Tradisi Pertanian Dan Tantangan Globalisasi (Studi Kasus Kelangsungan Tradisi Pertanian Pada Masyarakat Karo)

(1)

TRADISI PERTANIAN DAN TANTANGAN GLOBALISASI

(STUDI KASUS KELANGSUNGAN TRADISI PERTANIAN

PADA MASYARAKAT KARO)

Oleh

TERANG KITA BRAHMANA

1170204018/SP

PROGRAM STUDI MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TRADISI PERTANIAN DAN TANTANGAN GLOBALISASI

(STUDI KASUS KELANGSUNGAN TRADISI PERTANIAN

PADA MASYARAKAT KARO)

TESIS

Diajukan Sebagai SalahSatu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Studi Pembangunan dalam Program Studi Megister Pembangunan pada Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

TERANG KITA BRAHMANA

1170204018/SP

PROGRAM STUDI MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : TRADISI PERTANIAN DAN TANTANGAN

GLOBALISASI (STUDI KASUS

KELANGSUNGAN TRADISI PERTANIAN PADA MASYARAKAT KARO)

Nama Mahasiswa : Terang Kita Brahmana Nomor Pokok : 117024018

Program Studi : Studi Pembangunan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA) (

Ketua Anggota

Husni Thamrin, S.Sos,. MSP)

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA) (Prof. Dr. Badaruddin, M.Si)


(4)

Telah diuji pada Tanggal 23 Juli 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

KETUA : Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA Anggota : 1. Husni Thamrin, S.Sos., MSP

: 2. Warjio, MA., Ph.D : 3. Drs. Agus Suriadi, M.Si : 4. Prof. Subhilhar, Ph.D


(5)

PERNYATAAN

TRADISI PERTANIAN DAN TANTANGAN GLOBALISASI (STUDI KASUS KELANGSUNGAN TRADISI PERTANIAN PADA MASYARAKAT KARO)

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar magister di suatu perguruan tinggi dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Juli 2014 Penulis,


(6)

TRADISI PERTANIAN DAN TANTANGAN GLOBALISASI (STUDI KASUS KELANGSUNGAN TRADISI PERTANIAN PADA

MASYARAKAT KARO)

ABSTRAK

Masyarakat Karo tidak pernah terlepas dari kehidupan pertanian. Mayoritas penduduk Suku Karo adalah petani. Selain pertanian sebagai kegiatan ekonomi subsisten juga sebagai kegiatan pertanian profit. Suku Karo adalah pemegang andil terbesar dalam pertanian klasik di Sumatera Timur-Sumatera Utara. Karo sebagai daerah pertanian menyimpan adat/budaya/tradisi pertanian yang secara turun temurun dilaksanakan. Tradisi yang telah dilaksanakan secara turun temurun tersebut tentunya akan menghadapi cobaan dan ujian seiring dengan perkembangan baik dibidang pertanian maupun bidang lainnya. Hal ini disebabkan pertanian bukanlah bidang yang berdiri sendiri. Melihat fenomena tersebut maka peneliti tertarik untuk meneliti tradisi pertanian Tanah Karo dan tantangannya di era globalisasi. Sehingga nantinya akan dapat memberikan gambaran kemampuan tradisi pertanian Tanah Karo mengahadapi tantangan zaman. Tipe penelitian bersifat deskriptif, dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan subjek atau objek penelitian (seseorang, masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta atau sebagaimana adanya. Informan kunci (Key Informan) merupakan mereka yang mengetahui dan memiliki berbagai informasi pokok yang diperlukan dalam penelitian atau yang terlibat langsung dalam interaksi sosial yang diteliti. Pada Penelitian ini informan yang diambil adalah petani, penggiat pertanian, LSM, Tokoh masyarakat, dan pakar budaya. Hasil penelitian juga menunjukan dalam mengolah lahan pertanian, baik itu di sawah maupun di ladang

warga Karo menggunakan aron, dimana dalam pelaksanaannya dilakukan secara

bergiliran, dan mempunyai aturan baik dalam jumlah kelompok aron, jam kerja, pembagian kerja, pembgian gaji, konsumsi, dan syarat-syarat menjadi peserta kelompok aron. Dari hasil penelitian ini juga diperoleh kesimpulan bahwa telah terjadi perubahan konsep aron dalam bidang pertanian pada masyarakat Karo. Dulunya aron yang bekerja secara bergiliran belum bersifat uang kini, menjadi aron singemo (buruh tani) yang bersifat uang. Perubahan tersebut dapat dilihat dalam pelaksanaan aron antara lain dalam hal alat-alat pertanian yang digunakan. Semangat mempertahankan tradisi aron sebenarnya masih tertanam dalam kehidupan masyarakat Karo. Semangat untuk mempertahankan budaya aron yang semakin terkikis masih ada walaupun mendapat tantangan dari perubahan kondisi sosial budaya, ekonomi dan teknologi yang mengarahkan manusia untuk menjadi lebih mandiri.


(7)

AGRICULTURE TRADITIONS AND GLOBALIZATION CHALLENGE (CASE STUDY OF AGRICULTURE TRADITIONS CONTINUANCE IN

KARO SOCIETY) ABSTRACT

Karo people are never apart of farm life. The majority of Karo population are farmers. Besides farming as an economic activity it is also as profitable agricultural activities . Karo tribe is the largest shareholder in the classic farm in East Sumatra-North Sumatra. Karo as agricultural areas to keep custom / cultural / agricultural tradition from generation to generation. The tradition has been carried from generation to generation will certainly face the trials and tribulations along with the development both in agriculture and other fields. This is due to agriculture is not a stand-alone field. Seeing this phenomenon, the researcher is interested in studying agricultural tradition of Karo and challenges in the era of globalization. So that, it will be able to provide an overview of agricultural tradition ability Karo facing challenges of the times. Type a descriptive study, can be interpreted as a problem solving procedure investigated by describing the state of the subject or the object of research (person, community, etc.) at the present time based on facts or as it is. Key informants (Key Informant) are those who know and have the basic information required in research or directly involved in social interactions studied. In this study informants taken are farmers, agricultural activists, NGOs, community leaders, and cultural experts. The results also show the process of agricultural land, both in the wet rice fields and in the field, Karo People using aron, which in practice is used in turns, and has a good rule in a number of groups of aron, working hours, the division of labor, wages distribution, consumption, and the qualifications to be aron group participants. From the results of this study, can be concluded that there has been a change in the concept of aron in agriculture in the Karo people. Aron formerly working in turns notcommercially (money) like now, to be aron singemo (farm laborers) is commercial/money. Such changes can be seen in the implementation of the aron, among others, in the case of agricultural tools used. To keepAron spirit of the tradition actually is still embedded in the life of the Karo people. The spirit to maintain a culture that increasingly eroded aron still there despite being challenged by changes in socio-cultural conditions, economic and technology that directs people to become more independent.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmatnya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Studi Pembangunan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, Kota Medan.

Selama proses penelitian dan penulisan tesis ini, penulis sadar banyak mendapatkan bimbingan dan bantuan baik moril maupun materil, oleh karena itu melalui kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc, (CTM),

Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

3. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA, selaku Pembimbing serta

Ketua Program Studi Magister Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara dan sebagai Dosen Tamu ketika Penulis melaksanakan sidang meja hijau

4. Bapak Dr. R. Hamdani Harahap, M.Si selaku Sekretaris Program Studi

Magister Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

5. Bapak Husni Thamrin, S.Sos, MSP selaku Anggota Komisi


(9)

membantu memberikan arahan dan bimbingan kepada Penulis untuk menyempurnakan penulisan tesis ini.

6. Bapak Warjio, MA,. Ph.D dan Bapak Drs. Agus Suriadi., M.Si, selaku

Komisi Pembanding yang juga telah banyak sekali membantu mengarahkan penulisan tesis ini.

7. Seluruh Dosen dan Staf di Program Studi Magister Studi

Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu baik dalam bidang akademik maupun administratif.

8. Istri tercinta yang telah luar biasa banyak membantu dan memberi

motivasi kepada penulis selama pengerjaan tesis ini, juga kedua putriku tersayang.

9. Seluruh rekan-rekan seperjuangan di MSP tahun 2011 atas dukungan

dan kerjasamanya, semoga kita semua sukses. Amin YRA.

Penulis menyadari tesis ini masih banyak memiliki kekurangan dan jauh dari sempurna. Namun harapan penulis semoga tesis ini dapat bermanfaat kepada seluruh pembaca. Amin YRA.

Medan, Juli 2014 Penulis,


(10)

RIWAYAT HIDUP

1. Nama : Terang Kita Brahmana

2. Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 05 November 1960

3. Jenis Kelamin : Laki-Laki

4. Agama : Islam

5. Status : Kawin

6. Alamat : Jln. Komplek Tasbi 2 Blok 1 No. 39

7. Pendidikan :

1. SD Swasta Kristen St. Yosefh Medan Tamat 1972

2. SMP Katolik Budi Murni Tamat 1975/1976

3. SMA Indonesia Raya Bandung Tamat 1979

4. S-1 Hubungan Internasional Unika Parahyangan Tamat 1986


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... .i

ABSTRACT ... .ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Budaya ... 6

2.2 Budaya/Tradisi Pertanian Karo ………... 9

2.3 Globalisasi ... 18

2.4 Strategi Adaptasi………... 21

2.5 Perubahan Sosial ………... 30

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian ………... 52

3.2 Lokasi Penelitian ………... 52

3.3 Informan Penelitian ………... 52

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 53

3.5 Teknik Analisis Data ... 53

BAB IV HASIL DAN ANALISA PENELITIAN 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ………... 54

4.2. Hasil Penelitian ………... 57

4.2.1. Gambaran Tradisi (Budaya) Pertanian Di Tanah Karo …... 58

4.2.2. Tahap-tahap Pengolahan Sawah/ladang ………... 4.2.3 Konsep Aron Menurut Warga Karo ………... 63

4.2.4. Tantangan yang Dihadapi Tradisi Pertanian di Tanah Karo dan Mekanisme Adaptasi yang Dilakukan sebagai Bagian Penting dari Proses Keberlangsungan Pertanian di Tanah Karo ……... 67

4.2.5. Konsep Aron Si Ngemo Menurut Warga Karo …………... 69

4.2.6 Perubahan Budaya pertanian Aron………... 74

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ………... 79

5.2. Saran ………... 80


(12)

DAFTAR TABEL

No Judul Hal


(13)

TRADISI PERTANIAN DAN TANTANGAN GLOBALISASI (STUDI KASUS KELANGSUNGAN TRADISI PERTANIAN PADA

MASYARAKAT KARO)

ABSTRAK

Masyarakat Karo tidak pernah terlepas dari kehidupan pertanian. Mayoritas penduduk Suku Karo adalah petani. Selain pertanian sebagai kegiatan ekonomi subsisten juga sebagai kegiatan pertanian profit. Suku Karo adalah pemegang andil terbesar dalam pertanian klasik di Sumatera Timur-Sumatera Utara. Karo sebagai daerah pertanian menyimpan adat/budaya/tradisi pertanian yang secara turun temurun dilaksanakan. Tradisi yang telah dilaksanakan secara turun temurun tersebut tentunya akan menghadapi cobaan dan ujian seiring dengan perkembangan baik dibidang pertanian maupun bidang lainnya. Hal ini disebabkan pertanian bukanlah bidang yang berdiri sendiri. Melihat fenomena tersebut maka peneliti tertarik untuk meneliti tradisi pertanian Tanah Karo dan tantangannya di era globalisasi. Sehingga nantinya akan dapat memberikan gambaran kemampuan tradisi pertanian Tanah Karo mengahadapi tantangan zaman. Tipe penelitian bersifat deskriptif, dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan subjek atau objek penelitian (seseorang, masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta atau sebagaimana adanya. Informan kunci (Key Informan) merupakan mereka yang mengetahui dan memiliki berbagai informasi pokok yang diperlukan dalam penelitian atau yang terlibat langsung dalam interaksi sosial yang diteliti. Pada Penelitian ini informan yang diambil adalah petani, penggiat pertanian, LSM, Tokoh masyarakat, dan pakar budaya. Hasil penelitian juga menunjukan dalam mengolah lahan pertanian, baik itu di sawah maupun di ladang

warga Karo menggunakan aron, dimana dalam pelaksanaannya dilakukan secara

bergiliran, dan mempunyai aturan baik dalam jumlah kelompok aron, jam kerja, pembagian kerja, pembgian gaji, konsumsi, dan syarat-syarat menjadi peserta kelompok aron. Dari hasil penelitian ini juga diperoleh kesimpulan bahwa telah terjadi perubahan konsep aron dalam bidang pertanian pada masyarakat Karo. Dulunya aron yang bekerja secara bergiliran belum bersifat uang kini, menjadi aron singemo (buruh tani) yang bersifat uang. Perubahan tersebut dapat dilihat dalam pelaksanaan aron antara lain dalam hal alat-alat pertanian yang digunakan. Semangat mempertahankan tradisi aron sebenarnya masih tertanam dalam kehidupan masyarakat Karo. Semangat untuk mempertahankan budaya aron yang semakin terkikis masih ada walaupun mendapat tantangan dari perubahan kondisi sosial budaya, ekonomi dan teknologi yang mengarahkan manusia untuk menjadi lebih mandiri.


