang Lama Hasil Diagnosis dalam Program Penanggulangan TB Paru ... 57

4.3.18 Pernyataan Informan tentang Pelayanan TB Paru dalam Program Penanggulangan TB Paru ... 58

4.3.19 Pernyataan Informan tentang Pencatatan dan Pelaporan dalam Program Penanggulangan TB Paru ... 58

4.3.20 Pernyataan Informan tentang Sistem Monitoring dan Evaluasi dalam Program Penanggulangan TB Paru ... 59

4.3.21 Pernyataan Informan tentang Jumlah dan Pekerjaan Petugas TB Paru dalam Program Penanggulangan TB Paru ... 59

4.3.22 Pernyataan Informan tentang Tugas Pengawas Menelan Obat dalam Program Penanggulangan TB Paru ... 60

BAB V PEMBAHASAN ... 61

5.1 Masukan (Input) ... 61

5.1.1 Komitmen Politis ... 61

5.1.2 Tenaga Kesehatan ... 64

5.1.3 Ketersediaan Dana ... 67

5.1.4 Sarana dan Prasarana ... 69

5.2 Proses (Process) ... 70

5.2.1 Penemuan Kasus Tuberkulosis ... 70

5.2.2 Pemeriksaan BTA (+) ... 74

5.2.3 Penyuluhan ... 76


(15)

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 79 6.1 Kesimpulan ... 79 6.2 Saran ... 80

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

Pedoman Wawancara

Surat Permohonan Izin Penelitian

Surat Izin Penelitian Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik Daerah Surat Izin Penelitian Dinas Kesehatan Kota Padangsidimpuan Surat Keterangan Selesai Penelitian


(16)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Angka Kesembuhan dan Angka Keberhasilan Pengobatan TB Paru BTA Positif Menurut Kecamatan dan Puskesmas

Kota Padangsidimpuan Tahun 2013 ... 4

Tabel 4.1 Jumlah Penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas Pijorkoling

Tahun 2013 ... 42 Tabel 4.2 Data Distribusi Penduduk Berdasarkan Golongan Umur dan Jenis

Kelamin di Wilayah Kerja Puskesmas Pijorkoling Tahun 2013 ... 43 Tabel 4.3 Data Tenaga Kesehatan Menurut Pendidikan Puskesmas Pijorkoling

Tahun 2014 ... 43 Tabel 4.4 Karakteristik Informan ... 44 Tabel 4.5 Matriks Pernyataan Informan tentang Komitmen Politis dalam

Program Penanggulangan TB Paru ... 45 Tabel 4.6 Matriks Pernyataan Informan tentang Pendanaan dalam Program

Penanggulangan TB Paru di Puskesmas Pijorkoling ... 46 Tabel 4.7 Matriks Pernyataan Informan tentang Dana Global Fund dalam

Program Penanggulangan TB Paru ... 47 Tabel 4.8 Matriks Pernyataan Sarana dan Prasarana dalam Program

Penanggulangan TB Paru di Puskesmas Pijorkoling ... 47 Tabel 4.9 Matriks Pernyataan Informan tentang Persediaan OAT dalam

Program Penanggulangan TB Paru di Puskesmas Pijorkoling... 48 Tabel 4.10 Matriks Pernyataan Informan tentang Kerjasama dalam Program

Penanggulangan TB Paru di Puskesmas Pijorkoling ... 49 Tabel 4.11 Matriks Pernyataan Peran Dinas Kesehatan dalam Program

Penanggulangan TB Paru ... 49 Tabel 4.12 Matriks Pernyataan Informan Tentang Kendala dalam Program

Penanggulangan TB Paru di Puskesmas Pijorkoling ... 50 Tabel 4.13 Matriks Pernyataan Informan tentang Strategi dalam Program


(17)

Tabel 4.14 Matriks Pernyataan Informan tentang Penemuan Kasus dalam Program Penanggulangan TB Paru di Puskesmas Pijorkoling... 51 Tabel 4.15 Matriks Pernyataan Informan tentang Pemeriksaan BTA (+) dalam

Program Penanggulangan TB Paru di Puskesmas Pijorkoling... 52 Tabel 4.16 Matriks Pernyataan Informan tentang Penyuluhan dalam Program

Penanggulangan TB Paru di Puskesmas Pijorkoling ... 53 Tabel 4.17 Matriks Pernyataan Informan tentang Pemberian Informasi

Penyakit TB di Puskesmas Pijorkoling ... 54 Tabel 4.18 Matriks Pernyataan Informan tentang Pelatihan Petugas dalam

Program Penanggulangan TB Paru di Puskesmas Pijorkoling... 54 Tabel 4.19 Matriks Pernyataan Informan tentang Alur Pemeriksaan Penderita

TB Paru di Puskesmas Pijorkoling ... 55 Tabel 4.20 Matriks Pernyataan Informan tentang Prosedur Diagnosis TB Paru

dalam Program Penanggulangan TB Paru

di Puskesmas Pijorkoling ... 56 Tabel 4.21 Matriks Pernyataan Informan tentang Lama Hasil Diagnosis

dalam Program Penanggulangan TB Paru

di Puskesmas Pijorkoling ... 57 Tabel 4.22 Matriks Pernyataan Informan tentang Pelayanan TB Paru di

Puskesmas Pijorkoling ... 58

Tabel 4.23 Matriks Pernyataan Informan tentang Pencatatan dan Pelaporan dalam Program Penanggulangan TB Paru ... 58 Tabel 4.24 Matriks Pernyataan Informan tentang Sistem Monitoring dan

Evaluasi dalam Program Penanggulangan TB Paru ... 59 Tabel 4.25 Matriks Pernyataan Informan tentang Jumlah dan Pekerjaan

Petugas TB Paru dalam Program Penanggulangan TB Paru... 59 Tabel 4.26 Matriks Pernyataan Informan tentang Tugas PMO dalam Program


(18)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Alur Diagnosis Tuberkulosis ... 32 Gambar 2.2 Kerangka Pikir ... 37


(19)

DAFTAR ISTILAH

Singkatan : Singkatan dari

APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APD : Alat Pelindung Diri

BTA : Basil Tahan Asam Dati : Daerah Tingkat II Depkes : Departemen Kesehatan

DOTS : Directly Observed Treatment Shortcourse DPS : Dokter Praktek Swasta

Fasyankes : Fasilitas Pelayanan Kesehatan

GERDUNAS-TBC : Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan Tuberkulosis GFATM : Global Fund AIDS, Tuberkulosis, dan Malaria

Kemenkes : Kementrian Kesehatan Kepmenkes : Keputusan Menteri Kesehatan Kesling : Kesehatan Lingkungan

KIA : Kesehatan Ibu dan Anak

KIE : Komunikasi, Informasi dan Edukasi KPP : Kelompok Puskesmas Pelaksana LCPK : Latihan Cepat Pekarya Kesehatan LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat MDGs : Millenium Development Goals OAT : Obat Anti Tuberkulosis

Permenkes : Peraturan Menteri Kesehatan PMO : Pengawasan Menelan Obat Puskesmas : Pusat Kesehatan Masyarakat

PPI : Penatalaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi PPM : Puskesmas Pelaksana Mandiri

P2PM : Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular Promkes : Promosi Kesehatan

PRM : Puskesmas Rujukan Mikroskopis

PS : Puskesmas Satelit

Riskesdas : Riset Kesehatan Dasar SDM : Sumber Daya Manusia

SK : Surat Keputusan

SPK : Sekolah Perawat Kesehatan SPO : Standar Prosedur Operasional SPS : Sewaktu, Pagi, Sewaktu

TB : Tuberkulosis

TEMPO : Temukan pasien secepatnya, Pisahkan secara aman, Obati secara tepat

UKM : Upaya Kesehatan Masyarakat UKP : Upaya Kesehatan Perorangan


(20)

UPK : Unit Pelayanan Kesehatan Wasor : Wakil Supervisor


(21)

ABSTRAK

Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dan salah satu penyebab kematian sehingga perlu dilaksanakan program penanggulangan tuberkulosis secara berkesinambungan. Di Puskesmas Pijorkoling pada tahun 2013, cakupan penemuan kasus TB paru sebesar 11,23% atau dari 187 suspek TB paru yang ditemukan dan yang ditangani 21 orang. Data tersebut menunjukkan masih adanya kendala dalam pelaksanaan program penanggulangan TB paru.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui secara jelas dan lebih mendalam tentang implementasi program penanggulangan TB paru di Puskesmas Pijorkoling. Jenis penelitian adalah penelitian kualitatif dengan metode wawancara mendalam terhadap 7 informan yang terdiri dari Dinas Kesehatan Kota Padangsidimpuan, Kepala Puskesmas Pijorkoling, Petugas TB Paru Puskesmas Pijorkoling, Petugas Analis Puskesmas Padangmatinggi, Penderita TB Paru, Penderita TB Paru sembuh dan Pengawas Menelan Obat. Analisa data dengan metode Miles dan Huberman.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi program penanggulangan TB paru belum berjalan dengan maksimal. Hal ini ditandai dengan kurangnya komitmen politis, tidak adanya kerjasama lintas sektor, minimnya dukungan dana, petugas belum mendapatkan pelatihan, penemuan kasus kebanyakan hanya menunggu, kegiatan penjaringan dan penyuluhan hanya dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan puskesmas keliling, dan masyarakat tidak kooperatif.

