The Evaluation Of Sheep Rumen Liquor Enzymes On Crude Fiber Reduction End Digestibility Enhancement Of Coconut Cake Meal For Carp Cyprinus carpio.

(1)

 

 

 

 

 

MARIANA

SEKO INSTIT

A YERMIN

OLAH PAS TUT PERT

BOG 201

NA BERUA

SCASARJA ANIAN BO GOR

12

ATJAAN

ANA OGOR


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Evaluasi Penurunan Serat Kasar dan Peningkatan Nilai Kecernaan Bungkil Kelapa Dengan Penambahan Enzim Cairan Rumen Domba Sebagai Bahan Baku Pakan Ikan Mas Cyprinus carpio adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian terakhir tesis ini.

Bogor, Juni 2012

Mariana Yermina Beruatjaan NRP C151090101


(3)

Crude Fiber Reduction End Digestibility Enhancement Of Coconut Cake Meal For Carp Cyprinus carpio. Under direction of DEDI JUSADI, NUR BAMBANG PRIYO UTOMO

The objectives of this work were to evaluate the roles of sheep rumen liquor enzymes on its capability to reduce the crude fiber contant and enhance the apperent digestibility of coconut cake meal (BK) for common carp Cyprinus carpio. The work comprised by two stages experiments. In experiment I, BK was hydrolized with 0, 25, 50, 75, 100, or 125 ml enzymes/kg BK for 0, 12, and 24 hours, respectively. Thereafter, proximate compositions of BK were analyzed. In experiment II, hydrolyzed BK (BKe) contained the least crude fiber content from the result of experiment I was tested for its digestibility. It was found that BK hydrolyzed with 125 ml enzymes/kg BK for 24 hours had the lowest value of crude fiber content, and highest value of glucose content. In this treatment, crude fiber content was decreased from 14,34% to 6,98%, while the glucose content was increased from 0,014% to 0,464%. The apparent digestibility of BKe was found to be higher than BK. The total digestibility, protein carp was 63,92% and 54,58%, 79,53% and 65,17%, 72,2% and 49,17% for BKe and BK, respectively. It was concluded that sheep rumen liquor enzymes could reduce the crude fiber content of BK, and enhance its apparent digestibility for carp Cyprinus carpio.

 


(4)

Sebagai Bahan Baku Pakan Ikan Mas Cyprinus carpio. Dibimbing oleh DEDI JUSADI, NUR BAMBANG PRIYO UTOMO.

Penelitian ini bertujuan mengevaluasi pengaruh penambahan enzim cairan rumen domba terhadap penurunan kandungan serat kasar bungkil kelapa sebagai bahan baku pakan ikan mas, serta mengevaluasi nilai kecernaan bahan baku pakan berbasis bungkil kelapa yang telah dihidrolisis dengan enzim cairan rumen domba pada ikan mas. Penambahan enzim cairan rumen domba dalam bungkil kelapa diharapkan menurunkan kandungan serat kasar sehingga mampu meningkatkan nilai kecernaan dalam bahan pakan dan dapat dimanfaatkan secara optimal oleh ikan. Penelitian dilakukan dalam dua tahap yaitu, tahap I menguji efektivitas enzim cairan rumen domba volume 0, 25, 50, 75, 100 atau 125 ml/kg selama 0, 12 atau 24 jam dalam menurunkan kandungan serat kasar bungkil kelapa. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktorial. Tahap II adalah menguji kecernaan bahan pakan bungkil kelapa yang dihidrolisis dengan enzim cairan rumen domba (BKe) yang merupakan hasil terbaik dari uji tahap pertama. Uji tahap II menggunakan rancangan acak lengkap dengan 3 perlakuan pakan dan 3 ulangan yang ditambahkan indikator Cr2O3. Pakan perlakuan dalam penelitian ini adalah pakan acuan (100% komersil), pakan uji A : 30% Bungkil kelapa dengan penambahan enzim cairan rumen domba (BKe) dan pakan B : 30% bungkil kelapa tanpa penambahan enzim (BK). Ikan yang digunakan adalah 25 ekor ikan mas bobot 1,0 – 1,3 g yang dipelihara dalam akuarium dengan volume 50 liter air. Pemberian pakan secara et satiation dengan frekuensi pemberian 3 kali per hari. Feses dikumpulkan selama 20 hari pemeliharaan untuk dianalisis kandungan nutrisinya. Analisis proksimat dilakukan pada pakan dan feses untuk diukur nilai kecernaannya.

Hasil penelitian menunjukan bahwa penambahan enzim cairan rumen domba volume 125 ml/kg bahan dengan lama waktu inkubasi 24 jam dapat menurunkan kandungan serat kasar bungkil kelapa terbaik yaitu dari 14,34% menjadi 6,98%. Penurunan kandungan serat kasar dapat meningkatkan nilai kecernaan total bahan pakan bungkil kelapa dari 54,58% menjadi 63,92%, kecernaan protein dari 65,17% menjadi 79,53% dan kecernaan energi dari 49,17% menjadi 72,2%.


(5)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang Undang

1. Dilarang mengutip sebahagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkn sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(6)

 

 

 

 

MARIANA YERMINA BERUATJAAN

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister sains pada

Program Studi Ilmu Akuakultur

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2012


(7)

Mas Cyprinus carpio

Nama : Mariana Yermina Beruatjaan

NRP : C151090101

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Dedi Jusadi Dr. Nur Bambang Priyo Utomo

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Akuakultur

Prof. Dr. Enang Harris Dr. Dahrul Syah


(8)

berkat dan anugerahNya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Penyelesaian Tesis ini dengan penuh perjuangan dan tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Perkenankan penulis mengucapkan terima kasih yang tak tehingga kepada :

1. Komisi pembimbing, Bapak Dr. Dedi Jusadi dan Bapak Dr. Nur Bambang Priyo Utomo, yang telah banyak menuangkan pikiran, meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan, dan memberikan saran hingga terselesaikannya tesis ini.

2. Dekan Pascasarjana IPB dan jajarannya yang memberikan kesempatan bagi penulis untk belajar pada Sekolah Pascasarjana IPB serta memberikan pelayanan akademis kepada penulis.

3. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) yang telah memberikan biaya pendidikan melalui Sekolah Pascasarjana IPB kepada penulis.

4. Direktur Politeknik Perikanan Negeri Tual yang telah memberikan Izin bagi penulis untuk melanjutkan studi pada jenjang pendidikan magister (S2). 5. Ketua Mayor Ilmu Akuakultur, Staf Dosen, Kesekretariatan, Teknisi dan

Laboran FPIK atas pelayanan, pengabdian dan perhatiannya.

6. Suami tercinta Dr. Jeffry Prabowo yang setia menunggu dan menopang baik Doa, moril maupun materiil.

7. Orang Tua tercinta Bpk. Perez Beruat, Mama Mia dan Mami Ida W, atas Doa, dan motivasi setiap saat.

8. Adik-adik tersayang Yomi, Jhein, dan Asri, Alin, Ona, Tati

9. Keluarga besar Beruatjaan/Warin, Oma Yomi, Opa Andi, Kel. Besar Wiyatno, Om Nunug, Kel.Om Fredy Metengun, Kel. Om Jems Miru, Mama Yos, dan Kel. Balubun, Milka Ngurmetan, trima kasih menyumbangkan tenaga dan waktu sejak pagi sampai malam selama penelitan berlangsung.

10.Ida, Bang Udin, Bang Rahman, Bu Dian, Bu Lany, trima kasih atas bantuan dan perhatiannya selama studi dan lebih khusus selama masa penelitian hingga selesai.


(9)

semangat yang diberikan semoga Tuhan Yesus memberkati. Harapan penulis kiranya karya ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2012


(10)

Penulis dilahirkan di Ohoifau Kabupaten Maluku Tenggara pada tanggal 15 Maret 1979 putri pertama dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Perez Beruatjaan dan Ibu Maria Beruatwarin. Penulis berhasil mempertahankan Skripsi dan dinyatakan lulus tahun 2005 pada Universsitas Diponegoro Semarang, program studi Manajemen Sumberdaya Perairan. Pada tahun 2006 penulis diterima sebagai staf pengajar pada Politeknik Perikanan Negeri Tual sampai sekarang.


(11)

xi   

DAFTAR TABEL………... xii

DAFTAR GAMBAR………... xiii

DAFTAR LAMPIRAN……….... xiv

PENDAHULUAN………... 1

Latar Belakang ……….. ... 1

Perumusan Masalah………... 3

Tujuan Penelitian ……….... 4

Manfaat Penelitian……….. 4

Hipotesis ………. 4

TINJAUAN PUSTAKA………... 5

Kebutuhan Nutrisi Ikan Mas………... 5

Bungkil Kelapa ………... 9

Cairan Rumen Sebagai Sumber Enzim ……….. 10

Serat Kasar dalam Bahan Pakan ………. 14

Kecernaan Pakan………. 15

BAHAN DAN METODE PENELITIAN………... 17

Penelitian Tahap 1. Uji Evektivitas Enzim Cairan Rumen Domba.... 17

Penelitian Tahap 2. Uji Kecernaan Bungkil Kelapa... 18

HASIL DAN PEMBAHASAN………... 22

Hasil………. 22

Uji Efektivitas Cairan Rumen Domba..………... 22

Analisis Kandungan Nutrisi Bungkil Kelapa……...……... 23

Glukosa Terlarut Bungkil Kelapa……...…………... 24

Uji Kecernaan Bungkil Kelapa yang Telah dihidrolisis dengan Enzim Cairan Rumen Domba... 25

Pembahasan………... 26

KESIMPULAN………... 31

DAFTAR PUSTAKA………... 32


(12)

xii   

1. Kebutuhan Makro Nutrisi Ikan Mas (Cyprinus carpio)... 6 2. Kandungan Nilai Nutrien Bungkil Kelapa (%)... 9

3. Komposisi Enzim Cairan Rumen Domba ………... 12

4. Komposisi Pakan Acuan, Pakan Uji A (30% BKe) dan B (30% BK)….. 19 5. Kisaran Nilai Parameter Kualitas Air Media Pemeliharaan Ikan Mas

Selama Penelitian... 19 6. Kandungan Lemak, Protein, Serat Kasar Bungkil Kelapa pada

Perlakuan Penambahan Enzim Caiaran Rumen Domba dan Lama Waktu Inkubasi ... 23 7. Kandungan Glukosa Terlarut pada Bungkil Kelapa yang Dihidrolisis

Dengan Enzim Cairan Rumen Domba... 24 8. Kecernaan Total, Kecernaan Protein, dan Kecernaan Energi... 25 9. Kecernaan Bahan Uji... 25


(13)

xiii   

1. Bagian-Bagian Perut Hewan Ruminansia... 10 2. Aktifitas Enzim Selulase, Amilase, Protease dan Lipase pada


(14)

xiv   

1. Perosedur Analisis Kadar Protein..………... 37

2. Perosedur Analisis Kadar Lemak...………. 38

3. Perosedur Analisis Kadar Air... 39

4. Perosedur Analisis Kadar Abu... 40

5. Perosedur Analisis Kadar Serat Kasar... 41

6. Metode Uji Aktifitas Enzim... 43

7. Perosedur Analisis Kecernaan... 46

8. Hasil Analisis Kecernaan Bungkil Kelapa dan Kromuim (Cr2O3) dan Pakan dan Feses Ikan Mas Cyprinus carpio... 47


(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sebagian besar bahan baku pakan, seperti tepung ikan, tepung kedelai, jagung, meat bone meal, dan bahan lainnya merupakan bahan impor. Tepung ikan yang diimpor Indonesia pada tahun 2008 sebesar 44.073,22 ton, tahun 2009 sebesar 47.518,97 ton dan pada tahun 2010 menjadi 39.261,69 ton. Sedangkan tepung kedelai yang diimpor tahun 2008 sebesar 35.849,98 ton, tahun 2009 menjadi 53.474,80 ton, tahun 2010 meningkat menjadi 55.805,86 (Anonim 2011). Sebagai upaya pengurangan ketergantungan terhadap bahan baku pakan yang diimpor tersebut adalah pemanfaatan bahan baku lokal berbasis limbah yang berpotensi dijadikan sebagai bahan baku pakan ikan, diantaranya adalah bungkil kelapa.

