Untuk mengawasi dan menguji tindakan upaya paksa tersebut perlu
adanya lembaga yang diberi wewenang untuk menentukan sah atau tidaknya upaya paksa tersebut, mengawasi dan menguji upaya paksa yang dilakukan oleh
penyidik dan penuntut umum tersebut dilimpahkan kewenangannya kepada Praperadilan.
Jadi, lembaga Praperadilan merupakan alat uji apakah seseorang itu telah melalui proses awal penangkapan dan penahanan oleh aparatur penyidik secara
sah menurut Undang-undang atau satu penahanan dan atau penangkapan tersebut mengandung cacat hukum. Selain dari itu, Praperadilan juga dapat memeriksa dan
memutuskan sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan yang dilakukan oleh penyidik atau sah atau tidaknya penghentian penuntutan yang dilakukan oleh
penuntut umum.
26
Dengan adanya praperadilan ini, maka apabila seseorang dikenakan penangkapan, penahanan, dan atau tindakan-tindakan lain yang dilakukan secara
tidak sah, yaitu tidak memenuhi syarat yang ditentukan dalam undang-undang, maka tersangkaterdakwa atau keluarganya atau pihak lain yang dikuasakan
misalnya penasehat hukumnya, dapat meminta pemeriksaan dan putusan oleh hakim tidak sahnya penangkapanpenahanan serta tindakan-tindakan lain atas
dirinya tersebut. Kehadiran lembaga praperadilan memberi peringatan :
27
26
Pasal 1 butir 10 KUHAP
27
S. Tanusubroto, Peranan Praperadilan Dalam Hukum Acara Pidana, Alumni,
Bandung,1983, hlm.2.
1. Agar penegak hukum harus berhati-hati dalam melakukan tindakan
hukumnya setiap tindakan hukum harus didasarkan kepada ketentuan hukum yang berlaku, dalam arti ia harus mampu menahan diri serta
menjauhkan diri dari tindakan kesewenang-wenangan. 2.
Ganti kerugian dan rehabilitasi merupakan upaya untuk melindungi waranya yang diduga melakukan kejahatan yang ternyata tanpa didukung
dengan bukti-buktu yang meyakinkan sebagai akibat dari sikap dan perlakuan penegak hukum yang tdak mengindahkan prinsip hak-hak asasi
manusia. 3.
Hakim dalam menentukan ganti kerugian harus mempehatikan dan mempertimbangkan orang yang dirugikan, maupun dari sudut kemampuan
finansiil pemerintah dalam memenihi dan melaksanakan keputusan hakim itu.
4. Dengan rehabilitasi berarti orang itu telah dipulihkan haknya sesuai
dengan keadaan semula diduga telah melakukan kejahatan. 5.
Kejujuran yang menjiwai KUHAP harus diimbangi dengan integritas dan dedikasi dari aparat penegak hukum, karena tanpa adanya keseimbangan
itu semuanya akan sia-sia belaka. Oleh karena itu, prinsip yang terkandung pada praperadilan bermaksud dan
tujuan guna melakukan tindakan pengawasan horizontal untuk mencegah tindakan hukum upaya paksa yang berlawanan dengan undang-undang.
28
28
Soeparmono, R. Op.cit. hlm. 16.
Oleh karena itu dasar dari adanya lembaga Praperadilan ini adalah merupakan suatu cerminan pelaksanaan dari asas praduga tidak bersalah
presumption of innocence sehingga tiap orang yang diajukan sebagai terdakwa telah melalui proses awal yang wajar dan mendapat perlidungan harkat dan
martabat manusianya dan merupakan suatu lembaga yang melakukan pengawasan horizontal atas tindakan upaya paksa yang dilakukan terhadap tersangka selama
ia berada dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan, agar benar-benar tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum Undang-undang.
KUHAP yang diundangkan pada tanggal 31 Desember 1981 disadari pasti mempunyai kelemahan, kekurangan dan mungkin kesalahan, betapapun kecilnya.
Kendatipun demikian, KUHAP sudah menunjukkan adanya kemajuan apalagi bila dibandingkan dengan HIR yang sudah berumur lebih dari satu abad itu. Dalam
masa peralihan ini, masih perlu dibenahi sarana yang menunjang pelaksanaan, disatu pihak mengenai kesadaran hukum masyarakat mengenai hak dan kewajiban
menurut KUHAP, dilain pihak mengenai keadaan aparat penyidik dan penuntut umum yang menyangkut kemampuan teknis dan materiil.
