Residu Antibiotik Fluorokuinolon pada Daging Ayam Broiler di Wilayah Jakarta Timur

RESIDU ANTIBIOTIK FLUOROKUINOLON PADA DAGING AYAM
BROILER DI WILAYAH JAKARTA TIMUR

TANTINA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Residu Antibiotik
Fluorokuinolon pada Daging Ayam Broiler di Wilayah Jakarta Timur adalah
benar karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Tantina
NIM B04090166

ABSTRAK
TANTINA. Residu Antibiotik Fluorokuinolon pada Daging Ayam Broiler di
Wilayah Jakarta Timur. Dibimbing oleh HADRI LATIF dan ABDUL ZAHID
ILYAS.
Fluorokuinolon ialah agen antibakteri sintetis yang digunakan dalam
pengobatan berbagai infeksi bakteri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
keberadaan residu antibiotik fluorokuinolon pada daging ayam broiler yang dijual
pada pasar wilayah Jakarta Timur. Sebanyak 240 daging ayam broiler diambil di
pasar wilayah Jakarta Timur. Sampel diuji dengan menggunakan metode Enzyme
Linked Immunosorbent Assay (ELISA) kompetisi langsung. Hasil uji
menunjukkan bahwa terdapat 51 sampel (21.25%) positif terdeteksi residu
antibiotik fluorokuinolon pada kisaran konsentrasi 4.54 sampai 85.61 part per
billion (ppb). Selanjutnya, terdapat 31 sampel (15.84%) sampel pada rentang
10.67 sampai 85.61 ppb melebihi batas maksimum residu (BMR) yang telah
ditetapkan dalam SNI No: 01-6366-2000 yaitu 0.01 mg/kg atau setara dengan 10

ppb. Keberadaan residu antibiotik dalam daging ayam broiler dapat disebabkan
oleh penggunaan antibiotik yang tidak sesuai jenis penyakit, dosis yang
berlebihan dan tanpa memerhatikan waktu henti obat. Sebagian besar sampel
daging ayam di wilayah Jakarta Timur memiliki residu antibiotik fluorokuinolon
melebihi BMR.
Kata kunci: daging ayam broiler, ELISA, fluorokuinolon, residu antibiotik.

ABSTRACT
TANTINA. Fluoroquinolone Antibiotic Residues in Broiler Chicken in East
Jakarta region. Guided by HADRI LATIF and ABDUL ZAHID ILYAS.
The fluoroquinolones way a series of synthetic antibacterial agents that are
used in the treatment of a variety of bacterial infections. The aim of this study was
to determine the presence of fluoroquinolone antibiotic residues in broiler chicken
meat that sold in East Jakarta region. A total of 240 broiler meat were taken from
market in East Jakarta region. Samples were tested using direct competitive
Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA). The results showed that there
were 51 samples (21.25%) contained fluoroquinolones antibiotic residue in the
range of concentration 4.54 to 85.61 parts per billion (ppb). Furthermore, there
were 31 samples (15.84%) of the samples in the range of 10.67 to 85.61 ppb, that
exceeding the maximum residue limit (MRL) established on SNI No: 01-63662000 was 0.01 mg/kg or equivalent to 10 ppb. The presence of antibiotic residues

in broiler meat could be caused by improper use of antibiotics, excessive doses,
and regardless withdrawal time. Most of the samples of chicken meat in East
Jakarta region has a fluoroquinolones antibiotic residues exceeding the MRL.
Key words: broiler meat, ELISA, fluoroquinolones, residues antibiotic

RESIDU ANTIBIOTIK FLUOROKUINOLON PADA DAGING AYAM
BROILER DI WILAYAH JAKARTA TIMUR

TANTINA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014


Judul Skripsi
Nama
NRP

: Residu Antibiotik Fluorokuinolon pada Daging Ayam
Broiler di Wilayah Jakarta Timur
: Tantina
: B04090166

Disetujui oleh

Dr Drh. Hadri Latif, MSi
Pembimbing I

Drh. Abdul Zahid Ilyas, MSi
Pembimbing II

Diketahui


Drh Agus Setiyono, MS, PhD, APVet
Wakil Dekan

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya, sehingga skripsi dengan judul Residu Antibiotik
Fluorokuinolon pada Daging Ayam Broiler di Wilayah Jakarta Timur dapat
diselesaikan.
Terima kasih Penulis ucapkan kepada Dr Drh. Hadri Latif, MSi selaku
dosen pembimbing skripsi I dan Drh. Abdul Zahid Ilyas, MSi selaku dosen
pembimbing skripsi II, atas segala bimbingan, dorongan, kritik, dan saran yang
telah diberikan selama penelitian dan penulisan skripsi ini. Di samping itu,
penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr Drh. Anita Esfandiari, MSi
selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama
menjadi mahasiswa FKH IPB. Ungkapan terima kasih Penulis ucapkan juga
kepada Dr Ir. Etih Sudarnika, MSi, Prof Dr Drh Mirnawati Sudarwanto, Dr Drh
Denny Widaya Lukman, MSi, Drh Herwin Pisestyani, MSi, Drh Yulia, Drh
Odelia, mba Nia, Agung, dan mba Evy atas dorongan, masukan, dan bantuan

