Seni Tardug

3.6 Seni Tardug

Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, seni tardug bertasal dari seni genjring bonyok . Sejak paruh kedua dekade 1990-an, muncul seni tardug di Kabupaten

Subang. Istilah seni ini pun berasal dari usulan para penonton bukan dari seniman di kawasan Kabupaten Subang. Untuk mengetahui proses terbentuknya kesenian tardug di Kabupaten Subang, serta sejauh mana peranan lingkungan sosial di dalam proses pembentukan ini, maka perlu diketahui bagaimanakah asal-usul kesenian tardug .

Apakah kesenian ini muncul sebagai suatu kretivitas baru dari seseorang atau sekelompok masyarakat, ataukah kesenian ini berupa penjelmaan dari satu jenis kesenian lain yang sudah ada lalu kemudian berubah atau berkembang karena pengaruh kesenian lain, seiring perubahan masyarakatnya? Selain itu dalam bagian ini, juga akan dibahas aspek-aspek pertunjukannya. Adapun pembahasannya disusun meliputi: asal usul kesenian tardug yang terdiri dari pembahasan tentang sekelumit mengenai kesenian genjring bonyok, perkembangan kesenian tardug, penyebaran kesenian tardug; masyarakat pendukung; teknik dan bentuk pertunjukan yang terdiri dari pertunjukan helaran, dan pertunjukan di atas panggung.

3.6.1 Asal-usul kesenian Tardug

Ketika penulis pertama kali menyaksikan pertunjukan kesenian tardug (sekitar tahun 1995), sekilas penulis beranggapan bahwa kesenian ini merupakan bentuk pengembangan dari kesenian genjring bonyok, yang ditambah instrumen gitar. Memang apabila ditinjau dari fungsi pertunjukan serta alat musik yang digunakan saat itu, terdapat banyak kesamaan Kecuali fungsi tarompet yang digantikan oleh gitar.

Pendapat ini tidak disangkal oleh umumnya masyarakat Subang di antaranya adalah pendapat seorang tokoh seni pertunjukan di Subang yakni Edih AS, yang mengemukakan bahwa kesenian ini muncul ketika seniman genjring bonyok ingin meraih masyarakat kalangan tertentu melalui lagu-lagu dangdut, maka kemudian dikenal dengan genjring dangdut. Sementara itu salah seorang penggarap kesenian genjring bonyok yang juga pimpinan rombongan seni genjring Darman Group, yaitu Darman, mengatakan sebagai berikut/

...bapa mah teu langkung anu nyebat bae. Bade disebat seni genjring bonyok atawa ronyok, bade tardug, atawa genjring dangdut oge, nu penting keur bapa mah bisa 'ngaladangan ' kahayang anu ngarigel...

Artinya: ...bapak itu terserah yang menyebut saja. Mau disebut seni genjring bonyok atau ronyok, mau tardug, atau genjring dangdut juga, yang penting bagi bapak bisa 'melayani' kemauan yang menari...

Berkaitan dengan hal itu maka sangat penting untuk membahas secara ringkas mengenai perkembangan kesenian genjring bonyok. Kesenian genjring bonyok mulai tumbuh di kampung Bonyok desa Pangsor, Kecamatan Pagaden Kabupaten Subang. Lahirnya kesenian genjring bonyok erat kaitannya dengan perjalanan hidup Sutarja dalam berkesenian.

Menurut Sutarja, kesenian genjring bonyok berasal dari genjring tagoni atau rudat dari Indramayu. Pada waktu itu belum menggunakan waditra tarompet, gong, kecrek , dan kenong, tetapi masih menggunakan waditra yang terdiri dari sebuah bedug dan 4 buah genjring atau rebana. Berikut ini kutipan dari tulisan Sutarja mengenai genjring bonyok, yang menyatakan sebagai berikut.

Pada tahun 1963 kami (Sutarja) mulai (me)pegang genjring (yang) disebut genjring gedera' asal dari kesenian adem ayem. Asal muasal dari Bapak Sajem

tahun 1960. Tahun 1963 dipegang oleh Bapak Talam, tempat lahirnya dari Compreng, sampai tahun 1968. Tahun 1969 kami punya rencana (me)pakai (instrumen/waditra) tarompet. Kami terus (me)ngadakan latihan. Dapat 3 bulan tahun 1970-1971 seru kami beredar ke tiap-tiap desa. Dikarenakan anehnya genjring pakai tarompet. Pada waktu harita (itu) kami punya panggilan (pentas) hanya cuma Rp 1.500, untuk menghibur anak sunat. Pada (waktu) harita seni kami disebut genjring ronyok. Apa sebabnya? Karena si pengibing banyak, 50 orang ke atas. Maka genjring kami, karena si pengibin ngaronyok (bergerombol), disebut genjring ronyok . Pada tahun 1975 berebutan (tentang penggunaan istilah) ronyok dengan bonyok. Terus menerus berebutan sampai tahun 1978. Ronyok kalah oleh bonyok, apa sebabnya, karena dari desa kami (desa Pangsor) ada kampung (yang bernama) Bonyok, karena kami lahir dari kampung Bunut desa Pangsor (Sutarja, 1980).