(14)

AGRICULTURE TRADITIONS AND GLOBALIZATION CHALLENGE (CASE STUDY OF AGRICULTURE TRADITIONS CONTINUANCE IN

KARO SOCIETY) ABSTRACT

Karo people are never apart of farm life. The majority of Karo population are farmers. Besides farming as an economic activity it is also as profitable agricultural activities . Karo tribe is the largest shareholder in the classic farm in East Sumatra-North Sumatra. Karo as agricultural areas to keep custom / cultural / agricultural tradition from generation to generation. The tradition has been carried from generation to generation will certainly face the trials and tribulations along with the development both in agriculture and other fields. This is due to agriculture is not a stand-alone field. Seeing this phenomenon, the researcher is interested in studying agricultural tradition of Karo and challenges in the era of globalization. So that, it will be able to provide an overview of agricultural tradition ability Karo facing challenges of the times. Type a descriptive study, can be interpreted as a problem solving procedure investigated by describing the state of the subject or the object of research (person, community, etc.) at the present time based on facts or as it is. Key informants (Key Informant) are those who know and have the basic information required in research or directly involved in social interactions studied. In this study informants taken are farmers, agricultural activists, NGOs, community leaders, and cultural experts. The results also show the process of agricultural land, both in the wet rice fields and in the field, Karo People using aron, which in practice is used in turns, and has a good rule in a number of groups of aron, working hours, the division of labor, wages distribution, consumption, and the qualifications to be aron group participants. From the results of this study, can be concluded that there has been a change in the concept of aron in agriculture in the Karo people. Aron formerly working in turns notcommercially (money) like now, to be aron singemo (farm laborers) is commercial/money. Such changes can be seen in the implementation of the aron, among others, in the case of agricultural tools used. To keepAron spirit of the tradition actually is still embedded in the life of the Karo people. The spirit to maintain a culture that increasingly eroded aron still there despite being challenged by changes in socio-cultural conditions, economic and technology that directs people to become more independent.


(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Masyarakat Karo tidak pernah terlepas dari kehidupan pertanian. Mayoritas penduduk Suku Karo adalah petani. Selain pertanian sebagai kegiatan ekonomi subsisten juga sebagai kegiatan pertanian profit. Suku Karo adalah pemegang andil terbesar dalam pertanian klasik di Sumatera Timur-Sumatera Utara. Anderson (dalam Peltzer 1978:21) mengatakan bahwa Suku karo adalah pengekspor lada terbesar pada tahun1800-an kemudian disusul oleh tembakau. Anderson kemudian mengatakan bahwa petani Karo adalah petani yang tangguh dan petani teladan karena pengalamannya yang melihat keuletan petani karo saat itu. Pertanian modern(terutama jenis-jenis tanaman) pertama kali dikenalkan oleh para penginjil Zending Belanda ke dataran tinggi Karo. Hal tersebut dilakukan sebagai politik untuk mengurangi “pemberontakan Karo” di Karo Jahe (Peltzer:94 dan sumber online).

Pada akhirnya pertanian itu berkembang dan terus berkembang. Produk yang paling terkenal dan pernah mencapai puncak kejaan ekspor adalah kol dan kentang ke Malaysia dan Singapura. Pertanian di Kabupaten Karo mulai bergejolak ketika berhentinya ekspor ke dua negara jiran tersebut pada tahun 1960-an. Masalah terbesar yakni ketika krisis moneter pada 1997 secara perlahan membunuh pertanian di Karo. Masalah kemudian bertambah satu demi satu mulai dari harga, pupuk, pasar dan sebagainya. (Kembaren, 2012)


(16)

Dalam buku Karo dari Jaman ke Jaman (1981), Brahma Putro menjelaskan, pada tahun 1807, seluruh dataran tinggi Karo telah dikuasai Belanda. Setelah itu, Belanda membangun jalan dari Medan menuju Karo yang diprakasai Jacob Theodoor Cremer, Komisaris Nederlandsche Handel Maatschappij (Maskapai Perdagangan Belanda). Kini, jalan itu bernama Jalan Jamin Ginting, diambil dari nama pejuang setempat.

Awalnya, masyarakat Karo menanam jagung dan padi. Pada 1940-an, sekelompok orang China datang untuk menanam sayuran, seperti bayam peleng, sawi putih, dan wortel, untuk memenuhi kebutuhan warga Belanda yang tinggal di Berastagi. Sayuran pun terus bertambah hingga 27 jenis. Orang China membudidayakan sayuran dengan menyewa lahan warga pribumi dan mempekerjakan mereka. Terjadilah transformasi pengetahuan sehingga warga pribumi paham cara menanam sayuran dengan baik. Lambat laun, warga Karo meninggalkan tanaman jagung dan padi lalu berpindah ke sayuran.

Namun, warga keturunan asal China masih menyimpan beberapa rahasia cara bertani. Itu mendorong warga Karo belajar mandiri dengan berpijak pada pengalaman empirik. Hal itu memunculkan beragam formulasi yang menjadi rahasia masing-masing keluarga Karo. Rahasia itu, antara lain, adalah tentang pengaturan jarak tanam, pemilihan bibit, perbandingan pupuk, pemilihan waktu panen, dan waktu menjual hasil panen.

Sampai kini setiap keluarga tidak membeberkan rahasia itu kepada keluarga lain dengan alasan demi stabilitas harga. Namun, secara umum, terdapat kearifan lokal yang diterapkan oleh hampir seluruh petani setempat. Mereka menerapkan pola tumpang sari, contohnya menanam buncis di antara tanaman


(17)

kol. Ada juga yang menggunakan pola tua-muda, yang berarti menanam tanaman muda di antara tanaman tua, seperti menanam kol (muda) di antara pohon jeruk (tua). Sebagian petani lain menerapkan pola yang mereka sebut sada-sada, yakni menanam beberapa jenis sayuran di dalam satu hamparan. Cara ini dilakukan Lison Ginting (50), petani di Desa Lingga Julu, Kecamatan Simpang Empat. Dia menanam kol di satu petak dan kentang di petak lain pada saat bersamaan. Pola itu mereka pakai karena, berdasarkan pengalaman, selalu ada harga komoditas yang melonjak ketika harga komoditas lainnya anjlok. Cara lainnya, petani menanam jenis tanaman yang sama, tetapi dikelompokkan berdasarkan usia tanam yang biasanya selisih 3-4 pekan untuk tiap kelompok. Prinsipnya, petani tetap punya

persediaan sayuran ketika harganya bagus. Cara ini mereka sebut ragi-agi.

(Kompas, 19 Maret 2011)

Dari beberapa hal yang telah di utarakan di atas terlihat jelas bahwa Karo sebagai daerah pertanian menyimpan adat/budaya/tradisi pertanian yang secara turun temurun dilaksanakan. Tradisi yang telah dilaksanakan secara turun temurun tersebut tentunya akan menghadapi cobaan dan ujian seiring dengan perkembangan baik dibidang pertanian maupun bidang lainnya. Hal ini disebabkan pertanian bukanlah bidang yang berdiri sendiri. Pertanian juga akan dipengaruhi teknologi, ekonomi, politik dan lain sebagainya.

Apalagi pada era globalisasi saat ini, tentunya akan memberikan dampak pada tradisi pertanian di Tanah Karo secara langsung maupun tidak langsung. Globalisasi sebagai sebuah gejala tersebarnya keseluruh dunia (sehingga menjadi budaya dunia atau world culture) telah terlihat semenjak lama. Cikal bakal dari persebaran budaya dunia ini dapat ditelusuri dari


(18)

perjalanan para penjelaja Pye, 1966 ).

Salah satu penelitian tentang tradisi pertanian dan tantangan globalisasasi pernah di teliti di kabupaten Asahan. Hasilnya terlihat bahwa pengelolaan lahan pertanian tidak hanya menyangkut aspek teknis, tetapi biasanya juga kait-mengait dengan sistem budaya, sistem sosial, dan kepercayaan yang hidup di dalam suatu komunitas. Modernisasi pertanian selama beberapa dekade terakhir ini di satu sisi telah membawa dampak positif pada peningkatan produktivitas lahan pertanian, tetapi di sisi lain juga mengakibatkan hilangnya tradisi-tradisi lokal dalam pengelolaan pertanian (Suhartono, 2005)

1.2. Permasalahan Penelitian

Melihat fenoma yang telah dikemukan sebelumnya, menimbulkan keingian untuk melakukan penelitian lebih jauh lagi dengan merumuskan permasalahan yang akan diteliti sebagai berikut:

1. Bagaimana gambaran tradisi (budaya) pertanian di Tanah Karo?

2. Bagaimana tradisi pertanian di Tanah Karo dalam mengahadapi tatangan

era globalisasi?

1.3. Tujuan Penelitian Tujuan Penelitian ini adalah :

1. Mendeskripsikan gambaran tradisi (budaya) pertanian di Tanah Karo. 2. Menganalisis tantangan yang dihadapi tradisi pertanian di Tanah Karo dan

mekanisme adaptasi yang dilakukan sebagai bagian penting dari proses keberlangsungan pertanian di Tanah Karo.


(19)

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi tradisi pertanian Tanah

Karo.

2. Sebagai bahan pertimbangan bagi seluruh stakeholders pertanian untuk melihat pentingnya tradisi pertanian di Tanah Karo dan mengembangkannya demi kemajuan dan kemakmuran petani.

3. Sebagai referensi dalam kajian studi pembangunan, khususnya yang


(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Budaya

Istilah kebudayaan dalam pengertian sehari – hari sering juga disamakan dengan suatu kesenian seperti seni musik, seni tari, seni rupa, seni sastra, ilmu pengetahuan maupun filsafat merupakan salah satu bagian dari kebudayaan. Kata kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddayah yang merupakan bentuk jamak kata buddhi yang berarti budi dan akal. Dengan demikian kebudayaan diartikan sebahai hal–hal yang bersangkutan dengan budi dan akal. Istilah culture yang merupakan istilah dalam bahasa asing yang sama artinya dengan kebudayaan, berasal dari bahasa latin colere, yang artinya mengolah atau mengerjakan (dalam hal mengolah tanah dan bertani). Dari asal arti tersebut yaitu colere kemudian culture diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam.