selama pengumpulan dan pengolahan data.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Edy Taryono, Ibu
Endang Rinjani, kakak (Ferdila, Windy, Yuda), adik Aga, dan keponakan Keizo
atas doa, kasih sayang, dan dukungan yang diberikan selama ini. Selanjutnya
ungkapan terima kasih penulis ucapkan kepada teman seperjuangan selama
penelitian Rimadinar dan Theresia yang telah banyak membantu selama proses
penyusunan skripsi. Ucapan terima kasih disampaikan juga kepada sahabatsahabat terdekat (Puri, Ica, Chiko, Uya, Rocky, Irnanda, Nisa, Widy, Dewi,
Nandha, Memey, Pucan, Rifqah, Jo, Ridwan, Hadi) serta teman-teman seangkatan
Geochelone 46 yang sama-sama berjuang dalam menempuh pendidikan di Institut
Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih
terdapat kesalahan.
Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun sebagai
evaluasi bagi Penulis. Terlepas dari kekurangan yang ada, Penulis berharap
skripsi ini dapat memberi manfaat bagi yang membutuhkan.

Bogor, Agustus 2014
Tantina

DAFTAR ISI


DAFTAR TABEL

Viii

DAFTAR GAMBAR

Viii

PENDAHULUAN
Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

1

Manfaat Penelitian

2


TINJAUAN PUSTAKA
Antibiotik

2

Pengunaan Antibiotik pada Peternakan Unggas

2

Residu Antibiotik

3

Fluoorokuinolon

4

Enzyme Linked immunosorbent Assay (ELISA)


5

MATERI DAN METODE
Waktu dan Tempat

6

Alat dan Bahan

6

Metode Penelitian

6

HASIL DAN PEMBAHASAN

7

SIMPULAN DAN SARAN


10

DAFTAR PUSTAKA

10

RIWAYAT HIDUP

15

DAFTAR TABEL

1 Nilai residu antibiotik fluorokuinolon pada sampel daging ayam
broiler.

8

2 Nilai kisaran konsentrasi (ppb) residu antibiotik fluorokuinolon
pada daging ayam broiler.


9

DAFTAR GAMBAR

1 Struktur dasar senyawa kuinolon.

4

2 Struktur kimia dari enfrofloksasin dan siproflokasin.

5

3 Kurva standar ELISA antibiotik fluorokuinolon pada daging ayam.

8

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang dengan laju
pertumbuhan yang terus meningkat setiap tahunnya. Seiring dengan
meningkatnya laju pertumbuhan penduduk Indonesia , meningkat pula kebutuhan
akan protein hewani. Daging ayam broiler merupakan salah satu sumber protein
hewani yang bernilai gizi tinggi dan berperan penting dalam memperbaiki kualitas
sumber daya manusia. Ayam broiler merupakan ternak yang pertumbuhannya
cepat, sehingga dapat menghasilkan daging dalam waktu relatif singkat yaitu 5
hingga 7 minggu. Ayam broiler memiliki peran penting sebagai sumber protein
hewani asal ternak (Resnawati 2005).
Meningkatnya permintaan produk ternak akan diikuti dengan peningkatan
pemakaian obat hewan baik dalam bentuk, jenis, maupun jumlahnya. Dalam
kesehatan hewan, antibiotik selain digunakan sebagai obat juga digunakan sebagai
pemacu pertumbuhan yang diberikan dalam bentuk imbuhan pakan. Penggunaan
antibiotik yang berlebihan dapat menimbulkan residu antibiotik dalam produk asal
ternak (Bahri et al. 2006). Daging merupakan salah satu produk asal ternak yang
dapat mengandung bahaya kimiawi yaitu residu antibiotik. Keberadaan residu
antibiotik pada daging dikarenakan peternak tidak mematuhi dosis dan waktu
henti pemberian obat. Keberadaan residu antibiotik yang melewati batas
maksimum residu (BMR) menyebabkan daging tidak aman untuk di konsumsi.
Bahaya potensial residu antibiotik dalam makanan terhadap kesehatan
secara umum dapat ditinjau dari 3 aspek, yaitu aspek toksikologis, mikrobologis,
dan imunopatologis. Residu antibiotik dalam pangan asal hewan dapat
mengancam kesehatan masyarakat serta menimbulkan alergi, keracunan, gagalnya
pengobatan akibat resistensi, dan gangguan jumlah mikroflora dalam saluran
pencernaan pada manusia (Murdiati 1997). Dampak ekonomi yang ditimbulkan
dari adanya residu antibiotik dalam pangan asal ternak, berupa penolakan produk
terutama bila produk tersebut di ekspor ke negara yang konsisten dan serius dalam
menerapkan sistem keamanan pangan (Crawford dan Franco 1994).
Upaya yang dapat dilakukan untuk mendeteksi keberadaan residu antibiotik
pada daging ayam broiler agar aman dikonsumsi yaitu melalui pengujian secara
rutin dengan monitoring atau surveilans residu antibiotik secara terkoordinasi.

