Perlindungan Hukum Terhadap Anak Di Bawah Umur Akibat Putusnya Perkawinan Karena Perceraian (Studi Pada Masyarakat Batak Toba Kristen Di Medan)

(1)

TESIS

Oleh

ERNAWATI Br. SITORUS

107011089/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

ERNAWATI Br. SITORUS

107011089/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Nama Mahasiswa : ERNAWATI BR. SITORUS

Nomor Pokok : 107011089

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

Pembimbing Pembimbing

(Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS) (Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Runtung, SH, MHum

Anggota : 1. Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, MHum 2. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS

3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 4. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum


(5)

Nama : ERNAWATI BR. SITORUS

Nim : 107011089

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DI

BAWAH UMUR AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN (STUDI PADA MASYARAKAT BATAK TOBA KRISTEN DI MEDAN)

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama :ERNAWATI BR. SITORUS Nim :107011089


(6)

dalam kenyataannya tidak semua perkawinan dapat berlangsung dengan langgeng dan tidak ada seorang pun yang ingin perkawinannya berakhir dengan jalan perceraian. Dalam hal suatu perkawinan sudah putus karena perceraian, tidaklah mengakibatkan hubungan antara orang tua (suami dan isteri yang telah bercerai) dan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut menjadi putus juga.

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui penentuan hak asuh kepada anak di bawah umur jika terjadi perceraian pada masyarakat Batak Toba Kristen di Medan, untuk mengetahui tanggungjawab orangtua yang telah bercerai dalam pemberian nafkah terhadap anak di bawah umur, dan untuk mengetahui hambatan apa yang timbul dalam perlaksanaan perlindungan hukum terhadap anak di bawah umur jika orang tuanya bercerai pada masyarakat Kristen Batak Toba di Medan.

Kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Perlindungan Hukum. Munculnya teori perlindungan hukum ini bersumber dari teori hukum alam atau aliran hukum alam. Menurut aliran hukum alam menyebutkan bahwa hukum itu bersumber dari Tuhan yang bersifat universal dan abadi, serta antara hukum dan moral tidak boleh dipisahkan. Para penganut aliran ini memandang bahwa hukum dan moral adalah cerminan dan aturan secara internal dan eksternal dari kehidupan manusia yang diwujudkan melalui hukum dan moral.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deskriftif analitis yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang suatu keadaan atau gejala-gejala lainnya. Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis empiris. Data sekunder diperoleh melalui studi dokumen. Putusan-putusan pengadilan negeri medan yang diteliti ditetapkan secara

purposive sejumlah 5 (lima) putusan. Sedangkan data primer diperoleh melalui wawancara dengan penetua adat, pendeta, masyarakat adat, dan hakim pengadilan negeri medan. Responden ditetapkan sebanyak 10 (sepuluh) orang yang masing-masing terdiri dari 5 (lima) orang tua laki-laki yang telah bercerai dan 5 (lima) orang tua perempuan yang telah bercerai. Analisis data dilakukan secara kualitatif, kesimpulan diambil dengan menggunakan cara berpikir induktif dan setelah analisis data selesai maka hasilnya kemudian akan disajikan secara deskriptif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada umumnya dalam masyarakat Batak Toba, anak akan jatuh ketangan suami, hal ini dikarenakan masyarakat Batak Toba menganut garis keturunan patrilineal. Namun dalam hal terdapat anak balita yang masih menyusui, maka anak tersebut akan tinggal bersama dengan ibunya sampai cukup usia untuk di pisah menyusui (sirang susu) yaitu 2-3 tahun. Suami berkewajiban menafkahi anak-anaknya tersebut. Pada umumnya hak pemeliharaan anak di bawah umur jatuh ke tangan ibunya. Pilihan ini diberikan berdasarkan beberapa penilaian objektif yaitu : Apabila anak korban perceraian tersebut adalah


(7)

anak sudah bebas menentukan dengan siapa ia akan diasuh. Dan hambatan yang timbul dalam pelaksanaan tanggungjawab orang tua ini tidak adanya Undang-undang yang mengatur mengenai pemeliharaan anak pasca perceraian orangtuanya. Selain itu juga putusan pengadilan sulit dilaksanakan karena tidak adanya sanksi bagi orangtua terutama ayah yang melalaikan kewajibannya. Adapun kelalaian orangtua dalam pelaksanaan tanggung jawabnya disebabkan oleh faktor-faktor : ekonomi, orangtua menikah lagi, psikologis, orang tua perempuan mampu untuk memberikan nafkah anak.

Adapun saran dalam tesis ini adalah perlu dibuat Undang-undang baru yang secara tegas mengatur mengenai sanksi atau hukuman bagi orang tua yang melalaikan kewajibannya terhadap anak di bawah umur atau untuk mencegah kelalaian orang tua sebaiknya dibuat suatu akte notaris yang dengan tegas mengatur mengenai pelaksanaan kewajiban pemberian nafkah anak oleh ayah serta adanya sanksi bagi pelanggarannya.


(8)

does not result in relationship breakdown between parents and their children.

The purpose of this study was to find out how the custody of the child/children was determined if a divorce occurred in the community of Christian Batak Toba in Medan, what the responsibility of divorced parents in providing a living to their under-age children is, and the constraints faced in the implementation of legal protection for the minorsdue to their parents’ divorce in the community of Christian Batak Toba in Medan.

The theory used in this study was theory of Legal Protection developed from the theory of natural law or the school of natural law. According to the theory or school of natural law, law comes from God that is universal and eternal, and law and morality must not be separated. The foloowers of this school look at law and morality as the reflection and the materialization of both internal and external rules in human life.

The data used in this descriptive analytical with empirical juridical approach were primary and secondary data. The secondary data were in the forms of 5 (five) purposively selected decisions of Medan District Court obtained through documentation study, and the primary data were obtained through interviews with adat leaders, priests, adat community, the judges of Medan District Court, and 10 (ten) respondents comprising5 (five) divorced fathers and 5 (five) divorced mothers. The data obtained were qualitatively analyzed, the conclusion was inductively taken, and the result of analysis was descriptively presented.

The result of this study showed that, in general, in Batak Toba community, children will be under the husband’s custody because the Batak Toba belongs to patrilineal community. But, the child under five years old who is still breastfed by his/her mother will stay with his/her mother until he/she is 2-3 years of age. The husband is obliged to provide a living for his under-aged children. In general, the custody of the under-aged children is given to their mother based on several objective judgments, namely: if the child is still very young and need more love and affection from his/her mother, it will be wiser to give the right of custody to his/her mother and in general his/her mother stays home more than his/her father does due to his earning a living outside the home that mother’s love and affection is much bigger than that of father. The constraints faced in the implementation of this parental responsibility was the absence of law regulating the care of children after their parents’ divorce. In addition to that, the court decision was hard to be implemented because there was no sanction for the parents especially for the father who ignores his obligation. The ignorance of parents in implementing their obligation is due to the factors such as economy, remarried parents, psychology, mother’s ability to provide a living for her children.

It is suggested that it is a need to make a new law which clearly and strictly regulates thje sanction for the parents who ignore their obligation to their under-aged children or to prevent the ignorance of the parents, a notarial deed clearly and strictly regulating the implementation of fatjer’s obligation to provide a living for his children and the penalties for the offense should be made.


(9)

dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul

“PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR

AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN (STUDI PADA MASYARAKAT BATAK TOBA KRISTEN DI MEDAN).”

Penulisan tesis ini merupakan suatu persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormatBapak Prof. Dr. Runtung SH, M.Hum., Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS., dan Ibu Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, M.Hum, selaku Komisi Pembimbing yang telah dengan tulus dan ikhlas memberikan bimbingan serta arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil sampai pada tahap ujian tesis sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah. Kemudian juga, kepada Dosen PengujiBapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN,danIbu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, yang telah berkenan memberi masukan dan arahan sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah.

Selanjutnya ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A (K) , selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;


(10)

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas segala dedikasi dan pengarahan serta masukan yang diberikan kepada penulis selama menuntut ilmu pengetahuan di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Sumatera Utara, yang telah membimbing dan membina penulis dalam penyelesaian studi selama menuntut ilmu pengetahuan di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu Dosen serta segenap civitas akademis Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 6. Kedua orangtua tercinta, Ayahanda T.N. Sitorus dan IbundaP. Br. Siahaan

dan abang-abang saya Jhonson Sitorus, SE; Aryanto Sitorus; Majufri Sitorus; Lamhot Sitorus SKom, kakak sayaHetty Rinawati Sitorus SEdan adik saya Tumpal Sitorus atas segala rasa sayang dan cinta yang tidak terbatas sehingga menjadi dukungan untuk penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

7. Para sahabat-sahabat, Juni Yell, Cut Dara, Wilson, Mira, Kiki, Diah, Joel, Milsa, Almy, Nisa, Unna, Erwin, dan seluruh teman-teman Magister Kenotariatan Group B Angkatan 2010 atas segala doa dan dukungan serta kenangan indah yang terjalin dari persahabatan yang kita bina sekarang dan selamanya juga kepada Rory Millian Tampubolon, Jessica Tarigan, Fitri Sinaga, Samuel Silaen, dan Braja Hariandja.


(11)

9. Seluruh staf dan pegawai di Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, Ibu Fatimah, Kak Lisa, Kak Winda, Kak Sari, Kak Afni, Bang Ken, Bang Aldi, Bang Rizal dan Bang Hendri selaku manajemen administrasi yang telah membantu dalam proses penyelesaian tesis ini.

Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan, dan rezeki yang berlimpah kepada kita semua. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun tidak ada salahnya jika penulis berharap kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak.

