Peranan kelompok Sinar Pusaka dalam membentuk dan

3.4.2 Peranan kelompok Sinar Pusaka dalam membentuk dan

mengembangkan kesenian Hubungan yang terjadi antara genjring bonyok dan genjring sholawat di Desa Cidadap sebagaimana yang dikemukakan oleh beberapa pendapat di atas, diperjelas dengan sejarah berdirinya kelompok kesenian genjring bonyok yang pertama sekali di desa Cidadap. Dalam hal ini pendapat yang dikemukakan oleh Edih A.S. merupakan asumsi yang mendekati penjelasan tentang terjadinya proses perubahan kesenian genjring menjadi genjring bonyok. Untuk melihat proses terbentuknya kesenian genjring bonyok, di bawah ini saya akan memaparkan proses pembaharuan kesenian yang dilakukan Kelompok Sinar Pusaka.

Sinar Pusaka pada awalnya adalah sebuah kelompok kesenian genjring sholawat yang bernama Sinar Harapan. Kelompok ini awalnya berada di Dusun Bunut, Desa Pangsor (berbatasan dengan sebelah timur Cidadap). Pada awal kelompok kesenian ini berdiri, pertama sekalinya dipimpin oleh Sajem (1960- 1968). Setelah beliau memimpin selama delapan tahun, mulai tahun 1968-1975 kepemimpinan Sinar Harapan diserahkan kepada Talam.

Pada masa kepemimpinan Talam, yaitu sekitar tahun 1969, kelompok kesenian genjring ini mulai sangat jarang digunakan dalam hajatan-hajatan yang diadakan warga masyarakat. Berlangsungnya keadaan tersebut semakin lama menjadikan kelompok ini tidak pernah lagi mengadakan pertunjukan .

Bergerak dari kondisi yang dialami kelompok Sinar Harapan, Sutarja sebagai salah satu anggotanya membuat inisiatif untuk menggunakan instrumen genjring dan bedug dalam suatu bentuk kesenian yang berbeda dari bentuk kesenian sebelumnya (genjring sholawat). Berbekal dengan instrumen musik yang Bergerak dari kondisi yang dialami kelompok Sinar Harapan, Sutarja sebagai salah satu anggotanya membuat inisiatif untuk menggunakan instrumen genjring dan bedug dalam suatu bentuk kesenian yang berbeda dari bentuk kesenian sebelumnya (genjring sholawat). Berbekal dengan instrumen musik yang

Menurut Sutarja, proses pembentukan genjring bonyok tersebut dimulai dengan pengadopsian instrumen musik tarompet yang telah umum dipergunakan dalam kesenian tradisi Sunda di Kabupaten Subang. Hal ini ditandai dengan bergabungnya Taslim (mantan seniman Sisingaan) ke dalam kelompok Sinar Harapan.

Pengadopsi instrumen musik tarompet ini bertujuan untuk mendapatkan komposisi lagu yang lebih beragam, dan telah dikenal masyarakat dari kesenian tradisi Sunda yang lain. Dengan demikian dalam penyajiannya, ia dapat mengikuti perkembangan lagu-lagu yang dimiliki oleh kesenian-kesenian tradisi Sunda yang sedangkan berkembang pada masa itu.

Dengan masuknya instrumen tarompet ini secara langsung menandai pula berubahnya dua unsur pertunjukannya. Yaitu berubahnya peranan pembawa melodi yang semula dibawakan oleh suara vokal manusia, dan berubahnya komposisi lagu-lagunya menjadi komposisi lagu-lagu kesenian tradisi Sunda yang berasal dari jenis keseruan lain.

Untuk menyesuaikan pola permainan instrumen musik dengan komposisi lagu yang baru pula, secara bidak langsung terjadi perubahan dalam pola permainan instrumen musiknya. Khususnya pada instrumen musik genjring dan bedug , yang mengadopsi pola pukulan (tebeuhan) dari instrumen musik kendang (conical drum-doblehead).

Pertunjukan pertama kelompok Sinar Harapan dengan bentuk kesenian genjring yang relatif baru ini, dilakukan pada acara khitanan keluarga Rusmin, di

Desa Sumur Gintung (sebelah Selatan Cidadap) pada tahun 1969. Sesuai dengan pola berkesenian masyarakat setempat pada masa itu, pertunjukan kesenian Genjring Sinar Harapan tersebut ditampilkan bersama-sama dengan kesenian gembyung, pencak silat, sisingaan, dan reog.

Pada tahun 1973, kelompok kesenian Sinar Harapan pindah ke Desa Cidadap. Hal ini disebabkan pindahnya Sutarja setelah ia menikahi gadis dari desa tersebut. Sejak kepindahannya itu pula kelompok Sinar Harapan yang semula dipimpin oleh Talam diserahkan kepada Sutarja. Pada saat pergantian kepemimpinan kelompok Sinar Harapan pun secara resmi menjadi kelompok kesenian Genjring Bonyok dengan nama Sinar Pusaka.

Dalam perkembangan selanjutnya, setelah instrumen musik tarompet menjadi bagian dari pertunjukan genjring bonyok. Tahun 1975 kelompok ini kembali mengadopsi instrumen musik goong dan kecrek. Menurut Sutarja penambahan kedua instrumen musik ini disebabkan agar dalam penyajian musiknya terasa lebih enak didengar).

Sejak masuknya kedua instrumen ini ditandai pula dengan terjadinya penambahan dari unsur teknik pertunjukan, yaitu mulai dilakukannya pertunjukan dudukan dan terjadinya pemisahan pertunjukan arak-arakan antara sisingaan dengan genjring bonyok. Menurut Sutarja, munculnya teknik pertunjukan dudukan dan pemisahan pertunjukan dengan sisingaan, dipengaruhi oleh kebutuhan masyarakat untuk melihatnya dalam suatu tempat atau panggung tertentu. Keadaan ini dilakukan sejak genjring bonyok digunakan dalam konteks perkawinan. Namun sejak tahun 1985 genjring bonyok dan sisingaan kembali bergabung dalam pertunjukan arak-arakan.

Pada tahun 1980-an, konteks penggunaan genjring bonyok mulai bertambah. Yaitu adanya permintaan masyarakat agar kesenian ini menghibur pada acara ruwatan (syukuran). Kemudian pada tahun 1983, ia mulai digunakan untuk mengisi hiburan dalam menyambut hari-hari Nasional, perayaan desa, maupun dalam rangka menyambut tamu di Desa Cidadap dan Kecamatan Pagaden.

Pada awal genjring bonyok muncul dengan bentuk kesenian genjring yang relatif baru, minat masyarakat Cidadap terhadap kesenian ini sangat besar. Menurut Sutarja fenomena tersebut dikarenakan bentuk pertunjukan genjring baru ini dapat menyesuaikan keinginan masyarakat terhadap materi-materi lagu yang terdapat dalam kesenian tradisi yang lain, tanpa meninggalkan karakteristik permainan genjring dan bedugnya. Dengan kondisi yang demikian menyebabkan masyarakat tidak sungkan untuk menggunakan kesenian ini dalam konteks-konteks tradisi maupun nasional.

Dikenalnya kesenian genjring bonyok secara luas di Desa Cidadap maupun desa-desa sekitarnya, menyebabkan kelompok Sinar Harapan sejak tahun 1977- 1990 sering diundang untuk mengadakan pertunjukan-pertunjukan ke luar daerah Subang, seperti: Bogor, Cirebon, Bandung, Bekasi, Purwakarta, Sumedang, Jakarta, dan lain-lain. Bahkan dalam peristiwa- peristiwa yang bersifat nasional, seperti: festival kesenian seluruh Kabupaten Jawa Barat (1985), mengsisi acara di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dan Televisi Republik Indonesia (TVRI) (1985), pada Hari Jadi Kota Bandung, dan dalam menyambut tamu negara dari Nepal.

Dikarenakan minat dan permintaan masyarakat yang cukup besar pada kesenian genjring bonyok, maka Sutarja pun mulai mengajarkan kesenian ini dari Dikarenakan minat dan permintaan masyarakat yang cukup besar pada kesenian genjring bonyok, maka Sutarja pun mulai mengajarkan kesenian ini dari

Dari sepuluh orang seniman yang dilatih Sutarja, adalah seniman yang berasal dari dusun Bonyok, Desa Pangsor (Rasita), yang memper1ihatkan kemampuan dalam mempertunjukan kesenian genjring bonyok ini. Me1a1ui ke1ompok genjring bonyok yang dipimpin oleh Rasita dari Dusun Bonyok, kesenian ini pun mulai berkembang pesat dan dikenai masyarakat di luar dari Kecamatan Pagaden. Dengan demikian selain dari kelompok Sinar Pusaka, masyarakat pun mulai mengakui kemampuan kelompok genjring bonyok yang dipimpin Rasita.

Seiring dengan dikenalnya bentuk kesenian genjring ini, istilah-isti1ah yang ditujukan kepadanya pun mu1ai berkembang di masyarakat. Pada awalnya kesenian ini disebut dengan nama genjring ronyok. Menurut Sutarja istilah ini diberikan karena jika kesenian genjring tersebut disajikan, hampir seluruh arena penyajiannya dipenuhi oleh penonton yang menari dan mengikutinya. Sehingga fenomena kesenian tersebut memberi kesan meriah, yang dalam bahasa Sunda disebut dengan ronyok (ngaronyok).

Kemudian mu1ai tahun 1977, istilah genjring ronyok mengalami perubahan menjadi genjring bonyok. Menurut Sutarja istilah ini muncul disebabkan kelompok genjring pimpinan Rasita dari Dusun Bonyok, lebih .sering melakukan pertunjukan di dalam maupun di luar Kecamatan Pagaden. Sehingga melalui kelompok Rasita Kemudian mu1ai tahun 1977, istilah genjring ronyok mengalami perubahan menjadi genjring bonyok. Menurut Sutarja istilah ini muncul disebabkan kelompok genjring pimpinan Rasita dari Dusun Bonyok, lebih .sering melakukan pertunjukan di dalam maupun di luar Kecamatan Pagaden. Sehingga melalui kelompok Rasita

Fenomena perkembangan yang pesat dari kesenian genjring bonyok dapat dilihat dari data statistik kesenian Kabupaten Subang tahun 1996-1997, yang menunjukkan adanya 1ebih dari 50 kelompok kesenian genjring bonyok yang tersebar di berbagai tempat di Kabupaten Subang.

Dari data-data yang telah di paparkan di depan, dapat simpulkan bahwa terbentuknya kesenian genjring bonyok merupakan kelanjutan dari proses perubahan kesenian yang telah ada sebelumnya. Proses perubahan kesenian ini berupa pembaharuan unsur-unsur kesenian menjadi suatu bentuk kesenian yang relatif berbeda dengan kesenian yang telah ada sebelumnya. Fenomena ini menurut Sedyawati (1980) merupakan Proses yang sering ditemukan pada suatu bentuk kesenian yang baru, dimana unsur-unsur kesenian yang baru tersebut selalu bertolak dari kesenian-kesenian yang telah ada sebelumnya.

Dilihat dari konsep rakyat: dalam konteks seni pertunjukan, maka genjring bonyok dapat dikatagorikan sebagai seni pertunjukan musik rakyat. Yaitu suatu seni pertunjukan yang awalnya tumbuh dan berkembang dalam rangka memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat pedesaan, dalam mengekspresikan rasa syukur dan gembira sehubungan dengan peristiwa-peristiwa yang mereka hadapi dalam kehidupan.

Oleh karena ia tumbuh dan berkembang dalam rangka memenuhi kebutuhan semua golongan masyarakat, maka di dalam perkembangannya genjring sholawat maupun genjring bonyok tidak mengenal dominasi golongan tertentu. Oleh karena karena ia merupakan bagian dari ekspresi masyarakat, maka proses Oleh karena ia tumbuh dan berkembang dalam rangka memenuhi kebutuhan semua golongan masyarakat, maka di dalam perkembangannya genjring sholawat maupun genjring bonyok tidak mengenal dominasi golongan tertentu. Oleh karena karena ia merupakan bagian dari ekspresi masyarakat, maka proses

Dalam studi etnomusikologi perubahan musik dari suatu bentuk menjadi bentuk lainnya, merupakan salah satu fenomena yang umumnya terjadi pada kebudayaan musik yang dikatagorikan sebagai musik rakyat (folk music) (Nettl, 1973). Dalam mengindentifikasikan faktor-faktor yang melatarbelakangi terbentuknya kesenian genjring bonyok. Penelitian ini mengacu kepada asumsi Nettl (1973) terhadap perubahan yang terjadi dalam musik rakyat, serta kreteria- kreteria yang ia gunakan dalam mengkatagorikan musik tersebut.

Dari hasil penelitian yang telah dipaparkan di atas, terbentuknya kesenian genjring bonyok dilatarbelakangi oleh beberapa faktor yang berperan dalam merubah kesenian genjring sholawat, yaitu:

Pertama, dalam tradisi musik rakyat sebagaimana halnya genjring sholawat, dikembangkan dan dipraktekkan da1am masyarakat melalui tradisi oral. Kenyataan ini menyebabkan dalam proses perkembangan dan regenerasinya, gaya, komposisi, dan repertoar musiknya dapat berkembang ataupun mengalami perubahan. Menurut Nettl dalam tradisi seperti ini, perubahan musik rakyat diijinkan dan bahkan diharapkan terjadi oleh masyarakatnya. Dari kenyataan inilah Nettl (1971:177) berpendapat, bahwa dalam tradisi musik rakyat perubahan merupakan bagian dari sistim musiknya.

