Tinjauan Yuridi Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Anak Yang Menyebabkan Kematian (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No.791/Pid.B/2011/PN.SIM)

(1)

TINJAUAN YURIDI TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK YANG MENYEBABKAN KEMATIAN

( Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No.791/Pid.B/2011/PN.SIM)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

SWANTI NOVITA SARI SIBORO NIM : 100200103

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK YANG MENYEBABKAN KEMATIAN

( Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No.791/Pid.B/2011/PN.SIM)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

SWANTI NOVITA SARI SIBORO NIM : 100200103

Departemen Hukum Pidana Disetuji oleh :

Ketua Departemen Hukum Pidana

(Dr. M. Hamdan, SH., MH.) NIP : 195703261986011001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

(Dr. M. Hamdan, SH., MH.) (Abul Khair, SH., M.Hum) NIP. : 195703261986011001 NIP. : 196107021989031001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis sampaikan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat yang tercurah sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada kedua orang tua, sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini merupakan tugas akhir penulis sebagai salah satu syarat guna menyelesaikan program studi S-1 pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dengan memiih judul : TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK YANG MENYEBABKAN KEMATIAN (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No. 791/Pid.B/2011/PN.SIM).

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum, sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, karena sudah berusaha untuk memberikan perubahan yang maksimal kepada fakultas dengan meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan di lingkungan kampus Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Budiman Ginting, SH., M.Hum, sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH., M.Hum., DFM sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(4)

4. Bapak Dr. O.K Saidin, SH., M.Hum, sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. M. Hamdan, SH., M.H sebagai Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I yang telah membimbing, mengkritisi, memberikan saran-saran dan mengarahkan penulis sehingga dapat menyelesaikan skrripsi ini.

6. Ibu Liza Erwina, SH., M.Hum. sebagai Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Bapak Abul Khair, S.H., M.Hum. sebagai Dosen Pembimbing II yang telah menyetujui judul, outline skripsi, membimbing, mengkritisi dan memberikan saran-saran serta mengarahkan penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi.

8. Para staf dosen Fakultas Hukum Univesitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmunya kepada penulis selama ini.

9. Orang tua penulis, Abdul Siboro, S.H., M.H. dan R. Nilawati, S.H yang telah membesarkan, mendidik, memberikan kasih sayang dan memenuhi setiap kebutuhan penulis, serta adik penulis, Hendro Hezkiel Siboro yang telah mendukung dan memotivasi penulis.

10.Seluruh keluarga besar penulis, dan sepupu terbaik Nesya, Getha, kak Uli, serta semua keluarga yang senantiasa menyemangati penulis dan membantu penulis.


(5)

11.Rekan-rekan Genggong, Lowria, Merty, Meirita, Dona, Sonya yang telah mendukung dan memotivasi penulis.

12.Rekan-rekan Fakultas Hukum USU terkhusus Kita-kita Grup D, Cici Melda, Joko, Jerry, Velli, Chyntia, kak Etha, dan semua yang telah membantu penulis baik dalam bentuk materi maupun moril serta dalam penyelesaian skripsi maupun selama perkuliahan.

13.Teman-teman SMA penulis, Astri, Tere, Faren, Dame, Beni, dan semuanya yang juga menyemangati penulis.

14.Seluruh keluarga besar serta rekan-rekan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) dan semua anggota yang senantiasa menyemangati dan membantu penulis, UT OMNES UNUM SINT.

15.Semua pihak yang membantu penulis dalam berbagai hal yang tidak dapat disebut satu-persatu.

Demikianlah yang dapat saya sampaikan, semoga apa yang telah kita lakukan mendapat berkat dari Tuhan Yang Maha Esa.

Akhirnya penulis mengucapan puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas Berkatnya serta penulis berharap tulisan ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan.

Medan, 7 April 2014


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... iv

ABSTRAKSI ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... ... ... 9

C. Tujuan………... ... 9

D. Manfaat Penulisan ... ... 9

E. Keaslian Penulisan ... ... 10

F. Tinjauan Pustaka ... 10

1. Pengertian Tindak Pidana ... 10

2. Kekerasan Terhadap Anak ... 14

3. Tindak Pidana Pembunuhan ... 19

G. Metode Penelitian ... 23

H. Sistematika Penulisan ... 25

BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN TINDAK KEKERASAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Bentuk Kekerasan terhadap Anak ... 27

B. Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Terhadap Anak ... 34

C. Perlindungan terhadap Anak Korban Tindak Kekerasan dalam Hukum Pidana di Indonesia... 39

1. Perlindungan Anak Korban Tindak Kekerasan dalam KUHP...39


(7)

2. Perlindungan Anak Korban Tindak Kekerasan dalam UU No.

23 Tahun 2002 ...45

3. Perlindungan Anak Korban Tindak Kekerasan dalam UU No. 23 Tahun 2004... 50

BAB III PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN PADA ANAK PADA PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SIMALUNGUN NO. 791/PID.B/2011/PN.SIM A. Sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan terhadap anak yang menyebabkan kematian ... 55

B. Kasus Posisi (Nomor Putusan : No. 791/Pid.B/2011/PN.SIM) ... 60

1. Duduk Perkara... 60

2. Dakwaan ... 62

3. Fakta Hukum ... 63

4. Tuntutan ... 76

5. Pertimbangan Hakim ... 77

6. Putusan ... 80

C. Analisis Kasus ... 80

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 92

B. Saran ...94 DAFTAR PUSTAKA


(8)

ABSTRAKSI

*) Dr. Muhammad Hamdan, SH, MH **) Abul Khair, SH, M.Hum ***) Swanti Novita Sari) Siboro

Anak merupakan objek lemah secara sosial dan hukum yang sangat rentan menjadi sasaran tindak kekerasan. Belakangan ini, kasus kekerasan terhadap anak (child abuse) semakin marak terjadi di Indonesia. Orang dewasa yang seharusnya memberikan pengawasan dan perlindungan terhadap anak malah kerap menjadi pelaku tindak penganiayaan terhadap anak.. Sesungguhnya tidak sedikit anak-anak yang terpaksa dan harus terlibat dalam situasi yang tidak menyenangkan atau bahkan menjadi korban dari suatu perlakuan yang menyakitkan, baik oleh pelaku tindak pidana yang profesional—seperti preman, tukang perkosa, perampok, dan sebagainya— maupun oleh sanak saudara atau bahkan orang tua kandung mereka sendiri. Tetapi, kasus dan permasalahan tindak kekerasan yang dialami anak-anak di bawah umur umumnya masih belum mendapat perhatian sungguh-sungguh dari berbagai pihak. Semakin banyaknya tindakan kekerasan yang berakibat fatal bahkan hingga menyebabkan kematian menimbulkan keprihatinan atas rendahnya upaya perlindungan terhadap hak hidup anak.

Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan skripsi dan penelitian ini adalah dengan cara Yuridis Normatif dinamakan juga dengan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal dan dibantu dengan Yuridis Empiris yakni dengan mewawancarai Hakim untuk mempertanyakan apa saja yang menjadi dasar pertimbangan bagi Hakim dalam mengambil Putusan di Pengadilan berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No. 791/Pid.B/2011/PN.SIM.

Pasal 80 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2002 memang secara khusus telah mengatur ketentuan pidana terhadap pelaku tindak kekerasan terhadap anak yang menyebabkan kematian. Namun, dalam prakteknya, pasal tersebut dirasakan belum memenuhi asas keadilan bagi pihak korban. UU No. 23 Tahun 2002 sebagai Lex Specialis ternyata tidak memberikan hukuman yang lebih berat daripada sanksi pidana yang terdapat di dalam KUHP.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat dasar pertimbangan hakim yang melakukan terobosan hukum, dimana Majelis Hakim mengambil putusan di luar tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum, yang penerapannya terimplementasi pada saat Majelis Hakim bermusyawarah untuk mengambil suatu putusan yaitu menghukum terdakwa yang telah terbukti memenuhi unsur melakukan tindak pidana pembunuhan dengan menjatuhkan putusan 15 (lima belas) tahun penjara sesuai dengan Pasal 338 KUHP.

*) Dosen Pembimbing I **) Dosen Pembimbing II ***) Mahasiswa Fakultas Hukum


(9)

ABSTRAKSI

*) Dr. Muhammad Hamdan, SH, MH **) Abul Khair, SH, M.Hum ***) Swanti Novita Sari) Siboro

Anak merupakan objek lemah secara sosial dan hukum yang sangat rentan menjadi sasaran tindak kekerasan. Belakangan ini, kasus kekerasan terhadap anak (child abuse) semakin marak terjadi di Indonesia. Orang dewasa yang seharusnya memberikan pengawasan dan perlindungan terhadap anak malah kerap menjadi pelaku tindak penganiayaan terhadap anak.. Sesungguhnya tidak sedikit anak-anak yang terpaksa dan harus terlibat dalam situasi yang tidak menyenangkan atau bahkan menjadi korban dari suatu perlakuan yang menyakitkan, baik oleh pelaku tindak pidana yang profesional—seperti preman, tukang perkosa, perampok, dan sebagainya— maupun oleh sanak saudara atau bahkan orang tua kandung mereka sendiri. Tetapi, kasus dan permasalahan tindak kekerasan yang dialami anak-anak di bawah umur umumnya masih belum mendapat perhatian sungguh-sungguh dari berbagai pihak. Semakin banyaknya tindakan kekerasan yang berakibat fatal bahkan hingga menyebabkan kematian menimbulkan keprihatinan atas rendahnya upaya perlindungan terhadap hak hidup anak.

Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan skripsi dan penelitian ini adalah dengan cara Yuridis Normatif dinamakan juga dengan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal dan dibantu dengan Yuridis Empiris yakni dengan mewawancarai Hakim untuk mempertanyakan apa saja yang menjadi dasar pertimbangan bagi Hakim dalam mengambil Putusan di Pengadilan berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No. 791/Pid.B/2011/PN.SIM.

Pasal 80 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2002 memang secara khusus telah mengatur ketentuan pidana terhadap pelaku tindak kekerasan terhadap anak yang menyebabkan kematian. Namun, dalam prakteknya, pasal tersebut dirasakan belum memenuhi asas keadilan bagi pihak korban. UU No. 23 Tahun 2002 sebagai Lex Specialis ternyata tidak memberikan hukuman yang lebih berat daripada sanksi pidana yang terdapat di dalam KUHP.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat dasar pertimbangan hakim yang melakukan terobosan hukum, dimana Majelis Hakim mengambil putusan di luar tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum, yang penerapannya terimplementasi pada saat Majelis Hakim bermusyawarah untuk mengambil suatu putusan yaitu menghukum terdakwa yang telah terbukti memenuhi unsur melakukan tindak pidana pembunuhan dengan menjatuhkan putusan 15 (lima belas) tahun penjara sesuai dengan Pasal 338 KUHP.

*) Dosen Pembimbing I **) Dosen Pembimbing II ***) Mahasiswa Fakultas Hukum


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak merupakan pihak yang sangat rentan menjadi sasaran tindak kekerasan. Hal ini karena anak merupakan objek yang lemah secara sosial dan hukum, sehingga anak sering dijadikan bahan eksploitasi dan pelampiasan tindak pidana karena lemahnya perlindungan yang diberikan baik oleh lingkungan sosial maupun negara terhadap anak. Hal inilah yang menyebabkan maraknya kasus kekerasan terhadap anak terjadi di sekitar lingkup sosial masyarakat Indonesia.