29
Semangat kemanusiaan para pelaksananya sungguh sangat menentukan bagi keberhasilan KUHAP dalam mencapai tujuannya. Nilai-nilai kemanusiaan
yang dikristalisir dalam rangkaian pasal-pasal KUHAP itu tidak akan banyak artinya dalam praktek penegakan hukum di negara kita, bilamana para
pelaksananya idak mempunyai semangat kemanusiaan. Akan tetapi kalau para pelaksananya mempunyai semangat kemanusiaan, maka segala kekurangan dan
29
S. Tanusubroto, op.cit, hlm.3
ketidaksempurnaan yang terkandung dalam KUHAP tidak menjadi penghalang untuk menegakkan hukum keadilan dan kebenaran dibumi persada indonesia
tercinta ini.
30
Maka sebenarnya keberhasilan KUHAP sangat tergantung kepada para pelaksanan penegak hukum terutama yang berkecimpung langsung dalam proses
perkara pidana, yaitu polisi, jaksa, hakim, dan advokatpengacara. Dan tentunya dengan dukungan dan partisipasi masyarakat dalam menerima berlakunya
KUHAP ini.
31
5.3. Wewenang Praperadilan
Telah dijelaskan diatas, bahwa lembaga praperadilan memiliki fungsi sebagai pengawasan horizontal yang pengawasan tersebut semata-mata diberikan
kepada pengadilan negeri sebagai badan peradilan tingkat pertama guna kontrol, menilai, menguji, mempertimbangkan secara yuridis, apakah dalam tindakan
upaya paksa terhadap tersangka oleh penyelidikpenyidik atau penuntutan benar- benar telah sesuai dengan aturan dan ketentuan KUHAP atau aturan perundang-
undangan ataukah tidak.
32
Disamping itu wewenang praperadilan juga meliputi pemeriksaan terhadap ganti rugi dan rehabilitasi.
33
Hal-hal atau peristiwa semacam itulah yang menjadi wewenang dari lembaga praperadilan menurut KUHAP.
Selain itu wewenang tersebut juga dalam rangka wujud realisasi dari Pasal 7 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
30
Ibid.
31
S. Tanusubroto, op.cit. hlm. 3.
32
R. Suparmono, op.cit. hlm. 11.
33
Hari Sasangka, op.cit. hlm. 188.
menyebutkan bahwa tiada seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan, kecuali atas perintah tertulis dari kekuasaan yang
sah dalam hal dan menurut cara yang diatur oleh undang-undang. Untuk lebih jelasnya disini akan dijelaskan mengenai wewenang
praperadilan yang diberikan undang-undang secara lebih rinci, yaitu:
1. Memeriksa dan memutus sah tidaknya upaya paksa.
Inilah wewenang pertama yang diberikan undang-undang kepada praperadilan memeriksan dan memutus sah atau tidaknya: .
34
a. Penangkapan
b. Penahanan
Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau tedakwa apabila terdapat cukup bukti
guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
35
Pada Pasal 16 s.d Pasal 19 KUHAP jo. Pasal 1 butir 20 KUHAP. Penangkapan dapat dilkukan oleh penyelidik atas perintah penyidik, penyelidik
dan penyidik pembantu. Perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tidak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup
Pasal 17 KUHAP. Menurut Pasal 1 butir 14 menunjukkan bahwa perintah penangkapan tidak
dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang
34
M. Yahya Harahap buku I, op.cit, hlm. 5.
35
Pasal 1 butir 20 KUHAP.
betul-betul melakukan tindak pidana yang dengan berdasarkan bukti permulaan .
36
Penangkapan ini juga dilakukan dalam jangka waktu paling lama satu hari
37
, kecuali undang-undang mengatur lain.
38
Sedangkan penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan
penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Berarti, seorang tersangka yang dikenakan tindakan penangkapan dan
penahanan dapat meminta kepada praperadilan untuk memeriksa sah atau tidaknya tindakan yang dilakukan penyidik kepadanya. Tersangka dapat
mengajukan pemeriksaan kepada praperadilan, bahwa tindakan penahanan yang dikenakan sudah melampaui batas waktu yang ditentukan Pasal 21 KUHAP. Atau
penahanan yang dikenakan sudah melampaui batas yang ditentukan Pasal 24 KUHAP.
Namun bukan hanya tersangkaterdakwa yang dapat mengajukan permohonan praperadilan mengenai sah atau tidaknya penangkapan atau
penahanan tersebut. Menurut ketentuan Pasal 79 KUHAP, yang berhak mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penangkapan atau
penahanan, bukan hanya tersangka saja, tetapi dapat diajukan oleh keluarga atau penasehat hukumnya.
36
Penjelasan Pasal 17 KUHAP.
37
Pasal 19 ayat 1 KUHAP.