Bungkil kelapa merupakan limbah agroindustri yang ketersediaannya didukung dengan potensi kelapa di Indonesia yang mencapai luasan areal 3,9 juta ha tahun 2009 dengan produksi 3,3 juta ton/tahun (Anonim 2010). Produksi kelapa di Indonesia terus meningkat. Pada Tahun 2010, beberapa daerah di Indonesia yang memiliki potensi kelapa yang cukup tinggi seperti Kepulauan Riau memproduksi kelapa sebesar 49,4018 ton/tahun, Kalimantan Selatan (30,869 ton/tahun), Sulawesi Tenggara (41,675 ton/tahun), Maluku (75,217 ton/tahun) (Anonim 2011). Di Bireun, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) memasok buah kelapa setiap hari mencapai 35 ton, sedangkan bungkil kelapa yang merupakan limbah dari hasil olahan tersebut mencapai ±7 ton (Anonim 2010). Limbah bungkil kelapa yang dihasilkan dijual dengan harga Rp. 1.500/kg. Limbah ini dijadikan sebagai pakan ternak. Harga tersebut jika dibandingkan dengan bahan baku pakan lainnya seperti bungkil kedelai Rp. 4.400/kg, tepung jagung Rp. 3.050/kg, pollard Rp. 2.400/kg, maka harga bungkil kelapa relatif murah. Namun, bungkil kelapa yang digunakan sebagai alternatif bahan baku pakan diduga sulit dicerna karena mengandung serat kasar yang tinggi. Bungkil kelapa hasil akhir olahan minyak kelapa tersebut mengandung protein kasar 23,13%, lemak 10,86%, serat kasar 11,64%, abu 7,21%, kadar air 2,51%, dan BETN 44,64%. Choet (2001) menyatakan bahwa 74,3 % non-starch polysaccharides


(16)

(NSP) terkandung dalam bungkil kelapa sehingga sulit dicerna. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menurunkan kandungan serat kasar dalam bungkil kelapa tersebut adalah penambahan enzim pendegradasi yang terdapat dalam cairan rumen domba.

Rumen merupakan sumber enzim pendegradasi polisakarida. Polisakarida dihidrolisis di rumen disebabkan pengaruh sinergis dan interaksi dari kompleks mikroorganisme, terutama penghasil selulase dan xillanase (Trinci et al., 1994). Mikroba-mikroba rumen mensekresikan enzim-enzim pencernaan ke dalam cairan rumen untuk membantu mendegradasi partikel makanan. Enzim-enzim tersebut antara lain adalah enzim selulase, hemiselulase/xylanase, amilase, pektinase, lipase, protease dan lain-lain (Kamra, 2005). Selanjutnya dinyatakan bahwa mikroba rumen yang mensekresikan enzim selulase diantaranya Fibrobacter succinogenes, Ruminococcus albus, R. flavefaciens, Clostrodium lochheadii, C. longisporum dan Eubacterium cellulosovens. Sedangkan jenis mikroba yang banyak menghasilkan enzim amlase adalah Streptococcus bovis, Ruminococcus

amylophylus, Prevotella rumonocola, Streptococcus ruminantium dan

Lachnosphora multipharius. Hasil penelitian Pamungkas (2011) melaporkan bahwa penambahan enzim cairan rumen domba dosis 100 ml/kg bahan dengan lama waktu inkubasi 24 jam dapat menurunkan kandungan serat kasar bungkil kelapa sawit dari 17,54% menjadi 6,69% dan menaikan nilai kecernaan dari 15,31% menjadi 42,26% pakan benih ikan patin siam. Penelitian Fitriliyani (2010) menghasilkan penurunan kadar serat kasar tepung daun lamtoro tertinggi sebesar 16,77% menjadi 7,77% dan menurunkan asam fitat 68,09% serta meningkatkan komposisi asam amino dan nilai kecernaan pada ikan nila. Pantaya (2003), penelitian penambahan enzim cairan rumen domba dengan dosis 1,24 IU/kg menurunkan kandungan polisakarida dari 26,32% ke 22,38%, meningkatkan oligosakarida dari 73,68% ke 77,62% dan meningkatkan energi wheat pollard dari 1,55 kkal/kg menjadi 1,88 kkal/kg. Penelitian Sandi (2010), penambahan enzim cairan rumen domba dosis 1% (b/v) dengan lama waktu inkubasi 24 jam mampu menurunkan kandungan serat kasar sebesar 17,83% dan meningkatkan gula total terlarut sebesar 29,91% pada singkong. Terjadi penurunan serat kasar diduga karena jenis makanan yang dikonsumsi oleh domba


(17)

selama masa pemeliharaan dikondisikan banyak mengkonsumsi rumput. Lubis (1992) melaporkan bahwa rumput mengandung serat kasar yang tinggi (30,86%). Menurut Budiansyah (2010), sapi lokal yang banyak mendapatkan pakan serat akan menghasilkan enzim selulase yang mampu mendegradasi serat. Sedangkan pada sapi impor yang mendapatkan konsentrat banyak menghasilkan enzim xilanase, mananase, amilase.

Bungkil kelapa sebagai alternatif bahan baku pakan ikan belum dimanfaatkan secara optimal. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengevaluasi penurunan serat kasar dan peningkatan nilai kecernaan bungkil kelapa dengan penambahan enzim cairan rumen domba sebagai pakan benih ikan mas Cyprinus carpio.

Perumusan Masalah

Ketersediaan bungkil kelapa sebagai alternatif bahan baku pakan impor cukup banyak dan harganya relatif murah. Namun, tingginya kandungan serat kasar (11,64%) menjadi faktor pembatas dalam penggunaannya sebagai pakan ikan. Keterbatasan ikan dalam memanfaatkan serat berkaitan dengan ketersediaan enzim sellulotik yang terbatas dalam saluran pencernaan ikan, bahkan pada level tertentu dapat menghambat pertumbuhan ikan. Ikan tidak mampu mencerna serat kasar, dibatasi oleh kemampuan mikroflora dalam ususnya untuk mensekresikan sellulase (Bureau, 2000).

Upaya untuk meminimalkan kandungan serat kasar bungkil kelapa perlu dilakukan, yakni dengan menghidrolisis kandungan serat kasarnya. Untuk menghidrolisis serat kasar bisa dilakukan dengan kapang maupun menggunakan enzim yang dihasilkan mikroba. Penelitian Indariyanti (2011), penggunaan kapang Trichoderma harzianum Rifai untuk menurunkan serat kasar bungkil inti sawit dari 16,78% ke 9,35% membutuhkan waktu 8 hari. Sedangkan dengan cairan enzim rumen domba hanya membutuhkan 24 jam untuk menurunkan kandungan serat kasar daun lamtoro, bungkil kelapa sawit dan kulit kakao, masing-masing dari 16,77% ke 7,74%; 17,54% ke 6,69% dan 27,97% ke 21,67% (Fitriliyani 2010, Pamungkas 2011, Kurniansyah, 2012). Selain efisiensi waktu, untuk bahan baku yang sama, penggunaan enzim cairan rumen domba cenderung


(18)

menurunkan kandungan serat dalam jumlah yang lebih banyak dibanding kapang. Penggunaan rumen domba sebagai enzim pendegradasi serat kasar pada bungkil kelapa dibanding ternak lainnya karena keberadaan ternak domba ditemukan hampir diseluruh daerah di Indonesia sehingga diperoleh dengan mudah.

Berdasarkan hal-hal tersebut, penelitian ini dirancang untuk menurunkan serat kasar bungkil kelapa dengan enzim cairan rumen domba. Penambahan enzim cairan rumen domba dalam bungkil kelapa tersebut diharapkan dapat mengevaluasi efektivitas enzim cairan rumen domba yang ditambahkan dalam bahan pakan serta mampu meningkatkan nilai kecernaan dalam pakan sehingga dapat dimanfanfaatkan secara optimal oleh ikan mas.

Tujuan Penelitian

1. Mengevaluasi pengaruh penambahan enzim cairan rumen domba terhadap penurunan kandungan serat kasar bungkil kelapa.

2. Mengevaluasi nilai kecernaan bungkil kelapa sebagai bahan baku pakan ikan mas.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini diharapkan memberikan informasi tentang ketersediaan pakan bungkil kelapa sebagai bahan baku alternatif dari bahan baku lokal yang berkulitas dalam pakan ikan mas.

Hipotesis

1. Penambahan enzim cairan rumen domba pada bungkil kelapa dapat

mengurangi kandungan serat kasar bahan pakan. Semakin banyak enzim yang digunakan dalam waktu tertentu, akan semakin banyak serat kasar yang dihidrolisis

2. Bungkil kelapa yang telah dihidrolisis dengan enzim cairan rumen domba dapat meningkat nilai kecernaannya pada benih ikan mas.


(19)

TINJAUAN PUSTAKA Kebutuhan Nutrisi Ikan Mas

Fungsi utama makanan adalah sebagai penyedia energi bagi aktivitas sel-sel tubuh. Karbohidrat, lemak dan protein merupakan zat gizi dalam makanan yang berfungsi sebagai energi tubuh. Protein bersama dengan mineral dan air merupakan bahan baku utama dalam pembentukan sel-sel dan jaringan tubuh, sedangkan protein bersama-sama dengan mineral dan vitamin berfungsi dalam pengaturan keseimbangan asam basa, pengaturan tekanan osmotik cairan tubuh, serta pengaturan proses metabolisme dalam tubuh. Adapun lemak dalam bentuk fosfolipid dan kolesterol juga sedikit berperan dalam pembentukan dinding sel (NRC, 1993).

Ikan, seperti juga hewan lainnya tidak mempunyai kebutuhan nutrisi yang pasti, namun ikan membutuhkan nutrisi yang seimbang untuk keberlangsungan hidupnya. Afrianto dan Liviawati (2005) mengemukakan bahwa kebutuhan nutrisi untuk tiap species ikan berbeda-beda dan sering berubah-ubah dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti jenis ikan, ukuran, lingkungan dan musim. Protein merupakan komponen utama jaringan dan juga senyawa nitrogen lainnya seperti asam nukleat, enzim, hormon, dan vitamin, sehingga keberadaannya harus secara terus-menerus disuplai dari makanan untuk pertumbuhan dan perbaikan jaringan tubuh (Furuichi, 1988). Protein mempunyai peran penting untuk fungsi jaringan yang normal, pertahanan dan petumbuhan (Watanabe and Cho,1988). Protein dalam fungsinya tidak hanya sebagai penyusun utama tubuh ikan tetapi juga berperan penting sebagai enzim dan hormon-hormon yang menunjang metabolisme.

Kebutuhan protein ikan menurut (Hepher, 1990) pada umumnya berkisar 35-50%, kebutuhan protein ikan karnivora 40-50% dan omnivora 25-35% (Craig and Helfrich, 2002). Pemanfaatan protein sangat beragam diantara spesies ikan, bergantung pada sumber energi non-protein pakan karena kemampuan ikan dalam memanfaatkan lemak atau karbohidrat pakan juga berbeda untuk setiap speses ikan. Protein pakan yang tidak mencukupi akan menghambat pertumbuhan, sedangkan kadar protein yang berlebih mengakibatkan protein akan dikatabolisme menjadi


(20)

energi sehingga protein yang digunakan untuk membangun jaringan tubuh hanya sedikit (NRC, 1983). Dalam Standar Nasional Indonesia dinyatakan bahwa kebutuhan protein minimal untuk benih ikan mas adalah 30% (SNI 2000).

Takeuchi et al. 2002, mengemukakan bahwa ikan mas mampu mencerna lemak dengan baik. Oleh karena itu, jumlah energi yang dapat tercerna (digestible energy) lebih penting dari pada jumlah lemak dalam pakan. Lemak merupakan sumber energi yang tinggi dalam pakan. Watanabe (1988) mengemukakan satu gram energi memiliki energi dalam pakan (gross energy) sebesar 9,4 Kkal, sedangkan dalam protein dan karbohidrat sebesar 5,6 dan 4,1 Kkal. Takeuchi (1988), kebutuhan karbohidrat ikan mas tergolong tinggi dibandingkan dengan ikan yang lain karena ikan tersebut tergolong omnivora. Jobling (1993) dalam Midlen & Redding (1998), mengemukakakn bahwa ikan mas dapat mencerna sebagian besar karbohidrat dalam pakan, sementara golongan karnivora seperti salmon dan yellowtail hanya mampu mencerna sekitar 25% saja. Secara umum kebutuhan makro nutrisi ikan mas disajikan pada Tabel 1. (Takeuchi 1988).

