Struktur Telur
Telur ayam mempunyai struktur sangat khusus, yaitu mengandung zat gizi yang cukup untuk mengembangkan sel yang telah dibuahi menjadi seekor anak
ayam Puslitnak 2000.
Telur secara umum terbagi atas kulit telur kerabang, putih telur albumen dan kuning telur. Pada umumnya telur ayam berbentuk bulat lonjong,
tetapi ada sebagian kecil telur mempunyai bentuk yang abnormal. Perbedaan bentuk itu dapat terjadi karena adanya faktor yang mempengaruhi diantaranya
adalah sifat genetis, umur ayam pada waktu bertelur, sifat-sifat biologis sewaktu bertelur dan sifat-sifat fisiologis yang terdapat pada induknya.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi besarnya telur antara lain bangsa ayam, umur, perubahan musim sewaktu bertelur, sifat keturunan, umur
pembuahan, bobot badan induk dan pakan yang diberikan pada ayam yang bersangkutan AEB 2005.
a. Kerabang Telur
AEB 2005, menyatakan bahwa kerabang telur tersusun atas empat bagian utama yaitu lapisan mammilari, lapisan spongiosa, kutikula dan pori-pori.
Kerabang adalah bagian kulit telur yang keras yang melindungi isi telur dan embrio terhadap gangguan dari luar, baik fisik maupun kimia serta sebagian
lapisan untuk difusi udara respirasi Bloomquist 2000. Sebutir telur memiliki 7000-17.000 pori-pori yang tersebar tidak merata
pada permukaan kerabang. Ujung telur yang tumpul mengandung paling banyak pori-pori, sedangkan ujung yang lancip paling sedikit. Jumlah pori-pori yang
terbuka pada telur segar relatif lebih sedikit dibandingkan telur yang mengalami penyimpanan Yahya 2005.
Warna kerabang telur ayam sangat bervariasi, ada yang berwarna putih, coklat muda sampai coklat tua. Perbedaan warna kerabang tersebut disebabkan
oleh pigmen dan sifat genetis induk ayam. Kerabang telur yang berwarna coklat disebabkan adanya pigmen cophorpyrin yang terdapat pada permukaan kerabang
telur AEB 2005.
b. Putih Telur
Menurut FDHS 2004, putih telur terdiri dari 4 lapisan yaitu lapisan putih telur kental dalam, lapisan putih telur encer dalam, lapisan putih telur kental luar
dan lapisan putih telur encer luar. Lapisan putih telur kental dalam, langsung mengelilingi kuning telur dan
ujungnya membentuk tali kalaza yang berfungsi memegang kuning telur pada kedua ujungnya. Lapisan ini sangat tipis dan menyusun 3 dari total putih telur.
Lapisan putih telur encer dalam, mengelilingi lapisan putih telur kental dalam dan merupakan 21 dari total putih telur.
Lapisan putih telur kental luar, membentuk amplop yang membungkus lapisan putih telur encer dalam serta kuning telur. Lapisan ini merupakan bagian
putih telur yang tertinggi 55. Lapisan putih telur encer luar terletak di bawah membran kulit kecuali
pada bagian dimana lapisan putih telur kental luar menyentuh membran kulit dan merupakan 21 dari total putih telur.
c. Kuning Telur
Kuning telur terdiri dari blastoderma, latebra, lingkaran pusat, lingkaran kuning dan membran vitelin. Latebra merupakan saluran yang menghubungkan
blastoderm ke pusat kuning telur yang berfungsi untuk tempat pertumbuhan embrio. Blastoderm yang terlihat sebagai bintik kecil pada permukaan kuning
telur, dimana dalam telur yang terbuahi benih ini berkembang menjadi anak ayam. Membran vitelin merupakan lapisan tipis yang mengelilingi kuning telur FDHS
2004.
Kuman Pencemar
Thiagarajan et al. 1994, melaporkan bahwa pencemaran kuman pada telur dapat terjadi sejak telur di dalam induk ayam yaitu secara vertikal, sampai
telur dikeluarkan oleh induk ayam. Secara vertikal yaitu pencemaran terjadi melalui telur, hal ini karena mikroba berada dalam indung telur ovarium.