38
Tidak semua penangkapan dilakukan dalam jangka waktu satu hari. Sebagai contoh Pasal 76 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan dilakukan paling
lama 3x 24 tiga kali dua puluh empat dan dapat diperpanjang 3 x 24 jam. Selain itu Pasal 28 Undang-Undang No. 15 tahun 2003 jo. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1
Tahun 2002 menyatakan “Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang didugakeras melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat 2 untuk paling lama 7 x 24 tujuh kali dua puluh empat jam.
2. Memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan.
Kasus lain yang termasuk kedalam ruang lingkup kewenangan praperadilan ialah memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penghentian
penyidikan yang dilakukan pejabat penyidik maupun tentang sah atau tidaknya penghentian penuntutan yang dilakukan oleh penuntut umum.
39
Penghentian penyidikan diatur di dalam Pasal 109 ayat 1 dan 2 KUHAP. Alasan-alasan penghentian penyidikan tersebut antara lain adalah: .
40
1. Tidak terdapat cukup bukti;
2. Peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana;
3. Penyidikan dihentikan demi hukum.
Barang kali rasio atau alasan pemberian wewenang penghentian ini antara lain:
a. Untuk menegakan prinsip peradilan cepat tepat dan berbiaya ringan
serta sekaligus untuk tegaknya kepastian hukum dan ehidupan masyarakat. Jika penyidik berkesimpulan bahwa berdasar hasil
penyidikan dan penyelidikan tidak cukup bukti atau alasan untuk menuntut tersangka dimuka pengadilan, untk apa berlarut-larut
menangani dan memeriksa tersangka. Lebih baik penyidik secra resmi menyatakan penghentian penyidikan agar segera tecipta kepastia hukum
baik bagi penyidik sendiri, terutama kepada tersangka dan masyarakat.
39
M. Yahya Harahap buku I, loc.cit.
40
Hari Sasangka, Op.cit. hlm.108.
b. Supaya penyidik terhidar dari tuntut ganti kerugian, sebab kalau
perkaranya diteruskan tapi ternyata tidak cukup bukti atau alasan untuk menuntut ataupun menghukum, dengan sendirinya memberi hak kepada
tersangkaterdakwa untuk menuntut ganti kerugian berdasarkan Pasal 95 KUHAP.
41
Penghentian penuntutan oleh penuntut umum didasarkan pada bunyi Pasal 140 ayat 2 KUHAP, yaitu:
42
a. Karena tidak cukup bukti;
b. Peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana;
c. Perkara ditutup demi hukum.
Penuntutan terjadi jika suatu perkara telah dilimpahkan ke pengadilan negeri yang berwenang, sehingga batasan telah terjadi penuntutan atau belum
adalah adanya pelimpahan suatu perkara ke pengadian negeri.
43
Secara harfiah arti kata penghentian penuntutan adalah suatu perkara telah dilimpahkan ke pengadilan negeri, kemudian perkara tersebut dihentikan
prosesnya dan kemudian dicabut dengan alasan yang telah ditentukan oleh undang-undang.
44
Akan tetapi, mungkin saja alasan penghentian ditafsirkan secara tidak tepat ataupun penghentian sama sekali tidak beralasan, atau penghentian itu dilakukan
untuk kepentingan pribadi pejabat yang bersangkutan. Oleh karena itu, bagaimanapun mesti ada lembaga yang berwenang memeriksa dan menilai sah
41
M. Yahya Harahap buku I, op.cit. hlm. 147.
42
Hari Sasangka, op.cit. hlm. 174.
43
ibid. hlm. 108
44
ibid.
atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, supaya tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum dan kepentingan umum maupun pengawasan tidakan
penyalahgunaan wewenang abuse of authority. Untuk itu terhadap penghentian penyidikan, undang-undang memberi hak kepada penuntut umum atau pihak
ketiga yang berkepentingan untuk mengajukan pemerikaan kepada praperadilan tentang sah atau tidaknya penghentian tersebut. Demikian pula sebaliknya,
penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan pemeriksaan sah atau tidaknya penghentian penuntutan kepada Preperadilan.
45
Pada tindak pidana khusus, khususnya korupsi, diketahui bahwa penyidik dan penuntut umum berada dibawah satu atap yaitu Jaksa.
46
Untuk mendapatkan solusi masalah ini menurut M. Yahya Harahap adalah undang-undang harus dapat memperluas arti dari pihak ketiga yang
berkepentingan tersebut, tidak terbatas hanya saksi korban atau pelapor tetapi meliputi masyarakat, misalnya dalam kasus korupsi yang menjadi pihak ketiga
yang berkepentingan yang mempunyai hak untuk keberatan atas penghentian Apabila tindak pidana
korupsi terjadi penghentian penyidikan atau penuntutan yang tidak beralasan maka siapa yang menajukan keberatan atas penghentian penyidikan atau
penuntutan tersebut. Dalam hal ini penuntut umum sebagai penyidik tidak mungkin mengajukan keberatan, sedangkan pihak ketiga yang berkepentingan
saksipelapor tidak ingin terlibat dengan alasan takut, sebab yang dilaporkan adalah seorang pejabat negara yang mempunyai kekuasaan.
45
M. Yahya Harahap, buku I. op.cit. hlm. 5-6.
46
OC. Kaligis, Pengawasan Terhadap Jaksa Selaku Penyidik Tindak Pidana Khusus dalam Pemberantasan Korupsi
, Alumni, Bandung, 2006, hlm. 2. selanjutnya disebut buku II
penyidikan dan penuntutan adalah masyarakat yang dapat diwakili oleh Lembaga Swadaya Masyarakat LSM.
47
Sebagai contoh, pada kasus penghentian penuntutan SKP2 yang dikeluarkan jaksa untuk menghentikan perkara kasus Sistem Administrasi Badan
Hukum Sisminbakum dengan tersangka Yusril Ihza Mahendra. Pada kasus ini, permohonan praperadilan dilakukan oleh LSM Masyarakat Anti Korupsi
Indonesia MAKI dinyatakan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak dapat diterima. Alasannya dikarenakan permohonan MAKI terlampau prematur.
Prematur disini maksudnya bahwa sebenarnya Jaksa Agung selaku termohon belum menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan SKP2, meskipun
berkas sudah dinyatakan lengkap. Namun MAKI masih bisa tersenyum walaupun permohonan praperadilannya tidak dapat diterima oleh Hakim tunggal Ari
Jiwantara. Dalam pertimbangan putusannya, hakim tunggal kasus praperadilan ini, menilai MAKI memiliki kedudukan hukum atau legal standing dalam
kapasitas sebagai pihak ketiga berkepantingan. Lebih lanjut dalam pertimbangan putusannya, hakim menyatakan MAKI sebagai LSM berkomitmen terhadap
pemberantasan tindak pidana korupsi Tipikor.
48
Menurut Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.14.PW.07.03 Tahun 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana angka 11 menyatakan “Dalam hal penyidik menghentikan penyidikannya dimaksud dalam Pasal 109 ayat 2 dan
47
M. Yahya Harahap buku I, op.cit. hlm. 11
48
http:www.hukumonline.comberitabacalt4e4fd9aa2cdcelegal-standing-pihak-ketiga- praperadilan-diakui
. Judul artikel Legal Standing Pihak Ketiga Praperadilan Diakui. Diunggah pada sabtu, 20 Agustus 2011. Diakses pada Selasa, 6 Desember 2011.
penuntut umum menghentikan penuntutannya sebagaimana simaksud dalam Pasal 140 ayat 2, selain harus memberitahukannya kepada tersangka atau keluarga
atau penasehat hukumnya, juga kepada saksi pelapor atau korban, agar mereka mengetahui sehingga menghindari kemungkinan diajukannya ke praperadilan”.
Menurut Hari Sasangka, ketentuan tersebut diatas adalah sangat janggal. Karena saksi pelapor atau korban tetap mempunyai hak untuk mengajukan
masalah penghentian penyidikan yang dilakukan oleh penyidik ke pengadilan untuk diperiksa dalam sidang praperadilan. Jadi pengajuan masalah penghentian
penyidikan dan penuntutan dalam sidang praperadilan tidak bisa dicegah dengan prosedur administratif seperti tersebut diatas. Selama saksi pelapor atau korban
menganggap penghentian oleh penyidik merugikan pihaknya maka kemunginan untuk mengajukan masalah tersebut ke sidang praperadilan tetap ada.
49
3. Berwenang memeriksan tuntutan ganti rugi.
Kesalahan pada semua tingkat pemeriksaan dalam suatu sistem peradilan pidana bagaimanapun juga dapat terjadi dan korban kesalahan tersebut haruslah
mendapat ganti kerugian. Setiap ketidakadilan, apalagi yang menyangkut kehilangan kemerdekaan
seseorang haruslah dikembalikan kepada suatu keadaan yang adil dengan memberikan sejumlah ganti kerugian. Hal ini haruslah dilakukan demi hukum,
bukanlah hanya sekedar sabagai suatu basa-basi kesopanan belaka.
49
Hari Sasangka, op.cit. hlm. 109.
Pasal 95 KUHAP mengatur tentang tuntutan ganti kerugian yang diajukan tersangka , keluarganya atau penasehat hukumnya kepada praperadilan. Tuntutan
ganti kerugian ini diajukan tersangka berdasarkan alasan:
1. Karena penangkapan atau penahanan yang tidak sah,
2. Karena penggeledahan atau penyitaan yang bertentangan dengan
ketentuan hukum dan undang-undang,
3. Karena kekeliruan mengenai orang yang sebenarnya mesti ditangkap,
ditahan atau diperiksa.
50
Berdasarkan Pasal 95 KUHAP tesebut pula maka ganti kerugian dapat digolongkan dalam dua macam, yaitu:
1. Ganti kerugian atas penangkapan, penahanan serta tindakan lain yang
tidak sah dan untuk ditunjukkan oenyelesaiannya pada pemeriksaan serta acara pada praperadilan Pasal 95 ayat 2 dan ayat 5.
2. Ganti kerugian atas seorang yang diadili tanpa sah seperti yang
tercantum dalam Pasal 95 ayat 1. Menurut penjelasan Pasal 95 ayat 1 dikatakan bahwa:
“Yang dimaksud dengan kerugian kerena dikenakan tindakan lain ialah kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan
yang tidak sah menurut hukum. Termasuk penahanan yang lebih lama dari pada pidana yang dijatuhkan”.
50
M. Yahya Harahap, op.cit. hlm. 6.
Maka ternyata ganti kerugian yang dimaksud adalah ganti kerugian terhadap tindakan-tindakan pada fase pemeriksaan pendahuluan
51
, yakni tindakan- tindakan yang berhubungan dengan upaya paksa.
52
Disini dibedakan antara tuntutan ganti kerugian yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan dan tuntutan ganti kerugian yang perkaranya diajukan ke
pengadilan Pasal 77 dan 95 ayat 2 KUHAP. Apabila perkara tidak diajukan ke pengadilan, baik karena tidak cukup bukti atau peristiwa tersebut tidak merupakan
tindak pidana, sedangkan terhadap tersangka telah dilakukan penangkapan, penahanan, dan tindak lain secara melawan hukum, maka tuntutan tersebut
diperiksa dan diputus oleh praperadilan. Sedang tuntutan ganti rugi yang perkaranya telah diajukan ke pengadilan, maka permintaan ganti kerugian yang
demikian itu diperiksa dan diputus oleh hakim yang telah mengadili perkara tersebut.
53
Hakim praperadilan hanya dapat menetapkan suatu ganti kerugian atas suatu penangkapan, penahanan serta penuntutan yang di anggap tidak sah, dan
dapat di perluas dengan penetapan ganti kerugian terhadap adanya tindakan lain dimana dalam penjelasan Pasal 95 ayat 1 di tafsirkan sebagai suatu kerugian
yang di timbulkan oleh upaya paksa lainnya, seperti penggeledahan, penyitaan barang serta pembukaan surta-surat, hal ini dapat dimengerti, karena praperadilan
51
Pemeriksaan pendahuluan adalah pemeriksaan yang dilakukan apabila ada persangkaan tentang adanya tindak pidana, baik tertangkap tangan atau tidak, yang dilakukan sebelum
pemeriksaan persidangan penagdilan. Lihat buku Looeby Loqman, Praperadilan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta,1984, hlm. 18.
52
Looeby Loqman, Praperadilan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta,1984, hlm.74.
53
Hari Sasangka, op.cit. hlm. 225
wewenangnya adalah pada tindakan pada fase pemeriksaan pendahuluan, dan batasnya adalah sampai perkara tersebut diajukan ke depan sidang pengadilan.
54
4. Memeriksa permintaan rehabilitasi
Rehabilitasi merupakan hak seseorang untuk mendapatkan pemulihan haknya, dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya yang
diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa alasan yang berdasarkan Undang-Undang atau
karena kekeliruan mengenai orangnya, atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini Pasal 95 ayat 3 KUHAP
55
Selain itu mengacu pada Pasal 1 butir 23 KUHAP, rehabilitasi adalah: .
Hak seorang tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan pemulihan:
56
a. Atas hak kemampuan, dan
b. Atas hak kedudukan dan harkat martabatnya,
c. Serta hak pemulihan tersebut dapat diberikan dalam semua tingkat
pemeriksaan, mulai dari tingkat penyidikan, penuntutan, atau pengadilan.
Praperadilan berwenang memeriksa dan memutuskan permintaan rehabilitasi yang diajukan tersangka, keluarganya atau kuasa hukumnya atas
penangkapan atau penahanan tanpa dasar hukum yang telah ditentukan oleh undang-undang, atau rehabilitasi atau kekeliruan mengenai orang atau hukum
yang diterapkan yang perkaranya tidak diajukan kesidang pengadilan.
57
54
Loebby Loqman, op.cit. hlm. 75.
55
Hari Sasangka Op.cit. h. 230.
56
M. Yahya Harahap buku I, op.cit. hlm. 69.
57
Ibid, hlm. 6.
Rehabilitasi dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan di dalam hal pengadilan menjatuhkan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan
hukum. Sedangkan dalam putusan Praperadilan rehabilitasi tersebut tidak dapat dicantumkan seperti pada putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan.
Alasannya adalah bahwa putusan Praperadilan hanya memeriksa tentang sah atau tidaknya upaya paksa oleh pejabat penegak hukum, bisa saja terjadi bahwa
Pemohon Praperadilan yang mendapat putusan bahwa penangkapannya tidak sah adalah memang pelaku tindak pidana.
58
Oleh karena itu, rehabilitasi dapat diberikan apabila perkara orang tersebut telah mendapat putusan hakim yang berkekuatan tetap untuk menghindari adanya
pemberian rehabilitasi terhadap orang yang dicurigai telah melakukan tindakan kejahatan tindak pidana.
59
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 pasal 14, amar penetapan dari praperadilan mengenai rehabilitasi berbunyi sebagai berikut:
“Memulihkan hak pomohon dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya. “
60
5. Praperadilan terhadap tindakan penyitaan
Ada kemungkinan didalam melakukan penyitaan, terdapat suatu kekeliruan. Apabila suatu penyidikan terhadap diri tersangka telah digunakan
upaya paksa penyitaan, dan ternyata yang disita tidak termasuk alat bukti maka hal tersebut dapat dimohonkan praperadilan Pasal 82 ayat 1 huruf b KUHAP.
61
58
Hari Sasangka, op.cit. hlm. 229-230.
59
ibid.
60
ibid. hlm. 231.
61
Hari Sasangka, ibid, hlm. 234
Menurut ketentuan Pasal 79 KUHAP, tersangka, keluarga atau penasehat hukumnya dapat mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya
penangkapan atau penahanan. Cuma apa yang diatur dalam Pasal 79, hanya meliputi pengajuan pemeriksaan tentang sah tidakna penangkapan atau
penahanan. kedalamnya tidak termasuk pengajuan permintaan tentang sah atau tidaknya penggeledahan, penyitaan atau pemasukan rumah. Namun mengenai sah
atau tidaknya penggeledahan dan penyitaan termasuk juga dalam kandungan Pasal 79 dihubungkan dengan Pasal 82 ayat 3 huruf d KUHAP, sehingga mengenai
sah atau tidaknya penggeledahan dan penyitaan dapat diajukan oleh tersangka, keluarganya atau penasehat hukumnya atau orang terhadap siapa dilakukan
penggedahan atau penyitaan.
62
Tindakan menyangkut penyitaan bisa dimohonkan praperadilan dengan alasan :
63
a. Bila menimbulkan kerugian, diajukan permohonan praperadilan dengan
alasan ganti kerugian; b.
Bila ada barang yang tidak termasuk alat pembuktian dilakukan penyitaan, diajukan permohonan praperadilan dengan alasan ada benda
disita yang tidak termasuk alat pembukian.
6. Ruang Lingkup Tindak Pidana Korupsi
Korupsi sebagai fenomena penyimpangan dalam kehidupan sosial, budaya, kemasyarakatan, dan kenegaraan sudah dikaji dan ditelaah secara kritis
62
Harahap, M. Yahya buku I, op.cit. hlm. 9.
63
Hari Sasangka, loc.cit.
oleh banyak ilmuan dan filosof. Aristoteles misalnya, yang diikuti oleh Machiavelli, sejak awal telah merumuskan sesuatu yang disebutkan sebagai
korupsi moral moral corruption. Korupsi moral merujuk pada berbagai bentuk konstitusi yang sudah melenceng, hingga para penguasa tidak lagi dipimpin oleh
hukum tetapi tidak lebih hanya berupaya melayani dirinya sendiri.
64
Korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio, yang berarti kerusakan atau kebobrokan. Ada pula yang berpendapat bahwa dari segi istilah “korupsi” yang
berasal dari kata corrupteia yang dalam bahasa Latin berarti bribery atau seduction maka yang diartikan dengan corrupto dalam bahasa Latin ialah
corrupter atau seducer. Bribery dapat diartikan sebagai memberikan kepada seseorang agar seseorang terssebut berbuat untuk keuntungan pemberi. Sementara
seduction berarti sesuatu yang menarik agar seseorang menyeleweng.
