Latar Belakang Model pengembangan taman nasional laut: optimalisasi pengelolaan perikanan tangkap di Taman Nasional Karimunjawa
Sistem zonasi yang diterapkan saat ini, menempatkan kegiatan perikanan tangkap di zona pemanfaatan perikanan tradisional PPT Tabel 1. Walaupun
luas zona PPT mencapai 93, namun kondisi perikanan tangkap di Karimunjawa belum dilakukan dengan sepenuhnya memperhatikan aspek konservasi dan
keberlanjutan SDI. Produksi ikan di Karimunjawa berdasarkan data dari Pelabuhan Perikanan Pantai Karimunjawa PPP Karimunjawa terus mengalami
peningkatan sejak tahun 2006 sebanyak 124 ton dan terus meningkat hingga 629 ton pada tahun 2008, meskipun kemudian mengalami penurunan pada
tahun 2009 menjadi 370 ton. Namun jika dilihat dari jenis ikan yang mengalami peningkatan signifikan sejak tahun 2006-2008, maka produksi ekor kuning
mengalami peningkatan tertinggi. Peningkatan produksi ekor kuning di Karimunjawa disebabkan penggunaan alat tangkap muroami selama periode
2006-2008 masih aktif, padahal alat tangkap tersebut bersifat destruktif dan merupakan suatu indikasi bahwa pengelolaan yang dilakukan belum optimal.
Pemanfaatan perairan di zona PPT sesuai UU No. 51990 diperuntukkan bagi kegiatan perikanan tangkap yang sudah ada sejak sebelum Kepulauan
Karimunjawa ditetapkan sebagai taman nasional, bukan dengan alat tangkap dari luar Karimunjawa, sedangkan muroami merupakan alat tangkap yang dibawa
masuk ke dalam TNKJ oleh nelayan-nelayan dari Kepulauan Seribu. Penurunan kegiatan perikanan tangkap juga terjadi seperti terlihat dari
keberadaan PPP Karimunjawa yang tidak lagi melakukan kegiatan pelelangan ikan sejak 2006 dan pabrik es yang tidak beroperasi lagi. Banyaknya perahu-
perahu nelayan yang hanya bersandar saja di sepanjang dermaga pelabuhan karena bahan bakar minyak BBM yang semakin langka dan sulit diperoleh
untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan juga menunjukkan kondisi penurunan aktivitas perikanan tangkap di Karimunjawa.
Kondisi tersebut menggambarkan meskipun luasan zona untuk kegiatan perikanan tangkap sangat luas 93 atau 103.883,86 ha, namun belum optimal
dalam pengelolaannya. Akses masyarakat terhadap SDI semakin rendah karena SDI sulit dideteksi akibat teknologi penangkapan ikan TPI yang masih
sederhana, kurangnya informasi terbaru mengenai daerah penangkapan ikan DPI potensial, serta kegiatan perikanan tangkap yang belum diatur dengan
baik. Nelayan masih melakukan kegiatan penangkapan ikan berdasarkan pengalaman secara turun temurun. Kurangnya pengawasan di bidang perikanan
tangkap dan keamanan laut juga mengakibatkan adanya nelayan dari luar
daerah yang melakukan operasi penangkapan ikan di dalam kawasan TNKJ. Maraknya penggunaan muroami yang dilakukan oleh nelayan-nelayan dari
Kepulauan Seribu di TNKJ merupakan bukti bahwa pengawasan belum efektif dan penggunaan zona PPT belum diatur dengan baik.
Pengelolaan taman nasional dilakukan berdasarkan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya KSAHE, yang
menempatkan pemerintah sebagai aktor utama dan sentral dalam pengelolaan taman nasional. Pasal 29 ayat 2 menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut
mengenai penetapan suatu wilayah sebagai kawasan pelestarian alam dan penetapan wilayah yang berbatasan dengannya sebagai daerah penyangga
diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 34 menyebutkan bahwa pengelolaan taman nasional dilaksanakan oleh pemerintah. Permasalahannya dalam
penjelasan pasal-pasal tersebut atau pasal-pasal lain dalam UU ini sama sekali tidak menyebutkan tentang hak penduduk asli, jika wilayah tradisional mereka
dijadikan sebagai taman nasional. UU ini menurut Sangaji 2002 cenderung menganggap wilayah konservasi sebagai wilayah tak bertuan, sehingga dalam
pengelolaannya cenderung masih mengabaikan keberadaan penduduk. Kewenangan pengelolaan TNL juga menuai tumpang tindih antara
Kementerian Kehutanan dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan KKP. Pengelolaan TNL mengacu pada UU No. 5 Tahun 1990 tentang KSAHE, yang
ditangani oleh Kementerian Kehutanan. Meski demikian, UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan juga mengamanatkan KKP untuk mengelola kawasan
konservasi laut, termasuk di antaranya TNL. Perbedaan peraturan dalam bidang perikanan dan konservasi juga menyebabkan konflik yang belum terpecahkan.
