Pembahasan Umum Pengembangan Papan Komposit Berlapis Anyaman Bambu Dari Jenis Kayu Cepat Tumbuh Dengan Perekat Poliuretan
mengakibatkan tidak terjadinya ikatan hydrogen sehingga berkurangnya natural bonding. Chelak dan Newman, 1991
Untuk meningkatkan kualitas papan, salah satu cara yang ditempuh adalah meningkatkan sifat stabilitas dimensi, dalam penelitian ini adalah pengembangan
tebal papan. Untuk mendapatkan hal tersebut digunakan parafin sebanyak 3 dari BKT bahan berlignoselulosa partikel kayu dan lapisan bambu merupakan satu
kesatuan dalam perhitungan BKT. Walaupun nilai pengembangan tebal yang diperoleh masih berada pada titik yang kritis yaitu sebesar 11,72 dari titik
maksimum 12 yang disyaratkan dalam standar JIS A 5908:2003, hal tersebut menunjukkan bahwa kemungkinan papan yang diproduksi dengan bahan dan metode
yang sama mempunyai nilai pengembangan tebal berkisar antara 11 dan malah dapat melebihi 12 seperti pada hasil penelitian pengaruh suhu dan lama
pengempaan terhadap kualitas papan komposit. Tetapi dari hasil penelitian juga terlihat bahwa penambahan parafin lebih dari 3 tidak efektif lagi menurunkan
pengembangan tebal papan. Penggunaan lapisan bambu merupakan salah satu cara untuk meningkatkan
kekuatan mekanis MOR dan MOE papan. Hal tersebut diupayakan sebagai alternatif penggunaan lapisan yang dapat meningkatkan kekuatan dan memberikan
nilai dekoratif yang beragam. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa anyaman bambu tegak lurus mempunyai kekuatan dalam memikul beban yang lebih tinggi
dibandingkan anyaman bambu yang miring. Papan komposit dengan anyaman bambu tegak lurus mempunyai nilai MOR dan MOE yang lebih tinggi dibandingkan papan
dengan anyaman bambu miring. Hal tersebut disebabkan pada saat pembebanan, terjadinya perlemahan lapisan bambu pada saat menerima beban pada arah 0
o
, tetapi di sisi lain pada arah 90
o
terjadi penguatan pada anyaman bambu pada saat menerima beban karena beban yang diterima masih dapat ditahan oleh bilah bambu
yang arahnya tegak lurus. Hal berbeda terjadi pada anyaman miring, dimana tidak ada arah bilah bambu yag dapat meneruskan beban yang diterima.
Cara lain yang ditempuh untuk mendapatkan papan dengan kualitas yang baik berdasarkan parameter yang diuji, adalah mengoptimalkan suhu dan lamanya
waktu pengempaan papan. Pengempaan 100
o
C, 120
o
C, 140
o
C dan 160
o
C pada masing-masing waktu 10 dan 15 menit menunujukkan bahwa suhu berpengaruh nyata
pada kesemua parameter yang diuji, sementara waktu dan interaksi antara suhu dan waktu tidak berpengaruh nyata, kecuali pada keteguhan rekat baik suhu, waktu dan
interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata. Hal ini disebabkan suhu yang digunakan akan menentukan kecepatan aliran panas selama proses pengempaan. Kecepatan
penetrasi panas ke dalam mat menentukan waktu pengempaan papan Cai et al., 2006.
Jika dibandingkan dengan papan komersial jenis papan komersial yang diuji adalah kayu lapis, papan partikel, MDF tebal 0,9 cm dan MDF tebal 1,6 cm, kualitas
papan komposit yang dihasilkan baik sifat fisis, maupun sifat mekanis papan, berada pada kisaran nilai-nilai parameter yang diuji dari papan komersial tersebut. Artinya
papan komposit yang dihasilkan mempunyai kualitas yang kompetitif di pasaran. Nilai kerapatan terendah pada papan MDF tebal 1,6 cm yaitu 0,57 gcm
3
dan tertinggi pada papan MDF tebal 0,9 cm dan kayu lapis yaitu 0,68 gcm
3
. Dengan demikian, kerapatan papan komposit berlapis anyaman bambu yang dihasilkan sebesar 0,60
gcm
3
termasuk dalam kisaran tersebut. Lebih rendahnya kerapatan papan komposit yang dihasilkan dibandingkan dengan kerapatan papan MDF dan papan partikel
komersil disebabkan karena jumlah perekat yang umum digunakan pada papan komposit komersial lebih banyak, biasanya 10 dari BKT bahan, sementara dalam
pembuatan papan komposit berlapis anyaman bambu ini menggunakan jumlah perekat 6 dari BKT bahan. Walaupun nilai kerapatan ini tidak sama, tetapi dalam
perhitungan, tidak akan berpengaruh terhadap nilai-nilai parameter yang lain karena data yang digunakan adalah data yang telah terkoreksi dengan kerapatan masing-
masing papan, dengan mengacu pada kerapatan sasaran yaitu 0,7 gcm
3
. Dimana kadar air papan komposit yang dihasilkan mempunyai nilai yang terendah
dibandingkan papan lainnya. Hal ini disebabkan karena perekat PU bersifat
cenderung menolak air sementara perekat konvensional seperti phenol dapat mengikat uap air selama pengkondisian berlangsung. Pengembangan tebal papan
komposit yang dihasilkan sebesar 12,66, sedikit di atas dari pengembangan tebal maksimal yang dipersyaratkan standar JIS A 5908:2003 yaitu 12. Nilai
pengembangan tebal papan komposit ini lebih besar dari pengembangan tebal kayu lapis, tapi lebih rendah dibandingkan pengembangan tebal papan komersial yang
lainnya. Hal ini disebabkan karena kayu lapis mempunyai pengembangan yang lebih besar ke arah linier dari pada pengembangan tebalnya karena susunan sel-selnya
searah longitudinal. Nilai MOR papan komposit yang dihasilkan sebesar 405 kgfcm
2
. Hal ini berarti MOR papan komposit yang dihasilkan lebih tinggi dari papan komposit dan
kayu lapis yang ada di pasaran. Hal ini disebabkan papan komposit yang dihasilkan menggunakan anyaman bambu sebagai pelapis, sehingga permukaan papan lebih kuat
dalam memikul beban. MOE papan komposit yang dihasilkan sebesar 2,96 x 10
4
kgfcm
2
, nilai ini lebih rendah dibanding MOE kayu lapis, tetapi lebih tinggi dibandingkan MOE papan partikel dan papan MDF tebal 0,9 cm dan MDF tebal 1,6
cm. Hal ini berarti bahwa walaupun anyaman bambu dapat memberikan kontribusi yang sangat tinggi pada MOR papan sehingga nilainya lebih besar dari kayu lapis,
tetapi tidak berarti bahwa dengan adanya lapisan anyaman bambu papan tersebut menjadi lebih kaku, hal ini disebabkan MOE bambu tanpa kulit cukup rendah yaitu ±
5,50 x 10
4
kgfcm
2
. Selain itu, rendahnya nilai MOE papan yang dihasilkan juga dipengaruhi oleh rendahnya MOE bahan baku partikel kayu yang berasal dari kayu
sengon, dimana MOE kayu sengon cukup rendah sebesar 4,45 x 10
4
kgfcm
2
Martawijaya et al., 1992.