Mikroba yang mencemari telur yang sudah berada diluar tubuh induk atau yang dinamakan dengan kontaminasi secara horizontal, dapat berasal dari feses, tanah,
kandang, tangan peternak, udara dan tempat pengemasan. Penyebaran infeksi oleh mikroba diantara kelompok ayam merupakan mata rantai yang selalu
berkaitan, yaitu pengeluaran kuman bersama kotoran dari ayam sakit atau karier, dan menginfeksi ayam sehat lain melalui pakan yang tercemar mikroba. Kondisi
pasar tradisional yang masih sederhana dan sanitasi lingkungan yang kurang memadai serta iklim tropis akan mendukung peningkatan kontaminasi dan
perkembangbiakan mikroba Jekti 1990. Pertumbuhan mikroba dapat dibagi menjadi empat fase yaitu fase lag, fase
pertumbuhan logaritmik exponential, fase konstan stationary dan fase pertumbuhan yang menurun atau fase kematian death. Berdasarkan suhu
optimum pertumbuhan mikroba digolongkan menjadi psikrofilik dengan suhu optimum pertumbuhan sekitar 0 – 20
o
C, psiktotrofik -5 – 30
o
C, mesofilik sekitar 20
– 43
o
C dan termofilik sekitar 40 – 65
o
C Supardi Sukamto 1999. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kuman di dalam
telur yaitu faktor intrinsik yaitu nilai nutrisi telur, kadar air, pH, ada tidaknya bahan penghambat serta faktor ekstrinsik yaitu suhu lingkungan, kelembaban dan
ada tidaknya oksigen Buckle et al. 1987.
Salmonella enteritica Serovar Enteritidis S. Enteritidis
Menurut Gianella 2001 menyatakan bahwa genus Salmonella merupakan anggota famili Enterobacteriaceae yaitu bakteri yang terdapat dalam saluran
pencernaan manusia dan hewan. Salmonella memiliki dua jenis spesies yaitu Salmonella enteritica dan Salmonella bongori. Salmonella enteritica memiliki
enam subspesies yaitu subspesies I : subspesies enteritica; subspesies II : subspesies salamae; subspesies IIIa : subspesies arizonae; subspesies IIIb :
subspesies diarizonae; subspesies IV : subspesies hautenae dan subspesies V : subspesies indica. Pengelompokan subspesies dibedakan berdasarkan sifat-sifat
biokimianya. Berdasarkan sifat-sifat biokimianya, S. Enteritidis merupakan subspesies enteritica.
Berdasarkan struktur antigennya subspesies dibagi menjadi serovarserotipe. Untuk menuliskan nama serotipe, misalnya cara lama S.
enteritidis menjadi S. enteritica subspesies enteritica serotipe Enteritidis menjadi Salmonella ser Enteritidis dan saat ini penulisannya menjadi Salmonella
Enteritidis Murray 1991. Salmonella diklasifikasikan dalam group sesuai dengan klasifikasi
Kaufman-White yang didasarkan pada antigen badan somatik O ohne dan antigen flagel H hauch. Genus ini mempunyai struktur antigen yang tidak stabil
dan dapat mengalami perubahan sewaktu-waktu dan bakteri ini pada suatu saat dapat membentuk variasi secara tiba-tiba Kaufmann 1972.
S. Enteritidis bersifat Gram negatif, berbentuk batang pendek, tidak berspora dengan ukuran 0,7-1,5 x 2,0-5,0 mm, umumnya bergerak dengan flagella
peritrikus. S. Enteritidis tidak memfermentasi laktosa dan sukrosa, akan tetapi membentuk asam dan juga gas dari glukosa, maltosa, dan mannitol. S. Enteritidis
memberi reaksi positif terhadap sitrat, lisin, ornithin dekarboksilase, serta memberi reaksi negatif pada indol dan urease. Karakteristik lainnya yaitu dapat
mereduksi nitrat menjadi nitrit, dapat memfermentasi dulsitol, memproduksi H
2
S, dan tumbuh secara optimal pada suhu 37
o
C Cox et al. 2000.
