Modal Sosial Sistem Bagi Hasil Dalam Beternak Sapi Pada Masyarakat Desa Purwosari Atas, Kecamatan Dolok Batu Naggar, Kabupaten Simalungun

(1)

MODAL SOSIAL SISTEM BAGI HASIL DALAM BETERNAK SAPI PADA

MASYARAKAT DESA PURWOSARI ATAS, KECAMATAN DOLOK

BATU NANGGAR KABUPATEN SIMALUNGUN

Studi kasus : Sistem Gaduh Sapi Pada Masyarakat Desa Purwosari Atas,

Kecamatan Dolok Batu Nanggar, Kabupaten Simalungun

Disusun oleh :

SYAMSUL SANJAYA

110901002

DEPARTEMEN SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU

SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS

SUMATRA UTARA

MEDAN


(2)

ABSTRAK

Peternakan sapi merupakan salah satu usaha sampingan warga desa yang dijadikan sebagai sumber pendapatan ekonomi lainnya. Seperti warga Desa Purwosari Atas yang menerapkan usaha peternakan sapi ini sejak lama. pemicu munculnya minat warga desa memelihara sapi adalah wilayah pedesaan yang dekat dengan perkebunan PTPN IV sebagai salah satu wilayah yang dijadikan sebagai tempat gembalaan sapi warga.

Melihat kondisi perusahaan yang memberikan ijin, maka semakin banyak pula warga yang memelihara ternak baik milik sendiri maupun milik orang lain. Ternak milik orang lain tersebut sengaja dipelihara kepada orang lain untuk dikembangbiakkan yang dikenal dengan istilah gaduh sapi. Gaduh sapi dikejakan mulai proses pra- produksi hingga produksi dengan sistem pembagian hasil usaha dibagi dua antara pemilik dan peternak sapi.

Dalam melaksanakan kerjasama sistem gaduh sapi, para pemilik dan peternak sapi hanya berlandaskan kepercayaan dalam menjalankan usahanya, yang merupakan wujud dari modal sosial yang sudah lama terbentuk dikalangan para peternak dan pemelihara ternak. Kepercayaan yang terbentuk memang sering dilakukan oleh para pelaku usaha ternak sapi. Para pelaku usaha lebih percaya melakukan usaha dengan kepercayaan dari pada berlandaskan hukum perjanjian secara terang – terangan.

Selama proses pemeliharaan berlangsung para pemilik ternak dan pemelihara ternak jarang mengalami kerugian, yang diakibatkan karena sesuatu hal terjadi di tengah – tengah usaha yang sedang berlangsung misalnya kematian, pencurian, dan ternak yang dipelihara sakit. Hal ini dapat diminimalisir karena para pelaku usaha adalah kerabat dekat, tetangga dan saudara yang memiliki hubungan yang erat, sehingga perjanjian secara terang – terangan tidak diperlukan. Karena adanya rasa jujur yang timbul dari dalam diri para pelaku usaha dan rasa segan jika ingin memberikan keterangan palsu mengenai kondisi ternaknya.

Selain itu karena kedekatan hubungan sosial dan adanya kepercayaan yang timbul diantara pelaku usaha. Maka setiap masalah yang muncul dalam gaduh

sapi diselsaikan dengan menempuh jalan musyawarah keluarga atau akomodasi. Dalam musyawarah keluarga para pelaku usaha tidak melibatkan pihak berwajib dalam menyelesaikan masalah timbul. Dengan tujuan untuk untuk menjaga hubungan kedekatan diantara keduanya agar dapat selalu baik – baik saja.

Usaha gaduh sapi memang banyak membantu warga desa yang ekonominya kurang baik, asal dibarengi dengan hukum penjajian yang jelas ketika memberikan sapi kepada calon pemelihara sapi. Selain itu dalam gaduh

sapi pemilik sapi harus mengenal dekat calon pemelihara sapi yang bakal diberikan amanah sapinya. Hal ini sangat dibutuhkan dalam gaduh sapi karena dapat menimbulkan masalah jika asal saja dalam memilih calon pemelihara ternak bisa saja pemelihara ternak yang tidak jujur atau mau bermain curang dalam memberikan keterangan kepada pemilik ternak.


(3)

KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Skripsi yang berjudul “Modal Sosial Sistem Bagi Hasil Dalam Beternak Sapi Pada Masyarakat Desa Purwosari Atas, Kecamatan Dolok Batu Naggar, Kabupaten Simalungun”, disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Secara ringkas skripsi ini menceritakan tentang bagaimana penerapan modal sosial dalam sistem gaduh sapi dan bagaimana pemanfaatan jaringan sosial dalam sistem gaduh sapi, pada peternak sapi di Desa Purwosari Atas, Kecamatan Dolok Batu Naggar, Kabupaten Simalungun

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa dukungan dari berbagai pihak skripsi ini tidak akan terselesaikan. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu dengan sepenuh hati, baik berupa ide, semangat, doa, bantuan moril maupun materil sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu.

Dalam penulisan ini penulis menyampaikan penghargaan yang tulus dan ucapan terimakasih yang mendalam kepada pihak-pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

2. Rasa hormat dan terimakasih yang tidak akan dapat penulis ucapkan dengan kata-kata kepada Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si, Selaku ketua Departemen Sosiologi serta selaku dosen pembimbing sekaligus dosen wali penulis yang


(4)

telah banyak mencurahkan waktu, tenaga, ide-ide dan pemikiran dalam membimbing penulis dari awal perkuliahan hingga penyelesaian penulisan skripsi ini. Segenap dosen, staff, dan seluruh pegawai Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Kak Fenni Khairifa, dan Kak Betty yang telah cukup banyak membantu penulis selama masa perkuliahan dalam hal administrasi.

3. Penghargaan yang tinggi dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya dan tiada henti-hentinya saya ucapkan kepada kedua orang tua tercinta Ayahanda Alm Tukisno dan Ibunda Sarmi Damanik yang telah merawat dan membesarkan serta mendidik saya dengan sepenuh hati dan kasih sayang kebesarannya. Akhirnya inilah persembahan yang dapat saya berikan sebagai tanda ucapan terimakasih dan tanda bakti saya kepada kedua orang tua.

4. Saya ucapkan terimakasih secara khusus dan istimewa buat kakak tersayang saya yaitu kakak Erna Kurniati S.PD dan kakak Aisyah Rahmayani serta abang ipar saya Erik Ardiansyah dan keponakan- keponakan saya Quinara Erly Ardana, Arsaka Firendra Ardana, yang selalu memberikan do’a, semangat, nasehat kepada saya dan masukan yang tidak ternilai harganya dalam penyelesaian skripsi ini.

5. Penulis juga ucapkan terima kasih buat Ferry Ramadan, Syamsir Meisyawaldi, Noviani dwita Siregar, Ismi Andari, Abdurrahman, Rama Dona Herman, serta teman-teman sosiologi Stambuk 2011 yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu orangnya sekaligus teman – teman dari UKM Marching Band yang juga banyak membantu selama penulisan skripsi ini berlangsung.


(5)

Penulis bangga mempunyai sahabat seperti kalian, yang begitu banyak membantu selama penulisan skripsi ini dan selalu menjadi teman untuk bertukar pendapat dalam memberikan masukan.

6. Penulis juga ucapkan terima kasih kepada kepala Desa Purwosari Atas Nagori Dolok Mainu yaitu Bapak Sugeng S.Pdi, serta Para Informan yang telah banyak membantu memberikan informasi yang sangat dibutuhkan dalam penulisan skripsi ini. Terimakasih banyak atas waktu dan kesediaan para informan selama proses penelitian berlangsung.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi terdapat berbagai kekurangan dan keterbatasan, untuk itu penulis mengharapkan masukan dan saran- saran yang sifatnya membangun demi kebaikan tulisan ini. Demikianlah yang dapat penulis sampaikan, semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi para pembaca, dan akhir kata dengan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini.

Medan, 15 juni 2015 (Penulis)

NIM :110901002 Syamsul Sanjaya


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL……… ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 5

1.5 Defenisi Konsep ... 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA... 9

2.1 Modal Sosial ... 9

2.2 Interaksi Sosial ... 14

2.3 Tinjauan Umum Usaha Peternakan Sapi ... 16

2.4 Sistem Gaduh Sapi Dengan Bagi Hasil ... 18

BAB III METODE PENELITIAN ...22

3.1 Jenis Penelitian ... 22

3.2 Lokasi Penelitian ... 23

3.3 Unit Analisis dan Informan ... 23

3.3.1 Unit Analisis ... 23

3.3.2 Informan ... 23

3.4 Tehnik Pengumpulan Data ... 24

3.5 Interpretasi Data ... 26


(7)

3.6 Jadwal Pelaksanaan ... 27

BAB IV TEMUAN DATA INTERPRETASI DATA ... 28

4.1 Deskripsi Desa Purwosari Atas ... 28

4.1.1. Letak dan Luas Wilayah ... 28

4.1.2. 0rbitasi Desa Purwosari Atas ... 28

4.1.3. Penduduk... 29

4.1.4. Peternakan... 33

4.1.5. Kepemilikan Aset Masyarakat ... 34

4.1.6. Sarana Penghubung Desa... 37

4.2 Gambaran Masyarakat Desa Purwosari Atas... 38

4.2.1. gambaran struktur masyarakat desa ... 38

4.3 Profil Informan ... 39

4.3.1. Pemerintahan Desa Purwosari Atas... 39

4.3.2. Pemelihara Ternak ... 40

4.3.3. Pemilik Ternak ... 46

4.4 Sistem Gaduh Sapi di Desa Purwosari Atas ... 52

4.4.1.Munculnya Sistem Gaduh Sapi di Desa Purwosari Atas ..57

4.4.4.1. Syukuran Sebagai Norma Sosial ... 59

4.4.2.Cara Penyelesaian Jika Terjadi Permasalahan Dalam Gaduh Sapi... 62

4.4.2.1. Apabila Sapi yang Dipelihara Sakit ... 63

4.4.2.2. Apabila Sapi yang Dipelihara Hilang ... 64

4.4.2.3. Apabila Sapi yang Dipelihara Mati... 65


(8)

4.4.2.5. Pemelihara Ingin Menjual Ternaknya... 67

4.4.2.6. Pemilik Ternak Mengambil Ternaknya ... 68

4.4.3.Faktor yang Mendukung Keberhasilan Dalam Gaduh Sapi Dapat Bertahan lama... 70

4.4.3.1. Adanya Sifat Mementingkan Jiwa Rasa ... 73

4.4.3.2.Adanya Sikap Senang Berlaku Rukun ... 75

4.4.3.3.Adanya Sifat Hormat Kepada Orang Lain ... 76

4.4.3.4. Adanya Kejujuran ... 77

4.4.4.Cara Bagi Hasil Dalam Gaduh Sapi... 79

4.4.4.1.Sistem Maro Anak ... 79

4.4.4.2. Sistem Maro Bathi ... 80

4.4.4.3. Sistem Maro Pro Sepuluh dan Maro ... 81

4.4.5. Pemanfaatan Jaringan Dalam Gaduh Sapi ... 85

4.4.5.1. Kedua Belah Pihak Saling Mengenal ... 87

4.4.5.2. Adanya Hubungan Tetangga ... 87

4.4.5.3. Adanya Hubungan Saudara ... 88

BAB V PENUTUP ...93

5.1. Kesimpulan ... 93

5.2. Saran ... 97

DAFTAR PUSTAKA...


