EVALUASI DAN ANALISA PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

BAB III EVALUASI DAN ANALISA PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

Pada tahun 1960 Dewan Perwakilan Rakyat – Gotong Royong (DPR- GR) bersama Pemerintah, tepatnya pada tanggal 24 September 1960 telah berhasil menyetujui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 yang lebih dikenal dengan sebuatan UUPA. Undang-undang tersebut telah mengawali dasar-dasar peletakan atas pengakuan dan penghormatan pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak tradisional masyarakat hukum adat, di samping hak-hak atas tanah lainnya.

Dalam konteks kekinian, pasca Putusan MK 35 yang mendekonstruksi konsep kepemilikan hutan adat sebagai bagian tidak terpisahkan dari masyarakat adat, pemerintah dan DPR berinisiatif untuk merubah peraturan perundang-undangan tentang desa. Mengapa desa menjadi entitas hukum dan sosial yang begitu penting? Hal ini dikarenakan, posisi desa terletak dalam ranah mikro-organisatoris, organ negara terkecil namun sekaligus menyimpan banyak kapital atau modalitas, baik sosial, ekonomi, maupun kultural. Dalam semangat desentralisasi, desa adalah salah satu penggerak gerakan otonomi terpenting, dan dalam konteks perlindungan masyarakat dan kearifan lokal, Undang-Undang tentang Desa memiliki keterikatan erat dengan konsep masyarakat adat yang tinggal diwilayah pedesaan (gampong, kampong, bubuhan, dan banyak istilah lain). Selain peraturan perundang- undangan tentang desa, Naskah Akademik ini juga menganalisa Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Masyarakat (Hukum) Adatdan beberapa Peraturan Menteri yang terkait.

Spesifik tentang peraturan-perundangan tentang desa, pendekatan historis dengan teknis kronologis akan dilakukan guna mendapatkan esensi yang lebih holistik tentang permasalahan perlindungan masyarakat adat dan kearifan lokal mereka.

A. Hasil Inventarisasi Peraturan Perundang-Undangan yang Menjadi Rujukan Sebagai Alasan Peraturan Daerah

1. Undang-Undang tentang Desa

a. Kajian Historis tentang Undang-Undang Desa

Sebagaimana disebutkan diatas, konteks historis Undang-Undang Desa tidak bisa dipisahkan dengan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Diskursus dan dinamika keduanya saling berkelindan dalam lorong waktu dan zaman. Dalam pemahaman pemerintah daerah, daerah kabupaten dan desa adalah inti dari desentralisasi dan pengembangan masyarakat dari pinggiran (society empowerment for rural areas). Namun dibalik banyaknya potensi, desa tetap lah menyimpan banyak hambatan dan tantangan. Dengan kata lain, posisi desa vital, namun juga rentan terhadap masalah.

Selama masa kolonialisasi Belanda, pembangunan dijalankan secara sentralistik dan juga eksploitatif. Namun ada sedikit perubahan di Hindia Belanda (Indonesia) ketika Pemerintah Belanda berubah dari pemerintahan monarkhi menjadi pemerintahan parlementer. Pemerintah kolonial Belanda menjadi sedikit responsif terhadap kebijakan desentralisasi di Hindia Belanda. Secara global hal ini juga dipengaruhi oleh derasnya arus diskursus tentang demokrasi di abad ke-19 Eropa. Pada tahun 1903, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan undang- undang pertama tentang desentralisasi, yang bernama Decentralisatie Wet. Namun dalam prakteknya, bukan desentralisasi yang dijalankan,

namun hanya sebatas pendelegasian kekuasaan. 53

Setelah memasuki masa kemerdekaan, Konstitusi Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 telah juga mengakomodir ide-ide permulaaan tentang desentralisasi, namun masih dalam bentuk

yang ‘mentah’. 54 UUD 1945 membagi wilayah khusus menjadi 2 (dua), yang pertama disebut zelfbesturende landschappen, atau wilayah swapraja atau monarki (kerajaan) yang mana mendapatkan status

otonomi lewat perjanjian politik dengan pemerintah kolonial Belanda. 55 Wilayah kedua adalah volksgemeenschappen atau yang sekarang disebut

53 Clive Day, The Policy and Administration of The Dutch in Java (MacMillan, 1904) 43. See also, A.D.A de Kat Angelino, Colonial Policy (Martinus Nijhoff, 1932) 44.

54 UUD 1945 (Sebelum Amandemen) Bab IV Pasal 18. 55 Rekognisi wilayah kerajaan swapraja berdasar pada Pasal 44 RR dan Pasal 34 IS.

sebagai masyarakat adat. 56 Kedua konsep wilayah tersebut sangat berbeda jauh: wilayah masyarakat adat, tidak bisa berada didalam wilayah kerajaan swapraja, dan begitu juga sebaliknya. Kedua konsep wilayah juga disusun secara hierarkhis, dimana wilayah kerajaan swapraja berkedudukan lebih tinggi dibandingkan masyarakat hukum adat.

