1
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Segala sesuatu di alam wujud ini, diciptakan oleh Allah berpasang- pasangan. Al-Qur’an menjelaskan, bahwa manusia pria secara naluriah, di
samping mempunyai keinginan terhadap anak keturunan, harta kekayaan dan lain-lain, juga sangat menyukai lawan jenisnya. Demikian juga
sebaliknya wanita mempunyai keinginan yang sama. Untuk memberikan jalan keluar yang terbaik mengenai hubungan manusia yang berlainan jenis
itu. Islam menetapkan suatu ketentuan yang harus dilalui, yaitu perkawinan.
1
Tujuannya adalah agar manusia itu tidak seperti makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara lawan
jenisnya secara anarki dan tidak ada satu aturan. maka demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia, Allah adakan hukum sesuai
dengan martabatnya, bentuk perkawinan ini telah memberikan jalan yang aman pada naluri seks.
2
Perkawinan adalah suatu akad suci yang mengandung serangkaian perjanjian di antara dua belah pihak, yakni suami isteri. Kedamaian dan
1
M.Ali Hasan, Pedoman Hidup berumah Tangga dalam Islam, Jakarta: Prenada Media, 2003, cet .ke-1, h.266.
2
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 6, Bandung: PT.Alma’arif, t.th, cet.ke-20, h.8.
kebahagiaan suami isteri sangat bergantung pada pemenuhan ketentuan dalam perjanjian tersebut.
3
Tujuan perkawinan dalam Islam adalah membentuk keluarga dengan maksud melanjutkan keturunan serta mengusahakan agar dalam rumah
tangga dapat diciptakan ketenangan berdasarkan cinta dan kasih sayang. Ketenangan yang menjadi dasar kebahagiaan hidup dapat diperoleh melalui
kesadaran bahwa seseorang dengan ikhlas telah menunaikan kewajibannya sebagai suami maupun istri dan anggota keluarga lainnya dalam membina
rumah tangga yang bahagia.
4
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan selanjutnya disebut Undang-Undang Perkawinan menyebutkan bahwa
yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.
5
Maksud dari “ikatan lahir” ialah bahwa hubungan suami isteri tidak hanya berupa ikatan lahiriah saja, dalam arti hubungan suami istri hanya
sebatas ikatan formal, tetapi kedua-duanya harus membina ikatan batin. Jalinan ikatan lahir dan batin itulah yang menjadi fondasi yang kokoh dalam
membangun dan membina keluarga yang bahagia dan kekal. Kemudian
3
Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, Jakarta: LKAJ-SP, 1999, h.9.
4
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama: Kumpulan Tulisan, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002, h. 27-28.
5
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 1.
dilihat dari kalimat “berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa” ini berarti bahwa norma-norma hukum agama harus menjiwai perkawinan dalam
pembentukan keluarga. Dapat disimpulkan bahwa perkawinan menurut Undang-Undang
Perkawinan baik arti maupun tujuan tidak semata-mata hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita, tetapi juga mengandung aspek-
aspek lainnya seperti agama, biologis, sosial dan adat istiadat. Pada praktiknya perjalanan suami isteri dalam membina rumah tangga
tidak selalu harmonis, karena menyamakan persepsi antara dua karakter yang berbeda tidaklah mudah. Terlebih lagi jika terjadi hal-hal yang dapat
menyebabkan ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban dari suami isteri dalam kehidupan rumah tangga tersebut, maka akibatnya akan
memunculkan konflik yang dapat mengganggu keharmonisan kehidupan rumah tangga. Kemudian jika konflik tersebut berkelanjutan dan tak
kunjung ada penyelesaian secara tuntas maka umumnya munculah dua pilihan, yaitu perceraian atau poligami. Dari dua pilihan tersebut, penulis
menjadikan poligami sebagai fokus permasalahan dalam penelitian ini. Menurut Musdah Mulia poligami adalah ikatan perkawinan yang salah
satu pihak suami mengawini beberapa lebih dari satu isteri dalam waktu yang bersamaan. Laki-laki yang melakukan bentuk perkawinan seperti itu
dikatakan bersifat poligami.
6
6
Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, h.2.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikatakan bahwa poligami adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini
beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan.