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin... 29

Tabel 2. Komposisi Penduduk Berdasarkan Umur ... 30

Tabel 3.Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin... 30

Tabel 4. Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Pekerjaan dan Jenis Kelamin ... 31

Tabel 5.Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama dan Jenis Kelamin ... 32

Tabel 6. Komposisi Penduduk Berdasarkan Etnis ... 32

Tabel 7. Jenis Populasi Ternak yang di Pelihara Oleh Masyarakat ... 33

Tabel 8. Ketersediaan Pakan Hijau Ternak Sapi ... 33

Tabel 9. Kepemilikan Lahan Pertanian Tanaman Pangan Berdasarkan Kepada Keluarga ... 34

Tabel 10. Data Perkebunan yang Dimiliki Oleh Warga ... .34

Tabel 11. Kepemilikan Sarana Angkutan Desa ... 35

Tabel 12. Kondisi Bangunan Rumah ... 35

Tabel 13. Jenis Lantai Bangunan Rumah... 36

Tabel 14. Kepemilikan Aset Ekonomi Lainnya ... 36

Tabel 15. Susunan Kepengurusan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa Purwosari Atas ... 37


(10)

ABSTRAK

Peternakan sapi merupakan salah satu usaha sampingan warga desa yang dijadikan sebagai sumber pendapatan ekonomi lainnya. Seperti warga Desa Purwosari Atas yang menerapkan usaha peternakan sapi ini sejak lama. pemicu munculnya minat warga desa memelihara sapi adalah wilayah pedesaan yang dekat dengan perkebunan PTPN IV sebagai salah satu wilayah yang dijadikan sebagai tempat gembalaan sapi warga.

Melihat kondisi perusahaan yang memberikan ijin, maka semakin banyak pula warga yang memelihara ternak baik milik sendiri maupun milik orang lain. Ternak milik orang lain tersebut sengaja dipelihara kepada orang lain untuk dikembangbiakkan yang dikenal dengan istilah gaduh sapi. Gaduh sapi dikejakan mulai proses pra- produksi hingga produksi dengan sistem pembagian hasil usaha dibagi dua antara pemilik dan peternak sapi.

Dalam melaksanakan kerjasama sistem gaduh sapi, para pemilik dan peternak sapi hanya berlandaskan kepercayaan dalam menjalankan usahanya, yang merupakan wujud dari modal sosial yang sudah lama terbentuk dikalangan para peternak dan pemelihara ternak. Kepercayaan yang terbentuk memang sering dilakukan oleh para pelaku usaha ternak sapi. Para pelaku usaha lebih percaya melakukan usaha dengan kepercayaan dari pada berlandaskan hukum perjanjian secara terang – terangan.

Selama proses pemeliharaan berlangsung para pemilik ternak dan pemelihara ternak jarang mengalami kerugian, yang diakibatkan karena sesuatu hal terjadi di tengah – tengah usaha yang sedang berlangsung misalnya kematian, pencurian, dan ternak yang dipelihara sakit. Hal ini dapat diminimalisir karena para pelaku usaha adalah kerabat dekat, tetangga dan saudara yang memiliki hubungan yang erat, sehingga perjanjian secara terang – terangan tidak diperlukan. Karena adanya rasa jujur yang timbul dari dalam diri para pelaku usaha dan rasa segan jika ingin memberikan keterangan palsu mengenai kondisi ternaknya.

Selain itu karena kedekatan hubungan sosial dan adanya kepercayaan yang timbul diantara pelaku usaha. Maka setiap masalah yang muncul dalam gaduh

sapi diselsaikan dengan menempuh jalan musyawarah keluarga atau akomodasi. Dalam musyawarah keluarga para pelaku usaha tidak melibatkan pihak berwajib dalam menyelesaikan masalah timbul. Dengan tujuan untuk untuk menjaga hubungan kedekatan diantara keduanya agar dapat selalu baik – baik saja.

Usaha gaduh sapi memang banyak membantu warga desa yang ekonominya kurang baik, asal dibarengi dengan hukum penjajian yang jelas ketika memberikan sapi kepada calon pemelihara sapi. Selain itu dalam gaduh

sapi pemilik sapi harus mengenal dekat calon pemelihara sapi yang bakal diberikan amanah sapinya. Hal ini sangat dibutuhkan dalam gaduh sapi karena dapat menimbulkan masalah jika asal saja dalam memilih calon pemelihara ternak bisa saja pemelihara ternak yang tidak jujur atau mau bermain curang dalam memberikan keterangan kepada pemilik ternak.


(11)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kabupaten Simalungun sebagian besar wilayahnya merupakan kawasan perkebunan yang memiliki banyak potensi ekonomi yang dapat dikembangkan. Salah satunya adalah usaha peternakan sapi yang digeluti oleh masyarakat yang berada di pedesaan. Seperti halnya warga Desa Purwosari Atas yang hampir setiap kepala rumah tangga memiliki sapi untuk dikembangkan baik secara modern maupun secara tradisional.

Usaha peternakan sapi yang dilakukan oleh warga desa merupakan salah satu usaha sampingan keluarga, yang sering dilakukan oleh masyarakat Desa Purwosari Atas. Sebagai salah satu usaha yang dapat menopang perekonomian keluarga jika mengalami masa – masa sulit. Dengan meningkatnya minat warga dalam memelihara ternak sapi berdampak pada meningkatnya jumlah populasi ternak yang cukup tinggi di Kabupaten Simalungun, yaitu mencapai 103, 068 ekor, yang terdiri dari 97,576 ekor sapi potong atau sapi peliharaan, 40 ekor sapi perah dan 5,453 ekor kerbau (berdasarkan data dari Dinas Peternakan tahun 2014).

Sementara itu Kecamatan Dolok Batu Nanggar merupakan salah satu Kecamatan yang berada pada posisi ke tiga dengan jumlah populasi ternak sapi terbanyak di Kabupaten Simalungun, yaitu mencapai 11,584 ekor sapi yang terdiri dari 2,428 sapi jantan, 8,996 sapi betina. Sedangkan Desa Purwosari Atas yang terletak di Kecamatan Dolok Batu Nanggar dan berada di Kabupaten


(12)

Simalungun memiliki jumlah populasi ternak sapi yang lumayan banyak dan sangat beragam seperti tabel dibawah ini:

No Jumlah peternak Jenis ternak Jumlah ternak dipelihara

1 584 Sapi 3.000

2 450 Ayam 1500

3 30 Bebek 450

4 25 Angsa 200

5 30 Kambing 700

6 5 Anjing 10

Total 5860

Sumber Data :kantor kelurahan Desa Purwosari Atas (2013).

Dari tabel di atas terlihat bahwa jumlah populasi ternak sapi yang paling tinggi dan mendominasi. Bila dibandingkan dengan ternak lainnya yang dipelihara oleh warga desa. Munculnya minat masyarakat Desa Purwosari Atas dalam beternakan sapi dikarenakan, usaha ini tidak terlalu banyak memakan biaya dan sedikit menanggung resiko dalam proses pemeliharaanya tetapi memiliki hasil yang besar.

Factor pendukung lainnya dalam memelihara sapi adalah letak Desa Purwosari Atas yang strategis, yaitu berada disekeliling perkebunan BUMN PTPN IV Dolok Ilir sebagai tempat gembalakan sapi (angonan). Sehingga Sapi yang dipelihara oleh warga desa rata – rata hanya diliarkan saja di perkebunan BUMN PTPN IV Dolok Ilir tersebut. Dengan luas perkebunan yang di jadikan tempat untuk mengembalakan sapi mencapai 878 hektar yang berada di kawasan PTPN IV Dolok Ilir ( Menurut data statistik kelurahan Desa Purwosari Atas tahun 2013). Pada dasarnya perkebunan ini tidak memberikan izin kepada masyarakat untuk mengembalakan sapi-sapi mereka. Dengan alasan lahan akan rusak dan tandus, namun kebanyakan masyarakat masih saja tidak menghiraukan larangan tersebut.


(13)

Harga sapi yang lumayan tinggi dipasaran juga sebagai salah satu dasar daya tarik yang dapat meningkatkan minat warga desa dalam memelihara sapi. seperti saat ini saja harga sapi jantan yang kisaran harganya mencapai delapan juta sampai dua belas juta setiap ekornya. Sementara itu sapi betina mulai dari enam juta sampai sepuluh juta untuk setiap ekornya. Namun terkadang harga sapi yang berada dipasaran juga tergantung kepada besar kecilnya sapi dan gemuk tidaknya sapi yang akan dijual. Sebab jika sapi yang dijual memiliki bobot yang fantastis bisa melebihi dari harga yang ditentukan.

Melihat kondisi perusahaan yang memberikan izin maka semakin banyak pula masyarakat yang terus menambah jumlah ternaknya mulai dari satu ekor sampai puluhan ekor. Namun hanya beberapa peternak saja yang memiliki sapi milik sendiri, ada juga beberapa peternak lainnya yang memelihara ternak sapi milik orang lain. Peternak yang memelihara ternak milik orang lain hanya diberikan amanah dengan imbalan yaitu, keuntungan dari pemeliharaan berupa anakan sapi dibagi dua antara pemilik dan penggaduh sapi. Biasanya masyarakat setempat menyebutkan sistem ini dengan istilah “gaduh atau maro”.

menurut (Humans, 2002) Gaduh secara sederhana dapat kita artikan sebagai seseorang yang memberikan sapi yang dimilikinya untuk dikembangbiakkan dengan orang lain, dan keuntungan dari hasil sapi yang dipelihara berupa anak sapi dibagi dua antara pemilik sapi dan pemelihara sapi, atau selisih harga dari sapi yang dibesarkan keuntungannya dibagi dua”.

Sistem bagi hasil ini dikerjakan mulai dari proses pra-produksi, produksi, hingga pemasaran, yang saling membutuhkan dan menguntungkan antara pemilik modal dan peternak itu sendiri. Selain itu gaduh juga sering dilakukan pada masyarakat peternak baik sapi, kambing, maupun kerbau, dengan mekanisme bagi hasil antara peternak dan pemilik sapi. Mekanisme gaduh sapi ini


(14)

telah terbukti dikalangan peternak yang kurang modal sangat membantu karena dapat menopang kebutuhan ekonomi keluarga tanpa harus keluar modal usaha yang besar.

Seperti hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya, oleh Dyah Mardiningsih, dkk ( 2005 ) dikabupaten Grobokan menyatakan:

“ pola kemitraan dengan gadu ternak sapi sudah mendapat hasil yang optimal. Dengan pola pembagian hasil adalah 50% kepada peternak sapi dan 50% kepada pemilik sapi, sehingga dapat meningkatkan pendapatan para peternak dan pemilik sapi. Hal ini dapat dilakukan karena kedua belah pihak dalam melakukan proses pemeliharaan menggunakan inseminasi buatan, tujuannya untuk meningkatkan hasil produksi daging yang tinggi”.

Namun penulisan skripsi terdahulu mengacu pada tingkat ekonomisnya dan peningkatan jumlah produksi daging yang diharapkan untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Sedangkan penelitian yang peneliti lakukan lebih mengarah pada penerapan modal sosial dan pemanfaatan jaringan sosisal dalam sistem

gaduh sapi di Desa Purwosari Atas. Maka dari itu berdasarkan uraian di atas

peneliti tertarik dalam menganalisis dan ingin mengadakan penelitian tentang Modal Sosial Sistem Bagi Hasil dalam Beternak Sapi pada Masyarakat Desa Purwosari Atas Kecamatan Dolok Batu Nanggar Kabupaten Simalungun.


(15)

1.2.Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagimana penerapan modal sosial dalam sistem gaduh sapi? 2. Bagaimana jaringan sosial dalam sistem gaduh sapi?

1.3.Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian merupakan bagian pokok ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk lebih mendalami segala aspek kehidupan, di samping itu juga merupakan sarana untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, baik dalam segi teoritis maupun dalam segi praktis. Adapun tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan menginterpretasikan penerapan modal sosial dalam sistem gaduh sapi

2. Untuk mengetahui dan menginterpretasikan jaringan sosial dalam melakukan gaduh sapi

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah: 1.4.1. Manfaat Teoritis

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan wawasan kajian ilmiah bagi mahasiswa Sosiologi khususnya pada mata kuliah Sosiologi Pedesaan dan Sosiologi Ekonomi. Berupa kontribusi yang dapat dijadikan rujukan dalam mengembangkan potensi desa dengan memanfaatkan modal sosial, selain itu memberikan


(16)

sumbangsih pemikiran kepada pihak-pihak yang membutuhkan untuk dijadikan sebagai perbandingan penelitian selanjutnya.

2. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi tambahan guna menambah rujukan bagi mahasiswa, khususnya mengenai sistem bagi hasil ternak sapi (gaduh sapi) di kalangan masyarakat desa.

1.4.2. Manfaat Praktis .

1. Bagi pemerintah sebagai bahan masukan untuk bisa menerapkan sistem bagi hasil dalam beternak sapi, guna meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat lemah yang bermata pencaharian sebagai peternakan. Dengan memanfaatkan modal sosial ekonomi yang telah ada dalam lingkungan atau struktur masyarakat.

2. Bisa menjadi model dalam pengembangan usaha peternakan sapi bagi pengembang usaha atau pelaku bisnis lainnya.

1.5. Defenisi Konsep

1.5.1. Institusi Lokal

Institusi yaitu seperangkat aturan yang terinstitusionalisasi dalam suatu lembaga masyarakat (Harry M.Johnson 1960). Maka dari itu bagi hasil dalam beternak sapi ini merupakan suatu institusi lokal yang muncul dengan sendirinya di dalam masyarakat, dengan segala aturan dan memiliki sangsih yang tegas bagi setiap pelanggarnya jika tidak menepati perjanjian yang telah disepakati.

1.5.2. Pemilik Sapi

Pemilik sapi adalah seseorang yang memiliki sapi namun tidak dipelihara sendiri melainkan diamanahkan kepada orang lain yang ingin memelihara ternaknya, dengan maksud untuk mengembangkan usahanya tanpa


(17)

harus susah payah dalam proses pemeliharaan sapi yang dimiliki dan keuntungan dibagi dua.

1.5.3. Penggaduh Sapi ( pemelihara sapi )

Merupakan seseorang yang memelihara sapi milik orang lain yang kemudian mempercayakan sapi tersebut untuk dipelihara kepadanya dan apabila sapi tersebut berkembang biak maka anak-anak dari hasil pemeliharaan akan di bagi dua atau selisih harga dari sapi tersebut dibagi dua.

1.5.4. Gaduh Sapi ( bagi hasil )

Gaduh secara sederhana dapat kita artikan sebagai seseorang yang

memberikan sapi yang dimilikinya untuk dikembangkan dengan orang lain. Keuntungan dari hasil sapi yang dipelihara berupa anaknya dibagi dua antara pemilik sapi dan pemelihara sapi, atau selisih harga dari sapi yang dibesarkan keuntungannya dibagi dua ( Humans, 2002 ). Ada dua cara sistem gaduh sapi, pertama adalah seseorang yang memiliki sapi kemudian sapi tersebut diberikan untuk dipelihara kepada orang lain dan hasil dari sapi yang dipelihara tersebut dibagi dua antara pemilik sapi dan pemelihara sapi, dengan catatan bahwa orang pertama menaggung modal dan orang kedua hanya menggunakan tenaganya saja dalam gaduh sapi. Kedua yaitu dengan cara kedua belah pihak sama-sama mengumpulkan modal usaha untuk membeli sapi dan sama-sama memelihara sapi tersebut kemudian setela memiliki hasil atau keuntungannya dibagi sama rata. Dengan catatan sama-sama menanggung beban usaha mulai dari proses pra- produksi, produksi, hingga pemasaran.


(18)

1.5.5. Kepercayaan

Kepercayaan dalam gaduh sapi merupakan faktor utama dalam melakukan hubungan kerjasama ternak sapi. Yang mana kedua belah pihak harus sama-sama saling mengerti sifat karakter dari keduanya. Kepercayaan biasannya berfungsi untuk mereduksi atau meminimalisasi bahaya yang berasal dari aktivitas tertentu dalam hal ini dimana risiko telah di institusionalisasikan dalam kerangka kerja kepercayaan menurut Giddens ( 2005: 46-47) .

1.5. 6. Jaringan Sosial

Jaringan sosial merupakan salah satu sumber informasi dalam proses

gaduhan sapi itu berlangsung. Selain itu jaringan sosial juga yang dapat

menemukan siapa orang yang pantas untuk menerima gaduhan sapi, sebab seseorang yang melakukan gaduh sapi bukanlah seseorang yang tidak saling mengenal mereka memiliki hubungan yang sangat erat antara pemeilik sapi dan pemelihara sapi bisa kerabat, tetangga, bahkan saudara dekat yang saling mengenal karakter dan tingkah laku keduanya. Hal ini ditujukan karena dapat menekan hal-hal yang tidak diinginkan misalnya kematian, dijual secara diam- diam, dan pencurian karena kabanyakan sapi yang dimiliki diliarkan di perkebunan.


(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Modal Sosial

Modal sosial merupakan gambaran organisasi sosial sebagai jaringan- jaringan, norma-norma, dan kepercayaan yang dapat berkoordinasi dan bekerjasama dalam mencapai suatu keuntungan bersama seperti yang dilakukan dalam usaha peternakan sapi. Modal sosial merupakan suatu dimensi budaya dari kehidupan ekonomi yang sangat menentukan dalam keberhasilan suatu bidang ekonomi masyarakat lemah. Konsep modal sosial menjadi salah satu komponen penting untuk menunjang model pembangunan manusia. Karena dalam modal ini, manusia ditempatkan sebagai subjek penting yang menentukan arah penyelenggaraan pembangunan (fukuyama 1995).

Fukuyama (1995) menilai modal sosial dibentuk dan ditranmisikan melalui mekanisme kultural, seperti agama, tradisi, dan kebiasaan-kebiasaan historis. Mekanisme kultural tersebut membentuk nilai-nilai bersama dalam menghadapi masalah bersama dalam komunitas. Analisi modal sosial dapat mengacu pada komponen-komponen modal sosial antara lain komponen mekanisme kultural, saling percaya, pranata dan norma-norma yang dimiliki bersama dan jaringan sosial yang ada. Sehingga dalam sistem gaduh sapi kebanyakan pemilik sapi dan pemelihara sapi adalah kerabat dekat, keluarga, dan tetangga yang memiliki tingkat modal sosial yang lebih dalam dan lebih mengikat antara yang satu dengan lainnya.

Keberadaan modal sosial ini digunakan dan dimanfaatkan dalam menunjang ekonomi peternak yang tergolong rendah, dan perluasan akses


(20)

sumber-sumber peluang bisnis usaha penggaduhan sapi dalam melakukan hubungan kepada para pemilik sapi yang ingin menggaduhkan sapi yang mereka miliki. Dengan cara tersedianya jaringan-jaringan sosial yang akan muncul diikuti dengan norma-norma serta nilai-nilai yang akan berlaku dalam proses pemeliharaan sapi yang dimiliki oleh para pemilik sapi . Serta dapat menjunjung tinggi tingkat kepercayaan yang semakin erat antara pemilik sapi dan pemelihara sapi ( penggaduh sapi) yang pada akhirnya menuju pada masyarakat sejahtera pada tingkat perekonomian peternak.

Modal sosial adalah salah satu konsep baru yang digunakan untuk mengukur kualitas hubungan dalm komunitas, organisasi, dan masyarakat. Ada beberapa tokoh yang berperan dalam memeperkenalkan konsep modal sosial dalam karya-karya mereka seperti Putnam, Bourdieu, Coleman dan Sabatini 2005. Menurut Putnam (1993, 1996, 2000) menyatakan:

“modal sosial mengacu pada esensi dari organisasi sosial seperti trust, norma, jaringan sosial, yang memungkinkan pelaksanaan kegiatan lebih terkoordinasi, dan anggota masyarakat dapat berpartisipasi dan bekerjasama secara efektif dan efisien dalam mencapai tujuan bersama, dan mempengaruhi produktifitas secara individual maupun secara berkelompok”.

Sependapat dengan Putnam , Bourdieu (1998) menyatakan:

“bahwa modal sosial sebagai sumber daya yang dimiliki seseorang ataupun sekelompok orang dengan memanfaatkan jaringan, atau hubungan yang terlembaga dan ada saling mengakui antar anggota yang terlibat didalamnya”.

Dari defenisi di atas ada dua hal yang perlu mendapat perhatian dalam memahami modal sosial yaitu pertama: sumber daya yang saling dimiliki seseorang berkaitan dengan keanggotaan dalam kelompok dan jaringan sosial. Besarnya modal sosial yang dimiliki seseorang tergantung pada kemampuan


(21)

orang tersebut memobilitasi hubungan dan jaringan dalam kelompok atau dengan orang lain di luar kelompoknya. Kedua, kualitas hubungan antara aktor lebih penting dari pada hubungan dalam kelompok.

Bourdieu melihat bahwa jaringan sosial tidak bersifat alami, melainkan dibentuk melalui strategi investasi yang berorientasi kepada pelembagaan hubungan kelompok yang dapat dipakai sebagai sumber untuk meraih keuntungan.

Coleman melengkapi kajian Bourdieu dengan melihat modal sosial berdasarkan fungsinya. Menurutnya :

“Modal sosial mencakup dua hal dasar yaitu modal sosial mencakup aspek tertentu dari struktur sosial dan modal sosial memfasilitasi pelaku (aktor) bertindak dalam struktur tersebut”.

Fukuyama (1999) menambahkan norma-norma informal dapat mendorong kerjasama antara dua atau beberapa orang. Norma-norma yang mengandung modal sosial memiliki ruang lingkup yang cukup luas, mulai dari nilai-nilai resiprokal antar teman sampai dengan yang sangat kompleks dan mengandung nilai-nilai keagamaan. Berdasarkan defenisi tersebut, modal sosial dapat disimpulkan sebagai jaringan dan nilai-nilai sosial yang dapat memfasilitasi individu dan komunitas untuk mencapai tujuan bersama secara efektif dan efisien.

Empat unsur utama dalam modal sosial adalah trust ( kepercayaan ),

norms ( norma ), network (jejaring), reciprocity ( hubungan timbal balik).

1. Trust (kepercayaan) merupakan komponen penting dari adanya

masyarakat. Trust dapat mendorong seseorang untuk bekerja sama dengan orang lain untuk memunculkan aktivitas ataupun tindakan bersama yang produktif. Trust merupakan produk dari norma-norma sosial kooperatif


(22)

yang sangat penting yang kemudian memunculkan modal sosial. Fukuyama (2002) menyatakan:

“trust sebagai harapan-harapan terhadap keteraturan, kejujuran, perilakukoperatif yang muncul dari dalam diri sebuah komunitas yang didasarkan pada norma-norma yang dianut bersama anggota komunitas tersebut”.

2. Unsur terpenting kedua dari modal sosial adalah reciprocity ( hubungan timbal balik ) yang merupakan tindakan bersama yang ditujukan dengan saling memberi respon. Reciprocity dapat dijumpai dalam bentuk memberi, saling menerima, saling membantu, yang dapat muncul dari interaksi sosial ( Soetomo, 2006:87 ).

3. Unsur yang ketiga adalah seperangkat norma dan tata nilai dalam bertindak. Norma merupakan satu identitas khusus yang mampu membentuk modal sosial ( social capital ). Norma merupakan pedoman berprilaku bagi antar individu dan apa yang mesti mereka lakukan . Selain itu, norma merupakan sebuah alat penjaga keutuhan eksistensi masyarakt tertentu. Suatu masyarakat akan disebut eksistensinya tinggi jika mereka memiliki norma yang berlaku dan disepakati bersama. Apabila tidak ada maka tidak ada masyarakat melainkan hanya sekumpulan benda. Sedangkan nilai merupakan sesuatu yang dihargai, dibanggakan, dijunjung tinggi dan ingin diperoleh manusia dalam hidupnya yang dapat berkembang sewaktu-waktu ( Prof.Dr.Notonegoro ).