Pada masa pemerintahan Orde Lama, lewat Undang-Undang Nomor

1 Tahun 1945 tentang Komite Pemerintahan Daerah, memberi peran otonom dan hak menentukan nasib sendiri (self-determination) kepada desa untuk dapat mengurus sendiri pranata dan urusan pemerintah desa

secara mandiri. 57 Undang-undang tersebut diganti oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintah Daerah, yang kemudian diganti lagi oleh Undang-Undang No 1 Tahun 1957 tentang Pemerintah Daerah.

diatas juga mengakomodir kepentingan wilayah kerajaan swapaja sebagai wilayah otonom, tetapi t etap bersemangatkan ‘demokrasi lokal’. 58 Namun dikarenakan perubahan konstelasi politik menuju ‘Demokrasi Terpimpin’

dengan Presiden Soekarno sebagai satu-satunya pemimpin negara, peraturan perundang-undangan tentang desa dirubah dengan dengan Dekrit Presiden Nomor 6 Tahun 1959 dan Dekrit Presiden Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pemerintahan Daerah, kedua dekrit tersebut kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1960 tentang Pemerintah Daerah. Sejak saat itu paradigma pemerintah daerah menjadi

sentralistik dan birokratis. 59 Presiden Soekarno berpendapat bahwa Indonesia sebagai negara yang baru merdeka belum siap untuk

mengaplikasikan ‘demokrasi lokal’ yang alih-alih menciptakan kesejahteraan bagi rakyat, malah menumbuh kembangkan pemimpin- pemimpin korup didaerah. Presiden Soekarno memilih pendekatan

‘administrasi publik’ dalam mengelola desentralisasi. Lebih lanjut,

56 UUD 1945 (Sebelum Amandemen) Penjelasan Pasal 18. 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Komite Pemerintah Daerah. 58 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintah Daerah. UU ini kemudian

direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pemerintah Daerah. 59 Dekrit Presiden Nomor 6 Tahun 1959 dan Dekrit Presiden Nomor 5 Tahun 1960

tentang Otonomi Daerah. Dekrit kemudian direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1960 tentang Otonomi Daerah.

pemerintah membagi undang-undang tentang pemerintah daerah menjadi

2 (dua), yaitu: Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pemerintah Daerah 60 dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desa Swapraja. 61 Dalam Undang-Undang tentang Desa Swapaja, masyarakat adat dimasukkan dalam wilayah swapraja. Hal tersebut adalah upaya unifikasi pertama yang dilakukan oleh pemerintah. Selain itu, Undang-Undang tentang Desa Swapaja tidakbertujuan untuk membentuk desa swapraja yang baru, hanya memberi pengesahan dan

pengakuan kepada desa-desa swapraja yang sudah lama ada. 62 Pada masa pemerintahan Orde Baru, Presiden Soeharto membatasi fakta-fakta multi-kultural di desa-desa di Indonesia. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintah Daerah 63 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Desa 64 sangatlah sentralistik, semata hanya bertujuan untuk melakukan unifikasi sembari mengabaikan fakta-fakta multi-kultural dalam organisasi desa. Konsekuensinya, desa berada dalam posisi marjinal dan terdiskriminasi oleh kekuatan hegemonial pusat (baca: kota-kota besar). Kebijakan tersebut adalah upaya unifikasi kedua yang dilakukan oleh pemerintah. Dikarenakan kebijakan tersebut, desa hanya dianggap sebagai wilayah administrasi semata, tanpa ada pengakuan terhadap struktur sosial asli, peranan hukum adat dan penghormatan terhadap kearifan lokal.

Pemerintahan Orde Baru dibawah Soeharto berusaha kuat untuk melakukan unifikasi dan re-integrasi terhadap struktur wilayah-wilayah mikro-otonom menjadi entitas tunggal, yaitu desa. Kebijakan ini bertujuan untuk mengontrol wilayah-wilayah dan mengelola stabilitas negara, namun dengan mengorbankan bangunan struktur asli dari

wilayah-wilayah mikro-otonom tersebut. 65 Dalam administrasi pedesaan, kepala desa diangkat oleh kepala daerah. Paradigma yang digunakan sangat birokratis dan atas-bawah (top-down). 66 Otoritas dan peranan

60 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pemerintah Daerah. 61 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja. 62 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja, Penjelasan Pasal. 63 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintah Daerah. 64 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Desa. 65 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Desa, penjelasan b. 66 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Desa, pasal 6.