Gambar 3 Bakteri Salmonella Enteritidis Cox et al. 2000
Kontaminasi S. Enteritidis pada telur diketahui dengan dua mekanisme yaitu melalui induk yang terinfeksi oleh S. Enteritidis vertikal dan secara
horizontal. Kontaminasi vertikal dikenal juga sebagai kontaminasi transovarial
transovarial contaminated. Teori penularan vertikal menyebutkan bahwa S. Enteritidis pada telur ayam, berasal dari induk ayam yang terinfeksi Cox et al.
2000. Penelitian yang dilakukan dengan menggunakan ayam yang sedang bertelur dan diinfeksi dengan S. Enteritidis, ternyata mengakibatkan telur-telur
tersebut terinfeksi dengan strain S. Enteritidis yang sama FSIS dan FDA 1998. S. Enteritidis dapat menginfeksi telur yang berasal dari induk ayam yang sehat
dimana kontaminasi terjadi sebelum kulit telur terbentuk, letak infeksi biasanya di putih telur dekat membran kuning telur CDC 2003. FSIS dan FDA 1998 telah
melakukan survei mengenai keberadaan S. Enteritidis di telur. Hasil survey membuktikan adanya S. Enteritidis di kerabang, kuning dan putih telur. Selain
telur, FSIS dan FDA 1998 melakukan survei tentang keberadaan S. Enteritidis di tubuh ayam petelur. Hasil dari survei tersebut ditemukan S. Enteritidis di organ
usus buntu, hati, ginjal, indung telur dan saluran indung telur. Kontaminasi S. Enteritidis pada kerabang telur ayam secara horizontal,
diakibatkan oleh infeksi dari saluran reproduksi induk ayam bagian bawah danatau kontaminasi feses dari induk ayam saat pengeraman. Kontaminasi ini
difasilitasi dengan kondisi kerabang-kerabang telur yang lembab, penyimpanan pada suhu tinggi dan kerusakan kerabang telur. Kontaminasi pada kerabang telur,
tidak hanya meningkatkan resiko terjadinya kontaminasi pada isi telur, tetapi juga meningkatkan resiko terjadinya kontaminasi silang pada telur disekitarnya dan
produk-produk berbahan telur lainnya. Sejumlah penelitian menunjukkan adanya penetrasi dan multiplikasi S. Enteritidis diantara telur-telur ayam. Faktor-faktor
yang mempengaruhi penetrasi S. Enteritidis di antara telur-telur tersebut, yaitu: kualitas kerabang telur, banyaknya pori-pori pada kerabang telur, temperatur,
kelembaban dan tekanan uap. Penetrasi pada isi telur meningkat dengan lamanya kontak dengan bahan-bahan yang terkontaminasi, khususnya selama
penyimpanan dan kelembaban pada temperatur tinggi FSIS dan FDA 1998; Cox et al. 2000 .
S. Enteritidis tidak mempengaruhi kualitas suatu makanan, serta tidak
menimbulkan kerusakan dan pembusukan pada telur. Namun apabila manusia memakan telur yang terkontaminasi dan tidak dimasak sempurna atau setengah
matang, maka akan mengakibatkan penyakit pada manusia CDC 2003.
Salmonellosis menyebabkan berbagai gejala seperti gastroenteritis, demam enterik, septikemia dan infeksi fokal. Salah satu gejala yang ditimbulkan
oleh infeksi S. Enteritidis adalah gastroenteritis. Patogenesis ini sangat tergantung dari faktor virulensi bakteri yaitu: 1 kemampuan invasi sel, 2 lapisan
lipopolisakarida yang lengkap, 3 kemampuan replikasi intrasel, dan 4 kemungkinan perbanyakan toksin. Setelah bakteri dicerna, organisme tersebut
berkoloni di ileum dan kolon, memasuki epitel usus dan terjadi proliferasi epitel dan folikel limfoid Gianella 2001.
Tahap selanjutnya yaitu menginduksi membran enterosit yang terganggu dan menstimulasi pinositosis organisme. Invasi tergantung dari pengaturan sel
sitoskeleton dan kemungkinan melibatkan peningkatan fosfat inositol dan kalsium sel. Perlekatan dan invasi tersebut di bawah regulasi genetik dan melibatkan gen-
gen ganda pada kromosom plasmid. Selanjutnya, patogenesis enterokolitis dan diare akibat salmonellosis dapat dilihat pada gambar 4 berikut ini.