Dengan memahami sifat musik yang disebutkan di atas, dapat diperkirakan bahwa kesenian genjring sholawat yang berkembang di sekitar desa Cidadap sejak tahun 1930-an, telah mengalami perubahan seiring dengan perubahan kebutuhan masyarakatnya. Sehingga apabila terjadi suatu kondisi dimana masyarakat tidak Dengan memahami sifat musik yang disebutkan di atas, dapat diperkirakan bahwa kesenian genjring sholawat yang berkembang di sekitar desa Cidadap sejak tahun 1930-an, telah mengalami perubahan seiring dengan perubahan kebutuhan masyarakatnya. Sehingga apabila terjadi suatu kondisi dimana masyarakat tidak

Kedua, adanya faktor kondisi yang merangsang munculnya gagasan- gagasan baru (kreativitas). Pada kasus perubahan genjring sholawat menjadi genjring bonyok kondisi yang melatarbelakangi perubahan tersebut adalah keadaan, di mana pandangan sosial-budaya masyarakat mengalami perubahan.

Perubahan tersebut agaknya memberi pengaruh kepada masyarakat untuk mengekspresikan rasa musikal mereka dalam kesenian. Hal ini jelas terlihat dari kurangnya minat masyarakat terhadap kesenian genjring sholawat. Sebaliknya memberikan perhatian (minat) yang besar terhadap kesenian-kesenian seperti: jaipongan, ketuk tilu, gembyung , sisingaan, dan lain-lain.

Kondisi ini pada satu pihak menekan keberadaan para seniman genjring sholawat untuk ikut berpartisipasi da1am berkesenian. Namun di lain pihak hal ini menawarkan kepada para seniman genjring sholawat untuk melakukan perubahan. Fenomena perubahan pandangan sosial-budaya masyarakat, sebagaimana dikemukakan oleh Nettl (1973:5-6) merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan perubahan musik rakyat. Menurutnya, meskipun suatu bentuk musik rakyat telah cukup lama hidup dalam masyarakat dan memiliki akar dalam kehidupan mereka, terdapat suatu kemungkinan mengalami perubahan yang besar.

Perubahan tersebut dapat terjadi apabila masyarakat telah lupa atau tidak lagi meminatinya. Dalam hal ini adalah para seniman musiknya yang memiliki peran untuk menciptakan suatu bentuk musik yang baru, yang dapat memenuhi perubahan ekspresi musikal masyarakat.

Oleh karena itu sebagai faktor ketiga dalam menentukan perubahan kesenian genjring sholawat, adalah kemampuan para seniman dalam melahirkan gagasan-gagasan baru (kreativitas), yang relatif berbeda dengan kesenian yang ada sebelumnya (inovasi). Kemampuan berkreativitas ini diperlihatkan dari usaha Sutarja memperbaharui kesenian genjring sholawat yang mulai di1upakan masyarakat.

Seperti yang telah dikemukakan di depan, perubahan yang dilakukan Sutarja adalah memperbaharui jenis komposisi lagu, dengan mengadopsi instrumen-instrumen musik lainnya kedalam ensambel genjring sholawat. Hal tersebut merupakan suatu usaha yang menjadikan bentuk genjring sholawat mengalami perubahan besar. Yaitu perubahan dari suatu bentuk kesenian genjring yang bertema agama Islam, menjadi bentuk kesenian genjring yang menyajikan komposisi-komposisi lagu kesenian tradisional Sunda.

Hasil dari kreatifitas Sutarja ini pun tidak akan dapat berjalan, tanpa adanya dukungan dan kerjasama dari sesama anggota Sinar Harapan. Oleh karenanya kemampuan berkreativitas ini berkaitan erat pula dengan upaya kerjasama dan dukungan dari sesama seniman genjring sholawat.

Faktor keempat, adalah adanya sambutan dan dukungan yang baik dari masyarakat atas perubahan yang dilakukan pada genjring sholawat. Faktor ini merupakan hak sosial masyarakat dalam menentukan berlanjut atau tidaknya kesenian tersebut. Karena apabi1a genjring bonyok (sebagai kelanjutan bentuk dari genjring sholawat) dapat menjadi sarana ekspresi musikal masyarakat, maka berarti kesenian tersebut telah menjadi bagian yang bermakna dalam kehidupan mereka.

Dan hal ini berarti pula bahwa kesenian tersebut diakui dan dipergunakan didalam konteks kehidupan sosial-budaya mereka (1ihat Nettl, 197 3:15) .