kepala adat (tetuha kampung) beserta institusi penyelesaian sengketanya tidak diakui, dikarenakan pemerintah pusat dan daerah (lewat penegakan hukum) sudah memiliki perangkat formal dalam menyelesaikan sengketa

dimasyarakat. 67 Setelah tumbangnya Orde Baru ditahun 1998, paradigma pemerintah daerah secara perlahan berubah. Majelis Permusyawarahan Rakyat (MPR) mengeluarkan dua ketetapan yang menjadi acuan utama pelaksanaan pemerintah daerah. Pertama adalah Ketetapan MPR Nomor XV/1998 tentang Otonomi Daerah, Manajemen Sumber Daya Alam dan Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Kedua adalah Ketetapan MPR Nomor IV/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan atas Otonomi Daerah. Pemerintah Orde Reformasi mencoba untuk menggabungkan konsep demokrasi lokal dengan administrasi politik, hal tersebut dapat dilihat pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang mendelegasikan beberapa kewenangan kunci dalam pengambilan keputusan baik ditingkat kabupaten juga

kota. 68 Dalam hal administrasi desa, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah memberi banyak ruang dan diskresi kepada kepala desa untuk mengurus dan menata ketertiban diwilayah desanya. Selain itu, undang-undang tersebut juga mencoba revitalisasi

pranata adat dan institusi penyelesaian sengketa diwilayah desa. 69 Namun banyak kalangan menyebut undang-undang ini terlalu liberal

yang mana mengalihkan konsep ‘desentralisasi demokrasi’ (‘democratic decentralisation ’) lewat devolusi kewenangan dan akuntabiltas publik

sampai keranah ‘akar rumput’. Karena dianggap terlalu liberal, Undang-Undang Nomor 22 Tahun

1999 tentang Pemerintah Daerah digantikan oleh Undang-Undang Nomor

32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Undang-undang tersebut tetap menghormati eksistensi hukum adat yang masih hidup didesa. Terutama dalam proses pemilihan kepala desa, pemerintah daerah harus

67 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Desa, pasal 32. 68 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Lihat juga, John

McCarthy, ‘Changing to Gray: Decentralisation and the Emergence of Volatile Socio-Legal Configuration in Central Kalimantan, Indonesia’ (2004) 32 World Development 1203.

69 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, pasal 101 (e).

tetap menghormati mekanisme adat yang dijalankan. Namun mekanisme adat tersebut harus dikonfirmasi secara legal-formil terlebih dahulu lewat

Peraturan Daerah (Perda). 70 Perda tersebut berkewajiban untuk mengakomodir hak-hak asal usul, orisinalitas, dan kearifan lokal masyarakat adat. 71 Sedikit berbeda dengan undang-undang sebelumnya, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah tidak secara tegas mengatur dan mengakui peran penyelesaian sengeketa dalam instrument desa dan kepala desa.

Guna menutupi celah pengaturan tentang desa dalam Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005. Peraturan Pemerintah lebih rinci mengatur tentang pengakuan terhadap hukum adat dan mekanisme pemilihan kepala adat lewat mekanisme adat mereka sendiri (kepala desa dalm hal ini bisa bertindak ex-officio sebagai kepala adat). Pengakuan terhadap hukum adat tersebut harus tercantum

dalam peraturan daerah terlebih dulu. 72 Dalam hal melaksanakan mekanisme adatnya, pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota tidak dapat membatalan keputusan adat yang sudah diambil. 73

b. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

Keberadaan hukum positif tentang desa, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2015 sangat diapresiasi oleh publik. Dalam konteks perlindungan masyarakat adat, undang-undang ini secara jelas mengakui hak-hak adat

didalam ‘desa adat’. Undang-undang ini diinspirasi oleh beberapa putusan-putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengakuan masyarakat,

semisal MK 35. 74 Secara konstitusional, undang-undang ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan konstitusional terkait isu-isu pengakuan masyarakat adat. 75 Dengan berlakunya undang-undang ini, ketentuan

70 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, pasal 203 (3). 71 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, pasal 216 (2). 72 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, pasal 54 (1), (2) dan (3). 73 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, pasal 100 (e) dan 101 (k). 74 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012. 75 Undang-Undang Dasar 1945 (Amandemen), pasal 18B (2).

tentang pemerintahan desa dalam undang-undang tentang pemerintah daerah tidak berlaku lagi.

Dalam paragrap pertama undang-undang tentang desa terbesit prinsip yang secara eksplisit menerangkan posisi negara yang mengakui hak-hak keaslian kepemilikan dan hak-hak tradisonal didalam struktur

sosiologis desa. 76 Sebagai konsekuensi dari kebijakan pengakuan tersebut, desa dikategorikan menjadi dua bentuk: desa (biasa atau non- adat) dan desa adat. 77 Undang-undang ini mencoba untuk menyelaraskan antara dua konsep pemerintahan: self-governing community lewat pemberdayaan desa adat dan local self-community lewat desa (biasa atau non-adat). Konsep pertama adalah manifestasi dari demokrasi lokal, yang kedua adalah manifestasi dari administrasi publik. Lebih spesifik dalam kaitannya dengan desa adat, undang-undang tentang desa memberi

kebebasan kepada warga desa apakah ingin diakui sebagai ‘desa adat’ dengan karakteristik tradisional dan komunalnya, ataukah ingin diakui

sebagai desa biasa yang sudah modern. 78

Secara teoritis, menurut Koentjaraningrat, administasi desa di Indonesia dapat dikerucutkan menjadi tiga bentuk: (1) adminsitasi desa yang terpusat pada dewan; (2) adminsitasi desa yang terdiri atas kepemimpinan ganda (dual leaderships); and (3) administasi desa yang

terdiri atas kepemimpinan tunggal (single leadership). 79 Berdasarkan fakta-fakta sosial diatas, adalah hal yang mustahil untuk melakukan unifikasi terhadap struktur desa. Pemerintah pusat maupun lokal harus menggunakan pendekatan pluralistik dalam mengakomodir kondisi sosial tersebut.