65
Hafidhuddin juga mencoba memberikan gambaran korupsi dalam perspektif agama islam, ia mengatakan, bahwa dalam islam korupsi termasuk
perrbuatan fasad
66
64
Mansyur Semma, Negara dan Korupsi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2008, hlm.
32.
. Pelakunya dikategorikan melakukan jinayah kobro dosa besar dan harus dikenai sanksi dibunuh, disalib, atau dipotong tangan dan
kakinya dengan cara menyilang tangan kanan dengan kaki kiri atau tangan kiri dengan kaki kanan atau diusir. Dalam korteks ajaran Islam yang lebih luas,
korupsi merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan al-
65
Yudi Kristiana, Indenpendensi Kejaksaan dalam Penyidikan Korupsi, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 9.
66
Pengertian al-fasad sendiri dapat diterjemahkan sebagai segala perbuatan yang menyebabkan hancurnya kemaslahatan dan kemanfaatan hidup, seperti membuat teror yang
menyebabkan orang takut, membunuh, melukai dan mengambil atau merampas harta orang lain. Berdasarkan pendapat tersebut, Didin menegaskan bahwa “korupsi” sama buruk dan jahatnya
dengan terorisme”.
‘adalah, akuntabilitas al-amanah, dan tanggung jawab. Korupsi dengan segala dampak negatifnya yang menimbulkan berbagai distorsi
67
terhadap kehidupan negara dan masyarakat dapat dikategorikan termasuk perbuatan fasad, kerusakan
dimuka bumi, yang sekali-kali amat dikutuk Allah SWT.
68
Bentuk-bentuk tindak pidana korupsi adalah rumusan tindak pidana korupsi yang berdiri sendiri dan dimuat dalam pasal pasal Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, antara lain :
1. Tindak Pidana Korupsi dengan Memperkaya Diri Sendiri, Orang Lain, atau
Suatu Korporasi Pasal 2 2.
Tindak Pidana Korupsi dengan Menyalahgunakan Kewenangan, Kesempatan, Sarana Jabatan, atau Kedudukan Pasal 3
3. Tindak Pidana Korupsi Suap dengan Memberikan atau Menjanjikan Sesuatu
Pasal 5 4.
Tindak Pidana Suap pada Hakim dan Advocat Pasal 6 5.
Korupsi dalam Hal Membuat Bangunan dan Menjual Bahan Bangunan dan Korupsi dalam Hal Menyerahkan Alat Keperluan TNI dan NKRI Pasal 7
6. Korupsi Pegawai Negeri Menggelapkan Uang dan Surat Berharga Pasal 8
7. Tindak Pidana Korupsi Pegawai Negeri Memalsu Buku-Buku dan Daftar-
Daftar Pasal 9 8.
Tindak Pidana Korupsi Pegawai Negeri Merusak Barang, Akta, Surat, atau Daftar Pasal 10
67
Distorsi adalah penyimpangan, pemutar balikan suatu fakta. menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
68
Mansyur Semma, op.cit, hlm. 33.
9. Korupsi Pegawai Negeri Menerima Hadiah atau Janji yang Berhubungan
dengan Kewenangan Jabatan Pasal 11 10.
Korupsi Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negar atau Hakim dan Advocat Menerima Hadiah atau Janji; Pegawai Negeri Memaksa Membayar,
Memotong Pembayaran, Meminta Pekerjaan, Menggunakan Tanah Negara, dan Turut Serta dalam Pemborongan Pasal 12
11. Tindak Pidana Korupsi Suap Pegawai Negeri Menerima Gratifikasi Pasal
12B 12.
Korupsi Suap Pegawai Negeri dengan Mengingat Kekuasaan Jabatan Pasal 13
13. Tindak Pidana Pelanggaran Terhadap Pasal 220, 231, 421, 422, 429, dan 430
KUHP Pasal 23
7. Perbedaan Penahanan pada Masa HIR dengan KUHAP
Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal
serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP.
69
Penahanan sebenarnya telah diatur dalam Het Herziene Inlandsch Reglement HIR. Akan tetapi setelah berlaku KUHAP, mengenai penahanan ini
diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 31 KUHAP, dimana untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan masing-masing penegak
hukum berwenang melakukan penahanan.
70
69
Pasal 1 butir 21 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.
70
Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum dan Acara Pidana, Cetakan pertama, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1986, hlm. 106.