4. Unsur yang terkahir adalah network atau jaringan sosial yang merupakan hubungan diantara para pelaku anggota masyarakat atau organisasi sosial. Jaringan sekelompok orang yang dihubungkan oleh perasaan simpati dan kewajiban serta norma pertukaran dan civic engagement. Jaringan ini bisa


(23)

dibentuk karena berasal dari daerah yang sama, kesamaan kepercayaan politik atau agama, hubungan geneologis, dan lain-lain. Jaringan sosial tersebut diorganisasikan menjadi sebuah institusional yang memberikan perlakuan khusus terhadap mereka yang dibentuk oleh jaringan untuk mendapatkan modal sosial dari jaringan tersebut ( Pratikno dkk:8 ).

Keempat unsur utama modal sosial dapat dilihat secara aktual dalam berbagai bentuk kehidupan dengan menggunakan konsep modal sosial seperti yang dinyatakan oleh ( Soetomo,2006:90 ):

“Dalam pandangannya modal sosial dapat dilihat dalam dua kategori, fenomena struktural, dan kognitif. Kategori struktural merupakan modal sosial yang terkait dengan beberapa bentuk organisasi sosial khusus peranan, aturan, precedent, dan prosedur yang dapat membentuk jaringan yang luas bagi kerjasama dalam bentuk tindakan bersama yang saling menguntungkan”.

Modal sosial dalam kategori kognitif diderivasi dari proses mental dan hasil pemikiran yang diperkuat oleh budaya dan ideologi khususnya norma, nilai, sikap, kepercayaan yang memberikan kontribusi bagi tumbuhnya kerjasama khususnya dalam bentuk tindakan bersama yang saling menguntungkan. Bentuk- bentuk aktualisasi modal dalam fenomena struktural maupun kognitif itulah yang perlu digali dari dalam kehidupan masyarakat selanjutanya dikembangkan dalam usaha pengingkatan taraf hidup dan kesejahteraan.

Komponen modal sosial tersebut menjelaskan, pada level nilai, kultur, kepercayaan dan persepsi modal sosial bisa berbentuk simpati, rasa kewajiban, rasa percaya, resiprositas,dan pengakuan timbal balik. Pada level institusi bisa berbentuk keterlibatan umum sebagai warga negara, asosiasi, jaringan. Pada level mekanisme, modal sosial berbentuk kerjasama, tingkah laku, sinergi antara


(24)

kelompok. Tampak jelas bahwa modal sosial bisa memberikan kontrobusi tersendiri bagi terjadinya integrasi sosial (Sortomo 2006).

2.2.Interaksi Sosial

Menurut Gillin dan Soeharjo Seokamto ( 2007: 55-56):

“Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antar orang-perorang, antar kelompok- kelompok manusia, maupun antar orang-perorang dengan kelompok manusia. Apabila dua orang bertemu, interaksi dimulai pada saat itu misalnya mulai dari menegur, berjabat tangan, saling berbicara, bahkan mungkian berkelahi. Aktivitas-aktivitas semacam itu merupakan bentuk- bentuk interaksi sosial. Walaupun orang-orang yang bertemu muka tersebut saling berbicara atau saling menukar tanda-tanda, interaksi sosial telah terjadi, karena masing-masing sadar akan adanya pihak lain yang menyebutkan perubahan-perubahandalam perasaan maupun syaraf orang- orang yang bersangkutan, yang disebabkan oleh misalnya bau keringat, minyak wangi, suara berjalan, dll.Semua itu menimbulakan kesan didalam pikiran seseorang, yang kemudian, menentukan tindakan apa yang akan dilakukan (Soerjono Soekamto)”.

Interaksi sosial terjadi apabila dalam masyarakat terjadi kontak sosial dalam satu komunitas. Interkasi terjadi dua orang atau kelompok saling bertanya atau pertemuan antara individu dengan kelompok dimana komunitas terjadi diantara kedua belah pihak. Kontak sosial dalam komunitas merupakan syarat mutlak dalam proses interaksi sosial, sehingga tanpa kedua unsur ini sangatlah mustahil jika interaksi dapat terjadi dengan baik. Interaksi sosial dimaksud sebagai pengaruh timbal balik antara individu dengan golongan di dalam usaha mereka untuk memecahkan persoalan yang dihadapinya dalam usaha untuk mencapai tujuannya (Abu Ahmadi 2007:10).

Menurut Soleman B.Taneko ada beberapa bentuk interaksi sosial yang terdiri dari :


(25)

1. Kerjasama

Kerjasama merupakan usaha bersama antara individu atau kelompok untuk mencapai satu tujuan bersama. Proses terjadinya kerjasama lahir apabila diantara individu dan kelompok yang bertujuan memiliki satu tujuan yang sama yang ingin mereka capai. Begitu pula apabila individu atau kelompok merasa adanya ancaman dan bahaya dari luar, maka proses kerjasama ini akan bertambah kuat diantara mereka.

2. Persaingan

Persaingan adalah proses sosial, dimana individu atau kelompok berjuang dan bersaing untuk mencari keuntungan pada bidang-bidang kehidupan yang menjadi pusat perhatian umum dengan cara menarik perhatian publik dan dengan mempertajam prasangka yang telah ada namun tanpa menggunakan ancaman atau kekerasan.

3. Konflik

Konflik merupakan proses sosial dimana individu ataupun kelompok menyadari perbedaan-perbadaan, misalnya dalam ciri badaniah, emosi, unsur- unsur kebudayaan, pola-pola perilaku, prinsip, politik, ideologi, maupun kepentingan dengan pihak lain. Perbedaan ciri tersebut dapat mempertajam perbedaan yang ada hingga menjadi suatu pertentangan atau pertikaian dimana pertikaian itu sendiri dapat menghasilkan ancaman dan kekerasan fisik.

4. Perdamaian

Akomodasi merupakan proses sosial dengan dua makna, pertama adalah proses sosial yang menunjukan pada suatu keadaan yang seimbang dalam interaksi sosial dan antar kelompok didalam masyarakat, terutama yang ada


(26)

hubungannya dengan norma-norma dan nilai-nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Kedua adalah suatu proses yang sedang berlangsung dimana akomodasi menampakkan suatu proses untuk merendahkan suatu pertentangan yang terjadi didalam masyarakat, baik pertentangan yang terjadi diantara individu, kelompok dan masyarakat maupun dengan norma dan nilai yang ada dimasyarakat.

Soehaji Soekamto menyatakan bahwa pada dasarnya ada dua bentuk umum dari interaksi sosial , yaitu asosiatif dan disosiatif ( Soleman B.Taneko 1984:115):

“Suatu interaksi sosial yang asosiatif merupakan proses yang menunjukan pada suatu kerjasama, sedangkan bentuk interaksi disosiatif dapat di artikan sebagai suatu perjuangan melawan seseorang atau kelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu”.

2.3. Tinjauan Umum Skala Usaha Ternak Sapi

Usaha peternakan khususnya di Indonesia masih dikelola secara taradisional, yang bercirikan dengan usaha hanya sebagai usaha keluarga atau sebagai usaha sampingan. Menurut Soehaji ( Saragih:2000 ), tipologi usaha peternakan dibagi berdasarkan skala usaha dan tingkat pendapatan peternak, dan dan diklasifikasikan ke dalam beberapa kelompok berikut:

1. Peternakan sebagai usaha sambilan, dimana ternak sebagai usaha sambilan untuk mencukupi kebutuhan sendiri ( subsistence ), dengan tingkat pendapatan usaha ternak kurang dari 30%.

2. Peternakan sebagai cabang usaha, dimana peteni peternak mengusahakan pertanian campuran ( mixed forming ) dengan ternak sebagai cabang


(27)

usaha, dengan tingkat pendapatan dari usaha ternak 30-70% (semi komersial atau usaha terpadu)

3. Peternakan sebagai usaha pokok, dimana peternakan mengusahakan ternak sebagai usaha pokok dan komoditi pertanian lainnya sebagai usaha sambilan ( single komodity), dengan tingkat pendapatan usaha ternak 70- 100%.

4. Peternakan sebagai usaha sendiri, dimana komoditas ternak diusahakan secara khusus (specialized farming) dengan tingkat pendapatan usaha ternak 100% ( komoditi pilihan).

Ternak sapi merupakan jenis usaha yang dilakukan dalam sekala besar khususnya di Indonesia. Ternak sapi memiliki manfaat yang lebih luas dan bernilai ekonomis tinggi jika dibandingkan dengan ternak lainnya. Usaha ternak sapi merupakan usaha yang lebih menarik sehingga mudah merangsang pertumbuhan usahanya. Hal ini bisa di buktikan dengan perkembangan usaha peternakan sapi yang ada di Indonesia jauh lebih maju jika dibandingkan dengan ternak lain, seperti kerbau, babi, domba dan kambing. Peternakan sapi yang ada di Indonesia semuanya adalah peternakan rakyat atau keluarga yang merupakan usaha sambilan dan cabang usaha, yang belum bisa memenuhi permintaan daging berkualitas. Hal ini dapat terjadi karena pengelolaannya yang masih sangat tradisional.

Usaha ini belum dilakukan sebagai mata pencaharian utama, sehingga tidak di kelola sebagai penghasil daging. Keadaan industri peternakan seperti ini mempengaruhi kualitas daging yang di hasilkan dan pada gilirannya berpengaruh dengan terhadap harga yang terbentuk. Keadaan ini lebih diperburuk lagi oleh


(28)

kenyataan sikap konsumen yang pada umumnya belum selektif terhadap mutu/kualitas daging yang dibelinya. Selera konsumen daging terhadap marbling

(perlemakan), warna dan keempukan, belum begitu tinggi (Azis dalam Bidiarti, 2000).

Menurut ( Wiliamson dan Payne dalam Rivai,2009 ), setidaknya ada tiga tipe dalam peternakan sapi di daerah tropis yaitu peternakan rakyat atau subsistem, peternakan spesialis, produsen skala besar. Purawirokusumo (1990) menyatakan bahwa berdasarkan tingkat produksi, macam teknologi yang digunakan, dan banyaknya hasil yang dipasarkan, maka usaha peternakan di Indonesia dapat digolongkan ke dalam tiga bentuk, yaitu:

1. Usaha yang bersifat tradisional, yang diwakili oleh petani dangan lahan sempit, yang mempunyai 1-2 ekor ternak.

2. Usaha backyard yang diwakili oleh peternak sapi perah yang menggunakan teknologi seperti kandang, manajemen, pakan komersial, bibit unggul,dan lain-lain.

3. Usaha komersial adalah usaha yang benar-benar menerapkan prinsip- prinsip ekonomi antara lain untuk keuntungan maksimum.

2.4. Sistem Gaduh Sapi Dengan Bagi Hasil

Sistem gaduh sapi secara umum mirip dengan sistem paruhan atau bagi hasil. Menurut Scheltema (1985) menyatakan:

“Bagi hasil semata-mata hanya merupakan bagi usaha pada kegiatan pertanian, yang dalam pelaksanaan priode usaha seluruh pekerjaan di laksanakan oleh penggarap atau di bawah pimpinanya. Bagi usaha yang di maksud dalam hal ini adalah suatu perjanjian kerja dengan upah khusus”.


(29)

,

Pada prinsipnya sistem bagi hasil dalam peternakan sapi tidak lepas dari modal komunitas yang berada di lingkungan tersebut. ( Hasbullah 2006 ) menyatakan:

“Bahwa konsep pembangunan harus memiliki modal komunitas didalamnya yang terdiri dari : (a) Modal Manusia ( human capital ) berupa kemampuan personal seperti pendidikan, pengetahuan,kesehatan, keahlian dan keadaan terkait lainnya; (b) modal sumberdaya alam ( natural capital) seperti perairan laut; ( c ) Modal Ekonomi Produktif ( produced economic capital ) berupa aset ekonomi dan finansial serta aset lainnya, dan Modal Sosial ( sosial capital ) berupa norma/nilai, kepercayaan ( trust ) dan partisipasi dalam jaringan”.

Sedangkan Mosher dalam Tarigan (1996), Menyatkan:

“Bahwa bagi hasil adalah kerjasama yang diikat dengan perjanjian bagi hasil 50%-50%. Sistem ini banyak di lakukan karena kemiskinan dan kesukaran mendapatkan modal usaha yang memaksa seseorang untuk menerima nasibnya mengerjakan tanah atau memelihara ternak yang bukan miliknya sendiri”.