Masih menurut Koentjaraningrat, desa di Indonesia juga memiliki dua mekanisme keluhuran atau kearifan lokal yang menjadi inti kerekatan hubungan antar warga desa: gotong-royong dan musyawarah. 80 Namun undang-undang tentang desa tidak mengatur tentang cara

76 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, penjelasan a. 77 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, pasal 6. Desa adat diatur dalam

pasal 96 sampai 110. 78 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, pasal 100 (1).

79 Koentjaraningrat, Villages in Indonesia (Cornell University Press, 1967), 401. 80 Ibid 397.

pelestarian dan penggunaan gotong-royong sebagai nilai kearifan lokal dalam desa (biasa atau non-adat) maupun dalam desa adat. Lebih lanjut, Soepomo membayangkan desa sebagai struktur organik dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Negara harus memiliki idealisme sebagai berikut: (1) negara ada untuk melindungi, menjaga, mengayomi kepentingan masyarakat secara luas, tidak hanya mengayomi kepentingan individual dan kelompok kepentingan tertentu; (2) ikatan antara pemerintah dan rakyat harus direkatkan dengan nilai spiritual,

“manunggaling kawulu lan gusti”, dimana ada kesatuan spiritual antara pemimpin dengan yang dipimpin; (3) negara sebagai ‘usaha bersama’

antara pemimpin dengan yang dipimpin, dengan semangat gotong-royong dan kerja-sama; and (4) negara dijalankan dengan prinsip kekeluargaan.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengatur tentang pelaksanaan mekanisme musyawarah untuk mencapai mufakat, namun tidak mendeskripsikan dengan jelas tentang peran musyawarah

dalam proses penyelesaian sengketa. 81 Selain itu, pemerintah juga mencoba memasukkan nilai-nilai HAM Internasional dalam pranata desa dengan mengharuskan kepala desa dan/atau kepala adat untuk memprioritaskan keadilan berbasis gender dalam setiap pengambilan

keputusan strategis desa. 82 Undang-undang ini bertujuan untuk mengimbangi kelemahan-kelemahan dalam sistem pemerintahan tradisonal di desa-desa adat, dimana para pemangku kepentingan di desa diberikan mekanisme untuk melakukan checks and balances antara kepala desa dan/atau kepala adat dengan Badan Musyawarah Daerah

(BMD). 83 Kedua pemangku kepentingan didesa, kepala desa dan/atau kepala adat dan BMD berkewajiban untuk mendiskusikan semua rancangan program kegiatan strategis lewat forum musyawarah desa. 84 Berkesesuaian dengan norma konstitusi dan undang-undang sebelumnya, undang-undang ini masih menggunakan konsep kesatuan masyarakat

(adatrechtsgemmenschappen) untuk menggambarkan entitas legal-formal dari masyarakat adat. Namun

(hukum)

adat

81 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, pasal 54. 82 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, pasal 26 (4) (e). 83 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, pasal 55-65. 84 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, pasal 54.

kriteria dari masyarakat (hukum) adat tersebut lebih fleksibel dari kriteria yang digagas oleh Ter Haar. Masyarakat (hukum) adat masih tetap harus

memiliki ‘teritori’ yang jelas dan setidaknya memiliki satu kriteria tambahan yang bersifat fakultatif. 85 Metode dan prosedur pengakuan pun

lebih inklusif (bottom-up), dan melibatkan partisipasi masyarakat dalam setiap prosedurnya, walaupun peran bupati dan/atau wakilota sebagai pemberi status pengakuan lewat instrumen peraturan daerah (perda)

tetap vital dan penting. 86

Lewat pengakuan terhadap desa adat, masyarakat adat memiliki hak untuk mengelola pemerintahan adat mereka, selama hukum adat yang diaplikasikan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM), prinsip negara kesatuan, dan sistem hukum negara secara umum. Peraturan tentang limitasi hukum adat ini bertujuan untuk menjegah benih separatisme dalam desa. Dalam hal pemilihan kepala desa dan/atau kepala adat dan membentukan institusi adat, masyarakat desa bisa memilih kepala desa, atau kepala adat dalam desa adat bisa mengisi posisi sebagai kepala desa lewat mekanisme adat setempat. Namun terlebih dahulu, pemerintah daerah, terutama kabupaten harus terlebih dulu mengakui eksistensi desa adat dan

struktur-struktur adat didalam desa tersebut. 87 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengakomodir hukum-hukum adat yang masih hidup dimasyarakat beserta kelembagaan adatnya, namun dengan tetap memberi peran sentral dan krusial kepada pemerintah daerah

untuk menjaga ‘kepentingan negara’ yang lebih luas. Namun disayangkan, tidak ada ketentuan dan prasyarat yang jelas tentang diksi

‘kepentingan negara’ dalam undang-undang ini. 88

Walaupun memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan undang- undang tentang desa sebelumnya, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014

85 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, pasal 97 (2). Lihat Bab I tentang Masyarakat Adat.