Berdasarkan hasil penelitian, diharapkan kepada Pemda Kota Padangsidimpuan agar meningkatkan komitmen, kepada Dinas Kota Padangsidimpuan meningkatkan pengawasan, pemantauan dan kualitas tenaga kesehatan. Kepada puskesmas agar meningkatkan kerjasama lintas sektor, lintas program, penyuluhan dan sosialisasi TB paru, manajemen, kepada petugas TB paru agar lebih aktif melakukan kegiatan penemuan kasus TB paru, memanfaatkan sarana dan prasarana.


(22)

ABSTRACT

Tuberculosis is a transmitted disease which still becomes the health problem for the people and one of the causes of mortality so that it is necessary to implement the handling program of tuberculosis continuously. In Pijorkoling Puskesmas, in 2013, the coverage of lung tuberculosis was 11.23%, or of 187 lung tuberculosis suspects, only 21 of them have been handled. These data indicate that there are some obstacles in handling lung tuberculosis.

The objective of the research was to find out clearly and deeply the implementation of the handling program of lung tuberculosis at Pijorkoling Puskesmas. The research used qualitative method by conducting in-depth interviews with seven informants that consisted of the Head of Padangsidempuan Health Service, the Head of Pijorkoling Puskesmas, the analysts of Padangmatinggi Puskesmas, lung tuberculosis patients, recovered lung tuberculosis patients, and medicine taking supervisors. The data were analyzed by using Miles and Huberman methods.

The result of the research showed that the implementation of the handling lung tuberculosis problem was not done maximally as indicated by the lack of political commitment, the absence of cross sectoral cooperation, the lack of financial support, the lack of training for the health personnel, the case was found only accidentally, the activity of netting and counseling was done at the same time by itinerant puskesmas, and people did not cooperative.

It is recommended that Padangsidempuan City Administration increase their commitment and the Health Service increase supervision, control, and the quality of health care supervisors. It is also recommended that the management of Puskesmas increase cross sectoral cooperation cross program, counseling, and socialization on lung tuberculosis and management. The lung-tuberculosis personnel should activate the finding of lung tuberculosis case and use facility and infrastructure.


(23)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit menular masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang menimbulkan kesakitan, kematian, dan kecacatan yang tinggi sehingga perlu dilakukan penyelenggaraan penanggulangan melalui upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan yang efektif dan efisien (Permenkes RI No. 82 tahun 2014). Salah satu penyakit menular yang berbahaya adalah tuberkulosis. Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dan salah satu penyebab kematian sehingga perlu dilaksanakan program penanggulangan tuberkulosis secara berkesinambungan (Kepmenkes RI No. 364 tahun 2009).

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang menjadi tantangan global dan salah satu penyakit yang penanggulangannya menjadi komitmen global dalam Millenium Development Goals (MDGs) (Kemenkes, 2012). Indikator pencapaian MDGs 2015 yaitu meningkatkan proporsi jumlah kasus TB yang terdeteksi mencapai 70% serta meningkatkan proporsi kasus TB yang diobati dan sembuh mencapai 85% (Kemenkes, 2011).

World Health Organization (WHO) memperkirakan sepertiga dari populasi dunia telah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis. Penyakit TB merupakan penyebab kematian kedua yang diakibatkan oleh agen infeksi tunggal. Data WHO tahun 2013 melaporkan bahwa terdapat 9 juta orang penderita TB dan terdapat 1,5 juta orang meninggal akibat TB (WHO, 2013).


(24)

Indonesia memiliki jumlah kasus TB terbesar kelima di dunia setelah India, Cina, Afrika Selatan dan Nigeria. Indonesia memiliki beban TB yang tinggi, hal ini terbukti pada tahun 2013 ditemukan jumlah kasus baru TB paru sebanyak 196.310 kasus. Jumlah kasus tertinggi yang dilaporkan terdapat di provinsi dengan jumlah penduduk yang besar yaitu Jawa Barat (33,46%), Jawa Timur (23,7%), dan Jawa Tengah (20,47%). Menurut hasil Riskesdas tahun 2013, prevalensi TB berdasarkan diagnosis sebesar 0,4% dari jumlah penduduk Indonesia, sehingga rata-rata tiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 400 orang yang terdiagnosis kasus TB paru (Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013).

Di Indonesia, kasus TB paru pada laki-laki lebih tinggi (59,8%) dibanding kasus TB paru pada perempuan (40,2%). Seluruh provinsi di Indonesia, kasus TB paru lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan. Disparitas paling tinggi antara laki-laki dan perempuan terjadi di Sumatera Utara, kasus pada laki-laki sebanyak 66,8% yaitu dua kali lipat dari kasus pada perempuan sebanyak 33,2% (Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013). Penderita TB paru yang ditemukan di Sumatera Utara pada tahun 2012 sebanyak 19.879 dan 117 orang diantaranya meninggal dunia (Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara tahun 2012). Jumlah penderita TB paru yang ditemukan pada tahun 2012 mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan tahun 2011. Pada tahun 2011 jumlah penderita TB paru yang ditemukan sebanyak 16.969 kasus (Profil Kesehatan Indonesa Tahun 2011).

Penanggulangan kasus TB paru di Indonesia dilaksanakan dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse). Program tersebut merupakan


(25)

program penanggulangan TB paru yang direkomendasikan oleh WHO dan telah menjadi program TB paru secara nasional. Penanggulangan dengan strategi DOTS dapat memberikan angka kesembuhan yang tinggi dan merupakan strategi kesehatan dengan pembiayaan yang efektif (Depkes, 2002).

Menurut WHO, strategi DOTS terdiri dari 5 komponen yaitu komitmen politis dari para pengambil keputusan, diagnosis TBC dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis, pengobatan dengan panduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO), kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin dan pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TBC (Depkes, 2002).

Pada tahun 1999, Indonesia membentuk GERDUNAS-TBC (Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan Tuberkulosis) sebagai salah satu dasar kebijakan pengendalian TB paru. GERDUNAS-TBC merupakan wadah yang memperluas pelaksanaan penanggulangan TB paru dengan keikutsertaan berbagai sektor yang terkait dalam menanggulangi masalah TB paru. Dalam pelaksanaan program tersebut masih mengalami kegagalan, hal ini disebabkan karena tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan, tidak memadainya organisasi pelayanan TB (kurang terakses oleh masyarakat, penemuan kasus/diagnosis yang tidak standar, obat tidak terjamin penyediaannya, tidak dilakukan pemantauan, pencatatan dan pelaporan yang standar), dan tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan panduan obat yang tidak standar, gagal menyembuhkan kasus yang telah didiagnosis) (Kemenkes, 2011).


(26)

Kota Padangsidimpuan merupakan salah satu kota yang terdapat di Provinsi Sumatera Utara, terdapat jumlah suspek TB paru sebanyak 3.223 orang dengan BTA positif sebanyak 326 penderita TB paru. Jumlah yang meninggal karena TB paru sebanyak 6 orang dengan angka kesembuhan yang telah dicapai 69,63% dan angka penemuan kasus mencapai 10,11% (Profil Kesehatan Kota Padangsidimpuan, 2013).

Data dari Dinas Kesehatan Kota Padangsidimpuan mengenai angka kesembuhan dan keberhasilan pengobatan TB Paru menurut puskesmas Kota Padangsidimpuan tahun 2013 dapat dilihat pada tabel 1.1 berikut:

Tabel 1.1 Angka Kesembuhan dan Angka Keberhasilan Pengobatan TB Paru BTA Positif Menurut Kecamatan dan Puskesmas Kota Padangsidimpuan Tahun 2013

No. Nama

Puskesmas Suspek BTA positif yang diobati

Sembuh Sembuh (%)

Angka Keberhasilan

Pengobatan (%)

1. Pijorkoling 187 21 5 23,81% 23,81%

2. Labuhan Rasoki 145 9 8 88,89% 88,89%

3. Padangmatinggi 1.208 128 93 72,66% 73,44%

4. Sidangkal 151 12 7 58,33% 83,33%

5. Batunadua 280 28 14 50,00% 50,00%

6. Sadabuan 955 100 81 81,00% 83,00%

7. Hutaimbaru 154 16 9 56,25% 56,25%

8. Pokenjior 92 9 8 88,89% 100,0%

9. Pintu Langit 51 3 2 66,67% 66,67%

Jumlah 3.233 326 227 69,63% 71,78%

Sumber: Profil Dinkes Kota Padangsidimpuan Tahun 2013

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan pada tahun 2013 diketahui angka kesembuhan yang paling rendah terdapat pada Puskemas Pijorkoling sebesar 23,81%. Jumlah BTA (Basil Tahan Asam) positif yang diobati di Puskesmas Pijorkoling terdapat 21 orang dari 197 suspek.