Medan, Januari 2013 Penulis,


(12)

Nama : ERNAWATI Br. Sitorus Tempat/Tanggal Lahir : Bagan Batu, 1 Nopember 1987

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Kristen Protestan

Status : Belum Menikah

Alamat : Villa Malina Indah, Jln. Permata Raya No. 25,

Tanjung Sari

Telepon/Hp : 085221547002

II. KELUARGA

Nama Ayah : T.N. Sitorus

Nama Ibu : P. Br. Siahaan

III. PENDIDIKAN FORMAL

SD NEGERI 001 BAGAN BATU Lulus tahun 1999

SLTP YOSEF ARNOLDI BAGAN BATU Lulus tahun 2002

SMA SANTO THOMAS 2 MEDAN Lulus tahun 2005

S-1 Fakultas Hukum Universitas Parahyangan Bandung Lulus tahun 2010 S-2 Program Studi Magister Kenotariatan FH-USU Lulus tahun 2013


(13)

ABSTRACK ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... . x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penulisan ... 10

E. Keaslian penelitian ... 11

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 12

1. Kerangka Teori ... 12

2. Konsepsi ... 20

G. Metode Penelitian ... 22

1. Sifat Penelitian... 22

2. Metode Pendekatan ... 22

3. Lokasi Penelitian ... 22

4. Populasi dan Sampel ... 23

5. Sumber Data ... 24

6. Alat Pengumpulan Data... 25


(14)

B. Akibat Perceraian... 45

C. Tanggung Jawab Pemeliharaan/Hak Asuh dan Nafkah Anak... 52

BAB III TANGGUNGJAWAB ORANG TUA YANG TELAH BERCERAI TERHADAP NAFKAH ANAK DI BAWAH UMUR DALAM PUTUSAN PENGADILAN ... 59

A. Pengertian Anak Sah ... 59

1. Penggolongan Anak dan Kedudukan Anak ... 61

2. Hak-hak Anak... 66

B. Tanggung Jawab Orang tua Terhadap Anak Dalam Perkawinan 77 C. Hak Pemeliharaan dan Kewajiban Menanggung Nafkah Anak Dalam Hal Terjadinya Perceraian Suami Isteri ... 80

BAB IV HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN TANGGUNG JAWAB ORANG TUA YANG TELAH BERCERAI TERHADAP ANAK ... 98

A. Orang tua Lalai Memenuhi Kewajiban... 98

B. Upaya Yang Dapat Dilakukan Apabila Orangtua Tidak Memenuhi Kewajibannya Terhadap Anak ... 103

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 118

A. Kesimpulan ... 118

B. Saran ... 120

DAFTAR PUSTAKA ... 122 LAMPIRAN


(15)

Dari Tahun 2010 S/D 2012 ... 42 Tabel 2. Perkara Yang Diterima Di PN Medan Dari Tahun 2010 S/D 201 43 Tabel 3. Karakterisitk Responden Yang Bercerai Menurut Umur ... 44 Tabel 4. Karakteristik Responden Yang Bercerai Menurut Tingkat

Pendidikan ... 44 Tabel 5. Karakteristik Responden Yang Bercerai Menurut Pekerjaan ... 47 Tabel 6. Tanggungjawab Suami/Istri Dalam Memenuhi Biaya Hidup Anak 47 Tabel 7. Biaya Hidup (Nafkah) Untuk Anak ... 48 Tabel 8. Anak Di Bawah Umur Diasuh Oleh Istri (Ibu) ... 85 Tabel 9. Pemberian Nafkah Oleh Suami (Bapak) ... 102 Tabel 10. Kewajiban Mantan Suami (Bapak) Membayar Nafkah Anak

Dapat Dimohonkan Putusannya Ke Pengadilan Negeri ... 104 Tabel 11. Pendapat Responden Tentang Dapat Dilakukan Eksekusi Apabila


(16)

dalam kenyataannya tidak semua perkawinan dapat berlangsung dengan langgeng dan tidak ada seorang pun yang ingin perkawinannya berakhir dengan jalan perceraian. Dalam hal suatu perkawinan sudah putus karena perceraian, tidaklah mengakibatkan hubungan antara orang tua (suami dan isteri yang telah bercerai) dan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut menjadi putus juga.

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui penentuan hak asuh kepada anak di bawah umur jika terjadi perceraian pada masyarakat Batak Toba Kristen di Medan, untuk mengetahui tanggungjawab orangtua yang telah bercerai dalam pemberian nafkah terhadap anak di bawah umur, dan untuk mengetahui hambatan apa yang timbul dalam perlaksanaan perlindungan hukum terhadap anak di bawah umur jika orang tuanya bercerai pada masyarakat Kristen Batak Toba di Medan.

Kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Perlindungan Hukum. Munculnya teori perlindungan hukum ini bersumber dari teori hukum alam atau aliran hukum alam. Menurut aliran hukum alam menyebutkan bahwa hukum itu bersumber dari Tuhan yang bersifat universal dan abadi, serta antara hukum dan moral tidak boleh dipisahkan. Para penganut aliran ini memandang bahwa hukum dan moral adalah cerminan dan aturan secara internal dan eksternal dari kehidupan manusia yang diwujudkan melalui hukum dan moral.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deskriftif analitis yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang suatu keadaan atau gejala-gejala lainnya. Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis empiris. Data sekunder diperoleh melalui studi dokumen. Putusan-putusan pengadilan negeri medan yang diteliti ditetapkan secara

purposive sejumlah 5 (lima) putusan. Sedangkan data primer diperoleh melalui wawancara dengan penetua adat, pendeta, masyarakat adat, dan hakim pengadilan negeri medan. Responden ditetapkan sebanyak 10 (sepuluh) orang yang masing-masing terdiri dari 5 (lima) orang tua laki-laki yang telah bercerai dan 5 (lima) orang tua perempuan yang telah bercerai. Analisis data dilakukan secara kualitatif, kesimpulan diambil dengan menggunakan cara berpikir induktif dan setelah analisis data selesai maka hasilnya kemudian akan disajikan secara deskriptif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada umumnya dalam masyarakat Batak Toba, anak akan jatuh ketangan suami, hal ini dikarenakan masyarakat Batak Toba menganut garis keturunan patrilineal. Namun dalam hal terdapat anak balita yang masih menyusui, maka anak tersebut akan tinggal bersama dengan ibunya sampai cukup usia untuk di pisah menyusui (sirang susu) yaitu 2-3 tahun. Suami berkewajiban menafkahi anak-anaknya tersebut. Pada umumnya hak pemeliharaan anak di bawah umur jatuh ke tangan ibunya. Pilihan ini diberikan berdasarkan beberapa penilaian objektif yaitu : Apabila anak korban perceraian tersebut adalah


(17)

anak sudah bebas menentukan dengan siapa ia akan diasuh. Dan hambatan yang timbul dalam pelaksanaan tanggungjawab orang tua ini tidak adanya Undang-undang yang mengatur mengenai pemeliharaan anak pasca perceraian orangtuanya. Selain itu juga putusan pengadilan sulit dilaksanakan karena tidak adanya sanksi bagi orangtua terutama ayah yang melalaikan kewajibannya. Adapun kelalaian orangtua dalam pelaksanaan tanggung jawabnya disebabkan oleh faktor-faktor : ekonomi, orangtua menikah lagi, psikologis, orang tua perempuan mampu untuk memberikan nafkah anak.

Adapun saran dalam tesis ini adalah perlu dibuat Undang-undang baru yang secara tegas mengatur mengenai sanksi atau hukuman bagi orang tua yang melalaikan kewajibannya terhadap anak di bawah umur atau untuk mencegah kelalaian orang tua sebaiknya dibuat suatu akte notaris yang dengan tegas mengatur mengenai pelaksanaan kewajiban pemberian nafkah anak oleh ayah serta adanya sanksi bagi pelanggarannya.


(18)

does not result in relationship breakdown between parents and their children.

The purpose of this study was to find out how the custody of the child/children was determined if a divorce occurred in the community of Christian Batak Toba in Medan, what the responsibility of divorced parents in providing a living to their under-age children is, and the constraints faced in the implementation of legal protection for the minorsdue to their parents’ divorce in the community of Christian Batak Toba in Medan.

The theory used in this study was theory of Legal Protection developed from the theory of natural law or the school of natural law. According to the theory or school of natural law, law comes from God that is universal and eternal, and law and morality must not be separated. The foloowers of this school look at law and morality as the reflection and the materialization of both internal and external rules in human life.

The data used in this descriptive analytical with empirical juridical approach were primary and secondary data. The secondary data were in the forms of 5 (five) purposively selected decisions of Medan District Court obtained through documentation study, and the primary data were obtained through interviews with adat leaders, priests, adat community, the judges of Medan District Court, and 10 (ten) respondents comprising5 (five) divorced fathers and 5 (five) divorced mothers. The data obtained were qualitatively analyzed, the conclusion was inductively taken, and the result of analysis was descriptively presented.

The result of this study showed that, in general, in Batak Toba community, children will be under the husband’s custody because the Batak Toba belongs to patrilineal community. But, the child under five years old who is still breastfed by his/her mother will stay with his/her mother until he/she is 2-3 years of age. The husband is obliged to provide a living for his under-aged children. In general, the custody of the under-aged children is given to their mother based on several objective judgments, namely: if the child is still very young and need more love and affection from his/her mother, it will be wiser to give the right of custody to his/her mother and in general his/her mother stays home more than his/her father does due to his earning a living outside the home that mother’s love and affection is much bigger than that of father. The constraints faced in the implementation of this parental responsibility was the absence of law regulating the care of children after their parents’ divorce. In addition to that, the court decision was hard to be implemented because there was no sanction for the parents especially for the father who ignores his obligation. The ignorance of parents in implementing their obligation is due to the factors such as economy, remarried parents, psychology, mother’s ability to provide a living for her children.

It is suggested that it is a need to make a new law which clearly and strictly regulates thje sanction for the parents who ignore their obligation to their under-aged children or to prevent the ignorance of the parents, a notarial deed clearly and strictly regulating the implementation of fatjer’s obligation to provide a living for his children and the penalties for the offense should be made.


(19)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap manusia diciptakan secara berpasang-pasangan. Wujud dari bersatunya adalah dengan melaksanakan suatu perkawinan yang dilakukan menurut agama dan adat kepercayaannya masing-masing. Adalah menjadi kodrat alam, manusia dilahirkan selalu hidup bersama dengan manusia lainnya di dalam suatu pergaulan hidup. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari manusia sebagai makhluk sosial. Hidup bersama seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat tertentu disebut dengan perkawinan.1

Perkawinan merupakan awal dari hidup bersama antara seorang pria dan seorang wanita sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perkawinan adalah hubungan hukum yang merupakan pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang telah memenuhi syarat-syarat perkawinan untuk jangka waktu selama mungkin.2

Antara perkawinan dan sifat susunan kekeluargaan terdapat hubungan yang erat sekali. Bahkan dapat dikatakan, bahwa suatu peraturan hukum perkawinan sukar untuk dapat dipahami tanpa dibarengi dengan peninjauan hukum kekeluargaan yang

1Wiryono Prodjodikoro,Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur, Bandung, 1984, hal.7. 2 Rien G. Kartasapoetra, Pengantar Ilmu Hukum Lengkap,Penerbit Bina Aksara, Jakarta, 1988, hal. 97.


(20)

bersangkutan. Di Indonesia terdapat tiga macam sifat susunan kekeluargaan, yaitu : patrilineal, matrilineal, dan parental.3

Menurut Ali Afandi bahwa pengertian perkawinan adalah persatuan antara laki-laki dan perempuan di dalam hukum keluarga.4 Pada dasarnya tiap keluarga, kerabat serta persekutuan menghendaki sesuatu perkawinan yang sudah dilakukan itu, dipertahankan untuk selama hidupnya. Dalam kenyataannya tidak semua perkawinan dapat berlangsung dengan langgeng dan tidak ada seorang pun yang ingin perkawinannya berakhir dengan jalan perceraian. Namun apa daya, saat semua upaya dikerahkan untuk menyelamatkan suatu perkawinan ternyata pada akhirnya diputus cerai oleh pengadilan.

Perceraian pada dasarnya merupakan peristiwa hukum yang merupakan suatu kejadian yang akan menimbulkan dan menghilangkan hak maupun kewajiban. Perceraian menurut adat adalah merupakan peristiwa luar biasa, sebuah problema sosial dan yuridis yang penting dalam kebanyakan daerah.5

Perceraian merupakan salah satu peristiwa yang dapat terjadi dalam suatu perkawinan, perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan.6

“Di daerah Tapanuli, menurut sebuah komisi adat di bawah pimpinan Doktor Abdulrasjid yang melakukan penelitiannya pada waktu sebelum perang dunia kedua, menetapkan perkawinan itu sebagai suatu perjanjian tidak hanya antara

3Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-asas Hukum Adat, Penerbit CV Haji Masagung, hal.127-128.

4Ali Afandi,Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian Menurut Kitab

Undang-undang Hukum Perdata,Bina Aksara, Jakarta, 1984, hal. 98. 5ibid,hal. 143.


(21)

suami-istri tetapi juga antara kerabat kedua belah pihak yang terdiri atas golongan, yaitu pertama keluarga pihak bapak, kedua clan hula-hula yang bersangkutan, dan ketiga calan boru yang bersangkutan (“vadersijdige bloedverwanten, hunbruidgevers en hun bruidnemers”).Tanpa bantuan ketiga golongan tersebut di atas maka perceraian dalam masyarakat Batak tidak mungkin terjadi. Dan menurut adat di daerah ini menurut ketentuan komisi tersebut, perceraian hanya karena meninggal dunia saja, serta dengan alasan-alasan sebagai berikut: untuk suami, istrinya cinta kepada lelaki lain, istrinya mempunyai kebiasaan mencuri, istri melakukan perbuatan-perbuatan di luar pengetahuannya dan istri tidak menghormati adat istiadat”.7

Menurut Pasal 209 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan berbagai alasan yang dapat mengakibatkan perceraian, terdiri atas :

1. Zinah atauoverspel

2. Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad jahat.

3. Penghukuman dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau dengan hukuman yang lebih berat, yang diucapkan setelah perkawinan.

4. Melukai berat atau menganiaya, dilakukan oleh si suami atau si istri terhadap istri atau suaminya, yang demikian, sehingga membahayakan jiwa pihak yang dilukai atau dianiaya, sehingga mengakibatkan luka-luka yang membahayakan.

Sebagai peristiwa hukum, perceraian mempunyai hubungan yang erat dengan sikap tindak dalam hukum yang berupa tanggung jawab yaitu tanggung jawab (responsibility) terhadap pihak lain.8

Sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berlaku untuk seluruh rakyat Indonesia dan di seluruh wilayah Indonesia, maka sejak itulah setiap perkawinan harus didasarkan pada

Undang-7

Soerojo Wignjodipoero,Op.Cit., hal 145.

8


(22)

undang Nomor 1 Tahun 1974 serta peraturan pelaksanaannya dan semua peraturan yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku lagi.9

Berdasarkan ketentuan Pasal 41 Undang–undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa akibat dari putusnya suatu perkawinan karena perceraian adalah:

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.

b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

Ketentuan di atas juga menegaskan bahwa negara melalui Undang-undang Perkawinan tersebut telah memberikan perlindungan hukum bagi kepentingan anak-anak yang perkawinan orang tuanya putus karena perceraian, yaitu mengenai hak asuh anak di bawah umur.

Dalam hal suatu perkawinan sudah putus karena perceraian, tidaklah mengakibatkan hubungan antara orang tua (suami dan isteri yang telah bercerai) dan


(23)

anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut menjadi putus juga. Sebab dengan tegas telah diatur bahwa suami dan istri yang telah bercerai tetap mempunyai kewajiban sebagai orang tua yaitu untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya, termasuk dalam hal pembiayaan yang timbul dari pemeliharaan dan pendidikan dari anak tersebut. Hanya hak asuh yang pindah kesalah satu pihak yaitu beralih ke ayah atau ke ibunya.

Menurut Hukum Adat, perceraian ataupun meninggalnya salah satu orang tua, tidaklah menimbulkan perwalian. Hal ini disebabkan oleh karena didalam perceraian, anak masih berada pada salah satu dari kedua orang tuanya.10

Dalam undang-undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang ada pada Pasal 1 Ketentuan umum, mengatur beberapa pengertian, seperti:

1) Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan;

2) Anak asuh adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga, untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara wajar ;

3) Kuasa asuh adalah kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan menumbuhkembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan kemampuan, bakat, serta minatnya.

10Azis Aminah,Aspek Hukum Perlindungan Anak,Universitas Sumatera Utara Press, Medan, 1998, hal.40.


(24)

Pasal 14 Undang-undang tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa : Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.

Dalam UU Perkawinan tidak terdapat definisi mengenai hak asuh tersebut, namun jika melihat Pasal 1 angka 11, Undang Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak terdapat istilah Kuasa Asuh yaitu kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan menumbuh kembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan kemampuan, bakat, serta minatnya.

Satu-satunya aturan yang dengan jelas dan tegas memberikan pedoman bagi hakim dalam memutus pemberian hak asuh atas anak tersebut terdapat dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyatakan bahwa dalam hal terjadi perceraian :

a) Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.

b) Pemeliharaan anak yang sudahmumayyizdiserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaan.

c) Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

Ketentuan KHI diatas nampaknya tidak dapat berlaku secara universal, karena hanya akan mengikat bagi mereka yang memeluk agama Islam (yang perkaranya diperiksa dan diputus di Pengadilan Agama). Sedangkan untuk orang-orang yang


(25)

bukan beragama Islam (yang perkaranya diperiksa dan diputus di Pengadilan Negeri), karena tidak ada pedoman yang secara tegas mengatur batasan pemberian hak asuh bagi pihak yang menginginkannya, maka hakim dalam menjatuhkan putusannya akan mempertimbangkan antara lain fakta-fakta yang terungkap di persidangan dan bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak, serta argumentasi yang dapat meyakinkan hakim mengenai kesanggupan dari pihak yang memohonkan hak asuh anak tersebut.

Perlindungan hukum meliputi kewajiban membayar nafkah anak di bawah umur dan hak asuh anak dibawah umur. Dalam mengurus dan melaksanakan kepentingan dan pemeliharaan atas anak tersebut baik secara materi, pendidikan, jasmani dan rohani dari anak tersebut. Misalnya dalam persidangan tersebut terungkap bahwa suami atau istri tersebut sering berbuat kasar dan memiliki perilaku yang buruk seperti mabuk, berjudi dan sebagainya. Selain itu akan diperhatikan juga dari segi finansial, apakah pihak yang memohonkan hak asuh anak tersebut memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan baik sandang, pangan dan papan dari anak tersebut nantinya. Semua ini dipertimbangkan oleh hakim semata-mata dilakukan demi kepentingan dan kemanfaatan dari si anak tersebut. Tentunya mereka yang tidak dapat memberikan penghidupan yang layak bagi si anak, sangat sulit untuk diberikan hak asuh.

Permasalahan lain yang dapat timbul dari pemberian hak asuh tersebut antara lain, keinginan dari pihak bapak atau ibu yang tidak mendapat hak asuh untuk tetap dapat bertemu dengan anak-anaknya yang berada dalam pengasuhan bapak atau ibu yang mendapatkan hak asuh atas anak-anak tersebut. Sehingga kemudian terjadi


(26)

perselisihan hak asuh anak di bawah umur yang sulit dipecahkan. Jika salah satu pihak saja yang meminta hak asuh anak di bawah umur, hakim dapat saja langsung mengabulkan. Tetapi yang terjadi dalam kasus perceraian itu adalah perebutan terhadap hak asuh anak di bawah umur.

Perlindungan anak dalam hal orangtuanya bercerai sangat erat kaitannya dengan kekuasaan orangtuanya walaupun perkawinan telah putus oleh karena perceraian. Perceraian yang dilakukan oleh seorang suami dan istri menimbulkan akibat terhadap anak-anaknya baik secara moril maupun materiil. Secara moril bahwa anak-anaknya tersebut menanggung konsekuensi bahwa kedua orangtuanya tidak bersama lagi dalam suatu rumah tangga dan otomatis perhatian dan kasih sayang yang tercurah pada anak tidak seperti saat berkumpul dulu. Secara materiil ialah diberikan nafkah, yang menjadi hak seorang anak yang didapat dari kedua orang tuanya.

Sehubungan dengan tanggungjawab terhadap anak-anak tersebut, dalam masyarakat batak toba, kesalahan pada satu pihak menyebabkan pihak yang lain mempunyai hak yang lebih terhadap anak-anaknya. Dalam hal ini contohnya ialah perzinahan yang dilakukan oleh seorang ibu, dan hal tersebut dapat dibuktikan oleh suaminya. Sehingga dengan demikian hak asuh anak di bawah umur akan jatuh ketangan ayahnya.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo PP Nomor 9 Tahun 1975 sudah mengatur secara tegas mengenai kewajiban membayar nafkah dan hak asuh anak di bawah umur, namun tidak semua suami mempunyai iktikad baik untuk memenuhi


(27)

kewajibannya untuk membayar nafkah anak di bawah umur tersebut. Dalam hukum adat Batak Toba kewajiban membayar nafkah juga ada pada ayah, terutama hak asuh. Sementara hak asuh sendiri belum di atur secara tegas dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo PP Nomor 9 Tahun 1975, sehingga hal ini menimbulkan persoalan dalam praktek, terutama sekali dalam kasus-kasus perceraian dimana antara suami-istri menuntut hak asuh terhadap anak di bawah umur tersebut.