Dari uraian dalam tulisan Sutarja di atas, berikut ini penulis mencoba mengurutkan tahapan-tahapan perkembangan kesenian genjring bonyok. Pada tahun 1963, Sutarja mulai memainkan genjring pada grup kesenian genjring yang dipimpin oleh pamannya yaitu Sajem. Sutarja sendiri lahir pada tahun 1952, yang berarti usianya pada waktu itu ialah 11 tahun. Dalam grup kesenian itu, kemudian Sutarja menjadi pemain inti karena memegang genjring nomor satu yang berkedudukan sebagai pemberi komando bagi alat musik lainnya. Kesenian genjring yang dipimpin Sajem ini telah ada sejak tahun 1960, pada waktu itu belum bernama genjring bonyok tetapi masih disebut genjring gederan karena suka memainkan lagu gederan. Pada kurun waktu dari tahun 1963 sampai 1968, kesenian genjring ini dipimpin oleh Talam yang berasal dari kecamatan Compreng.

Nama jenis kesenian ini masih genjring gederan dengan nayaga berjumlah 5 orang terdiri dari:

(1) Sutarja sebagai pemain genjring I, (2) Talam sebagai pemain genjring II, (3) Nurkalim sebagai pemain genjring III, (4) Warsan sebagai pemain genjring IV, dan (5) Karnawi sebagai pemain bedug.

Pada tahun 1968 motif-motif tepak genjring dikembangkan lagi. Dalam hal ini Sutarja mencoba menyusun motif-motif tabuhan yang mirip dengan tabuhan genjring adem ayem . Lagu-lagu yang tadinya berupa lagu gederan dikembangkan dengan memakai lagi-lagu adem ayem dan lagu-lagu ketuk tilu sepertu lagu gotrok, awi nyarambat, siuh , dan kangsreng. Dengan masuknya lagu-lagu ketuk tilu, maka dibutuhkan suatu alat musik yang berfungsi sebagai pembawa melodi. Karena alasan tersebut, kemudian alat musik ditambah dengan tarompet yang dipegang oleh seorang pemain tarompet yaitu Nesram. Dengan ditambahkannya waditra tarompet ke dalam kesenian genjring gederan, kesenian genjring ini mulai digemari oleh banyak penggemar atau penonton serta banyaknya undangan untuk pentas dari yang akan melaksanakan kenduri.

Tidak lama setelah masuknya alat musik tarompet dan disajikannya lagu- lagu ketuk tiluan, kemudian muncul istilah genjring ronyok pada tahun 1969 Karena banyaknya penonton yang ikut menari, dan apabila dilihat dari jauh mereka seperti orang yang sedang bergerombol (Sunda: ngaronyok). Di samping itu pada tepakan genjringnya ada istilah tepakan ronyok sebagai tepakan khas kesenian Tidak lama setelah masuknya alat musik tarompet dan disajikannya lagu- lagu ketuk tiluan, kemudian muncul istilah genjring ronyok pada tahun 1969 Karena banyaknya penonton yang ikut menari, dan apabila dilihat dari jauh mereka seperti orang yang sedang bergerombol (Sunda: ngaronyok). Di samping itu pada tepakan genjringnya ada istilah tepakan ronyok sebagai tepakan khas kesenian

Polemik sekitar penggunaan kata bonyok atau ronyok pada kesenian genjring ini terjadi dalam rentang waktu 1975-1978. Namun bagi masyarakat Subang itu bukan suatu persoalan yang menjadi hambatan bagi keberadaan kesenian genjring ini. Kedua nama tersebut terus dipergunakan oleh masyarakat, sampai akhirnya ada penetapan nama yang resmi dari kalangan pemerintahan, dalam hal ini Kasi Kebudayaan Depdikbud Kabupaten Subang pada tahun 1978, yaitu genjring bonyok. Penetapan nama genjring bonyok tersebut disertai beberapa alasan, di antaranya karena di Desa Pangsor ada Kampung Bonyok. Walaupun hubungan Kampung Bonyok dengan istilah bonyok yang digunakan sebagai nama kesenian genjring ini tidak begitu jelas. Akhirnya secara resmi kesenian tersebut dinamakan genjring bonyok, meskipun masih ada masyarakat yang menyebutnya kesenian genjring ronyok.