TINJAUAN PUSTAKA

Antibiotik
Antibiotik adalah senyawa kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme
(khususnya dihasilkan oleh fungi) atau dihasilkan secara sintetik yang dapat
membunuh atau menghambat perkembangan bakteri dan organisme lain (Munaf
1994). Penggunaan obat-obatan terutama antibiotik dalam bidang peternakan

2
tidak dapat dihindari, karena kesehatan ternak yang harus selalu terjaga sehingga
dapat berproduksi secara optimal, namun penggunaan antibiotik untuk mengatasi
penyakit infeksi harus didasarkan pada identifikasi bakteri yang menyebabkan
infeksi, disertai hasil uji kepekaan dari bakteri yang bersangkutan, sehingga akan
diperoleh hasil yang maksimal (Murdiati 1997).
Penambahan obat-obatan anti bakteri (antibiotik) ke dalam ransum pakan
ternak dapat meningkatkan laju pertumbuhan berat badan atau memperbaiki laju
efisiensi pakan. Penggunaan obat-obatan tersebut meningkat tajam khususnya
pada sapi potong dan ayam pedaging untuk mempercepat laju pertumbuhan bobot
badan. Antibiotik yang diijinkan untuk dipergunakan sebagai imbuhan pakan
umumnya tidak diabsorpsi dari saluran pencernaan atau absorpsinya sangat kecil,
sehingga antibiotik dapat cepat dieleminasi dari tubuh. Absorpsi yang sangat kecil
menyebabkan distribusi ke jaringan juga sangat kecil dan dengan sendirinya tidak
akan ditemukan residu dalam produk hewan (Murdiati 1997).
Penggunaan Antibiotik pada Peternakan Unggas
Ayam broiler merupakan sebutan ayam ras hasil budidaya teknologi
peternak yang memiliki karakteristik ekonomi dengan ciri khas pertumbuhan yang
cepat, sebagai penghasil daging dengan konversi pakan yang efisien dan siap
dipotong pada usia yang relatif muda. Ayam broiler siap dipanen pada usia 35
sampai dengan 45 hari dengan berat badan antara 1.2 sampai dengan 1.9 kg/ekor
(Priyatno 2003). Cara yang digunakan untuk memperoleh pertumbuhan yang
cepat oleh peternak yaitu dengan menggunakan antibiotik karena dipercaya dapat
memperbaiki konversi pakan ternak sehingga dapat meningkatkan efisiensi
produksi dan meningkatkan laju pertumbuhan. Penggunaan antibiotik yang tidak
memperhatikan waktu henti obat (withdrawal time), akan menimbulkan residu
antibiotik pada produk hewan (Bahri et al. 2000). Tidak dipatuhinya waktu henti
obat, kemungkinan disebabkan oleh bahaya residu antibiotik pada pangan asal
ternak belum dipahami, peternak belum mengetahui waktu henti obat setelah
pemakaian antibiotik, banyak perusahaan obat hewan tidak mencantumkan waktu
henti obat dan tanda peringatan khusus. Selain itu waktu henti obat juga
bergantung pada jenis obat, spesies hewan, faktor genetik ternak, iklim setempat,
cara pemberian, dosis obat, status kesehatan hewan, produk ternak yang
dihasilkan, batas toleransi residu obat, dan formulasi obat (Bahri et al. 2005).
Antibiotik pada kemasan sering digunakan dalam peternakan unggas untuk
mengobati dan menghindari penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme,
terutama yang disebabkan oleh bakteri. Herrick (1993) melaporkan bahwa sekitar
50% keberadaan residu obat pada produk ternak disebabkan karena tidak
dipatuhinya waktu henti pemberian obat. Pemakaian obat yang dilakukan oleh
peternak dapat menimbulkan residu dalam produk ternak. Penggunaan obat hewan
yang kurang tepat berkaitan dengan pola pemasaran obat hewan di lapangan.
Sekitar 33.3% peternak ayam petelur skala kecil dan 30.8% peternak ayam
pedaging skala kecil tidak mempunyai dokter hewan, tetapi mendapat obat
langsung dari distributor atau importir sehingga penggunaan obat-obatan
cenderung tidak mengikuti aturan yang benar (Kusumaningsih et al. 1997).
Menurut Rahayu (2010), senyawa yang dimasukan ke dalam tubuh akan
mengalami berbagai proses yang terdiri dari penyerapan (absorpsi), distribusi,

3

metabolisme (biotransformasi), dan eliminasi. Penyerapan terjadi di dalam saluran
pencernaan yang sebagian besar dilakukan oleh usus apabila bahan tersebut
dimasukkan melalui mulut. Senyawa yang berbentuk asli maupun metabolitnya
akan dibawa oleh darah dan akan didistribusikan ke seluruh bagian tubuh setelah
terjadi penyerapan. Metabolisme akan terjadi di dalam organ-organ tubuh yang
berfungsi untuk hal tersebut dan pada sel-sel serta jaringan yang mampu
melakukannya. Eliminasi akan dilakukan oleh alat-alat ekskresi terutama ginjal,
dalam bentuk kemih dan lewat usus dalam bentuk tinja. Timbunan senyawa atau
metabolit di dalam tubuh akan terjadi apabila senyawa-senyawa tersebut diberikan
dalam waktu yang lama, itulah yang disebut dengan residu.
Residu Antibiotik
Residu antibotik merupakan senyawa asal dan atau metabolitnya yang
terdapat dalam jaringan produk hewani dan termasuk residu hasil uraian lainnya
dari antibiotik tersebut. Residu dalam bahan makanan (terutama jaringan ternak
untuk konsumsi) meliputi senyawa asal yang tidak berubah, metabolit dan/atau
konjugat lain. Beberapa metabolit obat diketahui bersifat kurang atau tidak toksik
dibandingkan dengan senyawa asalnya, namun beberapa metabolit bersifat lebih
toksik. Residu antibiotik dalam makanan asal hewan erat kaitannya dengan
penggunaan antibiotik untuk pencegahan dan pengobatan penyakit serta
penggunaannya sebagai imbuhan pakan. Pakan yang mengandung antibiotik akan
berinteraksi dengan jaringan (organ) dalam tubuh ternak, meskipun dalam jumlah
yang kecil pengaruh yang ditimbulkan tidak secara langsung tetapi akan berefek
kronis dan tetap berada dalam tubuh ternak (Adam 2002).
Penggunaan antibotik meningkat tajam khususnya pada ternak sapi
pedaging dan ayam pedaging. Apabila hewan ternak yang baru saja mendapatkan
suntikan antibiotik atau ransum tersebut segera dipotong, maka dapat
meninggalkan residu obat-obatan di dalam daging ternak, telur, susu, atau produk
ternak lainnya. Keberadaan residu antibiotik dalam pangan asal hewan dapat
mengakibatkan efek yang buruk bagi manusia, diantaranya alergi keracunan,
karsinogen, dan resistensi mikroorganisme terhadap antibiotik tertentu. Dengan
bahayanya efek residu terhadap kesehatan, maka ada ketentuan nilai Batas
Maksimum Residu (BMR) dalam produk ternak untuk masing-masing antibiotik
berdasarkan Standar Nasional Indonesia (BSN 2001).
Fluorokuinolon
Kuinolon adalah kelompok obat antibakteri spektrum luas sintesis yang
memiliki target DNA sintesis. Fluorokuinolon ialah agen antibakteri sintetis yang
digunakan dalam pengobatan berbagai infeksi bakteri (Sarkozy 2001).
Fluorokuinolon merupakan turunan dari kuinolon yang memiliki gugus florida
pada cincin kuinolon di posisi C-6 (Gambar 1) yang bekerja terhadap enzim DNA
girase dan topoisomerase IV, sehingga dapat mengganggu proses replikasi dan
transkripsi DNA yang menyebabkan kematian pada sel (Somasundaram dan
Manivannan 2013). Salah satu turunan dari golongan fluorokuinolon ialah
enrofloksasin. Enrofloksasin atau asam karboksilat 1-siklopropil-6-fluoro-1.4dihidro-4okso-7-(4-etil-1-piperzinil)-3-kuinolon adalah salah satu jenis

4
antimikroba generasi kedua golongan kuinolon yang disintesa pertama kalinya
pada tahun 1980 oleh Grohe dan Peterson (Gambar 2). Antibakteri ini
berspektrum luas yang digunakan di Amerika sejak tahun 1996 untuk mengatasi
infeksi yang disebabkan oleh bakteri E. coli pada ayam dan P. multocida pada
kalkun (UCSUSA 2003).
O

O

OH

X

N

Gambar 1 Struktur dasar senyawa kuinolon
Enrofloksasin sering digunakan untuk mengatasi salmonellosis,
colibacillosis, dan CRD pada ayam. Pemberian enrofloksasin terhadap hewan
untuk pengobatan secara intensif dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan
akumulasi residu antibiotik dalam produk hewani. Enrofloksasin dalam tubuh
hewan akan dimetabolisir menjadi siprofloksasin (Gambar 3) melalui proses
oksidatif dealkilasi. Siprofloksasin masih mempunyai aktivitas bakterisidal,
walaupun sebagai metabolit. Selain siprofloksasin terdapat pula metabolit
tambahan lainnya (seperti oksosiprofloksasin, enrofloksasin amida,
dioksosiprofloksasin) juga terbentuk namun kurang dari 10% dari total residu
(Emea 1998). Menurut Widiastuti (2008), residu antibiotik dalam produk ternak
dapat terbentuk akibat penggunaan yang berlebihan atau tidak memperhatikan
waktu henti obat sehingga dapat memicu perkembangan resisten strain bakteri
pada manusia melalui makanan yang dikonsumsi. Masalah ini akan berkaitan
dengan kesehatan masyarakat, terutama melalui peningkatan resiko kegagalan
pengobatan. Penggunaan antibiotik ini berkhasiat terhadap organisme yang
resisten terhadap antibiotik beta laktam, aminoglikosida, tetrasiklin, folat
antagonis, dan makrolida.

O

O

F

H
O

N
N

Gambar 2 Struktur ikatan kimia dari enfrofloksasin.