Kebudayaan sendiri memiliki berbagai ragam arti, tergantung dari sudut pandang ilmu apa yang dilihat. Bahkan dua sarjana antropologi yaitu A.L Kroeber dan C. Kluchohn (dalam Salim, 1978) telah mengumpulkan 160 macam defenisi tentang kebudayaan yang berasal dari berbagai buku dengan pengarang yang berbeda. Defenisi yang sampai sekarang merupakan defenisi sistematis dan ilmiah

adalah yang dikemukakan oleh E.B.Taylor dalam bukunya Primitive Culture,

yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks yang didalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, keseniaan, moral,


(21)

hukum, adat istiadat dan kemampuan – kemampuan lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Menurut Koentjaraningrat (1969) kebudayaan adalah keseluruhan dari hasil kelakuan manusia yang diatur oleh tata kelakuan manusia yang harus didapatkan

dengan belajar dan semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Koentjaraningrat yang mengatakan kebudayaan itu sendiri merupakan suatu wujud. Wujud kebudayaan dapat digolongkan kedalam tiga wujud yaitu :

a. Wujud Ideal merupakan kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide,

gagasan, nilai–nilai, norma–norma, peraturan–peraturan dan sebagainya. Wujud ini sifatnya abstrak atau tidak dapat dilihat dan diraba manusia

b. Wujud Sosial / tingkah laku berpola manusia dalam masyarakat.

Kompleks tindakan berpola serta tindakan berpola manusia dalam masyarakat. Tindakan berpola dan bertingkah laku ini dituangkan dalam bentuk adat – istiadat, peraturan–peraturan, dan sebagainya.

c. Wujud Fisik merupakan suatu kebudayaan sebagai suatu hasil karya

manusia yang dituangkan dalam bentuk benda– enda atau objek–objek fisik yang dapat dilihat dan diraba manusia. Koentjaraningrat (1969) menyebutkan ada tujuh unsur kebudayaan yang bersifat universal yang sudah pasti terdapat dalam semua bangsa didunia.

Tujuh unsur kebudayaan adalah :

a. Sistem religi / kepercayaan ; Dalam sistem ini pada umumnya


(22)

dunia alam, hidupnya, maupun maut, dan sebagainya tentang kesustraan suci/mitologi seperti pengetahuannya dan hal–hal yang bersifat tabu atau pantangan dan lain–lainnya tentang sistem upacara yang bertujuan menjalankan ide-ide yang terkandung didalam sistem kepercayaan. Konsep ini sangat berpengaruh pada pola pikir masyarakat baik secara individu maupun secara kolektif

b. Organisasi sosial/kepercayaan; Dalam hal ini organisasi tidak harus selalu bersifat formal namun dapat juga bersifat non formal. Organisasi yang paling kecil dalam masyarakat akan terikat dengan sistem organisasi lainnya misalnya sistem hukum, sistem perkawinan, organisasi politik, dan sebagainya.

c. Sistem Pengetahuan; Tiap–tiap suku bangsa di dunia umumnya

mempunyai pengetahuan tertentuyang didapat dari hasil pengalaman dan disimpulkan kedalam suatu rumusan atau teori tertentu yang mempengaruhi pola pikir masyarakat itu sendiri. Misalnya pengetahuan tentang musim sifat–sifat dari gejala alam dan binatang, pengetahuan tentang ilmu pengobatan, pengetahuan tentang ilmu menghitung angka, mengukur waktu dan sebagainya.

d. Bahasa; bahasa merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan

manusia yang berguna agar dapat berinteraksi dengan sesame manusia dengan komunikasi. Bahasa terdiri dari tiga macam yaitu bahasa lisan, tulisan, dan isyarat. Bahasa ini juga penting dalam pengembangan kebudayaan, karena tanpa bahasa maka suatu masyarakat tidak akan dapat mengembangkan kebudayaan


(23)

e. Kesenian; Kesenian dapat dibagi menjadi dua macam yaitu seni suara dan seni rupa, karena seni hanya bisa dinikmati oleh indra pendengaran atau telinga bila ia berupa seni suara begitu juga dengan seni rupa hanya bias dinikmati oleh indera penglihatan atau mata. Kesenian pada jaman dahulu selalu dikaitkan dengan keagamaan dalam fungsinya sebagai pelengkap suatu upacara keagamaan dan sebagai dasar–dasar keindahan yang diwujudkan dalam motif-motif perhiasaan dan nyanyian serta tarian rakyat ataupun simbol–simbol atau lambang suatu benda yang dilukiskan atau dilambangkan.

f. Sistem Mata Pencaharian; Mata pencaharian rakyat umumnya tergantung

pada potensi yang dimiliki oleh daerahnya. Sistem mata pencaharian yang dimulai dari tradisional yaitu meramu dan berburu, bercocok tanam diladang. Sistem mata pencaharian ini sangat berpengaruh pada perkembangan tingkat perekonomian suatu masyarakat.

g. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi; Sistem peralatan hidup dan

teknologi dari suatu suku bangsa mengandung unsur- unsur khusus, diantaranya mengenai bahan – bahan yang digunakan, cara pembuatannya, tujuan atau manfaat dari alat tersebut. Proses pembuatan hidup tersebut akan selalu berkembang seiring dengan semakin bertambahnya pengetahuan manusia.

2.2. Budaya/tradisi Pertanian di Karo

Dalam Ilmu Sosial dan Budaya, wujud dari kebudayaan itu ada dalam beberapa bentuk. Pertama, kebudayaan yang berbentuk abstak, yakni segala ide,


(24)

gagasan, nilai-nilai, aturan-aturan dan sebagainya. Semuanya itu membentuk suatu cultural system (sistem budaya). Kedua, kebudayaan itu dapat dilihat namun tidak dapat diraba. Yang dimaksudkan dalam penjelasan untuk sifat kedua ini adalah segala aktivitas, perilaku, ritual (kebudayaan) yang dilakukan oleh masyarakat karo yang dimulai dari nenek moyang karo hingga diturnkan ke generasi berikutnya. Ketiga, wujud dari kebudayaan itu adalah hasil kerja manusia yang bersifat konkrit dan nyata. Yang dimaksudkan untuk wujud ketiga ini adalah segala benda budaya (material cultural) yang menandakan suatu identitas suatu budaya, termasuk identitas budaya karo. Benda budaya yang merupakan identitas budaya Karo juga terbagi dalam beberapa bentuk, yakni dalam segi pakaian, alat musik, alat pertanian, dan lain-lain. Semuanya itu dapat diciptakan dan diperoleh dengan cara belajar agar menghasilkan suatu karya tersendiri dan menjadi identitas budaya.

Pertanian Karo dan bagaimana mengelola lahan pertanian merupakan hasil dari suatu kebudayaan yang sudah diturunkan selama puluhan tahun atau bahkan sampai ratusan tahun kepada generasi berikutnya yang berasal dari nenek moyang suku Karo. Pertanian Karo merupakan salah satu identitas suku karo yang terkenal dari hasil pertaniannya yang sudah mampu menembus pasar daerah, nasional dan bahkan sudah diekspor ke luar negeri. Pertanian Karo juga tidak akan lepas dari istilahAron, yang dalam terjemahan bahasa Indonesia secara luas, yakni bekerja sama. Masyarakat akan saling bekerja sama untuk mengelola lahan pertanian penduduk yang satu, dan begitu juga dengan penduduk yang dibantu tadi akan membantu penduduk yang satu lagi. Biasanya aron akan dilakukan ketika musim


(25)

merupakan salah satu penyumbang hasil-hasil pertanian di daerah Sumatera Utara, selain dari beberapa kabupaten yang berada dalam wilayah provinsi Sumatera Utara.

Lahan pertanian yang terbentang luas di dataran tinggi karo menjadi salah satu sumber pertanian unggulan di daerah Sumatera Utara. Tanah karo yang berbatasan langsung dengan kabupaten Deli Serdang, kabupaten Simalungun, Kabupaten Dairi dan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, yang di dalam nya ada terdapat gunung sinabung, gunung sibayak dan perbukitan yang mengakibatkan tanah di kabupaten Karo ini menjadi lahan subur dan sangat cocok untuk tanaman muda dan beberapa jenis tanaman tua. Pertanian karo juga sekaligus merupakan identitas budaya karo yang sesungguhnya. Kebudayaan karo yang dimaksudkan penulis merupakan hasil dari segala kegiatan masyarakat dalam budaya tersebut, membentuk struktur dan sistem pertanian yang menggabungkan antara pemakaian alat pertanian, teknik pemakaiann, dan pelaksanaan di lapangan. Pertanian sebagai identitas budaya Karo dapat kita temukan dalam segala aktivitas masyarakat Karo di setiap wilayah dataran tinggio Karo. Kebudayaan yang dimaksudkan penulis adalah segala aktivitas masyarakat yang memberikan cirri-ciri khusus mengenai kehidupan masyarakat Karo yang dalam hubungannya adalah menyangkut pertanian, cara mengelola lahan pertanian, ritual, peralatan yang digunakan hingga segala kegiatan yang berhubungan langsung dengan kegiatan menanam dan memanen hasil pertanian. Kerja Tahun merupakan salah satu kegiatan masyarakat

yang sudah dijalankan selama puluhan Tahun atau bahkan ratusan tahun.

Guro-guro aron merupakan upacara tahunan untuk mensyukuri atas hasil panen yang telah didapat oleh masyarakat Karo.


(26)

Ketika Kerja Tahun (pesta tahunan) diadakan, maka setiap keluarga yang mempunyai sanak famii di luar tanah Karo akan datang ke kampung mereka masing-masing untuk memeriahkan acara tersebut. Di dalam budaya Karo, pesta tahunan ini menjadi perayaan yang paling besar dalam budaya Karo. Hal ini dapat kita lihat selama adanya pesta tahunan di antara desa yang satu dengan yang lain, maka setiap keluarga yang mempunyai saudara di luar daerah tanah karo akan berusaha mengajak saudaranya agar mau berkunjung ke desa mereka masing-masing. Pesta tahunan antara desa yang satu dengan yang lain dilaksanakan dalam waktu yang berbeda, sebab kerja tahun merupakan perayaan yang diputusakan bersama kepala desa serta masyarakat yang ada di dalam lingkungan desa tersebut. Pesta tahunan ini juga menjadi ajang cari jodoh di tengah kaum muda-mudi. Ajang cari jodoh yang dimaksudkan penulis adalah, bahwa ketika pesta tahuna ini diselenggarakan, maka pemuda atau pemudi dari desa yang lain akan datang menghadiri dan memeriahkan pesta tahunan yang dilaksanakan oleh sutu desa. Kesempatan ini akan dipergunakan oleh muda-mudi untuk saling berkenalan, dan jika ada kecocokan di antara mereka maka hubungan itu juga akan berlanjut ke tahapan yang lebih serius, yakni perkawinan. Tidak jarang ditemukan satu pasangan akan melangsungkan perkawinan hanya mengalami masa perkenalan ketika pesta tahunan itu dilangsungkan.

Beda dengan Kerja Tahun (pesta tahunan), maka ada juga disebut dengan Guro-guro aron.Sebenarnya kedua hal ini hampir sama. Cuma jika pesta tahuna ini hanya dilaksanakan di daerah tanah karo (Karo Gugung), sedangkan perayaan Guro-Guro Aron ini dapat dilaksanakan di mana pun masyarakat Karo berada, yakni di luar dari tanah Karo. Misalnya suatu komunitas masyarakat Karo berada


(27)

di suatu wilayah di luar tanah Karo, maka komunitas ini dapat melaksanakan

perayaan Guro-Guro Aron. Guro-Guro Aron ini diadakan sebagai ungkapan

syukur kepada Sang Pencipta atas hasil panen, hasil kerja yang sudah diterima selama satu tahun.