Memang di Jawa Barat banyak nama kesenian tradisional yang memakai nama daerah di mana kesenian tersebut lahir dan berkembang di belakang nama jenis keseniannya. Seperti dalam kesenian topeng terdapat istilah Topeng Cirebon, Topeng Jati, dan Topeng Cisalak, Topeng Cirebon berarti kesenian topeng yang lahir dan berkembang di daerah Cirebon, Topeng Jati berarti kesenian topeng yang lahir dan berkembang di daerah Jati (Pagaden, Subang), dan Topeng Cisalak berarti kesenian topeng yang lahir dan berkembang di daerah Cisalak (Bogor). Begitu pula dengan genjring bonyok yang hidup dan berkembang di daerah Bonyok. Namun demikian, kalau pemberian nama seni tersebut konsisten terhadap nama daerah tempat kesenian itu diciptakan, seharusnya bernama genjring bunut. Sebab Memang di Jawa Barat banyak nama kesenian tradisional yang memakai nama daerah di mana kesenian tersebut lahir dan berkembang di belakang nama jenis keseniannya. Seperti dalam kesenian topeng terdapat istilah Topeng Cirebon, Topeng Jati, dan Topeng Cisalak, Topeng Cirebon berarti kesenian topeng yang lahir dan berkembang di daerah Cirebon, Topeng Jati berarti kesenian topeng yang lahir dan berkembang di daerah Jati (Pagaden, Subang), dan Topeng Cisalak berarti kesenian topeng yang lahir dan berkembang di daerah Cisalak (Bogor). Begitu pula dengan genjring bonyok yang hidup dan berkembang di daerah Bonyok. Namun demikian, kalau pemberian nama seni tersebut konsisten terhadap nama daerah tempat kesenian itu diciptakan, seharusnya bernama genjring bunut. Sebab

Pada tahun 1982 terjadi lagi penambahan waditra yaitu ketuk, kecrek, kendang, kempul, dan gong. Pada Tahun 1987 kesenian genjring bonyok melengkapi pemain dengan kehadiran juru kawih atau pesinden, dengan tetap membawakan lagu-lagu ketuk tilu.

Kesenian genjring bonyok pada setiap tampil, baik di panggung maupun dalam pergelaran arak-arakan, selalu membawakan lagu-lagu ketuk tiluan. Lagu- lagu ketuk tiluan inilah yang menjadi ciri khas kesenian genjring bonyok. Dengan lagu ketuk tiluan ini penonton atau undangan diperbolehkan ikut serta- menari tanda turut bersuka cita kepada yang sedang melaksanakan hajatan. Adapun lagu yang khas kesenian genjring bonyok ada 5 lagu pokok, ditambah satu lagu tataluan. Lagu-lagu tersebut antara lain:

(a) Gederan, merupakan lagu instrumental untuk tatalu. (b) Gotrok, lagu ini menggambarkan gejolak kehidupan awal. (c) Awi Ngarambat, lagu ini menggambarkan kehidupan masyarakat yang

tidak lepas dari gotong royong. (d) Buah Kawung, mengisahkan gejolak dan sikap para pemuda dalam membela negara. (e) Kangsreng, melukiskan pergaulan bermasyarakat dengan tidak lepas dari pengaruh luar, sehingga timbul gerak tari pergaulan atau pasangan. (f) Torondol, yang menggambarkan manusia kembali kepada kiprah- Nya/llahi.

Selain lagu pokok di atas masih banyak lagu-lagu ketuk tilu yang sering ditampilkan di dalam kesenian genjring bonyok di antaranya, Gondang, Gaplek, Rayak- rayak, Polostomo, Geboy, Jisamsu/Japlin, Siuh, Bardin, Catrik, Engkang Gaya, Mojang Priangan, Manuk Dadali , dan lain-lain. Dilihat dari waditranya, Sutarja membedakan kesenian genjring menjadi dua yaitu: kesenian genjring bonyok yang memakai alat/waditra genjring (4 buah), sebuah bedug, dan sebuah tarompet . Di sisi lain, kesenian genjring gederan hanya mengunakan waditra genjring (4 buah), dan sebuah bedug. Dalam perkembangannya kemudian kesenian genjring bonyok terdiri dari 4 buah genjring, kecrek, bedug, kentung (kulanter), kendang , dan goong, serta dilengkapi oleh seorang atau lebih juru kawih (pesinden).

Sebelum kesenian tardug dikenal masyarakat, yang lebih dahulu muncul adalah istilah genjring dangdut pada sekitar tahun 1990. Suatu istilah yang diberikan masyarakat terhadap kesenian genjring bonyok yang suka menyajikan lagu-lagu dangdutan seperti: Manuk Dadali, Pemuda Idaman, Mojang Priangan, Jisamsu , dan masih banyak lagi.