7
Poligami tidak dilarang dan tidak diperintahkan, hanya dibolehkan dengan syarat yang ketat. Meminjam istilah M.Quraish Shihab, poligami
ibarat emergency exit dalam pesawat yang hanya boleh dibuka dalam keadaan emergency saja. Dia hanyalah pintu kecil yang hanya dapat dilalui
oleh mereka yang menginginkannya ketika mengalami kasus atau keadaan darurat.
8
Dalam Islam syarat mutlak poligami yang harus diperhatikan terdapat dalam Al-Quran surat An-nisa ayat 3, yakni berlaku adil. Dalam ayat ini
terdapat kata “khiftum”, yang biasa diartikan “takut” dan juga bisa berarti “mengetahui”, menunjukkan bahwa siapa saja yang yakin atau menduga
keras atau bahkan menduga dirinya tidak akan bisa berlaku adil, tidak diperkenankan untuk berpoligami.
Meskipun Islam telah mengatur masalah poligami, namun kerap kali timbul permasalahan dari sebagian orang yang berpoligami. Hal ini bisa
terjadi karena kesalahan para pelaku poligami dalam penerapannya, disebabkan karena kekurangfahaman mereka terhadap ajaran agama atau
keburukan akhlaq mereka. Dengan demikian yang salah bukan hukum
7
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1998, h.885.
8
Ustad Ansori Fahmie, Siapa Bilang Poligami itu Sunnah?, Depok, Pustaka Iman, 2007, h.40.
Islamnya, tetapi para pelaku poligami yang dalam penerapannya tidak sesuai dengan syari’at Islam.
Sedangkan pelaksanaan poligami di Indonesia harus berdasarkan pada ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan Indonesia
salah satunya yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Undang-Undang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Perkawinan.
Seorang suami yang akan berpoligami harus memenuhi salah satu syarat alternatif dan ketiga syarat kumulatif, syarat alternatif di antaranya
apabila isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan
isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Sedangkan syarat kumulatif yang harus dipenuhi adalah persetujuan isteriisteri-isteri, ada kepastian bahwa
suami mampu akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka serta ada jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan
anak-anak mereka.
9
Dalam Undang-Undang Perkawinan UUP prinsip monogami tetap dianut. Prinsip tersebut diungkapkan dalam kalimat Pada azasnya dalam
suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri.
9
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 4 dan pasal 5.
Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Demikianlah yang tertuang dalam pasal 3 ayat 1 UUP tersebut.
10
Monogami menjadi salah satu azas tapi dengan pengecualian yang ditujukan kepada orang yang menurut hukum dan agamanya mengizinkan
seorang suami boleh beristeri lebih dari satu. Tentang pengecualian itu selanjutnya Undang-Undang Perkawinan memberikan batasan perkawinan
yang cukup berat, yakni berupa suatu pemenuhan syarat dengan suatu alasan tertentu dan izin pengadilan.
11
Dari uraian di atas, mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat dikabulkannya permohonan izin poligami dari Pengadilan Agama,
maka yang menjadi perhatian penulis yaitu putusan hakim yang mengabulkan izin poligami dengan alasan isteri mengalami gangguan
kejiwaan. Pada kasus ini isteri mengidap penyakit skizofrenia, sejenis penyakit
gangguan jiwa di mana penderita menunjukkan berbagai gejala terpecahnya kepribadian sehingga “kerjasama” antara pikiran, perasaan dan tingkah laku
tidak serasi lagi. Mengingat Undang-Undang Perkawinan tidak menyebutkan gangguan
jiwa sebagai alasan poligami maka yang menjadi pertanyaan penulis adalah apakah gangguan jiwa tersebut dapat diqiyaskan dengan syarat yang ada
dalam pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan yaitu “isteri tidak dapat
10
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia Berlaku Bagi Umat Islam, Jakarta: UI-Press, 1986, h.60-61.
11
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, h.22.
menjalankan kewajibannya sebagai isteri” atau “isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan”
Berdasarkan kasus tersebut, maka penulis tertarik untuk mengetahui keadaan sebenarnya dalam menyelesaikan perkara tersebut, untuk itu
diperlukan penelitian dan analisa terhadap hasil putusan dari Pengadilan
Agama dalam bentuk skripsi dengan judul “Izin Poligami dengan Alasan Isteri Mengalami Gangguan Jiwa Studi Analisis Putusan Perkara Nomor
0284Pdt.G2008PA.JT di Pengadilan Agama Jakarta Timur”
B. PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH