Analisis Kontinuitas dan Perubahan yang Terjadi

3.7 Analisis Kontinuitas dan Perubahan yang Terjadi

Seperti sudah diuraikan pada sub-sub bab di bahagian Bab III ini, maka jelas tergambar terjadinya kontinuitas dan perubahan dari genjring bonyok ke tardug. Kontinuitas dan perubahan ini juga mengembang dan berasal dari berbagai ragam seni pertunjukan sejenis seperti genjring sholawatan, genjring rudatan, adem Seperti sudah diuraikan pada sub-sub bab di bahagian Bab III ini, maka jelas tergambar terjadinya kontinuitas dan perubahan dari genjring bonyok ke tardug. Kontinuitas dan perubahan ini juga mengembang dan berasal dari berbagai ragam seni pertunjukan sejenis seperti genjring sholawatan, genjring rudatan, adem

Ada faktor-faktor yang kontinu atau sinambung dari awal munculnya genjring, yang selaras dengan peneyebaran Islam di Tatar Sunda. Ini tercermin di dalam penggunaan instrumen yang khas yaitu genjring. Di samping itu, kesinambungan terjadi pula pada lagu-lagu yang digunakan, terutama yang bertemakan ajaran Islam. Yang terpenting semua genre yang melibatkan genjring ini adalah mengekspresikan peradaban Islam yang dibumikan dalam konteks bumi Sunda.

Setiap genre yang hampir sama bentuknya ini saling mempengarhui, namun yang kuat adalah dua genre saja yaitu genjring bonyok dan tardug. Dalam realitas sosial, perubahan terjadi karena perubahan fungsi sosial di dalam masyarakat, terutama perubahan fungsi kebutuhan hiburan pada masanya. Perubahan yang terjadi berasal dari dalam kebudayaan Sunda di Subang sendiri maupun dipengaruhi oleh perubahan-perubahan eksternal, baik dari lingkungan di luar budaya Sunda, budaya asing, maupun yang terutama adalah budaya yang disajikan emlalui media masa.

3.7.1 Kontinuitas

Dilihat dari aspek sejarah, bahwa agama Islam masuk ke Tatar Sunda sejak tahun 1530, yaitu di paruh pertama abad ke-16, yang dibawa oleh Sunan Gunung Jati, serta Aria Wangsa Goparna. Dalam masa ini penyebaran Islam menggunakan media kebudayaan, termasuk di antaranya melalui lagu-lagu yang bertema Islam dan berbahas Sunda serta alat musik khas Islam yaitu rebana, yang dalam Dilihat dari aspek sejarah, bahwa agama Islam masuk ke Tatar Sunda sejak tahun 1530, yaitu di paruh pertama abad ke-16, yang dibawa oleh Sunan Gunung Jati, serta Aria Wangsa Goparna. Dalam masa ini penyebaran Islam menggunakan media kebudayaan, termasuk di antaranya melalui lagu-lagu yang bertema Islam dan berbahas Sunda serta alat musik khas Islam yaitu rebana, yang dalam

Kemudian dari data yang merupakan keterangan para informan di kawasan penelitian, tahun 1930-an mereka selalu menyaksikan perttunjukan genjring sholawat, atau juga genjring rudat, dan adem ayem. Kesemuanya menggunakan genjring sebagai instrumen utama dalam pertunjukannya. Kemudian pada dasawarsa 1940-an di Desa Cidadap muncul genre yang “baru” yang merupakan hasil olahan kreativitas seni pertunjukan dari genjring sholawatan tersebut. Dari tahun 1940 sampai 1990-an genjring bonyok ini mengalami masa-masa perkembangan baik secara fungsional maupun struktural. Sama seperti seni-seni lainnya di Tatar Sunda, maka selepas era 1990-an genjring bonyok mengalami perubahan, dan perlahan-lahan menjadi seni tardug atau genjring tardug.

Pada era-1990-an sampai sekarang genre tardug ini begitu fungsioanl dalam kebudayaan masyarakat Sunda di Subang khususnya. Kesenian ini memasukkan unsur-unsur budaya kontemporer nusantara dan dunia di dalam pertunjukannya. Yang paling ketara adalah seni dangdut dan musik populer Indonesia. Ini terjadi karena arus media massa yang ditonton masyarakat dan para seniman di kawasan ini.

Kontinuitas yang terjadi adalah semua genre seni pertunjukan tersebut di atas, khususnya genjring bonyok ke tardug ada hal-hal yang sinambung. Yang paling menonjol adalah identitas Islam di Tatar Sunda dan budaya kontemporer saat ia hidup. Yang menonjol dari segi alat musik adalah penggunaan genjring dan Kontinuitas yang terjadi adalah semua genre seni pertunjukan tersebut di atas, khususnya genjring bonyok ke tardug ada hal-hal yang sinambung. Yang paling menonjol adalah identitas Islam di Tatar Sunda dan budaya kontemporer saat ia hidup. Yang menonjol dari segi alat musik adalah penggunaan genjring dan

Dalam melakukan kontinuitas ini, para seniman dan masyarakat Sunda memahami bahwa simbol-simbol dan ikon keislaman harus terus dipelihara dalam merubah satu genre seni ke genre seni lainnya. Terutama genre seni yang sifatnya adalah turunan (derivat). Selian itu tentu saja terjadi perubahan-perubahan.

3.7.2 Perubahan

Pada prinsipnya manusia dan kebudayaan secara umum pastilah berubah dari waktu ke waktu. Perubahan yang terjadi ada yang lambat laun ada pula yang cepat. Perubahan yang lambat ini disebut dengan perubahan evolusi, yang cepat adalah revolusi. Perubahan-perubahan yangh terjadi di dalam sebuah kebudayaan manusia ada yang berasal dari dorongan perubahan dan pembaharuan dari manusia atau kelompok manusia itu sendiri. Namun tidak jarang pula perubahan-perubahan kebudayaan diakibatkan oleh berbagai pengaruh yang datangnya dari luar kelompok manusia yang melaksanakan kebudayaannya. Perubahan yang berasal dari dalam disebut dengan inovasi, sedangkan perubahan yang berasal dari luar disebut dengan akulturasi.

Melihat keberadaan seni genjring bonyok yang berubah ke tardug ini, kedua-dua faktor tersebut menjadi dasar dari perubahan. Perubahan yang terjadi umumnya adalah untuk memenuhi sistem estetika yang berlaku di dalam Melihat keberadaan seni genjring bonyok yang berubah ke tardug ini, kedua-dua faktor tersebut menjadi dasar dari perubahan. Perubahan yang terjadi umumnya adalah untuk memenuhi sistem estetika yang berlaku di dalam

Selain itu, perubahan-perubahan yang terjadi dari berbagai genre seni Islam di Tanah Sunda ini, adalah diakibatkan oleh perubahan budaya dari masa ke masa. Perubahan dari genjring bonyok ke tardug, tidak bisa dilepaskan dari perubahan sosial masyarakat Sunda di Subang Jawa Barat ini. Masyarakat Sunda adalah bahagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang juga apa yang terjadi secara nasional akan berakibat secara kedaerahan.