5
O

O

F

H
O

N
N
H

(b)

Gambar 3 Struktur ikatan kimia dari siproflokasin.
Menurut Andriyanto (2010), penggunaan antibiotik enrofloksasin pada
ayam menjadi pilihan utama dalam menganggulangi infeksi saluran pencernaan
dan pernafasan sehingga kadang-kadang penggunaanya menjadi tidak terkendali.
Penggunaan antibiotik yang berlebihan akan menyebabkan resistensi bakteri
sehingga penggunaan antibiotik menjadi tidak efektif, selain itu dapat
menghambat pengendalian dan pengobatan penyakit (Murtidjo 2008). Adapun
Batas Maksimum Residu (BMR) untuk total residu enrofloksasin dalam daging
yang ditetapkan oleh SNI adalah 0.01 mg/kg atau setara dengan 10 ppb (BSN
2001).
Enzyme Linked Immunosorbent Assay
Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) merupakan salah satu
metode yang sistem deteksinya berdasarkan reaksi enzimatik yang melibatkan
protein yang mengkatalisis suatu reaksi biokimia dan antibodi atau antigen
sebagai molekul imunologik. ELISA membutuhkan tahapan penambahan dan
reaksi reagensi kedalam suatu senyawa terikat fase padat (solid phase bound
substance), melalui inkubasi dan pemisahan molekul terikat dan bebas
menggunakan tahapan pencucian. Reaksi enzimatik digunakan untuk
menghasilkan warna dan analisis kuantifikasi. Competitive ELISA biasanya
digunakan untuk mendeteksi kontaminan dengan berat molekul kecil didalam
makanan seperti mikotoksin, pestisida, dan antibiotik. Competitive ELISA terdiri
dari direct competitive ELISA dan indirect competitive ELISA.
ELISA kompetisi langsung (direct competitive ELISA) merupakan metode
dimana antibodi dilekatkan pada sebuah fase solid yang kemudian analit dan
enzyme-labelled competing antigen ditambahkan secara bersamaan untuk bersaing
dengan bagian perlekatan antibodi yang terbatas (limited antibody binding sites).
Setelah inkubasi, setiap reagen yang tidak terikat dihilangkan dengan pencucian
yang kemudian ditambahkan larutan substrat untuk menghasilkan warna.
ELISA kompetesi tidak langsung (indirect competitive ELISA) merupakan
metode dimana antigen yang dilekatkan pada sebuah fase solid yang setelah
pencucian, analit dan antibodi ditambahkan secara bersamaan. Secondary labelled
antibody digunakan untuk mendeteksi antibodi primer yang telah berikatan
dengan antigen pada fase solid. Setelah inkubasi dan pencucian larutan substrat
ditambahkan untuk menghasilkan warna.

6
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan residu antibiotik
fluorokuinolon pada daging ayam broiler yang dijual pada pasar-pasar wilayah
Jakarta Timur dengan menggunakan metode ELISA.

Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang
keberadaan residu antibiotik fluorokuinolon pada daging ayam broiler yang dijual
di pasar-pasar wilayah Jakarta Timur sebagai upaya untuk perlindungan terhadap
kesehatan masyarakat.

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2012 hingga Desember 2013
berlokasi di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner DKI Jakarta dan
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Bahan dan Peralatan
Bahan yang digunakan yaitu kit ELISA untuk fluorokuinolon yang berisi
Enrofloxacin Standarts, Fluoroquinolone Antibody, Horseradish Peroxidase (HRP)Conjugated Antibody, Antibody Diluent, Sample Extraction Buffer, Wash
Solution, Stop Buffer, Tetramethyl Benzidine (TMB) Substrate, Meat Extraction
Buffer I, Meat Extraction Buffer II.
Alat yang digunakan yaitu gelas ukur, gelas piala, tabung erlenmeyer,
tabung reaksi, microtiter plate reader (450 nm), homogenizer atau stomacher,
incubator, sentrifus, electric-heated themostatic water bath, tissue mixer, vortex
mixer, pipet (10, 20, 100, 1000 µL), pipet multichannel (50 – 300 µL).
Metode Penelitian
Persiapan Sampel
Sebanyak 240 sampel daging ayam broiler diambil dari 61 pasar di wilayah
Jakarta Timur. Sampel kemudian diuji di laboratorium dengan menggunakan
metode ELISA. Sampel dibersihkan dari lemak-lemak yang tersisa sebelum
dihomogenisasi dengan menggunakan suitable mixer. Sampel yang telah
dihomogenisasi kemudian diambil 1.0 g dan ditambahkan 4 mL 35%
Methanol/Sampel Extraction Buffer, dan 50 µL Meat Extraction Buffer l. Sampel

7

kemudian dihomogenkan menggunakan vortex selama 10 menit dengan kecepatan
maksimum. Setelah dihomogenkan, sampel disentrifus selama 10 menit pada
4000 g dalam suhu ruangan (25 °C) sehingga terbentuk supernatan. Supernatan
tersebut dipindahkan ke dalam tabung sebanyak 1 mL, kemudian 50 mL Meat
Extraction Buffer ditambahkan ke dalam tabung lalu dihomogenkan menggunakan
vortex selama 30 detik. Setelah dihomogenkan, sampel disentrifus kembali selama
10 menit pada 4000 g dalam suhu ruang.