Berdasarkan uraian diatas, perlu suatu penelitian lebih lanjut mengenai perlindungan hukum terhadap anak dalam hal terjadi perceraian dari kedua orang tuanya yang aka dituangkan dalam judul tesis “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Di Bawah Umur Akibat Putusnya Perkawinan Karena Perceraian (Studi Pada Masyarakat Batak Toba Kristen Di Medan)”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan pada uraian latar belakang permasalahan di atas, beberapa permasalahan pokok yang akan diteliti adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah hak asuh anak di bawah umur jika terjadi perceraian pada masyarakat Batak Toba Kristen di Medan?

2. Bagaimana tanggungjawab orangtua yang telah bercerai terhadap nafkah anak di bawah umur dalam putusan pengadilan?

3. Apakah hambatan yang timbul dalam perlaksanaan perlindungan hukum terhadap anak di bawah umur jika orang tuanya bercerai pada masyarakat Batak Toba Kristen di Medan?


(28)

C. Tujuan Penelitian

Adapun penelitian ini dilaksanakan untuk dapat mengetahui hal-hal sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui penentua hak asuh kepada anak di bawah umur jika terjadi perceraian pada masyarakat Batak Toba Kristen di Medan.

2. Untuk mengetahui tanggungjawab orangtua yang telah bercerai dalam pemberian nafkah terhadap anak di bawah umur.

3. Untuk mengetahui hambatan apa yang timbul dalam perlaksanaan perlindungan hukum terhadap anak di bawah umur jika orang tuanya bercerai pada masyarakat Kristen Batak Toba di Medan.

D. Manfaat Penelitian

Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberikan mamfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu :

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pengembangan ilmu pengetahuan dan sumbangan pemikiran bagi peningkatan dan perkembangan dibidang Hukum Adat khususnya bagi masyarakat Batak Toba dalam kaitannya dengan Perlindungan Hukum Terhadap Anak Di Bawah Umur Akibat Putusnya Perkawinan Karena Perceraian serta guna menambah literatur dan bahan-bahan informasi dalam penerapan hukum di Indonesia.

2. Manfaat Praktis

a. Guna memberikan masukan yang sangat berharga bagi berbagai pihak baik akademisi, praktisi hukum dan anggota masyarakat yang memerlukan informasi hukum mengenai perlindungan hukum terhadap anak.


(29)

b. Untuk memberikan masukan serta tambahan pengetahuan bagi para pihak yang terkait dengan masalah yang diteliti dan berguna bagi pihak-pihak lain yang berkepentingan mengenai Hukum Adat dan Perlindungan hukum terhadap anak di bawah umur akibat putusnya perkawinan karena perceraian pada khususnya.

E. Keaslian Penelitian

Guna menghindari terjadinya duplikasi terhadap penelitian di dalam masalah yang sama, maka peneliti melakukan penelusuran kepustakaan khususnya di lingkungan Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan, dan belum ada penelitian sebelumnya dengan judul Perlindungan Hukum Terhadap Anak Di Bawah Umur Akibat Putusnya Perkawinan Karena Perceraian (Studi Pada Masyarakat Batak Toba Di Medan). Namun demikian ada perbandingan penelitian yang dilakukan dengan Mahasiswa Magister Kenotariatan dengan judul yaitu :

1. Fransisca M.U. Bangun (NIM 037011028), Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul penelitian “ Tanggungjawab Orang Tua Terhadap Anak Setelah Perceraian (Kajian Putusan Pengadilan Negeri Kelas I A Medan)” dengan permasalahan yang diteliti adalah :

a. Bagaimanakah putusan Pengadilan Negeri dalam menentukan tanggung jawab orang tua terhadap anak setelah perceraian?

b. Upaya apakah yang dapat dilakukan apabila orang tua tidak memenuhi kewajiban terhadap anak sesuai putusan pengadilan?


(30)

c. Apakah yang menyebabkan kesulitan melaksanakan putusan pengadilan yang telah mewajibkan orang tua untuk membiayai anaknya setelah perceraian? 2. Tessy (NIM 097011100), Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas

Sumatera Utara, dengan judul penelitian “Tanggungjawab Hukum Suami Istri

dalam Perceraian Terhadap Anak (Studi Kasus Putusan No.

209/Pdt.G/2007/PN.Mdn)” dengan permasalahan yang diteliti adalah :

a. Apa yang merupakan dasar pertimbangan hakim dalam menentukan tanggung jawab pengasuhan anak setelah perceraian?

b. Bagaimanakah upaya hukum dari tidak terlaksananya hak dan kewajiban terhadap anaknya setelah perceraian kedua orang tuanya?

c. Bagaimanakah upaya yang dapat dilakukan oleh suami atau istri apabila salah satu pihak tidak dapat memenuhi kewajibannya terhadap anak sesuai putusan pengadilan?

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori merupakan alur penalaran atau logika (flow of reasoning/logic), terdiri dari seperangkat konsep atau variabel, defenisi dan proposisi yang disusun secara sistematis.11 Teori adalah seperangkat gagasan yang berkembang disamping untuk mencoba secara maksimal untuk memenuhi kriteria tertentu, meski mungkin saja

11 J.Supranto MA, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hal.194.


(31)

hanya memberikan kontribusi parsial bagi keseluruhan teori yang lebih umum.12 Teori diperlukan untuk menerangkan atau menjelaskan gejala spesifik atau proses tertentu terjadi.13 Dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.14

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk mensistimasikan penemuan-penemuan penelitian, memuat ramalan atau prediksi atas dasar penemuan-penemuan dan menyajiakn penjelasan yang dalam hal ini untuk menjawab pertanyaan. Artinya teori merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang dijelaskan dan harus didukung oleh fakta empiris untuk dinyatak benar.15

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.16

Adapun kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Perlindungan Hukum. Munculnya teori perlindungan hukum ini bersumber dari teori hukum alam atau aliran hukum alam. Aliran ini dipelopori oleh Plato, Aristoteles (murid Plato), dan Zeno (pendiri aliran Stoic). Menurut aliran hukum alam menyebutkan bahwa hukum itu bersumber dari Tuhan yang bersifat universal dan abadi, serta antara hukum dan moral tidak boleh dipisahkan. Para penganut aliran ini memandang bahwa hukum dan moral adalah cerminan dan aturan secara internal dan eksternal dari kehidupan manusia yang diwujudkan melalui hukum dan moral. Menurut Thomas Aquinas mengatakan bahwa hukum alam adalah ketentuan akal yang bersumber dari Tuhan yang bertujuan untuk

12Otje Salman dan Anton F Susanto,Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2005, hal. 21. 13Wuisman dengan penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, jilid I, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1996, hal. 203

14Ibid,hal. 16.

15Solly Lubis,Filsafat Ilmu dan Penelitian,Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 17.

16 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Penerbit Mandat Maju, Bandung, 1994, hal.80.


(32)

kebaikan dan dibuat oleh orang yang mengurus masyarakat untuk disebarluaskan.17

Eksistensi dan konsep hukum alam selama ini masih banyak dipertentangkan dan ditolak oleh sebagian besar filsuf hukum, tetapi dalam kenyataan justru dalam tulisan-tulisan pakar yang menolak itu, banyak menggunakan faham hukum alam yang kemungkinan tidak disadarinya. Salah satu alasan yang mendasari penolakan sejumlah filsuf hukum terhadap hukum alam, karena mereka masih menganggap pencarian terhadap sesuatu yang absolut dari huk alam, hanya merupakan suatu perbuatan yang sia-sia dan tidak bermanfaat.18

Menurut Von Thomas Aquinas mengatakan bahwa hukum alam adalah cerminan undang-undang abadi (lex naturalis). Jauh sebelum lahirnya aliran sejarah hukum, ternyata aliran hukum alam tidak hanya disajikan sebagai ilmu pengetahuan, tetapi juga sebagai prinsip-prinsip dasar dalam perundang-undangan. Keseriusan umat manusia akan kerinduan terhadap keadilan, merupakan hal yang esensi yang berharap adanya suatu hukum yang lebih tinggi dari hukum positif. Hukum alam telah menunjukkan, bahwa sesungguhnya hakikat kebenaran dan keadilan merupakan suatu konsep yang mencakup banyak teori. Berbagai anggapan dan pendapat para filosof hukum bermunculan dari masa kemasa. Pada abad ke-17, substansi hukum alam telah menempatkan suatu asas yang bersifat universal yang biasa disebut Hak Asasi Manusia (HAM).19

Menurut Satijipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.20Pendapat Sunaryati Hartono mengatakan bahwa hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan sosial.21Sementara pendapat Philipus M. Hardjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat

17http://hnikawawz.blogspot.com/2011/11/kajian-teori-perlindungan-hukum.html, diakses pada tanggal 15 April 2012, pukul 20.00 WIB.

18

Marwan Mas,Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2004, hal. 116. 19Ibid.

20Satijipto Raharjo,Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 53.

21Sunaryati Hartono,Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional,Alumni, Bandung, 1991, hal 55.


(33)

preventif dan represif.22 Perlindungan hukum preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah bersikap hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkan diskresi, dan perlindungan hukum represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa, termasuk penangannya di lembaga peradilan.23

Dengan demikian masalah mengenai perlindungan sangat erat kaitannya dengan kehidupan yang terjadi didalam masyarakat, perlindungan meliputi perlindungan terhadap orang tua, anak, dan orang lain. Dalam hal perlindungan di dalam sebuah keluarga, anak merupakan prioritas utama yang harus mendapatkan perlindungan dan perhatian. Anak lahir dari sebuah perkawinan antara suami istri.

Perkawinan adalah salah satu peristiwa penting yang sangat penting dalam penghidupan masyarakat kita, sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita dan bakal mempelai saja, tetapi juga orangtua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga-keluarga mereka masing-masing.24 Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal merupakan tujuan ideal yang mencakup pengertian jasmani dan rohani ysng melahirkan keturunan25, sehingga perkawinan merupakan suatu hal yang berlangsung seumur hidup.

22Philipus M. Hardjon,Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia,PT bina Ilmu, Surabaya, 1987, hal. 2.