Sebagai bukti adanya hubungan perubahan sosial dan seni dalam masyarakat Sunda ini dapat dilihat dari perubahan genre-genre seni yang menggunakan genjring dan bedug sebagai intrumen (waditra) utamanya. Genjring itu sendiri ekspresi peradaban Islam di abad 16 sampai awal abad ke-20. Dalam periode ini masyarakat Sunda masih dalam suasana kerajaan yang baru berubah dari peradaban Hindu menuju budaya Islam, jadi ekspresi kesenian genjring pun pastilah memperlihatkan proses perubahan dan kemantapan dalam keimanan dan berkesenian. Kemudian disusul munculnya genjring sholawat atau umbul-umbul di tahun 1930-an di masa Nusantara ini menyiapkan diri menuju Indonesia merdeka, maka ekspresi kemerdekaan juga dilakukan di dalam genjring sholawat. Kemudian mendekati Indonesia merdeka muncullah genjring bonyok dari Desa Cidadap, yang juga kuat mengekspresikan ajaran-ajaran Islam dan seni ini sangat fungsional dalam tradisi upacara keislaman, bahkan bentuk perarakan menjadi begitu Sebagai bukti adanya hubungan perubahan sosial dan seni dalam masyarakat Sunda ini dapat dilihat dari perubahan genre-genre seni yang menggunakan genjring dan bedug sebagai intrumen (waditra) utamanya. Genjring itu sendiri ekspresi peradaban Islam di abad 16 sampai awal abad ke-20. Dalam periode ini masyarakat Sunda masih dalam suasana kerajaan yang baru berubah dari peradaban Hindu menuju budaya Islam, jadi ekspresi kesenian genjring pun pastilah memperlihatkan proses perubahan dan kemantapan dalam keimanan dan berkesenian. Kemudian disusul munculnya genjring sholawat atau umbul-umbul di tahun 1930-an di masa Nusantara ini menyiapkan diri menuju Indonesia merdeka, maka ekspresi kemerdekaan juga dilakukan di dalam genjring sholawat. Kemudian mendekati Indonesia merdeka muncullah genjring bonyok dari Desa Cidadap, yang juga kuat mengekspresikan ajaran-ajaran Islam dan seni ini sangat fungsional dalam tradisi upacara keislaman, bahkan bentuk perarakan menjadi begitu

Genjring bonyok ini begitu berkembang dari masa kemerdekaan sampai dasawarsa 1990-an di mana masyarakat Indonesia merdeka dan mengisi pembangunannya. Saat ini kontinuitas genjring bonyok sebagai seni Islamnya masyarakat Sunda terus dipelihara.

Namun sesuai dengan perkembangan zaman, maka sejak 1998 Indonesia berubah dari zaman Orde Lama ke Era Reformasi yang lebih demokratis dan terbuka dalam mengelola kebudayaan. Saat ini pun kritik kepada siapa saja lebih terbuka, kesenian-kesenian yang ditampilakan juga lebih “merdeka” tema dan topiknya. Seniman lebih merdeka dibanding zaman Orde Baru. Maka kemerdekaan berekspresi dan kebebasan yang lebih luas dalam berkreativitas ini turut mempengaruhi perkembangan seni di Indonesia, termasuk juga di dalam seni-seni Islam di Tatar Sunda. Tardug atau genjring tardug dan juga tardug dangdutan adalah sebagai bukti terjadinya perubahan sosial kemasyarakatan dan juga terjadinya perubahan pada genre-genre seni.

Di dalam genre tardug, maka unsur budaya pun selain menggunakan unsur budaya Islam (diwakili genjring dan bedug) juga menggunakan unsur-unsur Sunda pra-Islam seperti: tarompet, kecrek, goong, dan lainnya. Juga menggunakan alat- alat musik Eropa seperti: keyboard, dan seperangkat drum. Lagu-lagu yang digunakan, selain lagu-lagu khas tradisi Sunda, dan juga lagu Islam dalam konteks budaya Sunda, juga menggunakan lagu-lagu dangdut, dan juga lagu-lagu populer Indoensia, dan kalau diminta lagu pop dunia juga mereka bisa memainkannya.

Bagi masyarakat Sunda, musik dangdut juga dipandang sebagai milik mereka yang dikembangkan dari Orkes Melayu (O.M.). Orang Sunda juga sadar bahwa orkes dangdut ini dipelopori perkembangnnya oleh para seniman Sunda seperti Raden Haji Oma Irama (Rhoma Irama). Begitu juga dengan tokoh-tokoh dangdut yang lain yang berlatar belakang budaya Sunda seperti Elvi Sukaesih, Evi Tamala, Cici Paramida, dan lain-lainnya. Dengan demikian, perubahan yang terjadi di dalam masyarakat Sunda diekspresikan juga dalam perubahan-perubahan kesenian. Termasuk perubahan di dalam seni-seni Sunda yang melibatkan genjring dan tardug sebagai simbol keislaman mereka. Bagaimanapun perubahan mestilah terjadi dan tidak dapat dihempang, tetapi perubahan yang mengakar pada kebijakan tradisilah yang kuat pengaruh dan perkembangannya di dalam masyarakat. Untuk itu diperlukan juga para pemikir dan penganalis kebudayaan.