Terdapat perbedaan-perbedaan pengaturan penahanan di dalam HIR dan juga KUHAP. Perbedaan tersebut antara lain adalah :
1. HIR tidak mengenal berbagai jenis penahanan, yang ada hanya
penahanan rumah tahanan kepolisian, atau penyebutan jenis tahanan berdasar instansi yang melakukan sehingga klasifikasi yang signifikan
pada waktu itu, tahanan polisi, tahanan jaksa, atau tahanan hakim. Lain halnya dalam KUHAP, telah memperkenalkan dengan resmi macam
jenis penahanan.
71
2. Jenis-jenis penahanan yang telah diperkenalkan oleh KUHAP ini diatur
dalam Pasal 22 ayat 1 KUHAP jenis-jenis penahanan dapat dibedakan dalam penahanan rumah tahanan negara, penahanan rumah, dan
Penahanan kota
72
yang masing masing penahanan tersebut mendapatkan pengurangan masa penahanan pada penjatuhan pidana.
Jadi, karena HIR tidak mengenal jenis penahanan, maka di dalam HIR juga tidak mewajibkan pengurangan masa penahanan pada penjatuhan
pidana.
73
3. Kewenangan melakukan penahanan di dalam HIR hanya jaksa dan
pembantu jaksa dan hakim hanya memperpanjang masa penahanan yang dilakukan oleh jaksa. Sedangkan dalam KUHAP menentukan
bahwa ada tiga macam pejabat atau instansi yang berwenang
71
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Sianar Grafika, Jakarta, 2000, hlm. 165. selanjutnya disebut buku
II
72
Hari Sasangka, op.cit, hlm. 117.
73
Andi hamzah, op.cit, hlm. 140.
melakukan penahanan yaitu penyidik atau penyidik pembantu, penuntut umum, dan hakim.
74
4. Lamanya penahanan setelah suatu perkara dilimpahkan ke Pengadilan
di dalam HIR sama sekali tidak dibatasi. Artinya selama itu ada di tangan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung, dan
tidak dikeluarkan suatu ketetapan untuk mengeluarkan terdakwa dari tahanan, terdakwa masih berstatus tahanan dan sah. Di dalam KUHAP
hal demikian tidak mungkin terjadi lagi, pembatasan-pembatasan wewenang sangat diperketat, terutama dalam hal jangka waktu dan
pejabat yang berwenang untuk melakukan penahanan. Disamping itu, terdapat pula suatu penahanan yang tidak sah. karena kalau jangka
waktu yang ditentukan telah lewat, terdakwa harus dikeluarkan demi hukum.
75
5. Penuntut umum tidak dapat memperpanjang penahanan yang dilakukan
oleh pembantu jaksa jika dilihat dari ketentuan yang diatur oleh HIR. Penuntut umum hanya dapat melakukan penahanan sendiri yang paling
lama 30 hari. Sedangkan dalam KUHAP, penuntut umum dapat melakukan perpanjangan penahanan yang telah dilakukan oleh penyidik
paling lama empat puluh hari.
76
Penahanan dalam HIR jika dibandingkan dengan ketentuan dalam KUHAP, maka KUHAP jauh lebih menjamin hak-hak asasi tersangka.
77
74
ibid, hlm 135.
Terlebih
75
Mien Rukmini, op.cit. hlm. 127.
76
Andi hamzah, op.cit, hlm. 136
77
R. Soeparmono, op.cit, hlm 16.
lagi dengan hadirnya lembaga praperadilan. Penahanan yang dikenakan kepada seseorang kemudian ia berpendapat bahwa penahanan dilakukan secara tidak sah
atau tidak sesuai dalam KUHAP maka tersangkaterdakwa atau keluarganya atau pihak lain yang dikuasakan misalnya penasehat hukumnya, dapat meminta
pemeriksaan dan putusan hakim tentang sahnya penahanan atas dirinya tersebut. Pemeriksaan tersebut menurut KUHAP dilakukan oleh pengadilan, dikenal
sebagai Lembaga Praperadilan.
78
Kewenangan penyidik dan penuntut umum untuk melakukan upaya paksa khususnya penahanan ini merupakan tindakan pengurangan dan pembatasan
kemerdekaan dari hak asasi tersangka, oleh karenanya upaya paksa yang merupakan wewenang penyidik dan penuntut umum harus dapat dipertanggung
jawabkan menurut hukum. Untuk mengawasi dan menilai apakah upaya paksa tadi tidak bertentangan dengan hukum dan undang-undang maka lahirlah lembaga
praperadilan penjelasan Pasal 80 KUHAP.
79
Selain itu tujuan diadakannya lembaga praperadilan adalah demi tegaknya hukum, kepastian hukum dan
perlindungan hak asasi tersangka.
80
M. Metode Penelitian