Penemuan Kasus Tuberkulosis Proses process

Penemuan penderita TB paru yang terdapat di Puskesmas Pijorkoling yaitu dengan cara menunggu penderita datang sendiri memeriksakan diri ke puskesmas penemuan suspek secara pasif. Dengan kata lain, puskesmas Pijorkoling melakukan penemuan kasus secara pasif, namun didukung juga dengan penyuluhan secara aktif oleh petugas. Prosedur dalam penemuan kasus yang telah dilakukan yaitu berdasarkan anamnese dan gejala-gejala umum TB paru, setelah itu dilakukan pemeriksaan dahak, jika hasil pemeriksaan BTA + maka dilakukan penyuluhan kepada penderita dan keluarga penderita. Penemuan kasus dengan cara penjaringan penderita TB paru ke desa pernah dilakukan, sementara penemuan kasus dengan mengunjungi rumah penderita TB paru tidak pernah dilakukan. Hal ini dikarenakan banyaknya pekerjaan petugas TB paru di puskesmas. Petugas TB paru mengatakan bahwa jadwal penjaringan dilaksanakan bersamaan dengan jadwal puskesmas keliling dan penjaringan tersebut dilakukan hanya sekali sebulan. Jadwal puskesmas keliling bersamaan juga dengan jadwal puskesmas lainnya untuk turun ke lapangan. Penemuan kasus secara aktif juga sangat diperlukan untuk mencegah penularan TB paru, misalnya dilakukan penjaringan kasus di sekitar wilayah tempat tinggal penderita TB paru. Hal ini perlu dilakukan mengingat penularan penyakit TB paru sangat cepat, terutama di lingkungan kumuh dan terdapat padat penduduk, namun hal ini belum pernah dilakukan karena petugas TB paru mempunyai banyak tugas dan terhambat dengan jumlah petugas yang sedikit. Berdasarkan penelitian Sutimbuk dkk 2012 mengatakan bahwa penemuan kasus tuberkulosis sudah dilaksanakan di Puskesmas Kabupaten Bangka Tengah, hanya saja kegiatan tersebut belum maksimal. Hal itu terjadi karena tidak adanya penanggung jawab program tidak mempunyai jadwal sendiri dalam pelaksanaan kegiatan menjaring suspek dan penanggung jawab hanya kebanyakan menunggu di puskesmas. Penemuan secara pasif akan lebih efektif jika didukung oleh penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan penderita. Cara ini dikenal dengan passive promotive case finding penemuan penderita secara pasif dengan promosi yang aktif Depkes, 2002. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa penyuluhan sudah diberikan, baik kepada penderita TB paru, keluarga TB paru, maupun masyarakat. Penyuluhan kepada masyarakat diberikan pada saat puskesmas keliling, masyarakat dikumpulkan kemudian diberikan penyuluhan. Penyuluhan tersebut dilakukan hanya pada masyarakat yang datang ke puskesmas keliling, sehingga tidak semua masyarakat mendapatkan penyuluhan. Hal ini dibenarkan oleh informan penderita dan PMO bahwa tidak pernah dilakukan penyuluhan. Pada saat melakukan penyuluhan, petugas TB paru bekerja sama dengan bagian promosi kesehatan promkes. Menurut Depkes 2002 bahwa salah satu tujuan jangka pendek program penanggulangan TB paru adalah tercapainya cakupan penemuan penderita baru TB secara bertahap hingga mencapai 70 dari semua penderita TB yang diperkirakan ada. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa target dalam penemuan kasus di Puskesmas Pijorkoling belum memenuhi target. Hal ini dikarenakan kurangnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat terhadap penyakit TB paru. Masih kurangnya pengetahuan di sebagian masyarakat mengenai TB menjadi kendala dalam program penanggulangan TB paru khususnya dalam penemuan kasus di Puskesmas Pijorkoling. Sebagian masyarakat masih beranggapan bahwa penyakit TB paru adalah penyakit kutukan, penyakit akibat guna-guna, dan aib. Minimnya pengetahuan akan penyakit TB paru menyebabkan penderita kurang aktif dalam memperoleh kesembuhan dan mengakibatkan penularan kepada orang lain. Petugas TB paru sudah menyarankan kepada penderita dan keluarga penderita, jika terdapat