Sebagai daerah yang mayoritasnya adalah suku karo, maka ada berbagai istilah dalam bahasa karo dalam hubungannya dengan sisterm pertanian karo, yakni nuan (musim menanam), ngrirak(musim perawatan tanaman), rani (musim panen), dan masih ada lagi bebrapa istilah yang menyangkut pertanian di dalam masyarakat karo dan menjadi identitas budaya Karo. Sistem pertanian Karo telah mampu menjadi daya tarik tersendiri bagi siapa saja yang pernah berkunjung ke Tanah Karo. Lahan pertanian Karo juga telah menjadi salah satu obyek wisata yang telah mampu menyita perhatian setiap wisatawan yang berasal dari dalam dan luar negeri yang ketika berkunjung ke tanah karo tersebut. Pemandangan yang memperlihatkan lahan pertanian ini membuat setiap wisatawan akan merasa kagum.

Dalam setiap ritual yang dilakukan oleh masyarakat Karo dalam hubungannya terhadap sistem pertanian di tengah masyarakat, masing-masing mempunyai maksud dan tujuan yang mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan pencipta atas segala apa yang ada. Dengan upacara tersebut, masyarakat diminta agar senantiasa bersyukur atas segala apa yang sudah mereka terima. Masyarakat juga diminta agar senantiasa mau menjaga kelestarian alam sehingga lingkungan yang mereka tempati akan memberikan hasil yang berguna untuk menopang kehidupan mereka dan keluarga masing-masing. Spiritualitas bertani yang dimiliki


(28)

masyarakat karo selama puluhan tahun menjadi cirri khas tersendiri dibandingkan dengan masyarakat yang berasal dari luar tanah Karo.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pertanian karo dan bagaimana cara mengolah lahan pertanian di daerah tanah karo tidak luput dari perkembangan jaman, yakni perkembangan teknologi yang sudah membawa perubahan dalam semua bidang kehidupan manusia, terutama dalam hubungannya terhadap pengelolaan lahan–lahan pertanian ,masyarakat karo. Cara pengelolaan itu telah mengubah sistem pertanian masyarakat karo, yang pada dahulu dilakukan dengan cara tradisional, maka sekarang ini lahan pertanian sudah disentuh dengan berbagai alat pertanian terbaru yang semuanya bertujuan untuk mencapai efisiensi kerja dan mampu memberikan hasil maksimal lagi dari setiap lahan pertanian yang dikelola. Pertanian karo hadir sebagai salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sekitanya, dan mampu menjadi sumber mata pencaharian di tengah masyarakat karo sekitarnya. Pertanian Karo juga sekaligus menjadi spiritualitas baru dalam bertani, dan mampu mengungkapkan nilai-nilai budaya yang ada.

Perkembangan jaman dan modernisasi dalam sektor pertanian juga telah mengubah pandangan masyarakat, terutama masyarakat Karo yang berada di daerah dataran tinggi Karo. Penggunaan peralatan pertanian yang terbaru dan juga penggunan herbisida dan pestisida menjadi salah satu cara untuk memberi hasil pertanian yang lebih besar lagi. Dengan penggunaan alat pertanian yang lebih modern lagi, maka akan lebih meminimalisir tenaga manusia dalam mengelola lahan pertanian, yang biasanya dilaksanakan secara tradisonal dan melibatkan sejumlah penduduk dalam mengelola lahan pertanian tersebut. Penggunaan


(29)

pestisida dan herbisida di dalam lahan pertanian dimaksudkan untuk menjaga tanaman dari serangan hama atau tumbuhan yang dapat mengganggu perkembangan tanaman di lahan pertanian tersebut.

Pandangan baru mengenai Spiritualitas bertani di dalam masyarakat karo melibatkan semua komponen dalam masyarakat dalam setiap pribadi dan mampu diintegrasikan dalam bentuk sinergitas di tengah masyarakat. Penulis beranggapan bahwa spiritualitas bertani di dalam masyarakat karo hendaknya dibangun atas rasa kepedulian terhadap lingkungan, mampu mengelola alam dengan baik dan adanya timbal balik antara pengelola alam dan perhatian terhadap alam itu juga. Hendaknya bukan hanya hasil yang besar yang hanya diharapkan oleh masyarakat dari alam tersebut, melainkan segala tindakan dalam hubungannya terhadap pengelolaan lahan pertanian itu juga memperhatikan etika alam, sehingga apa yang dikerjakan oleh masyarakat itu juga sesuai dengan nilai-nilai dan etika yang ada dalam bertani,

Sebagai suatu identitas budaya, spiritualitas bertani merupakan suatu hal yang harus dipelihara, dijalankan secara berkesinambungan, mempunyai akuntabilitas, sehingga nilai-nilai dari sistem pertanian dalam budaya Karo senantiasa terpelihara dengan baik. Masyarakat juga diminta tidak mengeksploitasi lingkungan dimana mereka berada, melainkan senantiasa menjaga keseimbangan lingkungan, sehingga lingkungan dan manusia menjadi satu kesatuan utuh dalam proses perjalanan waktu yang akan senantiasa berhadapan dengan perubahan cuaca dan perubahan waktu. Alam juga perlu diseimbangkan, sehingga dalam perjalanan waktu masyarakat mampu menjadi


(30)

pemerhati dan meminimalisir segala tidnakan yang mmapu merusak alam, trerutama di daerah tanah Karo.

Nilai-nilai budaya dalam masyarakat Karo dalam hubungnnya terhadap sisterm pertanian yang ada hendaknya senantiasa dipelihara, sehingga budaya karo dalam bertani menjadi salah satru contoh yang dapat ditiru oleh masyarakat lain. Pertanian Karo semestinya memberikan suatu pandangan, bahwa segala aktivitas dalam bertani di dalamnya terdapat spiritualitas yang mampu membuat setiap masyarakat semakin mampu menyatu dengan budaya, dengan masyarakat lain dan dengan alam. Kebudayaan yang bersifat dinamis itu akan senantiasa mengalami perubahan seturut perubahan lingkungan yang ada, maka semestinya kita menjaga dan memperhatikan nilai-nilai budaya bertani setiap kita melakukan aktivitas di lahan pertanian.

Jika budaya bertani itu senantiasa dilaksanakan dengan penuh kesadaran, maka penulis yakin bahwa pertanian karo akan mampu bertahan dan bersaing dengan daerah lain tanpa harus bergantung dari daerah lain. Penggunaan alat pertanian, pestisida dan herbisida, pupuk juga diharapkan bersifat tepat sasaran dan tidak merusak lingkungan, dan tidak berlebihan yang nantinya dapat merusak ekosistem yang ada. Masyarakat karo yang tinggal di dataran tinggi Karo merupakan salah satu masyarakat yang dikenal sebagai masyarakat yang hidup dari bidang pertanian. Pertanian menjadi cirri utama dalam kehidupan masyarakat Karo. Lahan pertanian menjadi penopang hidup masyarakat yang tinggal di daerah dataran tinggi Karo.

Semua harapan ke depannya akan terwujud jika masyarakat karo yang hidup dalam budaya pertanian dan menjadi suatu kebudayaan yang sangat


(31)

terkenal itu akan dapat dipertahankan jika setiap masyarakat selalu berusaha memberikan perhatian lebih terhadap alam, tanpa merusak dan selalu menjalaninya dengan penuh tanggung jawab. Bagaimana pun waktu akan selalu mengalami perubahan, namun penulis mengharapakan bahwa budaya bertani dalam masyarakat karo dan spiritualitas bertani yang dimiliki akan senantiasa mampu berjalan seturut perubahan waktu yang ada. Perubahan itu memang diperlukan, namun marilah kita mengalami perubahan ke arah yang positif dan mampu member kontribusi terhadap budaya bertani dan sekaligus menjadi identitas budaya Karo yang sesungguhnya. Semoga setiap masyarakat mampu mengelola lahan pertanian dengan selalu memperhatikan nilai-nilai yang ada. Budaya karo tetap terjaga, dan hasil pertanian semakin bertambah. Marilah kita kembali kepada nilai budaya, dan mari lah kita menyeimbangkan alam melalui budaya dan spiritualitas bertani yang tepat sasaran

2.3. Globalisasi

Teori globalisasi juga muncul sebagai akibat dari serangkain perkembangan internal teori sosial, khususnya reaksi terhadap prespektif seperti teori modernisasi. Diantara karakteristik dari teori ini adalah bias Westren-nya disesuaikan dengan perkembangan di barat dan bahwa ide di luar dunia barat tak punya pilihan kecuali menyesuiakan ide dengan ide barat.

Globalisasi data dianalisi secara kultural ekonomi, polemik dan atau institusioanl. Dalam masing-masing kasus, perbedaan kuncinya adalah apakah seseorang melihat homogenitas atau heterogenitas. Pada titik ekstrem, globalisasi kultur dapat dilihat sebagai ekspansi transnasional dari kode dan praktik


(32)

(homogenitas) atau sebagai proses di mana banyak input kultul; l. local dan global saling berinteraksi untuk menciptakan semacam perpaduan yang menorah ke pencangkokan kultur (heterogenitas). Teoritis yang memfokuskan pada faktor-faktor ekonomi cenderung menekankan arti penting dan efeknya yang bersifat homogenizing terhadap dunia. Mereka umumnya melihat globalisasi sebagai penyebaran ekonomi pasar ke seluruh kawasan dunia yang berbeda-beda.

Perspektif Neo-Marxian Kellner tentang Globalisasi. Kellner menfokuskan pada realitas kapitalisme sekarang dimana teknologi memegang peranan yang semakin penting, kellner mengalihkan perhatiannya kepada globalisasi dari perspektif ini dan yang lebih umum, beralih orientasi neo Marxian yang kritis, kunci untuk memahami globalisasi adalah menyusun teori tentangnya sebagai produk dari revolusi teknologi sekaligus restruktuisai global kapitalisme. Perspektif dialektis juga menjelaskan bahwa ada ciri-ciri progresif dan emansipatoris dari globalisasi dan kita harus mempertimbangkan keduanya. Perbedaan kuncinya dari perspektif dialektis, adalah perbedaan antara globalisasi yang dipaksakan dari atas dan globallisasi yang muncul dari bawah. Yang merupakan hal penting buat Kellner, dan refleksi dari prespektif dialektisnya, adalah pemikirannya tentang internet. Teknologi baru ini dipakai dengan berbagai macam cara untuk mempromosikan globalisasi kapitalis. Akan tetapi intentiv juga dipakai untuk memobilisasi orang-orang yang menentang globalisasi.

Giddens tentang “Runaway World” dan Globalisasi. Pandangan Giddens tentang globalisasi jelas terkait erat dan tumpang tindih dengan pemikirannya tentang juggernaut modernitas. Globalisasi juga mengandung dampak besar terhadap isu-isu yang merupakan perhatian utama giddens dan isu-isu yang telah


(33)

didiskusikan seperti keintiman dan aspek lain dari kehidupan sehari-hari. Dan Giddens melihat keterkaitan erat antara globalisasi dan risiko, khususnya munculnya apa yang dia namakan manufactured risk. Dia juga mengakui bahwa globalisasi adalah proses dua arah dengan amerika dan barat sebagai kawasan yang paling banyak terkena pengaruhnya. Lebih jauh dia mengatakan, globalisasi menjadi semakin decentred, dengan bangsa-bangsa di luar barat memainknan peran yang semakin besar didalamnya. Dia juga mengakui bahwa globalisasi melemahkan kultur local sekaligus membangkitkan kembali. Dia mengatakan bahwa globalisasi menyelinap kesamping menghasilkan area baru yang mungkin melintasi bangas-bangsa. Perbenturan utama yang terjadi ditingkat global dewasa ini adalah antara fundamental dengan kosmopolitanisme, pada akhirnya Giddens melihat munculnya masyarakat cosmopolitan global. Tetapi bahkan kekuatan utama yang menentangnya tradisionlisme merupakan produk dari globalisme. Fundamentalis dapat mengambil bermacan-macam bentuk, agama etnis, nasionalis, politik tetapi apapun bentuknya menurut Giddens bahwa benar untiuk menganggap fundamentalisme sebagai sebuah problem. Fundamentalisme dekat kemungkinan kekerasan dan fundamentalisme adalah lawan dari nilai-nilai cosmopolitan.

Beck dan Politik Globalisasi. Globalisme adalah pandangan bahwa dunia didominasi oleh perekonomian dan kita menyaksikann munculnya hegemoni pasar dunia kapitalis dan ideologi neoliberalis yang menopangnya, menurut beck, ini melibatkan pemikiran line dan monokausal. Multi dimensionalitas dari perkembangan global, ekologi, politik kultur, dan masyarakt sipil. Sementara beck mengkritik globalisme, dia melihat bnayak kebaikan dalam ide globalitas dimana


(34)

ruang-ruang tertutup, khususnya yang diasosiasikan dengan bangsa, semakin ilusif. Ruang-ruang itu menjadi ilusif karena globalisasi atau proses-proses melaluinya negara yang berdaulat dimasuki dan dilemahkan oleh actor-aktor transnasional, dengan berbagai macam prospek kekuasaan , orientasi, identitas dan jaringan. Globalitas adalah proses baru setidaknya karena tiga alasan. Pertama, pengaruhnya atas ruang geografis jauh lebih ekstensif. Kedua pengaruhnya atas waktu jauh lebih stabil dan terus berlanjur dari waktu ke waktu, ketiga ada densitas yang lebih besar untuk jaringan transnasional, hubungan dan arus pekerjaan jaringan. Beck juga mendaftar sejumlah hal lainnya yang mencolok yang berkaitan dengan globalitas ketika membandingkannya dengan manifestasi lain dari transnasional. Ini membuat Beck memperbaiki yang terdahulu tentang modernitas dan menyatakan globalitas, bersama dengan ketidakmampuan untuk

membalikannya, diasosiasikan dengan apa yang dia sebut sebagai second

modernity.

Bauman tentang Konsekwensi Globalisasi. Bauman melihat globalisasi dari segi perang ruang. Pemenang dari perang ruang ini adalah mereka yang mobile, mampu untuk bergerak secara bebas keseluruh dunia dan dalamproses untuk menciptakan makna bagi diri mereka sendiri. Mereka dapat mengambang relative bebas di atas ruang dan ketika mereka harus mendarat diatas tempat, mereka mengisolasikan diri mereka dalam ruang yang tertutup dan terjaga di mana mereka aman dari ganguan orang-orang yang kalah dalam peperangan ruang tersebut.

Akan tetapi adalah penting untuk membedakan di antara orang-orang yang setidaknya memiliki mobilitas, contoh turis adalah mereka yang bergerak karena


(35)

mereka menginginkan. Kemanusian para pengembara yang berefek karena merasa lingkunganya tak tertahan dan tak bersahabat karena sejumlah alasan..

Bauman menempatkan perbedaan ini dalam konteks perjanjian utama kita apa yang sekarang diklaim sebagai globalisasi disesuaikan dengan mimpi-mimpi dan keinginan turis, akan tetapi sebagian besar orang berada di antara dua titik ekstrem ini dan merasa tidak sebagai besar orang berbeda diantara dua titik esktrem ini dan merasa tidak berasal. Pada saat itu bahkan pasti bahwa mereka akan bisa melihat cahaya esok hari. Jadi globalisasi berarti kegelisahan bagi semua orang.

Ritzer tentang “Globalization of Nothing”. Sesuatu bukan akibat dari sesuatu yang lain, tetapi cenderung bervariasi bersama-sama. Jadi globalisasi cenderung menyebarkan nothing ke seluruh dunia. yang nothing oleh Ritzer adalah bentuk yang dibayang dan di control secara sentral yang kosong dari isi yang distintif dan semua sebagian besar kosong dari distintif dan sedang mengglobal. Ke empat tipe itu adalah non-place, nothing, non-people, non-service jadi argument dasarnya adalah bahwa globalisasi membawa penyebaran nothingness ke seluruh dunia.

2.4. Strategi Adaptasi

Didalam dunia antropologi, khususnya Antropologi Ekologi terdapat suatu konsep yang menurut saya cukup unik dan masih relevan kita bicarakan hingga kini. Konsep tersebut adalah konsep tentang adaptasi. Kita harus memahami latarbelakang munculnya teori adaptasi ini dimana ketika itu ilmu pasti menjadi “dewa” dalam paradigma perkembangan teori ilmu sosial, khususnya antropologi.


(36)

Konsep-konsep biologi dan ilmu pasti dijadikan dasar untuk menjelaskan fenomena-fenomena sosial yang ada. Tidak mengherankan jika secara epistemologi teori adaptasi ini mempunyai sifat alur penalaran yang menurut saya sangat deduktif, yaitu mencoba menalar suatu gejala sosial dengan penalaran bangunan konseptual terlebih dahulu untuk menjelaskanya. Ini berbeda memang dengan kebanyakan teori sosial dalam antropologi kemudian yang banyak mendasarkannya pada proses penalaran induktif dari gejala empiris terlebih dahulu kemudian ke bangunan konseptual. Ciri deduktif ini memang sangat kental dalam era perkembangan teori ekologi yang awalnya banyak dibangun oleh para ahli ekologi, seperti Julian Steward, Marvin Harris, Marshal Sahlin, dll. Dan memang wajar karena domain ilmiah itu adalah terukur atau kebenaran sejati itu sesungguhnya adalah ukuran-ukuran yang jelas, menjadi dasar pemahaman para antropolog saat itu.

Konsep adaptasi datangdari dunia biologi, dimana ada 2 poin penting yaitu evolusi genetik, dimana berfokus pada uimpan balik dari interaksi lingkungan, dan adaptasi biologi yang berfokus pada perilaku dari organisme selama masa hidupnya, dimana organisme tersebut berusaha menguasai faktor lingkungan, tidak hanya faktor umpan balik lingkungan, tetapi juga proses kognitif dan levelgerak yang terus-menerus. Adaptasi juga merupakan suatu kunci konsep dalam 2 versi dari teori sistem,baik secara biological, perilaku, dan sosial yang dikemukakan oleh John Bennet (Bennet, 249-250). Asumsi dasar adaptasi berkembang dari pemahaman yang bersifat evolusionari yang senantiasa melihat manusia selalu berupaya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan alam sekitarnya, baik secara biologis/genetik maupun secara budaya. Proses adaptasi


(37)

dalam evolusi melibatkan seleksi genetik dan varian budaya yang dianggap sebagai jalan terbaik untuk menyelesaikan permasalahan lingkungan. Adaptasi merupakan juga suatu proses yang dinamik karena baik organisme maupun lingkungan sendiri tidak ada yang bersifat konstan/tetap (Hardestry,45-46). Sedangkan Roy Ellen membagi tahapan adaptasi dalam 4 tipe. Antara lain adalah (1) tahapanphylogenetic yang bekerja melalui adaptasi genetik individu lewat seleksi alam, (2) modifikasi fisikdari phenotype/ciri-ciri fisik, (3) proses belajar, dan (4) modifikasi kultural. Modifikasi budaya bagi Ellen menjadi supreme atau yang teratas bagi homo sapiens, dimana adaptasi budaya dan transmisi informasidikatakannya sebagai pemberi karakter spesifik yang dominan. Manusia dilahirkan dengan kapasitas untuk belajar seperangkat sosial dan kaidah-kaidah budaya yang tidak terbatas. Sehingga kemudian fokus perhatian adaptasi menurut Rot Ellen seharusnya dipusatkan pada proses belajar, dan modifikasi budayanya.

Dasar pembagian keempat tipe adaptasi di atas, berdasarkan atas laju

kecepatan mereka untuk dapat bekerja secara efektif. Seperti adaptasi

phylogenetik, dibatasi oleh tingkatan bagaimana populasi dapat bereproduksi dan berkembangbiak. Modifikasi fisik bekerja lebih cepat, akan tetapi tetap tergantung pada perubahan somatik dan akomodasi yang dihubungkan dengan pertumbuhan fisik dan reorganisasi dari tubuh. Sedangkan proses belajar, tergantung dari koordinasi sensor motor yang ada dalam pusat sistem syaraf. Disini ada proses uji coba, dimana terdapat variasi dalam waktu proses belajar yang ditentukan oleh macam-macam permasalahan yang dapat terselesaikan. Adaptasi kultural proses bekerjanya dianggaplebih cepat dibandingkan ke-3 proses diatas karena ia dianggap bekerja melaluidaya tahan hidup populasi dimana masing-masing


(38)

komuniti mempunyai daya tahan yang berbeda berdasarkan perasaan akan resiko, respon kesadaran, dan kesempatan.Sifat-sifat budaya mempunyai koefisiensi seleksi, variasi, perbedaan kematian-kelahiran, dan sifat budaya yang bekerja dalam sistem biologi.

Daya tahan hidup populasi tidak bekerja secara pasif dalam menghadapai kondisi lingkungan tertentu, melainkan memberikan ruang bagi individu dan populasi untuk bekerja secara aktif memodifikasi perilaku mereka dalam rangka memelihar kondisi tertentu, menanggulangi resiko tertentu pada suatu kondisi yang baru, atau mengimprovisiasi kondisiyang ada. Beberapa adaptasi juga adalah kesempatan, efek dari sosial dan praktek kulturalyang secara tidak sadar mempengaruhinya. Proses adaptif yang aktual mungkin merupakan kombinasi dari ke-3 mekanisme tersebut diatas. Misalnya, variasi dalam praktek kultural mungkin meningkat karena kesempatan/tekanan pada sumber-sumber daya /group. Sehingga adaptasi bisa kita sebut sebagai sebuah strategi aktif manusia dalam menghadapi lingkungannya. Adaptasi dapat dilihat sebagai usaha untuk memelihara kondisi kehidupan dalam menghadapi perubahan. Dengan demikian definisi adaptasi selalu berkaitan erat dengan pengukuran, dimana tingkat keberhasilan suatu organisme dapat bertahan hidup. Sejauh mana, dapat dikenali bahwa adaptasi dapat dikatakan berhasil atau tidak.

Adaptasi yang dilakukan populasi sebagai suatu keseluruhan yanglengkap/ bulat adalah lebih menjanjikan hasil dari tekanan seleksi variasi pada dimana ini menjadi subyek dan dari tingkat penvariasian resistensi pada adapatasi dalam tujuan yang bebeda. Adaptasi tidak selalu dihubungkan pada penegasan lingkungan secara normatif, tetapi dalam beberapa hal pada pola dari lingkungan


(39)

atau hanya kondisi yang extreme. Adaptasi seharusnya dilihat sebagai respon kultural atau proses yang terbukapada proses modifikasi dimana penanggulangan dengan kondisi untuk kehidupan oleh reproduksi selektif danmemperluasnya. Ukuran-ukuran bekerja berdasar pada adapatasi yang dilibatkan, dan lebih penting lagi, pada bahaya/resiko yang mana perubahan adalah adaptif. (Hardestry

Populasi adalah faktor yang penting dalam hubungannya dengan lingkungan. Suasana yang penuh kelimpahan, lokasi dan cuaca yang ada untuk mendapatkan makanan di alam bebas membatasi ukuran dan memebutuhkan ruang kehidipanb bagi pemburu-meramu (Spradley &; McCurdy, 189-190). Populasi merupakan variabel/faktor yang penting dalam ekologi karena menjaga keseimbangan antara ketersediaan sumber alamdan pemakaiannya (Stanley A. Freed &; Ruth S. Freed, 220-226).