Penggaduhan ternak adalah keadaan dimana seseorang dapat memlihara ternak sapi yang diperolehnya dari orang lain dengan disertai suatu aturan tertentu tentang pembiayaan dengan pembagian hasilnya. Mereka yang memelihar ternak orang lain atau pihak lainnya dengan sistem menggaduh ini, selanjutnya disebut

penggaduh ( peternak penggaduh), sedangkan di lain pihak adalah pemilik ternak

(Muhzi 1984).

Menurut (Sajogyo dalam Siswijono,1992), pada sensus pertanian 1983 menunjukakan bahwa penerapan persyaratan bagi hasil sangat bervariasi. Bahkan Sinaga dan (Kasryno dalam Siswijono,1992) menyatakan bahwa dalam satu komunitas pun sering dijumpai penerapan persyaratan aturan sistem bagi hasil yang berbeda. Variasi yang dimaksud mencakup pembagian hasil serta pembagian sarana produksi. Besarnya bagian untuk menggaduh sapi sangatlah beragam, misalnya besarnya berkisar antara 1, 1, 1 2 dari nilai pertambahan bobot badan


(30)

selama pemeliharaannya. Dari hasil penelitian (Simatupang dalam Lole,1995), ditemukan bahwa bagian untuk penggaduhan sebesar 2 3dari pertumbuhan bobot badan sapi, sedangkan pada pola tradisional bahagi penggaduh sapi sebesar 1 dari

2

pertambahan nilai modal usaha.

Dalam bagi hasil usaha ternak, Scheltema (1985) menyatakan:

“Bahwa perjanjian-perjanjian dengan pembagian keuntungan dapat dibagi seperti berikut : perjanjian-perjanjian dengan penyerahan ternak kepada seseorang selama waktu tertentu untuk dipelihara dengan maksud untuk kemudian dijual dan dibagi keuntungannya, atau nilainya diperkirakan pada awal dan akhir perjanjian dan nilai tambah atau nilai kurangnya dibagi, dan perjanjian-perjanjian di mana anak-anak ternak yang dilahirkan dijual dan keuntungannya dibagi. Lebih lanjut menurut Scheltema (1985) kecuali syarat pembagian, dalam bagi usaha ternak yang penting ialah arti ekonominya, bagaimana pengaturannya, siapa yang menaggung risiko bila terjadi kematian, pencurian, dan kehilangan karena hal lari, dalam hal ini juga terdapat banyak variasi”.

Muhzi (1985) menyatakan bahwa pada pokoknya pemilik ternak di bedakan dalam dua macam yaitu pemerintah dan non pemerintah dengan demikian terdapat suatu perbedaan yang sangat pokok dalam pembagian hasilnya sehingga memberikan pengaruh yang berbeda pula terhadap pendapatan yang diperoleh petani dalam satu-satuan tertentu.

Bentuk kerja sama dalam sistem bagi hasil atau sistem gaduh secara umum melibatkan peternak yang kekurangan modal atau peternak miskin. Mereka umumnya tidak memiliki ternak sendiri atau kalaupun ada hanya dalam jumlah yang kecil saja. Dalam keadaan demikian, petani merasa kesulitan karena dihadapkan pada berbagai usaha untuk meningkatkan kesejahteraan. Oleh karena itu, upaya alternatif yang relevan adalah pengembangan intensifikasi penggunaan lahan usaha tani, misalnya usaha penggemukan ternak sapi. Hal ini dapat diterima sebab usaha ekstensifikasi pada daerah tertentu sudah tidak memungkinkan.


(31)

Tetapi salah satu kendala utama untuk pengembangan usaha ternak tersebut adalah keterbatasan modal usaha, khususnya untuk pengadaan ternak bakalan baik untuk bibitan maupun untuk digemukkan ( Simatupang 1993).

Selain itu, yang perlu mendapat perhatian khusus adalah tentang faktor- faktor sosial ekonomi (fisik dan non-fisik) yang mempengaruhi besar kecilnya bagian bagi hasil yang diterima oleh para peternak penggaduh sapi. Hal ini penting diketahui sebab ketentuan bagi hasil yang formal belum ada, sehingga dapat menjadi bahan rekomendasi dalam rangka menghindari terjadinya eksploitasi tenaga kerja peternak oleh para pemilik modal (Lole,1995).


(32)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini pendekatan yang dilakukan adalah melalui pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif diartikan sebagai pendekatan penelitian yang menghasilkan data tulisan dan tingkah laku yang didapat dan diamati dalam subjek penelitian. Sehingga yang menjadi tujuan dalam penelitian kualitatif ini adalah ingin menggambarkan realita empirik di balik fenomena secara mendalam, rinci dan tuntas melalui wawancara, catatan lapangan, dokumentasi pribadi, catatan memo dan dokumen resmi lainnya. Oleh karena itu penggunaan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini adalah dengan mencocokan antara realita empirik dengan teori yang berlaku dengan menggunakan metode studi kasus.

“Bogman mendefenisikan studi kasus adalah sebuah kajian yang rinci atas suatu latar atau peristiwa tertentu. Jadi penelitian ini mempelajari secara intensif latar belakang keadaan dan interaksi lingkungan suatu unit sosial, individu, kelompok, atau lembaga masyarakat (Idrus,2009)”. Jenis penelitian menggunakan pendekatan kualitatif karena analisis data yang dilakukan tidak untuk menerima atau menolak hipotesis melainkan berupa deskripsi atas gejala-gejala yang diamati, yang tidak harus selalu berbentuk angka-angka atau koefisien antar variabel ( Wiratha). Pelaksanaan tidak terbatas kepada pengumpulan data melainkan juga meliputi analisa dan interpretasi dari data itu. Dengan demikian penelitian ini berusaha mengurutkan dan menganalisis, mengklasifikasi, memperbandingkan dan sebagainya.


(33)

3.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Purwosari Atas Kecamatan Dolok Batu Nanggar Kabupaten Simalungun. Alasan peneliti memilih Desa Purwosari Atas untuk di jadikan daerah penelitian karenakan desa ini merupakan salah satu wilayah yang memiliki potensi yang besar dalam usaha peternakan yang ada di Kabupaten Simalungun. Selain itu Desa Purwosari Atas memiliki tingkat populasi ternak sapi yang cukup tingggi di bandingkan wilayah lain yang ada di Kabupaten Simalungun. Dalam lokasi penelitian kali ini juga terdapat masyarakat yang memiliki sapi dengan menerapkan sistem bagi hasil karena yang ia miliki bukan milik sendiri melaikan milik teman atau saudara terdekat mereka.

3.3.Unit Analisis dan Informan

3.3.1. Unit Analisis

Unit analisis adalah hal-hal yang diperhitungkan menjadi subjek penelitian atau unsur yang menjadi fokus dalam penelitian (Bungin:2007). Ada dua jumlah unit analisis yang lazim digunakan dalam penelitian sosial yaitu individu, kolompok sosial. Sementara itu yang menjadi unit analisis dalam penelitian kali ini adalah penggaduh sapi, pemilik sapi dan juga tokoh masyarakat yang ada di Desa Purwosari Atas Kecamatan Dolok Batu Nanggar Kabupaten Simalungun.

3.3.2 .Informan

Informan merupakan subjek yang memahami permasalahan penelitian sebagai perilaku, dan selain itu juga orang – orang yang menjadi sumber informasi yang aktual dan dapat dipercaya kebenarannya tentang permasalahan penelitian


(34)

yang sedang diangkat. Pemilihan informan peneliti menggunakan teknik

purposive sampling dalam menentukan subjek penelitian. Teknik ini digunakan

jika dalam pemilihan informan peneliti menggunakan pertimbangan– pertimbangan tertentu. Sehingga peneliti menggunakan beberapa kriteria informan ( Idrus, 2009 ). Adapun yang menjadi informan sebagai sumber data dalam penelitian kali ini adalah:

1. Pemelihara sapi yang telah memiliki sapi dari hasil gaduhan. 2. Pemilik sapi yang telah memiliki sapi dari hasil gaduhan.

3. Tokoh masyarakat yang mengetahui warganya telah menjalankan sistem

gaduh sapi.

3.4.Tehnik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data atau informasi dalam penelitian dilapangan nanti, maka diperlukan alat pengumpulan data seperti obserfasi wawancara, serta mencatat dokumen-dokumen yang mendukung proses pnelitian ini. Pengumpulan data dilakukan untuk mendapatkan informasi yang dapat menjelaskan semua permasalahan-permasalahan yang akan muncul dilapangan yang bersangkutan dengan penelitian ini. Dalam proses pengumpulan data peneliti menggunakan beberapa teknik pengumpulan data agar mendapatkan kesesuaian dengan kebutuhan penelitian dalam mengolah data informasi yang telah diperoleh dilangan. Dalam penelitian kali ini teknik pengumpulan data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder.

a. Data Primer

Observasi adalah suatu cara pengumpulan data dengan mengadakan pengamatan langsung terhadap suatu objek dalam suatu periode tertentu dan


(35)

mengadakan pencatatan secara sistematis tentang hal-hal tertentu yang diamati. Banyaknya periode observasi yang perlu dilakukan dan panjangnya waktu pada setiap periode observasi tergantung kepada jenis data yang dikumpulkan. Apabila observasi itu akan dilakukan pada sejumlah orang, dan hasil observasi itu akan digunakan untuk mengadakan perbandingan antar orang-orang tersebut, maka hendaknya observasi terhadap masing-masing orang dilakukan dalam satu situasi yang relatif sama. Dalam hal ini peneliti dapat lebih mengetahui bentuk dalam pembagian hasil ternak usaha sapi dalam gaduh sapi yang dilakukan antara peternak dan pemilik modal.

Selain observasi, wawancara juga dugunakan sebagai sumber data lain dalam penelitian kali ini. Wawancara yaitu melakukan tanya jawab kepada informan dilokasi penelitian dengan menggunakan alat bantu rekaman berupa tape recorde. Wawancara terhadap informan ditujukan untuk memperoleh data dan informasi secara lengkap tentang sistem bagi hasil dalam beternak sapi pada Masyarakat Desa Purwosari Atas.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang didapat tidak secara langsung dari objek penelitian. Peneliti mendapatkan data yang sudah dikumpulkan oleh pihak lain dengan berbagai cara atau metode baik secara komersial maupun non komersial yang dapat berupa dokumen-dokumen, majalah, jurnal. Namun data yang diperoleh harus berkaitan dengan dengan sistem bagi hasil beternak sapi dengan cara menggaduh.


(36)

3.5 Interpretasi Data

Interpretasi data merupakan suatu tahap pengolahan data, setelah data terkumpul dalam catatan lapangan, dokumen resmi, gambar, foto, dan sebagainya. Maka akan dilakukan pengolahan, analisis, dan penafsiran data yang diperlukan dari lapangan tadi berupa hasil observasi dan hasil wawancara. Kemudian peneliti akan menyederhanakan dan mengedit agar lebih mudah dipahami. Data yang telah terkumpul kemudian akan disusun lagi sedemikian rupa kemudian data tersebut akan diinterpretasikan secara kualitatif.

Hal ini dilakukan agar peneliti lebih jelas memperoleh hasil yang lebih mendalam dan meluas sesuai teori yang relefan. Pada akhirnya peneliti akan menyusun sebagai laporan akhir penelitian ini. Proses ini sudah dilakukan sejak proposal penelitian dibuat, hingga akhir penelitian. Akan menjadi sebuah laporan penelitian yang memiliki ciri kualitatif. Bogman dan Biklen ( Moleong, 2006:248) menjelaskan interpretasi data adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerjanya data, mengorganisasikan data. Memilahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskan, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.