Tabel 1. Kebutuhan makro nutrisi ikan mas (Cyprinus carpio) Makro Nutrisi Kebutuhan Protein 30 - 35 g.100 g-1 Lemak 5 - 15 g 100 g-1

Energi 13 - 15 MJ kg-1 (310-360 Kcal) Karbohidrat 30 - 40 g. 100 g-1

Energi pakan diperoleh dari karbohidrat, lemak dan protein. Proporsi energi yang dikonsumsi meningkat, dengan meningkatnya ukuran ikan, namun efisiensi pencernaan dan absorpsi menurun yang akhirnya memperlambat pertumbuhan akibat energi yang hilang melalui feses meningkat (De Silva dan Anderson, 1995). Imbangan protein dan energi sangat penting dalam menunjang pertumbuhan ikan. Pakan yang mempunyai kadar protein tinggi belum tentu dapat mempercepat pertumbuhan apabila total energi pakan rendah. Karena energi pakan


(21)

terlebih dahulu dipakai untuk kegiatan metabolisme standar, seperti respirasi, transport ion, dan pengeluaran cairan tubuh serta aktifitas lainnya. Energi untuk seluruh aktifitas tersebut diharapkan sebagian besar berasal dari bahan nutrien non-protein, dalam hal ini karbohidrat dan lemak. Apabila sumbangan energi dari bahan non-protein ini rendah maka protein akan digunakan sebagai sumber energi untuk berbagai aktifitas tersebut sehingga pertumbuhan akan berkurang. Dengan kata lain, penambahan energi non-protein dapat meningkatkan fungsi protein dalam menunjang pertumbuhan ikan (Furuichi, 1938). Rasio energi protein optimum telah ditemukan pada berbagai spesies ikan, dan rasio tersebut berkisar antara 8 sampai 10 kkal DE per gram protein pakan (Halver, 2002). Sedangkan pada catfish rasio ini berkisar antara 7,4-l2 kkal/g. Peningkatan rasio DE/P pakan catfish diatas kisaran ini akan meningkatkan deposit lemak dan jika energi terlalu rendah, pertumbuhan ikan akan melambat (Robinson et a1, 2007).

Peran utama karbohidrat dalam nutrisi hewan adalah sebagai sumber energi (Takeuchi, l988). Menurut Furuichi (1988) karbohidrat adalah sumber energi yang paling murah dan mudah didapatkan untuk komposisi pakan ikan dan juga bertindak sebagai protein sparing efect. Sumber karbohidrat yang berkualitas baik menjadi sangat penting karena akan berfungsi sebagai energi nonprotein, sehingga akan sedikit protein yang digunakan sebagai sumber energi tetapi lebih banyak digunakan untuk pertumbuhan. Kemampuan menggunakan karbohidrat sebagai sumber energi berbeda diantara spesies ikan. Yamamoto et al., (200l), menyatakan bahwa ikan umumnya lebih efisien dalam mencerna dan memanfaatkan protein dan lemak, tetapi dalam memanfaatkan karbohidrat sangat bervariasi bergantung pada kompleksitas karbohidrat. Menurut Mokoginta et al. (1999), hal tersebut disebabkan oleh aktivitas enzim amylase yang berbeda untuk spesies ikan, dan biasanya ikan karnivor lebih terbatas dalam memanfaatkan karbohidrat dibandingkan ikan omnivor dan herbivor. Kebanyakan ikan perairan tropis, termasuk catfish dapat memanfaatkan lebih banyak karbohidrat dibandingkan ikan perairan dingin dan ikan laut. Ikan omnivora umumnya mampu memanfaatkan karbohidrat lebih tinggi (kadar optimum 30-40%) sedangkan ikan karnivora memanfaatkan karbohidrat pada kadar optimum 10-20%


(22)

(Furuichi, 1999). Ikan yang diberi pakan tanpa karbohidrat memiliki laju pertumbuhan yang relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan pakan yang diberi karbohidrat (Wilson, 1994). Namun pemberian karbohidrat yang terlalu tinggi akan mengakibatkan pertumbuhan ikan menurun dan tidak efektifnya pakan yang diberikan (Zonneveld et al., 199l). Pertumbuhan fingerling catfish lebih tinggi ketika pakannya mengandung karbohidrat dibandingkan hanya mengandung lemak sebagai sumber energi nonprotein (NRC, 1993).

Lemak pada pakan mempunyai peranan penting bagi ikan, karena berfungsi sebagai sumber energi dan asam lemak esensial, memelihara bentuk dan fungsi membran atau jaringan sel yang penting bagi organ tubuh tertentu, membantu dalam penyerapan vitamin yang larut dalam lemak dan untuk mempertahankan daya apung tubuh. Menurut Craig dan Helfrich (2002), lemak adalah salah satu makronutrien dengan kandungan energi yang tinggi yang dapat dimanfaatkan sebagai protein sparing effect dalam pakan budidaya. Satu unit lemak yang sama mengandung energi dua kali lipat dibandingkan dengan protein dan karbohidrat. Jika lemak dapat menyediakan energi untuk pemeliharaan metabolisme maka sebagian besar protein yang dikonsumsi dapat digunakan tubuh untuk pertumbuhan dan bukan digunakan sebagai sumber energi (NRC, 1993).

Ikan menggunakan lemak untuk energi, komponen struktur sel dan pemeliharaan integritas biomembran (Takeuchi, l988). Furuichi (1998) juga menyatakan bahwa lemak juga dapat dimanfaatkan untuk membangun struktur sel dan mempertahankan integritas membran melalui penggunaan fosfolipid. Lemak adalah sumber energi dan mengandung 2,25 kali energi karbohidrat, dan memegang peranan penting dalam metabolisme hewan seperti mensuplai asam lemak esensial, sebagai pelarut vitamin, dan prekursor untuk hormom-horrnon steroid (Robinson et al., 200l). Pada ikan, lemak dapat berperan mempertahankan daya apung tubuh (NRC, 1993).


(23)

Bungkil Kelapa

Bungkil kelapa adalah hasil ikutan yang diperoleh dari ekstraksi daging buah kelapa segar/kering. Didaerah tropik, bungkil kelapa adalah salah satu bahan makanan ternak sumber protein nabati yang sering digunakan sebagai bahan penyusun pakan (Wahju, 1988). Parakkasi (1990) mengemukakan bahwa bahan pakan bungkil mengandung bahan protein nabati dan sangat potensial untuk meningkatkan karkas. Kandungan nilai nutrien bungkil kelapa disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Kandungan nilai nutrien bungkil kelapa (%)

Kandungan Zat Jumlah (%)

Kadar Air Protein Kasar BETN Serat Kasar Abu Lemak Kalsium Posfor a 10,9 16,6 - 8,4 3,5 27,3 - - b 10,1 20,9 46,2 10,5 6,5 5,8 - - BB c 7,6 20,04 49,56 9,08 5,24 8,52 - - BB d 9,54 22,75 54,84 12,11 7,41 2,89 0,40 - BK e 2,51 23,13 54,84 11,64 7,41 10,87 0,40 0,63 >100% Sumber : a. Hoffman, A (1981) c. Mepba dan Achinewhu (2003) b. Creswell dan Brooks (1971) d. Moorthy,M dan Viswanathan (2009)

e. Hasil analisis proksimat bungkil kelapa dari Aceh

Hasil penelitian Ng dan Chen (2004) menunjukkan bahwa bungkil kelapa sawit (BKS) yang difermentasi oleh Trichoderma koningii menghasilkan peningkatan kandungan protein kasar, yaitu dari 17% menjadi 32%. Penggunaan BKS sebagai pakan ikan lele telah dilakukan oleh Ng dan Chen (2002) membuktikan bahwa pernberian bungkil sawit sebanyak 20% dalam pakan tidak berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ikan lele. Penelitian yang dilakukan oleh Lim et al., (2001) pada ikan nila tilapia menunjukkan bahwa penggunaan BKS 30% dalam pakan memberikan pertumbuhan yang tidak berbeda nyata dengan ikan yang diberi pakan kontrol yang menggunakan tepung ikan 43% dan tepung bungkil kedele 20,75%


(24)

sebagai sumber protein walaupun tingkat kecernaan proteinnya lebih rendah dari pakan kontrol. Ng dan Chong (2002), dalam hasil penelitiannya melaporkan bahwa penggunaan BKS 20% bobot kering dalam pakan ikan nila Tilapia (Oreochromis sp) tidak menunjukkan pengaruh negatif terhadap laju pertumbuhan dan efisiensi pakan bila dibandingkan dengan pakan kontrol yang menggunakan tepung ikan 2l,19% dan tepung bungkil kedele 30,73% sebagai sumber protein. Selain itu juga dilaporkan bahwa penambahan enzim pada BKS mampu meningkatkan nilai nutrisi BKS dan dapat meningkatkan penggunaan BKS dalam pakan ikan nilia sebesar 4,0% dapat memberikan pertumbuhan yang lebih baik dari penggunaan BKS tanpa enzim.

Cairan Rumen sebagai Sumber Enzim

Ternak ruminansia mempunyai organ pencernaan yang berbeda dengan organ pencernaan monogastrik. Ternak ruminansia terdapat empat lambung yang terdiri atas retikulum, rumen, omasum dan abomasum (Gambar 1). Proses pencernaan bahan makanan yang terjadi dalam rumen adalah proses fermentasi oleh mikroba rumen. Proses fermentasi ini yang menjadikan perbedaan antara ruminansia dan monogastrik.

Gambar 1. Bagian-bagian perut hewan ruminansia.

Organ pencernaan ternak monogastrik yang berfungsi untuk mencerna bahan makanan adalah lambung sejati dengan bantuan enzim. Ternak monogastrik


(25)

tidak dapat mencerna serat yang terlalu banyak karena tidak terdapat mikroba dalam organ pencernaannya yang menghasilkan enzim pendegradasi selulosa. Pada dasarnya hewan ruminansia juga tidak mampu memecah ikatan β1-4 glikosida, akan tetapi karena adanya mikroba di dalam rumen, maka ruminansia dapat memecah ikatan β 1-4 glikosidik (Arora, 1989).  

Wizna et al., (2008) menyatakan bahwa xanthophyll yang terdapat dalam isi rumen, sebagian besar terdiri dari hijauan, diduga dibutuhkan oleh pigmen kuning telur dan kulit unggas. Manfaat lain dari penggunaan isi rumen sebagai bahan pakan adalah adanya vitamin Bl2 sebagai faktor protein hewan yang menyebabkan isi rumen mempunyai nilai secara biologi yang sama dengan tepung ikan dan ekstrak hati. Kandungan nutrisi dari isi rumen sapi adalah 9,29% air, 8,45% protein kasar, 1,23% lemak kasar, 33,53% serat kasar. 0,20% Ca, 0,45% P, l6,l9% abu, dan, 31,60% NFE. Menurut Hardiyanto, (2001) isi rumen berpotensi sebagai feed additive. Cairan rumen telah digunakan sebagai sumber inokulan dalam pengolahan silase jerami padi. Lebih lanjut dinyatakan bahwa cairan rumen pada onggok sebagai bahan baku penyusun ransum komplit dapat meningkatkan kandungan VFA (Volatile Fatty Acid).

Rumen diakui sebagai sumber enzim pendegradasi polisakarida. Polisakarida dihidrolisis di rumen disebabkan pengaruh sinergis dan interaksi dari kompleks mikroorganisme, terutama selulase dan xillanase (Trinci et al., 1994). Ada dua grup jenis mikroorganisme yang diyakini pada cairan rumen (Iiquid phase) dan yang menempel pada digesta rumen. Enzim yang aktif mendegradasi struktural polisakarida hijauan kebanyakan aktif pada mikroorganisme yang menempel pada partikel pakan.

Mikroba-mikroba rumen mensekresikan enzim-enzim pencernaan ke dalam cairan rumen untuk mernbantu mendegradasi partikel makanan. Enzim-enzim tersebut antara lain adalah enzim yang mendegradasi substrat selulosa yaitu selulosa, hemiselulosa/xylosa adalah hemiselulase/xylanase, pati adalah amilase, pektin adalah pektinase, lipid/lemak adalah lipase, protein adalah protease dan lain-lain (Kamra, 2005). Kamra (2005) mengemukakan bahwa jenis mikroba rumen yang


(26)

mensekresikan enzim selulase diantaranya Fibrobacter succinogenes, Ruminococcus albus, R. flavefaciens, Clostrodium lochheadii, C. longisporum dan Eubacterium cellulosovens. Sedangkan jenis mikroba yang banyak menghasilkan enzim amilase adalah Streptococcus bovis, Ruminococcus amylophylus, Prevotella rumonocola, Streptococcus ruminantium dan Lachnosphora multipharius.