Berbagai jenis dan bentuk kekerasan dengan berbagai variannya diterima anak-anak Indonesia, seperti pembunuhan, pemerkosaan, pencabulan, penganiayaan, trafficking, aborsi, pedofilia, dan berbagai eksploitasi anak di bidang pekerjaan, penelentaran, penculikan, pelarian anak, dan penyanderaan.1

Sekolah tempat anak-anak menimba ilmu pun dianggap bukan merupakan tempat yang aman bagi anak-anak. Data di KPAI menunjukkan, dari seluruh tindakan KTA, 11,3 persen dilakukan oleh guru atau nomor dua setelah kekerasan dilakukan oleh orang disekitar anak, dan jumlahnya mencapai 18 persen. Fakta ini didukung analisis data pemberitaan kekerasan terhadap anak oleh semua surat kabar. Sepanjang paruh pertama 2008, kekerasan guru terhadap anak mengalami peningkatan tajam, 39,6 persen, dari 95 kasus KTA, atau paling tinggi dibandingkan pelaku-pelaku kekerasan pada anak lainnya.2

1

Merry Magdalena. Melindungi Anak dari Seks Bebas (Jakarta : Gramedia Widiasarana Indonesia, 2010), hal. 40

2


(11)

Sebuah studi yang dilakukan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI), menemukan—meski sebatas kasus yang sempat diekspos media massa— secara kuantitatif ada kecenderungan terjadinya peningkatan tindak kekerasan terhadap anak. Pada 1994 misalnya, tercatat 172 kasus, dan 1995 meningkat menjadi 421 kasus, dan pada 1996 melonjak lagi menjadi 476 kasus. Walaupun dari tahun ke tahun berita tentang tindak kekerasan dan pelanggaran terhadap hak-hak anak terus meningkat, tetapi bila dibandingkan dengan negara-negara maju angka yang berhasil direkam Indonesia umumnya masih tergolong sangat minimal. Di Amerika Serikat, misalnya diperkirakan ada kurang lebih 500 ribu anak yang diperlakukan secara destruktif setiap tahunnya. Di negara maju seperti Amerika Serikat, kasus child abuse dapat terdeteksi dengan cukup baik karena hukum di negara itu mewajibkan dokter dan guru untuk melaporkan kasus child abuse kepada aparat yang berwenang. Kasus child abuse sendiri sudah mulai dikenal publik sekitar 1960-an, yaitu sebanyak 302 kasus di 71 rumah sakit— dimana 33 anak meninggal dan 85 anak mengalami kerusakan otak yang permanen.3

Perlindungan terhadap hak-hak anak sebenarnya sudah dijamin permerintah Indonesia dalam perundang-undangan. Pemerintah Indonesia saat ini sudah memiliki sederet instrumen hukum, baik yang berasal dari hasil ratifikasi instrumen hukum internasional maupun instrumen hukum dalam negeri. Dimana instrumen hukum tersebut bertujuan untuk melindungi, mensejahterakan dan memenuhi hak-hak anak. Beberapa peraturan pemerintah yang telah mengatur tentang hak-hak anak Indonesia, diantaranya:4

- Undang-Undang Dasar 1945

- Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak - Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi KHA - Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia - Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

3

Ibid. mengutip Henry Kempe, “The Battered Child Syndrome (Perlakuan Salah yang Dialami Anak),” Journal of American Medical Association, 1962, hal. 1.

4

RM Ksatria Bhumi Persada, “Kekerasan Personal Terhadap Anak Jalanan Sebagai Individu dalam Ruang Publik : Studi Kasus Terhadap Tiga Anak Jalan Laki-Laki Binaan Rumah Singgah Dilts Foundation, (Skripsi Sarjana, Fakultas Kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta, 2012), hal. 16.


(12)

Selain itu, dari data Komisi Perlindungan Anak, masih terdapat beberapa instrumen hukum untuk perlindungan anak, yaitu:5

- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2012 Tentang Pengesahan Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak

- Undang-Undang RI Nomor 9 Tahun 2012 Tentang Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak Mengenai Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata

- Undang-Undang No. 1 Tahun 2000 Tentang Pengesahan ILO Convention

No. 182 Concerning The Prohibition And Immediate Action For The Elimination Of The Worst Forms Of Child Labour (Konvensi ILO No. 182 Mengenai Pelarangan Dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk UntukAnak)

- Undang-Undang No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat

- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengesahan ILO Convention No. 105Concerning The Abolition Of Forced Labour(Konvensi Ilo Mengenai Penghapusan Kerja Paksa)

- Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, Dan Pornografi Anak

Pengaturan hukum tertulis yang jelas tentang perlindungan anak sebenarnya telah dibuat oleh pemerintah, namun tindak kekerasan terhadap anak masih terus terjadi. Hal ini bisa dilihat dari peningkatan angka kasus kekerasan terhadap anak yang terus meningkat setiap Tahunnya. Sekjen Komnas PA Samsul Ridwan memaparkan, dari 1.424 kasus kekerasan anak selama Januari-Oktober 2013, 452 merupakan kasus kekerasan fisik, 730 kasus kekerasan seksual, dan 242 kekerasan psikis.6

Kasus kekerasan pada anak akhir-akhir ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah kesenjangan ekonomi, kurangnya keharmonisan dalam

5

http://www.kpai.go.id/kanal/hukum/

6

Isnaini, “Kekerasan Pada Anak Terus Meningkat”,


(13)

rumah tangga, dan juga rendahnya rasa sosial dalam masyarakat.7

Kasus tindak kekerasan dan pelanggaran terhadap hak anak, acap kali kurang memperoleh perhatian publik, karena selain data laporan tentang kasus

child abuse memang nyaris tidak ada, juga karena kasus ini sering kali masih terbungkus oleh kebiasaan masyarakat yang meletakkan masalah ini sebagai persoalan internal keluarga, dan tidak layak atau tabu untuk diekspos keluar secara terbuka. Seperti dikatakan Harkristuti Harkrisnowo (1998), bahwa rendahnya kasus tindak kekerasan terhadap anak yang diketahui publik salah satunya disebabkan sering terjadinya penyelesaian kasus semacam ini dilakukan secara kekeluargaan dalam tingkat penyidikan, sehingga kasus tindak kekerasan yang dialami anak-anak tidak direkam oleh aparat sebagai tindak pidana. Padahal, kalau mau jujur sebenarnya kasus tindak kekerasan, eksploitasi, dan bahkan tindak pelecehan seksual terhadap anak tidak hanya terjadi di kehidupan jalanan di kota besar yang memang keras, di sektor industri atau dunia ekonomi yang konon disebut bersifat eksploitatif, melainkan juga dapat ditemui di dunia pendidikan, di kehidupan sehari-hari masyarakat, dan bahkan di lingkungan keluarga secara normatif sering dikatakan sebagai tempat paling aman bagi anak.

Tindakan kekerasan terhadap anak kebanyakan dilakukan orang dewasa yang berada di sekitar lingkungan anak tersebut yang tak terelakkan menimbulkan dampak negatif pada anak berupa trauma atau bahkan sampai menyebabkan kematian. Oleh sebab itu, perlu ada perhatian yang lebih serius dari aparat penegak hukum untuk lebih serius memberantas dan menjerat pelaku kriminalitas terhadap anak di bawah umur.

Sesungguhnya tidak sedikit anak-anak yang terpaksa dan harus terlibat dalam situasi yang tidak menyenangkan atau bahkan menjadi korban dari suatu perlakuan yang menyakitkan, baik oleh pelaku tindak pidana yang profesional— seperti preman, tukang perkosa, perampok, dan sebagainya— maupun oleh sanak saudara atau bahkan orang tua kandung mereka sendiri. Tetapi, kasus dan permasalahan tindak kekerasan yang dialami anak-anak di bawah umur umumnya masih belum mendapat perhatian sungguh-sungguh dari berbagai pihak. Perhatian terhadap masalah ini masih kalah jika dibandingkan dengan maraknya kasus anak yang kurang gizi atau busung lapar, atau kasus tingginya angka kematian anak yang secara faktual lebih mudah dialami dan dideteksi masyarakat.

8

7

Indah Mutiara Kami, “Hingga Oktober 2013 Separuh Kekerasan Pada Anak Adalah

Kejahatan Seksual”, 2013,

November 2013 , jam 10.15

8


(14)

Tindakan kekerasan terhadap anak semakin banyak yang berakibat fatal bahkan hingga menyebabkan kematian menimbulkan keprihatinan atas rendahnya upaya perlindungan terhadap hak hidup anak. Tidak peduli apakah itu di kota besar ataupun di daerah pelosok, terkadang orang dewasa yang berada di lingkungan sekitarnya kurang peka atau menganggap hal tersebut sebagai hal yang biasa, sehingga tindakan kekerasan itu terus berulang-ulang terjadi pada anak.

Berdasarkan data dari Kementrian Kesehatan Republik Indonesia pada Tahun 2011, dikatakan bahwa 3 (tiga) dari 100 anak Indonesia adalah korban kekerasan, 87% nya adalah kekerasan seksual dan 5% kekerasan terhadap anak yang menyebabkan kematian dan 25% nya menyebabkan cacat fisik (WHO).9

Menurut Seto Mulyadi (akrab dipanggil Kak Seto), anak Indonesia berada dalam bayang-bayang. Berdasarkan catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), selama Tahun 2003 terdapat 481 kasus kekerasan. Jumlah ini meningkat menjadi 547 kasus Tahun 2004, dimana 221 kasus merupakan kekerasan seksual 140 kekerasan fisik, 80 kekerasan psikis, dan 106 permasalahan lainnya.10

Berdasarkan rekapitulasi data surat kabar, anak korban kekerasan di wilayah Jawa Barat Tahun 2002 oleh Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA) Bandung, menunjukkan bahwa sebagian besar anak korban kekerasan di wilayah ini adalah remaja. Dari 450 anak korban kekerasan jumlah remaja sebanyak 65%, sama dengan penelitian di Jawa Timur yang dalam penelitian Tahun 1994-1997 ditemukan 103 kasus kekerasan dengan 65%-nya adalah remaja. Kemudian, pekerja anak (di sektor berbahaya) dan fenomena anak jalanan, perdagangan, dan

9

“Puskesmas Mampu Tata Laksana Kekerasan terhadap Anak”, tanggal 21 Oktober 2013, jam 19.43

10

Abu Huraerah, Child Abuse (Kekerasan terhadap Anak), (Bandung: Nuansa, 2007). hal.43, mengutip http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2004/12/28/brk,200441228-11.id.html.