Pengujian Sampel
Deteksi residu antibiotik fluorokuinolon pada penelitian ini menggunakan
metode direct competitive ELISA. Masing-masing standar enrofloksasin
dimasukan ke dalam sumur yang berbeda sebanyak 50µL (standar dimasukan ke
dalam plate dari konsentrasi yang rendah ke konsentrasi yang tinggi). Sebanyak
50 µL dari masing-masing sampel dimasukan dalam sumur yang berbeda.
Sebanyak 100 µL antibody fluorokuinolon ditambahkan ke dalam sumur dan
dihomogenisasi secara manual selama 1 menit. Plate diinkubasikan selama 30
menit pada suhu ruangan (25 °C). Plate dicuci sebanyak 3 kali dengan
menggunakan 250 µL larutan pencuci. Pencucian dilakukan untuk membuang
semua ikatan molekul padatan yang tidak diperlukan. Setelah pencucian terakhir,
plate dibalik kemudian diketuk-ketukan ke atas meja yang diberi kertas tissu.
Sebanyak 150 µL HRP-Conjugated Antibody dimasukan ke masing-masing
sumur, kemudian diinkubasi selama 30 menit pada suhu ruangan (25 °C). Plate
dicuci sebanyak 3 kali dengan menggunakan 250 µL larutan pencuci. Setelah
pencucian terakhir, plate dibalik kemudian diketuk-ketukan ke atas meja yang
diberi kertas tissu. Kemudian TMB Substrat ditambahkan sebanyak 100 µL.
Homogenisasi secara manual selama 1 menit. Setelah inkubasi selama 15 menit
pada suhu ruangan (25 °C), stop buffer ditambahkan sebanyak 100 µL untuk
menghentikan reaksi. Plate kemudian dibaca sesegera mungkin dengan ELISA
Reader setelah dilakukan penambahan stop buffer dengan panjang gelombang 450
nm.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Peraturan Pemerintah RI Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu,
dan Gizi Pangan menjelaskan bahwa persyaratan keamanan pangan adalah standar
dan ketentuan-ketentuan lain yang harus dipenuhi untuk mencegah pangan dari
kemungkinan adanya bahaya, baik karena cemaran biologis, kimia, dan benda lain
yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia.
Salah satu bahaya kimia yang terdapat dalam pangan asal hewan adalah
keberadaan residu antibiotik dan cara untuk dapat mendeteksi residu antibiotik
pada daging, salah satunya dengan menggunakan metode uji ELISA. Uji ini
digunakan karena memiliki sensitivitas yang cukup tinggi, teknik pengerjaan yang
relatif sederhana, serta ekonomis jika sampel yang diuji dalam jumlah yang besar.
Hasil pengujian residu antibiotik fluorokuinolon yang mencakup turunannya yaitu

8
enrofloksasin serta siprofloksasin dengan menggunakan ELISA, dilakukan dengan
membandingkan nilai absorbansi dan akumulasi residu yang terdeteksi antara
hasil uji sampel dengan nilai standar uji ELISA.
Kit ELISA untuk fluorokuinolon yang digunakan dalam penelitian ini
mempunyai limit deteksi pada sampel daging sebesar 0.3 ppb dengan 50%
inhibition concentration (IC50) sebesar 0.8 part per billion (ppb). Tipikal kurva
standar ELISA untuk fluorokuinolon dalam penelitian ini disajikan pada
Gambar 4.

Gambar 4 Kurva standar untuk fluorokuinolon pada daging ayam.
Hasil uji ELISA terhadap 240 sampel menunjukkan 51 sampel (21.25%)
positif mengandung residu antibiotik fluorokuinolon. Rentang nilai kandungan
fluorokuinolon yang terdeteksi pada daging ayam broiler dengan menggunakan
uji ELISA adalah 4.54 - 85.61 ppb. Hasil pengujian sampel terhadap residu
antibiotik fluorokuinolon dengan menggunakan ELISA disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Konsentrasi residu antibiotik fluorokuinolon dalam sampel daging ayam
broiler.
Antibiotik

N

n
positif
(%)

Konsentrasi (ppb)
Rata-rata

Minimum

Maksimum

±sd

Fluorokuinolon

240

21.25

16.97

4.54

85.61

12.59

Hasil positif pada sampel menunjukan bahwa terdapat kandungan residu
antibiotik fluorokuinolon pada daging ayam. Menurut Somasundaram dan
Manivannan (2013), antibiotik fluorokuinolon didistribusikan ke dalam jaringan
di ginjal, paru-paru, kantung kemih, organ reproduksi, dan prostat.
Fluorokuinolon dimetabolisme di dalam hati oleh sitokrom p450 dan enzim