Aktivitas enzim dalam cairan rumen juga tergantung dari komposisi atau perlakuan makanan (Moharrery dan Das, 2002). Agarwal et al., (2002) melaporkan bahwa anak domba dengan berat badan 23,5 kg yang diberi makan minum susu sampai 8 minggu dan diteruskan dengan 50% konsentrat dan 50% rumput sampai umur 24 minggu mendapatkan bahwa enzim-enzim yang ada dalam cairan rumen antara lain carboxymethyl cellulase dengan aktivitas enzim 3,60 mol glukosa per jam per ml, alpha amylase 0,33 umol glukosa per menit per ml, xylanase 0,29 umol xylosa per menit per ml, beta-glukosidase 0,20 umol p-nitrophenol per menit per ml, alpha-glukosidase 0,008 U/mol p-nitrophenol per menit per ml, urease 0,05 U/mol NHs-N per menit per ml dan protease 452,7 U/ g hidrolisis protein per jam per ml. Moharrery dan Das (2001) mengukur aktivitas enzim protease, selulase, amylase, lipase dan urease pada cairan rumen domba dan mendapatkan bahwa cairan rumen yang berisi enzim-enzim dari sel-sel bakteri, aktivitas enzimnya lebih tinggi dari cairan rumen tanpa protozoa dan tanpa sel-sel bakteri. Komposisi enzim cairan rumen domba ditunjukan pada Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi enzim cairan rumen domba

Enzim1) Cairan rumen

Tanpa Protozoa

Cairan rumen bebas sel mikroba

Cairan rumen dengan sel mikroba Selulase-Fpase μg

glukosa/ml/jam

738,5±3,45 162,2±33,70 405,30±44,19 Protease (unit/ml) 0,201±0,078 0,090±0,027 0,220±0,046

Amilase (ug glukosa/menit/ml 172,2±45,9 60,05±10,96 208,7±97,0 Lipase (unit/ml) 1,076±0,309 0,339±0,080 1,225±0,803

1)

Enzim dari cairan rumen anak domba yang diberi makan air susu dan konsentrat sampai umur 9 minggu (Moharrery dan Das, 2002).


(27)

Cairan rumen telah digunakan sebagai sumber inokulan dalam pengolahan silase jerami padi dan menghasilkan penurunan bahan kering 10,6%, kadar serat 15,98% serta meningkatkan kandungan protein 4,5% (Purnomohadi, 2006). Hasil penelitian Hardiyanto (2001), menyatakan bahwa cairan rumen yang ditambahkan pada onggok sebagai bahan pakan penyusun ransum komplit dapat meningkatkan kandungan VFA (volatile fatty acid). Penambahan cairan rumen sebesar 62 dan 1,240 U/g pada wheat pollard menghasilkan penurunan kandungan polisakarida berturut-turut sebesar 4,0% dan 3,9% dan kandungan polisakarida wheat pollard tanpa enzim lebih tinggi dibandingkan dengan yang ditarnbahkan enzim (Pantaya, 2003).

Selulosa menurut Hardjo et al. (1989) adalah polimer tak bercabang dari glukosa yang dihubungkan melalui ikatan 1,4 β glikosida. Enzim yang mendegradasi selulosa yaitu endoglukonase atau karboksil metal selulase (endo-1,4- β-glukonase). Kompleks enzim selulase mempunyai tiga komponen utama yang bekerja bersama-sama atau bertahap dalam menguraikan selulosa menjadi unit glukosa, yaitu :

1. Endo-selulase yang memotong bagian dalam struktur kristal dari selulosa dan mengeluarkan unit selulosa dari rantai polisakarida.

2. Ekso-selulase yang memotong 2-4 unit selulosa dari rantai akhir hasil produksi endo-selulase dan menghasilkan tetrasakarida atau disakarida seperti selubiosa. 3. Selubiosa atau β-glukosidase yang menghidrolisis produk dari ekso-selulase

menjadi monosakarida.

Tiga reaksi tersebut yang dikatalis oleh selulase memotong interaksi nonkovalen dalam bentuk ikatan hidrogen yang ada dalam struktur kristal selulosa oleh enzim endo-selulase, menghidrolisis serat selulosa menjadi sakarida yang lebih sederhana oleh ekso-selulase, serta menghidrolisis disakarida dan tetrasakarida menjadi glukosa oleh enzim β-glukosidase. Penelitian Malathi dan Devegowda (2002), menambahkan multienzim ke dalam pakan broiler memperoleh hasil terjadi peningkatan nilai total gula sunflower meal, soybean meal, deoiled rice bran yang lebih besar dibandingkan dengan penggunaan enzim tunggal. Dinyatakan bahwa kandungan multienzim ini juga menjadi kelebihan yang dimiliki oleh ekstrak enzim cairan rumen domba.


(28)

Serat Kasar Dalam Bahan Pakan

Sundu dan Dingle (2003) mengemukakan bahwa penggunaan bungkil kelapa sawit dalam ransum unggas dibatasi oleh tiga faktor; pertama secara fisik bungkil kelapa bersifat “gritty (berbatu / mengandung grit) dan tidak palatable; kedua secara nutrisional mengandung bahan atau zat seperti manan atau galaktomanan dan xilan atau arabinoxilan yang dapat menurunkan penyerapan nutrient. Lebih lanjut dikatakan bahwa dari total karbohidrat bungkil kelapa, 26 persen adalah manan, 61 persen galaktomanan, dan 13 persen selulosa.

Kadar serat kasar yang berbeda pada bahan penyusun pakan dapat mempengaruhi nilai energi yang tersedia dalam pakan karena terdapat korelasi negatif antara kadar serat kasar dalam pakan dengan energi yang tersedia dalam pakan. Semakin tinggi serat kasar pakan maka semakin rendah jumlah energi yang tersedia. Hal tersebut disebabkan serat kasar tidak mampu menyediakan energi yang dapat dimanfaatkan oleh ikan. Anggorodi (1990) mengemukakan bahwa, serat kasar yang berisi selulosa, hemiselulosa, dan lignin relatif sulit dicerna dan merupakan sumber energi yang rendah.

Tillman (1999) menyatakan bahwa serat kasar adalah penyusun utama dinding sel tumbuhan dan merupakan fraksi karbohidrat yang telah dipisahkan dengan bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) yang tidak larut dalam basa dan asam encer setelah pendidihan selama 30 menit. Serat kasar terdiri dari sellulosa, hemisellulosa dan lignin yang sulit dicerna (Anggorodi l994; Tillman l999). Serat kasar dibutuhkan dalam pakan untuk membantu proses pencernaan makanan. Menurut Piliang (2006), serat kasar mernbantu mempercepat ekskresi sisa-sisa makanan rnelalui saluran pencernaan. Dalam keadaan tanpa serat, feses dan kandungan air rendah akan lebih lama tinggal dalam saluran usus yang dapat rnenyebabkan gangguan pada gerakan peristaltik pada usus besar sehingga eksresi feses menjadi lebih lamban. Sebaliknya, (Slae and Hinz 1969 dalam Fitriliyani, 2010) bahwa pakan dengan kandungan serat kasar yang tinggi dapat menyebabkan absorbs zat makanan berkurang dan koefisien cerna semua zat makanan menurun.


(29)

Keterbatasan ikan dalam memanfaatkan serat berkaitan dengan ketersediaan enzim sellulotik yang terbatas dalam saluran pencernaan ikan, bahkan pada level tertentu dapat menghambat pertumbuhan ikan (Bureau, 1999). Labih lanjut dinyatakan bahwa, kemampuan ikan dalam mencerna serat kasar dibatasi oleh kemampuan mikroflora dalam ususnya untuk mensekresikan sellulase.

Kecernaan Pakan

Nilai kecernaan suatu makanan atau disebut juga dengan koefisien penecernaan (digestibility) disamping menggambarkan kemampuan ikan dalam memanfaatkan makanan juga dapat menggambarkan kualitas pakan yang dikonsumsi oleh ikan. Lovell (1989) mendefenisikan kecernaan sebagai bagian dari pakan yang diserap oleh hewan. Pakan yang masuk ke dalam saluran pencernaan akan dicerna menjadi senyawa sederhana berukuran mikro, dimana protein dihidrolisis menjadi asam-asam amino atau peptida sederhana, lemak menjadi gliserol dan asam lemak menjadi gula sederhana (Halver 2002).

Proses kecernaan pakan baik fisik maupun kimia memegang peranan penting. Hidrolisis nutrient makro dimungkinkan dengan adanya beberapa enzim pencernaan seperti protease, karboksilase, dan lipase (Zonneveld et al. 1991). Robinson, (2001) mengemukakan bahwa rendahnya serat kasar dalam pakan menyebabkan tingginya daya cerna dan penyerapan zat-zat makanan didalam alat pencernaan ikan. Selama pakan berada dalam usus ikan, nutrient dicerna oleh berbagai enzim menjadi bentuk yang dapat diserap oleh dinding usus dan masuk dalam sistim peredaran darah. Sebaliknya pakan yang mengandung serat kasar tinggi akan menghasilkan feses yang lebih banyak sehingga serat kasar yang tidak tercerna tersebut dapat membawa zat-zat makanan yang seharusnya dicerna.

Metode pengukuran kecernaan menurut Takeuchi (1988) ada dua cara yaitu metode langsung dan tidak langsung. Metode langsung yang diukur yaitu jumlah pakan yang dikonsumsi dan jumlah feses yang dikeluarkan. Sedangkan metode tidak langsung yaitu dengan menambahkan indikator dalam pakan dimana indikator tersebut mempunyai sifat tidak dapat diserap dalam tubuh ikan, tidak beracun dan


(30)

dapat dianalisa dalam jumlah yang sedikit dan indikator yang mempunyai sifat tersebut adalah Cromium oxide. Jumlah Cromium oxide yang digunakan dalam penentuan kecernaan adalah 0,5-1,0%. Selanjutnya dikatakan bahwa keuntungan menggunakan metode tidak langsung ini adalah feses yang telah dikumpulkan dapat dianalisa kandungan nutriennya sehingga dapat diketahui koefisien daya cerna suatu nutrien dalam pakan tersebut.

Amonia yang diekskresikan ikan merupakan indikator yang baik dalam menentukan kadar optimum protein dalam pakan terutama jika dihubungkan dengan pertumbuhan (Wermerskirchen et al. 1996). Menurut NRC (1993), nitrogen yang diekskresikan berkorelasi dengan nitrogen yang dikonsumsi. Eksresi amonia menunjukan jumlah relatif protein pakan yang dicerna untuk sintesis protein atau sumber energi.


(31)

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan dalam dua tahapan. Tahap 1 adalah uji efektivitas enzim cairan rumen domba terhadap penurunan kandungan serat kasar bungkil kelapa. Uji Tahap 2 adalah mengevaluasi kecernaan bungkil kelapa sebagai pakan benih ikan mas (Cypinus carpio).

Penelitian Tahap 1: Uji Efektivitas Enzim Cairan Rumen Domba Terhadap Penurunan Kandungan Serat Kasar Bungkil Kelapa

Penelitian Tahap 1 dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui efektivitas penambahan enzim cairan rumen domba dalam bungkil kelapa terhadap penurunan kandungan serat kasar pada bungkil kelapa. Pada tahap pertama dilakukan pengambilan cairan rumen domba. Cairan rumen domba yang diambil adalah cairan rumen dari domba yang selama pemeliharaan diberikan pakan rumput. Cairan rumen domba yang dihasilkan diusahakan selalu dalam kondisi dingin. Cairan rumen yang diambil kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm selama 20 menit pada suhu 40C. Supernatan yang terbentuk direaksikan dengan amonium sulfat 60% menggunakanmagnetic stirer selama 1 jam dan didiamkan selama 24 jam pada suhu 40C. Selanjutnya cairan rumen yang telah diinkubasi selama 24 jam disentrifugasi pada kecepatan 10.000 rpm selama 20 menit kondisi 40C. Endapan yang terbentuk digunakan sebagai sumber enzim. Enzim kemudian dilarutkan dalam buffer fosfat dengan perbandingan 1:1, yakni endapan dari 100 ml supernatan cairan rumen dilarutkan dalam 100 ml buffer fosfat pH 7,0 dan disimpan pada suhu 40C (Budiansyah, 2010; Fitriliyani 2010). Enzim yang telah diperoleh dari hasil isolasi, selanjutnya diuji aktivitas enzimnya yang meliputi aktivitas enzim selulase (FP-ase Ghosse 1987), amilase dan protease, serta lipase (Tiests and Friedreck dalam

Barlongan 1990). Enzim yang diperoleh dari hasil isolasi kemudian ditambahkan ke dalam bungkil kelapa dengan volume yang berbeda, yaitu: 0, 25, 50, 75, 100 atau 125 ml/kg bungkil kelapa. Lama waktu inkubasi di masing-masing dosis tersebut adalah 0, 12 atau 24 jam.


(32)

Parameter yang diamati adalah kandungan serat kasar BK sebelum dan sesudah inkubasi. Untuk mengetahui pengaruh penambahan enzim cairan rumen terhadap parameter yang diukur dilakukan analisis statistik menggunakan analisis ragam (uji F). Jika terdapat perbedaan antar perlakuan dilanjutkan dengan Uji Duncan (Steel dan Torrie, 1993). Rancangan percobaan pada penelitian Tahap 1 menggunakan Rancanagan Acak Lengkap Faktorial dengan 2 faktor peubah dan 3 ulangan. Faktor peubah tersebut adalah dosis enzim cairan rumen domba dan lama waktu inkubasi. Analisis kimia yang dilakukan pada tahapan ini meliputi analisis serat kasar, kadar protein, lemak, abu, dan air bahan pakan hidrolisis (Takeuchi, 1988).