Gambar 4 Patogenesis enterokolitis dan diare salmonellosis Gianella 2001
1. tempat masuknya S. Enteritidis
2. S. Enteritidis menyebar demam non tipoid
3. gastroenteritis dan diare
4. tempat pengeluaran S. Enteritidis
Setelah menginvasi
epitel usus,
bakteri ini menginduksi respon inflamasi yang dapat menyebabkan ulserasi dan peningkatan sitokin sehingga menghambat
sintesis protein. Mekanisme tersebut belum diketahui secara pasti. Namun, invasi pada mukosa menyebabkan sel epitel mensintesis dan melepaskan berbagai
sitokin proinflamasi, seperti IL-1, IL-6, IL8, TNF2. Hal ini membangkitkan respon inflamasi akut dan juga meningkatkan terjadinya kerusakan usus karena
reaksi inflamasi usus. Akibat reaksi tersebut, dapat terjadi gejala panas-dingin,
nyeri perut, lekositosis dan diare. Feses dapat mengandung lekosit polimorfonuklear PMN, darah dan lendir. Patogenesis munculnya diare secara
ringkas dapat dilihat pada gambar 5.
Gambar 5 Ringkasan patogenesis salmonellosis Gianella 2001
Termakannya S. Enteritidis S. Enteritidis berkoloni di usus halus dan usus buntu
S. Enteritidis melakukan invasi ke dalam mukosa usus usus sitotoksin
Inflamasi akut akibat adanya invasi bakteri dan produksi sitotoksin
+ ulserasi Sintesa prostaglandin
Enterotoksin sitokin
Aktivasi adenyl cyclase
Produksi cairan dalam jumlah besar atau kecil
c-AMP meningkat
Diare
Invasi mukosa usus diikuti aktivasi adenylate cyclase dan peningkatan keseimbangan sekresi siklik AMP c-AMP. Mekanisme tersebut juga belum
diketahui dengan pasti, kemungkinaan adanya keterlibatan produksi lokal dari prostaglandin atau komponen lain dari prostaglandin akibat reaksi inflamasi.
Strain-strain Salmonella mengeluarkan satu atau lebih substansi enterotoksin yang menstimulasi sekresi usus, namun peran toksin tersebut pada patogenesis
S. Enteritidis masih belum pasti. Orang dewasa dan anak-anak yang berisiko untuk terinfeksi S. Enteritidis
dari telur adalah wanita hamil dan orang-orang dengan sistem imun yang lemah, meningkatkan risiko timbulnya penyakit yang lebih serius. Pada orang-orang ini,
bakteri dengan jumlah yang relatif kecil sudah dapat mengakibatkan penyakit WHO 2005; Berkeley 2002.
Penderita yang terinfeksi S. Enteritidis menimbulkan gejala berupa diare, demam, kedinginan, nyeri perut, nyeri kepala, yang dimulai 12 sampai 72 jam
setelah mengkonsumsi telur mentah atau setengah matang yang telah terkontaminasi Blumenthal 2002. Penyakit tersebut dapat bertahan sampai 4-7
hari. Meskipun banyak penderita dapat sembuh sempurna tanpa pemberian antibiotika. Namun, diare dapat berlebihan dan memerlukan perawatan rumah
sakit FSIS FDA 1998; Hecht 2004. Pada penderita dengan risiko tinggi, infeksi dapat menyebar dari usus ke aliran darah atau ke tempat lain di seluruh
tubuh dan dapat menyebabkan kematian tanpa pengobatan antibiotika pada penderita CDC 2003.
Sumber utama terjadinya infeksi pada manusia adalah peternakan. Mengurangi keberadaan S. Enteritidis pada hewanternak, secara signifikan juga
akan mengurangi paparan bakteri tersebut pada manusia. Salah satu pengendalian yang penting adalah menjaga kebersihan peternakan. Penelitian menunjukkan
bahwa pembersihan secara intensif dan penggunaan desinfektan dapat mengurangi keberadaan bakteri tersebut Berkeley 2002.