Munculnya lagu-lagu dangdut dalam kesenian genjring bonyok sangat erat kaitannya dengan kegandrungan masyarakat pendukungnya terhadap lagu-lagu dangdut. Seperti yang diungkapkan Sutarja: ...apa sebabnya? Karena melihat si pengibing (penari) hobi dangdut dan meminta dimainkan irama dangdut, maka kami memainkan lagu dangdut..." (wawancara, Subang, 5 Agustus 2000).

Alasan lainnya dekemukakan oleh Edih AS bahwa para pemuda lebih menyukai lagu-lagu dangdutan ialah karena ketika mereka menari dalam irama dangdutan ternyata menari dangdutan relatif lebih gampang dibanding menari pada Alasan lainnya dekemukakan oleh Edih AS bahwa para pemuda lebih menyukai lagu-lagu dangdutan ialah karena ketika mereka menari dalam irama dangdutan ternyata menari dangdutan relatif lebih gampang dibanding menari pada

Apabila dilihat dari aspek pemain, alat musik yang dipakai, dan cara penyajiannya, genjring dangdut tidak jauh berbeda dengan kesenian genjring bonyok . Alat musik yang digunakan pada penyajian genjring dangdut adalah alat musik genjring bonyok yang terdiri dari: empat buah genjring, bedug, kecrek, tarompet, kentung (kulanter), dan seorang juru kawih (penyanyi). Begitu pula dengan para pemain (nayaga) genjring bonyok yang dituntut untuk mampu memainkan irama dangdutan serta juru kawih yang juga berperan sebagai penyanyi pada lagu-lagu dangdutan.

Perbedaan utama di antara keduanya terletak pada garapan musikalnya saja. Oleh karena itu istilah genjring dangdut bukan merupakan nama bagi sebuah jenis kesenian, tetapi hanya satu bagian garapan dalam konteks pertunjukan kesenian genjring bonyok dengan maksud untuk meraih selera konsumennya. Untuk lebih jelasnya lihat tabel perbandingan alat musik/waditra dan jenis lagu kesenian genjring di bawah ini.

Tabel 3.2: Perbandingan Jenis Kesenian dari Segi Waditra/Instrumen Dan Jenis Lagu yang Ditampilkan

No Jenis Kesenian

Jenis Lagu

Instrumen (Waditra)

1. Genjring Gederan

4 buah genjring dan sebuah bedug 2. Genjring bonyok

Gederan

Ketuk tiluan

4 buah genjring, bedug, tarompet, kecrek , kentung (kulanter), kempul, goong, seorang juru kawih , dan kadang- adang dilengkapi oleh seperangkat kendang.

3. Genjring dangdut

dangdutan

4 buah genjring, bedug, tarompet, kecrek, kentung (kulanter), kempul, goong, seorang juru kawih /penyanyi, dan kadang-kadang dilengkapi oleh seperangkat kendang.

4. Genjring tardug

dangdutan

genjring, bedug , gitar, kentung/kuianter, kecrek, kempul, gong , dan dua orang atau lebih penyanyi.

Dengan ditampilkannya lagu-lagu dangdutan, kesenian genjring dangdut memiliki dua sistem tangga nada, yaitu tangga nada diatonis dan tangga nada pentatonis. Sementara itu satu-satunya alat musik yang bernada dalam kesenian genjring dangdut yaitu tarompet, dituntut untuk mampu mengiringi lagu-lagu yang terdiri dari dua sistem nada tersebut. Kemampuan tarompet dalam mengiringi dan memainkan lagu-lagu dangdutan amat terbatas, terutama pada lagu-lagu yang bertangga nada diatonis. Hal ini telah mendorong para penggarap kesenian genjring dangdut memasukan instrumen baru ke dalam kesenian ini, yaitu instrumen gitar elektrik.

Tidak jelas siapakah yang pertama kali menghadirkan gitar ke dalam kesenian Genjring Dangdut. Namun menurut Sutarja, instrumen gitar digunakan dalam kesenian ini tidak lama sejak munculnya lagu-lagu dangdut dalam kesenian genjring bonyok , yaitu sekitar tahun 1990 Pemain gitar yang pertama kali bergabung dengan kesenian genjring Sinar Pusaka pimpinan Sutarja, adalah Yasin yang berasal dari Kananga, Desa Pangsor. Sutarja sendiri sebelum bertempat tinggal di Cidadap berasal dari Desa Pangsor yang berjarak sekitar 6 kilometer dari Desa Cidadap. Kemudian setelah berkeluarga ia pindah karena ia menikah dengan Kerti yang berasal dari Kampung Sukasari, Desa Cidadap, Kecamatan Pagaden. Menurut data dari Kepala Seksi Kebudayaan Depdiknas Subang sekarang ini Desa Cidadap memiliki perkumpulan kesenian tardug terbanyak dibanding desa-desa Tidak jelas siapakah yang pertama kali menghadirkan gitar ke dalam kesenian Genjring Dangdut. Namun menurut Sutarja, instrumen gitar digunakan dalam kesenian ini tidak lama sejak munculnya lagu-lagu dangdut dalam kesenian genjring bonyok , yaitu sekitar tahun 1990 Pemain gitar yang pertama kali bergabung dengan kesenian genjring Sinar Pusaka pimpinan Sutarja, adalah Yasin yang berasal dari Kananga, Desa Pangsor. Sutarja sendiri sebelum bertempat tinggal di Cidadap berasal dari Desa Pangsor yang berjarak sekitar 6 kilometer dari Desa Cidadap. Kemudian setelah berkeluarga ia pindah karena ia menikah dengan Kerti yang berasal dari Kampung Sukasari, Desa Cidadap, Kecamatan Pagaden. Menurut data dari Kepala Seksi Kebudayaan Depdiknas Subang sekarang ini Desa Cidadap memiliki perkumpulan kesenian tardug terbanyak dibanding desa-desa

Tabel 3.3: Penyebaran Grup Kesenian Tardug di Kecamatan Pagaden

No Nama Grup

Pimpinan Grup

Tempat

1 Karisma Jaya

Kp Sakola, Ds. Cidadap 2 Mekar Arum

Saji Suryadi

Kp Sukarahayu, Ds. Cidadap 3 Radia

Rastim Gendut

Kp Sukarahayu, Ds. Cidadap 4 Sinar Pusaka

A. Rasun

Kp Sukasari, Ds Cidadap 5 Primadona

Sutarja

Kp Cidadap, Ds. Cidadap 6 Gentra Panineungan Rohan

Sukelim

Kp. Cerelek, Ds. Gunung Sembung

7 Ajum Group

Ajum

Kp Gunung Sembung, Ds Gunung Sembung

Kp. Bendungan, Ds. Bendungan .

8 Mutiara Group

Sukmane

9 Mekar Rahayu

Kp Pangsor, Ds Pangsor Muda

A Odo S.

10 Mangkat Mekar

A. Nana Gala

Kp Gala. Ds. Gunun« San

3.6.2 Pendukung kesenian Tardug

Setelah masuknya gitar ke dalam kesenian genjring dangdut, kemudian masyarakat Subang menamakan kesenian ini dengan sebutan genjring tardug (akronim dari gitar dan bedug) karena di antara sejumlah alat musik dalam kesenian ini terdapat instrumen gitar dan bedug, sebagai instrumen pokok. Dengan demikian berarti bahwa tardug adalah nama sebuah jenis kesenian yang menggunakan alat musik gitar dan alat musik bedug sebagai alat musik utama, Setelah masuknya gitar ke dalam kesenian genjring dangdut, kemudian masyarakat Subang menamakan kesenian ini dengan sebutan genjring tardug (akronim dari gitar dan bedug) karena di antara sejumlah alat musik dalam kesenian ini terdapat instrumen gitar dan bedug, sebagai instrumen pokok. Dengan demikian berarti bahwa tardug adalah nama sebuah jenis kesenian yang menggunakan alat musik gitar dan alat musik bedug sebagai alat musik utama,

3.6.3 Perkembangan kesenian Tardug

Seiring dengan proses perubahan masyarakat pendukungnya, kesenian tardug mau tidak mau harus mengikuti arus perubahan itu demi kelangsungan

hidupnya Salah satu upaya ke arah tersebut umpamanya dengan merubah atau menambah alat musik serta lagu-lagunya. Banyak hal yang menjadi penyebab perubahan dan pergeseran kesenian tardug seperti yang dialami pula oleh kesenian tradisional lainnya. Salah satu di antaranya adalah faktor lingkungan, seperti yang dikemukakan oleh van Peursen dalam Strategi Kebudayaan, bahwa musik sebagai hasil budaya dapat mengalami pergeseran-pergeseran dan perubahan-perubahan secara alami dan dinamis. Sementara hasil budaya juga dapat diupayakan bagi tujuan atau kepentingan tertentu sesuai perkembangan masyarakatnya (1988:54).

Di awal pertumbuhannya kesenian tardug masih mempertahankan unsur- unsur tradisional. Baik dari segi alat musik (lihat Tabel 3.2) maupun dalam teknik tabuhan iringannya. Misalnya instrumen gitar membawakan lagu-lagu seperti pada kesenian tarling. Namun dalam rentang waktu yang cukup singkat bagi perkembangan sebuah jenis kesenian, yakni dari tahun 1990-2000, kesenian tardug

telah mengalami banyak perubahan terutama berupa penambahan dan pengurangan beberapa instumen. Penambahan dan pengurangan instrumen yang terjadi pada kesenian tardug meliputi alat-alat musik berikut ini.

Gambar 3.10: Gitar Melodi dan Ritme pada Seni Tardug

Gambar 3.11: Gitar Bas pada Seni Tardug

(a) Gitar adalah alat musik petik dengan enam dawai. Gitar yang dipakai dalam kesenian Tardug adalah jenis gitar elektrik yang berfungsi sebagai pembawa melodi sekaligus membawakan ritme kemprangan dalam mengiringi (a) Gitar adalah alat musik petik dengan enam dawai. Gitar yang dipakai dalam kesenian Tardug adalah jenis gitar elektrik yang berfungsi sebagai pembawa melodi sekaligus membawakan ritme kemprangan dalam mengiringi

(b) Genjring adalah waditra berkulit yang memakai semacam anting- anting yang terbuat dari besi atau perunggu sebagai penghias irama, sejenis rebana. Pada saat kesenian tardug muncul, jumlah genjring sebanyak tiga buah. Jumlah genjring yang dipakai pada kesenian genjring bonyok tadinya 4 buah kemudian berkurang satu menjadi tiga buah. Pengurangan ini terjadi sekitar tahun 1972. Kemudian setelah itu masuknya waditra kendang kesenian ini hanya mempergunakan dua buah genjring.

Sampai akhirnya sekarang waditra genjring sudah jarang ditabuh lagi dalam pertunjukan kesenian tardug. Karena fungsinya sebagai penghias irama sudah tergantikan oleh waditra kendang dan snare drum.

Gambar 3.12: Genjring

(c) Kendang yang dipergunakan dalam kesenian tardug ada dua macam, disesuaikan dengan bentuk pertunjukannya. Pada bentuk pertunjukan helaran kendang yang digunakan adalah jenis kendang yang disandang seperti kendang pada pertunjukan kesenian sisingaan. Sedangkan pada pertunjukan di atas panggung kendang yang digunakan adalah jenis kendang duduk lengkap dengan kulanter. Waditra kendang dan kulanter ditambahkan sekitar tahun 1993, yang pertama kali memasukkan kendang dalam kesenian tardug adalah Kelompok Saan Group dari Kelurahan Soklat, Kecamatan Subang. Peranan kendang dalam pergelaran kesenian tardug tidak begitu dominan sebagaimana pada pertunjukan genjring bonyok, kliningan, atau wayang . Mengingat fungsi pengatur irama pada lagu-lagu dangdutan dipegang oleh waditra bedug dan drum.

Gambar 3.13: Kendang

(c) Goong adalah waditra berpenclon yang besar, mempunyai garis tengah antara 59 cm sampai dengan 105 cm, dibuat dari perunggu atau besi. Dipukul dengan alat pemukul yang empuk, bunyinya sangat rendah dan bergelombang suara, digantung dengan mempergunakan tali (digayor). Goong merupakan salah satu waditra yang biasanya terdapat dalam perangkat gamelan yang berfungsi sebagai anggeran (pengatur wiletan) lagu.

Gambar 3.14: Goong

Setelah dimasukkannya gitar bas, maka fungsi goong sebagai pegatur wiletan tergeser. Namun apabila disimak lebih teliti, sebenarnya gitar bas tidak menggantikan fungsi pengatur wiletan pada goong, sebab pada dasarnya fungsi di antara keduanya tidak sama, tetapi karena ada kemiripan warna suara (timbre) sehingga waditra goong jarang ditampilkan lagi. Sebab dalam lagu-lagu dangdut sistem wiletannya berlainan dengan sistem wiletan lagu-lagu tradisional. Namun goong ini acapkali dipakai apabila pertunjukan Tardug tidak dilengkapi dengan gitar bas.

(e) Simbal dan kecrek, masuknya alat musik simbal dimaksudkan oleh para penggarap kesenian Tardug untuk mengganti fungsi kecrek, yang menuri mereka sudah kurang cocok untuk mengiringi lagu-lagu dangdutan. Sedangkan simbal dianggap lebih fleksibel, selain bisa j digunakan untuk mengiringi lagu- lagu dangdutan, juga bisa dipakai untuk menghiasi irama ketuk tilu atau kliningan. Terutama jenis simbal yang ditempeli paku payung yang dilonggarkan sehingga (e) Simbal dan kecrek, masuknya alat musik simbal dimaksudkan oleh para penggarap kesenian Tardug untuk mengganti fungsi kecrek, yang menuri mereka sudah kurang cocok untuk mengiringi lagu-lagu dangdutan. Sedangkan simbal dianggap lebih fleksibel, selain bisa j digunakan untuk mengiringi lagu- lagu dangdutan, juga bisa dipakai untuk menghiasi irama ketuk tilu atau kliningan. Terutama jenis simbal yang ditempeli paku payung yang dilonggarkan sehingga

Gambar 3.15: Simbal dan Kecrek

(f) Drum yang dipakai dalam kesenian tardug tidak dalam jumlah satu set drum, tetapi hanya diambil bagian snar drumnya saja. Yaitu sebuah drum kecil yang berupa bagian dari seperangkat drum, yang pada membran bagian bawah terdapat beberapa I dawai dari kawat yang melintang pada membrannya. Sehingga apabila dipukul muka atasnya, maka membran bagian bawahnya akan bergetar dan membentur dawai di bawahnya hingga berbenturan satu sama lain yang kemudian menghasilkan bunyi.

Gambar 3.16: Snare Drum

(g) Bedug yang digunakan dalam kesenian tardug berbeda dengan jenis bedug yang dipasang di mesjid yang dibunyikan sebagai tanda waktu untuk menunaikan shalat. Perbedaannya terdapat pada ukuran, bentuk, dan bahan. Ukuran bedug pada kesenian tardug berkisar antara 60 cm - 65 cm untuk diameter lingkaran bagian mukanya, panjang sekitar 70 cm, ketebalan kuluwung (tabung) kayunya setebal 4 - 5 cm, dan diameter lingkar belakangnya sekitar 30 cm. Bahan yang sering dipakai untuk tabungnya (kuluwung) diambil dari bodogol pohon kelapa, yaitu pangkal pohon kelapa bagian bawah yang terletak di atas akarnya. Bentuk bedug tardug mirip dengan dogdog besar yang biasa dipakai pada kesenian reog .

Bunyi yang dihasilkan bedug pada dasarnya ada tiga macam, yaitu bunyi dong, dung, dan bunyi dut. Bunyi dung dihasilkan dengan cara memukul bagian pinggir bedug dengan menggunakan alat pemukul. Bunyi dong dihasilkan dengan cara memukul bagian tengan bedug dengan menggunakan pemukul, dan memukulnya dilepas. Sedangkan bunyi dut dihasilkan dengan cara memukul bagian tengah bedug dengan menggunakan pangkal telapak tangan yang Bunyi yang dihasilkan bedug pada dasarnya ada tiga macam, yaitu bunyi dong, dung, dan bunyi dut. Bunyi dung dihasilkan dengan cara memukul bagian pinggir bedug dengan menggunakan alat pemukul. Bunyi dong dihasilkan dengan cara memukul bagian tengan bedug dengan menggunakan pemukul, dan memukulnya dilepas. Sedangkan bunyi dut dihasilkan dengan cara memukul bagian tengah bedug dengan menggunakan pangkal telapak tangan yang

Gambar 3.17: Bedug

(h) Bangsing ialah alat tiup yang terbuat dari bambu dengan enam lubang nada dan sebuah lubang untuk meniupnya. Bangsing ini biasa dipakai sebagai penghias melodi dan pada lagu-lagu dangdut Alat musik bangsing terbuat dan bahan bambu lamang.

Gambar 3.18: Bangsing

Pada kesenian tarduk, alat musik bangsing berfungsi sebagai penghias melodi yang memberi varasi-variasi pada kekosongan saat tidak ada vokal. Selain itu juga berfungsi sebagai pembawa melodi lagu pada sajian musik instrumental yaitu pada tataluan. Sejenis bambu kecil vang tumbuh di semak-semak dan hutan dengan ruas yang panjang dan tipis. Selain dibuat bangsing tainiang juga dibuat sumpit dan suling.

3.6.4 Penyebaran kesenian Tardug

Setelah satu dasawarsa sejak terbentuknya kesenian tardug di Desa Cidadap Kecamatan Pagaden, Kabupaten Subang. Kesenian ini telah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Perkembangan yang dimaksud artinya perluasan penyebaran kesenian tardug ke daerah lain terutama dalam wilayah kabupaten Subang. Hampir seluruh kecamatan di wilayah Kabupaten Subang memiliki perkumpulan kesenian tardug seperti kecamatan Subang memiliki 8 grup, Pagaden

10 grup, Binong 7 grup, Pamanukan 3 grup, Compreng 2 grup, Sagalaherang 3 10 grup, Binong 7 grup, Pamanukan 3 grup, Compreng 2 grup, Sagalaherang 3

Berdasarkan data di atas dapat dilihat bahwa penyebaran kesenian tardug telah meluas ke pelosok kabupaten. Yaitu mulai dari Kecamatan Pamanukan di ujung utara sampai Kecamatan Sagalaherang di ujung selatan Kabupaten Subang. Secara kuantitas dapat dilihat bahwa penyebaran kesenian terkonsentrasi pada empat kecamatan yang cukup berdekatan yaitu Kecamatan Cijambe, Subang, Pagaden, dan Binong. Secara geografis keempat kecamatan ini terletak membujur dari utara ke selatan. Di mana keempatnya memiliki kesamaan yaitu sama-sama terbelah oleh salah satu jalan utama di Subang, yakni Jalan Bandung ke Pamanukan.