, 243)

Adaptasi populasi adalah melihat hubungannya dengan habitatnya. Konsep dari adapatasi ini adalah historikal: ketika berbicata tentang populasi beradapatasi adalah hubungannya dengan haitatnya dimana dimaksudskan, untuk habitat membuat sesuai dimana tempatnya untuk hidup, atau membuat dirinya sendiri lebih mensesuaikannya untuk hidup dalam habitat (Cohen,3). Jadi ketika mengatakan bahwa kelompok manusia telah beradapatsi dengan habitatnya, ketika telah tercipta /dicapai dan memlihara hubungan yang bergairah/hidup dengan habitatnya. Adaptasi ini merupakan daya tahan/kelangsungan hidup kelompkk, reproduksi, dan fungs-fungsi yang efektif dalam rangka agar elemen-elemen ini bekerja sesuai dengan tugasnya.Pencapaian dari tipe dari hungan yang semangat/bergairah selelau meruipakan hasil modifikasi reprokal dalam budaya


(40)

dan haitat melalui perubahan dlam sistem energi kelompok dan organisasi hubungan sosial selam periode yang panjang.

Aspek historikal dari proses adaptasi adalah apa yang kita sebut dengan evolusi kebudayaan, dengan apa kita maksud dengan proses dari perubhan sekuen dari apa yang kita lihat dari kubudayaan . Dalam antroplogi ketika berbicara tentang adaptasi, kita memfokuskan diri kepada kelompok sosial, tidak dengan individual person. Kelompok ini (institusi/organisasi) tidak sewcara langsung teramati, mereka merupakan abstraksi dari perilaku individula yang diamati.Lebih spesifik, kita berbicaratentang instusi yang ada dalam masayarakat, tetapi yang kita pelajari adalah individu. Disana ada 2 alasan prinsip untuk ini, yang berhubungan antara satu dengan yang lain. Pertama adalah pertimbangan praktikal dan yang kedua adalah teorikal (cohen).Respon Adaptif individuyang dipelajari dapat ditransmisikan kepada yang lain secara independen membawa sifat. Dalam prakteknya, adaptasi manusia terhadap lingkungan yang khusus melibatkan kombinasi dari tipe-tipe modifikasi yang berbeda ini (Roy Ellen, 1982: 237-238). Respon perilaku dianggap mempunyai respon kecepatan yang tinggi dan secara khusus menysesuaikan diridengan fluktuasi perubahan lingkungan. Dibandingkan proses adapatif yang bersifat genetik dan fisik, perilaku adalah respon yang dianggap paling cepat dari apa yang organisme dapat lakukan. Apabilamengacu pada proses belajar,respon perilaku tersebut dianggap pula merupakan tingkatan adaptasi yang paling fleksibel.

Menurut Hardestry,ada 2 macam perilaku yang adaptif, yaituperilaku yang bersifat idiosyncratic (cara-cara unik individu dalam mengatasi permasalahan lingkungan) dan adaptasi budaya yang bersifat dipolakan, dibagi rata sesama


(41)

anggota kelompok, dan tradisi.Bagi hardestry, adaptasi dilihat sebagai suatu proses pengambilan ruang perubahan, dimana perubahan tersebut ada di dalam perilaku kultural yang bersifat teknologikal (technological), organisasional, dan ideological. Sifat-sifat kultural mempunyai koefisiensi seleksi seperti layaknya seleksi alam, sejak tedapat unsur variasi, perbedaan tingkat kematian dan kelahiran, dan sifat kultural yang bekerja melalui sistem biologi. Proses adaptif yang aktual sedapat mungkin merupakaa kombinasi dari beberapa mekanisme biologis dan modifikasi budaya tersebut diatas. Sehingga adaptasi dapatlah disebut sebagaisebuah strategi aktif manusia (Hardestry, 238-240). Adaptasi dapat dilihat sebagai usaha untuk memelihara kondisi kehidupan dalam menghadapi perubahan. Definisi adaptasi tersebut kemudian berkaitan erat dengan tingkat pengukuran yang dihubungkan dengan tingkat keberhasilannya agar dapat bertahan hidup. Adaptasi seharusnya dilihat sebagai respon kultural atau proses yang terbukapada proses modifikasi dimana penanggulangan dengan kondisi untuk kehidupan oleh reproduksi selektif dan memperluasnya(Hardestry,243). Dinamika adaptif mengacu pada perilaku yang didesain pada pencapaian tujuandan kepuasan kebutuhan dan keinginan dan konsekuensi dari perilaku untuk individu, masyarakat, dan lingkungan. Ada 2 mode analitik utama pada perilaku ini: yaitu tindakan individu yang didesain untuk meningkatkan produkstifitasnya, dan mode yangdiperbuat oleh perilaku interaktif individu dengan individu lain dalam group, yang biasanya dibangun oleh aturanyang bersifat resiprositas.Perilaku interakstif tersebut didesain juga untuk memenuhi akhir tujuan dan beberapanya menjadi instrumental.


(42)

Konsep kunci adaptasi pada tingkat sosial individu kemudian menjadi perilaku adaptif, tindakan strategik dan sistensis dari keduanya yang disebut strategi adaptif. Perilaku adaptif merupakan term yang lebih umum dan mengacu pada bentuk perilaku yang menyesuaikan pada tujuan, pencapaian kepuasan, danputusan. Tindakan strategik, dianggap lebih spesifik dan mengacu pada kepentingan khusus yang dipunyai sang aktor. Dalam tindakan stratejik sendiri terdapat konsep yang meliputinya seperti rasionalitas, maksimalisasi, orientasi pencapaian, Homo faber dll. Term ke-3, yaitu strategi adaptif, adalah komponen dari tindakan strategi atau tindakan spesifik dengan tingkatan prediksi keberhasilan, dimana diseleksi oleh individu dalam menentukan keputusannya (Hardestry,271-272).

Dalam perkembangannya sekarang, dalam perdebatan post-modern yang berdebat tentang soal pencarian kebenaran sejati dan darimana kebenaran itu datang, relevansi teori adaptasi mulai kembali dibicarakan. Ada beberapa kritik penting menurut saya yang patut dialamatkan pada teori adaptasi ini, antara lain:

1. Tidak dipungkiri bahwa teori adaptasi muncul akibat pemahaman ketika

itu bahwa ilmu dapat dikatakan supreme jika ia bisa menunjukkan sisi keilmiahannya, dalam artian ketika itu ilmiah terukur jelas, sehingga acuannya adalah ilmu pasti atau ilmu alam. Demikiann juga dalam teori adaptasi ini, ia menunjukkan bahwa perbedaan tahapan dan tataran tingkatan kebudayaan manusia mana yang dianggap paling unggul. Ini terkait dengan tingkat strategi adaptasi masing-masing kebudayaan komuniti tersebut. Aroma paham evolusionisme memang sangat kental disini. Ukuran-ukuran kemajuan dalam perubahan juga nampak dalam


(43)

teori adaptasi ini. Misalnya bagaimana perbedaan strategi suatu peradaban terhadap lingkungan sehingga ia berlanjut maju dan sustain, dan kebudayaan mana yang kemudian mati sedemikian rupa karena tidak mampu beradaptasi. Ada pandangan akan tingkatan perbedaan kebudayaan disini. Pertanyaanya adalah adaptasi manusia terhadap alam seperti apakah yang mampu dianggap merubah manusia ke arah yang lebih baik daripada sebelumnya ? Dan siapa yang menentukan apa dan mana yang baik untuk suatu komuniti tertentu itu.

2. Dalam teori adaptasi ini menurut saya peran manusia secara kultural agak dikesampingkan. Lebih banyak menurut saya bagaimana lingkungan atau alam disebut sebagai faktor utama perubahan dalam diri manusia tersebut. Ini seakan memberikan penjelasan manusia mempunyai andil yang kecil dalam perubahan dan hanya mengikuti insting atas perubahannya terhadap alam. Ini bertolak belakang dengan pandangan yang menyatakan bahwa sesungguhnya manusia itu sendirilah kunci dari perubahan itu sendiri.

3. Pandangan alur penalarannya yang menurut saya sangat deduktif. Tentu

saja ini bukan masalah salah dan benar, tapi bagaimana sesungguhnya kita melihat gejala sosial secara benar.Maksudnya memang ingin seobyektif mungkin untuk memenuhi kaidah ke-ilmiahannya, namun tidak salah juga menjadi subyektif saya pikir.


(44)

2.5. Perubahan Sosial

Perdebatan mengenai perubahan sosial sering sekali memberikan penafsiran yang berbeda. Konstruksi pemikiran tentang perubahan yang dibangun sering sekali tidak komprehensif dan menyeluruh sehingga perubahan sosial merupakan konsep yang sulit dipahami

Perubahan sosial dapat di analisa dari berbagai macam sudut pandang,: ke “arah” mana perubahan dalam masyarakat itu “bergerak” (direction of change)”, yang jelas adalah bahwa perubahan itu bergerak meninggalkan faktor yang diubah. Akan tetapi setelah meninggalkan faktor itu mungkin perubahan itu bergerak kepada sesuatu bentuk yang baru sama sekali, akan tetapi boleh pula bergerak kepada suatu bentuk yang sudah ada di dalam waktu yang lampau. (Prasetyo, 2012).

. Memahami perubahan pasti tidak akan lepas dari persoalan mengenai nilai dan norma sosial, pola-pola perilaku organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan sebagainya. Sebagai unsur dari sistem sosial manusia akan selalu terkait/terhubung dengan manusia lain. Konsekuensi dari keterkaitan/hubungan itu adalah manusia akan berinteraksi baik antar individu, individu dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok.

Soekanto (2006 menjelaskan bahwa perubahan-perubahan itu dapat berupa perubahan dalam hal nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola perilaku organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan lain sebagainya.

Keberagaman sudut pandang ini pula yang di lihat oleh London (1996) bahwa dari berbagai macam penelitian dan tulisan mengenai perubahan sosial


(45)

sebagian besar berfokus pada perlawanan dari sistem sosial, bagaimana dan mengapa mereka menolak perubahan daripada proses perubahan itu sendiri. Ini mungkin ada hubungannya dengan sifat ambigu dari konsep yang dipakai oleh masing-masing peneliti datu penulis.

“While a great deal has been written about social change in the fields of history, sociology, organizational theory, and even psychology, much of it focuses on the recalcitrance of social systems — how and why they resist change — rather than the change process itself. This may have something to do with the ambiguous nature of the concept. First, there seems to be little consensus about what constitutes change. The causes, the processes, and the effects of change are often spoken of as if they are one and the same thing. Second, it is notoriously difficult to measure change — how do you know when a change has taken place? And third, change occurs on many levels — cultural, social, institutional, and individual — and it is often hard to draw clear distinctions between them. Sometimes change occurs spontaneously on several levels at once. This problem is especially troublesome given the specialization of academic research today. Psychologists, physicists, and anthropologists rarely exchange notes and so the connections between, say, complexity theory and cultural change are easily missed. As a result, the academic literature is brimming with definitions of change and yet the confusion is as great as ever. (London, 1996)

Dari apa yang di utarakan oleh London (1996) di atas maka dapat dilihat bahwa penyebab, proses, dan efek dari perubahan sering sekali didiskusikan secara bersamaan dan dianggap sebagai suatu hal yang sama. Padahal unsur-unsur tersebut tidaklah sama dan akan menimbulkan kerancuan dalam membahas perpektif teori perubahan. Demikian juga dengan mengukur perubahan merupakan suatu hal yang sulit.

Berdasarkan hal di atas maka sebenarnya tidak ada satu acuan baku yang dapat disepakati bersama mengenai pengelompokan teori perubahan tersebut. Masing-masing pengelompokan mempunyai kriteria yang dianggap benar. Dari


(46)

beberapa literature yang dibaca dapat dijelaskan beberapa pengelompokan teori perubahan diantaranya:

1.

2.