23Maria Alfons, Implementasi Perlindungan Geografis Atas Produk-produk Masyarakat

Lokal Dalam Perpektif Hak Kekayaan Intelektual,Ringkasan Disertasi Doktor, Universitas Brawijaya, Malang, 2010, hal 18.

24Soerojo Wignjodipoero,Op.Cit,hal. 122.


(34)

Beragamnya kepentingan antar manusia dapat terpanuhi secara damai, tetapi juga menimbulkan konflik jika tata cara pemenuhan kepentingan tersebut dilakukan tanpa ada keseimbangan sehingga akan melanggar hak-hak orang lain.26 Perceraian kadangkala dianggap sebagai salah satu upaya penyelesaian untuk menghapus perkawinan dengan putusan hakim yang diajukan oleh salah satu pihak dalam perkawinan tersebut. Dalam hal terjadi perceraian maka akibatnya juga berdampak terhadap anak-anak dari perkawinan.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 pasal 19, ada 6 (enam) alasan tentang perceraian, yaitu:

Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:

a. Salah satu pihak berbuat zinah atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;


(35)

f. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukunlagi dalam rumah tangga.

Putusnya perkawinan antara para pihak dalam perkawinan tidak memutuskan hubungan ayah atau ibunya dengan anak-anaknya, sebab dengan tegas telah diatur bahwa suami dan istri yang telah bercerai tetap mempunyai kewajiban sebagai orang tua yaitu untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya yaitu dengan memberikan hak asuh yang berpidah kesalah satu pihak apakah beralih ke ayah atau ke ibunya sehingga terdapat suatu perlindungan hukum bagi kepentingan anak-anak yang perkawinan orang tuanya putus karena perceraian. Menurut pasal 41 Undang-undang Perkawinan menyebutkan :

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan.

b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilaman bapak dalam kenyataannya tidak dapt memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ikut memikul biaya tersebut.

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

Adanya perceraian memberi dampak terhadap hubungan orang tua dan anak-anaknya. Dengan adanya pasal 41 UUP jelas hal tersebut memberikan perlindungan


(36)

hukum terhadap anak dimana orang tua di bebani kewajiban untuk bertanggungjawab dalam hal pemeliharaan anak-anaknya kelak sampai dewasa.

Berdasarkan pasal 1 Undang-undang tentang Perlindungan Anak yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dan yang menjadi hak dari seorang anak adalah “Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (pasal 4 Undang-undang Perlindungan Anak).”

“Dikalangan Batak Toba Kristen keputusan untuk bercerai itu adalah merupakan pilihan rasional yang dianggap merupakan solusi yang tepat dalam mengakhiri setiap permasalahan yang terus-menerus yang tidak mempunyai harapan lagi untuk bisa dipertahankan. Berbagai faktor yang membuat sebuah keluarga Batak Toba Kristen memutuskan untuk bercerai diantaranya : terjadinya konflik dimana dalam sebuah keluarga tersebut tidak dikaruniai anak, faktor perselingkuhan yang dilakukan isteri, salah satu pihak telah meninggalkan keluarga tanpa ijin dalam waktu yang sangat lama, kehadiran pihak ketiga seperti mertua dalam keluarga sehingga memicu konflik, ketidakhadiran seorang anak laki-laki dalam rumah tangga tersebut, dan pertengakaran/perselisihan yang terus menerus, hingga mengambil keputusan dengan melakukan perceraian. Dari hasil penelitian juga terdapat yang menceraikan bukan hanya perempuan saja, tetapi laki-laki atau suami juga menceraikan isterinya. Terjadinya perceraian dikalangan Batak Toba Kristen itu didasari oleh faktor intern dan faktor ekstern. Dimana faktor intern(dari dalam rumah tangga) tersebut yaitu terjadinya konflik, perselisihan, pertengkaran yang terus menerus sehingga sulit untuk dipertahankan lagi. Sedangkan faktor dari luar yaitu masuknya budaya barat yang banyak diadopsi masyarakat, kekuatan hukum yang semakin tegas, kurangnya bimbingan konseling dari gereja kepada keluarga, dan terjadinya perubahan dalam masyarakat dengan masuknya budaya barat sehingga terjadi memudarnya budaya, nilai-nilai agama, adat. Faktor dari luar ini memberi peluang kepada sebuah keluarga untuk mengambil keputusan dengan perceraian. dari berbagai media juga dapat dilihat bahwa perceraian itu mudah


(37)

untuk dilakukan, masyarakat Batak Toba Kristen terpengaruh dengan fenomena yang terjadi disekitarnya”.27

Akibat perceraian terhadap anak adalah hakim akan memutuskan dengan melihat dan menimbang kepada suami atau istri diberikan hak asuh anak di bawah umur tersebut. Pada umumnya hak asuh anak di bawah umur akan jatuh ketangan istri (ibu anak di bawah umur), namun dalam masyarakat batak anak-anak dari hasil pernikahan akan jatuh ke tangan ayahnya. Hal ini di sebabkan oleh karena masyarakat Batak Toba menganut sistem kekerabatan patrilineal. Selain hak asuh perceraian juga berakibat terhadap kewajiban nafkah orang tua terhadap anak di bawah umur.

Anak yang tidak tahu apa-apa mengenai perceraian orang tuanya menjadi korban sehingga anak yang seharusnya hidup bersama kedua orang tuanya menjadi terpisah, anak harus ikut dengan ayah atau ibunya. Ia akan menjadi kurang perhatian dan kasih sayang dari salah satu orang tuanya, dan jangan sampai mengganggu perkembangan mental anak. Oleh karena itu, dengan adanya teori perlindungan hukum ini akan memberikan perlindungan terhadap anak, dimana anak berhak untuk menentukan dengan siapa ia tinggal kelak dan ia tetap berhak mendapatkan pengasuhan dan biaya nafkah sebagaimana seharusnya kewajiban orang tuanya untuk kelangsungan hidupnya kelak, karena hal tersebut merupakan salah satu bentuk Hak Asasi Manusia seorang anak.

27http://www.researchgate.net/publication/44709368_Fenomena_Perceraian_Dikalangan_Bata k_Toba_Kristen, diakses pada tanggal 20 Juli 2012, pukul 16.30 WIB.


(38)

2. Konsepsi

Untuk menghindari kesalahan penafsiran dalam judul penelitian, maka perlu ada pembatasan suatu konsep agar tercapai kesepahaman dari tujuan yang dimaksud. Konsepsi adalah suatu bagian terpenting yang dapat diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari yang abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan

operational defenition. Pentingnya defenisi operasioanal adalah untuk menghindari perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (du bius) dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu dalam penelitian ini harus didefenisikan mengenai konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang ditemukan, yaitu :

a. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subjek hukum dalam bentuk perangkat hukum yang bersifat preventif maupun represif, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis . Bentuk-bentuknya ialah adanya suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan, dan kedamaian.

b. Perlindungan hukum terhadap anak adalah perlindungan hukum yang meliputi hak pemeliharaan/asuh dan nafkah anak di bawah umur.

c. Hak asuh adalah hak orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi anaknya dan sebagai wali anak dibawah umur.

d. Nafkah anak adalah segala kebutuhan uang untuk membiayai pemeliharaan dan pendidikan anak di bawah umur.


(39)

e. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.28

f. Perkawinan dalam masyarakat Batak Toba adalah perkawinan yang dilangsungkan menurut adat dan tata cara adat Batak Toba.

g. Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan dengan putusan hakim yang berwenang atas tuntutan salah seorang dari suami istri berdasarkan alasan-alasan yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.29

h. Perceraian pada masyarakat Batak Toba adalah putusnya ikatan yang sah antara suami istri berdasarkan adat Batak dan hukum Kristiani.

i. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.30

j. Anak dibawah umur adalah anak yang belum berusia 18 delapan belas tahun atau belum kawin.

k. Masyarakat Batak Toba adalah salah satu suku asli Indonesia yang berasal dari Pulau Sumatera Utara.

l. Kota Medan adalah salah satu kota terbesar di Indonesia, dimana salah satu masyarakatnya bersuku Batak Toba.

28Pasal 1 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.

29Wienarsih Imam Subekti dan Sri Soesilowati Mahdi,Hukum Perorangan dan Kekeluargaan

Perdata Barat,Gitama Jaya, Jakarta, 2005, hal. 135.


(40)

G. Metode Penelitian 1. Sifat Penelitian

Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini bersifat penelitian deskriptif analitisyaitu dimaksudkan untuk memberi data yang seteliti mungkin tentang suatu keadaan atau gejala-gejala lainnya.31

Menurut Bambang Sunggono, deskriptif analitis yaitu memaparkan, menggambarkan atau mengungkapkan hal yang terkait dengan objek penelitian untuk kemudian dibahas atau dianalisis menurut ilmu dan teori-teori atau pendapat peneliti sendiri, dan terakhir menyimpulkannya.32

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis empiris yaitu pendekatan dengan melihat sesuatu kenyataan hukum di dalam masyarakat, digunakan untuk melihat aspek-aspek hukum dalam interaksi sosial di dalam masyarakat, dan berfungsi sebagai penunjang untuk mengidentifikasi dan mengklarifikasi temuan bahan nonhukum bagi keperluan penelitian atau penulisan hukum.33

3. Lokasi Penelitian

Untuk melengkapi data sekunder, maka penelitian tentang Perlindungan Hukum terhadap Anak di Bawah Umur Akibat Putusnya Perkawinan Karena

31Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986), hal. 10

32 Bambang Sungguno, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 26-27.


(41)

Perceraian (Studi dalam Masyarakat Batak Toba di Medan) ini juga didukung oleh data primer dengan penelitian yang dilakukan terhadap masyarakat Batak Toba yang bertempat tinggal di Medan. Adapun alasan pemilihan lokasi untuk penelitian ini oleh karena kota Medan merupakan salah satu kota terbesar di propinsi Sumatera Utara, sehingga di harapkan di kota Medan akan lebih mudah mendapatkan informasi-informasi yang lain terutama tentang putusan perceraian oleh Hakim dan perlindungan hukum terhadap anak di bawah umur akibat putusnya perkawinan karena perceraian, komposisi penduduk yang beragam/bercampur (heterogen) dimana masyarakat Batak Toba menjadi bagian minoritas, dan komposisi penduduk yang heterogen sehingga telah pula mempengaruhi corak dan gaya hidup masyarakat Batak Toba.