Telur seperti juga daging, hasil ternak, susu dan bahan olahan lainnya akan aman bila diolah dengan baik. Telur ayam akan aman bila disimpan dalam
pendingin refrigerator tersendiri dan dimasak serta dikonsumsi segera Blumenthal 2002.
Diperkirakan 100 sel S. Enteritidis pada 100 gram telur, akan memudahkan timbulnya penyakit. Penyimpanan telur pada pendingin secara
adekuat dapat mencegah perbanyakan bakteri tersebut pada telur, sehingga telur sebaiknya disimpan pada pendingin, sampai saat akan digunakan. Pemasakan juga
akan mengurangi jumlah bakteri yang ada pada telur, namun putih telur dan kuning telur yang belum matang, akan berisiko lebih besar menimbulkan infeksi
dibandingkan dengan telur yang telah matang karena S. Enteritidis akan mati karena pemanasan paling sedikit selama 12 menit pada suhu 66
o
C atau 77-83 menit pada suhu 60
o
C Blumenthal 2002; CDC 2003. Untuk mengurangi risiko infeksi S. Enteritidis pada telur yang akan
dikonsumsi, dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut: 1 simpan telur pada pendingin, 2 buang telur yang telah pecah atau kotor, 3 cuci tangan dan
rebus peralatan rumah tangga dengan sabun dan air setelah kontak dengan telur mentah, 4 makan segera telur setelah dimasak dan jangan menyimpan telur
matang pada suhu kamar lebih dari 4 jam, 5 dinginkan telur yang belum digunakan, 6 hindarkan makan telur mentah seperti telur campuran es krim
produksi rumah tangga atau telur mentah yang dicampur dalam minuman dan 7 hindari memakan makanan restoran yang menggunakan bahan telur mentah atau
telur yang tidak dipasteurisasi WHO 2002. Amerika Serikat telah melakukan upaya pengendalian untuk mengurangi
wabah S. Enteritidis. CDC telah meminta departemen kesehatan, rumah sakit, dan tempat-tempat perawatan untuk menggunakan peralatan spesifik dengan tujuan
mengurangi risiko infeksi. Beberapa negara bagian di sana diminta untuk mendinginkan telur-telur dari produsen sebelum sampai ke konsumen.
Departemen Pertanian Amerika Serikat menilai kelayakan peternakan yang memproduksi ayam petelur untuk memastikan telah terbebas dari S. Enteritidis.
Telur-telur yang diketahui telah terkontaminasi dari peternakan, dilakukan pasteurisasi. USFDA telah mengeluarkan petunjuk penanganan telur di pengecer
makanan dan akan memonitor ayam-ayam yang sedang bertelur CDC 2003.
BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Bakteriologi Balai Penelitian Veteriner Bogor. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Agustus 2005 sampai
dengan Pebruari 2006.
Materi Penelitian
Materi penelitian terdiri dari 104 seratus empat butir telur ayam ras yang diambil dari 67 orang pedagang telur ayam ras di 16 enam belas pasar
tradisional di Kabupaten Tangerang. Pengambilan sampel dilakukan selama 2 minggu berturut-turut dengan menggunakan plastik steril dan dibawa ke
laboratorium pada suhu ruangan. Sampel selanjutnya dibawa ke Laboratorium Bakteriologi, Balai Penelitian Veteriner Bogor untuk dilakukan pengujian kuman
S. Enteritidis. Sampling ditentukan dengan menggunakan metode proporsional random
sampling, sedangkan untuk menghitung besaran sampel menggunakan rumus: 4 PQ
n = L
2
Keterangan: n = besaran sampel yang digunakan
P = asumsi prevalensi Q = 1 - P
L = galat yang diinginkan Martin et al. 1988 Thrusfield 1994. Dengan tingkat konfidensi 95 dan galat yang diinginkan 5 serta
asumsi prevalensinya 7 maka didapat: 4 x 0,07 x 0,93
n = 0,05
2
= 104 sampel telur Jumlah sampel telur ayam ras yang diambil dari tiap pedagang di setiap pasar
tradisional dapat dilihat pada lampiran tesis ini.