(15)

penculikan termasuk di dalamnya child trafficking juga merupakan bentuk kekerasan pada remaja. Dari data yang berhasil dikumpulkan oleh LPA (Lembaga Perlindungan Anak) Jawa Barat dari berbagai sumber sampai dengan Juli 2003, terdapat 1.281 pekerja anak dan 15.208 anak jalanan di Jawa Barat. Banyaknya remaja yang terlibat konflik dengan hukum juga menunjukkan tingginya anak yang beresiko mendapatkan perlakuan kekerasan, sehubungan di Indonesia belum terdapat sarana Pengadilan khusus anak. Survei nasional BPS (Badan Pusat Statistik) Tahun 1997 menemukan sebanyak 4079 anak di bawah 16 Tahun masuk penjara dan Jawa Barat menduduki tempat kedua tertinggi secara nasional.11

Komnas Perlindungan Anak memandang perlu kerjasama pemerintah lintas sektoral dan partisipasi masyarakat untuk menanggulangi masalah anak di Indonesia yang cakupannya sangat luas. Dari laporan-laporan yang didapatkan Komnas Perlindungan Anak, tampak pemerintah dan stakeholder lainnya bekerja terbata-bata secara kolektif.12

11

Ibid. hal. 44, mengutip Kusnadi Rusmil, “Penganiayaan dan Kekerasan terhadap Anak,” Makalah disampaikan pada Seminar Sehari Penanganan Korban Kekerasan pada Wanita dan Anak, tanggal 19 Juni di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, hal. 58.

12

Adi Dwijayadi, Inilah 8 Sebab Kekejaman terhadap Anak”, 2010, (http://nasional.kompas.com/read/2010/12/21/11575989/Inilah.8.Sebab.Kekejaman.terhadap.Anak ), diakses tanggal 21 Oktober 2013, jam 19.47

Bila permasalahan perlindungan terhadap anak dari tindak kekerasan ini tidak ditangani secara serius, dikhawatirkan korban kekerasan anak ini akan semakin meningkat.

Tindakan kekerasan terhadap anak secara khusus telah diatur dalam Pasal 80 Undang-Undang (selanjutnya disingkat UU) No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berbunyi :

(1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) Tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).

(2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) Tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).


(16)

(3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) Tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.

Fakta di lapangan dapat dilihat dari beberapa kasus penganiayaan terhadap anak yang menyebabkan kematian ini tidak mendapat tindakan tegas dari penegak hukum, bahkan tidak mendapatkan kejelasan dari kelanjutan kasus tersebut. Beberapa contoh kasus tersebut diantaranya adalah :

Kasus Reza Eka Wardana (16), siswa SMA Dominikus Wonosari, Korban pengeroyokan oleh oknum Polisi, akhirnya menghembuskan nafas terakhir pada pukul 15:00 WIB, tanggal 3 November 2012 setelah koma dan berjuang melawan maut selama sembilan hari di Rumah Sakit Bethesda, Yogyakarta. 13

Kasus penganiayaan lainnya terjadi pada 2 balita di Jalan Mulawarman, Kecamatan Tembalang, Semarang, Jawa Tengah, Kamis, 10 Oktober 2013 oleh 2 orang perampok yang menyebabkan matinya 2 balita tersebut akibat Sampai sekarang kasus tersebut tidak menemui kejelasan walaupun pelakunya sudah dinyatakan sebagai tersangka Tahun 2012 lalu.

13

Mawalu, “Rezza Eka Wardana (16), Korban Pemukulan Helm Oleh Polisi, Meninggal Dunia”, 2012, (http://metro.kompasiana.com/2012/11/04/reza-eka-wardana-16-korban-pemukulan-helm-oleh-polisi-meninggal-dunia-500454.html), diakses tanggal 21 Oktober 2013, jam 19.43


(17)

kepala yang dipukul dengan menggunakan linggis, akhirnya diancam dengan Pasal berlapis pencuriaan dan pembunuhan. 14

14

Parwito, “Perampok Pembunuh 2 Balita di Semarang Terlacak Berkat HP”, 2013,

Terlepas dari kasus-kasus di atas masih banyak lagi kasus kekerasan terhadap anak yang menyebabkan kematian, terutama yang dilakukan oleh orang terdekatnya yaitu kalangan keluarga sendiri seperti ayah atau ibunya sendiri, walaupun tidak semuanya terekspos media. Beberapa kasus di atas dapat menjadi cerminan dimana perlindungan hukum terhadap anak dari tindakan kekerasan sebenarnya masih sangat kurang, bahkan terhadap yang berakibat kematian anak tersebut ada yang tidak menemui kejelasan terhadap penyelesaian kasusnya.

Pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sendiri dirasakan masih belum dapat memberikan perlindungan yang maksimal terhadap anak dan dirasakan masih kurang memberikan hukuman yang cukup setimpal dari perbuatannya tersebut dibandingkan ancaman hukuman terhadapnya yang seharusnya memberatkannya, karena seharusnya sebagai pihak yang lebih dewasa dari segi usia yakni sebagai orang tua, keluarga, pihak sekolah ataupun lingkungan masyarakat seharusnya memberikan perlindungan terhadap anak-anak yang masih di bawah umur, dan bukan dengan melakukan tindak kekerasan atau penganiayaan apalagi sampai menyebabkan luka berat ataupun kematian. Penegakan hukum yang tegas dan peran serta masyarakat sekitar adalah unsur yang paling penting demi terciptanya pelaksanaan perlindungan terhadap anak yang maksimal demi tercapainya kesejahteraan anak Indonesia.


(18)

B. Permasalahan

Bertitik tolak dari latar balakang masalah yang telah penulis kemukakan di atas, dapat dirumuskan permasalahan skripsi ini sebagai berikut :

1. Bagaimana Perlindungan terhadap anak korban tindak kekerasan dalam hukum Pidana Indonesia?

2. Bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan terhadap anak yang mengakibatkan kematian pada anak (Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No. 791/Pid.B/2011/PN.SIM)? C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui perlindungan yang dapat diberikan terhadap anak korban tindak kekerasan dalam hukum pidana Indonesia.

2. Untuk mengetahui penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan terhadap anak yang mengakibatkan kematian dalam Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No. 791/Pid.B/2011/PN.SIM

D. Manfaat Penulisan

1. Menfaat teoritis, yaitu untuk menambah wawasan dan khazanah ilmu pengetahuan dalam bidang hukum, khususnya hukum pidana. Selain itu, memberikan pengetahuan yang lebih mendalam mengenai peraturan perundang-undangan yang ada yang dimaksudkan untuk melindungi anak sebagai objek kekerasan.

2. Manfaat praktis, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap masyarakat, bangsa dan negara pada umumnya, khususnya


(19)

terhadap anak-anak Indonesia agar terhindar dari tindak kekerasan yang dilakukan oleh pihak manapun terhadapnya dan terhadap setiap pihak yang sudah tergolong dalam kategori dewasa agar senantiasa memberikan perlindungan dan bimbingan terhadap anak sebagai masa depan bangsa tanpa adanya kekerasan dan tindak nyata pemerintah Indonesia dalam upaya perlindungan terhadap anak Indonesia.

E. Keaslian Penulisan

Penulisan Skripsi yang berjudul ” Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Anak Yang Menyebabkan Kematian( Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No. 791/Pid.B/2011/Pn.Sim)” adalah hasil pemikiran penulis sendiri. Skripsi ini menurut sepengetahuan penulis belum pernah ada yang membuat.

Penulisan skripsi ini adalah asli dari ide, gagasan, pemikiran, dan usaha penulis sendiri dengan adanya bantuan dan bimbingan dari dosen pembimbing Penulis, tanpa adanya penipuan, penjiplakan, atau hal-hal lainnya yang dapat merugikan para pihak tertentu. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa penelitian untuk skripsi ini adalah asli. Dan untuk itu, Penulis dapat bertanggung jawab atas keaslian penulisan skripsi ini.

F. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah “Peristiwa Pidana” atau “Tindak Pidana” adalah sebagai terjemahan dari bahasa Belanda “Strafbaar feit” atau “delict” . Dalam bahasa Indonesia di samping istilah “peristiwa pidana” untuk terjemahan “strafbaar feit” atau


(20)

delict” itu (sebagaimana yang dipakai oleh Mr. R. Tresna dan E. Utrecht) dikenal pula beberapa terjemahan yang lain, seperti:15

a. Tindak Pidana (antara lain dalam Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi);

b. Peristiwa Pidana (Prof. Mulyatnmo, dalam Pidato Dies Natalis Universitas Gajah Mada VI pada Tahun 1955 di Yogyakarta);

c. Pelanggaran Pidana (Mr. M.H. Tirtaamidjaya, Pokok-Pokok Hukum Pidana,Penerbit Fasco, Jakarta 1955);

d. Perbuatan yang boleh dihukum (Mr. Karni, Ringkasan tentang Hukum Pidana, Penerbitan Balai Buku, Jakarta, 1959);

e. Perbuatan yang dapat dihukum (Undang-Undang No. 12/Drt Tahun 1951, Pasal 3 tentang Mengubah Ordonnantie Tijdelijk Bijzondere Strafbepalingen).

Beberapa ahli hukum telah berusaha untuk memberikan perumusan tentang pengertian peristiwa pidana itu. Misalnya seperti yang dikemukakan oleh Simons, yang merumuskan bahwa strafbaar feit ialaj kelakuan yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Jonkers dan Utrecht memanfang rumusan Simons merupakan rumusan yang lengkap, yang meliputi :16

a. Diancam dengan pidana oleh hukum, b. Bertentangan dengan hukum,

c. Dilakukan oleh orang yang bersalah,

d. Orang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya.

Van Hamel merumuskan delik (strafbaar feit) itu sebagai berikut : eene wetteleijke omschreven en aan schuld te witjen (kelakuan manusia yang

15

C.S.T Kansil, Engelien R. Palendeng dan Altje Agustin Musa, Tindak Pidana Dalam Perundang-undangan Indonesia.(Jakarta : Jala Permata Aksara, 2009), Hal. 1

16

.Jur.Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Perkembangannya (Jakarta, PT. Sofmedia, 2012), hal. 120.


(21)

dirumuskan dalam Undang-Undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan).17

Selanjutnya jika menurut wujudnya atau sifatnya, perbuatan-perbuatan pidana ini adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan ini juga merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil.18

Tindak pidana atau perbuatan pidana adalah setiap perbuatan-perbuatan seseorang yang melanggar hukum baik berupa pelanggaran maupun kejahatan yang memberikan hak kepada pemerintah untuk menjatuhkan saksi pidana terhadap perbuatan tersebut. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengenal adanya delik aduan, yang mana delik tersebut juga ada dua jenis, yaitu:19

1. Delik aduan yang absolut

Yaitu tiap delik yang dalam keadaan apapun hanya dapat dilakukan penuntutan apabila telah adanya pengaduan tentang telah terjadinya suatu tindak pidana

2. Delik aduan yang relatif

Yaitu tiap delik yang memberikan kesempatan kepada pemerintah dalam melakukan penuntutan apabila tidak adanya pengaduan.

Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa suatu perbuatan yang menjadi tindak pidana apabila perbuatan itu :

1) Melawan hukum; 2) Merugikan masyarakat; 3) Dilarang oleh aturan pidana; 4) Pelakunya diancam dengan pidana.

Pada butir 1) dan 2) menunjukkan sifat perbuatan, sedangkan yang memastikan perbuatan itu menjadi suatu perbuatan pidana adalah butir 3) dan 4). Jadi suatu perbuatan yang bersifat 1) dan 2) belum tentu

17

Ibid.hal. 120-121

18

Frans H. Winarta, Suara Rakyat Hukum Tertinggi. (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2009), Hal. 307

19

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2002), hal. 129


(22)

merupakan pidana sebelum dipastikan adanya butir 3) dan 4) (legalitas hukum pidana).