86 Yando Zakaria, Menimbang-nimbang Kemaslahatan Undang-Undang Desa [Considering Village

Academia <https://independent.academia.edu/YandoZakaria>. 87 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, pasal 109. 88 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, pasal 97 (4) (a) dan (b) dan pasal

Law]

April

tentang Desa juga memiliki beberapa celah kekurangan. Dalam hal prosedur penghapusan status desa, undang-undang tersebut tidak secara tegas dan rinci menafsirkan tentang alasan bertentangan dengan

‘kepentingan nasional strategik’. 89 Diski tersebut multi-tafsir dan mencederai asas kepastian hukum, sehingga bisa diterjemahkan secara berbeda (dan mungkin diskriminatif) oleh pemerintah pusat atau daerah dalam pelaksanaannya. Selain itu undang-undang ini juga tidak secara rinci mengatur tentang prosedur Free, Prior, Informed, Consent (FPIC) yang wajib dipenuhi dalam mengeksekusi kebijakan terkait kepentingan masyarakat marginal.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa masih memiliki beberapa kontradiksi dalam dan dengan peraturan perundang-undangan lain. Disebutkan dalam undang-undang tersebut, pemerintah provinsi

dan kabupaten harus memberi pengakuan terhadap status desa adat. 90 Namun dalam Peraturan Pelaksana menyebutkan bahwa juga diperlukan Peraturan Menteri terkait untuk mengukuhkan status desa adat. 91 Prosedur yang panjang dan terkesan birokratis tersebut dapat menghambat proses pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Tanpa adanya ikhtiar sungguh-sungguh dan tekanan kuat dari kekuatan masyarakat madani (civil society), pengukuhan desa adat kemungkinan besar akan terus tertunda-tunda dan bahkan mungkin gagal ditengah jalan.

Masalah lain yang tidak kalah serius adalah tentang sistem ‘dua cabang’ dimana pengakuan terhadap eksistensi masyarakat adat dan

pengakuan terhadap tanah atau hutan adat dilakukan terpisah. pengakuan terhadap eksistensi masyarakat adat dilakukan melalui peraturan daerah (perda) yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah (provinsi atau kabupaten); sedangkan pendaftaran tanah atau hutan adat dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Pemisahan proses pengakuan ini tidak efektif dan efisien. Pengakuan dan pendaftaran tanah atau hutan adat seharusnya dapat dilakukan secara holistik, apabila

89 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, pasal 9. 90 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, pasal 14, 101 (2), 109 dan 116 (2). 91 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Desa Adat, pasal 28 dan 32.

status masyarakat adat sudah diberikan oleh pemerintah daerah hal tersebut juga berarti pemerintah telah mengakui obyek tanah atau hutan adat yang dikuasai oleh masyarakat adat secara komunal. Kebingungan juga semakin menjadi-jadi, ketika Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan surat edaran yang berisi pemetaan wilayah-wilayah masyarakat adat di Indonesia. Dimana dalam peta tersebut, dibaurkan

antara wilayah masyarakat adat dengan wilayah kerajaan swapraja. 92 Bisa dipastikan surat edaran ini akan menimbulkan ketidak-pastian dan kebingunan dimasyarakat.

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)

UUPA sebagai lex generalis dari semua perundang-undangan yang mengatur tentang tanah, Sumber Daya Alam dan hak masyarakat adat merupakan turunan dari prinsip ekonomi kerakyatan yang bernuasa sosialisme pada Pasal 33 Ayat (3), Undang Undang Dasar yang menyatakan:

”bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. ”

Berdasar pada amanah norma konstitusi diatas, UUPA memberi wewenang untuk: (a) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunnaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angksa tersebut; (b) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; (c) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan -perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Lebih spesifik dalam Pasal 3 yang menyatakan : ”dengan mengingat ketentuan dalam pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa, sehingga sesuai

92 Surat Edaran Nomor 522/8900/SJ tentang Pemetaan Wilayah Masyarakat Adat.

dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang- undang dan peraturan lainnya yang lebih tinggi. ”

Bagi masyarakat di daerah-daerah lain penamaan atau penyebutan yang tidak mengenal penyebutan istilah hak ulayat, maka undang- undang

dengan nama atau istilah lain (hak-hak yang serupa dengan itu, yang menjurus secara implisit pada hak ulayat). Asalkan esensi dari nama dimaksud menuju kepada penguasaan dan kepemilikan kolektif atas tanah dari para warganya.