Dilihat dari masa waktu keluarnya teori tersebut maka akan di kelompokkan menjadi Klasik dan Kontemporer (Ritzer and J. Goodman, 2004)

Dilihat dari bentuk perubahan (Soekanto, 2006)

a.

maka teori perubahan dapat di kelompokan menjadi

Evolusi dan Revolusi, b. Perubahan Kecil dan Besar

Perubahan Lambat dan Perubahan Cepat

c. Intended-change/planned-change dan unitended-

change/Unplanned-change

3. Dilihat dari model interpretasinya dikelompokkan menjadi Tradisional,

Liberal dan Radikal ( 4.

blog.ub.ac.id) Dilihat dari p

a. Teori Perkembangan (linear) – Evolusi dan Revolusi

erspektif teoritis teori perubahan dapat dibagi ke dalam empat bagian besar yaitu:

b. Teori Siklus

c. Teori Struktural Fungsional d. Teori Konflik

2.5.1. Teori Perkembangan (Linear)

Teori perkembangan (linear) merupakan bagian dari kelompok teori perubahan sosial yang melihat perkembangan sistem sosial dari kecepatan berubahnya. Pembagiannya dibagi menjadi dua bagian yaitu Evolusi dan Revolusi.


(47)

Teori Evolusi boleh dibilang melekat pada sosok Charles Darwin. Bukunya Origin of Species dianggap sebagai peletak dasar teori evolusi dalam ilmu pengetahuan. Lalu, di manakah posisi Herbert Spencer? Faktanya, Spencer lebih awal memunculkan gagasan teori evolusi ketimbang Darwin. Spencer

mengenalkan konsep evolusi sosial dalam bukunya Social Statics pada 1850,

sembilan tahun sebelum Darwin menulis Origin of Species (1859). Spencer

(1897) menguraikan teori evolusi secara mendalam dalam The Principles of

Sociology yang terbit 1897 di New York. Dalam buku ini Spencer menyebut kata “evolusi” dalam beragam variannya sebanyak 249 kali, termasuk kutipan langsung dan daftar isi

Teori evolusioner memiliki paham bahwa perubahan sosial memiliki arah yang tetap yang dilalui oleh semua masyarakat. Semua masyarakat melalui urutan pertahapan yang sama dan bermula dari tahap perkembangan awal menuju tahap perkembangan akhir. Di samping itu teori evolusioner mengatakan bahwa manakala tahap terakhir telah dicapai, maka pada saat itu perubahan evolusioner pun berakhir.

Teori ini pada dasarnya berpijak pada perubahan yang memerlukan proses yang cukup panjang. Dalam proses tersebut, terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui untuk mencapai perubahan yang diinginkan. Ada bermacam-macam teori tentang evolusi. Teori tersebut digolongkan ke dalam beberapa kategori, yaitu unilinear theories of evolution, universal theories of evolution, dan multilined theories of evolution,


(48)

a. Unilinear Theories of Evolution

Auguste Comte dan Herbert Spencer adalah tokoh yang layak untuk menjadi referensi bagi teori ini. Teori ini melihat bahwa proses perubahan akan mengikuti tahapan-tahapan tertentu dari bentuk yang sederhana ke bentuk yang lebih kompleks sampai mencapai kesempurnaan.

b. Universal Theories of Evolution

Teori ini menyatakan bahwa perkembangan masyarakat tidak perlu melalui tahap-tahap tertentu yang tetap. Kebudayaan manusia telah mengikuti suatu garis evolusi tertentu. Menurut Herbert Spencer, prinsip teori ini adalah bahwa masyarakat merupakan hasil perkembangan dari kelompok homogen menjadi kelompok yang heterogen.

c. Multilined Theories of Evolution

Teori ini lebih menekankan pada penelitian terhadap tahaptahap perkembangan tertentu dalam evolusi masyarakat. Misalnya mengadakan penelitian tentang perubahan sistem mata pencaharian dari sistem berburu ke sistem pertanian menetap dengan menggunakan pemupukan dan pengairan.

Menurut Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, (Horton dan Hunt, 1989) ada beberapa kelemahan dari Teori Evolusi yang perlu mendapat perhatian, di antaranya adalah sebagai berikut.

a. Data yang menunjang penentuan tahapan-tahapan dalam masyarakat


(49)

b. Urut-urutan dalam tahap-tahap perkembangan tidak sepenuhnya tegas, karena ada beberapa kelompok masyarakat yang mampu melampaui tahapan tertentu dan langsung menuju pada tahap berikutnya, dengan kata lain melompati suatu tahapan. Sebaliknya, ada kelompok masyarakat yang justru berjalan mundur, tidak maju seperti yang diinginkan oleh teori ini.

c. Pandangan yang menyatakan bahwa perubahan sosial akan berakhir pada

puncaknya, ketika masyarakat telah mencapai kesejahteraan dalam arti yang seluas-luasnya. Pandangan seperti ini perlu ditinjau ulang, karena apabila perubahan memang merupakan sesuatu yang konstan, ini berarti bahwa setiap urutan tahapan perubahan akan mencapai titik akhir.

Pada evolusi, perubahan- perubahan terjadi dengan sendirinya, tanpa suatu rencana ataupun suatu kehendak tertentu. Perubahan- perubahan terjadi oleh karena usaha- usaha masyarakat untuk menyusaikan diri dengan keperluan- keperluan, keadaan-keadaan dan kondisi-kondisi baru, yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat. Rentetan perubahan-perubahan tersebut, tidak perlu sejalan dengan rentetan peristiwa –peristiwa di dalam sejarah masyarakat yang bersakutan.

Berikut di bawah ini diuraikan sekilas tentang tokoh yang berpengaruh pada kelompok teori ini.

Auguste Comte

Dalam bukunya, Positive Philosophy (1851-1854), Comte menulis tentang tiga tingkatan yang pasti dilalui pemikiran manusia yaitu: teologis, metafisik (atau filosofis), dan akhirnya positif (atau ilmiah). Comte berpendapat bahwa masyarakat mempunyai kedudukan yang dominan terhadap pribadi. Tahap


(50)

teologis yang menjadi karakteristik dunia sebelum era 1300. Dalam era ini system gagasan utamya menekankan pada keyakinan bahwa kekuatan adi kodrati, tokoh agama dan keteladana kemanusiaan menjadi dasar segala sesuatu. Tahap Metafisik yang terjadi antara tahun 1300-1800 ditandai dengan keyakinan bahwa kekuatan abstraklah yang menerangkan segala sesuatu, bukan dewa-dewa personal. Tahap berikutnya adalah tahap positivistic yang ditandai keyakinan terhadap sains (ilmu). (Ritzer and J. Goodman, 2004)

“Comte's idea of positivism is based on the premise that everything in society is observable and subject to patterns or laws. These laws could help to explain human behavior. Comte did not mean that human behavior would always be subjected to these "laws"; rather, he saw positivism as a way of explaining phenomena apart from supernatural or speculative causes” (Delaney, 2003)

Dalam tulisannya mengenau auguste Comte, Tim Delanel menyatakan hal yang menarik tentang Comte:

Comte dikenang sampai hari ini dalam sosiologi untuk memperjuangkan nya positivisme. Gagasan Comte positivisme didasarkan pada premis bahwa segala sesuatu di masyarakat diamati dan tunduk pada pola atau hukum. Hukum-hukum ini bisa membantu menjelaskan perilaku manusia. Comte menyatakan tidak berarti bahwa perilaku manusia akan selalu tentang "hukum", melainkan, ia melihat positivisme sebagai cara untuk menjelaskan fenomena terlepas dari penyebab supranatural atau spekulatif. Hukum perilaku manusia hanya bisa didasarkan pada data empiris. Dengan demikian, positivisme didasarkan pada penelitian yang dipandu oleh teori, premis yang tetap landasan sosiologi hari. Comte percaya bahwa positivisme akan menciptakan teori suara berdasarkan bukti faktual yang cukup dan perbandingan historis untuk memprediksi kejadian masa


(51)

depan. Penemuan hukum dasar perilaku manusia akan memungkinkan untuk kursus yang disengaja tindakan pada bagian dari baik individu dan masyarakat. Pengambilan keputusan dipandu oleh ilmu pengetahuan akan, memang, menjadi positif

Darwin

Darwinisme Sosial merupakan istilah yang menjelaskan proses evolusi masyarakat berdasarkan teori evolusi Charles Darwin (1809-1892). Menurut teori evolusi Darwin, spesies akan beradaptasi dengan lingkungannya untuk mempertahankan hidup. Sebagian dari mereka, yang tidak mampu menyesuaikan diri, akan punah, sedangkan yang dapat menyesuaikan diri akan bertahan hidup. Bahkan, dalam waktu yang lama bisa menghasilkan spesies baru. Gagasan tentang teori evolusi mulai populer di berbagai kalangan intelektual, bukan hanya dalam biologi, pada pertengahan abad ke-19. Dan sampai saat ini kita mengenal istilah evolusi sosial ala evolusi Darwin atau istilah lainnya darwinisme sosial . Frasa “survival of the fittest” sendiri diciptakan oleh tokoh sosiologi Inggris Herbert Spencer (1820-1903) untuk menjelaskan perkembangan masyarakat menurut perspektif historis. Salah satu bentuk darwinisme sosial yang paling terkenal adalah eugenics (konsep pemisahan gen baik dan gen buruk). Eugenics terkenal di Inggris dan Amerika Serikat pada akhir abad kesembilan belas, di mana konsep ini kemudian digunakan untuk memisahkan individu keturunan yang baik dengan yang buruk. Misalnya, para penjahat atau orang bodoh harus dipisahkan dengan

mereka yang berasal dari keturunan orang baik-baik. Eugenics juga pernah

digunakan oleh Hitler dan partainya, Nazi, pada tahun 1930-an.


(52)

Herbert Spenser

Spencer adalah orang yang pertama kali memperkenalkan konsep Survival of the fittest atau yang kuatlah yang akan menang dalam bukunya Social Statics yang terbit pada tahun 1850. Konsep ini untuk menggambarkan kekuatan fundamental ilmu biologi yang menjadi dasar perkembangan evolusioner. Konsepsi ini dipengaruhi karya Thomas R. Malthus mengenai tekanan kependudukan, An Essay on the Principle of Population (1798). sinya konsepnya antara lain adalah perjuangan untuk dapat bertahan bagi suatu masyarakat atau bagi beberapa masyarakat agar menghasilkan keseimbangan karena perubahan yang terjadi dari keadaan yang homogen yang tidak terpadu menjadi heterogen yang terpadu. (Ritzer dan Goodman, 2007).

Dalam tulisannya John Offer mengungkapkan bahwa sebenarnya Spencer telah mengeluarkan karya tentang evolusi sebelum Darwin.

“Spencer's theoretical dispositions were pre-Darwinian in form, nourished by the traditions of evolutionary deism and natural theology. His focus, definitively established in First Principles (1862), was on the nature and overall beneficent direction of change in general, arising from the cumulative deterministic adaptation of organisms and the successes they exhibited, instead of their elimination.”(Offer, 2008)

Sembilan tahun kemudian teori evolusioner karya Darwin terbit. Spencer dan Darwin melihat adanya persamaan antara evolusi organisme dengan evolusi sosial. Evolusi sosial adalah serangkaian perubahan sosial dalam masyarakat yang berlangsung dalam waktu lama yang berawal dari kelompok suku atau masyarakat yang masih sederhana dan homogen kemudian secara bertahap menjadi kelompok suku atau masyarakat yang lebih maju dan akhirnya menjadi masyarakat modern yang kompleks (Horton dan Hunt, 1989).