9

glukoronidase. Pada pemberian konsentrasi tinggi, fluorokuinolon dapat merusak
membran inti dan membran luar sel. Fluorokuinolon bekerja pada DNA girase dan
topoisomerase, beberapa jenis fluorokuinolon seperti siprofloksasin dan
fleroksasin bekerja pada membran sel bakteri.
Residu antibiotik enrofloksasin bertahan di dalam daging maupun hati
hingga hari ke-9 setelah penghentian pemberian antibiotik enrofloksasin,
sedangkan residu siprofloksasin tereleminasi di daging pada hari ke-4 dan di hati
pada hari ke-6 setelah penghentian pemberian antibiotik siprofloksasin pada
pemberian dosis 10 mg/kg/hari selama 5 hari (Jelena et al. 2006).
Antibiotik fluorokuinolon dapat diberikan secara oral maupun intravena
yang memiliki bioavailability dan efek yang sama. Fluorokuinolon memiliki
bioavailability berkisar antara 70% hingga 90%. Salah satu kerugian pemberian
secara oral adalah terganggunya absorpsi oleh alumunium, magnesium, zinc,
kalsium dan zat besi. Pemberian fluorokuinolon sebagai imbuhan pakan akan
memperlambat proses absorpsi (Somasundaram dan Manivannan 2013).
Hasil negatif pada uji dapat dikarenakan ayam tidak mendapatkan asupan
antibiotik fluorokuinolon sebelumnya atau antibiotik telah dieliminasi. Proses
eliminasi fluorokuinolon secara primer terjadi di dalam ginjal sedangkan eliminasi
sekunder terjadi di dalam hati. Antibiotik yang biasa digunakan di peternakan
ayam broiler antara lain fluorokuinolon, tetrasiklin, sulfonamida, penisilin, dan
aminoglikosida (Bahri et al. 2006).
Batas maksimum residu (BMR) untuk total residu enrofloksasin dalam
daging yang ditetapkan oleh SNI No: 01-6366-2000 yaitu 0.01 mg/kg atau setara
dengan 10 ppb (BSN 2001). Sebanyak 74.51% dari sampel yang positif
megandung residu antibiotik fluorokuinolon memiliki konsentrasi di atas BMR.
Rentang konsentrasi residu fluorokuinolon dalam daging ayam broiler disajikan
pada Tabel 2.
Tabel 2 Kisaran konsentrasi residu antibiotik fluorokuinolon dalam daging ayam
broiler.
Antibiotik

Fluorokuinolon

Rentang
konsentrasi
(ppb)

n
(%)

Konsentrasi (ppb)
Rata-rata

Minimum

Maksimum

±sd

≤10

25.49

5.90

4.54

8.72

1.44

>10

75.41

20.76

10.67

85.61

12.49

Sebanyak 38 (74.51%) sampel yang positif mengandung fluorokuinolon
dengan konsentrasi yang melebihi BMR. Hal ini menunjukan tingginya
penggunaan antibiotik yang tidak sesuai dengan aturan pemakaian. Bahri et al.
(2006) melaporkan bahwa pengamatan di lapangan menunjukan pemakaian
antibiotik terutama pada peternak ayam pedaging cenderung berlebihan dan
kurang tepat, tanpa memerhatikan aturan pemakaian yang benar. Antibiotik
sebaiknya digunakan hanya sebagai terapi pengobatan bukan sebagai growth
promotor. Pemakaian antibiotik sebagai growth promotor yang ditambahkan pada
imbuhan pakan sebaiknya tidak dilakukan, karena dapat memperbesar peluang
adanya residu dalam hasil peternakan. Selain itu, penggunaan antibiotik yang

10
berlebihan akan menyebabkan resistensi bakteri sehingga penggunaan antibiotik
menjadi tidak efektif (Murdiati 1997; Murtidjo 2008). Nilai konsentrasi residu
antibiotik yang melampaui batas mengakibatkan daging ayam tersebut tidak aman
untuk dikonsumsi oleh manusia.
Residu antibiotik yang berlebihan dapat dicegah apabila peternak
memerhatikan jenis antibiotik, dosis dan withdrawal time. Pemerintah telah
menetapkan peraturan Menteri Pertanian 2007 tentang pengawasan obat hewan
sebagai dasar pelaksanaan pengawasan bagi petugas pengawas terhadap pelaku
usaha dalam penyediaan, pembuatan, peredaran, dan pemakaian obat hewan,
dengan tujuan agar obat hewan yang beredar dalam masyarakat terjaga khasiat,
mutu, dan keamanannya, terdaftar serta tepat dalam pemakainya. Sesuai dengan
pernyataan Bahri et al. (2005) yang menjelaskan bahwa sebaiknya membedakan
antara pengawas yang mengawasi pencampuran obat hewan dalam pakan, dengan
pengawas yang mengawasi obat hewan yang langsung digunakan untuk
pengobatan. Hal ini karena obat hewan dalam pakan lebih kompleks dan
penyebarannya luas, sehingga penyimpanannya tidak sebaik obat yang digunakan
langsung untuk pengobatan. Dikhawatirkan potensi dan sifat biologis obat hewan
dalam pakan akan berubah karena pengaruh berbagai faktor seperti suhu dan
kelembapan.
Akumulasi residu antibiotik dari makanan ke manusia akan memiliki
dampak serius terhadap kesehatan manusia, khususnya pengobatan infeksi bakteri
pada manusia. Food and Drug Administration (FDA) melaporkan bahwa
pemberian antibiotik fluorokuinolon pada ayam dapat menyebabkan resistensi
pada manusia, sehingga manusia tidak dapat merespon pengobatan yang
dilakukan seperti terapi infeksi gastrointestinal, pernapasan kronis, saluran kemih,
saluran genital, otitis eksterna, ophthalmitis, dan salmonella spp. (Murdiati 1997;
Sarkozy 2001).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Sebanyak 21.25% daging ayam di wilayah Jakarta Timur yang diuji dengan
metode ELISA, mengandung residu antibiotik fluorokuinolon. Sebanyak 15.84%
dari total sampel atau 74.51% dari sampel yang positif mengandung residu
antibiotik fluorokuinolon, konsentrasinya melebihi BMR yang telah ditetapkan
dalam SNI No: 01-6366-2000.
Saran
Peternak sebaiknya lebih memperhatikan withdrawal time dalam
penggunaan antibiotik. Perlu dilakukan pemantauan (monitoring) residu antibiotik
pada daging ayam secara teratur agar daging ayam yang beredar di pasar-pasar
wilayah Jakarta Timur aman bagi konsumen.