3.6. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan dalam penelitian ini mencakup kemampuan dan pengalaman yang dimiliki oleh peneliti dalam melakukan penelitian ilmiah.Terutama dalam melakukan wawancara mendalam terhadap informan. Hal ini dikarenakan keterbatasan pengalaman dan keterbatasan waktu yang dimiliki informan dalam proses wawancara yang dikarenakan kesibukan informan sehari-


(37)

hari.Terlepas dari permasalahan teknis penulisan dalam penelitian. Peneliti juga menyadari keterbatasan mengenai metode yang digunakan sehingga, menyebabkan lambatnya proses penelitian yang dilakukan. Selain itu masih adanya keterbatasan bahan pendukung penelitian lainnya yang mungkin masih sangat sedikit, namun walaupun demikian, peneliti berusaha untuk melaksanakan kegiatan penelitian ini dengan semaksimal mungkin. Agar data yang dihasilkan dalam penelitian dapat bersifat valid sehingga apa yang diinginkan dapat tercapai dan dapat terlaksana secara maksimal.

3.7. Jadwal Pelaksanaan

No Kegiatan Bulan

1 2 3 4 5 6 7 8 9

1 PraObservasi x

2 Acc judul x

3 Penyusunan proposal penelitian x x

4 Seminar proposal penelitian x

5 Revisi proposal penelitian x

6 Penelitian kelapangan x x x

7 Bimbingan / laporan akhir x x x x


(38)

BAB IV

TEMUAN DATA DAN INTERPRETASI DATA

4.1. Deskripsi Umum Desa Purwosari Atas Kecamatan Dolok Batu Nanggar 4.1.1. Letak dan luas wilayah

Desa Purwosari Atas Nagori Dolok Mainu secara administratif terletak di wilayah Kecamatan Dolok Batu Nanggar, Kabupaten Simalungun, Propinsi Sumatra Utara. Desa ini terbagi atas empat dusun yang terdiri dari masing – masing wilayah dan memiliki batas teritorial dengan desa lain seperti dibawah ini.

Sebelah Utara : Berbetasan dengan Desa Padang Mainu Sebelah Selatan : Bebatasan dengan Kota Serbelawan Sebelah Timur : Berbatasan dengan Desa Bahung Kahean Sebelah Barat : Berbatasan dengan Dolok Merangir 2

Luas wilayah Desa Purwosari Atas menurut penggunaannya seluas 470, 7 ha/m2, yang terdiri dari luas pemukiman warga seluas 30 ha, luas perkebunan warga 430 ha, luas kuburan/pemakaman umum 0,5 ha, luas pekarangan 10 ha, luas perkantoran 0,2 ha. Tanah yang dipakai sebagai sarana dan prasarana umum yaitu berjumlah 3,02 ha, yang terdiri dari lapangan olahraga 1 ha, perkantoran pemerintahan 0,2 ha, jalan 2 ha. Dengan ketinggian rata-rata 1.100 s/d 1.300 meter di atas permukaan laut dan Desa Purwosari Atas memiliki suhu rata-rata minimum/maximum adalah 18˚C s/d 24˚C .

4.1.2. Orbitasi Desa Purwosari Atas

Jarak tempuh yang dapat dilalui untuk mencapai Desa Purwosari Atas dari Kota Kecamatan menuju desa sejauh 3 km dan lama jarak tempu mencapai 15 menit, sedangkan lama jarak tempuh dari kota kecamatan menuju desa selama 40


(39)

menit. Kendaraan umum menuju kota kecamatan sebanyak 3 unit. Selanjutnya jarak tempuh dari Desa Purwosari Atas menuju kota kabupaten sejauh 33 km, dan jika ditempuh menggunakan kendaraan sekitar 1 jam, kendaraan menuju kota kabupaten dengan menggunakan 3 unit kendaraan. Jarak tempuh dari Desa Purwosari Atas menuju Kota Provinsi 133 km, jarak tempuh menggunakan kendaraan selama 3 jam.

Melihat kondisi ini sebenarnya Desa Purwosari Atas tidak begitu terbelakang dalam segi pembangunan karena jarak tempuh dan perjalanan yang dibutuhkan untuk menuju wilayah – wilayah penting seperti yang dipaparkan di atas sangatlah dekat. Dengan demikian pembanguan dan perekonomian dapat berputar dengan cepat didukung dengan kondisi wilayah yang dekat dengan pusat kota.

4.1.3. Penduduk

Penduduk di Desa Purwosari Atas berjumlah 4.145 jiwa dengan 840 kk. Dengan jumlah laki-laki sebesar 2.089 jiwa, sedangkan jumlah penduduk perempuan sebesar 2.056 jiwa. Data dapat dilihat pada tabel 1 yaitu:

Tabel 1 Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

No Jenis Kelamin Total penduduk

1 Laki – Laki Perempuan

Jumlah persentasi Jumlah Persentasi Jumlah Persentasi

2089 50, 40 % 2056 49, 60 % 4145 100 %

Sumber Data :kantor kelurahan Desa Purwosari Atas (2013)

Jumlah penduduk Desa Purwosari Atas yang paling mendominasi adalah penduduk yang berjenis kelamin laki – laki dibandingkan penduduk perempuan.


(40)

Tabel 2 Komposisi penduduk Berdasarkan Umur

No Usia / tahun Jumlah penduduk Persentasi

1 00 – 10 tahun 895 21,59 %

2 11 – 20 tahun 1200 28,95 %

3 21 – 30 tahun 800 19,30 %

4 31 – 40 tahun 700 16,88 %

5 41 – 50 tahun 300 7, 23 %

6 51 – 60 tahun 125 3,01 %

7 61 – 70 tahun 70 1,68 %

8 71 – 80 tahun 40 0,96 %

6 81 tahun keatas 15 0,36 %

Total penduduk 4145 100 %

Sumber Data :kantor kelurahan Desa Purwosari Atas (2013)

Tabel 3 Komposisi Penduduk berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin No Tingk at Pendi dikan

Laki – Laki Perempuan

Jumlah Persentasi frekuensi Persentasi Frekuen

si Persentasi 1 Tidak tamat SD

282 35,21% 267 32,33 % 549 33,75 % 2 Tamat SD 121 15,11 % 120 14,53 % 241 14,82 % 3

Tidak tamat SMP

120 14, 99 % 107 12, 96 % 227 13.96% 4 Tamat SMP 73 9,11 % 54 6,54 % 127 7,81% 5

Tidak Tamat

SMA 137 17,11 % 215 26,1% 352 21,64 % 6 Tamat SMA 60 7,49 % 50 6,1 % 66,1 5,1

7

Tamat kuliah D2,D 3 dan S1,

8 1 % 13 1,58 % 21 1,30 Total 801 100 % 826 100% 1627 100%


(41)

Tingakat pendidikan masyarakat Desa Purwosari Atas sangatlah beragam, hampir setiap jenjang pendidikan formal dijalani dalam dunia pendidikan oleh masing – masing warga. Namun hanya beberapa penduduk saja yang melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi seperti Universitas. Hal ini dipengaruhi oleh pemahaman orang tua yang masih memandang sebelah mata dunia pendidikan.

Tabel 4 Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Pekerjaan dan Jenis Kelamin

No Jenis Pekerjaan

Jenis Kelamin Total Laki – Laki Perempuan frekuen

si

Persentas i frekuensi Persentasi Frekuensi Persentasi

1 Peternak

sapi 584 55,15 % 584 43,59 % 2 Petani 210 19,84 % 115 40,93 325 24,25 % 3 Buruh tani 103 9,73 % 147 52,32 250 18,66 % 4 Pegawai

negeri sipil 2 0,19% 6 2,14 8 0,60 % 5 Pengrajin

industry rumah tangga

7 0,66 % 8 2,85 15 1,12 % 6 Pedagang

keliling 6 0,57 % 5 1,78 11 0,82 7 Montir 4 0,38 % 4 0,30 % 8 TNI,POLR

I 3 0,29 % 3 0,22 %

9 Karyawan perusahaan PTPN

110 10,39 110 8,23 % 10 Pensiunan 30 2,84 % 30 2,23 % Total 1059 100 % 281 100 % 1340 100 %

Sumber Data :kantor kelurahan Desa Purwosari Atas (2013)

Mata pencaharian penduduk Desa Purwosari Atas sangatlah beragam. Namun, kebanyakan penduduk lebih memilih pekerjaan sebagai peternak, petani


(42)

dan buruh tani. Hal ini didukung oleh kondisi geografis desa yang sangat menunjang dalam sektor pertanian dan peternakan.

Tabel 5 Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama dan Jenis Kelamin

No Agama Jenis kelamin Total

Laki – laki Perempuan Juml

ah

Persentas e Frekuens

i

Persentas e

Frekuens i

Persentase

1 Islam 1778 96, 21 % 2230 97,26 % 4008 96,70 %

2 Kristen 68 3,90 % 63 2,75 % 131 3,16 %

3 Hindu 2 0,06 % 4 0,05 % 6 0,14 %

Total 1848 100 % 2293 100 % 4145 100 %

Sumber Data :kantor kelurahan Desa Purwosari Atas (2013)

Agama yang paling dominan dipeluk oleh warga desa adalah Islam, sehingga kerukunan antar umat beragama dapat selalu terjaga, kemudian di ikuti oleh agama Kristen dan Budha.

Tabel 6 Komposisi Penduduk Berdasarkan Etnis

No Etnis Laki – Laki Perempuan

1 Jawa 1835 2207

2 Batak 54 39

3 Nias 1

4 Aceh 3

5 China 5 1

TOTAL 1890 2250

Sumber Data :kantor kelurahan Desa Purwosari Atas (2013)

Warga Desa Purwosari Atas kebanyakan mayoritas bersuku atau beretnis jawa seluruhnya, yang dapat mendominasi kebudayaan dan kebiasaan untuk hidup rukun dan tentram. Selain itu memiliki semangat gotong royong yang tinggi dan memiliki potensi keguyupan dalam kehidupan sehari – hari seperti rewang ( yaitu membantu tetangga sekitar ketika hajatan seperti pernikahan, sunat rosul, dan menabalkan nama yang didasari oleh pesta), wirit melakukan doa bersama untuk meningkatkan hubungan silahturahmi antar warga dan umat beragama, serta


(43)

bersih Desa atau dikenal dengan kerja bakti yang setiap sebulan sekali dilakukan oleh warga sekitar seperti membersikan jalan, parit irigasi dan tempat ibadah lainnya.

4.1.4. Peternakan

Potensi peternakan memang sangat mendukung untuk dikembangkan oleh warga Desa Purwosari Atas, terlihat bahwa jumlah ternak tertinggi yang dimiliki warga adalah ternak sapi berjumlah 3.000 ekor. Hal ini dikarenakan wilayah yang mendukung dan masih adanya pakanan hijau yang tersedia di perkebunan milik pemerintah. Dari sekian banyak sapi yang dipelihara termasuk didalamnya menggunakan sistem gaduh sapi, yang diterapkan oleh warga sekitar. Dapat dilihat pada tabel 5 dibawah ini.

Tabel 7 Jenis Populasi Ternak yang Dipelihara Oleh Masyarakat

No Jumlah peternak Jenis ternak Jumlah ternak dipelihara

1 584 Sapi 3.000

2 450 Ayam 1500

3 30 Bebek 450

4 25 Angsa 200

5 30 Kambing 700

6 5 Anjing 10

Total 5860

Sumber Data :kantor kelurahan Desa Purwosari Atas (2013)

Tabel 8 Ketersediaan Pakan Hijau Ternak Sapi.

Luas tanaman pakan ternak ( rumput gajah dan lain – lain ) 1 ha

Produksi hijauan pakan ternak 1 ton / ha

Luas lahan gembalaan ternak 878 ha

Sumber Data :kantor kelurahan Desa Purwosari Atas (2013)

Dapat terlihat sumber ketersediaan pakan hijau ternak sapi yang paling utama bersumber dari tanah perkebunan miliki pemerintah. Dengan luas 878 ha yang dapat digembalakan sapi sebanyak 3.000 ekor. Selain itu sumber pakan


(44)

hijau lainnya berasal dari peternak itu sendiri yang mencari rumput yang tersedia dibeberapa tempat, seperti pesawahan dan perkebunan lainnya. Hal ini dilakukan guna memenuhi kebutuhan pakan sapi yang tergolong kurang. Hasil pencarian pakan hijau lainnya bisa mencapai 1 ton, untuk setiap hektar luas lahan yang tersedia.