Bahan dan Alat-Alat Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan berupa Buffered Pepton water, Rappaport Vassiliadis Broth, Xylose Lysine Deoxycholate, Manitol Selenite Cystein Broth,
Mac Conkey Agar, Brilliant Green Agar, Triple Sugar Iron Agar, Lysine Iron Agar, Urea Agar, Nutrient Agar, Nutrient Broth, Pereaksi Indol, kapas,
pewarnaan gram, NaCl fisiologis, alkohol 70, isolat Salmonella sp. dalam Nutrient Agar miring, antisera O dan H.
Alat-alat yang dipakai dalam penelitian ini yaitu petridish diameter 9 cm dan 12 cm, pipet 1 ml, erlenmeyer, beaker glass, tabung reaksi, cabinet UV,
pengaduk, ose, mikropipet, vortex, bunsen, incubator, autoclave, microwave oven, spreader, kaca preparat 5 x 7,5 cm, batang pengaduk aglutinasi, lampu penerang,
lemari es, freezer, bunsen, stomacher, pipet pasteur 1-10 ml, tabung reaksi 5 – 20 ml, timbangan 0,5 – 500 gram, mikroskop, rubber teat, tabung craigie, rak tabung
reaksi.
Metode Isolasi dan Identifikasi
Salmonella Enteritidis a. Kerabang Telur
Setiap sampel kerabang telur yang memiliki berat berkisar 15 – 20 gram dimasukkan ke dalam 135 - 180 ml 10 larutan Buffered Pepton Water BPW
sebagai media pre-enrichment, dihomogenisasi dan diinkubasi pada suhu 35- 37
o
C selama 16-20 jam. Campuran sampel kerabang, putih dan kuning telur dalam BPW dapat dilihat pada gambar 6 berikut ini :
Gambar 6 Penimbangan kerabang telur serta pemberian media pre-enrichment Buffered Pepton Water BPW pada kerabang, kuning dan putih telur
Sebanyak 1 ml suspensi tersebut ditanam pada 9 ml 10 media enrichment Rappaport Vassiliadis Broth RVB dan diinkubasi pada suhu 42
o
C selama 24 jam. Suspensi tersebut diambil satu ose dan ditanam pada media agar selektif
Xylose Lysine Deoxycholate XLD dan diinkubasi lagi pada suhu 37
o
C selama 24 jam. Sebanyak 3-5 koloni berwarna hitam yang diduga Salmonella sp.
kemudian dilakukan uji biokimia dengan melakukan inokulasi pada media TSIA, LIA, Indol, Sitrat dan Urea. Koloni yang diduga Salmonella sp. pada media XLD
dapat dilihat pada gambar 7 berikut ini :
Gambar 7 Morfologi biakan Salmonella sp. pada media Xylose Lysine Deoxycholate XLD
Biakan yang ditumbuhkan pada media penyubur dan media selektif, dinyatakan Salmonella sp.apabila memberikan hasil uji TSIA positif yang ditunjukan dengan
warna slant merah dan butt kuning; LIA positif yang ditunjukan dengan warna media slant hitam dan butt violet; H
2
S positif yang ditunjukan dengan warna hitam pada media TSIA dan LIA; Indol negatif yang ditunjukan dengan tidak
terbentuknya cincin berwarna pink; Sitrat positif yang ditunjukan dengan adanya pertumbuhan dan warna biru pada media serta Urea negatif dimana tidak terjadi
perubahan warna media. Koloni bakteri yang diduga presumtif Salmonella sp., ditanam pada media nutrient agar miring dan semisolid untuk dilanjutkan dengan
Serotiping untuk menentukan serotipenya Balitvet 2005.
Morfologi biakan Salmonella Negatif pada media XLD
Morfologi biakan yang diduga Salmonella pada media XLD
Jenis Uji Hasil Uji
Gambar
TSIA H
2
S LIA
Sitrat Positif
Positif Positif
Positif
Indol Negatif
Negatif Positif
Urea Negatif
Negatif Positif
Gambar 8 Hasil uji biokimia pada isolat persumtif Salmonella sp.
b. Putih dan Kuning Telur
Sampel putih dan kuning telur diambil dengan memecah telur terlebih dahulu. Kemudian dipisahkan antara putih dan kuning telur. Langkah selanjutnya
dari masing-masing bagian telur tersebut diambil 15 - 20 gram dan dimasukkan ke dalam 135 – 180 ml 10 larutan Buffered Pepton Water BPW sebagai media
preenrichmnet dan dihomogenisasi. Selanjutnya pemeriksaan diteruskan seperti pada pengujian kerabang telur
Balitvet 2005. Pemisahan putih dan kuning telur serta pencampuran dalam BPW dapat dilihat pada gambar 9 berikut ini.
Gambar 9 Pemisahan putih dan kuning telur serta pemberian media pre-enrichment BPW
Serotiping Salmonella Enteritidis
Prinsip kerja serotiping untuk identifikasi antigen somatik O tahan panas, dilakukan dengan cara suspensi sel bakteri Salmonella sp. yang dipanaskan pada
suhu 100
o
C selama satu jam. Setelah dingin direaksikan dengan antiserum grup B, C, D dan E. Bila terjadi aglutinasi pada grup tertentu kemudian diuraikan
menggunakan antiserum somatik nomor antigen dalam grup tertentu. Sedangkan untuk identifikasi H antigen dari Salmonella yang sudah diketahui O serotipenya,
dilakukan dengan mengkultur bakteri Salmonella tersebut pada media semisolid dengan tabung ”Craigie”. Bakteri yang mempunyai antigen flagella akan bergerak
keluar dari dalam tabung ”Craigie” melalui dasar tabung, sedangkan yang tidak mempunyai flagella tidak terdapat pertumbuhan diluar tabung ”Craigie”. Satu
suspensi sel bakteri hidup dibuat dari sel diluar tabung ”Craigie”, direaksikan dengan anti H antiserum antibodi spesifik poly Ha, Hb, Hc, Hd, He, dan H polyz.
Kemudian dari grup poly H positif diuraikan menjadi nomor-nomor antigen H kelompok tersebut. Sampel dinyatakan positif S. Enteritidis bila berasal dari grup
D, identifikasi O: 1, 9, 12, dan H: g, m, 1, 7, sesuai dengan Skema Kauffmann- White pada tabel 2 Balitvet 2005.
Tabel 2 Struktur antigenik Salmonella menurut Skema Kauffmann-White Tipe
SpeciesSerotipe Antigen O
somatik Antigen H Flagella
Fase 1 Fase 2
A S. paratyphi A
1, 2, 12 8
- B S.
paratyphi B 1, 4, 5, 12
B 1, 2
S. schottmulleri S. java
1, 4, 5, 12 B
1, 2 S. saint-paul
1, 4, 5, 12 e, h
1, 2 S. san-diego
4, 5, 12 e, h
e, n, z
15
S. derby 1, 4, 5, 12
f, g 1, 2
S. agona 1, 4, 12
f, g, s -
S. typhimurium 1, 4, 5, 12
I 1,2
S. typhimurium var copenhagen
1, 4, 12 I
1, 2 S. heidelberg
1, 4, 5, 12 R
1, 2 S. tinda
1, 4, 12, 27 A
e, n, z
15
C
1
S. paratyphi C
6, 7, Vi C
1, 5 S.
choleraesuis 6, 7
c 1, 5
S. montevideo
6, 7 g, m, s, p
- S.
oranienburg 6, 7
m, t -
S. thompson
6, 7 K
1, 5 S.
infantis 6, 7
R 1, 5
C
2
S. newport
6, 8 e, h
1, 2 D
1
S. typhi
9, 12, Vi B
- S. Enteritidis
1, 9, 12 g, m
- S.
dublin 1, 9, 12, Vi
g, p -
S. panama
1, 9, 12 l, v
1, 5 S.
javiana 1, 9, 12
l, z
28
1, 5
S. pullorum
1, 9, 12 -
- S.
sendai 1, 9, 12
A 1, 5
E
1
S. oxford 3,
10 A
1, 7
S. anatum
3, 10 e, h
1, 6 S.
london 3, 10
l, v 1, 6
S. meleagridis
3, 10 e, h
l, w S.
lexington 3, 10
z
10
1, 5
E
4
S. seftenberg
1, 3, 19 g, s, t
- F S.
rubislaw 11
R e, n, x
G
2
S. worthington
1, 3, 23 Z
l, w Kauffmann 1972
a. Menentukan Struktur Antigen ”O”