gejala umum penyakit TB sebaiknya langsung melakukan pemeriksaan dahak. Petugas TB paru juga sudah berupaya memberi informasi mengenai penyakit TB paru, namun masih ada sebagian masyarakat yang tidak peduli. Hal ini sejalan dengan hasil wawancara yaitu masih ada penderita TB paru yang tidak mau mengantarkan kembali pot dahaknya ke puskesmas, meskipun petugas TB paru sudah menganjurkannya. Bagi sebagian penderita TB paru beranggapan bahwa penyakit TB paru merupakan aib bagi mereka dan mereka malu untuk memeriksakan kesehatannya. Berdasarkan penelitian Khoiruddin 2013 bahwa adanya faktor eksternal dan faktor internal dalam mencapai target penemuan kasus di Kabupaten Kediri. Faktor ekternal yaitu penemuan kasus suspek TB paru hanya bersifat pasif dengn menunggu pasien datang ke puskesmas, peran serta masyarakat memanfaatkan pelayanan puskesmas masih kurang dan letak geografis kabupaten tersebut terdapat banyak rumah sakit dan klinik swasta sehingga masyarakat memeriksakan kesehatan ke praktek swasta. Faktor internal yaitu penjaringan suspek TB setiap petugas berbeda-beda, ada yang ketat yaitu memeriksa suspek dengan gejala pasti TB paru kemudian dirujuk untuk pemeriksaan BTA +, ada yang longgar yaitu baru menunjukkan gejala batuk langsung dirujuk untuk pemeriksaan BTA +. 5.2.2 Pemeriksaan BTA + Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang beurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu SPS Kemenkes, 2011. Puskesmas Pijorkoling hanya sampai melakukan fiksasi slide saja, yang melakukan pewarnaan dan pemeriksaan mikroskopisnya adalah puskesmas Padangmatinggi PRM. Pemeriksaan BTA + yang dilakukan di PRM berdasarkan pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan mikroskopis dahak merupakan cara yang paling efektif dan dapat dilakukan dimana saja. Diusahakan 3 buah spesimen dari penderita TB paru terkumpul agar ditegakkannya diagnosis, namun dalam hal ini sebagian penderita tidak mau mengantarkan kembali pot dahak ke puskesmas yang akan menghambat diagnosis penderita. Penderita yang dianggap menderita TB tersangka diambil dahaknya. Dahak diambil dengan cara SPS, yaitu saat suspek datang pertama kali kemudian saat pulang suspek dibawakan pot dahak untuk pengambilan dahak pagi saat bangun tidur dan saat akan pergi ke puskesmas. Dahak tersebut kemudian difiksasi oleh petugas dan akan dikumpulkan di puskesmas. Slide-slide tersebut dikumpulkan, apabila sudah jadwal mengantar slide ke PRM, maka slide tersebut dibawa ke PRM. Jadwal ke PRM hanya sekali seminggu, sehingga hasil diagnosis tidak bisa langsung diketahui. Keterbatasan puskesmas Pijorkoling yang merupakan puskesmas satelit dan tidak mempunyai laboratorium menyebabkan hasil diagnosis tidak dapat diketahui dengan segera. Berdasarkan penelitian Hernanto 2001 bahwa adanya faktor yang berpengaruh terhadap pelaksanaan pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Faktor tersebut yaitu kesulitan penderita mengeluarkan dahak, tingkat pendidikan petugas di puskesmas, dan kondisi mikroskop. Diagnosis yang dilakukan pertama kali yaitu dengan melihat gejala-gejala umum TB paru, kemudian dilakukan pemeriksaan dahak. Pemeriksaan dahak dilakukan dengan mengambil dahak secara SPS. Jika salah satu atau lebih dari ketiga spesimen dahak positif, maka suspek dapat dikatakan penderita TB paru. Dan apabila ketiga spesimen hasilnya negatif, maka dilakukan foto rontgen, setelah hasil rontgen diketahui perlu konsultasi dengan dokter untuk menegakkan diagnosis. Dokter mendiagnosa hasil dari pemeriksaan dahak tersebut, jika terdapat 1 spesimen dahak yang positif maka penderita diberikan pengobatan dan dalam menjalankan pengobatan penderita diharapkan diawasi oleh seorang PMO. PMO akan membantu mengingatkan, mengawasi, serta memotivasi penderita agar menjalankan pengobatan dengan teratur.