Penelitian Tahap 2: Uji Kecernaan Bungkil Kelapa yang telah Dihidrolisis dengan Enzim Cairan Rumen Domba Sebagai Pakan Benih Ikan Mas

Pakan Uji

Tahapan uji kecernaan bahan pakan dilakukan berdasarkan metode kecernaan bahan yang dikemukakan oleh Watanabe (1988), yaitu pakan acuan (reference diet)

yang terdiri dari 100% pakan komersil, dan 2 jenis pakan uji (test diet) yang terdiri dari pakan A (65% pakan komersil dan 30% bungkil kelapa + enzim (BKe), pakan B (65% pakan komersil dan 30% bungkil kelapa (BK). Uji kecernaan dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor pada bulan Juni Juli 2011. Pakan yang dibuat, kemudian dianalisis proksimat untuk perhitungan nilai kecernaan di akhir penelitian. Penelitian tahap dua dilakukan bertujuan untuk mengetahui nilai kecernaan bahan pakan bungkil kelapa yang dihidrolisis dengan enzim cairan rumen domba sebagai pakan benih ikan mas. Komposisi pakan acuan dan pakan uji dengan menggunakan BKe dan BK disajikan pada Tabel 4.


(33)

Tabel 4. Komposisi pakan acuan (100% komersil), pakan uji (30% BKe) dan (30% BK) dalam persen

Komposisi (100% komersil) A (30% BKe) B (30% BK)

Pakan komersil 95 65 65

Bke 0 30 0

BK 0 0 30

Tepung tapioka 3 3 3

Kadar air 1,5 1,5 1,5

Cr2O3 0,5 0,5 0.5

Total 100 100 100

Kualitas Air

Pengukuran kualitas air dilakukan selama penelitian berlangsung meliputi parameter suhu, oksigen terlarut (DO), pH dan amoniak. Pengukuran dilakukan pada awal, pertengahan dan pada akhir penelitian. Kisaran nilai parameter kualitas air disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Kisaran nilai parameter kualitas air media pemeliharaan ikan mas selama penelitian

Uji Kecernaan Ikan Mas dan Pengumpulan Data

Ikan uji yang digunakan telah diadaptasikan dalam wadah pemeliharaan selama 7 hari. Ikan uji pada awal penelitian berjumlah 225 ekor benih ikan mas dengan bobot rata-rata 1,0 - 1,5 g/ekor yang terdistribusi pada 9 akuarium berukuran 60x40x50 cm volume air 50 liter, masing-masing akuarium berisi 25 ekor ikan. Setelah dipuasakan selama 24 jam, ikan ditimbang dalam bobot basah tubuhnya. Pemeliharaan ikan dilakukan selama 20 hari dan diberikan pakan uji yang mengandung indikator Cr2O3 dengan frekuensi pemberian pakan sebanyak tiga kali sehari, yaitu pukul 07.00, 12.00

Parameter Kualitas Air Kualitas air selama penelitian

Suhu (0C) 29 30

pH 6,5 7,5

DO (mg/l) 4,6 6,7


(34)

dan 17.00 WIB. Pemberian pakan dilakukan secara at satiation (sampai kenyang). Pergantian air dilakukan satu kali per tiga hari dengan volume 50% dari total air dalam wadah. Feses yang telah terkumpul dikeringkan di dalam oven dengan suhu 110°C selama 4-6 jam. Jumlah ikan uji setelah penelitian 222 ekor dengan bobot akhir 2,0 3,0 g. Selanjutnya dilakukan analisis kandungan protein dan kadar air Cr2O3 terhadap feses yang sudah dikeringkan dengan bantuan alat spektrofotometer yang memiliki panjang gelombang 350 nm (Watanabe, 1988). Parameter yang diamati pada penelitian tahap 2 berdasarkan prosedur Takeuchi (1988) meliputi:.

Parameter yang Diukur

a. Kecernaan Total (Takeuchi 1988)

Kecernaan Total (%) = 1 − 100

Keterangan :

ADC = Koefisien daya cerna pakan

IF =Cr2O3 dalam feses (%)

IP = Cr2O3 dalam pakan (%)

b. Daya Cerna Nutrien (Takeuchi 1988)

ADC(%) = 1 − 100

Keterangan :

ADC = Koefisien daya cerna pakan

IF =Cr2O3 dalam feses (%)

IP = Cr2O3 dalam pakan (%)

c. Kecernaan Energi (Takeuchi 1988) Kecernaan Energi (%) = (DE/EP)*100


(35)

Keterangan :

DE = Digestible Energi (energi tercerna) (kcal/100gr) EP = Energi dalam pakan (kcal/100gr)

d. Kecernaan Bahan Watanabe (1988) : Kecernaan bahan = (ADT - 0,7 AD) / 0,3 Keterangan :

ADT = nilai kecernaan pakan uji (kcal/100gr) AD = nilai kecernaan pakan acuan (kcal/100gr)

e. Analisis Kimia

Analisis meliputi analisis proksimat pakan uji, analisis kandungan Cr2O3 pakan uji dan feses ikan. Analisis proksimat pakan uji meliputi pengukuran kadar protein, lemak, serat kasar, abu dan air. Seluruh analisis proksimat dilakukan berdasarkan Takeuchi (1988).

f. Analisis Statistik

Untuk mengetahui pengaruh pakan uji terhadap kecernaan yang dukur tersebut maka digunakan analisis ragam (Uji F). Jika terdapat perbedaan antar perlakuan dilanjutkan dengan uji Duncan dengan selang kepercayaan 95% (Steel and Torrie 1993).


(36)

Hasil Uji Efekti Pe cairan rum serat kasa efektivitas amilase, p lipase me dibanding menunjuk berikut en (0,0036 U Gambar 2 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 Ak tif ita s   enzim   (UI/ml/menit) ivitas Caira nelitian Tah men domba ar bungkil s enzim pa protease, da enunjukan b kan denga kan nilai akt

nzim amilas UI/ml/menit) 2. Aktifitas rumen d Sellulase 0,511±0,11 HASI an Rumen hap 1 dilaku

dan lama w kelapa. T ada cairan an lipase. U

bahwa akti an aktivita tivitas enzim se (0,510 U

).

enzim selul domba.

amilase

1 0.510±0

IL DAN PE

Domba ukan denga waktu inkuba Tahapan se rumen do Uji efektivit ivitas enzim

s enzim p m terbesar a UI/ml/menit) lase, amilas Protea 0,015 0.057 Enzim EMBAHAS

an tujuan un asi yang tep ebelum hid omba melip

tas enzim s m selulase protease d adalah enzim

), protease (

se, protease se Lip 7±0,013 0 SAN ntuk menge pat untuk pe drolisis ada puti aktivit selulase, am

dan amila dan lipase. m selulase (

(0,057 UI/m

e dan lipase pase .0360,002 tahui volum enurunan ka alah melaku tas enzim milase, prot se lebih be

Pada Ga (0,511 UI/m ml/menit) d pada enzim me enzim andungan ukan uji selulase, tease dan esar jika ambar 1 ml/menit), an lipase


(37)

Analisis Kandungan Nutrisi Bungkil Kelapa

Hasil uji efekvitas enzim diketahui maka selanjutnya dilakukan proses hidrolisis bungkil kelapa. Analisis proksimat bungkil kelapa dengan perlakuan penambahan volume enzim cairan rumen domba dan lama waktu inkubasi yang berbeda disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Kandungan lemak, protein, serat kasar bungkil kelapa pada perlakuan penambahan enzim cairan rumen domba dan lama waktu inkubasi

Volume enzim (ml/kg) waktu inkubasi (jam)

Abu Lemak Protein Serat kasar BETN

………..(%)……… 0  0 12 24 4,93±0,04 6,93±0,01 4,99±0,03 17,66±0,02 18,33±0,03 17,25±0,03 18,64±0,05 18,26±0,01 17,46±0,01 13,76±0,04b 12,50±0,03ab 11,32±0,0a 45,20±0,11 44,53±0,02 48,98±0,01 25 0 12 24 5,52±0,43 5,17±0,02 6,47±0,10 18,12±0,64 17,87±0,03 16,88±0,12 19,10±0,75 20,98±0,06 20,00±0,01 12,68±0,40ab 13,43±0,07b 11,43±0,04ab 44,58±0,46 42,55±0,02 45,21±0,16 50 0 12 24 6.22±0,18 5,73±0,03 5,9±0,05 16,29±0,34 14,30±0,03 14,58±0,09 19,37±0,19 18,77±0,04 20,85±0,08 12,22±0,19a 11,61±0,05a 11,25±0,08a 45,89±0,34 49,60±0,13 47,42±0,18 75 0 12 24 5,98±0,23 5,20±0,05 4,51±0,07 15,32±0,41 13,66±0,03 12,92±0,01 20,60±0,46 20,37±0,05 21,00±0,04 12,76±0,30b 12,80±0,04b 9,16±0,06a 45,35±0,36 47,97±0,15 52,40±0,30 100 0 12 24 5,63±0,43 5,34±0,02 5,68±0,24 13,64±0,46 13,55±0,07 13,11±0,07 21,30±0,65 21,04±0,04 21,57±0,16 13,84±0,35b 13,21±0,04b 9,69±0,16a 45,59±0,57 46,87±0,07 49,96±0,10 125 0 12 24 5,54±0,22 6,25±0,02 6,09±0,03 14,10±0,15 13,48±0,05 12,44±0,15 21,81±0,03 21,84±0,02 22,94±0,05 14,34±0,36c 13,76±0,04b 6,98±0,02a 44,21±0,47 44,89±0,04 51,57±0,08 Keterangan : huruf superscript yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukan


(38)

Tabel 6 menunjukan bahwa perlakuan dosis enzim cairan rumen domba dan lama waktu inkubasi berpengaruh nyata terhadap penurunan kandungan serat kasar bungkil kelapa. Nilai serat kasar pada bungkil kelapa tanpa penambahan enzim cairan rumen domba lebih tinggi dibandingkan dengan nilai serat kasar bungkil kelapa pada perlakuan penambahan enzim cairan rumen domba dengan lama waktu inkubasi 24 jam. Nilai serat kasar bungkil kelapa pada perlakuan penambahan enzim cairan rumen domba 125 ml/kg dengan lama waktu inkubasi 24 jam lebih rendah (6,98%) dibandingkan dengan nilai serat kasar dengan lama waktu inkubasi 12 jam dan 0 jam pada dosis 25, 50, 75 dan 100 ml/kg.

Glukosa Terlarut Bungkil Kelapa

Hasil analisis pada Tabel 8 menunjukan bahwa kandungan glukosa terlarut pada bungkil kelapa yang dihidrolisis dengan enzim cairan rumen domba mengalami peningkatan seiring dengan penambahan volume enzim dan lama waktu inkubasi. Kandungan glukosa terlarut tertinggi sebesar 0,464% diperoleh dari perlakuan penambahan enzim cairan rumen domba 125 ml/kg selama 24 jam.

Tabel 7. Kandugan glukosa terlarut pada bungkil kelapa yang dihidrolisis dengan enzim cairan rumen domba

Volume enzim cairan rumen domba (ml/kg)

Lama waktu inkubasi (jam) 12 jam 24 jam 0 0.013 0.014 25 0.053 0.142 50 0.135 0.248 75 0.145 0.275 100 0.212 0.358 125 0.232 0.464


(39)

Uji Kecernaan Bungkil Kelapa yang telah Dihidrolisis dengan Enzim Cairan Rumen Domba Sebagai Pakan Benih Ikan Mas

Tahapan uji kecernaan bertujuan untuk mengetahui tingkat kecernaan ikan terhadap bungkil kelapa yang digunakan sebagai bahan baku pakan. Hasil uji kecernaan bungkil kelapa yang dihidrolisis dengan enzim cairan rumen domba volume 125 ml/kg dengan lama waktu inkubasi 24 jam dan bungkil kelapa tanpa hidrolisis meliputi nilai kecernaan total, kecernaan protein dan kecernaan energi disajikan pada Tabel 8. Hasil analisis data menunjukan bahwa pakan komersil dan pakan 30% BKe memiliki kecernaan yang lebih tinggi dari pakan 30% BK.

Tabel 8. Kecernaan total, kecernaan protein dan kecernaan energi

Parameter Uji Pakan

(100% Pakan komersil) A (30% BKe) B(30% BK) Kecernaan (%)

Total Protein

Energi

67,35±2,01a 76,93±1,42ab 71,50±0,81b

66,32±2,17a 63,52±0,39b 77,71±1,80a 75,51±0,65a 69,60±0,81b 64,80±0,77a Notasi yang sama pada baris yang sama menunjukan pengaruh perlakuan yang tidak berbeda nyata (P<0,05).