(27)

Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan penulis di Puskesmas Pijorkoling dengan petugas TB paru bahwa program penanggulangan TB paru dilaksanakan sesuai dengan DOTS. Puskesmas bekerjasama dengan Puskesmas Padangmatinggi selaku Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM) dalam pelaksanaan program tersebut. Puskemas memiliki 1 petugas program TB paru dan 1 dokter umum. Petugas program TB paru tidak mendapatkan pelatihan DOTS.

Pelaksanaan program penanggulangan TB paru di Puskesmas Pijorkoling meliputi kegiatan penemuan kasus, pemeriksaan BTA positif, pengobatan dan pemantauan, penyuluhan. Alur diagnosis TB paru yaitu penderita suspek TB paru yang memiliki gejala batuk berdahak selama kurang lebih satu bulan memeriksakan kesehatan ke puskesmas, kemudian dilakukan pemeriksaan BTA positif sebanyak tiga kali. Jika dari ketiga hasil pemeriksaan sputum terdapat dua BTA positif, maka suspek TB paru dapat dinyatakan sebagai penderita TB paru. Penderita TB paru menjalani pengobatan selama kurang lebih 6 bulan dan membutuhkan seorang PMO. PMO berasal dari anggota keluarga penderita yang disegani dan dihormati.

Pelaksanaan program tersebut belum optimal dan masih dijumpai kendala seperti petugas TB paru hanya menunggu penderita TB paru datang ke puskesmas dan diagnosis yang lama, hal ini kemungkinan terjadi karena petugas TB paru tidak memahami prosedur dalam penemuan kasus. Berdasarkan data profil Dinas Kesehatan Kota Padangsidimpuan, diketahui cakupan penemuan kasus TB paru di Puskesmas Pijorkoling masih rendah dan masih mengalami penurunan. Pada


(28)

tahun 2013, dari 187 suspek TB paru yang ditemukan dan yang ditangani 21 orang atau 11,23%; angka ini mengalami penurunan bila dibandingkan tahun 2012 yaitu 30 suspek TB paru yang ditemukan dan 30 orang ditangani atau 100%. Pada tahun 2011, dari 40 suspek TB paru yang ditemukan dan yang ditangani 18 orang atau 18%, sementara target penemuan kasus mencapai 70%. Data tersebut menunjukkan masih adanya kendala dalam pelaksanaan program penanggulangan TB paru.

Penelitian Awusi dkk (2009) tentang faktor-faktor mempengaruhi penemuan penderita TB paru di kota Palu menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap penemuan kasus meliputi penjaringan suspek TB, pelayanan KIE TB dan pelatihan DOTS. Faktor dominan yang paling berpengaruh terhadap penemuan penderita TB paru di kota Palu adalah penjaringan suspek TB, sehingga perlu peningkatan intensitas program penjaringan suspek TB dengan memperhatikan riwayat kontak serumah.

Penelitian sebelumnya oleh Nurainun (2009) menyatakan bahwa masih terdapat faktor penyebab kurang optimalnya pelaksanaan penanggulangan TB paru. Faktor tersebut yaitu rendahnya komitmen politik dari para pengambil keputusan termasuk dukungan dana dan penyuluhan tentang TB Paru.

Penelitian Aboy (2013) tentang implementasi program penanggulangan tuberkulosis di Puskesmas Kampung Dalam kota Pontianak mengatakan bahwa program penanggulangan tuberkulosis belum maksimal karena sebagian perawat belum memahami sepenuhnya prosedur penanggulangan dan kurang mendapatkan


(29)

pelatihan serta sistem pelaporan yang belum maksimal, akibatnya kegiatan pelayanan terhadap penderita TB menjadi terhambat.

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang proses implementasi program penanggulangan TB paru di puskesmas Pijorkoling kota Padangsidimpuan.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini implementasi program penanggulangan TB paru di Puskesmas Pijorkoling kota Padangsidimpuan.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi program penanggulangan TB Paru di Puskesmas Pijorkoling kota Padangsidimpuan.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi kepada Dinas Kesehatan Kota Padangsidimpuan tentang pelaksanaan program penanggulangan penyakit TB Paru di Puskesmas Pijorkoling.

2. Memberikan masukan kepada Puskesmas Pijorkoling untuk meningkatkan pelaksanaan program penanggulangan TB Paru.

3. Sebagai gambaran dalam memberikan informasi dan pengetahuan kepada masyarakat serta dapat dijadikan sebagai acuan bagi penelitian berkelanjutan.


(30)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis

2.1.1 Pengertian Tuberkulosis

Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang sebagian besar disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Kuman tersebut biasanya masuk ke dalam tubuh manusia melalui udara yang dihirup ke dalam paru, kemudian kuman tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lain melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfa, melalui saluran pernafasan (bronchus) atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya TB paru pada manusia dapat dijumpai dalam dua bentuk, yaitu:

1. Tuberkulosis primer: bila penyakit terjadi pada infeksi pertama kali.

2. Tuberkulosis pascaprimer: bila penyakit timbul setelah beberapa waktu seseorang terkena infeksi dan sembuh. TBC ini merupakan bentuk yang paling sering ditemukan. Penderita merupakan sumber penularan dikarenakan dalam dahaknya terdapat kuman tersebut (Notoatmodjo, 2011).

Menurut departemen Kesehatan RI tahun 2009, TB adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman TB menyerang paru tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Penyakit ini menyebar dan ditularkan melalui udara ketika orang yang terinfeksi TB paru batuk, bersin, berbicara atau meludah. Millennium Development Goals (MDGs) menjadikan penyakit TB paru sebagai salah satu penyakit menjadi target untuk


(31)

diturunkan, selain Malaria dan AIDS. Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah sangat serius di masyarakat. TB merupakan salah satu jenis penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, dan menjadi salah satu prioritas dalam program pencegahan dan pemberantasan penyakit menular (Wibowo, 2014).

2.1.2 Penyebab Tuberkulosis

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TBC (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TBC menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Kemenkes, 2011).

Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TBC cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur lama selama beberapa tahun (Depkes, 2002). 2.1.3 Penularan Tuberkulosis

Sumber penularan adalah penderita TBC BTA positif. Pada waktu batuk dan bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan. Setelah kuman TBC masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman TBC tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya (Depkes, 2002).


(32)

Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular (Depkes, 2002).

Kuman M. Tuberkulosis pada penderita TB paru dapat terlihat langsung dengan mikroskop apabila sediaan dahaknya menghasilkan BTA positif (sangat infeksius). Kuman tidak dapat dilihat langsung dengan mikroskop apabila sediaan dahaknya menghasilkan BTA negatif (sangat kurang menular). Penderita TB BTA positif mengeluarkan kuman-kuman di udara dalam bentuk droplet yang sangat kecil pada waktu bersin atau batuk. Droplet yang sangat kecil ini mengering dengan cepat dan menjadi droplet yang mengandung kuman tuberkulosis dan dapat bertahan di udara selama beberapa jam (Notoatmodjo, 2011).

2.1.4 Manifestasi Klinis

Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang umumnya menimbulkan tanda-tanda dan gejala yang sangat bervariasi pada masing-masing penderita, mulai dari tanpa gejala hingga gejala yang sangat akut dan hanya beberapa bulan setelah diketahui sehat hingga beberapa tahun sering tidak ada hubungan antara lama sakit maupun luasnya penyakit.

Tanda-tanda dan gejala penderita TBC adalah:

a. Sistemik: malaise, anoreksia, berat badan menurun, keringat malam. Akut: demam tinggi, seperti flu, menggigil milier, demam akut, sesak nafas, dan sianosis.


(33)

b. Respiratorik: batuk-batuk lama lebih dari 2 minggu, riak yang mukoid, nyeri dada, batuk darah, dan gejala-gejala lain, yaitu bila ada tanda-tanda penyebaran ke organ-organ lain seperti pleura: nyeri pleuritik, sesak nafas, ataupun gejala meningeal, yaitu nyeri kepala, kaku kuduk, dan lain-lain (Notoatmodjo, 2011).

2.1.5 Riwayat Terjadinya Tuberkulosis 1. Infeksi Primer

Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TBC. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus, dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap di sana. Infeksi dimulai saat kuman TBC berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam paru. Saluran limfe akan membawa kuman TBC ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah sekitar 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif.

Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TBC. Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman dormant atau tidur. Jika daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang


(34)

bersangkutan akan menjadi penderita TBC. Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan. 2. Tuberkulosis Pasca Primer (Post Primary TBC)

Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya efusi pleura (Depkes, 2002).

2.1.6 Penentuan Klasifikasi dan Tipe Tuberkulosis

Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien TB memerlukan suatu “definisi kasus” yang meliputi empat hal, yaitu:

1. Lokasi atau organ tubuh yang sakit (paru atau ekstra paru);

2. Bakteriologi dilihat dari hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis (BTA positif atau BTA negatif);

3. Tingkat keparahan penyakit (ringan atau berat);

4. Riwayat pengobatan TB sebelumnya (baru atau sudah pernah diobati). Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe pasien adalah

1. Menentukan paduan pengobatan yang sesuai 2. Registrasi kasus secara benar

3. Menentukan prioritas pengobatan TB BTA positif 4. Analisis kohort hasil pengobatan

5. Memonitor kemajuan dan mengevaluasi efektifitas program secara akurat, baik pada tingkat kabupaten, provinsi, nasional, regional maupun dunia


(35)

A.Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena

1. TB paru adalah TB yang menyerang jaringan paru. Tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.

2. TB ekstra paru adalah TB yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.

B.Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis 1 TB paru BTA positif

a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada

menunjukkan gambaran TB.

c. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif. d. 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS

pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

2. TB paru BTA negatif

Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:

a. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif b. Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran TB.

c. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. d. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.


(36)

C.Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien, yaitu:

1. Kasus Baru

Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

2. Kasus yang sebelumnya diobati a) Kambuh (Relaps)

Adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).

b) Pengobatan setelah putus berobat (Default)

Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.

c) Gagal (Failure)

Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

3. Pindahan (Transfer In)

Adalah pasien yang dipindahkan dari sarana pelayanan kesehatan yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.

4. Lain-lain:

Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA


(37)

positif setelah selesai pengobatan ulangan. TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal, default maupun menjadi kasus kronik (Kemenkes, 2011).

2.1.7 Pencegahan Tuberkulosis

Penatalaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) TB penting untuk mencegah tersebarnya kuman TB. Semua fasilitas kesehatan perlu menerapkan upaya PPI TB untuk memastikan berlangsungnya deteksi segera, tindakan pencegahan dan pengobatan seseorang yang dicurigai atau dipastikan menderita TB. Upaya tersebut berupa pengendalian infeksi dengan 4 pilar, yaitu:

1. Pengendalian manajerial 2. Pengendalian administratif 3. Pengendalian lingkungan

4. Pengendalian dengan Alat Pelindung Diri (APD)

PPI TB pada situasi/kondisi khusus adalah pelaksanaan pengendalian infeksi pada rutan/lapas, rumah penampungan sementara, barak-barak militer, tempat-tempat pengungsi, asrama, dan sebagainya. Misalnya di rutan/lapas skrining TB harus dilakukan dan kontak sekamar.

1. Pengendalian manajerial

Pihak manajerial adalah pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan, kepala dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota dan/atau atasan dari institusi terkait. Komitmen, kepemimpinan dan dukungan manajemen yang efektif berupa penguatan dari upaya manajerial bagi program PPI TB yang meliputi:


(38)

b. Membuat Standar Prosedur Operasional (SPO) mengenai alur pasien untuk semua pasien batuk, alur pelaporan dan surveilans

c. Membuat perencanaan program PPI TB secara komprehensif

d. Memastikan desain dan persyaratan bangunan serta pemeliharaannya sesuai PPI TB

e. Menyediakan sumber daya untuk terlaksananya program PPI TB (tenaga, anggaran, sarana dan prasarana) yang dibutuhkan

f. Monitoring dan evaluasi

g. Melakukan kajian di unit terkait penularan TB

h. Melaksanakan promosi pelibatan masyarakat dan organisasi masyarakat terkait PPI TB

2. Pengendalian administratif

Adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah/mengurangi pajanan kuman TB kepada petugas kesehatan, pasien, pengunjung dan lingkungan dengan menyediakan, mendiseminasikan dan memantau pelaksanaan standar prosedur dan alur pelayanan.

Upaya ini mencakup:

a. Strategi TEMPO (TEMukan pasien secepatnya, Pisahkan secara aman, Obati secara tepat)

b. Penyuluhan pasien mengenai etika batuk

c. Penyediaan tisu dan masker, tempat pembuangan tisu serta pembuangan dahak yang benar


(39)

d. Pemasangan poster, spanduk dan bahan untuk Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE)

e. Skrining bagi petugas yang merawat pasien TB

Pengendalian administratif lebih mengutamakan strategi TEMPO yaitu penjaringan, diagnosis dan pengobatan TB dengan cepat dan tepat sehingga dapat mengurangi penularan TB secara efektif. Penerapannya mudah dan tidak membutuhkan biaya besar, dan ideal untuk diterapkan. Dengan menggunakan strategi TEMPO akan mengurangi risiko penularan kasus TB dan TB resisten obat yang belum terindentifiasi.

3. Pengendalian lingkungan

Adalah upaya peningkatan dan pengaturan aliran udara/ventilasi dengan menggunakan teknologi untuk mencegah penyebaran dan mengurangi/menurunkan kadar percik renik di udara. Upaya pengendalian dilakukan dengan menyalurkan percik renik ke arah tertentu (directional airflow) dan atau ditambah dengan radiasi ultraviolet sebagai germisida 4. Pengendalian dengan alat pelindung diri

Penggunaan alat pelindung diri pernapasan oleh petugas kesehatan di tempat pelayanan sangat penting untuk menurunkan risiko terpajan, sebab kadar percik renik tidak dapat dihilangkan dengan upaya administratif dan lingkungan. Petugas kesehatan menggunakan respirator dan pasien menggunakan masker bedah. Petugas kesehatan dan pengunjung perlu mengenakan respirator jika berada bersama pasien TB di ruangan tertutup. Pasien atau tersangka TB tidak perlu menggunakan respirator tetapi cukup


(40)

menggunakan masker bedah untuk melindungi lingkungan sekitarnya dari droplet (Kemenkes, 2014).

2.1.8 Pengawasan Menelan Obat (PMO) Tuberkulosis

Pengawasan Menelan Obat (PMO) tuberkulosis diperlukan untuk menjamin keteraturan pengobatan penderita tuberkulosis. PMO adalah petugas kesehatan, misalnya bidan di desa, perawat dan sanitarian. Bila tidak ada petugas kesehatan yang menjadi PMO, maka PMO boleh berasal dari kader kesehatan, guru, tokoh masyarakat dan anggota keluarga (Kemenkes, 2011).

Persyaratan untuk menjadi seorang PMO yang harus dipenuhi yaitu PMO harus seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien; PMO harus seseorang yang tinggal dekat dengan pasien; bersedia membantu pasien dengan sukarela; bersedia dilatih dan mendapatkan penyuluhan bersama dengan pasien (Depkes, 2002).

Tugas seorang PMO adalah mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan; memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur; mengingatkan pasien untuk periksa ulang sputum pada waktu yang telah ditentukan; memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke fasilitas pelayanan kesehatan. Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien mengambil obat dari unit pelayanan kesehatan (Kemenkes, 2011).


(41)

2.2 Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) 2.2.1 Pengertian Puskesmas

Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya (Permenkes RI No. 75 tahun 2014).

2.2.1.1Pengertian Upaya Kesehatan Masyarakat dan Upaya Kesehatan Perseorangan

Upaya Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disingkat UKM adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah dan menanggulangi timbulnya masalah kesehatan dengan sasaran keluarga, kelompok, dan masyarakat (Permenkes RI No. 75 tahun 2014).

Upaya Kesehatan Perseorangan yang selanjutnya disingkat UKP adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang ditujukan untuk peningkatan, pencegahan, penyembuhan penyakit, pengurangan penderitaan akibat penyakit dan memulihkan kesehatan perseorangan (Permenkes RI No. 75 tahun 2014).


(42)

2.2.2 Prinsip Penyelenggaraan Puskesmas Prinsip penyelenggaraan puskesmas meliputi: a. Paradigma sehat

Puskesmas mendorong seluruh pemangku kepentingan untuk berkomitmen dalam upaya mencegah dan mengurangi resiko kesehatan yang dihadapi individu, keluarga, kelompok dan masyarakat.

b. Pertanggungjawaban wilayah

Puskesmas menggerakkan dan bertanggung jawab terhadap pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya.

c. Kemandirian masyarakat

Puskesmas mendorong kemandirian hidup sehat bagi individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat.

d. Pemerataan

Puskesmas menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang dapat diakses dan terjangkau oleh seluruh masyarakat di wilayah kerjanya secara adil tanpa membedakan status sosial, ekonomi, agama, budaya dan kepercayaan.

e. Teknologi tepat guna

Puskesmas menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan dengan memanfaatkan teknologi tepat guna yang sesuai dengan kebutuhan pelayanan, mudah dimanfaatkan dan tidak berdampak buruk bagi lingkungan.

f. Keterpaduan dan kesinambungan

Puskemas mengintegrasikan dan mengoordinasikan penyelenggaraan UKM dan UKP lintas program dan lintas sektor serta melaksanakan Sistem Rujukan


(43)

yang didukung dengan manajemen puskesmas (Permenkes RI No. 75 tahun 2014).

2.2.3 Tugas, Fungsi dan Wewenang Puskesmas

Puskesmas mempunyai tugas melaksanakan kebijakan kesehatan untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya dalam rangka mendukung terwujudnya kecamatan sehat. Dalam melaksanakan tugas, Puskesmas menyelenggarakan fungsi:

1. Penyelenggaraan UKM tingkat pertama di wilayah kerjanya; dan 2. Penyelenggaraan UKP tingkat pertama di wilayah kerjanya.

Dalam menyelenggarakan fungsi UKM, Puskesmas berwenang untuk:

a. Melaksanakan perencanaan berdasarkan analisis masalah kesehatan masyarakat dan analisis kebutuhan pelayanan yang diperlukan;

b. Melaksanakan advokasi dan sosialisasi kebijakan kesehatan;

c. Melaksanakan komunikasi, informasi, edukasi, dan pemberdayaan masyarakat dalam bidang kesehatan;

d. Menggerakkan masyarakat untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah kesehatan pada setiap tingkat perkembangan masyarakat yang bekerjasama dengan sektor lain terkait;

e. Melaksanakan pembinaan teknis terhadap jaringan pelayanan dan upaya kesehatan berbasis masyarakat;

f. Melaksanakan peningkatan kompetensi sumber daya manusia Puskesmas; g. Memantau pelaksanaan pembangunan agar berwawasan kesehatan;


(44)

h. Melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap akses, mutu, dan cakupan Pelayanan Kesehatan; dan

i. Memberikan rekomendasi terkait masalah kesehatan masyarakat, termasuk dukungan terhadap sistem kewaspadaan dini dan respon penanggulangan penyakit.

Dalam menyelenggarakan fungsi UKP, Puskesmas berwenang untuk:

a. Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan dasar secara komprehensif, berkesinambungan dan bermutu;

b. Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang mengutamakan upaya promotif dan preventif;

c. Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang berorientasi pada individu, keluarga, kelompok dan masyarakat;

d. Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang mengutamakan keamanan dan keselamatan pasien, petugas dan pengunjung;

e. Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan dengan prinsip koordinatif dan kerja sama inter dan antar profesi;

f. Melaksanakan rekam medis;

g. Melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap mutu dan akses Pelayanan Kesehatan;

h. Melaksanakan peningkatan kompetensi Tenaga Kesehatan;

i. Mengoordinasikan dan melaksanakan pembinaan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama di wilayah kerjanya; dan


(45)

j. Melaksanakan penapisan rujukan sesuai dengan indikasi medis dan Sistem Rujukan (Permenkes RI No. 75 tahun 2014).

2.2.4 Puskesmas dalam Program Penanggulangan Tuberkulosis Paru

Dalam upaya penanggulangan tuberkulosis KPP (kelompok puskesmas pelaksana) yang terdiri dari:

a. Puskesmas Satelit (PS)

Puskesmas Satelit adalah puskesmas yang tidak memiliki laboratorium sendiri. Fungsi puskesmas ini adalah melakukan pengambilan dahak, pembuatan sediaan sampai fiksasi sediaan dahak. Kemudian sediaan dahak tersebut dikirim ke Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM) untuk dibaca hasilnya.

b. Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM)

Puskesmas rujukan mikroskopis adalah puskesmas yang sudah memiliki laboratorium sendiri. Puskesmas biasanya dikelilingi oleh 5 puskesmas satelit. Fungsi dari PRM adalah sebagai puskesmas rujukan dalam pemeriksaan slide sediaan dahak dan pelaksana pemeriksaan dahak untuk tuberkulosis.

c. Puskesmas Pelaksana Mandiri (PPM)

Pada geografis yang sulit, dibentuk puskesmas pelaksana mandiri. Puskesmas pelaksana mandiri ini berfungsi seperti puskesmas rujukan mikroskopis, hanya saja pada puskesmas ini tidak bekerja sama dengan puskesmas satelit (Kemenkes, 2011).


(46)

2.3 Program Penanggulangan Tuberkulosis

Pada tahun 1995, program nasional pengendalian TB mulai menerapkan strategi DOTS dan dilaksanakan di Puskesmas secara bertahap. Sejak tahun 2000 strategi DOTS dilaksanakan secara Nasional di seluruh Fasyankes terutama Puskesmas yang di integrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar (Kemenkes, 2011).

Penanggulangan dengan strategi DOTS dapat memberikan angka kesembuhan yang tinggi. WHO menyatakan strategi DOTS merupakan strategi kesehatan yang paling cost effective. Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci, yaitu:

1. Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana. 2. Diagnosis TBC dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis.

3. Pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh PMO.

4. Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin. 5. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memdahkan pemantauan dan

evaluasi program penanggulangan TBC (Depkes, 2002). 2.3.1 Tujuan Program Penanggulangan TB Paru

Adapun tujuan program penanggulangan TB paru yaitu menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB paru dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, sehingga penyakit TB paru tidak menjadi masalah kesehatan Indonesia (Kemenkes, 2011).


(47)

2.3.2 Strategi Program Penanggulangan TB Paru

Sasaran strategi nasional pengendalian TB ini mengacu pada rencana strategis kementerian kesehatan dari 2015 sampai dengan tahun 2019 yaitu menurunkan prevalensi TB menjadi 272 per 100.000 penduduk (Kemenkes, 2015). Sasaran keluaran adalah: (1) meningkatkan presentase keberhasilan pengobatan kasus baru TB paru (BTA positif) mencapai 88%; (2) meningkatkan presentase angka penemuan kasus mencapai 70%; (3) meningkatkan presentase angka kesembuhan mencapai 85% (Kemenkes, 2011).

2.3.3 Kebijakan Program Penangulangan TB Paru Kebijakan penanggulangan TB Paru mencakup:

1) Pengendalian TB di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan azas desentralisasi dalam kerangka otonomi dengan Kabupaten/kota sebagai titik berat manajemen program, yang meliputi: perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta menjamin ketersediaan sumber daya (dana, tenaga, sarana dan prasarana).

2) Pengendalian TB dilaksanakan dengan menggunakan strategi DOTS dan memperhatikan strategi Global Stop TB Partnership (upaya untuk mempercepat penurunan angka kematian dan kesakitan akibat TB paru sesuai dengan target MDGs).

3) Penguatan kebijakan ditujukan untuk meningkatkan komitmen daerah terhadap program pengendalian TB.


(48)

4) Penguatan strategi DOTS dan pengembangannya ditujukan terhadap peningkatan mutu pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan dan pengobatan sehingga mampu memutuskan rantai penularan.

5) Penemuan dan pengobatan dalam rangka pengendalian TB dilaksanakan oleh seluruh Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes), meliputi Puskesmas, Rumah Sakit Pemerintah Balai/Klinik Pengobatan, Dokter Praktek Swasta (DPS) dan fasilitas kesehatan lainnya.

6) Pengendalian TB dilaksanakan melalui penggalangan kerja sama dan kemitraan diantara sektor pemerintah, non pemerintah, swasta dan masyarakat dalam wujud Gerakan Terpadu Nasional Pengendalian TB (Gedurnas TB).

7) Peningkatan kemampuan laboratorium diberbagai tingkat pelayanan ditujukan untuk peningkatan mutu dan akses layanan.

8) Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk pengendalian TB diberikan secara Cuma-Cuma dan dikelola dengan manajemen logistik yang efektif demi menjamin ketersediaannya.

9) Ketersediaan tenaga yang kompeten dalam jumlah yang memadai untuk meningkatkan dan mempertahankan kinerja program.

10) Pengendalian TB lebih diprioritaskan kepada kelompok miskin dan kelompok rentan lainnya terhadap TB.

11) Pasien TB tidak dijauhkan dari keluarga, masyarakat dan pekerjaannya.

12) Memperhatikan komitmen internasional yang termuat dalam MDGs (Kemenkes, 2011).


(49)

2.4 Kegiatan Program TB Paru

Kegiatan program penanggulangan TB paru meliputi kegiatan pokok dan kegiatan pendukung. Kegiatan pokok mencakup kegiatan penemuan kasus (case finding) dan penegakan diagnosis. Salah satu kegiatan pendukung program tersebut yaitu penyuluhan kepada masyarakat (Wibowo, 2014).

2.4.1 Penemuan Kasus Tuberkulosis

Penemuan penderita tuberkulosis didasarkan pada gejala umum yaitu, batuk terus menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih. Gejala lain yang sering dijumpai yaitu dahak bercampur dahak, batuk darah, sesak nafas dan nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan, dan demam meriang lebih dari sebulan. Setiap orang yang datang ke UPK (Unit Pelayanan Kesehatan) dengan gejala tersebut, harus dianggap sebagai seorang suspek tuberkulosis atau tersangka penderita TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis secara langsung (Depkes, 2002).

Penemuan penderita merupakan langkah pertama dalam kegiatan tatalaksana pasien TB. Penemuan dan penyembuhan penderita TB menular, secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat TB, penularan TB di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB yang paling efektif di masyarakat. Kegiatan ini membutuhkan adanya pasien yang memahami dan sadar akan gejala TB, akses terhadap fasilitas kesehatan dan adanya tenaga kesehatan yang kompeten yang mampu melakukan pemeriksaan terhadap gejala dan keluhan tersebut (Kemenkes, 2011).


(50)

Penemuan penderita TB paru secara pasif adalah penjaringan tersangka TB hanya dilaksanakan pada orang yang datang berkunjung ke unit pelayanan kesehatan (puskesmas). Dalam penemuan kasus secara pasif didukung dengan promosi aktif, yaitu petugas kesehatan memberikan penyuluhan secara aktif sehingga masyarakat mengetahui gejala penyakit TB paru. Dengan adanya promosi aktif dapat meningkatkan cakupan penemuan tersangka, hal ini disebut dengan penemuan kasus secara pasif dengan promosi aktif. Pelibatan semua layanan dimaksudkan untuk mempercepat penemuan dan mengurangi keterlambatan pengobatan.

Penemuan penderita TB paru secara aktif adalah penjaringan tersangka TB paru dilakukan dengan mengunjungi rumah yang dianggap sebagai sebagai tersangka. Penemuan secara aktif pada masyarakat umum, dinilai tidak cost efektif.

Penemuan secara aktif dapat dilakukan terhadap

a. Kelompok khusus yang rentan atau beresiko tinggi sakit TB seperti pada pasien dengan HIV (orang dengan HIV AIDS).

b. Kelompok yang rentan tertular TB seperti di rumah tahanan, lembaga pemasyarakatan (para narapidana), mereka yang hidup pada daerah kumuh, serta keluarga atau kontak pasien TB, terutama mereka yang dengan TB BTA postif.

c. Pemeriksaaan terhadap anak dibawah lima tahun pada keluarga TB harus dilakukan untuk menentukan tindak lanjut apakah diperlukan pengobatan TB atau pencegahan (Kemenkes, 2011).


(51)

2.4.2 Pemeriksaan Dahak Secara Mikroskopis

Diagnosis pasti TBC melalui pemeriksaan kultur atau biakan dahak. Pemeriksaan kultur memerlukan waktu lebih lama (paling cepat sekitar 6 minggu) dan mahal. Pemeriksaan 3 spesimen (SPS) dahak secara mikroskopis langsung nilainya identik dengan pemeriksaan dahak seara kultur atau biakan. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis merupakan pemeriksaan yang paling efisien, mudah dan murah, dan hampir semua unit laboratorium dapat melaksanakan. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis bersifat spesifik dan cukup sensitif. Tujuan pemeriksaan dahak yaitu (1) menegakkan diagnosis dan menentukan klasifikasi/tipe, (2) menilai kemajuan pengobatan, dan (3) menentukan tingkat penularan (Depkes, 2002).

Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang beurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS).

a. S (Sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.

b. P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dahak dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di Fasyankes.

c. S (Sewaktu): dahak dikumpulkan di Fasyankes pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi.


(52)

Pengambilan 3 spesimen dahak masih diutamakan dibanding dengan 2 spesimen dahak mengingat masih belum optimalnya fungsi sistem dan hasil jaminan mutu eksternal pemeriksaan laboratorium (Kemenkes, 2011).

2.4.3 Diagnosis Tuberkulosis

Diagnosis TB paru dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga spesimen SPS BTA hasilnya positif.

Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS diulang.

I. Kalau hasil rontgen mendukung TB, maka penderita didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif.

II. Kalau hasil rontgen tidak mendukung TB, maka pemeriksaan dahak diulang. Bila ketiga spesimen dahak hasilnya negatif, diberikan antibiotik spektrum luas (misalnya Kotrimoksasol atau Amoksilin) selama 1-2 minggu. Bila tidak ada perubahan, namun gejala klinis tetap mencurigakan TB, ulangi pemeriksaan dahak SPS.

I. Kalau hasil SPS positif, didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif

II. Kalau hasil SPS negatif, lakukan pemeriksaan foto rontgen dada, untuk mendukung diagnosis TB.

i.Bila hasil rontgen mendukung TB, didiagnosis sebagai penderita TB BTA negatif rontgen positif.


(53)

UPK yang tidak memiliki fasilitas rontgen, penderita dapat dirujuk untuk foto rontgen dada (Depkes, 2002).


(54)

Gambar 2.1 Alur diagnosis tuberkulosis

Sumber : Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis (2002) Tersangka penderita TBC

(suspek TBC)

Pemeriksaan dahak Sewaktu, Pagi, Sewaktu (SPS)

Hasil BTA - - - Hasil BTA + - - Hasil BTA + + + + + - Beri Antibiotik Spektrum Luas Periksa Rontgen dada Ada Perbaikan Tidak Ada Perbaikan Hasil Tidak Mendukung TBC Hasil Mendukung TBC

Ulangi Periksa dahak SPS

Hasil BTA + + + + + - + - - Hasil BTA - - - Penderita TBC BTA positif Penderita Rontgen Dada Hasil Mendukung TBC Hasil Rontgen Negatif Bukan TBC, Penyakit Lain TBC BTA Negatif


(55)

2.4.4 Penyuluhan Tuberkulosis

Penyuluhan TBC perlu dilakukan karena masalah TBC banyak berkaitan dengan masalah pengetahuan dan perilaku masyarakat. Tujuan penyuluhan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan dan peran serta masyarakat dalam penanggulangan TBC (Depkes, 2002).

Penyuluhan TBC dapat dilaksanakan dengan menyampaikan pesan penting secara langsung ataupun menggunakan media. Penyuluhan langsung bisa dilakukan perorangan dan masyarakat. Sementara penyuluhan tidak langsung dengan menggunakan media, dalam bentuk bahan cetak (leaflet, poster, atau spanduk) dan media massa berupa (media cetak dan media elektronik) (Depkes, 2002).

Dalam program penanggulangan TBC, penyuluhan langsung perorangan sangat penting artinya untuk menentukan keberhasilan pengobatan penderita. Penyuluhan ini ditujukan kepada suspek, penderita dan keluarganya, supaya penderita menjalani pengobatan secara teratur sampai sembuh. Bagi anggota keluarga yang sehat dapat menjaga, melindungi dan meningkatkan kesehatannya, sehingga terhindar dari penularan TBC. Penyuluhan dengan menggunakan bahan cetak dan media massa dilakukan untuk dapat menjangkau masyarakat yang lebih luas, untuk mengubah persepsi masyarakat tentang TBC dari “suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan memalukan”, menjadi “suatu penyakit yang berbahaya, tapi dapat disembuhkan”. Bila penyuluhan ini berhasil, akan meningkatkan penemuan penderita secara pasif (Depkes, 2002).


(56)

2.5 Pelatihan

Pelatihan merupakan salah satu upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Peningkatan kualitas tenaga dalam hal pengetahuan, sikap dan keterampilan untuk pengelolaan program TBC menjadi penting, mengingat keterbatasan sumber daya manusia yang ada. Pelatihan diberikan kepada semua tenaga yang terkait dengan program penanggulangan TBC, baik tenaga kesehatan maupun tenaga non kesehatan di semua jenjang administrasi pelaksana program (Depkes, 2002).

2.6 Monitoring dan Evaluasi

Monitoring dan evaluasi merupakan salah satu fungsi manajemen untuk menilai keberhasilan pelaksanaan program. Kegiatan monitoring dilaksanakan secara berkala dan terus menerus, untuk dapat segera mendeteksi bila ada masalah dalam pelaksanaan kegiatan yang telah direncanakan, supaya dapat dilakukan tindakan perbaikan segera (Depkes, 2002).

Evaluasi dilakukan setelah suatu jarak waktu (interval) lebih lama, biasanya setiap 6 bulan - 1 tahun. Dengan evaluasi dapat dinilai sejauh mana tujuan dan target yang telah ditetapkan sebelumnya dicapai. Dalam mengukur keberhasilan tersebut diperlukan indikator. Hasil evaluasi sangat berguna untuk kepentingan perencanaan program (Kemenkes, 2011).

Pada prinsipnya semua kegiatan harus dimonitor dan dievaluasi antara lain kegiatan penatalaksanaan penderita (penemuan diagnosis, dan pengobatan), pelayanan laboratorium, penyediaan obat dan bahan pelengkap lainnya, pelatihan petugas, penyuluhan, advokasi, dan supervisi. Seluruh kegiatan tersebut harus


(57)

dimonitor baik dari aspek masukan (input), proses, output, maupun keluaran (output). Cara pemantauan dilakukan dengan menelaah laporan, pengamatan langsung dan wawancara dengan petugas pelaksana maupun dengan masyarakat sasaran (Depkes, 2002).

2.7 Strategi DOTS

World Health Organization (WHO) telah memperkenalkan strategi Directly Observed Treatment Shortcource (DOTS) yang dijadikan sebagai program penanggulangan TB di Indonenesia. Sistem DOTS terdiri dari 5 komponen, yaitu perlunya komitmen politik penentu kebijakan, diagnosis dengan mikroskopis yang baik, pemberian obat yang baik dan diawasi secara baik, jaminan ketersediaan obat serta pencatatan dan pelaporan yang akurat (Aditama, 2002).

Pertama, adanya jaminan komitmen pemerintah untuk menanggulangi tuberkulosis di suatu negara. Komitmen politik penentu kebijakan merupakan faktor kunci penting. Secara umum komitmen pemerintah dibangun atas kesadaran tentang besarnya masalah TB dan pengetahuan tentang adanya program penanggulangan TB yang telah terbukti ampuh. Komitmen ini dimulai dengan keputusan pemerintah untuk menjadikan tuberkulosis sebagai prioritas penting atau utama dalam program kesehatannya.

Kedua, penemuan kasus dengan pemeriksaan mikroskopis, terutama bagi mereka yang datang ke fasilitas kesehatan karena keluhan paru dan pernapasan. Pendekatan ini disebut sebagai passive case finding. Hal ini dipilih mengingat secara umum pemeriksaan mikroskopis merupakan cara yang paling cost effective dalam menemukan kasus TB. Dalam hal ini, pada keadaan tertentu dapat


(58)

dilakukan pemeriksaan radiografi, dengan kriteria-kriteria yang jelas sehingga dapat diterapkan di masyarakat.

Aspek ke tiga dari strategi DOTS adalah pemberian obat yang diawasi secara langsung, atau dikenal dengan istilah DOT ( Directly Observed Therapy). Pasien diawasi secara langsung ketika menelan obatnya, obat yang diberikan harus sesuai dengan standar dan diberikan secara gratis pada seluruh pasien tuberkulosis yang menular dan yang kambuh. Untuk menjamin seseorang menyelesaikan pengobatannya maka perlu ditunjuk seorang pengawas menelan obat (PMO). Pengobatan tuberkulosis memakan waktu 6 bulan. Setelah makan obat 2 atau 3 bulan tidak jarang keluhan pasien telah menghilang, ia merasa dirinya telah sehat, dan menghentikan pengobatannya. Karena itu, harus ada sistem yang menjamin pasien mau menyelesaikan seluruh masa pengobatannya sampai selesai.

Aspek ke empat dari strategi DOTS adalah jaminan tersedianya obat secara teratur, menyeluruh dan tepat waktu. Masalah utama dalam hal ini adalah perencanaan dan pemeliharaan stok obat pada berbagai tingkat daerah, sehingga diperlukan pencatatan dan pelaporan penggunaan obat yang baik, seperti misalnya jumlah kasus pada setiap kategori pengobatan, kasus yang ditangani dalam waktu yang lalu, data akurat stok di masing-masing gudang yang ada.

Sementara aspek ke lima dari strategi ini adalah sistem monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang baik. Setiap pasien tuberkulosis yang diobati harus mempunyai satu kartu identitas penderita yang kemudian tercatat di catatan TB yang ada di kabupaten. Pasien harus membawa kartu kemanapun dan


(59)

menggunakan kartu yang sama sehingga dapat melanjutkan pengobatannya dan tidak sampai tercatat dua kali (Aditama, 2002).

2.8 Kerangka Pikir

Berdasarkan tujuan, tinjauan pustaka, maka kerangka konsep penelitian ini adalah:

Gambar 2.2 Kerangka Pikir

Berdasarkan gambar di atas, dapat dirumuskan definisi fokus penelitian sebagai berikut:

1. Masukan (input) adalah segala sesuatu yang mendukung dan dibutuhkan dalam pelaksanaan program TB paru agar dapat berjalan dengan baik, meliputi: Komitmen Politis; Tenaga Kesehatan; Pendanaan; Sarana (alat transpotasi, OAT, pot dahak, kaca sediaan, regensia), dan Prasarana (gedung puskesmas).

a. Komitmen politis adalah keputusan pemerintah untuk menjadikan tuberkulosis sebagai prioritas penting atau utama dalam program kesehatannya, termasuk dukungan dana.

Input:

1. Komitmen politis 2. Tenaga Kesehatan 3. Pendanaan 4. Sarana dan prasarana

Process:

1. Penemuan kasus 2. Pemeriksaan BTA

(+)

3. Penyuluhan

Output:

Implementasi Program Penanggulangan TB


(60)

b. Tenaga Kesehatan adalah tenaga kesehatan yang telah mendapatkan pelatihan.

c. Pendanaan adalah sumber dana yang diperlukan dalam pelaksanaan program TB paru.

d. Sarana dan prasarana termasuk di dalamnya yaitu alat transpotasi, OAT, pot dahak, kaca sediaan, regensia untuk mendukung pelaksanaan program TB paru.

2. Proses (process) adalah pelaksanaan yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, meliputi: Penemuan kasus; Pemeriksaan BTA (+); dan Penyuluhan.

3. Keluaran (output) adalah hasil dari program TB paru, diharapkan tercapainya keberhasilan program TB paru.


(61)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian yang menggunakan metode pendekatan kualitatif yang bertujuan mengetahui secara jelas dan lebih mendalam tentang implementasi program penanggulangan TB paru di Puskesmas Pijorkoling. Pendekatan kualitatif menurut Bogdan dan Taylor yang dikutip oleh Gunawan (2013) adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan berperilaku yang dapat diamati yang diarahkan pada latar dan individu secara holistik (utuh).

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Puskemas Pijorkoling dan Puskesmas Padangmatinggi kota Padangsidimpuan, dengan pertimbangan yaitu :

1. Alasan pemilihan lokasi penelitian ini adalah karena masih rendahnya angka kesembuhan TB paru yaitu 23,81% sedangkan target angka kesembuhan secara nasional yaitu 85%.

2. Puskemas Pijorkoling memiliki angka penemuan kasus TB paru pada tahun 2013 sebanyak 187 suspek TB paru yang ditemukan dan yang ditangani 21 orang atau 11,23%.

3. Puskemas Padangmatinggi sebagai puskesmas rujukan dalam pemeriksaan dahak secara mikroskopis.


(62)

3.2.2 Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2015 sampai dengan Mei 2015 (Survei pendahuluan dan penelitian).

3.3 Informan Penelitian

Informan dalam penelitian ini adalah:

a.Pegawai bidang seksi pengendalian dan pemberantasan penyakit Dinas Kesehatan Kota Padangsidimpuan

b.Kepala Puskesmas Pijorkoling

c.Petugas TB paru Puskesmas Pijorkoling

d. Petugas analisis Puskesmas Padangmatinggi (Puskesmas Rujukan Mikroskopis)

e.Penderita TB paru (penderita yang menjalani pengobatan 2 bulan) f. PMO (Pengawas Menelan Obat)

g.Penderita TB paru yang sembuh 3.4 Metode Pengumpulan Data 3.4.1 Data Primer

Data primer diperoleh melalui wawancara. Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (indepth interview) kepada informan dengan berpedoman pada panduan wawancara yang telah dipersiapkan. 3.4.2 Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dengan cara mengumpulkan data dari Dinas Kesehatan Kota Padangsidimpuan, Puskemas Pijorkoling dan referensi buku-buku


(63)

serta hasil penelitian yang berhubungan dengan implementasi porgram penanggulangan penyakit menular TB paru.

3.5 Triangulasi

Triangulasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah triangulasi sumber, adalah menggali kebenaran informasi tertentu melalui berbagai sumber memperoleh data. Dalam triangulasi dengan sumber yang terpenting adalah mengetahui adanya alasan-alasan terjadinya perbedaan-perbedaan tersebut (Gunawan, 2013).

3.6 Instrumen Pengambilan Data

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu alat tulis, buku catatan dan alat perekam.

3.7 Metode Analisis Data

Menurut Miles & Huberman dalam Herdiansyah (2012) mengemukakan bahwa analisis data kualitatif dilakukan secara simultan dengan proses pengumpulan data, interpretasi data dan dibuat matriks untuk mempermudah dalam melihat data secara lebih sistematis.