4. Populasi dan Sampel a. Populasi

Dalam penelitian ilmiah dibutuhkan populasi dan sampel penelitian. Dalam penelitian ini populasi penelitian dilakukan pada masyarakat Batak Toba Kristen di Medan.

b. Sampel

Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Dalam penelitian ini yang menjadi sampel adalah pada masyarakat Batak Toba dengan karakteristik yang bertempat tinggal di kota Medan, beragama Kristen Protestan dan telah pernah bercerai dan memiliki anak di bawah umur serta putusan perceraiannya sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Berdasarkan


(42)

pertimbangan tujuan penelitian ditetapkan sampel penelitian berjumlah 10 (sepuluh) responden dengan memperhatikan ciri-ciri dari sifat sampel yang diteliti yaitu:

- 5 (lima) orang tua laki-laki, - 5 (lima) orang tua perempuan,

selain itu juga diperlukan tambahan informasi dan sumber lainnya yakni terhadap Informan yaitu dari Penetua Adat, Pendeta, Masyarakat Adat, dan Hakim Pengadilan Negeri Medan.

5. Sumber Data

Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sumber data primer dan sumber data sekunder, dengan titik berat pada sumber data sekunder. Adapun data Sekunder yang dipergunakan terdiri dari :

1) Bahan hukum primer yaitu semua bahan/materi hukum yang mempunyai kedudukan mengikat secara yuridis meliputi peraturan perundang-undangan, Keputusan Presiden, Peraturan Menteri, dan Instrumen Peraturan Perundang-undangan lainnya yang berhubungan dengan masalah hukum yang diteliti. Data yang langsung didapatkan dalam penelitian di lapangan.

2) Bahan hukum sekunder adalah data yang diperlukan untuk melengkapi data primer. Adapun data sekunder tersebut antara lain buku-buku ilmiah, makalah-makalah, jurnal, buku-buku referensi, hasil karya ilmiah para sarjana, hasil-hasil penelitian ilmiah yang mengulas mengenai masalah hukum yang diteliti dengan mengikutsertakan ilmu-ilmu sosial yang lain, serta tulisan di internet.


(43)

3) Bahan hukum tersier adalah semua petunjuk atau penjelasan mengenai bahan hukum primer dan sekunder yang berasal dari kamus, ensiklopedia, majalah, surat kabar dan sebagainya.34

6. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a. Studi Dokumentasi

Studi dokumen yaitu pengumpulan data yang dilakukan dengan mencari informasi berdasarkan dokumen-dokumen maupun arsip yang berkaitan dengan penelitian, meliputi penelaahan terhadap bahan kepustakaan atau datasekunder yang melupiti bahan primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier meliputi peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen, teori-teori dan laporan-laporan yang bertalian dengan penelitian ini. Dalam metode pengumpulan data melalui penelitian kepustakaan ini maka penulis menggunakan dari berbagai bacaan yang berhubungan dengan judul pembahasan, baik itu dari literatur-literatur ilmiah, majalah, media massa serta perundang-undangan.35

b. Wawancara (Interview) adalah kegiatan wawancara yang dilakukan kepada responden dengan terlebih dahulu membuat pedoman wawancara secara sistematis agar mendapatkan data yang lengkap dan memiliki kebenaran baik menurut hukum maupun kenyataan yang dapat dilihat dilapangan. Adapun

34Peter Mahmud Marzuki,Metode Penelitian Hukum,Kencana, Jakarta, hal.155. 35Burhan Ashshofa,Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, hal. 104.


(44)

beberapa narasumber yang diwawancara adalah Penetua Adat Batak Toba, Pendeta dan Hakim Pengadilan Negeri Medan.

7. Analisis Data

Analisis data adalah proses mengorganisasi dan mengurutkan data kedalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar-dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapta dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.36 Analisis data yang digunakan adalah analisis data kualitatif, yaitu proses penyusunan, mengkategorikan data kualitatif, mencari pola atau tema dengan maksud memahami maknanya.

Penyusunan karya tulis ilmiah ini menggunakan data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka dimana pengolahan, analisi, dan konstuksinya dilaksanakan dengan cara penelitian yang menggunakan metode kualitatif yang merupakan suatu cara penelitian yang menghasilkan dua data deskriptif dan komparatif.

Penelitian ini melakukan kegiatan inventarisasi bahan-bahan hukum sekaligus juga mengidentifikasikan berbagai peraturan dibidang Hukum Adat khususnya mengenai perlindungan hukum terhadap anak akibat perceraian orangtuanya.

Analisis data dilakukan dengan cara yaitu data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif, kesimpulan diambil dengan menggunakan cara berpikir induktif

36Lexy J. Moleong,Metodologi Penelitian Kualitatif,Remaja Roskdakarya, Bandung, 1991, hal. 103.


(45)

yaitu cara berpikir yang mendasar kepada hal-hal yang bersifat umum dan kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus sesuai dengan pokok permasalahannya.37

Setelah analisi data selesai maka hasilnya kemudian akan disajikan secara deskriptif, yaitu dengan menuturkan dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti.38Dari hasil tersebut kemudian ditariklah kesimpulan yang merupakan jawaban atas permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.

37Surakhmad Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Tekhnik, Tarsito, Bandung, 1994, hal. 17.

38 H. B. Sutopo, Metodologi Penelitian Hukum Kualitatif Bagian II, UNS Press, Surakarta, hal. 37.


(46)

BAB II

HAK ASUH ANAK DI BAWAH UMUR DALAM HAL TERJADI PERCERAIAN PADA MASYARAKAT

BATAK TOBA KRISTEN DI MEDAN

A. Perceraian dan alasan-alasan Perceraian

Pada dasarnya setiap manusia menginginkan kehidupan perkawinannya dapat berlangsung dan bertahan sampai selama-lamanya. Namun kenyataan sering kali tidak sesuai dengan harapan. Adakalanya antara suami istri tidak saling memahami hak dan kewajiban masing-masing dalam berumah tangga dan hal ini dapat menyebabkan pertengkaran bahkan perceraian.

Di zaman modern ini kita semakin sering mendengar perceraian dalam rumah tangga yang diakibatkan salah satunya adalah ketidakcocokan suami istri, dimana tragisnya yang menderita adalah justru anak-anak hasil pernikahan tersebut. Anak-anak menjadi kurang diperhatikan karena orang tuanya sibuk mengurus perceraiannya.

Perceraian merupakan masalah keluarga yang tidak hanya melibatkan suami istri saja, melainkan pada kebiasaannya seluruh keluarga ikut serta menyelesaikannya.39 Keluarga merupakan satu kesatuan yang tidak hanya menyangkut suami istri saja tetapi juga menyangkut anak-anaknya.

Adapun yang menjadi alasan-alasan perceraian pada umumnya adalah kerena adanya perselingkuhan yang dilakukan oleh salah satu pihak sehingga menimbulkan


(47)

pertengkaran terus menerus yang tidak dapat dihindarkan, tidak adanya keturunan, suami suka mabuk-mabukan, serta alasan lainnya yaitu suami tidak memberikan uang belanja dan uang sekolah anak.

Menurut pasal 38 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, menetapkan bahwa perkawinan yang telah di bentuk dapat putus, antara lain oleh karena :40

1. Kematian 2. Perceraian dan

3. Atas Keputusan Pengadilan.

Penyebab putusnya perkawinan karena kematian disebabkan oleh karena salah satu dari suami/isteri atau bahkan kedua-duanya telah meninggal dunia terlebih dahulu, sehingga pernikahan menjadi putus.

Putusnya perkawinan oleh karena perceraian disebabkan oleh karena adanya ketidakcocokan diantara para pihak suami/isteri dalam melanjutkan kehidupan rumah tangganya. Sehingga salah satu pihak mengajukan gugatan ke pengadilan, diantaranya oleh karena salah satu pihak meninggalkan pihak yang lainnya selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin, salah satu pihak berbuat zinah, pemabuk, penjudi, penganiayaan, serta perselisihan terus menerus.

Putusnya perkawinan karena putusan pengadilan merupakan putusan perkawinan berdasarkan keputusan yang ditetapkan oleh hakim pengadilan. Selain itu juga disebabkan oleh karena salah satu pihak dalam perkara perceraiannya tidak hadir dalam putusan perceraiannya.


(48)

Menurut Pasal 209 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan 4 (empat) alasan perceraian, terdiri atas :

1. Zinah

2. Meninggalkan pihak yang lain tanpa alasan yang sah dari salah satu pihak selama 5 (lima) tahun berturut-turut pasal 211 KUHPerdata

3. Dihukum penjara selama 5 (lima) tahun lamanya atau lebih setelah perkawinan terjadi

4. Menimbulkan luka berat atau melakukan penganiayaan, yang membahayakan hidup pihak yang lain.

Kemudian 4 (empat) alasan dalam pasal 209 KUHPerdata ini diperluas oleh yurisprudensi Mahkamah Agung tanggal 12 Juni 1968 Nomor 105 K/Sip/1968, tentang diterimanyaonheelbare tweespalt,sebagai alasan perceraian, yaitu dalam hal terjadi perceraian atau pertengkaran antara suami istri secara terus menerus dan tidak mungkin didamaikan lagi.41

Menurut pasal 39 Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 jo pasal 19 PP Nomor 9/1975, alasan terjadinya perceraian adalah :

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan

2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa ijin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya.

41Djaja Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Orang dan Hukum Keluarga, Penerbit Nuansa Aulia, Bandung, hal.124.


(49)

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 (lima) tahun atau hukuman lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain.

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.

6. Antara suami/istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Bagi masyarakat Indonesia sudah menjadi pegangan hidup mereka sejak dahulu bahwa mengenai perkawinan, kelahiran dan kematian adalah sangat dipengaruhi oleh ketentuan-ketentuan agama.42Orang yang taat pada agamanya tidak mudah berbuat sesuatu yang melanggar larangan agamanya dan kepercayaannya. Selain larangan-larangan, agamanya juga mempunyai peraturan-peraturan yang memuat perintah-perintah yang wajib dan harus ditaati.43

Perkawinan dalam masyarakat adat Batak Toba adalah sakral dan suci maksudnya perpaduan hakekat kehidupan antara laki-laki dan perempuan menjadi satu dan bukan sekedar membentuk rumah tangga dan keluarga.44 Adanya kesatuan antara suami istri akan menghasilkan keturunannya kelak. Perkawinan pada masyarakat Batak Toba pada umumnya menganut perkawinan monogami dan prinsip

42Rusdi Malik,Peranan Agama Dalam Hukum Perkawinan di Indonesia, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta, 1990, hal. 11.