(53)

Soekanto (1990) mendefinisikan evolusi sebagai serentetan perubahan kecil secara pelan-pelan dan kumulatif yang terjadi dengan sendirinya dan memerlukan waktu lama. Evolusi dalam masyarakat adalah serentetan perubahan yang terjadi karena usaha-usaha masyarakat tersebut untuk menyesuaikan diri dengan keperluan, keadaan, dan kondisi baru yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat. Perubahan ini tidak harus sejalan dengan rentetan peristiwa di dalam sejarah masyarakat yang bersangkutan. Spencer berpendapat bahwa pribadi mempunyai kedudukan dominan dalam struktur masyarakat. Dia menekankan bahwa pribadi merupakan dasar struktur sosial, meskipun masyarakat dapat dianalisis pada tingkat struktural. Struktur sosial suatu masyarakat dibangun untuk memungkinkan anggotanya memenuhi berbagai keperluan. Oleh karena itu, banyak ahli memandang Spencer bersifat individualistis. Terkait ketertarikannya pada perkembangan evolusi jangka panjang dari masyarakat modern, Spencer menilai masyarakat bersifat organis. Pandangan ini yang kemudian menjadikan Spencer sering disebut sebagai seorang teoretis organik karena usahanya memperluas prinsip-prinsip evolusi pada ilmu biologi ke institusi sosial.

Lewis Henry Morgan

Lewis mengatakan bahwa terdapat tujuh tahap teknologi yang dilalui masyarakat yaitu dari tahap perbudakan hingga tahap peradapan. Keyakinannya

tentang evolusi masyarakat ia tuangkan dalam bukunya yang berjudul Ancient

Society (1877), dalam bukunya ini, Morgam memberikan satu tese mengenai delapan tingkatan evolusi yang universal, yang ia yakini bahwa masyarakat di


(54)

semua bangsa di dunia telah atau sedang akan menyelesaikan proses evolusinya. Berikut 8 tahapan tersebut yang dikutip dalam Koenjtraningrat (1987):

1. Zaman Liar Tua, yaitu zaman sejak adanya manusia sampai ia menemukan

api, dalam zaman ini manusia hidup dari meramu, mencari akar-akar, dan tumbuhan-tumbuhan liar.

2. Zaman Liar Madya, yaitu zaman sejak manusia menemukan api, sampai ia

menemukan senjata busur/panah, dalam zaman ini manusai mulai merubah mulai merubah mata pencaharian hidupnya dari meramu menjadi pencari ikan disungai-sungai dan memburu.

3. Zaman Liar Muda, yaitu zaman sejak manusia menemukan senjata

busur/panah, sampai ia mendapatkan kepandaian membuat tembikar.

4. Zaman Barbar Tua, yaitu zaman sejak manusia menemukan kepandaian

membuaat tembikar sampai ia mulai beternak dan bercocok tanam.

5. Zaman Barbar Madya, yaitu zaman sejak manusia beternak dan bercocok

tanam sampai ia menemukan kepandaian membuat benda-benda dari logam

6. Zaman Barbar Muda, yaitu zaman sejak manusia menemukan kepandaian

membuat benda-benda dari logam sampai ia mengenal tulisan. 7. Zaman Peradaban Purba (Civilization)

8. Zaman Peradaban Masa Kini

Kerangka tahapan evolusi tersebut di gunakan oleh Morgan untuk menyusun bahan yang banyak jumlahnya tentang unsur-unsur kebudayaan dari berbagai suku bangsa Indian di Amerika.


(55)

Karl Marx

Marx dalam bukunya “The German Ideology” menjelaskan beberapa tahap perubahan-perubahan utama pada kondisi material dan cara-cara produksi di satu pihak dan hubungan-hubungan sosial serta norma-norma kepemilikan di lain pihak. Tahapan-tahapan perubahan tersebut bersifat linier (Johnson, 1994)

Komunis

Primitif

Gambar 2.1. Tahapan Perubahan Sosial Linier Marx

Tahapan ini sekaligus menjelaskan tahapan-tahapan perubahan sosial versi Marx yaitu pertama, dimulai dengan adanya masyarakat primitif. Komunitas masyarakat primitive ini merupakan suatu komunitas yang mengakui milik pribadi sebagai milik komunitas dan pembagian kerja yang sangat sedikit. Pada fase ini tidak ada pemilikan pribadi, kepemilikan juga sekaligus kepemilikan komunitas, sehingga milikku adalah mlikmu. Kedua, struktur komunal purba yang ditandai dengan bentuk yang lebih besar daripada komunitas primitive, pembagian kerja semakin tinggi dan kepemilikan pribadi mulai diakui. Ketiga. sistem feodal yang ditandai dengan pembagian kerja dan pola-pola kepemilikan kekayaan pribadi yang lebih ketat. Tahap inilah yang memberikan jalan bagi cara-cara produksi borjuis dan hubungan yang menyertainya. Ke-empat, tahap borjuis berupa perombakan kehidupan komunal di bawah pengaruh ideology-ideologi individualis dan berkurangnya hubungan-hubungan yang manusiawi menjadi


(56)

hubungan kepemilikan. Kelima, tahap kapitalis dimana seluruh kelas buruh proletar memiliki hubungan dengan kelompok majikan (borjuis) semat-mata sebagai penjual tenaga kerja yang kegiatan produktifnya digunakan untuk mengahasilkan produk-produk yang akan dijual ke system pasar yang bersifat impersonal. Ke-enam, tahap komunis dimana pada tahap ini pemilikan pribadi akan lenyap dan individu akan dapat berinteraksi dalam hubungan-hubungan komunal, tidak selalu berupa hubungan yang bersifat ekonomis. (Martono, 2011)

Teori Revolusi Marx

Setiap perkembangan sosial harus melalui berbagai tahapan. Sosialisme hanya mungkin berdasarkan produktivas kerja yang tinggi, dan produktivitas tinggi tersebut adalah sebagai akibat dari pertumbuhan ekonomi secara dahsyat yang dijalankan oleh kapitalisme. Selain itu, kapitalisme menimbulkan kelas buruh, serta menerapkan demokrasi parlementer dan menciptakan kondisi di mana kelas buruh itu bisa berorganisir dan berjuang. Sehingga di tingkat global, umat manusia jelas harus melewati tahap kapitalis (yang sekaligus merupakan tahap demokratis-borjuis) sebelum masyarakat sosialis dapat tercapai.

Dalam karya Marx sering mendapati asumsi bahwa revolusi sosialis harus didahului oleh revolusi borjuis, yang juga disebut sebagai revolusi demokratik. Bukan karena sosialisme tidak demokratik. Sebaliknya, sistem sosialis akan membawa demokrasi ke semua pelosok masyarakat, terutama ke tempat kerja. Namun di masa Marx, penguasaan kelas borjuis memang untuk pertama kalinya menimbulkan demokrasi (walau secara terbatas). Di negeri seperti Inggeris dan Perancis demokrasi tersebut membuka jalan untuk perkembangan gerakan buruh.


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari hasi Penelitian ditariklah beberapa kesimpulan yaitu:

1. Dalam mengolah lahan pertanian, baik itu di sawah maupun di ladang warga Karo menggunakan aron, dimana dalam pelaksanaannya dilakukan secara bergiliran, dan mempunyai aturan baik dalam jumlah kelompok aron, jam kerja, pembagian kerja, pembgian gaji, konsumsi, dan syarat-syarat menjadi peserta kelompok aron. Pada dasarnya dibentuknya aron tersebut adalah untuk memudahkan penyelesaian pekerjaan-pekerjaan di sawah/ladang maupun di ladang. Pekerjaan yang tadinya begitu berat maka akan terasa lebih ringan.

2. Dari hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa telah terjadi perubahan konsep aron dalam bidang pertanian pada masyarakat Karo. Dulunya aron yang bekerja secara bergiliran belum bersifat uang kini, menjadi aron singemo (buruh tani) yang bersifat uang. Perubahan tersebut dapat dilihat dalam pelaksanaan aron antara lain dalam hal alat-alat pertanian yang digunakan.

3. Semangat mempertahankan tradisi aron sebenarnya masih tertanam dalam kehidupan masyarakat Karo. Semangat untuk mempertahankan budaya aron yang semakin terkikis masih ada walaupun mendapat tantangan dari perubahan kondisi sosial budaya, ekonomi dan teknologi yang mengarahkan manusia untuk menjadi lebih mandiri.


(2)

5.2. Saran

Saran yang dapat diberikan adalah:

1. Pada masyarakat Karo agar mengembangkan dan melestarikan nilai kerja sama aron sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari, dan menjadikan aron sebagai kekuatan budaya yang dapat menjaga kerjasama, interaksi yang harmonis dan tanggung jawab sosial dalam masyarakat karo.

2. Pemerintah mengembangkan budya aron ini sebagai bagian dari kehidupan masyarakat karo dan mendukung usaha-usaha melestarikan budaya aron ini.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Delaney, Tim, 2003, Journal Volume 23 pages 44-45 Djoko Suryo. 2009. Transformasi Masyarakat Indonesia Dalam Historiografi

Indonesia Modern. Yogyakarta: STPN Press

Horton, Paul B. dan Hunt, Chester L.1989. Sosiologi, Jilid 1 dan 2. Jakarta: Erlangga.

Johnson. Doyle Paul, 1994, teori Sosiologi Klasik dan Modern Jilid 1, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama: diterjemahkan dari Sociological TFounders and Contemporary Perspective oleh Robert M.Z. Lawang

Kembaren, Salman S, 2012, Karo (Dalam Kacamata Sosiologi

Koentjaraningrat, 1969. Pengantar Antropologi. Jakarta: Aksara

London, Scott, 1996, Understanding Change: How It Happens and How to Make It Happen, background study prepared for the Pew Partnership for Civic

Change in 1

pada Tanggal 12 September 2012, Pukul 14.30 WIB

M. Burhanudin dan M. Hilmi Faiq, Kompas Cetak 19 Maret 2011.

Martono, Nanang, 2011, Sosiologi Perubahan Sosial; Perspektif Klasik, Modern, Postmodern dan Poskolonial, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Moleong, Lexy, 1991 Metode Penelitian Kualitatif, P.T Remaja Rosda Karya,

Bandung.

Nababan, Tingkos 1995 Pola Hubungan Antara Aron Dengan Calo Terhadap Orang

Batak di Kecamatan Berastagi, Skripsi Sarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU (tidak diterbitkan).

Philosophy of Herbert Spencer Indiana University Press BloomingtonUnited States


(4)

Prasetyo, Widi, 2012, http: Definisi Perubahan Sosial Dan Tipe-Tipe Perubahan Sosial, //prasetyowidi.wordpress.com/2010/01/03/definisi-perubahan-sosial-dan-tipe-tipe-perubahan-sosial/, diakses tanggal 15 September 2012, Pukul 17.25 WIB

Salim, Warsani. 1978. Pengantar Antropologi Budaya.Medan: Fakultas Hukum USU

Scott, C. James, 1989 Moral Ekonomi Petani, LP3ES Jakarta

Soekanto, Soerjono, 2006, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta

Suhartono, Edi, 2005, Tradisi Bondang dan Tantangan Globalisasi: Studi Kasus di Desa Silo Lama, Kecamatan Air Joman, Kabupaten Asahan, Propinsi Sumatera Utara Jurnal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI•Vol. 1•No.2•Oktober 2005.

Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. 2004. Teori Sosiologi Modern (Edisi VI). Jakarta: Kencana.

blog.ub.ac.id +tentang+perubahan+sosial:&source=web&cd=3&cad=rja&ved= 0CC0QFjAC&url=http%3A%2F%2Fblog.ub.ac.id%2Faggyrinaldhi%2Ffil es%2F2012%2F06%2F1-SOSPED-perubahan-sosial-ok1.ppt&ei= eSZVUML_EM7yrQeSkYHQBg&usg=AFQjCNH-JE52Y5OWEoJVsYgz BRbq IqkQ)


(5)

(6)

Lampiran 1

PEDOMAN WAWANCARA

Pertanyaan Penelitian

1. Tradisi Pertanian Tanah Karo itu apa? Apa namanya? Bagaimana Bentuknya? Aktivitasnya apa saja?

2. Apakah Budaya pertanian itu masih dilakukan sekarang? Apa yang berubah? Kenapa berubah? Dan apa faktor-faktor yang membuat perubahan tersebut.

3. Adakah Mekanisme adaptasi dalam budaya pertanian Karo? Bagaimana bentuk adaptasinya?