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merumuskan delapan unsur tindak pidana yaitu :20

a. Unsur tingkah laku b. Unsur melawan hukum c. Unsur kesalahan

d. Unsur akibat konstitutif

e. Unsur keadaan yang menyertai

f. Unsur syarat tambahanuntuk dapatnya dituntut pidana g. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana h. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana.

Tindak pidana terjadi karena adanya perbuatan yang melanggar larangan yang diancam dengan hukuman. Larangan dan ancaman tersebut terdapat hubungan yang erat, oleh karena itu antara peristiwa dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada suatu kemungkinan hubungan yang erat dimana satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan. Guna menyatakan hubungan yang erat itu maka digunakan perkataan perbuatan yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjukkan kepada dua keadaan konkrit yaitu :21

1) Adanya kejadian yang tertentu serta

2) Adanya orang yang berbuat, yang menimbulkan kejadian itu.

Secara umum, tindak pidana terhadap tubuh pada KUHP disebut “penganiayaan”. Dibentuknya pengaturan tentang kejahatan terhadap tubuh manusia ini ditujukan bagi perlindungan kepentingan hukum atas tubuh dari perbuatan-perbuatan berupa penyerangan atas tubuh atau bagian dari tubuh dari perbuatan-perbuatan berupa penyerangan atas tubuh atau bagian dari tubuh yang mengakibatkan rasa sakit atau luka, bahkan karena luka yang sedemikian rupa pada tubuh dapat menimbulkan kematian.22

20

Ibid. hal. 82.

21

Frans H. Winarta, loc.cit.

22

Ismu Gunadi, Cepat & Mudah Memahami Hukum Pidana (jilid 2), PT.Prestasi Pustakaraya, Surabaya, 2011, hal. 3


(23)

2. Kekerasan Terhadap Anak

Pengertian violence harus terlebih dahulu dipahami sebelum membahas pengertian kekerasan terhadap anak. Neil Alan Weiner menyatakan bahwa terminology violence (kekerasan) menunjuk pada gabungan beberapa elemen, yaitu: ”... threat, attempt, or use of physical force by one or more person that result in physical or nonphysical harm to one or more other person.”23

Kekerasan berdasarkan uraian di atas mempunyai dua elemen. Pertama,

ancaman untuk menggunakan kekuatan fisik, dalam hal ini kekuatan fisik belum digunakan. Kedua, penggunaan kekuatan fisik itu sendiri yang berarti perbuatan telah dilaksanakan oleh pelaku. Kedua elemen ini (ancaman dan penggunaan kekuatan fisik) menghasilkan akibat berupa kerusakan baik secara fisik, maupun non-fisik. Korban sendiri bisa perorangan atau kelompok orang.24

Secara umum pengertian kekerasan adalah:25

Penganiayaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dimuat artinya sebagai berikut : “perlakuan yang sewenang-wenang...” Pengertian tersebut adanya pengertian dalam arti luas, yakni termasuk yang menyangkut “perasaan” atau “batiniah”.

“Perihal bersifat, berciri keras: Perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cidera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan atau barang orang lain: Paksaan”

26

Menurut Collins Dictionary of Sociology, kata violence dimaknakan penggenaan derita/luka/kerusakan fisik terhadap tubuh manusia atau harta benda, atau properti, dengan kekuatan fisik, menggunakan anggota tubuh, senjata atau benda lain. Kalau dalam ajang perjuangan politik ide penggunaan

23

Neil Alan Weiner, et. Al. (Ed.) Violence: Pattern, Causes, Public Policy. USA: Harcourt Brace Jovanovich (HBJ) Publisher, hal. Xiii.

24

Mahmud Mulyadi, Criminal Policy: Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy dalam penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Medan : Pustaka bangsa Press, 2008. Hal. 29

25

Departemen Pendidikan Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:Balai Pustaka, edisi ketiga, 2001, hal. 425

26


(24)

kekerasan dimulai dengan “anarcho syndicalism” dari pemikiran Geoge Sorel. Dalam hubungan sosial, kekerasan adalah permainan kekuasaan dan otoritas.27

Pada awal mulanya istilah tindak kekerasan atau child abuseand neglect

berasal dan mulai dikenal dari dunia kedokteran. Sekitar 1946, Caffrey—seorang

radiologist— melaporkan kasus cedera yang berupa gejala klinik seperti patah tulang panjang yang majemuk (multiple fractures) pada anak atau bayi disertai pendarahan subdural tanpa mengetahui sebabnya (unrecognize trauma). Dalam dunia kedokteran, kasus ini dikenal dengan istilah Caffey Syndrome. Kasus yang ditemukan Caffey di atas makin menarik perhatian publik ketika Henry Kempe pada tahun 1962 menulis masalah ini di Journal of the American Mecal Association,dan melaporkan bahwa dari 71 rumah sakit yang ia teliti, ternyata terjadi 302 kasus tindak kekerasan terhadap anak-anak, dimana 33 anak dilaporkan meninggal akibat penganiayaan yang dialaminya, dan 85 mengalami kerusakan otak yang permanen. Henry Kempe, menyebut kasus penelantaran dan penganiayaan yang dialami anak-anak dengan istilah Battered Child Syndrome yaitu : “Setiap keadaan yang disebabkan kurangnya perawatan dan perlindungan terhadap anak oleh orang tua atau pengasuh lain.” Di sini diartikan sebagai tindak kekerasan terhadap anak tidak hanya luka memar atau pembengkakan sekalipun dan diikuti kegagalan anak untuk berkembang baik secara fisik maupun intelektual.28

27

Maksud Kempe dengan istilah yang dramatik

“the battered child syndrrome” tersebut adalah untuk menarik perhatian

tanggal 16 Februari 2014, jam 09.51, mengutip Erlyn Indarti, Dr., S.H., “Demokrasi dan

Kekerasan: Sebuah Tinjauan Filsafat

Huku

28


(25)

orang yang bergerak dibid. ang kesehatan (dokter anak, psikolog, psikiater), sosial dan hukum.29

Selain Batered Child Syndrome, istilah lain untuk menggambarkan kasus penganiayaan yang dialami anak-anak adalah Maltreatment Syndrome —-dimaksudkan selain gangguan fisik seperti di atas, ditambah adanya gangguan emosi anak dan adanya akibat asuh yang tak memadai. Istilah Child Abuse

sendiri dipakai untuk menggambarkan kasus anak-anak di bawah usia 16 Tahun yang mendapat gangguan dari orang tua atau pengasuhnya dan merugikan anak secara fisik dan kesehatan mental serta perkembangannya.

30

Secara teoritis, kekerasan terhadap anak (Child Abuse) dapat didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental atau seksual yang umumnya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan anak—yang mana itu semua diindikasikan dengan kerugian dan ancaman terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak. Contoh paling jelas dari tindak kekerasan yang dialami oleh anak-anak adalah pemukulan atau penyerangan fisik berkali-kali sampai terjadi luka atau goresan (Scrapes/scratches). Namun demikian, perlu disadari bahwa child abuse sebenarnya tidak hanya berupa pemukulan atau penyerangan fisik, melainkan juga bisa berupa berbagai bentuk eksploitasi melalui misalnya pornografi dan penyerangan seksual (sexual assault), pemberian makanan yang tidak layak bagi anak atau makanan kurang gizi (malnutrition), pengabaian pendidikan dan kesehatan (educational and medical neglect) dan kekerasan yang berkaitan dengan medis (medical abuse).31

Kekerasan di sini didefinisikan sebagai perilaku yang disengaja seorang individu yang ditujukan pada individu lain dan memungkinkan menyebabkan kerugian fisik dan psikologis. Definisi ini merupakan pembentukan ulang dengan berbagai perubahan.32

Mengenai penganiayaan dalam Pasal 351 KUHP, R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, mengatakan bahwa undang-undang tidak memberi ketentuan apakah yang diartikan dengan “penganiayaan” itu. Menurut yurisprudensi, maka yang diartikan dengan

29

Soetjiningsih, Tumbuh Kembang Anak (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1995), ed. Prof.dr.IG.N. Gde Ranuh, DSAK, hal. 165

30

Ibid. hal. 27-28

31

Ibid. hal. 28-29

32

UNICEF (United Nations Children’s Fund), A Focussed Study on Child Abuse in Six Selected Province in Indonesia, lokasi : Medan . Centre for Tourism Research and Develompment Gadjah Mada University. Hal. 13, mengutip UNICEF Digest, the Innocenti Digest nr.2


(26)

“penganiayaan” yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, atau luka. Menurut alinea 4 Pasal ini, masuk pula dalam pengertian penganiayaan ialah “sengaja merusak kesehatan orang”. Definisi kekerasan tentu saja mempunyai pengertian yang lebih luas daripada salah perlakuan dan hal ini signifikan karena definisi umum salah perlakuan terhadap anak tidak meliputi berbagi bentuk kekerasan yang membahayakan anak. Lantas, ini memberi penekanan yang besar terhadap hak anak untuk integritas fisik yang juga sejalan dengan pandangan KHA. Hal ini berarti bahwa anak harus dilindungi dari segala bentuk kekerasan mental dan fisik. 33

R. Soesilo dalam buku tersebut juga memberikan contoh dengan apa yang dimaksud dengan “perasaan tidak enak”, “rasa sakit”, “luka”, dan “merusak kesehatan”:

34

Abuse adalah kata yang biasa diterjemahkan menjadi kekerasan, penganiayaan, penyiksaan, atau perilaku salah. Abuse didefinisikansebagai:

1. “perasaan tidak enak” misalnya mendorong orang terjun ke kali sehingga basah, menyuruh orang berdiri di terik matahari, dan sebagainya.

2. “rasa sakit” misalnya menyubit, mendupak, memukul, menempeleng, dan sebagainya.

3. “luka” misalnya mengiris, memotong, menusuk dengan pisau dan lain-lain.

4. “merusak kesehatan” misalnya orang sedang tidur, dan berkeringat, dibuka jendela kamarnya, sehingga orang itu masuk angin.

35

33

Ibid.

“Improper behavior intended to cause physical, phsycological, or financial harm to an individual or group

(Kekerasan adalah perilaku tidak layak yang mengakibatkan kerugian atau bahaya secara fisik, psikologis, atau finansial, baik yang dialami individu maupun kelompok).

34

Letezia Tobing, Perbuatan-Perbuatan yang termasuk Penganiayaan,

Perbuatan-Perbuatan yang termasuk Penganiayaan, diakses tanggal 14 februari 2014, pukul 22.59

35

Ibid. hal.47, mengutip Robert L Barker, The Social Work Dictionary, (Maryland Silver Spring: National Association of Social Workers, 1987), hal. 1.


(27)

Istilah child abuse atau kadang-kadang child maltreatment adalah istilah yang biasa digunakan untuk menyebut kekerasan terhadap anak. child abuse

dapat diartikan sebagai:36

Barker kemudian mendefinisikan child abuse, yaitu :

“Intentional acts that result in physical or emotional harm to children. The term child abuse covers a wide range of behavior, from actual physical assault by parents or other adult caretakers to neglect at a child’s basic needs”

(Kekerasan terhadap anak adalah perbuataan disengaja yang menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak-anak secara fisik maupun emosional. Istilah child abuse meliputi berbagai macam bentuk tingkah laku, dari tindakan ancaman fisik secara langsung oleh orang tua atau orang dewasa lainnya sampai kepada penelantaran kebutuhan-kebutuhan dasar anak).