43Chainur Arrasid,Dasar-dasar Ilmu Hukum, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal.5. 44Raja Marpondang Gultom, Dalihan Na Tolu Nilai Budaya Suku Batak, Penerbit CV. Armanda, Medan, hal.377.


(50)

keturunan masyarakat Batak Toba adalah patrilineal, maksudnya garis keturunan dari anak laki-laki.45

Pada masyarakat Batak Toba tidak dianjurkan bercerai karena sifat perkawinan dalam masyarakat Batak Toba adalah monogami, yaitu hanya ada satu istri dan satu suami. Namun pada jaman dahulu seorang suami diperbolehkan untuk mempunyai istri lebih dari satu disebabkan karena alasan-alasan tertentu yaitu oleh karena tidak memiliki keturunan. Dalam masyarakat Batak Toba, anak merupakan penerus keturunan yang akan membawa marga keluarganya di tengah-tengah masyarakat.46

Menurut Bapak Sakti Silaen, tidak satupun hal yang mendukung namanya cerai, kecuali karena zinah. Oleh karena adanya zinah seorang istri bisa ditinggalkan, kalau tidak karena zinah maka ia tetap dianggap sebagai istri sah dalam adat. Dan apabila suami menikah lagi dengan orang lain, maka dalam adat Batak dianggap memiliki 2 (dua) istri. Pada jaman dahulu masyarakat Batak Toba banyak memiliki istri lebih dari satu, hal ini bisa dilakukan oleh karena tidak ada larangan dalam adat dan pada jaman dahulu ada anggapan bahwa banyak anak banyak rejeki, istilahnya “maranakhon sapuluh pitu marboru sapuluh onom(memiliki 17 anak laki-laki dan 16 anak perempuan).” Namun hal ini terjadi sebelum kekristenan masuk ketanah Batak, setelah kekristenan masuk banyak orang Batak yang tidak melakukannya lagi.47

45Iman Sudiyat,Hukum Adat Sketsa Asas, Penerbit Liberry, Yogyakarta, 1981, hal. 107. 46Hasil wawancara dengan Belsink Sihombing, Pendeta HKBP Sudirman Medan, pada tanggal 25 Juli 2012, pukul 16.00 WIB.

47Hasil wawancara dengan Sakti Silaen, Panatua Adat Batak Toba, pada tanggal 25 Oktober 2012, pukul 20.00 WIB.


(51)

Dalam adat Batak Toba kata cerai disebut sirang. Katasirangataumarsirang

dikenal sebagai terjemahan cerai atau bercerai. Arti asli kata sirang adalah lepas. Sirang dalam bahasa batak toba tidak sepenuhnya sama dengan cerai menurut arti dari Undang-Undang. Kesamaan sirang dengan cerai menurut undang-undang ialah bahwa antara suami istri hidup terpisah (tidak serumah), suami istri tidak ada ikatan lagi, dan perbedaanya ialah cerai menurut undang-undang akan dikeluarkan bukti autentik yaitu akta cerai sementara sirang tidak ada dikeluarkan bukti apapun karena hanya berupa ucapan diantara para pihak, sehingga dengan demikian anak otomatis akan ikut dengan bapaknya kecuali anak yang masih menyusui akan ikut dengan ibunya dan begitu dia lepas menyusui dengan ibunya maka anak itu akan diambil kembali oleh bapaknya. Dan dalam batak toba sangat dimungkinkan sekali apabila suatu saat mereka kembali lagi menjadi suami istri.48

Ada juga kata dipaulak yang artinya dipulangkan atau dikembalikan. Dalam hal ini isteri dipulangkan kepada orang tuanya. Dipaulak maksudnya adalah seorang istri dikembalikan lagi kepada orang tuanya dengan maksud agar orang tuannya menasehati kelakuan dan mengajari lagi anak perempuannya tersebut untuk bersikap dan melakukan perbuatan yang menghormati suami dan keluarga suaminya. Umumnya dipaulak dilakukan karena istri tersebut sudah tidak menghormati dan mendengar kata-kata suami, misalnya istri yang suka keluyuran sehingga menelantarkan suami dan anak-anaknya di rumah. Dan apabila si istri sudah menyadari dan menerima kesalahannya serta mau berubah maka ia bisa kembali


(52)

pulang ke rumahnya serta tinggal dengan suami dan anak-anaknya lagi. Hal ini hampir sama dengan pisah meja dan ranjang tetapi perbedaanya dalam sirang tidak ditentukan berapa lama batas waktu sirang supaya dapat kembali lagi.49

Adapun alasan perceraian dalam adat yang diperbolehkan diantaranya adalah adanya pertengkaran antara suami/istri secara terus menerus, dan karena tidak memiliki keturunan.50

Masyarakat Batak Toba pada umumnya kebanyakan menganut agama Kristen. Agama dan budaya itu dalam Batak Toba hampir tidak dapat dipisahkan. Seperti halnya dengan adat perkawinan, setelah adanya pemberkatan dari gereja ada lagi acara yang meriah berupa pesta adat. Dalam perkawinan ini semua ikatan keluarga baik dari pihak laki-laki, perempuan, tulang (paman), dan semua keluarga memberikan berupa nasihat agar kelak nantinya keluarga itu menjadi keluarga yang rukun dan keluarga yang gabe (menjadi/mendapatkan) anak laki-laki dan anak perempuan yang baik/sehat. Dalam suku Batak Toba khususnya yang beragama Kristen, ikatan adat atau budaya itu masih melekat dan agama itu masih dijunjung tinggi.51

Dalam adat Batak Toba perceraian itu jarang terjadi, di mana dalam adat Batak Toba ada istilah “apapun akan dilakukan agar perceraian itu tidak terjadi”, ikatan budaya itu masih kuat. Namun dalam perkembangannya, banyak di temukan sekarang ini keluarga Batak Toba khususnya yang beragama Kristen sudah

49Op.Cit, Belsink Sihombing. 50Ibid.


(53)

melakukan perceraian, kebanyakan orang memilih melakukannya dengan menempuh jalur hukum di pengadilan. Sehingga dengan demikian tiap tahun semakin bertambah orang Batak Toba yang melakukan perceraian.52

Dengan adanya adat yang mengikat diharapkan akan mempersempit kesempatan orang untuk bercerai. Adat dalam Batak Toba itu sangat di junjung tinggi sehingga perceraian itu sangat rendah. Agama juga yang sangat mendukung untuk menolak terjadinya perceraian. Dalam agama Kristen, bahwa sahnya suatu perkawinan harus diberkati digereja oleh Pendeta.53 Acara pemberkatan nikah tersebut dilakukan untuk memberi kepastian bahwa perkawinan itu sah menjadi suatu hubungan suami isteri antara kedua mempelai. Hal ini sesuai dengan Pasal 1 ayat 1 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974.

Dalam acara pemberkatan tersebut, kedua mempelai sama-sama berjanji untuk sehidup semati, baik dalam suka maupun duka, seperti tertulis, “Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia ( Markus 10 : 9).”

Pernikahan Kristen di pandang sebagai kontrak publik dihadapan para saksi dengan seorang laki-laki dan seorang perempuan yang dengan saling setuju dan dilakukan secara bebas membuat janji-janji tak bersyarat untuk setia seumur hidup satu kepada satu kepada yang lain dengan pertolongan Tuhan.54

Setelah adanya pemberkatan nikah di gereja maka perkawinan tersebut harus disahkan lagi dalam administrasi Negara yaitu di hadapan Pegawai Catatan Sipil yang

52Ibid 53Ibid 54Ibid


(54)

biasanya di laksanakan di salah satu ruangan gereja yang biasa disebut ruang biduk perhobasan (ruang persiapan). Kedua mempelai dan orang tuanya sebagai saksi dalam pencatatan perkawinan tersebut.55

Setelah adanya pemberkatan yang dilakukan di gereja, selanjutnya dilaksanakan upacara adat. Dalam upacara adat sebagaimana kebiasaaan pada masyarakat Batak Toba yang tujuannya untuk mensahkan perkawinan itu secara hukum adat. Dengan dilaksanakan adat tersebut, maka perkawinan tersebut telah sah dan kedua mempelai telah mempunyai kedudukan dalam masyarakat adat.

Dalam upacara tersebut dilakukan untuk manggarar utang (membayar utang) kepada kerabat yang bersangkutan sesuai dengan adat Batak Toba. Dalam hal ini peran dari Dalihan Na Tolu sangat di butuhkan. Perkawinan orang Batak haruslah diresmikan secara adat berdasarkan adat Dalihan Na Tolu, dan upacara agama serta Catatan Sipil. Artinya segala perkawinanyang telah dilaksanakan, selanjutnya dilakukan pencatatn dikantor catatan sipil untuk mendapat kelengkapan administrasi negara.56

Dalihan Na Tolu adalah filosofis atau wawasan sosialkulturan yang menyangkut masyarakat dan budaya Batak. Dalihan Na Tolu menjadi kerangka yang meliputi hubungan-hubungan kerabat darah dan hubungan perkawinan yang mempertalikan satu kelompok. Dalam adat Batak, Dalihan Na Tolu ditentukan dengan adanya tiga kedudukan fungsional sebagai suatu konstruksi sosial yang terdiri dari tiga hal yang menjadi dasar bersama. Ketiga tungku tersebut adalah :57

55Ibid 56Ibid

57http;//id.wikipedia.org/wiki/Dalihan_Na_Tolu, diakses pada tanggal 1 Nopember 2012 pukul 10.05 wib.


(55)

1. Somba Marhula-hula : ada yang menafsirkan pemahaman ini menjadi “menyembah hula-hula, namun ini tidak tepat. Memang benar kata Somba, yang tekananya padasomberarti menyembah, akan tetapi kata Somba di sini tekananyabayang adalah kata sifat dan berarti hormat. Sehingga Somba marhula-hula berarti hormat kepada Hula-hula. Hula-hula adalah kelompok marga istri, mulai dari istri kita, kelompok marga ibu (istri bapak), kelompok marga istri opung, dan beberapa generasi, kelompok marga istri anak, kelompok marga istri cucu, kelompok marga istri saudara dan seterusnya dari kelompok dongantubu. Hula-hula ditengarai sebagai sumber berkat. Hula-hula sebagai sumber hagabeon/keturunan. Keturunan diperoleh dari seorang istri yang berasal dari hula-hula. Tanpa hula-hulatidak ada istri, tanpa istri tidak ada keturunan.