Belum ada analisis bagaimana cara melaksanakan peraturan perundang- undangan dan menyelaraskan perbedaan interpretasi yang ada. Pihak
Kementerian Kehutanan menginginkan agar TNL sebagai kawasan konservasi dikeluarkan dari lokasi perikanan umum. Hal ini sangat tidak logis karena jauh
sebelum ditetapkan sebagai TNL, masyarakat setempat telah melakukan kegiatan perikanan secara turun temurun.
Tanggung jawab terhadap kegiatan perikanan yang ada di dalam kawasan TNL, di pihak lain, menjadi tanggung jawab pihak KKP. Hal ini menyebabkan
pengelolaan terhadap perikanan menjadi tidak maksimal. Selain itu, peran pemerintah daerah dalam mengelola kawasan konservasi masih sangat kecil,
sehingga sangat rawan menimbulkan konflik. Pemerintah daerah sebagai
pemegang kewenangan di tingkat lokal saat ini belum mampu mengelola taman nasional dengan optimal karena keterbatasan anggaran. Konflik pengelolaan
yang terjadi antara Kementerian Kehutanan, pemerintah daerah dan KKP dalam mengelola taman nasional masih belum menemukan titik temu sampai sekarang.
Pengelolaan kawasan konservasi saat ini menurut Sutono 2005 telah mengalami pergeseran menjadi kawasan yang berfungsi untuk mendukung
kepentingan ekologis, ekonomi, dan sosial budaya, sehingga memberikan akses bagi masyarakat untuk menerima manfaat sekaligus bertanggung jawab dalam
melestarikan dan menjaga manfaat tersebut. Namun pada kenyataannya pengelolaan tersebut belum berjalan secara optimal di wilayah konservasi laut.
Masalah kesejahteraan masyarakat nelayan yang masih kurang baik di dalam TNL merupakan akar permasalahan yang perlu ditanggulangi. Bagaimana cara
atau upaya memberdayakan dan mengakomodasi kebutuhan masyarakat nelayan di sekitar kawasan konservasi, sehingga mampu membalikkan posisi
masyarakat. Masyarakat nelayan yang tadinya dianggap sebagai ancaman terhadap keberlanjutan kawasan konservasi menjadi faktor pendukung melalui
kemitraan yang saling menguntungkan semua pihak. Lemahnya keterlibatan pihak-pihak yang berkepentingan dalam kegiatan
pengelolaan dan pengembangan TNKJ terutama kegiatan perikanan tangkap juga merupakan masalah penting yang harus diselesaikan. Munculnya masalah
tersebut akibat lemahnya sistem dan tata cara koordinasi antar stakeholder maupun antar instansi karena belum didukung dengan sistem hukum yang jelas.