37

(Kekerasan terhadap anak adalah tindakan melukai yang berulang-ulang secara fisik dan emosional terhadap anak yang ketergantungan, melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tak terkendali, degradasi dan cemoohan pernamen atau kekerasan seksual, biasanya dilakukan para orang tua atau pihak lain yang seharusnya merawat anak).

“The recurrent infliction of physical or emotional injury on a dependent minor, through intentional beatings, uncontrolled corporal punishment, persistent redicule and degradation, or sexual abuse, usually commited by parents or others in charge of the child’s care”

38

Secara teoritis, anak-anak yang mempunyai resiko tinggi untuk mengalami penganiayaan yaitu:39

- Anak yang merupakan rintangan bagi orang tua atau pengasuhnya meliputi anak-anak hiperaktif sampai gangguan perkembangan; - Anak yang tidak dikehendaki;

- Lahir muda/prematur;

- Penderita penyakit kronis atau lama masuk rumah sakit; - Retardasi mental;

- Lahir cacat;

36

Ibid. mengutip Gelles, Ricard J., “Child Abuse”, Dalam Encyclopedia Article from Encarta.

37

Ibid. mengutip Robert L Barker, The Social Work Dictionary, (Maryland Silver Spring: National Association of Social Workers, 1987), hal 23.

38

Ibid.

39


(28)

- Gangguan tingkah laku atau kenakalan;

- Anak-anak yang diasuh oleh keluarga yang bermasalah. 3. Tindak Pidana Pembunuhan

Kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain itu oleh kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang dewasa ini berlaku telah disebut sebagai suatu

pembunuhan.40

Untuk menghilangkan nyawa orang lain itu seorang pelaku harus melakukan sesuatu atau suatu rangkaian tindakan yang berakibat dengan meninggalnya orang lain dengan catatan bahwa opzet dari pelakunya itu harus ditujukan pada akibat berupa meninggalnya orang lain tersebut.41

Kiranya sudah jelas bahwa tidak dikehendaki oleh undang-undang itu sebenarnya ialah kesengajaan menimbulkan akibat meninggalnya orang lain. Akibatnya yang dilarang atau yang tidak dikehendaki oleh undang-undang seperti itu di dalam doktrin juga disebut sebagai constitutief-gevolg atau sebagai

akibat konstitutif.42

Tindak pidana pembunuhan berdasarkan uraian di atas itu merupakan suatu delik materiil atau suatu meterieel delict ataupun yang oleh Prof. Van Hamel juga telah disebut sebagai suatu delict met materiele omschrijving yang artinya delik yang dirumuskan secara materiil, yakni delik yang baru dapat dianggap sebagai telah selesai dilakukan oleh pelakunya dengan timbulnya akibat yang dilarang atau yang tidak dikehendaki oleh undang-undang sebagimana dimaksud diatas43

Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengemukakan bahwa “Membunuh artinya membuat supaya mati, menghilangkan nyawa, sedangkan pembunuhan

.

40

P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus: Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh, dan Kesehatan, Jakarta: Sinar Grafika, 2012. Hal. 1

41

Ibid.

42

Ibid.

43


(29)

berarti perkara membunuh, perbuatan atau hal membunuh”. Dengan demikian, orang belum dapat berbicara tentang terjadinya suatu tindak pidana pembunuhan, jika akibat berupa meninggalnya orang lain itu sendiri belum timbul. 44

Mengenai opzet dari seorang pelaku yang harus ditujukan pada akibat berupa meninggalnya orang lain, yakni agar tindakannya itu dapat disebut sebagai suatu pembunuhan sebagaimana yang dimaksud di atas, Prof. Simons berpendapat, bahwa apakah pada seorang pelaku itu terdapat opzet seperti itu atau tidak, hal mana masih digantungkan pada kenyataan, yakni apakah orang dapat menerima adanya lembaga voorwardelijk opzet atau tidak.45

Melihat ke dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, segera dapat diketahui bahwa pembentuk undang-undang telah bermaksud mengatur ketentuan-ketentuan pidana tentang kejahatan-kejahatan yang ditujukan terhadap nyawa orang itu dalam Buku ke-II Bab ke-XIX KUHP yang terdiri dari tiga belas Pasal, yakni dari Pasal 338 sampai dengan Pasal 350.46

Tindak pidana pembunuhan yang diatur dalam buku II bab XIX, yang terdiri dari 13 Pasal, dapat dibagi beberapa jenis, yaitu:47

a. Pembunuhan Biasa (Pasal 338)

44

Ibid. mengutip W.J.S Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia ( Jakarta : Balai Pustaka, 2006), hal 194.

45

Ibid. hal. 2, Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, hal. 202

46

Ibid. hal. 11

47

Denico Doly, Tindak Pidana Pembunuhan dan Premanisme, Info Hukum Singkat, 2012, hal. 3,


(30)

Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 338 KUHP merupakan tindak pidana dalam bentuk yang pokok, yaitu delik yang telah dirumuskan secara lengkap dengan semua unsur-unsurnya.

Pasal 338 KUHP

Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

b. Pembunuhan dengan Pemberatan

Pembunuhan dengan pemberatan diatur dalam Pasal 339 KUHP. Pasal 339

Pembunuhan yang diikuti, disertai, atau didahului oleh kejahatan dan yang dilakukan dengan maksud untuk memudahkan perbuatan itu, jika tertangkap tangan, untuk melepaskan diri sendiri atau peserta lainnya dari hukuman, atau supaya barang yang didapatkannya dengan melawan hukum tetap ada dalam tangannya, dihukum dengan hukuman penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun

c. Pembunuhan Berencana

Pembunuhan berencana diatur dalam Pasal 340 KUHP, Pasal 340 KUHP

Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan nyawa orang, karena bersalah melakukan pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.

Kejahatan berupa kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain dalam pengertiannya yang umum, tentang kejahatan mana pembentuk undang-undang selanjutnya juga masih membuat perbedaan antara kesengajaan menghilangkan nyawa orang yang tidak direncanakan lebih dahulu yang telah diberinya nama


(31)

direncanakan lebih dahulu yang telah disebutnya moord. Doodslag diatur dalam Pasal 338 KUHP sedang moord diatur dalam Pasal 340 KUHP.48

Memorie van toelichting (MvT) mendefinisikan bahwa pidana pada umumnya hendaklah dijatuhkan hanya pada barangsiapa melakukan perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui. Menurut teori kehendak kesengajaan adalah kehendak yang diarahkan pada terwujudnya perbuatan seperti yang dirumuskan dalam wet. (de op verwerkelijking der wettelijke omschrijving gerichte wil).49

Menurut pengertian lain, kesengajaan adalah kehendak untuk berbuat dengan mengetahui unsur – unsur yang diperlukan menurut rumusan wet (de wil tot handelen bj voorstelling van de tot de wettelijke omschrijving behoorende bestandelen).50

48

P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Op.cit, hal. 13

49

Denico Doly, loc.cit.

50

Ibid.

Ditinjau dari rumusan-rumusannya ataupun ditinjau dari penempatannya dalam Buku ke-II Bab ke-XIX KUHP, yakni dalam hal undang-undang telah tidak menyatakan secara tegas bahwa unsur opzet itu juga harus dipandang sebagai telah disyaratkan bagi suatu tindak pidana pembunuhan yang telah disebutkan di atas itu, undang-undang telah mensyaratkan adanya unsur opzet atau unsur kesengajaan pada diri pelakunya. Artinya para pelaku itu harus mempunyai opzet yang ditujukan pada akibat yang terlarang atau tidak dikehendaki oleh undang-undang, atau dengan kata lian mereka itu harus mempunyai suatu kesengajaan untuk menimbulkan akibat yang terlarang atau


(32)

yang tidak dikehendaki oleh undang-undang berupa hilangnya nyawa orang lain.51

G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan adalah metode penelitian hukum yang Yuridis Normatif dinamakan juga dengan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal dan dibantu dengan Yuridis Empiris yakni dengan mewawancarai Hakim untuk mempertanyakan apa saja yang menjadi dasar pertimbangan bagi Hakim dalam mengambil Putusan di Pengadilan. Dalam hal penelitian hukum normatif, penulis melakukan terhadap perundang-undangan dan bahan hukum yang berhubungan dengan judul skripsi penulis ini yaitu “Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Anak Yang Menyebabkan Kematian ( Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No. 791/Pid.B/2011/PN.SIM).”

2. Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data primer dan sekunder. Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari objek penelitian yaitu berupa hasil wawancara terhadap salah satu majelis hakim yang menangani perkara untuk mempertanyakan apa saja yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam mengambil keputusan dalam perkara tersebut dan data sekunder yang diperoleh dari :

51


(33)

a. Bahan hukum primer, yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan diterapkan oleh pihak-pihak yang berwenang, yaitu berupa peraturan perundang-undangan, seperti Undang-undang nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. b. Bahan hukum sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan

informasi atau hasil kajian tentang tindak pidana kekerasan terhadap anak meliputi kasus dari Pengadilan Negeri Simalungun (Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No. 791/Pid.B/2011/PN.SIM), buku-buku karya illmiah dan beberapa sumber ilmiah dan beberapa sumber ilmiah serta sumber internet yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini. c. Bahan hukum tersier, yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep

dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus, ensiklopedia dan sebagainya. 3. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data-data yang diperlukan oleh penulis yang berkaitan dengan penyelesaian skripsi ini ditempuh melalui penelitian terhadap literatur-literatur untuk memperoleh bahan teoritis ilmiah yang dapat digunakan sebagai dasar analisis terhadap subtansi pembahasan dalam skripsi ini dan melakukan penelitian terhadap putusan yang dibuat oleh hakim di Pengadilan Negeri Simalungun. Tujuan penelitian kepustakaan (library research) ini adalah untuk memperoleh data-data sekunder yang meliputi peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, surat kabar maupun bahan bacaan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini. Selain studi kepustakaan peneliti juga


(34)

melakukan studi lapangan dengan mewawancarai hakim Pengadilan Negeri Simalungun.

4. Analisis data

Analisis data yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan cara kualitatif, yaitu dengan menganalisis melalui data lalu diorganisasikan dalam pendapat atau tanggapan dan data-data skunder yang diperoleh dari pustaka kemudian dianalisis sehingga diperoleh data yang dapat menjawab permasalahan dalam skripsi ini.

H. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pembahasan dan penjabaran penulisan, penelitian ini akan dibagi menjadi 4 bab dengan sistematika sebagai berikut :

Bab I : Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II : Dalam bab ini diuraikan mengenai tinjauan umum tentang kekerasan terhadap anak. Bagian-bagian yang diuraikan yaitu ulasan secara mendalam mengenai pengertian dari kekerasan terhadap anak, dan membahas tentang bentuk atau klasifikasi kekerasan yang di alami anak serta menguraikan tentang faktor-faktor penyebab dan dampak terjadinya kekerasan terhadap anak. Bab III : Dalam bab ini diuraikan secara mendetail tentang realitas


(35)

pidana di Indonesia dan ketentuan pidana terhadap pelaku penganiayaan terhadap anak yang mengakibatkan kematian serta analisis kasus Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No. 791/Pid.B/2011/PN.SIM

Bab IV : Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup berisikan kesimpulan dan saran yang berfungsi memberikan masukan bagi perkembangan hukum pidana di masa yang akan datang.


(36)

BAB II

PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

A. Bentuk-Bentuk Kekerasan terhadap Anak

Bentuk tindak kekerasan terhadap anak tidak hanya terjadi dalam bentuk kekerasan fisik saja.. Ada beberapa bentuk perbuatan lainnya yang sebenarnya juga dapat dikategorikan sebagai bentuk kekerasan terhadap anak. Bentuk kekerasan terhadap anak kurang lebih sama dengan bentuk kekerasan secara umum yang dilakukan terhadap orang dewasa

Haskell dan Yablonsky menyebutkan empat jenis perbuatan yang menjadi dasar mengkategorikan sebagai kejahatan kekerasan, yaitu pembunuhan (murder), perkosaan dengan penganiayaan (forcible rape), perampokan (robbery), dan penganiayaan berat (aggravated assault)52

Clinard and Quinney juga menyatakan bahwa kejahatan kekerasan meliputi perbuatan yang mengakibatkan luka-luka secara fisik, yaitu terutama pembunuhan (homocide), penganiayaan berat (aggravated assault), perkosaan dengan kekerasan (forcible rape). The Federal Bureu of investigation, di bawah

Uniform Crime Reporting Program, telah mengembangkan jenis-jenis kejahatan dengan kekerasan, yaitu:

.

53

1. Kejahatan pembunuhan yang meliputi pembunuhan dan pembantaian manusia yang bukan merupakan kelalaian, pembunuhan dengan sengaja (bukan kelalaian) yang dilakukan seseorang terhadap orang lain

52

Mahmud Mulyadi, op.cit., hal. 35, dikutip dari buku karangan Sue Titus Reid (1985). Crime and Criminology. New York: CBS College Publising, hal. 211.

53

Ibid, dikutip dari buku karangan Neil Allan Weinaer, et.al. (Ed.), Violence Pattern, Causes, Public Policy, USA: Harcout Brace Jovanovich (HBJ) Publisher, hal xiii.


(37)

(Criminal homocide, comprising murder and nonnegligent manslaugter, the willfull (nonnegliegent) killing of one human being by another); 2. Perkosaan dengan kekerasan, yaitu menguasai jasmani seorang wanita

dengan ancaman penggunaan keerasan dan melawan kehendaknya (Forcible rape, the carnal knowledge of a female forcibly and against her will);

3. Perampokan, yaitu pengambilan atau berusaha mengambil sesuatu yang berharga dari perawatan, penjagaan atau pengawasan seseorang atau banyak orang dengan menggunakan kekerasan atai ancaman kekerasan dan/atau menyebabkan korban ketakutan (Robbery: the taking or attempting to take something of value from the care, custody, or control of a person or persons by force or threat of force or threat of force or violence and/or by putting the Victim in fear);

4. Penganiayaan berat, yaitu serangan yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain secara melawan hukum, dengan tujuan mengakibatkan luka parah atau luka berat (Aggravated assault: an unlawfull attact by one person upon another for the purpose of inflichting severe or aggravated bodily injury);

5. Serangan lainnya (yang sederhana), yaitu serangan atau usaha untuk melakukan penyerangan dengan tidak menggunakan senjata dan tidak mengaibatkan luka-luka serius atau luka berat pada korban (Other Assaulth (simple): assault and attempted assault where no weapon was used and which did not result in serious or aggravated injury to the victim).

Child Abuse atau perlakuan kejam terhadap anak, mulai dari pengabaian anak sampai pada pemerkosaan dan pembunuhan anak. Child abuse menurut Terry E. Lawson seorang psikiater mengatakan bahwa kekerasan anak dapat diklasifikasikan dalam 4 macam yaitu:54

a. Emotional Abuse

Emotional Abuse dapat terjadi apabila setelah orang tua mengetahui keinginan anaknya untuk meminta perhatian namun sang orang tua tidak memberikan apa yang diinginkan anak tapi justru mengabaikannya. Anak akan mengingat semua kekerasan emosional, jika kekerasan emosional itu berjalan konsisten.

b. Verbal Abuse

Verbal abuse itu lahir akibat bentakan, makian orang tua terhadap anak. Ketika anak meminta sesuatu orang tua tidak memberikan malah membentaknya. Saat si anak mengajak berbicara orang tua tidak

54

Sulaiman Zuhdi Manik, ed., Kekerasan Terhadap Anak dalam Wancana dan Realita/Editor, (Medan : Pusat Kajian dan Pelindungan Anak, 1999), hal. 29


(38)

menanggapinya justru menghardik dengan bentakan, diam kau! Misalnya Anak akan akan mengingat kekerasan jenis ini jika semua kekerasan verbal ini berlaku dalam satu periode.

c. Physical Abuse

Kekerasan jenis ini terjadi pada saat anak menerima pukulan dari orang tua. Kekerasan jenis ini akan diingat anak apalagi akibat kekerasan itu meninggalkan bekas.

d. Sexual Abuse

Terjadi selama 18 bulan pertama dalam kehidupan anak namun ada juga kasus, ketika anak perempuan menderita kekerasan sxual dalam usia 6 bulan.

Sementara itu, Suharto mengelompokkan child abuse menjadi : physichal abuse (kekerasan fisik), Psychological abuse (kekerasan secara psikologis),

sexual abuse (kekerasan secara seksual), dan social abuse (kekerasan secara sosial). Keempat bentuk child abuse ini dapat dijelaskan sebagai berikut:55

1. Kekerasan anak secara fisik, adalah penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. Bentuk luka dapat berupa lecet atau memar akibat persentuhan atau kekerasan benda tumpul, seperti bekas gigitan, cubitan, ikat pinggang atau rotan. Dapat pula berupa luka bakar akibat bensin panas atau berpola akibat sundutan rokok atau setrika. Lokasi luka biasanya ditemukan pada daerah paha, legan, mulut, pipi, dada, perut, punggung atau daerah bokong. Terjadinya kekerasan terhadap anak secara fisik umumnya dipicu oleh tingkah laku anak yang tidak disukai orang tuanya, seperti anak nakal atau rewel, menangis terus, minta jajan, buang air, kencing atau muntah di sembarang tempat, memecahkan barang berharga.

2. Kekerasan anak secara psikis, meliputi penghardikan, penyampaian kata-kata kasar dan kotor, memperlihatkan buku, gambar, dan film pornografi pada anak. Anak yang mendapatkan perlakuan ini umumnya menunjukkan gejala perilaku maladaftif, seperti menarik diri, pemalu, menangis jika didekati, takut ke luar rumah dan takut bertemu dengan orang lain.

3. Kekerasan anak secara seksual, dapat berupa perlakuan prakontak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar (melalui kata,

sentuhan, gambar visual, exhibitionism), maupun perlakuan kontak

55

Abu Huraerah, Op.cit, hal.. 47-49, mengutip Edi Suharto, Pembangunan, Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial, (Bandung:Lembaga Studi Pembangunan-Sekolah tinggi Kesejahteraan Sosial), hal.365-366.


(39)

seksual secara langsung antara anak dengan orang dewasa (incest, perkosaan, eksploitasi seksual).

4. Kekerasan anak secara sosial, dapat mencakup penelantaran anak dan eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh-kembang anak. Misalnya, anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga, atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak. Eksploitasi anak menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat. Sebagai contoh, memaksa anak untuk melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial atau politik tanpa memperhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik, psikisnya dan status sosialnya. Misalnya, anak dipaksa untuk bekerja di pabrik-pabrik yang membahayakan (pertambangan, sektor alas kaki) dengan upah rendah dan tanpa peralatan yang memadai, anak dipaksa untuk angkat senjata, atau dipaksa melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga melebihi batas kemampuannya.

Nurul Huda, SH, M.Hum dalam artikelnya menambahkan bentuk lain dari kekerasan terhadap anak selain bentuk-bentuk di atas, yaitu komersialisasi (child exploitation), yaitu kekerasan dimana adanya unsur pengambilan keuntungan materi secara sepihak oleh pelaku kekerasan terhadap korban baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Komersialisasi itu bisa berupa:56

1. Perlakuan menjadi buruh pabrik, PRT, Jermal. 2. Prostitusi

3. Perdagangan.

WHO juga menambahkan bentuk “child abuse and neglect” yaitu penelantaran anak (child neglect) yang merupakan kegagalan dalam menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk tumbuh kembangnya, seperti : kesehatan, pendidikan, perkembangan emosional, nutrisi, rumah atau tempat bernanung, dan

56

Nurul Huda, “Kekerasan Terhadap Anak dan Masalah Sosial yang Kronis,” Jurnal Unikal : Pena Justisia Volume VII No.14, tahun 2008, hal. 8, diunduh dari 10.20


(40)

keadaan hidup yang aman, di dalam konteks sumber daya yang layaknya dimiliki oleh keluarga atau pengasuh, yang mengakibatkan atau sangat mungkin mengakibatkan gangguan kesehatan atau gangguan perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial. Termasuk didalamnya adalah kegagalan dalam mengawasi dan melindungi secara layak dari bahaya atau gangguan.57

Terry E. Lawson mengatakan, semua jenis gangguan mental (mental disorsis) ada hubungannya dengan perlakuan buruk yang diterima manusia ketika ia masih kecil. Ketika kekerasan anak-anak berakibat pada budaya kekerasan maka hal itu tidak berorientasi lagi pada faktor sosiologis. Artinya kekerasan anak tidak semata-mata merupakan problema sosial. Problema sosial adalah pola prilaku masyarakat atau sejumlah besar anggota masyarakat yang secara meluas tidak dikehendaki oleh masyarakat tetapi disebabkan oleh faktor-faktor sosial dan memerlukan tindakan sosial untuk mengatasinya.

Misalnya kelalaian di bidang kesehatan, kelalaian dibidang pendidikan, kelalaian di bidang fisik ataupun kelalaian dibidang emosional.

Bentuk-bentuk dari semua tindak kekerasan yang diterima anak akan direkam dalam alam bawah sadar mereka dan akan dibawa sampai pada masa dewasa dan terus sepanjang hidupnya. Akibatnya si anak setelah tumbuh dan berkembang menjadi dewasa akan sangat agresif dan melakukan kekerasan yang serupa terhadap anak-anak.

58

Berikut hendak dikemukakan beberapa bentuk perbuatan (tindak pidana) kekerasan terhadap anak yang ditetapkan dalam KUHP, UU Perlindungan Anak,

57

Ikatan Dokter Indonesia, Departemen Kesehatan dan UNICEF, “Buku Pedoman Pelatihan Deteksi Dini & Penatalaksanaan Korban Child Abuse and Neglect Bagi Tenaga Profesional Kesehatan”, 2003, hal. 10, diunduh dari

tangal 1 April 2014, jam 13.00

58


(41)

dan UU KDRT. Dalam KUHP ada beberapa tindak pidana, bahkan ada yang secara eksplisit disebutkan sebagai kekerasan terhadap anak, yaitu:59

(1) Tindak pidana (kejahatan) terhadap asal-usul dan perkawinan, yaitu melakukan pengakuan anak palsu (Pasal 278);

(2) Kejahatan yang melanggar kesusilaan, seperti menawarkan, memberikan, untuk terus menerus atau sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, maupun alat untuk mencegah atau menggugurkan kehamilan kepada seorang yang belum dewasa (Pasal 283), bersetubuh dengan wanita yang diketahui belum berumur lima belas tahun di luar perkawinan (Pasal 287), melakukan perbuatan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul terhadap orang yang belum berumur lima belas tahun (Pasal 290), melakukan perbuatan cabul terhadap anak kandung, anak tiri, anak angkat, anak di bawah pengawasan, pemeliharaan, pendidikan, atau penjagaannya, yang belum dewasa (Pasal 294), menyebabkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan cabul oleh anak kandung, anak tiri, anak angkat, anak di bawah pengawasan, pemeliharaan, pendidikan, atau penjagaannya, yang belum dewasa dengan orang lain (Pasal 295), melakukan perdagangan anak (Pasal 297), membikin mabuk terhadap anak (Pasal 300), memberi atau menyerahkan seorang anak yang ada di bawah kekuasaannya kepada orang lain untuk melakukan pengemisan atau pekerjaan yang berbahaya atau pekerjaan yang dapat merusak kesehatannya (Pasal 301);

(3) Kejahatan terhadap kemerdekaan orang, seperti menarik orang yang belum cukup umum dari kekuasaan yang menurut UU ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang lain (Pasal 330), menyembunyikan orang yang belum dewasa (Pasal 331), melarikan wanita yang belum dewasa tanpa dikehendaki orang tuanya atau walinya, tetapi disetujui oleh wanita itu (Pasal 332);

(4) Kejahatan terhadap nyawa, merampas nyawa (pembunuhan) anak sendiri yang baru lahir (Pasal 341 dan 342);

(5) Kejahatan penganiayaan terhadap anaknya sendiri (Pasal 351-356). Seperti dikemukakan di atas, ada beberapa bentuk kekerasan terhadap anak, yaitu kekerasan fisik, psikis, dan seksual. Bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak tersebut dijabarkan ke dalam berbagai tindak pidana, seperti diatur dalam

59

Sri Sumarwani, Kekerasan Pada Anak Bentuk, Penanggulangan, dan Perlindungan

Pada Anak Korban Kekerasan.

diakses pada


(42)

Pasal 77 s/d Pasal 89. Berbagai bentuk tindak pidana kekerasan pada anak dalam UU Perlindungan Anak adalah sebagai berikut: 60

(1) Diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya (Pasal 77);

(2) Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan fisk, mental, maupun social (Pasal 77);

(3) Membiarkan anak dalam situasi darurat, seperti dalam pengusian, kerusuhan, bencana alam, dan/atau dalam situasi konflik bersengjata (Pasal 78);

(4) Membiarkan anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkhohol, psikotropika, dan zat adiktif lainya (napza), anak korban penculikan, anak korban perdagangan, padahal anak tersebut memrlukan pertolongan dan harus dibantu (Pasal 78);

(5) Pengangkatan anak yang tidak sesuai dengan Pasal 39 (Pasal 79);

(6) Melakukan kekejaman, kekerasan atau penganiayaan terhadap anak (Pasal 80);

(7) Melakukan kekerasan terhadap anak untuk melakukan persetubuhan (Pasal 81);

(8) Melakukan kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan perbuatan cabul (Pasal 82);

(9) Memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual (Pasal 83);

(10) Melakukan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh anak untuk pihak lain dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, secara melawan hukum (Pasal 84);

(11) Melakukan jual beli organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak (Pasal 85); (12) Melakukan pengambilan organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak, tanpa

memperhatikan kesehatan anak, atau penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai objeknya tanpa mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak, secara melawan hukum (Pasal 85);

(13) Membujuk anak untuk memilih agama lain dengan menggunakan tipu muslihat atau serangkaian kebohongan (Pasal 86);

(14) Merekrut atau memperalat anak untuk kepentingan militer atau penyalahgunaan dalam kegiatan politik atau pelibatan dalam sengketa bersenjata, kerusuhan social, peristiwa yang mengnadung kekerasan, atau dalam peperangan, secara melawan hukum (Pasal 87);

60

Sri Sumarwani, Kekerasan Pada Anak Bentuk, Penanggulangan, dan Perlindungan

Pada Anak Korban Kekerasan.

diakses pada


(43)

(15) Mengeksploitasiekonomi dan seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain (Pasal 88);

(16) Menempatkan, membiarkan, melibatkan, menuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan produksi atau distribusi narkotika, psikotropika, alkhohol, dan/atau zat adiktif lainya (napza) (Pasal 89).

Berbagai bentuk kekerasan yang ditetapkan sebagai tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dalam UU KDRT adalah sebagai berikut: (1) melakukan kekerasan fisik dalam rumah tangga (Pasal 44); (2) melakukan kekerasan psikis dalam rumah tangga (Pasal 45); (3) melakukan kekerasan seksual (Pasal 46-48); dan (4) menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangga (Pasal 49).61

B. Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan terhadap Anak

Sebelum melihat faktor terjadinya tindak kekerasan terhadap anak, baiklah terlebih dahulu memahami profil atau latar belakang dari korban dan pelaku tindak kekerasan ini. Karena tidak dapat dipungkiri, latar belakang dari korban dan pelaku ini sedikit banyak mempengaruhi terjadinya tindak kekerasan ini.

Secara umum, anak yang menjadi korban dari tindak kekerasan sebenarnya tidak dibatasi oleh perbedaan jenis kelamin, dalam arti, baik anak laki-laki maupun perempuan keduanya potensial dan merupakan sasaran empuk dari perlakuan semena-mena yang berkembang di masyarakat. Namun demikian, bila dibandingkan secara kuantitatif jumlah anak yang menjadi korban tindak kekerasan biasanya lebih dominan menimpa anak perempuan. Menurut Harkristuti Harkrisnowo, dibandingkan anak laku-laki secara struktural anak perempuan memang lebih vulnerable, lebih lemah, tergantung, dan mudah dikuasai, dan diancam oleh pelaku.62

Umur anak-anak yang menjadi korban tindak kekerasan relatif bervariasi: bisa menimpa anak-anak remaja berusia sekitar 17 -18 Tahun, tetapi sering kali pula dialami anak-anak balita yang berusia di bawah 5 Tahun atau bahkan para jabang bayi yang masih merah: baru lahir, tetapi karena orang tuanya malu dan untuk menyembunyikan aib, maka bayi yang seharusnya diberi limpahan

61

Ibid.

62

Bagong Suyanto, op.cit, hal 49, mengutip Harkristuti Harkriswono, “Anak & Kekerasan: Kasus di Indonesia”, Dibacakan pada acara Lokakarya Hak Asaso dan Perlindungan Anak. Diselenggaraan oleh Lembaga pers Dr. Soetomo dan UNICEF 6-7 Oktober 1998).


(44)

sayang dan disambut gembira para orang tuanya itu kemudian dibunuh. Menurut data yang dimuat media massa selama 1994-1996, Irwanto menyimpulkan bahwa anak yang menjadi korban tindak kekerasan separuhnya berusia di bawah 13 Tahun, dan sekitar 20% berusia di bawah 10 Tahun.63

Latar belakang ekonomi korban menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya tindakan kekerasan terhadap anak. Dari berbagai berita yang diidentifikasi LPA Jatim, memang sebagian besar tidak diketahui dengan pasti bagaimana latar belakang ekonomi korban. Namun di sebagian berita dengan jelas disebutkan bahwa korban umumnya adalah berasal dari golongan masyarakat miskin. Di harian pagi Jawa Pos, diketahui 15% korban adalah berasal dari kelas miskin. Sementara itu, untuk korban yang berasal dari kelas menengah ke atas hanya 8,7%. Di harian pagi, Memorandum polanya hampir sama: 18,7% korban adalah berasal dari golongan masyarakat miskin dan 12,2% berasal dari kelas menengah ke atas. Untuk kasus child abuse, seperti anak diperkosa, diperlakukan kasar, dan sebagainya pada dasarnya memang potensial terjadi di lingkungan komunitas yang sederhana, termarginalisasi dan miskin, karena gaya hidup, kondisi lingkungan dan “ruang” untuk terjadinya peristiwa itu memang lebih terbuka. 64

Kekerasan anak kini merupakan problema sosial. Dalam waktu singkat apat didaftarkan beberapa faktor sosial yang menjadi penyebab kekerasan pada anak yaitu:65

1. Emosional orang dewasa. Konsekwuensi logisnya, kekerasan pada anak yang seyogianya dikurangi dan akhirnya diberantas habis, malah bertambah banyak dengan berbagai modusnya.

2. Nilai-nilai sosial. Struktur ekonomi dan politik selama ini melahirkan gap yang sangat dalam antara individu lainnya dan kelompok satu dengan lainnya. Kelompok yang tertekan secara ekonomis lebih berpotensi melakukan kekerasan terhadap anak. Himpitan ekonomis memaksa orang tua menyuruh anak mencari nafkah dan apabila si anak gagal maka orang tua akan marah dan melakukan tindakan kekerasan fisik terhadap anak.

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kekerasan terhadap anak demikian kompleks. Menurut Suharto, kekerasan terhadap anak umumnya

63

Ibid. hal. 50, mengutip Muhammad Farid Irwanto & Jeffry Anwar, Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus di Indonesia: Analisis Situasi, (Jakarta: Kerjasama PKPM Unika Atmajaya Jakarta, Departemen Sosial dan UNICEF, 1999).

64

Suyanto, op.cit., hal.53

65


(45)

disebabkan oleh faktor internal yang berasal dari anak sendiri maupun faktor eksternal yang berasal dari kondisi keluarga dan masyarakat, seperti:66

1. Anak mengalami cacat tubuh, retardasi mental, gangguan tingkah laku, auitsme, anak terlalu lugu, memiliki tempramen lemah, ketidaktahuan anak akan hak-haknya, anak terlalu bergantung pada orang dewasa.

2. Kemiskinan keluarga, orang tua menganggur, penghasilan tidak cukup, banyak anak.

3. Keluarga tunggal atau keluarga pecah (broken home), misalnya perceraian, keatiadaan ibu untuk jangka panjan atau keluarga tanpa ayah dan ibutidak mampu memenuhi kebutuhan anak secara ekonomi.

4. Keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidaktahuan mendidik anak, harapan orang tua yang terlalu realistis, anak yang tidak diinginkan (unwanted child), anak yang lahir di luar nikah.

5. Penyakit parah atau gangguan mental pada salah satu atau kedua orang tua, misalnya tidak mampu merawat dan mengasuh anak karena gangguan emosional dan depresi.

6. Sejarah penelantaran anak. Orang tua yang semasa kecilnyaa mengalami perlakuan salah cenderung memperlakukan salah anak-anaknya.