11

DAFTAR PUSTAKA

Adam R. 2002. Veterinary Pharmacology and Therapeutics. Iowa (US): State
Univ Pr.
Andriyanto. 2010. Pengaruh penambahan bio adenosin triphospat terhadap profil
kinetik dan efektivitas enrofloksasin dakam mengatasi Coxiella burneti
[tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Bahri S, Kusumaningsih A, Murdiati TB, Nurhadi A, Masbulan E. 2000. Analisis
Kebijakan Keamanan Pangan Asal Ternak (Terutama Ayam Ras Petelur dan
Broiler). Laporan Penelitian. Pusat Penelitian dan Pegembangan Peternakan,
Bogor.
Bahri S, Masbulan E, Kusumaningsih A. 2005. Proses praproduksi sebagai faktor
penting dalam menghasilkan produk ternak yang aman untuk manusia. J
Litbang Pertanian. 24(1):27-35.
Bahri S, Sani Y, Indraningsih. 2006. Beberapa faktor yang mempengaruhi
keamanan pangan asal ternak di Indonesia. Wartazoa 16(1):1-13.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2001. SNI No: 01-6366-2000 tentang batas
maksimum cemaran mikroba dan batas maksimum residu dalam bahan
makanan asal hewan. Jakarta (ID): BSN.
Crawford L, Franco DA. 1994. Animal Drug and Human Health. USA:
Technomic Publ.
Emea. 1998. The European Agency for the Evaluation of Medicinal Products,
Committee for Veterinary Medicinal products. Enrofloxacin (modification
for bovine, porcine and poultry), Summary report (2) [Internet]. [diunduh
2014 febuari 4]. Tersedia pada : http://www.ema.europa.eu/docs/en_GB/
document_library/Maximum_Residue_Limits__Report/2009/11/WC500014
142.pdf.
Herrick JB. 1993. Food for thought for food animal veterinarians, violative drug
residues. JAVMA. 03:1122-1123.
Jelena P, Baltic M, Cupic V, Stefanovic S, Dragica S. 2006. Residues of
enrofloxacin and its metabolite ciprofloxacin in broiler chicken. Acta Vet.
(Beograd). 56:497-506.
Kusumaningsih A, Martindah E, Bahri S. 1997. Jalur pemasaran obat hewan pada
peternakan ayam ras di beberapa lokasi di Jawa Barat dan DKI. Hemerazoa.
79(1-2):72-80.
Munaf S, Chaidir J. 1994. Obat Antimikroba Farmakologi UNSRI. Jakarta (ID):
EGC.
Murdiati TB. 1997. Pemakaian antibiotik dalam usaha peternakan. Wartazoa.
6:18-21.
Murtidjo. 2008. Pengendalian Hama dan Penyakit Ayam. Yogyakarta (ID):
Kanisius.
Priyatno MA. 2003. Mendirikan Usaha Pemotongan Ayam. Jakarta (ID): Penebar
Swadaya.
Rahayu ID. 2010. Prinsip pengobatan pada ternak [Internet]. [diunduh 3 Febuari
2014]. Tersedia pada: http://imbang.staf.umm.ac.id.

12
Resnawati H. 2005. Preferensi terhadap daging dada ayam pedaging yang diberi
ransum menggunakan tepung cacing tanah (Lumbricus rubellus). Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Balai Penelitian Ternak,
Bogor. Hlm 744-748.
[RI] Republik Indonesia. 2004. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan. Lembaran
Negara RI Tahun 2004, No.107. Jakarta (ID): Sekretariat Negara.
Sarkozy G. 2001. Quinolone: a class of antimicrobial agents. Vet. Med.- Czech.
46(9-10):257-274.
Somasundaram S, Manivannan K. 2013. An Overview of Fluoroquinolones. Ann
Rev Res Biol. 3(3): 296-313.
[UCSUSA] Union of Concerned Scientists. 2003. Antibiotic resistance [Internet].
USA. [diunduh 24 Desember 2013]. Tersedia pada:
http:
//www.ucsusa.org/food_and_environment /antibiotic_resistance/ page.cfm.
Widiastuti R. 2008. Residu enrofloksasin dan siprofloksasin pada ayam pedaging
pasca pencekokan enrofloksasin. JITV. 13(2):150-154.

13

RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Kuala Kapuas pada tanggal 10 Juni 1991 sebagai anak
ketiga dari empat bersaudara pasangan Bapak Edy Taryono dan Ibu Endang
Rinjani. Penulis menyelesaikan sekolah dasar di SDN Papandayan 02 Bogor pada
tahun 2003. Penulis melanjutkan pendidikan di SMPN 3 Bogor dan lulus tahun
2006. Tahun 2009 penulis lulus dari SMAN 3 Bogor dan pada tahun yang sama
diterima sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
(FKH IPB) melalui jalur Ujian Talenta Mandiri IPB (UTMI).
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam organisasi Himpunan
Minat Profesi Hewan Kesayangan, Satwa Akuatik dan Eksotik serta Komunitas
Seni STERIL.