Lemahnya kualitas sumberdaya manusia SDM juga mempengaruhi proses pengelolaan yang partisipasif menjadi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal
ini sering berdampak pada munculnya ketidaksepahaman dan konflik dalam penggunaan perairan atau sumberdaya antar stakeholder karena kurangnya
komunikasi dan koordinasi. Penelitian tentang optimalisasi pengelolaan perikanan tangkap di kawasan
taman nasional laut TNL belum pernah dilakukan di Indonesia. Penelitian bidang perikanan tangkap yang dilakukan di kawasan TNL umumnya masih
bersifat parsial, sehingga perbaikan pada suatu bagian tidak diikuti oleh bagian yang lain. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan di TNKJ di antaranya
adalah yang dilakukan oleh Suryanto 2000 yang meneliti tentang “Sistem
Zonasi Pengelolaan TNL Berdasarkan Indeks Kepekaan Lingkungan IKL Studi Kasus di Kepulauan Karimunjawa Kabupaten Jepara Jawa Tengah
”, dan oleh
Yusuf 2007 yang meneliti tentang “Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir
dan Laut Kawasan TNKJ Secara Berkelanjutan ”. Penelitian Suryanto berfokus
pada nilai IKL dalam penataan zonasi, sedangkan penelitian Yusuf terfokus pada kesesuaian lahan terutama untuk kegiatan wisata dan budidaya. Penelitian
Suryanto dan Yusuf belum mengakomodasikan peran zonasi terhadap kegiatan pemanfaatan perikanan yang ada, keterbatasan kajian SDI, faktor-faktor
kemampuan daya dukung lingkungan, dinamika dan kompleksitas ekosistem. Purwanti 2008 meneliti tent
ang “Konsep Co-Management di TNKJ”. Kajian kebijakan dan kelembagaan yang dilakukan menunjukkan bahwa 1
peraturan pengelolaan kawasan konservasi lebih mengkonsentrasikan kewenangan pada pemerintah; 2 terdapat ketidakharmonisan peraturan dalam
hal kewenangan pengelolaan antara Dephut, DKP dan pemerintah daerah sehingga cenderung timbul konflik institusional karena peraturan sulit diterapkan
lintas sektor. Sementara pengaturan kolaborasi dalam permenhut juga sulit dilaksanakan karena belum ada kesepakatan dan kesepahaman tertulis antar
stakeholders. Penelitian tentang bidang perikanan tangkap di antaranya dilakukan oleh
Irnawati 2008 yang meneliti tentang “Pengembangan Perikanan Tangkap di
Kawasan TNKJ Jawa Tengah ”, dan Yanuar et al. 2008 yang meneliti tentang
“Optimalisasi Kegiatan Nelayan Sebagai Instrumen Pendukung Keberlanjutan TNKJ
”. Penelitian Irnawati dan Yanuar et al. terfokus pada kegiatan perikanan yang dapat dikembangkan di TNKJ.
Berdasarkan uraian di atas, maka diperlukan suatu penelitian terpadu dan komprehensif serta berkaitan satu dengan lainnya dalam suatu sistem. Adanya
hubungan dan keterkaitan antara satu komponen dengan komponen yang lain dalam pemenuhan kebutuhan akan membuat persoalan semakin kompleks,
sehingga dalam pemecahannya perlu dilakukan dengan pendekatan sistem Eriyatno 2003; Marimin 2005. Pendekatan sistem merupakan salah satu
metode yang dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku sistem yang dikaji dan perubahannya pada setiap waktu serta menjelaskan hubungan kompleksitas dari
masing-masing aspek. Dengan pendekatan sistem dapat disusun skenario pengembangan TNKJ sesuai dengan yang diharapkan.
P enelitian tentang “Model Pengembangan TNL: Optimalisasi Pengelolaan
Perikanan Tangkap di Taman Nasional Karimunjawa ” penting dilakukan untuk
membuat model pengelolaan perikanan tangkap yang efektif dan keberlanjutan.
Dalam model pengelolaan dengan fokus pada optimalisasi pengelolaan perikanan tangkap di zona PPT TNKJ ini perlu diperhatikan beberapa hal, antara
lain: 1 komoditas unggulan; banyaknya jenis komoditas perikanan, sehingga jumlah rataan tiap komoditas menjadi relatif kecil dan kegiatan pengelolaan
belum mengakomodasikan SDI yang ada; 2 jenis dan jumlah alat tangkap; perlu pengaturan alokasi jumlah alat tangkap di TNKJ dan terdapat berbagai macam
teknologi penangkapan ikan TPI, tetapi terdapat keterbatasan dalam pengusahaannya, di antaranya permodalan, kualitas sumber daya manusia
SDM nelayan, dan peluang pasar; 3 keuntungan usaha; pelaksanaan studi mengenai kelayakan yang menyangkut biaya dan laba cost-benefit pada
berbagai jenis usaha perikanan tangkap sehingga prospek dan risiko usaha penangkapan dapat diperhitungkan dengan lebih baik; dan 4 penggunaan
perairan untuk kegiatan perikanan tangkap di TNKJ meskipun sudah diatur dalam sistem zonasi, namun dalam kenyataannya masih belum sepenuhnya bisa
dioptimalkan untuk kegiatan perikanan tangkap, sehingga perlu studi mengenai lokasi yang sesuai untuk kegiatan operasi penangkapan ikan yang berkelanjutan.