Sementara itu Kecamatan Pagaden sebagai lokasi tempat terbentuknya kesenian Tardug, penyebarannya terkonsentrasi di daerah Cidadap, Gunung Sembung. Pangsor, dan Gunung Sari. Keempat daerah ini secara geografis terletak di bagian baratdaya Kecamatan Pagaden. Untuk lebih jelasnya, lihatlah Peta Wilayah Kecamatan Pagaden pada lampiran tulisan ini.

Desa Cidadap memiliki sedikitnya lima perkumpulan kesenian tardug yaitu setengah dari jumlah kesenian tardug di Pagaden Hal ini erat kaitannya dengan pendapat yang menyatakan bahwa kesenian Tardug lahir di Desa Cidadap.

Tabel 3.4:

Penyebaran Grup Kesenian Tardug di Kecamatan Pagaden

No Nama Grup

Tempat . 1. Karisma Jaya

Pimpinan Grup

Kampung Sakola, Desa Cidadap 2. Mekar Arum

Saji Suryadi

Kampung Sukarahayu, Desa Cidadap 3. Radia

Rastim Gendut

Kampung Sukarahayu, Desa Cidadap 4. Sinar Pusaka

A. Rasun

Kampung Sukasari, Desa Cidadap 5. : Primadona

Sutarja

Kampung Cidadap, Desa Cidadap 6. Gentra Panineungan

Sukelim

Rohan

Kampung Cerelek, Desa Gunung Sembung

7. Ajum Group

Ajum

Kampung Gunung Sembung, Desa Gunung Sembung

Kampung Bendungan, Desa Bendungan 9 Mekar Rahayu Muda

8. Mutiara Group

Sukman E

Kampung Pangsor, Desa Pangsor 10. Mangkat Mekar

A Odo S

A. Nana Gala

Kampung Gala. Desa Gunung San

Sumber: Kandepdiknas Kecamatan Pagaden

3.6.5 Masyarakat pendukung

Masyarakat pendukung kesenian tardug adalah masyarakat Subang dan sekitarnya yang berkepentingan terhadap keberadaan kesenian tardug. Sebagai kesenian yang terbentuk akibat selera massa, kesenian tardug memiliki cukup banyak pendukungnya terutama di kalangan tertentu dengan latar belakang yang beragam pula Salah satunya adalah seperti yang diungkapkan oleh tokoh kesenian yang berdomisili di Subang yaitu Edih AS.

Kesenian genjring dangdut atau tardug diciptakan, salah satu tujuannya adalah untuk melayani kebutuhan akan kesenian bagi masyarakat kalangan bawah Memang apabila dilihat dari segi tarif, kesenian tardug relatif lebih murah dibandingkan kesenian lainnya yang berkisar di atas satu juta untuk sekali pentas (siang malam). Harga satu kali panggilan pentas kesenian tardug berkisar antara Rp 400.000,- sampai Rp. 600.000,- untuk pentas arak-arakan dan Rp. 750.000,- sampai Rp. 1 200.000,- untuk pentas arak-arakan dan pentas siang malam (Sutaija, wawancara, Subang, 5 Austus 2010).

Sementara itu sistem pembagian honor para pemain terdiri dari dua macam, sesuai dengan statusnya di dalam perkumpulan itu. Bagi pemain tetap biasanya dibayar dengan sistem prosentase, dengan prioritas bayaran terbesar yaitu pimpinan rombungan, pemain bedug, penyanyi, dan pemain gitar melodi. Sedangkan bagi pemain dengan status pemain tidak tetap (pemain sewaan/bonan) dibayar berdasarkan tarif tertentu Sebagai pemain bayaran seorang penvanyi biasa dibayar dengan jumlah Rp. 20.000,-, sama dengan tarif pemain gitar melodi, dan pemain bedug* untuk acara arak-arakan. Untuk pentas panggung siang malam bayarannya bisa lebih besar lagi. Sementara sistem pembagian uang jabati, adalah

40 % untuk penyanyi, dan sisanya dibagi rata untuk para pemain musik (nayaga).

Tentu saja pendukung kesenian ini tidak terbatas pada masyarakat kalangan bawah saja. Sebuah perkumpulan selain memiliki pimpinan rombongan, juga memiliki pelindung dalam perkumpulannya. Pelindung kesenian ini biasanya dipilih dari kalangan masyarakat yang berpengaruh seperti lurah, camat, perwira polisi, tentara, dan lain-lain. Jelas golongan ini tidak termasuk kalangan bawah Namun demikian mereka bukanlah pendukung kesenian tardug yang aktif dan potensial. Dilihat dari keterlibatannya dengan kesenian tardug, pendukung potensial kesenian tardug justru adalah pemuda dan remaja.