4.1.5.Kepemilikan Aset Masyarakat

Penduduk yang paling banyak memiliki aset usaha maupun lahan pertanian lainnya adalah petani. Namun pada kenyataannya banyak juga warga yang tidak memiliki lahan pertanian dan sarana aset yang lain. Sehingga membuat warga lainnya mencari pekerjaan sebagai buruh serabutan, dan wiraswasta. Yang dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 9 Kepemilikan Lahan Pertanian Tanaman Pangan Berdasarkan Kepala Keluarga

No Luas lahan Jumlah Keluarga

1 Tidak memiliki lahan pertanian 193 keluarga

2 Memiliki lahan pertanian kurang dari 1 ha 28 keluarga

3 Memiliki 1,0 – 5,0 ha 10 keluarga

4 Memiliki 5,1 – 10 ha 15 keluarga

5 Memiliki lebih dari 10 ha 3 keluarga

Total 223 orang

Sumber Data :kantor kelurahan Desa Purwosari Atas (2013)

Jumlah keluarga yang tidak memiliki lahan pertanian adalah yang paling mendominasi dibandingkan dengan warga lainnya. Hal ini diikuiti oleh pendapatan dan jenis pekerjaan yang dimilikinya.

Tabel 10 Data Perkebunan yang Dimiliki Warga

Jumlah keluarga yang memiliki lahan perkebunan 190 keluarga

Tidak memiliki 30 keluarga

Memiliki kurang dari 5 ha 16 keluarga


(45)

Warga yang memiliki lahan perkebunan ditanami oleh jenis tanaman keras seperti karet, sawit, dan kopi, yang menjadi komoditi utama penghasilan warga Desa Purwosari Atas. Hal ini didukung oleh kondisi geografis wilayah yang subur, sehingga dalam bercocok tanam dapat memperoleh hasil pertanian dengan baik dan selain itu masih mudahnya memperoleh pupuk kandang sebagai pupuk untuk tanaman warga.

Tabel 11 Kepemilikan Sarana angkutan Desa

No Jenis angkutan Jumlah pemilik Jumlah kendaraan

1 Bus 1 2

2 Truk 3 4

3 Sepeda motor 6 6

4 Mobil 5 5

5 Becak 2 2

6 Memiliki bus 4 4

Total 21 23

Sumber Data :kantor kelurahan Desa Purwosari Atas (2013)

Adapun sarana angkutan umum yang tersedia sering digunakan oleh warga sekitar untuk memudahkan warga keluar masuk desa jika ingin bepergian. Selain itu juga digunakan sebagai alat angkutan untuk membawa hasil ternak dan hasil perkebunan warga sekitar.

Tabel 12 Kondisi Bangunan Rumah warga

No Kondisi Rumah Jumlah Persentasi

1 Tembok 860 68,8 %

2 Kayu 380 30,4 %

3 Bambu 10 0,8 %

Total 1250 100 %

Sumber Data :kantor kelurahan Desa Purwosari Atas (2013)

Tidak semua warga desa memiliki rumah yang permanen dan beton, ada juga beberapa rumah warga yang masih bambu dan kayu hal ini dikarenakan kondisi ekonomi dan jenis pekerjaan yang berbeda. Karena ekonomi dan


(46)

pekerjaan masih menjadi salah satu faktor yang utama untuk memiliki rumah yang permanen

Tabel 13 Jenis Lantai Rumah penduduk

No Jenia Lantai Jumlah Rumah

1 Kramik 455

2 Semen 785

3 Tanah 10

Total 1250

Sumber Data :kantor kelurahan Desa Purwosari Atas (2013)

Rumah penduduk menurut lantai hampir sama dengan kondisi rumah yang dimiliki oleh warga desa. kerena setiap rumah yang permanen pasti memiliki lantai yang baik. Tetapi bila rumah warga yang masih berdinding bambu dan kayu dapat dipastikan lantainya terkadang masih ada yang semen atau tanah karena tidak adanya biaya untuk memperbaiki lantai.

Tabel 14 Kepemilikan Aset Ekonomi Lainnya

Jumlah keluarga memiliki TV dan elektronik lainnya 680 keluarga Jumlah keluarga yang memiliki kendaraan sepeda motor 859 keluarga

Jumlah yang memiliki mobil dan sejenisnya 13 keluarga

Jumlah keluarga memiliki usaha transportasi 2 keluarga

Sumber Data :kantor kelurahan Desa Purwosari Atas (2013)

Walaupun para warga kondisi ekonominya kurang baik tetapi rata – rata warga memiliki aset – aset ekonomi lain, seperti kepemilikan akan barang – barang elektronik dan kendaraan lainnya yang bertujuan untuk mendukung kehidupan sehari – hari.


(47)

Tabel 15 Susunan Kepengurusan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa Purwosari Atas

Ketua LPM Bapak Suhem

Wakil Ketua LPM Bapak Sujono

Sekretaris Bapak Giran

Bendahara Bapak Budi Haryanto

Bid. Keamanan dan ketaqwaan Bapak Rajimin

Bid. Peningkatan SDM dan ekonomi keluarga

Bapak Legito

Bid. Pembangunan Bapak Gimun

Bid. Sosial budaya Bapak Rakem

Bid. Pemuda dan olahraga Bapak Rujito

Bid. Pemberdayaan laki – laki dan perempuan

Ibuk Ruliani

Sumber Data :kantor kelurahan Desa Purwosari Atas (2013)

Susunan kelembagaan dan struktur pemerintahan Desa Purwosari Atas sudah sangat baik dan terorganisir dalam sistematika kerja. Selain itu di masing masing bidang telah mengerjakan setiap tanggung jawab dalam proses menyelsaikan pekerjaan perangkat desa secara umum.

4.1.6. Sarana Penghubung Desa

Jaringan jalan yang menghubungkan Desa Purwosari Atas dengan kota kecamatan adalah jalan aspal namun kondisi jalannya sudah tidak layak lagi terlalu banyak lubang disana sininya. Sedangkan jalan menuju kota kabupaten berupa jalan aspal yang kondisinya baik dan lancar dan dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan roda dua atau roda empat.

Jalan yang berada di Desa Purwosari Atas kebanyakan dihubungkan oleh beberapa jembatan beton sebanyak 5 buah. Jembatan sebagai penghubung antar desa yang satu dengan yang lainnya maupun penghubung antara desa dengan wilayah luar. Sehingga dengan adanya jembatan diharapkan dapat memudahkan dalam kehidupan sehari – hari warga desa untuk beraktifitas.


(48)

4.2. Gambaran Masyarakat Desa Purwosari Atas 4.2.1. Gambaran Struktur Masyarakat

Masyarakat yang bertempat tinggal di Desa Purwosari Atas merupakan masyarakat yang mayoritas penduduknya beretnis Jawa. Dalam kehidupan sosialnya masing – masing penduduk selalu memegang teguh norma sosial dan adat istiadat yang berlaku di dalam masyarakat. Pada Desa Purwosari Atas kehidupan ekonomi penduduknya, berada pada tingkat ekonomi golongan menengah ke bawah. Hal ini dikarenakan, susahnya mendapatkan pekerjaan yang layak dan kurang terampilnya masyarakat dalam mengolah kerajinan tangan.

Mata pencaharian pokok warga desa yang bertempat tinggal di Desa Purwosari Atas adalah petani dan karyawan. Namun, ada juga beberapa penduduk yang bermata pencaharian sebagai buruh serabutan atau buruh yang pekerjaannya tidak menetap. Walaupun para warga tidak memiliki pekerjaan yang baik, namun mereka tetap mengupayakan anak – anaknya agar dapat bersekolah dengan baik, walaupun tidak sampai keperguruan tinggi minimal tamat SMA.

Para warga Desa memiliki hubungan sosial yang baik antar warga yang satu dengan yang lainnya, atau kelompok masyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat lainnya. Hal ini dapat terlihat, masih adanya kearifan lokal yang terwujud dalam kehidupan sehari – hari misalnya adanya wirit. Wirit merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok pengajian baik kaum bapak – bapak maupun kaum ibu – ibu yang berada di Desa Purwosari Atas. Dengan tujuan mengikat hubungan sosial melalui media spiritual atau keagamaan yang akan terwujud. Selain wiret ada juga kegiatan bersih desa merupakan kegiatan yang dilakukan dalam sebulan sekali atau dua bulan sekali, tujuannya


(49)

untuk meningkatkan kesadaran warga untuk menjaga kebersihan desa dan keindahan lingkungan tempat tinggal masing – masing warga.

Kekompakan yang terwujud dalam kegiatan wiret dan bersih desa yang dijadikan sebagai dasar warga melakukan hubungan kerjasama dalam gaduh sapi. Faktor utamanya adalah kekompakan dan kepedulian sesama warga desa yang bertempat tinggal saling berdekatan. Sehingga memunculkan hubungan baik secara mendasar dari dalam diri masing – masing warga yang melakukan sistem gaduh sapi.

4.3. Profil Informan

4.3.1. Pemerintah Desa Purwosari Atas

Nama : Bapak Sugeng

Umur : 35 tahun

Agama : Islam

Suku : Jawa

Jenis kelamin : Laki - Laki

Bapak Sugeng merupakan tokoh mayarakat yang baru terpilih menjadi Kepala Desa. Beliau memiliki satu orang anak yang berumur tiga tahun, pendidikan terakhir beliau adalah S1. Walaupun usianya terbilang mudah Bapak Sugeng mampu memimpin desanya hingga saat ini menjadi jauh lebih dan maju dibidang ekonomi. Pendapatan sebagai Kepala Desa untuk setiap bulannya mencapai Rp. 3.000.000.00, dengan penghasilan segitu beliau merasa cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.


(50)

4.3.2. Pemelihara Ternak Sapi

1. Nama : Nur Ismail

Umur : 47 tahun

Agama : Islam

Suku : Jawa

Jenis kelamin : Laki – Laki

Bapak Nur Ismail merupakan penduduk yang pindah ke Desa Purwosari Atas, Lama beliau tinggal di Desa Purwosari Atas sekitar 16 tahun hingga sekarang. Beliau juga memiliki pekerjaan sebagai wiraswasta, yang berpenghasilan Rp 2.500.000.00 dalam setiap bulannya. Dengan penghasilan segitu beliau merasa cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari – hari keluarganya. Pendidikan terakhir Bapak Nur Ismail adalah SMP, beliau juga memiliki 3 orang anak yang semuanya masih duduk dibangku pendidikan mulai dari perguruan tinggi sampai tingkat pendidikan SMP.

Bapak Nur Ismail merupakan salah satu pemelihara sapi yang sukses menerapkan sistem bagi hasil sejak empat tahun terakhir. Adapun yang menjadi alasan beliau memelihara ternak dengan sistem bagi hasil, karena kebutuhan ekonomi dan kekurangan modal yang menjadi factor utamanya. Mengingat harga sapi saat ini yang sangat mahal dan tidak bisa terjangkau jika membelinya.

Kehidupan Bapak Nur Ismail yang memiliki ternak sapi sedikit lebih baik dibandingkan dengan warga yang tidak memiliki ternak sapi walaupun pekerjaannya tidak tetap. Hal ini dikarenakan baginya ternak adalah tabungan yang selalu membantu jika menghadapi suatu kendala dalam bidang ekonomi yang sedikit banyaknya digunakan untuk mengatasi masa – masa sulit.


(1)

norma kejujuran yang selalu dijunjung tinggi oleh para pelaku penggaduh sapi. Sehingga dengan adanya kejujuran dari pemilik sapi, kedua belah pihak tidak menggunakan perjanjian secara tertulis yang dilandaskan pada hukum yang kuat.

Selain itu dengan adanya kepercayaan juga menimbulkan sifat jiwa rasa, adanya sikap senang berlaku rukun, adanya sifat menghormati orang lain,adanya kejujuran yang terbentuk diantara pemilik ternak dan pemelihara ternak.

4. Permasalah juga terkadang dapat muncul dalam gaduh sapi, beberapa bentuk permasalahan yang dijumpain ketika dilapangan seperti sapi yang dipelihara sakit, hilang dan mati. Jika resiko seperti ini muncul ditengah – tengah usaha yang sedang dijalani oleh warga Desa Purwosari Atas maka yang menanggung biaya kerugian adalah pemilik sapi. Sementara penggaduh sapi tidak dikenakan biaya apapun karena resiko yang ditimbulkan bukan dikarenakan unsur kesengajaan. Namun jika resiko yang muncul mengakibatkan kerugian dan adanya faktor kesengajaan dan keteledoran dari pemelihara sapi, maka pemelihara berkewajiban mengganti kerugian dari harga sapi keseluruhan atau setengah dari harga sapi.

5. Dalam usaha gaduh sapi setiap masalah yang timbul diselsaikan dengan jalan musyawarah keluarga (akomodasi) diantara kedua belah pihak, dan tidak melibatkan jalur hukum dalam penyelesaiannya walau masalah yang timbul terbilang rumit. Hal ini dikarenakan ada beberapa Factor


(2)

97 penyebab mengapa permasalah yang timbul tidak diselsaikan ke jalur pengadilan yaitu:

a. Pengakuan akan keberadaaan hukum karma yaitu Tuhan yang akan membalas perbuatan yang tidak baik kepada pemelihara ternak jika bermain curang.

b. Adanya perasaan kasian

c. Adanya hubungan dekat seperti, kerabat, saudara, tetangga sehingga tidak tega, mengingat kebaikan mereka selama ini.

5.2.Saran

1. Diharapkan pemerintah Kabupaten Simalungun dapat menerapkan sistem bagi hasil ternak sapi seperti yang dilakukan warga Desa Purwosari Atas. Dalam menuntaskan masalah kemiskinan yang muncul di tengah – tengah kehidupan masyarakat. Selain itu pola kemitraan kerjasama dengan sistem bagi hasil dapat diterapkan, kepada pengembang usaha peternakan sapi untuk dijadikan sebagai peluang bisnis baru. Sebab pola kemitraan dengan bagi hasil tidak hanya menguntungkan sebelah pihak melainkan keduanya sama – sama di untungkan.

2. Perlu adanya penyuluhan dari Dinas Peternakan Kabupaten Simalungun mengenai cara – cara meningkatkan nilai tambah dalam sektor peternakan. Misalnya dalam memberikan pakan tambahan dan cara yang tepat dalam memelihara ternak. Dinas Peternakan Kabupaten Simalungun juga Perlu melakukan pemeriksaan kesehatan sapi gratis, yang dilakukan secara rutin agar sapi yang dimiliki warga terhindar dari penyakit yang dapat membahayakan kesehatan sapi yang dipelihara. Hal ini perlu dilakukan


(3)

karena selama ini, para peternak sapi tidak pernah memeriksakan kesehatan sapi – sapi yang mereka miliki, yang disebabkan mahalnya biaya perobatan dan pemeriksaan. Tujuan pokok dilakukan pemeriksaan kesehatan sapi, agar usaha peternakan yang dijalankan dan dikembangkan oleh masyarakat, tidak mengalami kerugian yang besar yang diakibatkan karena sapi yang tidak sehat.

3. Pihak pemelihara sapi harus melakukan suatu pola perubahan dalam menggembalakan sapi yang mereka miliki. Misalnya melakukan rotasi tempat gembalaan, mencari pakan tambahan lain seperti menyediakan pakan hijau yang dapat mempercepat pertumbuhan sapi. Pola perubahan ini perlu dilakukan karena melihat ketersediaan rumput yang ada dilahan gembalaan mulai menipis. Ditambah lagi lahan pakan hijau tempat gembalaan sapi sangat terbatas, tidak sesuai dengan banyaknya jumlah sapi yang diliarkan di tempat tersebut. Hal ini jika dibiarkan akan membawa dampak buruk kepada peternak, karena akan menghambat proses pertumbuhan dan perkembangan sapi yang dipelihara. Selain itu ternak yang dipelihara bukan tambah gemuk, melainkan yang ada ternak yang dipelihara akan tambah kurus karena kurang makan bahkan bisa berujung kematian yang dirugikan adalah peternak itu sendiri.

4. Pihak pemilik sapi dan pemelihara sapi harus melakukan kerjasama yang dilandaskan pada hukum perjanjian tertulis yang jelas, misalnya membuat surat perjanjian antar kedua belah pihak. Memang landasan utama dalam setiap usaha adalah kepercayaan. Namun ada baiknya dibuat surat


(4)

99 perjanjian agar jika terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan, dapat dipertanggung jawabankan dengan baik.

5. Manfaat lain dengan adanya surat perjanjian kerjasama adalah ketika pemilik sapi menuntut pemelihara sapi kejalur hukum, maka pihak pemelihara sapi tidak bisa mengelak atas tuduhan keteledoran yang membuat sapi mati atau hilang. Sementara itu jika tidak menggunakan hukum perjanjian yang jelas maka pihak pemelihara bisa mengelak dari tuduhan karena tidak ada bukti perjanjian dan kesepakatan kerjasama beserta sangsi – sangsinya. Selain itu pihak pemilik sapi akan banyak diuntungkan dengan adanya surat perjanjian ini, karena pihak pemelihara akan benar – benar serius dalam memelihara ternak yang telah diamanahkan kepadanya.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

An – Nadwi,2006:131. Sistem Bagi Hasil Dalam Islam: Jakarta utara.

Arief, S dan A. Sasono.1984. Ketergantungan dan Keterbelakangan. Jakarta: Lembaga Studi Pembangunan.

Bungin, H.M.Burhan.2007. penelitian kualitatif. Bandung: kencana prenada media .

Burger, D.H.1970. Sedjarah Ekonomi Sosiologi Indonesia.Djakarta: Pradnja Paramita.

Berger, P.L.1990. Revolusi kapitalis .(Terj). Jakarta: LP3ES

Coleman, J.2008. Dasar-Dasar Teori Sosial. Bandung: Nusa Media. Damsar . 2009. Pengantar Sosiologi Ekonomi. Jakarta: Kencana.

Francis Fukuyama. 2002. Kebajikan Sosial dan Pencapaian Kemakmuran

Jakarta: Qalam.

Gambetta, D,1988.“ Can We Trust Trust?” Dalam Trust Making and Breaking

Cooperative Relations, disunting D. Gambetta. New York: basil Blacwell.

Hasbullah, Jousairi. 2006. Social Capital (Menuju Keunggulan Budaya Manusia

Indonesia). Jakarta: MR-United Press.

Horton dan Hunt. 1991. Pengantar Sosiologi. Jakarta:Erlangga.

L. Manafaluti&M.Shafwan,2002. Trust Kebijakan Sosial dan Penciptaan

Kemakmuran: Jakarta

Moleong, Lexy J. 2006. Metode penelitian kualitatif.Bandung: Remaja Karya. Pratikno,dkk.2000. Merajut Modal Sosial Untuk Perdamaian dan Integrasi

Sosial.Yogyakarta: FISIPOL UGM


(6)

Sumber lain

Skripsi internet, jurnal

Ariya. Nugraha.2008.Analisis Kelayakan Pola Bagi Hasil Usaha Ternak Sapi Perah Rakyat di Desa Haurngombong Kecamatan Pamulihan Kabupaten

Sumedang.Skripsi. Bandung Universitas Padjajar

Aldridge, Stephen & David Halpern. 2002. Social Capital: A Discussion Paper.

Download dari

Agung K.S, Djaelani S, Rini W. 2009. Pemberdayaan Masyarakat Melalui Proyek Gaduhan SapiPotong Di Kecamatan Oba Tengah Dan Oba Utara,

Tidore Kepulauan, Maluku Utara. Buletin Peternakan Vol. 33(1): 40-48,

Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Budiarti,N.D. 2000. Analisis Pendapatan Keluarga Peternak Penggaduh Sapi Potong pada Dua Kecamatan yang Berbeda di Kabupaten Daerah Tingkati Ngawi,Jawa Timur.

Dinas Peternakan. 2014. Statistik Daerah Kabupaten simalungun. Badan Pusat Statistik: Kab. simalungun. (http://www.dairikab .go .id/ skpd/ 18/dinas-

peternakan. html. Diakses, 28 Februari 2014).

Hervian, Septiadi Amir.2012. Analisi Keuntungan pada Sistem Gaduhan Ternak

Sapi Bali di Kecamatan Waleurang Utara Kabupaten Luwu. Skripsi.

Makassar Universitas Hasa

Maudana, kolaborasi masyarakatb sipil, politik dan ekonomi dalam pemanfaatan modal sosial.

Syarifah,List Yorini.2010. Aspek Kepercayaan dalam Sistem Nggaduh Sapi di

Desa kragila Kecamatan Mojosongo Kabupaten Boyolali.Skripsi. Semarang

Universitas Dipone

Sosial Ekonomi Industri Peternakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sahdan, Gregorius. 2005. “Menanggulangi Kemiskinan Desa”. Dalam Jurnal

Ekonomi Rakyat, Maret.

Soetrisno, PH, 1997, filsafat hidup pancasila sebagaimana tercermin dalam


Dokumen yang terkait

Peran Kantor Pertanahan Kabupaten Simalungun Terhadap Masyarakat Dikecamatan Sidamanik Dalam Rangka Pendaftaran Tanah Serta Pelaksanaannya Berdasarkan Uu Pa Dan Peraturan Pemerintah Nomor24 Tahun 1997

2 111 115

Dampak Relokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten Simalungun Terhadap Pengembangan Wilayah Kecamatan Raya

2 36 189

Evaluasi Pelaksanaan Program Keselamtan dan Kesehatan Kerja Bagi Karyawan PTPN IV Dolok Iilir Kecamatan Dolok Batu Naggar Kabupaten Simalungun

0 0 14

Evaluasi Pelaksanaan Program Keselamtan dan Kesehatan Kerja Bagi Karyawan PTPN IV Dolok Iilir Kecamatan Dolok Batu Naggar Kabupaten Simalungun

0 0 2

Evaluasi Pelaksanaan Program Keselamtan dan Kesehatan Kerja Bagi Karyawan PTPN IV Dolok Iilir Kecamatan Dolok Batu Naggar Kabupaten Simalungun

0 0 7

Evaluasi Pelaksanaan Program Keselamtan dan Kesehatan Kerja Bagi Karyawan PTPN IV Dolok Iilir Kecamatan Dolok Batu Naggar Kabupaten Simalungun

0 2 32

Evaluasi Pelaksanaan Program Keselamtan dan Kesehatan Kerja Bagi Karyawan PTPN IV Dolok Iilir Kecamatan Dolok Batu Naggar Kabupaten Simalungun

1 1 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Modal Sosial - Modal Sosial Sistem Bagi Hasil Dalam Beternak Sapi Pada Masyarakat Desa Purwosari Atas, Kecamatan Dolok Batu Naggar, Kabupaten Simalungun

0 0 13

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Modal Sosial Sistem Bagi Hasil Dalam Beternak Sapi Pada Masyarakat Desa Purwosari Atas, Kecamatan Dolok Batu Naggar, Kabupaten Simalungun

0 0 8

MODAL SOSIAL SISTEM BAGI HASIL DALAM BETERNAK SAPI PADA MASYARAKAT DESA PURWOSARI ATAS, KECAMATAN DOLOK BATU NANGGAR KABUPATEN SIMALUNGUN Studi kasus : Sistem Gaduh Sapi Pada Masyarakat Desa Purwosari Atas, Kecamatan Dolok Batu Nanggar, Kabupaten Simalung

0 0 9