(64)

BAB IV HASIL PENELITIAN

4.1 Gambaran Umum Puskesmas Pijorkoling

Puskesmas Pijorkoling terletak di wilayah Kecamatan Padangsidimpuan tenggara. Puskesmas Pijorkoling mempunyai luas bangunan ± 340 m2 dan luas tanah ± 1500 m2. Jarak Puskesmas Pijorkoling ke kota Padangsidimpuan 7 km. Wilayah Puskesmas Pijorkoling mempunyai batas sebagai berikut :

1. Sebelah Utara : Desa Pudun Jae Kecamatan Padangsidimpuan Batunadua 2. Sebelah Selatan : Desa Huta Tonga Kecamatan Batang Angkola

3. Sebelah Barat : Kecamatan Siais

4. Sebelah Timur : Desa Manunggang Jae Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara

Tabel 4.1 Jumlah Penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas Pijorkoling Tahun 2013

No Desa/Kelurahan Jumlah Penduduk Jumlah KK

1 Sihitang 4.772 888

2 Palopat 3.241 686

3 Pijorkoling 5.324 1.129

4 Huta Limbong 213 47

5 Goti 1.442 351

6 Purba Tua 830 96

7 Salambue 2.412 553

8 Sigulang 1.155 229

9 Huta Koje 836 188

10 Huta Lombang 765 186

11 Huta Padang 541 131

12 Manunggang Julu 1.694 305

13 Manegen 1.114 259

Jumlah 24.339 5.048


(65)

Tabel 4.2 Data Distribusi Penduduk Berdasarkan Golongan Umur dan Jenis Kelamin di Wilayah Kerja Puskesmas Pijorkoling Tahun 2013

No Tahun

Jumlah Penduduk

Laki-laki Perempuan Jumlah laki-laki dan perempuan

1 0 – 4 984 1.011 1.995

2 5 – 9 1.533 1.435 2.968

3 10 – 14 1.614 1.805 3.419

4 15 – 19 1.094 1.144 2.238

5 20 – 24 1.063 1.176 2.239

6 25 – 29 872 1.018 1.890

7 30 – 34 739 779 1.518

8 35 – 39 624 725 1.349

9 40 – 44 492 648 1.140

10 45 – 49 786 995 1.781

11 50 – 54 548 838 1.386

12 55 – 59 527 389 916

13 60 – 64 321 253 574

14 65 – 69 224 253 477

15 70 – 74 135 113 248

16 75 + 94 107 201

Jumlah 11.650 12.689 24.339

Sumber: Puskesmas Pijorkoling Tahun 2013

Tabel 4.3 Data Tenaga Kesehatan Menurut Pendidikan Puskesmas PijorkolingTahun 2013

No Tenaga Kesehatan Jumlah

1 Dokter Umum 1

2 Dokter Gigi 1

3 Bidan 6

4 SPK (Sekolah Perawat Kesehatan) 6

5 Akademi Kebidanan 5

6 Akademi Keperawatan 5

7 LCPK (Latihan Cepat Pekarya Kesehatan) 2

8 SMU 2

9 Asisten Apoteker 1

10 D3 Sanitasi 1

11 D3 Gizi 1

12 Analis 1


(66)

4.2 Karakteristik Informan

Karakteristik dari masing-masing informan pada penelitian ini, dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.4 Karakteristik Informan

No Informan Jenis

kelamin

Umur (tahun)

Pendidikan Jabatan

1 Rosima perempuan 48 SMA Staf bidang

Pengendalian dan

Pemberantasan Penyakit 2 dr. N. Syafran Laki-laki 42 S1 Kepala

Puskesmas 3 Nurul Hudaina Perempuan 30 D3 Petugas TB

paru

4 Sari T. Lambanua Perempuan 54 D3 Petugas Analis Laboratorium 5 Randi Taufik Laki-laki 21 SMA Penderita TB

Paru

6 Misrawati Perempuan 50 SMA Pengawas

Menelan Obat

7 M. Syahril Laki-laki 26 S1 Penderita TB

Paru yang Sembuh Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa jumlah informan dalam penelitian ini adalah 7 informan, yang terdiri dari 1 informan staf bidang pengendalian dan pemberantasan penyakit yang berusia dengan 48 tahun dengan pendidikan SMA, 1 informan Kepala Puskesmas Pijorkoling yang berusia 42 tahun dengan pendidikan S1, 1 informan petugas TB paru yang merupakan penanggungjawab program TB paru yang berusia 30 tahun dengan pendidikan D3, 1 informan petugas analis laboratorium yang merupakan penanggungjawab laboratorium Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM) yang berusia 54 tahun dengan pendidikan D3, 1 informan penderita TB paru yang berobat ke puskesmas berusia 21 tahun dengan pendidikan SMA, 1 informan Pengawas Menelan Obat (PMO)


(67)

yang merupakan orang tua penderita TB paru yang berusia 50 tahun dengan pendidikan SMA dan 1 informan penderita TB paru yang sembuh berusia 26 tahun dengan pendidikan S1.

4.3 Wawancara Program Penanggulangan TB Paru Di Puskesmas Pijorkoling Tahun 2015

4.3.1 Pernyataan Informan tentang Komitmen Politis dalam Program Penanggulangan TB paru

Tabel 4.5 Matriks Pernyataan Informan tentang Komitmen Politis dalam Program Penanggulangan TB Paru

Informan Pernyataan

Informan 1

(Dinas Kesehatan)

Pernah. Ya, karena penyakit TB paru ini kan penularannya tinggi. Jadi kalau dia gak diobati, nanti dia akan menularkan. Satu penderita saja bisa menularkan 10 sampai 15 orang dalam setahun. Bicara soal dana, masih kuranglah dananya karena dana Global fund sudah berkurang. Dana APBD itu terbatas juga untuk penjaringan dan supervisi. Sebenarnya dana yang didapat tidak sebanding dengan pekerjaannya. Kadang-kadang kita harus turun ke puskesmas, menanyakan data penderita, nomor lab nya, tanggal berapa sembuhnya. Terkadang saat kita turun ke puskesmas, datanya belum lengkap. Jadi mau tidak mau harus kita yang turun. Kadang kita pastikan juga petugasnya itu memang ada di puskesmas atau diluar. Kadang petugasnya diluar puskesmas jadi butuh uang buat beli pulsa.

Dari pernyataan informan di atas dapat diketahui bahwa informan Dinas Kesehatan Kota Padangsidimpuan menganggap masalah TB paru dianggap penting. Masalah TB paru dianggap penting karena 1 penderita bisa menularkan 10 sampai 15 orang dalam setahun. Ketersediaan dana yang disampaikan oleh informan Dinas Kesehatan masih minim karena dana global fund sudah berkurang, sementara dana APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) yang didapat hanya untuk penjaringan dan supervisi.


(68)

4.3.2 Pernyataan Informan tentang Pendanaan Program Penanggulangan TB Paru di Puskesmas Pijorkoling

Tabel 4.6 Matriks Pernyataan Informan tentang Pendanaan dalam Program Penanggulangan TB Paru di Puskesmas Pijorkoling

Informan Pernyataan

Informan 1

(Dinas Kesehatan)

Pada saat ini dananya dari APBD, dana untuk penjaringan ke desa dari APBD. Penjaringan untuk TB dari APBD. Untuk supervisi dananya ada dari APBD, ada juga yang dari GFATM. GFATM itu dana hibah internasional. Dana bantuan dari global fund, orang luarlah yang memberi. Dananya berupa hibah.

Informan 2

(Kepala Puskesmas)

Saya gak tahu, saya masih baru. Saya belum bisa mengatakan sumber dana. Biasanya dari dinas.

Informan 3 (Petugas TB)

Kalau gak salah berasal dari internasional ya. WHO atau apa, lupa saya. Mungkin ada dana dari pemerintah tapi pokoknya internasional ada. Kalau persenannya, saya lupa. Gak tau jumlahnya karena gak pernah ditanya. Dana operasional untuk TB itu hanya untuk mengantar slide TB positif, untuk pengobatan dan kalau kita pergi puskel. Dan untuk penjaringan saja. Kalau penjaringan kita kumpul masyarakat. Kita kasih penyuluhan.

Dari pernyataan informan di atas dapat diketahui staf bidang pengendalian dan pemberantasan penyakit Dinas Kesehatan mengatakan bahwa dana TB paru berasal dari dana APBD dan GFATM (Global Fund AIDS, Tuberkulosis, dan Malaria). Dana untuk melakukan penjaringan berasal dari APBD, dana untuk supervisi berasal dari APBD dan ATM. Dana ATM berasal dari dana internasional berupa hibah. Hal yang sama dikatakan oleh petugas TB bahwa dana berasal dari dana internasional dan dana tersebut dipergunakan untuk mengantar slide, pengobatan dan saat puskesmas keliling, namun jumlah dana yang ada tidak diketahui. Informan kepala puskesmas Pijorkoling mengatakan bahwa dana berasal dari Dinas Kesehatan.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)