Hasil perhitungan uji kecernaan bahan baku menunjukan bahwa baik kecernaan total, protein dan energi mengalami peningkatan nilainya. Nilai kecernaan BKe lebih tinggi dari BK (Tabel 9).

Analisa sidik ragam nilai kecernaan bahan uji menunjukan bahwa nilai kecernaan (total, protein dan energi) pada pakan BKe ternyata memiliki nilai kecernaan yang lebih tinggi dibandingkan nilai kecernaan pada pakan BK. Nilai kecernaan total BKe sebesar (63,92%), kecernaan protein (79,53%), dan kecernaan energi (72,2% ), sedangkan nilai kecernaan total BK (54,58%), kecernaan protein (65,17) dan kecernaan energi (49,17%).


(40)

Tabel 9. Kecernaan bahan uji

Bahan Uji Kecernaan Bahan (%)

Total Protein Energi

Bugkil kelapa + enzim Bungkil kelapa

63,92±0,35 54,58±0,70

79,53±0,65 65,17±0,43

72,2±0,28 49,17±0,53

Pembahasan

Tingginya aktivitas enzim selulase dan amilase pada cairan rumen domba diduga akibat jenis pakan yang dikonsumsi selama masa pemeliharaan. Domba yang diambil cairan rumennya ini mengkonsumsi rumput, dimana rumput mengandung serat yang cukup tinggi sehingga dikonversi pada saluran pencernaan menjadi enzim pendegradasi serat yang dibutuhkan di dalam rumen domba untuk mencerna rumput. Menurut Moharery dan Das, (2002), aktifitas enzim dalam cairan rumen tergantung dari komposisi atau perlakuan makanan. Cairan rumen domba yang digunakan untuk penelitian tersebut mengkonsumsi rumput selama pemeliharaan, sehingga aktifitas enzim selulase lebih tinggi. Lubis (1992) mengemukakan bahwa kandungan serat kasar rumput sangat tinggi yaitu 30,86%, sehingga enzim selulase yang dihasilkan di rumen juga lebih banyak. Pada penelitian ini diperoleh hasil aktifitas enzim tertinggi pada perlakuan volume 125 ml/kg bahan dengan lama waktu inkubasi 24 jam yaitu pada enzim selulase sebesar 0,511 IU/ml/menit diikuti enzim amilase sebesar 0,510 μg glukosa/ml/menit; enzim protease 0,057 μg protein/ml/menit dan lipase 0,036 μg lemak/ml/menit. Penelitian Pamungkas (2011) mendapatkan efektivitas enzim tertinggi adalah enzim selulase 0,31 IU/ml/menit sedangkan Fitriliyani (2010) menghasilkan aktivitas enzim tertinggi adalah enzim selulase 1,66 IU/ml/menit.

Perbedaan respon aktivitas enzim tersebut diduga akibat perbedaan domba yang digunakan enzim cairan rumennya. Budiansyah (2010) menemukan aktifitas enzim tertinggi dihasilkan oleh rumen sapi asal lokal dibandingkan rumen sapi impor. Hal ini disebabkan karena sapi lokal lebih banyak mengkonsumsi hijauan sehingga mikroba yang dihasilkan adalah mikroba pencerna serat. Sementara sapi impor


(41)

banyak mengkonsumsi konsentrat, sehingga lebih sedikit menghasilkan mikroba pencerna serat. Akibatnya, aktivitas enzim selulase pada cairan rumen sapi lokal lebih tinggi dibandingkan dengan aktivitas enzim selulase pada sapi impor. Perbedaan nilai tersebut juga diduga akibat dari umur domba yang diambil cairan rumennya berbeda. Agarwal et al., (2002) melaporkan bahwa anak domba dengan berat badan 23,5 kg yang diberi makan minum susu sampai 8 minggu dan diteruskan dengan 50% konsentrat dan 50% rumput sampai umur 24 minggu mendapatkan bahwa enzim-enzim yang ada dalam cairan rumen antara lain carboxymethyl cellulase dengan aktivitas enzim 3,60 mol glukosa per jam per ml, alpha amylase 0,33 umol glukosa per menit per ml, xylanase 0,29 umol xylosa per menit per ml. Perbedaan respon aktivitas enzim amilase juga terjadi.

Penelitian ini menghasilkan aktifitas enzim amylase 0,510 IU/ml/menit. Pamungkas (2011) mendapatkan aktivitas enzim amilase 0,14 IU/ml/menit, sedangkan Fitriliyani memperoleh aktivitas enzim amilase 1,32 IU/ml/menit. Perbedaan nilai tersebut diduga adanya perbedaan domba dan umur domba serta makanan yang dimakan selama masa pemeliharaan. Aktivitas enzim amylase yang dilaporkan Fitriliyani (2010) lebih tinggi dibanding yang dilaporkan penelitian lainnya disebabkan domba yang digunakan mengkonmsi rumput dan ditambahkan daun lamtoro yang mengandung serat kasar yang tinggi sehinggi enzim amylase yang dihasilkan di rumen juga cukup tinggi. Moharery dan Das (2002) melaporkan bahwa cairan rumen domba yang berisi sel-sel bakteri mempunyai aktivitas enzim selulase, amylase, protease dan lipase yang lebih tinggi dari cairan rumen tanpa sel-sel mikroba.

Di dalam penelitian ini, hasil hidrolisis terbaik mampu menurunkan serat kasar bungkil kelapa dari 14,34% menjadi 6,98%, sehingga kadar serat kasar yang tertinggal dari semula menurun lebih dari setengahnya. Penelitian Kurniansyah (2012) juga menggunakan enzim cairan rumen domba volume 150 ml/kg untuk mendegradasi kandungan serat kasar kakao dengan lama waktu inkubasi 24 jam. Hasil yang diperoleh terjadi penurunan kandungan serat kasar kakao dari 27,97% menjadi 21,67%, sehingga terjadi penurunan hanya seperempatnya. Penurunan kadar


(42)

serat pada tepung daun lamtoro dengan menggunakan enzim cairan rumen domba volume 100 ml/kg, lama waktu inkubasi 24 jam dapat mendegradasi serat kasar dari 16,77% menjadi 7,774%, atau turun sebanyak 53,7% (Fitriliyani, 2010). Penelitian dengan menggunakan enzim cairan rumen domba volume 100 ml/kg untuk menghidrolisis bungkil kelapa sawit selama 24 jam juga dilakukan Pamungkas (2011). Hasil penelitian tersebut berhasil menurunkan kandungan serat kasar BKS dari 17,54% menjadi 10,63% (turun 40%). Prosen penurunan serat kasar bervariasi diduga karena bahan yang dirumen berbeda dan substrat yang digunakan juga berbeda. Aktifitas enzim dalam rumen yang semakin tinggi akan efektif menurunkan serat kasar dibandingkan penambahan rumen yang memiliki aktivitas enzim yang lebih rendah.

Meningkatnya kandungan glukosa terlarut dalam bungkil kelapa seiring penambahan volume enzim cairan rumen domba. Kandungan glukosa terlarut pada BKe meningkat dari 0,013% menjadi 0,464%. Pamungkas (2011) menggunakan enzim cairan rumen domba dosis 100 ml/kg bahan bungkil kelapa sawit dengan lama waktu inkubasi 24 jam meningkatkan kandungan glukosa terlarut sebesar 0,469%. Perbedaan nilai tersebut diduga erat hubungannya dengan kerja enzim selulase. Enzim selulase terbukti efektif mendegradasi serat kesar menjadi gula-gula sederhana yang dapat diserap oleh ikan. Hardjo et al.(1989) mengemukakan bahwa selulosa adalah polimer tak bercabang dari glukosa yang dihubungkan melalui ikatan 1,4 β glukosida. Enzim yang mendegradasi selulosa yaitu endoglukanase atau karboksil metal selulase (endo-1,4- β-glukanase). Lebih lanjut dinyatakan bahwa kompleks enzim selulase mempunyai tiga komponen utama yang bekerja bersama-sama atau bertahap dalam menguraikan selulosa menjadi unit glukosa, yaitu :

1. Endo-selulase yang memotong bagian dalam struktur Kristal dari selulosa dan mengeluarkan unit selulosa dari rantai polisakarida.

2. Ekso-selulase yang memotong 2-4 unit selulosa dari rantai akhir hasil produksi endo-selulase dan menghasilkan tetrasakarida atau disakarida seperti selubiosa.


(43)

3. Selubiosa atau β-glukosidase yang menghidrolisis produk dari ekso-selulase menjadi monosakarida.

Tiga reaksi tersebut yang dikatalis oleh selulase memotong interaksi nonkovalen dalam bentuk ikatan hidrogen yang ada dalam struktur kristal selulosa oleh enzim endo-selulase, menghidrolisis serat selolusa menjadi sakarida yang lebih sederhana oleh ekso-selulase, serta menghidrolisis disakarida dan tetrasakarida menjadi glukosa oleh enzim β-glukosidase.

Kandungan serat kasar bungkil kelapa yang rendah mampu meningkatkan kecernaan benih ikan mas. Hasil penelitian menunjukan bahwa kecernaan total (63,92%), protein (79,53%), maupun energi (72,2%) pada pakan BKe memiliki nilai kecernaan yang lebih tinggi dibandingkan nilai kecernaan total (54,58%), protein (65,17%) dan energy (49,17%) pada pakan BK. Rendahnya serat kasar dalam pakan BKe menyebabkan peningkatan penyerapan zat-zat makanan dalam saluran pencernaan sehingga mempercepat pertumbuhan dan proses fisiologis lainnya. Proses tersebut terjadi akibat mekanisme kerja enzim yaitu memperbaiki kecernaan, menurunkan kekentalan (viskositas) digesta, memodifikasi morfologi dan histologi saluran pencernaan dan memodifikasi komunitas mikroba saluran pencernaan (Khan et al. 2006). Hidrolisis nutrient makro dimungkinkan dengan adanya beberapa enzim pencernaan seperti protease, karboksilase, dan lipase (Zonneveld et al. 1991). Robinson (2001) mengemukakan bahwa rendahnya serat kasar dalam pakan menyebabkan tingginya daya cerna dan penyerapan zat-zat makanan didalam alat pencernaan ikan. Selama pakan berada dalam usus ikan, nutrient dicerna oleh berbagai enzim menjadi bentuk yang dapat diserap oleh dinding usus dan masuk dalam sistim peredaran darah. Sebaliknya pakan yang mengandung serat kasar tinggi akan menghasilkan feses yang lebih banyak sehingga serat kasar yang tidak tercerna tersebut dapat membawa zat-zat makanan yang seharusnya dicerna. Kebutuhan serat didalam pakan dalam jumlah maksimal berkisar 7%. Serat yang melebihi batas maksimal akan menurunkan kandungan gizi dalam pakan.

Keberadaan serat kasar yang tinggi dalam pakan tidak diharapkan karena menghambat proses penyerapan didalam saluran pencernaan sehingga pertumbuhan


(44)

ikan terhambat. Keterbatasan ikan dalam memanfaatkan serat berkaitan dengan ketersediaan enzim sellulotik yang terbatas dalam saluran pencernaan ikan, bahkan pada level tertentu dapat menghambat pertumbuhan ikan. Pakan dengan kandungan serat kasar yang tinggi dapat menyebabkan absorbs zat makanan berkurang dan koefisien cerna semua zat makanan menurun. Namun, tak dapat dihindari bahwa serat kasar juga dibutuhkan dalam pakan walaupun dalam jumlah yang sangat sedikit. Serat kasar dibutuhkan dalam pakan untuk membantu proses pencernaan makanan. Menurut Piliang (2006), serat kasar mernbantu mempercepat ekskresi sisa-sisa makanan rnelalui saluran pencernaan. Dalam keadaan tanpa serat, feses dan kandungan air rendah akan lebih lama tinggal dalam saluran usus yang dapat rnenyebabkan gangguan pada gerakan peristaltik pada usus besar sehingga eksresi feses menjadi lebih lamban.


(45)

Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa penambahan enzim cairan rumen domba volume 125 ml/kg bahan dengan lama waktu inkubasi 24 jam dapat menurunkan kandungan serat kasar bungkil kelapa terbaik yaitu dari 14,34% menjadi 6,98%. Penurunan kandungan serat kasar dapat meningkatkan nilai kecernaan total bahan pakan bungkil kelapa dari 54,58% menjadi 63,92%, kecernaan protein dari 65,17% menjadi 79,53% dan kecernaan energi dari 49,17% menjadi 72,2%.


(46)

pengembangan. Penerbit Kanisius.

Agarwal N, Kamra DN, Chaunhary LC, Agarwal I, Sahoo A and Pathak NN. 2002. Microbial status and rumen enzyme profile of crossbred calves fed on different microbial feed additives. Letter in Applied Microbiology, 34:329-336.

Anggorodi R. 1990. Kemajuan mutakhir dalam ilmu makanan ternak unggas.Cetakan Pertama. Universitas Press. Jakarta.

Anonim. 2010. PT. Bireuen Coconut Oil. Bireuen. Nangroe Aceh Darusallam.

. 2011. Kebutuhan bahan baku lokal untuk pengembangan industri pakan nasional. Forum Inovasi Teknologi Akuakultur Kementrian Kelautan dan Perikanan. Bali.

. 2011. Statistik komoditi hasil perkebunan di Indonesia. Kementerian Pertanian Direktorat Jenderal Perkebunan. Jakarta.

Arora SP. 1989. Pencernaan mikroba pada ruminansia. Penerbit Gajah Mada Press, Yogyakarta.

Barlongan TG. 1990. Studies on Lipases of milkfish (Chanos chanos). Aquakulture,89:315-325.

Budiansyah A. 2010. Aplikasi cairan rumen sapi sebagai sumber enzim, asam amino, mineral dan vitamin pada ransum broiler berbasis pakan lokal. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Bureau DP. 2000. Feather meals and meat bone meal from different origin as protein sources in rainbow trout (Onchorynchus mykis) diets. Aquaculture: 181.281-291.

Choet M. 2001. Feed Non-starch polyssacharides: chemical structure and nutritional significance. Feed milling International, June Issuem pp. 13-26.

Craig S and Helfrich LA. 2002. Understanding fishnutrition, feed and feeding. Department of Fisheries and Wildlife Science. Virginia Tech.


(47)

penambahan ekstrak enzim cairan rumen domba untuk pakan ikan nila (Oreochromis sp). Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Furuichi M. 1988. Fish nutrition, p.1-78. In : Watanabe T (ed). Fish nutrition and

mariculture. Tokyo. Departemen of Aquatic Biosciences Tokyo University Of Fisheries.

Hardiyanto S. 2001. Kecernaan (in vitro) dan kelarutan ransum komplit domba berbahan baku jerami teramoniasi dan onggok yang mendapat perlakuan cairan rumen. Skripsi. Institut Pertanian Bogor.

Hardjo S.S, Indrasti N.S, Tajuddin B. 1989. Biokonversi: pemanfaatan limbah industri pertanian. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB.

Harver, JE dan Hardy, RW, editor. 2002. Fish Nutrition. Third Edition. California USA:Academic Press.822 pp.

Hepher B. 1990. Nutrition and pond fishes. Cambridge University Press. Cambridge, New York.

Indariyanti N. 2011. Evaluasi kecernaan campuran bungkil inti sawit dan onggok yang difermentasi oleh Trichoderma harzianum Rifai untuk pakan ikan nila Oreochromis sp [Tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Kamra DN. 2005. Special Section microbial diversity: Rumen microbial ecosystem.

Current Science, 89(10):124-135.

Khan SH, Sardar R, Siddique B. 2006. Influence of enzymes on performance of broilers fed sunflower-corn based diets. Pakistan Vet J26(3): 109-114.

Kung LJR, Treacher RJ, Nauman GA, Smagala AM, Endres KM and Cohen MA. 2000. The effect of treating forages with fibrolytic enzyms on its nutritive value lactation performance of dairy cows. J. Dairy Sci.83:115-122.

Kurniansyah A. 2012. Uji efektivitas penambahan enzim cairan rumen domba terhadap penurunan serat kasar dan nilai kecernaan kulit kakao sebagai pakan ikan nila.

Khan SH, Sardar R, Siddique B. 2006. Influence of enzymes on performance of broilers fed sunflower-corn based diets. Pakistan Vet J26(3): 109-114.


(48)

Lovell T. ,1988. Nutrition and feeding of fish. Auburn Univercity. Published by : Van Nostrand Academy of Sciences Washington DC. 260 pp.

Lubis D. A. 1992. Ilmu makanan ternak. PT. Pembangunan, Jakarta.

Malathi V and Devegowda G. 2002. In Vitro evaluation of nonstarch polysaccharide digestibility of feed ingredients by enzymes. Department of Poultry Science, University of Agricultural Sciences, Hebbal, Bangalore-India.

Midlen A and Redding T. 1998. Environmental Management for Aquaculture. Chapman Hall, London.

Moharrery A and Das Tirta K, 2002. Corealtion between microbial enzyme activities in the rumen fluid of sheep under different treatments. Reprod.Nutr.Dev, 41:513-529.

Mokoginta I, Takeuchi T, I Suprayudi AM , Wiramihardja Y, dan Setiawati M. 1999. Pengaruh sumber karbohidrat yang berbeda terhadap kecernaan pakan, Efesiensi pakan dan pertumbuhan benih gurame (Osphronemus gouramy Lac. Jurnal Ilmu Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. IV (2): 13-19.

Ng.W.K and Chen, M.I. 2002. Replacement of soybean meal with palm kernel meal in practical diets for hybrids Asian-African Catfish. Aquaculture 12:67-76. Ng.W.K and Chen, M.I. 2004. Researching the use of Palm Kernel Cake in

Aquaculture feeds. Fish Nutrition Laboratory, Universitas Sains Malaysia,Penang.

Ng.W.K and Chong K. 2002. The Nutritive value of palm meal end the Effact of enzyme suplementation in practical diets for Red Hybrid Tilapia (Oreocromis sp.). Asian Fisheries Science 15 (2002):167-176. Asian Fisheries Society, Manila, Philipines.

National Research Council (NRC). 1993. Nutrient requirement of fish. National Academy of Science. Washington DC. 86pp.

National Research Council (NRC). 1983. Nutrient Requirement of poultry. Washington DC: National Academy Press.


(49)

Pamungkas WS. 2011. Uji Efektivitas penambahan enzim cairan rumen domba terhadap penurunan serat kasar dan nilai kecernaan bungkil kelapa sawit sebagai pakan benih ikan Patin Siam Pangasius pangasius. Thesis. Pascasarjana IPB. Bogor.

Parakkasi A. 1990. Ilmu Nutrisi dan makanan ternak monogastrik. UI Press. Jakarta Piliang WG. Sastradipraja D. 2006. Studi Analisa metabolisme kalsium dan

kolesterol serta kebutuhan kalsium pada ayam petelur yang mendapat ransum dengan serat kasar tinggi asal dedak padi (Laporan Penelitian DP3M Ditjen Dikti). IPB. Bogor.

Purnomohadi M. 2006. Peranan bakteri selulotik cairan rumen pada fermentasi jerami padi terhadap mutu pakan. Jurnal Protein, Vol 13, No 2.

Robinson EH. Menghe HLi, Bruce BM. 2001, A Practical guide to nutrition feeds and feeding of catfish. Bull. 1113. Missisippi Agricultural & Forestry Experiment Station. Missisipi State University.

Sandi S. 2010. Peningkatan kualitas nutrisi silase berbahan baku singkong varietas pahit dengan enzim cairan rumen dan bakteri Leuconostoc mesenteroides sebagai pakan ternak unggas. Tesis. Institut Pertanian Bogor.

Steel RGD and JH. Torrie, 1993. Principles and procedure of statistic. McGraw Hill. London.

Sundu BA. Kumar and JG. Dingle. 2003. Perbandingan dua produk enzim komersial pencerna beta manan pada ayam pedaging yang mengkonsumsi bungkil kelapa sawit dengan level yang berbeda. Prosiding Seminar Nasional Pemanfaatan Sumberdaya Hayati Berkelanjutan.pp : 19-25

Takeuchi T. 1988. Laboratory work chemical evaluation of dietary nutrition. p. 179 – 229. In Watanabe T. Fish Nutrition and Mariculture JICA Textbook the General Aquaculture Course. Tokyo: Kanagawa International Fisheries Training Center.

Tilman AD. Hartadi H. Reksohardiprojo S. Prawirokusumo S. Lebdosoekojo S. 1999. Ilmu makanan ternak dasar. Cetakan ke-5. Gadja Mada Universitas Press. Yogjakarta.


(50)

Watanabe T. 1988. Fish nutrition and mariculture. Department of aquatic bioscience. Tokyo university of fisheries.JICA. 223 pp.

Watanabe T and Cho CY. 1988. Nutritional energetic. P. 79-94. In : Fish nutrition and mariculture. Kanagawa Fisheries Training Center. Japan International Cooperation Agency.

Wilson R.P. 1994. Utilization of dietary carobohidrate by fish. Aquaculture, 124: 67-80.

Wizna H. Abbas, Y, Rizal, I.P. Kompiang and A. Dharma. 2008. Potensi bakteri Bacillus amylseraquefaciens serasah hutan sebagai inokulum fermentasi pakan berserat tinggi. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan. Vol VIII. No 3.p. 212-220.

Yamamoto T. Konishi K. Shima T. Furuita H. Suzuki N. and Tabata M. 2001. influence of dietery fat and carbohydrate levels on growth and body composition of ranbow trout Onchorhyncus mykiss under self feeding conditions. Fisheries Science. 67:221-227.

Zonneveld N, Huisman EA, Boon JH. 1991. Prinsip-prinsip budidaya ikan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 318 p.


(51)

Lampiran 1. Prosedur Analisis Kadar Protein Tahap Oksidasi

1. Sampel ditimbang sebanyak 0.5 gram dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl.

2. Katalis (K2SO4+CuSo4.5H2O) dengan rasio 9:1 ditimbang sebanyak 3 gram dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl.

3. 10 ml H2SO4 pekat ditambahkan ke dalam labu Kjeldahl dan kemudian labu tersebut dipanaskan dalam rak oksidasi/digestion pada suhu 400oC selama 3-4 jam sampai terjadi perubahan warna cairan dalam labu menjadi hijau bening. 4. Larutan didinginkan lalu ditambahkan air destilasi 100 ml. Kemudian larutan

dimasukkan ke dalam labu takar dan diencerkan dengan akuades sampai volume larutan mencapai 100 ml. Larutan sampel siap didestilasi.

Tahap Destilasi

1. Beberapa tetes H2SO4 dimsukkan ke dalam labu, sebelumnya labu diisi setengahnya dengan akuades untuk menghindari kontaminasi oleh ammonia lingkungan. Kemudian didihkan selama 10 menit.

2. Erlenmeyer diisi 10 ml H2SO4 0.05 N dan ditambahkan 2 tetes indicator methyl red diletakkan di bawah pipa pembuangan kondensor dengan cara dimiringkan sehingga ujung pipa tenggelam dalam cairan.

3. 5 ml larutan sampel dimasukkan ke dalam tabung destilasi melalui corong yang kemudian dibilas dengan akuades dan ditambahkan 10 ml NaOH 30% lalu dimasukkan melalui corong tersebut dan ditutup.

4. Campuran alkaline dalam labu destilasi disuling menjadi uap air selama 10 menit terjadi pengembunan pada kondensor.

5. Labu erlenmeyer diturunkan hingga ujung pipa kondensor berada di leher labu, diatas permukaan larutan. Kondensor dibilas dengan akuades selama 1-2 menit.

Tahap Titrasi

1. Larutan hasil destilasi ditritasi dengan larutan NaOH 0.05 N. 2. Volume hasil titrasi dicatat.


(52)

Lanjutan Lampiran 1. Prosedur Analisis Kadar Protein

Kadar Protein (%) = 0.0007 * x (Vb – Vs) x 6.25 ** x 20 x 100% S

Keterangan : Vb = Volume hasil titrasi blanko (ml) Vs = Volume hasil titrasi sampel (ml)

S = Bobot sampel (gram)

* = Setiap ml 0.05 NaOH ekivalen dengan 0.0007 gram Nitrogen


(53)

Lampiran 2. Prosedur AnalisisKadar Lemak Metode ekstraksi Soxhlet

1. Labu ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 110o dalam waktu 1 jam. Kemudian didiinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang bobot labu tersebut (X1)

2. Sampel ditimbang sebanyak 3-5 gram (A), dan dimasukkan ke dalam selongsong tabung filter dan dimasukkan ke dalam soxhlet dan pemberat diletakkan di atasnya.

3. N-hexan 100-150 ml dimasukkan ke dalam soxhlet sampai selongsong terendam dan sisa N-hexan dimasukkan ke dalam labu.

4. Labu yang telah dihubungkan dengan soxhlet dipanaskan di atas water bath

sampai cairan yang merendam sampel dalam soxhlet berwarna bening. 5. Labu dilepaskan dan tetap dipanaskan hingga N-hexan menguap.

6. Labu dan lemak yang tersisa dipanakan dalam oven selama 15-60 menit, kemudian didinginkan dalam desikator selama 15-30 menit dan ditimbang (X2) Metode Folch

1. Labu silinder dioven terlebih dahulu pada suhu 110oC selama 1 jam, didinginkan dalam desikaotr selama 30 menit kemudian ditimbang (X1).