memungkinkan

penyebutan

Pembentuk undang- undang sudah mengantisipasi akan ”benturan” dalam penguasaan dan pemilikan tanah ulayat oleh kelompok masyarakat adat dengan pemerintah pusat. Solusi yuridis sudah ditetapkan yaitu dengan mengacu kepada bunyi Pasal 5 UUPA, yang menyatakan: ”hukum agraria yang berlaku atas bumi air dan ruang angkasa ialah hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia, serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur- unsur yang bersandar pada hukum agama. ”

Jadi meskipun undang UUPA adalah hukum adat, akan tetapi hukum adat yang digunakan tidak boleh bertentangan dengan apa-apa yang telah disebutkan oleh undang-undang itu diri. Prof. Boedi Harsono menyebutnya dengan hukum adat yang sudah di-saneer (hukum adat yang sudah dibersihkan dari cacat celanya). Berdasarkan chirarchi (tata urutan) perundang-undangan, produk hukum yang dibuat di daerah adalah Peraturan Daerah, tentunya Peraturan Daerah yang substansinya berkaitan dengan tanah tidak boleh bertentangan dengan UUPA.

Di dalam Penjelasan UUPA juga secara berulang-ulang ditegaskan bahwa pengusaaan, pengelolaan atau pemilikan hak ulayat oleh sekelompok masyarakat adat tidak boleh menghilangkan kewenangan pemerintah pusat di dalam penguasaan tanah. Apabila hal yang Di dalam Penjelasan UUPA juga secara berulang-ulang ditegaskan bahwa pengusaaan, pengelolaan atau pemilikan hak ulayat oleh sekelompok masyarakat adat tidak boleh menghilangkan kewenangan pemerintah pusat di dalam penguasaan tanah. Apabila hal yang

Dengan berpijak kepada asas kepastian hukum yang secara tersirat dimuat didalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960, khususnya Pasal 5 dan

dibuat oleh Pemerintah Daerah Propinsi atau Kabupaten yang berkaitan dengan Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat dan hubungannya dengan agraria dan sumber daya alam. Agar Perda itu eksis dan tidak bermasalah dikemudian hari haruslah tidak bertentangan dengan peraturan-perundang-undangan dibidang hukum agraria. Salah satu contoh dapat dikemukakan disini bahwa wilayah luasan atau batas hutan adat harus bersifat kuantitatif atau terukur.

3. Rancangan Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (RUU PPMHA)

Walaupun Rancangan Undang-Undang (RUU) bukanlah hukum positif atau bagian dari peraturan perundang-undangan yang sahih, namun lewat analisa dan pembacaan kritis terhadap RUU tersebut, Naskah Akademik ini dapat memahami politik hukum perlindungan masyarakat adat di Indonesia. Dalam kajian akademik, RUU diatas tentu sangat relevan untuk dibahas.

Sebagai upaya untuk mengakomodasi aspirasi masyarakat hukum adat pasca MK 35, pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan juga Dewan Perwakilan Daerah (DPD) didorong untuk segera membuat dasar hukum untuk mengatur mekanisme pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Selama tahun 2013-2014, ada beberapa versi Rancangan Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (RUU PPMHA), yang pertama merupakan hasil Sebagai upaya untuk mengakomodasi aspirasi masyarakat hukum adat pasca MK 35, pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan juga Dewan Perwakilan Daerah (DPD) didorong untuk segera membuat dasar hukum untuk mengatur mekanisme pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Selama tahun 2013-2014, ada beberapa versi Rancangan Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (RUU PPMHA), yang pertama merupakan hasil

Secara garis besar, proses pengakuan atau rekognisi terbagi dalam tiga tahapan, pertama adalah identifikasi sendiri (self-identification), verifikasi and rekognisi. 93 Pada tahapan pertama, masyarakat adat dapat secara bebas berpartisipasi dan menginisiasi proses identifikasi, sementara pemerintah daerah hanya melakukan supervisi. Proses identifikasi meliputi: mengumpulkan informasi-informasi penting terkait sejarah dari komunitas desa, batas-batas wilayah adat, hukum adat yang masih diterapkan, harta materil maupun inmateril dan kelembagaan

adat. 94 Hasil dari tahap identifikasi tersebut kemudian diberikan kepada pemerintah daerah untuk dilakukan verifikasi. Pemerintah yang terdiri atas pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten kemudian membentuk tim verifikasi ad hoc. Proses verifikasi memiliki tiga mekanisme yang terpisah. Tim verifikasi ad hoc dari pemerintah kabupaten memverifikasi hasil dari proses identifikasi masyarakat adat yang tinggal disatu wilayah

kabupaten. 95 Tim verifikasi ad hoc dari pemerintah provinsi memverifikasi hasil dari proses identifikasi masyarakat adat yang tinggal di dua atau lebih wilayah kabupaten namun masih dalam satu provinsi. 96 Tim verifikasi ad hoc dari pemerintah pusat memverifikasi hasil dari proses

93 Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengakuan Masyarakat Hukum Adat, pasal 5.

94 Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengakuan Masyarakat Hukum Adat, pasal 6 (2).

95 Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengakuan Masyarakat Hukum Adat, pasal 7 (1).

96 Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengakuan Masyarakat Hukum Adat, pasal 7 ayat (2).

identifikasi masyarakat adat yang tinggal di dua atau lebih wilayah

provinsi. 97

Setelah proses verifikasi selesai, tim verifikasi ad hoc pemerintah pusat, provinsi maupun kabupaten memberi rekomendasi kepada presiden, kepala daerah (gubernur dan bupati) untuk mengesahkan atau

tidak masyarakat adat yang tinggal diwilayah jurisdiksi hukum mereka. 98 Elemen substantif dari rancangan undang-undang ini adalah terkait hak masyarakat adat. Hak-hak masyarakat adat terbagi dalam tiga aspek. Pertama adalah hak terkait Sumber Daya Alam, kedua mengenai hak menentukan nasib sendiri (the rights of self-determination) dan hak atas ekologi yang baik (the ecological rights). Rancangan undang-undang ini juga menyatakan bahwa masyarakat adat memiliki hak ulayat atas tanah, wilayah dan SDA yang terkandung didalamnya. Masyarakat adat juga memiliki hak kompensasi atas pengambilan ilegal atas tanah dan/atau

hutan adat mereka. 99 Hak atas SDA juga mengakomodir aspek integritas budaya dari masyarakat adat, dimana masyarakat adat dan tanah adat merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. 100 Lewat deskripsi diatas, dapat diketahui bahwa masyarakat adat adalah minoritas yang berbasis kepentingan atas tanah (land-based minorities).

Hak untuk menentukan nasib sendiri (the right of self-determination) adalah hak yang bias politik. Oleh sebab itu penting membedakan diksi antara right to self-determination dan the right of self-determination. Diksi pertama adalah aspirasi untuk memisahkan diri dari negara induk (separatisme). Sedangkan yang kedua adalah aspirasi terhadap keadilan dan non-diskriminasi. 101 Perlu ditekankan bahwa rancangan undang- undang ini memakai diksi the right of self-determination. Rancangan undang-undang ini menyatakan bahwa masyarakat adat bisa

97 Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengakuan Masyarakat Hukum Adat, pasal 7 ayat (3).

98 Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengakuan Masyarakat Hukum Adat, pasal 10.

99 Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengakuan Masyarakat Hukum Adat, pasal 15.

100 Laura Westra, Environmental Justice and the Rights of Indigenous Peoples (Earthscan, 2008) 10.

Pendapat Leo Gross dalam James Anaya, Indigenous Peoples in International Law, (Oxford University Press, New York, 1996), 5.

mengajukan aspirasi, inisiasi dan mengembangkan secara mandiri konsep ‘pembangunan’ yang mereka mau. Masyarakat adat juga memiliki hak untuk menolak proyek-proyek pembangunan yang dapat

membahayakan ekologi dan lingkungan mereka. Selain itu masyarakat adat juga dapat secara bebas berpartisipasi dalam proses awal proyek pembangunan, dimulai dari perencanaan, implementasi sampai kepada evaluasi proyek. 102 Proyek-proyek pembangunan harus menghormati hak ekologi masyarakat adat. 103

Rancangan Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat memang terkesan sangat ideal. Namun rancangan undang-undang tersebut masih abai dalam kriteria masyarakat adat. Tidak ada satu pasal pun yang menyebutkan tentang kriteria dan prasyarat suatu komunitas dapat diakui sebagai masyarakat adat. Tidak ada kejelasan apakah rancangan undang-undang ini mengikuti logika Undang-Undang No 4 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang diadaptasi dari pemikiran Ter Haar, ataukah mengikuti logika Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang terinspirasi oleh MK 35. Kriteria pertama secara tegas mendikotomikan antara masyarakat (hukum) adat dengan masyarakat adat, sedangkan yang kedua memakai kriteria yang lebih sosiologis dan kontekstual.

4. Peraturan Menteri terkait

Peraturan Menteri yang layak untuk dicermati dalam pembuatan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindunga Hak- hak Masyarakat Hukum Adat adalah Peraturan Menteri Angraria dan Tata Ruang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal ata Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu.

Peraturan Menteri ini mengatur secara detail dan mendalam perihal hubungan hukum antara masyarakat hukum adat dengan tanahnya yang

Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengakuan Masyarakat Hukum Adat, pasal 17.

Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengakuan Masyarakat Hukum Adat, pasal 13-19.

bersifat keperdataan. Sifat keperdataan Hak Komunal di wilayah masyarakat hukum adat dapat dilihat dari ketentuan bahwa Hak Komunal dapat dialihkan, didaftarkan dan juga diterbitkan sertifikatnya.