7. Kondisi lingkunan sosial buruk, pemukian kumuh, tergusurnya tempat bermain anak, sikap acuhtak acuh terhadap tindakan eksploitasi, pandangan terhadap nilai anak yang terlalu rendah, meningkatnya faham ekonomi upah, lemahnya perangkat hukum, tidak adanya mekanisme kontrol sosial yang stabil.

Sementara itu, Rusmil menjelaskan bahwa penyebab atau risiko terjadinya kekerasan dan penelantaran terhadap anak dibagi ke dalam tiga faktor, yaitu: faktor orang tua/keluarga, faktor lingkungan sosial/komunitas, dan faktor anak sendiri.67

1. Faktor orang tua/keluarga

Faktor orang tua memegang peranan penting terjadinya kekerasan dan penelantaran terhadap anak.faktor-faktor yang menyebabkan orang tua melakukan kekerasan pada anak diantaranya:

a. Praktik-praktik budaya yang merugikan anak: - Kepatuhan anak kepada orang tua

66

Abu Huraerah, op.cit, hal. 50, mengutip Edi Suharto, Pembangunan, Kebijakan Sosial, dan Pekerjaan Sosial, (Bandung: Lembaga Studi Pembangunan-Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial, 1997), hal. 336-337.

67

Abu Huraerah, op.cit, hal. 51, mengutip Kusnadi Rusmil, “Penganiayaan dan Kekerasan terhadap Anak” Makalah disampaikan pada Seminar Sehari “Penanganan Korban Kekerasan pada Wanita dan Anak”, tanggal 19 Juni di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung.


(1)

tersebut dengan pidana penjara 15 (lima belas) tahun, dimana 5 (lima) tahun lebih tinggi dibandingkan dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum, yang menurut penulis putusan tersebut sudah mencerminkan keadilan, karena pada kasus ini, korban adalah anak-anak yang sesuai dengan pandangan sarjana dan pandangan majelis hakim seharusnya mendapatkan perlindungan oleh orang-orang disekitarnya khususnya yang sudah dewasa, bukan untuk dianiaya sebagai pelampiasan emosi.

B. Saran

Kekerasan terhadap anak semakin lama semakin meningkat. Diperlukan adanya pengawasan terutama dari orang terdekat, yaitu keluarga dan orang tua yang merupakan suatu kewajiban. Selain itu, pemerintah diharapkan juga memberikan perhatian khusus terhadap kesejahteraan anak, terutama dalam perlindungan anak dari tindakan-tindakan kekerasan.

Sebenarnya, bentuk perlindungan itu sudah ada, terbukti dengan adanya UU RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, tetapi pada kenyataanya belum terlaksana dengan cukup baik. Hal ini dibuktikan dengan makin maraknya kasus penganiayaan terhadap anak. Oleh sebab itu, pemerintah diharapkan lebih memberikan perhatian dan perlindungan khusus yang lebih terhadap anak. Selain itu, penulis juga mengharapakan pemerintah melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap perkembangan tekhnologi, khususnya tayangan televisi dan juga akses internet yang dewasa ini semakin tidak terkontrol dan secara eksplisit


(2)

menampilkan adegan-adegan kekerasan dan adegan yang tidak patut dipertontonkan secara umum.

Penulis juga setuju dengan pandangan Majelis Hakim, dimana seharusnya ada penjatuhan hukuman yang lebih berat terhadap pelaku tindakan kekerasan yang menyebabkan matinya anak. Hal ini melihat pasal 80 ayat (3) UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dimana hukuman terhadap pelaku tindak kekerasan terhadap anak tersebut hukumannya kurang memberatkan pelaku dibandingkan peraturan yang ada di KUHP yang tidak secara khusus mengatur tentang penjatuhan pidana terhadap anak.

Selain itu, harus ada juga partisipasi dari masyarakat untuk menghindari semakin bertambahnya tindak kekerasan terhadap anak dengan cara melakukan pengawasan. Misalnya dengan cara melaporkan ke pihak yang berwajib apabila mengetahui adanya tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap anak.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Chazawi, Adami. Pelajaran Hukum Pidana I.Jakarta: PT Grafindo Persada, 2002. Departemen Pendidikan Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (ed. Ke 3),

Jakarta:Balai Pustaka, 2001.

Gunadi, Ismu. Cepat & Mudah Memahami Hukum Pidana (jilid 2).Surabaya: PT.Prestasi Pustakaraya, 2011.

Hamzah, Jur. Andi. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Perkembangannya. Jakarta: PT. Sofmedia. 2012.

Huraerah, Abu. Child Abuse (Kekerasan terhadap Anak). Bandung: Nuansa, 2007.

Ikatan Dokter Indonesia, Departemen Kesehatan dan UNICEF, “Buku Pedoman Pelatihan Deteksi Dini & Penatalaksanaan Korban Child Abuse and Neglect Bagi Tenaga Profesional Kesehatan”, 2003, hal. 10, diunduh dari 13.00

Kansil,C.S.T, Engelien R. Palendeng dan Altje Agustin Musa, Tindak Pidana Dalam Perundang-undangan Indonesia. Jakarta : Jala Permata Aksara, 2009.

Lamintang, P.A.F. dan Theo Lamintang. Delik-Delik Khusus: Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh, dan Kesehatan. Jakarta: Sinar Grafika, 2012. Magdalena, Merry. Melindungi Anak dari Seks Bebas. Jakarta : Gramedia

Widiasarana Indonesia, 2010.

Manik, Sulaiman Zuhdi. Kekerasan Terhadap Anak dalam Wancana dan Realita/Editor. Medan : Pusat Kajian dan Pelindungan Anak, 1999

Mulyadi, Mahmud. Criminal Policy: Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy dalam penanggulangan Kejahatan Kekerasan. Medan : Pustaka bangsa Press, 2008.

Persada, RM Ksatria Bhumi. “Kekerasan Personal Terhadap Anak Jalanan Sebagai Individu dalam Ruang Publik : Studi Kasus Terhadap Tiga Anak Jalan Laki-Laki Binaan Rumah Singgah Dilts Foundation.” Skripsi Sarjana, Fakultas Kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta, 2012.


(4)

Soetjiningsih. Tumbuh Kembang Anak. ed. Prof.dr.IG.N. Gde Ranuh, DSAK .Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1995.

Suyanto, Bagong, Masalah Sosial Anak. Jakarta : Kencana, 2010.

UNICEF (United Nations Children’s Fund), A Focussed Study on Child Abuse in Six Selected Province in Indonesia, lokasi : Medan . Centre for Tourism Research and Develompment Gadjah Mada University. Hal. 13, mengutip UNICEF Digest, the Innocenti Digest nr.2 (1991), hal. 2.

Weiner, Neil Alan. et. Al. (Ed.) Violence: Pattern, Causes, Public Policy. USA: Harcourt Brace Jovanovich (HBJ) Publisher,

Winarta, Frans H. Suara Rakyat Hukum Tertinggi. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2009.

Zulfa, Eva Achjani, Pergeseran Paradigma Pemidanaan. Bandung: CV Lubuk Agung, 2011.

UNDANG-UNDANG

- Undang-Undang Dasar 1945

- KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) - KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)

- Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak - Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi KHA - Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia - Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

- Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga

INTERNET

Claus, Michael dan Nuraini Razak (ed.) Stop Kekerasan terhadap Anak Merupakan Urusan Semua Orang, Februari 2014, pukul 11.25


(5)

Denico Doly, Tindak Pidana Pembunuhan dan Premanisme, Info Hukum Singkat,

2012, hal. 3,

(http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/info_singkat/Info%20Singkat-IV-4-II-P3DI-Februari-2012-39.pdf) , tanggal 9 desember 2013 pukul 11.37 Dwijayadi, Adi. “Inilah 8 Sebab Kekejaman terhadap Anak”.2010,

(http://nasional.kompas.com/read/2010/12/21/11575989/Inilah.8.Sebab.Ke kejaman.terhadap.Anak), diakses tanggal 21 Oktober 2013, jam 19.47 http://www.kpai.go.id/kanal/hukum/

pada tanggal 16 Februari 2014, jam 09.51

april 2014 jam 10.20

Huda, Nurul. “Kekerasan Terhadap Anak dan Masalah Sosial yang Kronis,” Jurnal Unikal : Pena Justisia Volume VII No.14, tahun 2008, hal. 8, diunduh http://www.irf.or.id/berita/9-irf-uu-perlindungan-anak-banyak-kelemahan.html

Indah Mutiara Kami, “Hingga Oktober 2013 Separuh Kekerasan Pada Anak Adalah Kejahatan Seksual”, 2013,

Diakses pada tanggal 29 November 2013 , jam 10.15

Irwanto, Dosen Fakultas Psikologi Unika Atma jaya Jakarta dalam esainya yang berjudul, “Perilaku Kekerasan Pada Anak: Apakah Hukuman Saja Cukup?”

09.29

Isnaini. “Kekerasan Pada Anak Terus Meningkat”. 19.20

Tobing, Letezia. Perbuatan-Perbuatan yang termasuk Penganiayaan, Perbuatan-Perbuatan yang termasuk Penganiayaan, diakses tanggal 14 februari 2014, pukul 22.59


(6)

Mawalu, “Rezza Eka Wardana (16), Korban Pemukulan Helm Oleh Polisi, Meninggal Dunia”, 2012, (http://metro.kompasiana.com/2012/11/04/reza- eka-wardana-16-korban-pemukulan-helm-oleh-polisi-meninggal-dunia-500454.html), diakses tanggal 21 Oktober 2013, jam 19.43

Parwito, “Perampok Pembunuh 2 Balita di Semarang Terlacak Berkat HP.”, 19.30

Pratama, Ray. “Tindak Pidana Kekerasan dan Jenis-Jenisnya”. http://raypratama.blogspot.com/2012/02/tindak-pidana-kekerasan-dan-jenis.html

“Puskesmas Mampu Tata Laksana Kekerasan terhadap Anak”, jam 19.43

Sumarwani. Kekerasan Pada Anak Bentuk, Penanggulangan, dan Perlindungan Pada Anak Korban Kekerasan. diakses pada tanggal 18 Februari 2014, pukul 07.32


Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridi Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Anak Yang Menyebabkan Kematian (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No.791/Pid.B/2011/PN.SIM)

5 130 108

Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Aparat Kepolisian Yang Menyebabkan Kematian(Studi Putusan Nomor : 370/Pid.B/2013/Pn.Sim)

1 112 102

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 64 103

Tinjauan Kriminologi Dan Hukum Pidana Tentang Tindak Pidana Penganiayaan Yang Dilakukan Terhadap Anak Kandungnya (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tulungagung Nomor : 179/Pid.Sus/2012/PN.Ta)

5 134 138

Tinjauan Psikologi Kriminal Penyimpangan Perilaku Seksual Terhadap Tindak Pidana Mutilasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Depok Nomor 1036/PID.B/2009/PN.DEPOK)

18 111 171

BAB II PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Bentuk-Bentuk Kekerasan terhadap Anak - Tinjauan Yuridi Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Anak Yang Menyebabkan Kematian (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri

0 0 28

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridi Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Anak Yang Menyebabkan Kematian (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No.791/Pid.B/2011/PN.SIM)

0 0 26

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 0 9

Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat)

0 1 100

Tinjauan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penganiayaan Yang Dilakukan Oleh Anak (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Medan)

0 11 90