Dalam kasus perkosaan ini terdaat apa yang disebut dengan “saksi diam”. “saksi diam” ini merupak obyek pemeriksaan kriminalsitik. Peranan
dan fungsi “saksi diam” dalam delik perkosaan sangat besar peranannya. Dalam hal “saksi diam” berupa tubuh manusia yang hidup maupun
yang sudah mati, maka dokter forensic dimintakan bantuannya dalam menerjemahkan “saksi diam” tersebut. Yang dilakukan “penerjemah dalam
membantu perkara tindak pidana perkosaan untuk membuktikannya adalah adanya persetubuhan dan adanya kekerasan.
14
1. Pembuktian Adanya Persetubuhan
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa persetubuhan telah terjadi apabila penis telah melewati batas depan vagina, tetapi kejadian
demikian dalam hal ini sanagt sulit dibuktikan dengan ilmu kedokteran forensic karena bekas-bekasnya sangat tidak jelas.
a. Yang belum pernah bersetubuh masih gadis
Untuk memastikan adanya persetubuhan bagi yang masih gadis, robek selaput dara bisa dipastikan adanya persetubuhan. Namun tidak semua
perempuan yang telah bersetubuh selaput daranya pecah, karena keelastisan selaput darah itu sendiri. Selain itu penetrasi penis harus
disertai ejakuasi, karena ejakuasi inilah yang akan diperiksa dan merupan tanda pasti adanya persetubuhan.
15
14
Handoko Tjonroputranto, Pokok-pokok Ilmu Kedokteran Forensik, jilid I,h. 1-5
15
Abdul Mun’im Idris, Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik, Jakarta : Bina Rupa Aksara, 1989,h. 172.
b. Yang sudah bersetubuh
Pada umumnya, disini tidak dipersoalkan lagi mengenai robeknya selaput darah, akan tetapi lebih diperhatikan adanya ejakuasi dalam
liang vagina dimana hasil pemeriksaan terdapat dua kemungkinan yaitu :
1. Tidak ditemukan adanya spermatozoa, hal ini dimungkinkan
oleh dua sebab ialah : • Memang tidak ada persetubuhan
• Ada persetubuhan tetapi si pelaku mandul atau si pelaku mencegahnya dengan koitus interuptus atau kondom.
16
2.Ditemukan spermatozoa
2. Pembuktian Adanya Kekerasan
Pada umumnya, pembuktian adanya kekerasan pada tubuh korban sulit ditemukan oleh dokter, adapun lokasi yang sering ditemukan adalah
bagian muka daerah mulut dan bibir, leher, buah dada dan bagian dalam paha dan sekitar alat kelamin serta pergelangan tangan.
17
Akan tetapi tidak terdapat luka akibat kekerasan pada tubuh perempuan tidaklah mutlak ia tidak mengalami perkosaan, karena bisa
saja perempuan diancam dengan kekerasan, pingsan atau tidak berdaya.
16
Ibid., h. 172-173
17
Ibid., h. 175
Maka permberian seperti obat bius atau obat tidur serta pengaruh alkohol dan lain sebagainya dikatagorikan sebagai tanda adanya kekerasan.
Selain alat bukti yang telah diuraikan diatas, maka barang bukti dalam tindak pidana kesusilaan merupakan faktor yang harus diperhatikan oleh
penyidik. Akan tetapi dalam tindak pidana kesusilaan penyidik sering kali mengalami kesulitan dalam menemukan atau memperolah barang-barang
bukti, karena pada umunya cepat hilang atau mudah dihilangkan baik secara sengaja maupun tidak sengaja.
Selama ini dalam praktek pembuktian vide pasal 285 KUHP, alat bukti yang menentukan dalam kasus tindak pidana perkosaan adalah
keterangan ahli Visum Et Repertum dari seorang dokter ahli yang ditunjuk menurut undang-undang. Selain harus adanya keyakinan hakim,
maka dengan mengacu kepada pasal 389 naskah tersebut, alat bukti yang sangat menentukan adalah keterangan saksi korban mengenai semua
ikhwal yang mendukung bahwa selama terjadinya tindak perkosaan itu, keterangan saksi korban ini harus dapat dibuktikan oleh jaksa penuntut
umum didepan muka sidang pengadilan. Sedangkan pembuktian tindak pidana perkosaan menurut hukum
Islam dapat dimasukkan kedalam kategori zina yaitu hubungan seksual diluar nikah. Dalam menghukum pelaku pekosaan dapat merujuk pada
dalil tentang hukuman zina. Karena kejahatan perkosaan secara tekstual tidak terdapat hukumannya dalam al-qur’an dan hadits dengan mengacu
kepada hukuman zina. Para ulama fiqh berijtihad untuk menemukan hukum perkosaan, tetapi tampaknya ada beberapa ganjalan dalam
menggunakan hukum zina untuk menghukumi perbuatan perkosaan. Karena zina dilakukan suka sama suka, sedangkan dalam perkosaan
terdapat unsur pemaksaan terhadap korban. Hal ini berimplikasi bukan hanya pada pembuktian, tetapi pemberian hukuman bagi pelaku
perkosaan. Dalam fiqh jinayat, syarat dijatuhi sebuah hukuman had zina
tergantung pada sejumlah empat orang saksi laki-laki. Pendapat ini berlaku bagi pendapat mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali. Bila
korban mengajukan gugatan tanpa didasari ke empat saksi tersebut, ia bisa dihukum atas dasar menuduh seorang berzina tanpa bukti yang jelas.
Menurut Ibnu Hazam bahwa kesaksian yang kurang sempurna misalnya, jumlahnya kurang dari empat atau ada saksi perempuan maka tidak dapat
menggugurkan gugatan atau membalikkan saksi menjadi tertuduh karena melemparkan tuduhan tanpa bukti yang kuat. Selain kebolehan
perempuan menjadi saksi yang dibutuhkan adalah kesaksian bahwa pebuatan itu benar-benar dilakukan walaupun tidak disaksikan oleh empat
orang saksi. Syarat pembuktian zina, masih sulit diterapkan untuk menghukumi
kejahatan perkosaan. Karena pada kenyataanya, perkosaan merupakan tindak kejahatan yang dilakukan secara tertutup untuk menghindari
kesaksian orang lain. Di dalam buku-buku fiqh klasik masalah perkosaan tidak dibahas secara memadai. Biasanya hanya dikatakan bahwa orang
yang diperkosa bukanlah zina dan oleh karena itu tidak dapat dihukum sebagai zina. Tetapi pembuktian dan hukuman terhadap pelaku tesebut
cendrung tidak dibahas. Menurut Masikun, tentang pembuktian zina untuk dijadikan landasan
bagi pembuktian perkosaan adalah bahwa seorang hakim harus mendapatkan empat orang saksi. Sebagaimana dalam firman Allah SWT :
⌧
☺ ⌧
18
Artinya :”Dan terhadap para perempuan yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu yang
menyaksikannya. Kemudian apabila mereka telah memberikan persaksian, maka kurunglah mereka perempuan-perempuan itu
dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya”. QS. An-Nisa4 :15
18
Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim,h.108.
Selain mendengarkan kesaksian empat orang saksi, seorang hakim juga harus mendengarkan pengakuan pelaku yang diulang sampai empat kali
sebagaimana yang dilakukan terhadap pengakuan Maiz bin Malik.
19
Bukti lainnya adalah adanya tanda kehamilan atau bukti keadaan mengandung dari korban perkosaan. Sebagaimana yang terdapat dalam hadits
riwayat Imam Muslim dan Imam Husa’in yang mengatakan bahwa praktek Nabi Muhammad menerima adanya zina pada Ma’rufah al-Ghomidiyah
karena ada bukti kehamilan pada dirinya. Sedangkan menurut jumhur ulama kehamilan diluar nikah tidak bisa digunakan sebagai alat bukti zina, alasan
mereka bahwa alat bukti untuk zina adalah pengakuan dan persaksian tidak ada bukti lainnya.
Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa hakim sebelum memutuskan perkara perkosaan harus membenarkan bukti kebenaran
perkosaan tersebut yaitu empat orang saksi atau pengakuan pelaku empat kali ucapan atau bukti keadaan mengandung dari korban perkosaan.
20
Dengan demikian pembuktian terhadap tindak pidana perkosaan hampir sama dengan pembuktian perzinahan. Walaupun pada prakteknya
keberadaan empat orang saksi pada dunia modern yang serba canggih pada saat ini, salah satunya bisa berupa hasil foto kejadian atau rekaman video dan
19
Al-Imam Al-Kahlani, Subulus Salam, Beirut : Dar-Furats al-Arabiy, 1960, juz IV,h. 8.
20
Ibid., h. 11
lain-lain. Mengingat hal-hal diatas seorang hakim perlu meminta tenaga ahli dibidang tersebut untuk menjelaskan kesaksian dari kejadian tersebut.
C. Sanksi Hukuman Bagi Pelaku Perkosaan