Peraturan Menteri ini juga berkesesuaian dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52/2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Kedua Peraturan Menteri tersebut menggunakan prosedur ‘jalur ganda’ (double-tracking mechanism)

dalam proses pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Jalur pertama adalah proses pengakuan atau pengukuhan keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-hak nya. Proses ini dapat dilakukan oleh pemerintah daerah dengan cara membuat peraturan daerah tentang perlindungan dan pengakuan hak-hak masyarakat hukum adat, namun perlu ditekankan bahwa Perda ini bersifat declaratoir belaka (hanya

mengukuhkan hubungan hukum berupa “hak” masyarakat hukum adat dan tanahnya yang sudah ada). Sedangkan penetapan Hak Komunal

(ulayat) yang bersifat konstitutif, merupakan kewenangan kepala kantor pertanahan (kakantah) atau kepala kantor wilayah (kakanwil). Ini merupakan jalur yang kedua. Secara garis besar, jalur pertama berkaitan dengan pengukuhan keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak- hak nya, jalur kedua adalah proses pendaftaran tanah dan hak komunal yang melekat pada tanah tersebut.

Berdasarkan deskripsi diatas, adalah sebuah keniscayaan untuk melakukan harmonisasi hukum dengan peraturan menteri diatas.

B. Keterkaitan Rancangan Peraturan Daerah dengan Peraturan Perundang-Undangan yang Menjadi Rujukan Peraturan Rancangan Peraturan Daerah

Guna menunjung sistematisasi dalam setiap proses pembuatan perundang-undangan, inter-konektifitas antara peraturan daerah dengan peraturan-perundangan lain harus terjalin dengan sistematis, koheren dan logis. Dalam konteks pembuatan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Hukum Adat Dayak, adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Guna menunjung sistematisasi dalam setiap proses pembuatan perundang-undangan, inter-konektifitas antara peraturan daerah dengan peraturan-perundangan lain harus terjalin dengan sistematis, koheren dan logis. Dalam konteks pembuatan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Hukum Adat Dayak, adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa,

konkret dari Putusan MK 35 yang secara eksplit membebaskan ‘hutan adat’ dari ‘hutan negara’. Pembacaan secara kritis terhadap MK 35 juga dapat dimaknai bahwa MK mendorong pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat di Indonesia. Raperda tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat akan menjadi landasan operasional dalam proses pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat di Kabupaten Pulang Pisau.

Dokumen yang terkait

ANALISIS PENGARUH PERATURAN PEMERINTAH NO.58 TAHUN 2005 TERHADAP AKUNTABILITAS KEUANGAN PEMERINTAH KABUPATEN BONDOWOSO

2 44 15

EFEKTIFITAS ISI PESAN MEDIA BANNER DALAM SOSIALISASI PERATURAN PENERTIBAN BERPENAMPILAN PADA PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MAHASISWA (Studi pada Mahasiswa FISIP UMM)

2 59 22

ANALISIS YURIDIS PERANAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI DALAM PENATAAN REKLAME BERDASARKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN REKLAME

2 64 102

EFEKTIVITAS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENEMPATAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI (PTKLN) BERDASARKAN PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NO.2 TAHUN 2004 BAB II PASAL 2 DI KABUPATEN BONDOWOSO (Studi Kasus pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupa

3 68 17

IMPLIKASI BERLAKUNYA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 72 TAHUN 2005 TENTANG DESA TERHADAP PEMERINTAHAN NAGARI DI SUMATERA BARAT

0 31 5

KAJIAN YURIDIS PENGAWASAN OLEH PANWASLU TERHADAP PELAKSANAAN PEMILUKADA DI KOTA MOJOKERTO MENURUT PERATURAN BAWASLU NO 1 TAHUN 2012 TENTANG PENGAWASAN PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH

1 68 95

PERSEPSI PESERTA DIDIK TERHADAP OPTIMALISASI PELAYANAN PENDIDIKAN BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 19 TAHUN 2005 TENTANG STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN DI SMA YP UNILA BANDAR LAMPUNG

0 13 72

RECONSTRUCTION PROCESS PLANNING REGULATORY FRAMEWORK IN THE REGIONAL AUTONOMY (STUDY IN THE FORMATION OF REGULATION IN THE REGENCY LAMPUNG MIDDLE ) REKONSTRUKSI PERENCANAAN PERATURAN DAERAH DALAM KERANGKA OTONOMI DAERAH (STUDI PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

0 34 50

RECONSTRUCTION PROCESS PLANNING REGULATORY FRAMEWORK IN THE REGIONAL AUTONOMY (STUDY IN THE FORMATION OF REGULATION IN THE REGENCY LAMPUNG MIDDLE ) REKONSTRUKSI PERENCANAAN PERATURAN DAERAH DALAM KERANGKA OTONOMI DAERAH (STUDI PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

0 17 50

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KEBIJAKAN KEMENTERIAN AGAMA DALAM PELAKSANAAN PERATURAN AKAD NIKAH DI KOTA BANDAR LAMPUNG TAHUN 2014

13 79 90