2. Sampel ditimbang sebanyak 2-3 gram (A) dan dimasukkan ke dalam gelas homogenize dan ditambahkan larutan kloroform / methanol (20xA) , sebagian disisakan untuk membilas pada saat penyaringan.

3. Sampel dihomogenizer selama 5 menit setelah itu disraing dengan vacuum pump.

4. Sampel yang telah disaring tersebut dimasukkan dalamlabu pemisah yang telah diberi larutan MgCl2 0.03 N(0.2xC), kemudian dikocok dengan kuat minimal selama 1 menit kemudian ditutup dengan aluminium foil dan didiamkan selama 1 malam.

5. Lapisan bawa yang terdapat dalam labu pemisah disaring ke dalam labu silinder kemudian dievaporator sampai kering. Sisa kloroform / methanol yang terdpat dalam labu ditiup dengan menggunakan vacuum setelah itu ditimbang (X2)

Kadar Lemak (%) = X2 –X1 x 100% A


(54)

Lampiran 3. Prosedur AnalisisKadar Air

1. Cawan dipanaskan dalam oven pada suhu 100oC selama 1 jam dan kemudian dimasukkan dalam dessikator selama 30 menit dan ditimbang (X1)

2. Bahan ditimbang 2-3 gram (A)

3. Cawan dan bahan dipansakan dalam oven pada suhu 110oC selama 4 jam kemudian dimasukkan dalam desikator selam 30 menit dan ditimbang (X2) Kadar Air (%) = (X1+A)-X2 x 100%


(55)

Lampiran 4. Prosedur AnalisisKadar Abu

1. Cawan dipanaskan dalam oven pada suhu 100oC selama 1 jam dan kemudian dimasukkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang (X1)

2. Bahan ditimbang 2-3 gram (A)

3. Cawan dan bahan dipansakan dalam tanur pada suhu 600oC sampai mnejadi abu kemudian dimasukkan dalam desikator selam 30 menit dan ditimbang (X2) Kadar Abu (%) = X2 –X1 x 100%


(56)

Lampiran 5. Prosedur AnalisisKadar Serat Kasar

1. Kertas filter dipanaskan dalam oven selama 1 jam pada suhu 110oC setelah itu didinginkan dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang (X1)

2. Sampel ditimbang sebnayak 0.5 gram (A) dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 250 ml

3. H2SO4 0.3 N sebanyak 50 ml ditambahkan ke dalam Erlenmeyer kemudian dipanaskan di atas pembakar Bunsen selama 30 menit. Setelah itu NaOH 1.5 N sebanyak 25 ml ditambahkan ke dalam Erlenmeyer dan dipanskan kembali selama 30 menit.

4. Larutan dan bahan yang telah dipanaskan kemudian disraing dalam corong Buchner dan dihubungkan pada vacuum pump untuk mempercepat filtrasi. 5. Larutan dan bahan yang ada pada corong Buchner kemudaian dibilas secara

berturut-turut dengan 50 ml air panas, 50 ml H2SO4 0.3 N, 50 ml air panas, dan 25 ml acetone.

6. Kertas saring dan isinya dimasukkan dalam cawan porselin, lalu dipanaskan dalam oven 105-110oC selama 1 jam kemudian didinginkan dalam desikator 5-15 menit dan ditimbang (X2).

7. Setelah itu dipanaskan dalam tanur 600oC hingga berwarna putih atau menjadi abu (± 4 jam). Kemudian dimasukkan dalam oven 105-110oC selama 15 menit, didinginkan dalam desikator selama 5-15 menit dan ditimbang (X3).

Kadar Serat Kasar (%) = (X2 – X1 – X3) x 100% A


(1)

Lampiran 5. Prosedur Analisis

Kadar Serat Kasar

1.

Kertas filter dipanaskan dalam oven selama 1 jam pada suhu 110

o

C setelah itu

didinginkan dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang (X1)

2.

Sampel ditimbang sebnayak 0.5 gram (A) dimasukkan ke dalam Erlenmeyer

250 ml

3.

H2SO4 0.3 N sebanyak 50 ml ditambahkan ke dalam Erlenmeyer kemudian

dipanaskan di atas pembakar Bunsen selama 30 menit. Setelah itu NaOH 1.5 N

sebanyak 25 ml ditambahkan ke dalam Erlenmeyer dan dipanskan kembali

selama 30 menit.

4.

Larutan dan bahan yang telah dipanaskan kemudian disraing dalam corong

Buchner dan dihubungkan pada vacuum pump untuk mempercepat filtrasi.

5.

Larutan dan bahan yang ada pada corong Buchner kemudaian dibilas secara

berturut-turut dengan 50 ml air panas, 50 ml H2SO4 0.3 N, 50 ml air panas, dan

25 ml acetone.

6.

Kertas saring dan isinya dimasukkan dalam cawan porselin, lalu dipanaskan

dalam oven 105-110

o

C selama 1 jam kemudian didinginkan dalam desikator

5-15 menit dan ditimbang (X2).

7.

Setelah itu dipanaskan dalam tanur 600

o

C hingga berwarna putih atau menjadi

abu (± 4 jam). Kemudian dimasukkan dalam oven 105-110

o

C selama 15 menit,

didinginkan dalam desikator selama 5-15 menit dan ditimbang (X3).

Kadar Serat Kasar (%) = (X2 – X1 – X3) x 100%

A


(2)

Lampiran 6. Metode Uji Aktifitas Enzim

Aktifitas enzim selulase (Ghosse,1987)

Penentuan nilai aktifitas enzim selulase dilakukan dengan pencampuran enzim

sebanyak 0,5 ml dengan kertas saring 50 mg, buffer sitrat phosphate pH 4,8; 0,005 M

sebanyak 1 ml. Selanjutnya dilakukan inkubasi pada suhu 50˚C selama 1 jam. Reaksi

dihentikan dengan penambahan DNS (3,5 dinitro salicilyc acid) sebanyak 3 ml.

Kemudian dipanaskan dalam air mendidih selama 5 menit. Setelah dingin

disentrifugasi dengan kecepatan 3.000 rpm selama 15 menit. Selanjutnya dapat

dilakuka pengukuran gula pereduksi yang dibebaskan (

reducing sugar

) menggunakan

spektrofotometer pada panjang gelombang 575 nm.

Satu unit aktifitas enzim didefinisikan sebagai jumlah enzim yang menghasilkan

1µmol glukosa per menit.

Uji aktifitas enzim amylase (Bergmeyer dan Grassi, 1983)

Penentuan nilai aktifitas enzim amylase dilakukan dengan pencampuran

enzim sebanyak 1 ml dengan 1% pati dalam buffer sitrat 0,005 M pH 5,7 sebanyak 1

ml. Selanjutnya dilakukan inkubasi pada suhu 37˚C selama 30 menit. Reaksi

dihentikan dengan penambahan DNS (3,5 dinitro salicilyc acid) sebanyak 3 ml.

Kemudian dipanaskan dalam air mendidih selama 5 menit. Setelah dingin

disentrifugasi dengan kecepatan 3.000 rpm selama 15 menit. Selanjutnya dapat

dilakuka pengukuran gula pereduksi yang dibebaskan (

reducing sugar

) menggunakan

spektrofotometer pada panjang gelombang 575 nm.

Satu unit aktifitas enzim didefinisikan sebagai jumlah enzim yang menghasilkan

1µmol glukosa per menit.

Uji aktifitas enzim protease

(Bergmeyer dan Grassi, 1983)

Prinsip penetapan metode Bergmeyer dan Grassi ini didasarkan bahwa kasein

akan dihidrolisis oleh protease menjadi peptide dan asam amino. Asam amino

dipisahkan dari substrat yang tersisa dengan penambahan TCA, sedangkan protein

yang tidak terhidrolisis akan mengendap dengan adanya TCA. Asam amino yang


(3)

telah diisolasi dapat langsung diukur absorobansinya pada panjang gelombang 280

nm diwarnai terlebih dahulu dengan pereaksi folin ciocalteau agar dapat dilakukan

pembacaan pada sinar tampak. Materi dan prosedur penggujian :

Materi

Blanko

(ml)

Standar

(ml)

Sampel

(ml)

Buffer phosphate (0,05 M; pH 8,0)

1,00

1,00

1,00

Substrat kasein (20 mg/ml, pH 8,0)

1,00

1,00

1,00

Enzim dalam CaCb (20 mmol/l)

-

-

0,20

Tirosin standar 5 mmol/l

-

0,20

-

Akuades

inkubasi pada suhu 37˚C selama 10

menit

TCA (0,1 M)

2,00

2,00

2,00

Akuades

-

-

0,20

Enzim dalam CaCl

2

(2 mmol/l)

0,20

0,20

-

Diamkan pada suhu 37˚C selama 10 menit, kemudian sentrifugase 3.500 rpm

selama 10 menit

Filtrat

1,50

1,50

1,50

Na

2

CO

3

(0,4 M)

5,00

5,00

5,00

Folin Ciocalteau

1,00

1,00

1,00

Diamkan pada suhu 37˚C selama 20 menit, kemudian dibaca absorbansinya pada

panjang gelombang 578

Setiap sampel yang dihitung aktifitasnya memiliki 3 nilai absorbansi, yaitu

absorbansi blanko, standard dan sampel. Satu unit aktifitas menyatakan jumlah enzim

yang dapat menghasilkan produk satu mikro mol per menit (Bergmeyer

et al

., 1983).

Aktifitas protease dihitung dengan :

OD sampel – OD blanko

U.ml =

OD standard – OD blanko

Keterangan :


(4)

Uji aktifitas enzim lipase

(Tiez and Feedreck dalam Barlongan, 1990)

Substrat lipase stabil (minyal zaitun) 1,5 ml ditambahkan 0,1 ml Tris’HCl

0,1M sebagai buffer dengan pH 8,0. Kemudian ditambahkan 1,0 ml ekstrak enzim.

Campuran homogenkan dan di inkubasi selama 6 jam pada suhu 37˚C. Reaksi

dihentikan dengan menambahkan 3 ml etil alcohol 95%. Titrasi sampel dengan

NaOH 0,001 N dengan menggunakan trymophthalein 0,9% (w/v) dalam etanol

sebagai indicator. Prosedur yang sama dilakukan pada blanko. Satu unit aktifitas

lipase didefinisikan sebagai volume NaOH 0,005 N yang dibutuhkan untuk

menetralisir asam lemak yang dilepaskan selama 6 jam inkubasi substrat, setelah

dikoreksi dengan blanko.


(5)

Lampiran 7. Prosedur Analisis Kecernaan

1.

Timbang 0,1- 0,2 gram sampel/bahan, masukkan ke dalam labu kjedahl

2.

Tambahkan 5 ml nitrit acid pekat ke dalam labu

3.

Panaskan dengan hati-hati selama 30 menit sampai volume larutan menjadi ± 1 ml

4.

Setelah dingin, tambahkan 3 ml perchoric acid pekat ke dalam labu kemudian

panaskan kembali

5.

Setelah asap putih terlihat dan larutan berubah dari hijau menjadi kuning atau oranye,

campuran dipanaskan selama ±10 menit

6.

Dinginkan, lalu encerkan sampai volume 100 ml. Nilai absorban larutan ditentukan

oleh spektrofotometer dengan panjang gelombang 350 nm


(6)

Lampiran 8. Hasil Analisis Kecernaan Bungkil Kelapa dan Kromuim (Cr

2

O

3

) dan

Pakan dan Feses Ikan Mas

(Cyprinus carpio)

Perlakuan

Kecernaan

Kromium

Total

Protein

DE

Energi

Pakan

Feses

K1

68.33

77.85

5761.01

72.43

0.675

1.802

K2

68.68

77.65

5671.01

71.03

0.563

1.812

K3

65.03

75.29

5071.01

71.03

0.472

1.601

Rerata

67.35

76.93

5501.01

71.50

0.57

1.74

A1

67.97

79.70

5580.66

70.45

0.487

1.530

A2

67.11

77.81

5475.81

69.50

0.492

1.490

A3

63.86

75.61

5170.43

68.85

0.51

1.450

Rerata

66.32

77.71

5408.97

69.60

0.50

1.49

B1

63.10

74.65

5040.01

64.17

0.582

1.420

B2

63.61

76.29

5020.01

64.72

0.561

1.440

B3

63.86

75.59

4620.01

65.52

0.431

1.450

Rerata

63.52

75.51

4893.34

64.80

0.52

1.44

 

Keterangan :

K = Pakan Acuan

A = Bungkil kelapa dengan penambahan enzim

B = Bungkil kelapa tanpa penambahan enzim