2. Elek Marboru/lemah lembut tehadap boru/perempuan. Berarti rasa sayang yang tidak disertai maksud tersembunyi dan pamrih.Boru adalah anak perempuan kita, atau kelompok marga yang mengambil istri dari anak kita (anak perempuan kita). Sikap lemah lembut terhadap boru perlu, karena dulu

borulah yang dapat diharapkan membantu mengerjakan sawah di ladang tanpa boru, mengadakan pesta suatu hal yang tidak mungkin dilakukan.

3. Manat mardongan tubu/sabutuha, suatu sikap berhati-hati terhadap sesama marga untuk mencegah salah paham dalam pelaksanaan acara adat. Hati-hati dengan teman semarga. Kata orang tua-tua “hau na jonok do na boi marsiogoson” yang berarti kayu yang dekatlah yang dapat bergesekan. Ini menggambarkan bahwa begitu dekat dan seringnya hubungan terjadi, hingga dimungkinkan terjadi konflik, konflik kepentingan, kedudukan dll. Inti ajaran

Dalihan Na Tolu adalah kaidah moral berisi ajaran saling menghormati (masipasangapon) dengan dukungan kaidah moral : saling menghargai dan menolong”.

Masyarakat Batak Toba menganut sistem kekarabatan patrilineal atau garis kebapakan atau mempertahankan garis keturunan laki-laki yang melakukan perkawinan dalam bentuk perkawinan jujur (sinamot), dimana isteri setelah kawin masuk dalam kekerabatan suami dan termasuk anak-anak berada dibawah kekuasaan suami/bapak. Setiap perkawinan yang dilaksanakan seperti yang telah dijelaskan diatas, mengharapkan hubungan perkawinan itu kekal sampai selama-lamanya. Akan


(1)

B. Saran

1. Putusnya perkawinan karena perceraian antara suami/istri maka tidak berarti juga memutus kewajiban-kewajiban terhadap anak kelak. Anak mempunyai hak dan kepentingan anak harus tetap diperhatikan oleh kedua orangtuanya. Apabila hak asuh anak jatuh ke tangan ibu, maka ibu sebaiknya merawat dan mendidik anaknya dengan baik sedangkan ayah berkewajiban untuk memberikan biaya nafkah hidup anaknya. Besarnya biaya nafkah anak harus disesuaikan dengan besarnya kemampuan ayah dan sesuai dengan kesepakatan bersama. Orangtua seharusnya memahami setiap perkembangan anaknya dengan memperioritaskan kepentingan anaknya.

2. Para pihak hendaknya melaksanakan kewajibannya terhadap anak sesuai dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, sehingga anak tetap mendapatkan kehidupan yang baik dan layak. Pemberian nafkah dilakukan sampai anaknya menjadi dewasa. Ayah yang dibebani kewajiban memberikan nafkah hendaknya melaksanankannya dengan baik sedangkan ibu yang memegang hak pengasuhan anak maka hendaknya memberikan pengasuhan terhadap anak-anaknya sampai anak tumbuh dewasa. Dengan demikian perlu ada monitoring atau pantauan terhadap pelaksanaan putusan pengadilan terhadap perceraian yang memiliki anak dibawah umur hendaknya dibuat undang-undang baru yang mengatur tentang sanksi atau hukuman.


(2)

orang tuanya. Ayah sering kali tidak memberikan nafkah kepada anak, hal ini terjadi karena belum adanya sanksi yang tegas terhadap pelaksanaan kewajiban ayah tersebut. Sehingga sebaiknya dibuat suatu akte notaris yang dengan tegas mengatur mengenai pelaksanaan kewajiban pemberian nafkah anak oleh ayah serta adanya sanksi bagi pelanggarannya.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku Dan Literatur

Alfons Maria, 2010, Implementasi Perlindungan Geografis Atas Produk-produk Masyarakat Lokal Dalam Perpektif Hak Kekayaan Intelektual, Ringkasan Disertasi Doktor, Universitas Brawijaya, Malang.

Ali, Zainuddin, 2011,Metode Penelitian Hukum,Sinar Grafika, Jakarta.

Afandi Ali, 1984, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata,Bina Aksara, Jakarta.

Aminah Azis, 1998, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Universitas Sumatera Utara Press, Medan.

Arrasid Chainur, 2004,Dasar-dasar Ilmu Hukum, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta. Ashshofa, Burhan Ashshofa, 2004,Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta. Brownlie Ian, 1993, Dokumen-dokumen Pokok Mengenai Hak Azasi Manusia,

Penerjemah Beriansyah, UI-Press, Jakarta.

Dellyana Santi, 1998,Wanita dan Anak di Mata Hukum, Liberty, Yogyakarta.

F.J. Mank, A.M.P. Knoers, 1992, Siti Rahayu Hadinoto, Psikologi Perkembangan, Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Hadikusuma Hilman, 2007,Hukum Perkawinan Indonesia,Mandar Maju, Bandung. Harahap Yahya, 1986, Hukum Perkawinan Nasional,CV. Rajawali, Medan.

Hardjon Philipus M., 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, PT bina Ilmu, Surabaya.

Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung.

Kartasapoetra Rien G., 1988,Pengantar Ilmu Hukum Lengkap,Penerbit Bina Aksara, Jakarta.


(4)

Lubis, Solly, 1994, Filsafat Ilmu dan Penelitian,Mandar Maju, Bandung.

Malik Rusdi, 1990, Peranan Agama Dalam Hukum Perkawinan di Indonesia, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta.

Manan Abdul, 2011,Eksekusi dan Lelang Dalam Hukum Acara Perdata,Jakarta. MA, J.Supranto, 2003, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Penerbit Rineka

Cipta, Jakarta.

Mas Marwan, 2004,Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor.

Meliala Djaja, 2005, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Orang dan Hukum Keluarga,Penerbit Nuansa Aulia, Bandung.

Moleong, Lexy J., 1991, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Roskdakarya, Bandung.

Peter Marzuki, Mahmud, 2004,Metode Penelitian Hukum,Kencana, Jakarta. Prodjodikoro Wiryono, 1984,Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur, Bandung. Prawirohamidjojo Soetojo, 1988, Pluralisme Dalam Perundang-undangan

Perkawinan di Indonesia,Airlangga, University Press, Surabaya.

Prints Darwan, 1999, Hak Asasi Anak : Perlindungan Hukum Atas Anak, Lembaga Advokasi Hak Atas Anak Indonesia, Medan.

Rasjidi Lili, 1982,Aneka Hukum Malaysia dan Indonesia,Alumni, Bandung. Raharjo Satijipto,2000,Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Salman, Otje dan Susanto, Anton F, 2005,Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung. Setyowati Soemitro Irma, 1990, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara,

Jakarta.

Soekanto Soerjono, 1986,Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta.

---, 1983, Hukum Adat Indonesia, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta.


(5)

Sri Widoyati Wiratmo Soekito, 1983, Anak dan Wanita Dalam Hukum, LP3ES, Jakarta.

Subekti R., 2003,Pokok-pokok Hukum Perdata,Cetakan 31, Jakarta, PT Intermasa. Subekti, Wienarsih Imam dan Mahdi, Sri Soesilowati,2005,Hukum Perorangan dan

Kekeluargaan Perdata Barat,Gitama Jaya, Jakarta.

Sudarsono, 2005,Hukum Perkawinan Nasional,Rineka Cipta, Jakarta. Sudiyat Iman, 1981,Hukum Adat Sketsa Asas, Penerbit Liberry, Yogyakarta.

Sungguno Bambang, 2003,Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

---, 1994, Hukum dan Kebijaksanaan Publik, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.

Soeroso R., 2009,Tata Cara dan Proses Persidangan,Sinar Grafika, Jakarta.

Sutopo, H.B., 2009,Metodologi Penelitian Hukum Kualitatif Bagian II, UNS Press, Surakarta.

Suyanto Bagong, dkk, 2000,Tindak Kekerasan Terhadap Anak, Masalah dan Upaya Pemantauannya, Hasil Lokakarya dan Pelatihan, Lutfhansah Mediatama, Surabaya.

---, 1999,Krisis Ekonomi Pemenuhan Dan Penegakan Hak-Hak Anak, Tinjauan Terhadap Kebijakan Pemerintah Dan Implementasinya Dalam Penegakan Hak-Hak Asasi Anak Di Indonesia,USU Press, Medan. Thalib Sajuti, 1986,Hukum Keluarga Indonesia, Jakarta, Universitas Indonesia. Trizakia Yani, 1986,Latar Belakang dan Dampak Perceraian,UNS, Semarang Wasis, SP., 2002,Pengantar Ilmu Hukum,UMM Press, Malang, 2002

Wignjodipoero, Soerojo, 2003,Pengantar Dan Asas-asas Hukum Adat, Penerbit CV Haji Masagung.

Winarno, Surakhmad, 1994, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Tekhnik, Tarsito, Bandung.


(6)

Wuisman dengan penyunting Hisyam, M. Hisyam, 1996,Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, jilid I,Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Yahya Harahap M., 2009, Ruang Lungkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Sinar Grafika, Jakarta.

B. Website/Internet

http://hnikawawz.blogspot.com/2011/11/kajian-teori-perlindungan-hukum.html, diakses pada tanggal 15 April 2012, pukul 20.00 WIB.

http://eksposnews.com/view/25/32168/Angka-Perceraian-di-Indonesia-Sangat-Tinggi.html

http://eprints.ums.ac.id/349/1/5._ABSORI.pdf, Perlindungan Hukum Hak-hak Anak dan Implementasinya di Indonesia Pada Era Otonomi Daerah, diakses tanggal 9 Agustus 2012, pukul 17.02 WIB.

http://rgs-yurisprudensi.blogspot.com/2008/09/yurisprudensi-mari-anak-dibawah umur.html, Kaedah Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, dikses tanggal 9 agustus 2012 pukul 14.15 wib.

Rudini Silaban, http://rudini67ban.wordpress.com/2009/pelaksanaan putusan hakim eksekusi.

http://www.researchgate.net/publication/44709368_Fenomena_Perceraian_Dikalanga n_Batak_Toba_Kristen, diakses pada tanggal 20 Juli 2012, pukul 16.30 WIB.

C. Undang-undang dan Kamus

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

--- 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak --- 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak --- 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia --- 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-UndangNomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer)