Pemetaan Habitat Dasar Perairan Dangkal Pulau Panggang dan Sekitarnya Dengan Menggunakan Citra Worldview-2

PEMETAAN HABITAT DASAR PERAIRAN DANGKAL
PULAU PANGGANG DAN SEKITARNYA DENGAN
MENGGUNAKAN CITRA WORLDVIEW-2

ADE AYU MUSTIKA

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pemetaan Habitat
Dasar Perairan Dangkal Pulau Panggang dan Sekitarnya Dengan Menggunakan
Citra worldview-2 adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2013
Ade Ayu Mustika
NIM C54080011

ABSTRAK
ADE AYU MUSTIKA. Pemetaan Habitat Dasar Perairan Dangkal Pulau
Panggang dan Sekitarnya Dengan Menggunakan Citra Worldview-2. Dibimbing
oleh VINCENTIUS P. SIREGAR dan SYAMSUL BAHRI AGUS.
Perairan dangkal di daerah tropis memiliki beberapa macam ekosistem yang
saling berinteraksi satu dengan yang lainnya, hal tersebut berperan penting bagi
masyarakat pesisir maupun sebagai penentuan kawasan konservasi. Untuk
mengetahui kondisi terkini Pulau Panggang maka diperlukan informasi yang dapat
menggambarkan kondisi habitat dasar laut perairan dangkal. Tujuan dilakukannya
penelitian ini untuk mengetahui keragaan dari citra WorldView-2 dalam
memetakan habitat dasar perairan dangkal di Pulau Panggang dan sekitarnya
dengan pendekatan transformasi citra “ Depth Invariant Index”. Citra resolusi
tinggi ini dapat menghasilkan klasifikasi tematik habitat dasar perairan dangkal
dalam 9 kelas dengan akurasi keseluruhan 69,72 % dengan nilai koefisien kappa

sebesar 0,65 dan 7 kelas dengan akurasi keseluruhan 78,87 % dengan nilai
koefisien kappa sebesar 0,75. Hasil akurasi tersebut cukup baik dalam memetakan
habitat dasar perairan dangkal.
Kata kunci: habitat dasar, Depth Invariant Index ,WorldView-2, akurasi

ABSTRACT
ADE AYU MUSTIKA. Bottom Habitat of Shallow Water Mapping in Panggang
Island and Its Vicinity by using Worldview-2 Image. Supervised by
VINCENTIUS P. SIREGAR and SYAMSUL BAHRI AGUS.
Shallow water in tropical ocean has different ecosistem that interacted each
other, which is important for people living in coastal area and definiting
conservation area. To know the recent condition of Panggang Island, the
information of bottom habitat of shallow water is needed. Thus, the purpose of
this research is to investigate the performance of Worldview-2 image for bottom
habitat of shallow water mapping in Panggang Island and its vicinity by using
image transformation “Depth Invariant Index”. This image, can provide 9 class of
bottom habitat of shallow water which the overall accuration 69,72 % and kappa
coefficient 0,65, and 7 class which the overall accuration 78,87 % and kappa
coefficient 0,75. The accuration value is good enough for mapping the bottom
habitat of shallow water.

Keywords: bottom habitat, Depth Invariant Index, WorldView-2, accuracy

PEMETAAN HABITAT DASAR PERAIRAN DANGKAL
PULAU PANGGANG DAN SEKITARNYA DENGAN
MENGGUNAKAN CITRA WORLDVIEW-2

ADE AYU MUSTIKA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ilmu Kelautan
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013


Judul Skripsi : Pemetaan Habitat Dasar Perairan Dangkal Pulau Panggang dan
Sekitarnya Dengan Menggunakan Citra Worldview-2
Nama
: Ade Ayu Mustika
NIM
: C54080011

Disetujui oleh

Dr. Ir. Vincentius P.Siregar, DEA
Pembimbing I

Dr. Syamsul Bahri Agus, S.Pi, M.Si
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M. Sc
Ketua Departemen


Tanggal Lulus: 27 Mei 2013

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Skripsi yang berjudul
“Pemetaan Habitat Dasar Perairan Dangkal Pulau Panggang dan Sekitarnya
Dengan Menggunakan Citra Worldview-2” diajukan sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan.
Penulis menyadari banyak pihak yang telah membantu dalam penyusunan
skripsi ini. Ucapan terima kasih dengan tulus dan penghargaan setinggi-tingginya
penulis sampaikan kepada :
1 Kedua orang tua saya, Ayah Surya dan Mama Lely Herniati serta kakak,
teteh, abang dan adek yang selalu memberikan motivasi dan doanya;
2 Dr. Ir. Vincentius P.Siregar, DEA dan Dr. Syamsul Bahri Agus, S.Pi, M.Si
selaku pembimbing I dan II atas bimbingan, pengetahuan, dan nasehat yang
telah diberikan;
3 Dr.Ir.Djisman Manurung, M.Sc, selaku penguji tamu dalam ujian skripsi ini;
4 Risti Endriani Arhatin, S.Pi, M.Si, selaku Dosen Pembimbing Akademik;
5 Githa Prima Putra, S.Ik dan Anggi Afif Muzaki, S.Pi, M.Si yang telah

membantu dan membimbing penulis dalam menyelesaikan pengolahan data
penelitian;
6 Hikmah, Marsya, Umi, Anta, Reffa, Bebe, Niki, warkopers serta keluarga
ITK 45 lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih telah
membantu penulis dalam pengambilan data di lapang, memberikan motivasi,
semangat, doa serta atas segala kebersamaannya;
7 Fisheries Diving Club (FDC-IPB) atas pendidikan dan pelatihan yang
diberikan,serta kekeluargaannya terutama kepada teman-teman Diklat 26 dan
27 atas perjuangannya, serta seluruh anggota FDC atas kebersamaannya;
8 Seluruh warga ITK atas dukungan dan kerjasama, serta semua pihak yang
tidak dapat disebutkan satu persatu dalam memberikan sumbangan saran,
bimbingan dalam penelitian, pengolahan data, dan penyusunan skripsi secara
sukarela;
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan karena keterbatasan penulis sendiri sehingga kritik dan saran yang
membangun sangat penulis harapan. Namun penulis berharap skripsi ini dapat
bermanfaat bagi yang membacanya.

Bogor, Mei 2013
Ade Ayu Mustika


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

viii

DAFTAR GAMBAR

viii

DAFTAR LAMPIRAN

viii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang


1

Tujuan Penelitian

2

METODE

2

Waktu dan Lokasi penelitian

2

Alat dan Bahan

2

Pemrosesan Citra


3

Pengolahan Citra Awal

3

Penajaman Citra Untuk Klasifikasi Habitat Perairan Dangkal

4

Survei Lapang

5

Analisis Ketelitian Data

5

Analisis Kappa


5

HASIL DAN PEMBAHASAN

7

Peta Tematik Habitat Dasar

7

Perhitungan Akurasi
SIMPULAN DAN SARAN

12
17

Simpulan

17


Saran

17

DAFTAR PUSTAKA

18

LAMPIRAN

20

RIWAYAT HIDUP

33

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5

Luas masing-masing dari 9 kelas tematik habitat dasar
Luas masing-masing dari 7 kelas tematik habitat dasar
Confusion matrix pada klasifikasi 9 kelas habitat dasar perairan
Confusion matrix pada klasifikasi 7 kelas habitat dasar perairan
Berbagai penelitian pemetaan habitat terumbu karang

11
11
13
14
16

DAFTAR GAMBAR
1 Lokasi Penelitian di Pulau Panggang dan sekitarnya, Kep. Seribu DKI
Jakarta
2 Diagram alir penelitian
3 Pemotongan histogram menjadi 9 kelas habitat dasar perairan
4 Pemotongan histogram menjadi 7 kelas habitat dasar perairan
5 Peta survei lapangan
6 Peta tematik 9 kelas habitat dasar perairan dangkal
7 Peta tematik 7 kelas habitat dasar perairan dangkal

2
7
8
8
9
10
10

DAFTAR LAMPIRAN
1 Data GPS dan habitat dasar perairan dangkal
2 Foto-foto survei lapang
3 Standar persentase penutupan lamun (Mc.Kenzie 2003)

20
31
32

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia sebagai negara kepulauan kaya akan sumber daya alamnya,
terutama sumber daya alam yang berasal dari laut. Sumber daya laut memiliki
peran penting, baik yang bernilai ekonomi, maupun tidak bagi masyarakat
Indonesia, dimana sebagian besar masyarakat pesisir memanfaatkan potensi yang
ada sebagai mata pencaharian dan menggantungkan hidupnya dari perikanan yang
berasal dari perairan dangkal.
Perairan dangkal pada laut tropis memiliki beberapa macam ekosistem
antara lain, terumbu karang, padang lamun, pasir, lumpur dan hutan mangrove,
dimana ekosistem-ekosistem tersebut saling berinteraksi satu dengan yang lainnya.
Ekosistem terumbu karang dan lamun berada pada lingkungan perairan yang
dangkal yang merupakan habitat dari beraneka ragam biota laut tropis yang sangat
produktif. Pada umumnya kondisi dan keberadaan terumbu karang mempengaruhi
keanekaragaman ikan karang. Banyak aspek ekologis laut yang masih
berhubungan secara langsung dengan aktivitas manusia di daerah perairan dangkal.
Tipe habitat dasar di perairan dangkal dapat menjadi salah satu parameter yang
mempengaruhi penentuan kawasan konservasi laut, karena merupakan tempat bagi
jenis-jenis ikan karang.
Gugusan pulau Panggang dan sekitarnya merupakan salah satu wilayah yang
berada di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Kawasan ini merupakan
kawasan ekosistem terumbu karang yang perlu dilindungi. Semakin berkembangnya
teknologi, maka semakin berkembang juga kegiatan yang berada pada wilayah
Kepulauan Seribu, salah satunya adalah aspek pariwisata bahari. Pulau Panggang
berada dalam satu gugusan dengan Pulau Pramuka yang merupakan salah satu
kawasan tujuan para wisatawan Kepulauan Seribu. Hal ini tentu akan berdampak
pada kerusakan terumbu karang dan ekosistem lain disekitarnya pada sebagian
kawasan perairan dangkal. Untuk mengetahui kondisi terkini maka diperlukan
informasi yang dapat menggambarkan keberadaan habitat dasar laut perairan
dangkal.
Pada saat ini teknologi penginderaan jauh telah banyak dilakukan karena
dipandang sebagai salah satu cara yang efektif dan efisien serta cukup terlihat
kegunaannya dalam mengkompilasi dan merevisi peta-peta sumberdaya yang ada
dan juga berguna sebagai alat bantu dalam perencanaan dan pengelolaan suatu
sumberdaya (Butler 1988; Lillesand dan Kiefer 1994; Danoedoro 1996).
Perolehan data penginderaan jauh dari hasil perekaman wahana satelit mampu
memberikan informasi secara kuantitatif untuk berbagai tujuan, termasuk
didalamnya penilaian dan pemetaan habitat dasar perairan dangkal. Keuntungan
lain dari teknologi ini adalah peta perairan dangkal dapat direvisi dengan mudah
dan cepat setiap saat (Wouthuyzen 2001). Saat ini banyak sensor satelit yang telah
memiliki kemampuan yang baik untuk mendeteksi berbagai fitur pada ekosistem
perairan dangkal seperti komunitas bentik karang (Hochberg and Atkinson 2000;
Nurlidiasari 2004), penutupan karang hidup (Isoun et al. 2003; Purkis et al. 2002),
pemetaan batimetri dan klasifikasi dasar laut (Ohlendorf et al. 2011). Citra satelit
WorldView-2 memiliki 8 kanal dengan resolusi spasial yang tinggi, yaitu 0,46 m
(pankromatik) dan 1,84 m (multispektral), sehingga dapat memungkinkan untuk

2
keperluan analisis-analisis spasial sumber daya alam dan lingkungan, dalam hal
ini untuk memetakan habitat dasar perairan dangkal.

Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini untuk mengetahui keragaan dari citra
WorldView-2 dalam memetakan habitat dasar perairan dangkal di Pulau Panggang
dan sekitarnya dengan pendekatan transformasi citra “Depth Invariant Index”.

METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di perairan Pulau Panggang dan sekitarnya,
Kepulauan Seribu, DKI Jakarta (Gambar 1). Penelitian ini dibagi menjadi tiga
tahap: proses pengolahan citra awal dilakukan pada bulan September 2012, survei
lapang pada tanggal 16-17 Oktober 2012 dan analisa akhir pada bulan November
2012- Februari 2013.

Gambar 1. Lokasi Penelitian di Pulau Panggang dan Sekitarnya, Kep. Seribu, DKI
Jakarta.

Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini terbagi atas perangkat lunak dan
perangkat keras. Perangkat lunak untuk image processing yaitu, ER Mapper 6.4,
ArcGIS 9.3, dan Microsoft Excel. Sedangkan perangkat keras yang digunakan,
antara lain adalah: komputer yang sudah dilengkapi dengan perangkat lunak untuk

3
mengolah citra, hand Global Positioning System (GPS) jenis Garmin etrex h dan
GPS 12 dengan presisi 3-5 meter yang digunakan untuk penentuan posisi lokasi
pengamatan, underwater digital camera yang digunakan sebagai alat dokumentasi
pada saat survey lapang, alat dasar selam untuk snorkling dalam melakukan
pengamatan habitat dasar perairan, serta sabak dan pensil untuk menulis dalam air.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra satelit Worldview-2
dengan tanggal akuisisi pada 19 Oktober 2011 (5° 44’ 11,24” LS - 106º 35’ 10,08”
BT hingga 5° 44’ 56,53” LS - 106º 36’ 28,14” BT), serta data hasil survei lapang
berupa titik koordinat dan jenis habitat dasar yang diamati.
Pemrosesan Citra
Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan pendekatan analisa data,
yaitu pengolahan citra awal, survei lapang, pengolahan citra lanjutan dan uji
akurasi. Data primer diperoleh dengan cara pengamatan secara langsung (in-situ)
pada lokasi penelitian. Penentuan lokasi pada survei lapang menggunakan GPS
pada titik-titik survei yang diambil secara rapid mobile dan nantinya akan
dijadikan sebagai acuan dalam pemetaan habitat.
Pengolahan Citra Awal
Pengolahan citra awal meliputi proses pemulihan (image restoration) dan
pemotongan citra (image cropping). Setelah melakukan proses pemulihan
dilakukan pemotongan citra untuk membatasi daerah yang akan diolah sesuai
dengan lokasi penelitian, pada penelitian ini hanya terbatas pada Pulau Panggang.
Pemulihan citra berupa koreksi radiometrik dan koreksi geometrik. Koreksi
radiometrik yaitu koreksi terhadap pengaruh atmosfer untuk menghilangkan
faktor-faktor yang menurunkan kualitas citra. Metode koreksi radiometrik yang
digunakan adalah penyesuaian histrogram (histogram adjustment). Nilai bias
adalah nilai digital minimum pada setiap kanal, nilai bias diasumsikan sama
dengan besarnya pengaruh atmosfer terhadap gelombang cahaya. Pada metode ini
ditetapkan bahwa respon spektral terendah pada setiap band nilainya adalah nol,
oleh karena itu dilakukan pengurangan nilai digital setiap piksel pada semua kanal
sehingga nilai minimumnya sama, yaitu nol.
Koreksi geometrik bertujuan untuk memperbaiki posisi atau letak objek agar
koordinatnya sesuai dengan koordinat geografi (posisi sebenarnya dibumi).
Koreksi geometrik dilakukan dengan dua langkah, yaitu: transformasi koordinat
(transformation geometric) dan resampling citra menggunakan beberapa titik
kontrol bumi (ground control point). Titik-titik tersebut diambil pada tempat
berbeda yang tersebar di bagian citra dan harus mempunyai sifat geometrik yang
tetap pada lokasi yang dapat diketahui dengan tepat, sehingga diperoleh nilai root
mean square (RMS) 5,05

Luas
(m²)
248.933
230.764
247.459
235.421
239.882
245.726
242.737
428.292
104.147

%
11,19
10,38
11,13
10,58
10,79
11,05
10,92
19,26
4,68

Tabel 2. Luas Masing-Masing Dari 7 Kelas Tematik Habitat Dasar
No.

Kelas Habitat

1
2
3
4
5
6
7

Perairan Dalam (goba)
Karang Hidup
Karang Hidup dan Rubble
Pasir Rubble
Lamun
Pasir Lamun
Pasir Karang Lamun

nilai
index
3,78 - 4,31
4,31 - 4,39
4,39 - 4,48
4,48 - 4,66
4,66 -4,84
4,84 - 5,05
> 5,05

Luas
(m²)
248.933
230.764
247.459
481.147
482.619
428.292
104.147

%
11,19
10,38
11,13
21,64
21,70
19,26
4,68

12
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Dewi (2010) di daerah Karang
Lebar dan Karang Congkak dengan menggunakan citra Ikonos Pansharpen
menghasilkan peta dengan klasifikasi menjadi 6 kelas, yaitu karang hidup, karang
mati, lamun, pasir campur karang, pasir campur lamun dan pasir dengan substrat
pasir bercampur lamun hampir mendominasi seluruh wilayah kajian. Pada lokasi
yang sama pun dilakukan juga penelitian oleh Siregar (2010) dengan
menggunakan citra QuickBird menghasilkan klasifikasi habitat dasar sebanyak 5
kelas, yaitu karang hidup, karang mati, pasir, lamun, dan pasir bercampur karang,
dengan luasan yang paling besar adalah kelas lamun yang mendominasi 32% dari
total komposisi kelas habitat yang ada.
Ekosistem terumbu karang merupakan suatu sistem kehidupan yang
ukurannya dapat bertambah ataupun berkurang sebagai akibat dari interaksi yang
kompleks antara berbagai kekuatan biologis dan fisik (Nybakken 1988). Interaksi
dengan ekosistem yang lainnya seperti padang lamun dan pasir menjadikan
ekosistem terumbu karang mempunyai fungsi ekologis. Habitat terumbu karang
didefinisikan sebagai habitat alami bagi tanaman dan hewan. Tipe-tipe habitat
dasar ini merupakan salah satu parameter yang berpengaruh dalam penentuan
kawasan konservasi laut, karena merupakan habitat bagi jenis-jenis ikan karang.
Ikan karang lebih suka untuk tinggal di habitat karang hidup dibandingkan di pasir
ataupun di karang mati (rubble).
Perhitungan Akurasi
Pengukuran akurasi hasil citra klasifikasi dengan data lapang digunakan
sebanyak 142 titik referensi dalam perhitungan nilai parameter user accuracy
(UA), producer accuracy (PA) dan overall accuracy (OA) yang dirangkum dalam
satu matriks, yaitu matriks kontingensi atau yang juga disebut confusion matrix.
Matriks ini didapat dengan cara membandingkan antara jumlah pixel hasil
klasifikasi dengan data lapang (ground truth). Hasil perhitungan uji akurasi dapat
dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4. Nilai overall accuracy pada klasifikasi 9 kelas
didapatkan sebesar 69,72 % dengan nilai 0,65 , sedangkan pada 7 kelas nilainya
meningkat menjadi 78,87 % dengan nilai sebesar 0,75. Kualitas pemetaan pada
kedua klasifikasi ini tergolong kategori sedang karena berada pada kisaran 0,4 0,8.
Nilai user accuracy atau akurasi pengguna merupakan peluang rata-rata
suatu piksel secara aktual mewakili tiap kelas di lapangan. Pada klasifikasi dengan
9 kelas menunjukkan nilai UA terbesar pada kelas pasir bercampur lamun (PL)
dengan menunjukkan nilai 82,14 % yang telah terklasifikasi dengan benar,
sementara 17,86 % piksel yang seharusnya masuk ke kelas PL tidak terpetakan
dengan benar (omission error atau membuang daerah yang seharusnya termasuk
dalam kelas) . Nilai terkecil ada pada kelas pasir (P) dengan nilai persentase 50 %
yang telah tepat terpetakan sesuai dengan sebenarnya di lapang.
Nilai producer accuracy (PA) atau akurasi penghasil mengindikasikan
bahwa setiap piksel pada sebuah kelas telah tepat terklasifikasi. Perhitungan PA
pada klasifikasi ini menunjukkan nilai pasir lamun juga cukup tinggi, yaitu
79,31 %, sedangkan untuk kelas karang hidup, karang rubble dan lamun tinggi
menunjukkan nilai yang sama, yaitu 60 % yang telah tepat terklasifikasi pada
citra ( dapat juga diinterpretasikan bahwa 40 % piksel daerah 3 kelas tersebut

13
gagal terpetakan sesuai dengan kelasnya) atau commission error (memasukkan
daerah yang seharusnya dibuang dari kelas).
Perhitungan UA pada klasifikasi dengan jumlah 7 kelas memberikan
informasi bahwa kelas pasir campur lamun juga memiliki nilai yang tinggi, yaitu
91,30 % dengan 8,7 % tidak terpetakan sesuai dengan kelasnya. Nilai terkecil
pada kelas mixel pasir, karang hidup, dan lamun dengan nilai sebesar 60 %.
Kemudian PA pada klasifikasi ini untuk kelas perairan dalam, karang hidup dan
lamun memiliki nilai yang sama tingginya, yaitu 90 % yang terpetakan dengan
tepat. Sedangkan nilai terkecil ada pada kelas mixel pasir,karang hidup, dan
lamun hanya dapat terpetakan dengan tepat sebesar 54,54 %.
Tabel 3. Confusion matrix Pada Klasifikasi 9 Kelas Habitat Dasar Perairan

citra\lapangan darat
darat
5
PD
TK
KR
P
LT
PR
LS
PL
PKL
total kolom
5

PD

TK

KR

8
1
1

1
6
2

1
3
12
2

1

10

10

1
1

20

P

LT

PR
2
1

LS

PL

1
7
1
1

2
6
1

1
1

1

2
1
18
2
1

1
10

10

27

10

7
1

3
23
2
29

total
PKL baris
1
8
11
1
11
16
14
9
1
23
13
1
28
9
7
11
142

Keterangan : Karang Hidup (TK), Perairan Dalam (PD) (≥15 meter), Karang Rubble (KR), Lamun
Tutupan Sedang (LS) (30-60%), Lamun Tutupan Tinggi (LT) (≥60%), Pasir (P), Pasir
Rubble (PR), Pasir Campur Lamun (PL) (lamun < 30%) dan mixel Pasir, Karang Hidup
dan Lamun (PKL)

Total benar = 99, Total sampel = 142,
Total akurasi (OA) = 99/142 *100% = 69,72%
κ = 0,65
producer accuracy (%)
lapangan
akurasi
darat
5/5
= 100
PD
8/10 = 80
TK
6/10 = 60
KR
12/20 = 60
P
7/10 = 70
LT
6/10 = 60
PR
18/27 = 66,67
LS
7/10 = 70
PL
23/29 = 79,31
PKL
7/11 = 63,36

user accuracy (%)
citra
akurasi
darat
5/8
= 62,5
PD
8/11 = 72,73
TK
6/11 = 54,55
KR
12/16 = 75
P
7/14 = 50
LT
6/9
= 66,67
PR
18/23 = 78,26
LS
7/13 = 53,85
PL
23/28 = 82,14
PKL
7/9
= 77,78

14
Tabel 4. Confusion matrix Pada Klasifikasi 7 Kelas Habitat Dasar Perairan

citra\lapangan
darat
PD
TK
KR
PR
L
PL
PKL
total kolom

darat
5

PD

TK

KR

9

1

2
15
2
1

29
4

1
18

10

20

36

20

9
1

PR
2
1

L

10

PKL
1

1

1
1
1
1
6
11

1

1
6

PL

3
21
4
29

total
baris
8
10
12
18
33
28
23
10
142

Keterangan : Karang Hidup (TK), Perairan Dalam (PD) (≥15 meter), Karang Rubble (KR), Lamun
(L), Pasir Rubble (PR), Pasir Campur Lamun (PL) (lamun < 30%) dan mixel Pasir,
Karang Hidup dan Lamun (PKL)

Total benar = 112, Total sampel = 142,
Total akurasi (OA) = 112/142 *100% = 78,87%
κ = 0,75
producer accuracy (%)
user accuracy (%)
lapangan
akurasi
citra
akurasi
darat
5/6
= 83,33
darat
5/8
= 62,5
PD
9/10
= 90
PD
9/10 = 90
TK
9/10
= 90
TK
9/12 = 75
KR
15/20 = 75
KR
15/18 = 83,33
PR
29/36 = 80,55
PR
29/33 = 87,88
L
18/20 = 90
L
18/28 = 64,28
PL
21/29 = 74,41
PL
21/23 = 91,30
PKL
6/11
= 54,54
PKL
6/10 = 60
Pada perairan dangkal energi matahari akan mencapai dasar perairan untuk
kemudian merefleksikannya hingga mencapai sensor. Energi yang dipantulkan,
diserap dan ditransmisikan akan berbeda untuk setiap objek di muka bumi,
tergantung pada jenis materi dan kondisinya. Perbedaan ini memungkinkan untuk
membedakan objek yang berbeda pada suatu citra. Perbedaan informasi spektral
objek yang sama pada beberapa saluran panjang gelombang dapat memperkuat
sensor dalam membedakan objek. Sebagian cahaya akan menembus lebih dalam
dan bila dasar laut tidak terlalu dalam maka bagian spektrum ini akan dipantulkan
oleh dasar laut atau organisme bentos, misalnya alga, lamun atau terumbu karang.
Vegetasi lamun lebih cenderung menyerap energi dari cahaya matahari
(absorpsi) yang digunakannya untuk melakukan fotosintesis. Berbeda dengan
jenis substrat seperti pasir yang lebih tinggi nilai pantulannya, karena semakin
jernih suatu perairan maka nilai absorpsinya akan semakin rendah. Tipe substrat
dasar juga akan mempengaruhi efek dasar warna perairan laut yang terdeteksi oleh
penginderaan jauh. Hal-hal seperti ini yang akan membedakan reflektansi dari
masing-masing objek yang berbeda, signal yang ditangkap oleh sensor pun akan

15
memiliki nilai yang berbeda sehingga memudahkan untuk dilakukan identifikasi
terhadap jenis-jenis habitat dasar perairan dangkal.
Pemetaan dengan jumlah kelas klasifikasi 9 kelas memiliki nilai akurasi
secara umum (OA) 69,72 %, yang lebih rendah jika dibandingkan dengan
klasifikasi 7 kelas (termasuk darat) sebesar 78,87 %. Hasil tersebut menunjukkan
bahwa dengan persentase yang didapat dari seluruh data piksel pada citra
Worldview-2 telah terklasifikasi dengan benar sesuai kondisi pada pengamatan
insitu. Nilai akurasi untuk pemetaan habitat dasar pada setiap citra satelit berbedabeda. Pada pemetaan habitat dasar perairan dangkal juga dilakukan di dearah yang
berdekatan dengan daerah penelitian oleh Dewi (2010) menggunakan citra Ikonos
Pansharpen dengan jumlah klasifikasi 6 kelas menghasilkan akurasi yang lebih
rendah yaitu 35,22 %. Siregar (2010), Asmadin (2011) dan Agus (2012) dengan
menggunakan citra QuickBird menunjukkan nilai yang lebih tinggi, dengan 5
kelas Siregar (2010) menghasilkan nilai akurasi sebesar 79 %, sedangkan
Asmadin (2011) menghasilkan nilai akurasi 82,79 % dengan klasifikasi 6 kelas
habitat dasar, serta Agus (2012) menunjukkan nilai OA 68,98 % dengan jumlah
kelas yang lebih detail, yaitu 12 kelas klasifikasi.
Selain itu terdapat juga berbagai penelitian di luar negeri mengenai
pemetaan habitat terumbu karang (Tabel 5). Nilai akurasi yang didapatkan pada
penelitian ini jika dibandingkan dengan pemetaan habitat terumbu karang di
berbagai negara (Tabel 5) memiliki kemiripan range nilai yang sama, sehingga
dapat disandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya sebagai acuan
informasi yang besifat pembanding dalam pemetaan habitat dasar perairan
dangkal. Semakin sedikit jumlah kelas yang dipakai dalam memetakan habitat
maka akan meningkatkan daya akurasi dari peta tematik tersebut, namun hal
tersebut tergantung juga dengan citra satelit yang digunakan dalam pemetaan
tersebut. Hal ini dapat dibuktikan adanya perbedaan pada nilai OA yang didapat
pada penelitian ini, nilai akurasi pada klasifikasi 7 kelas lebih tinggi dibandingkan
dengan klasifikasi yang berjumlah 9 kelas. Menurut Mumby et al. (1998) nilai
akurasi 65-70% dapat dikategorikan cukup baik untuk pemetaan habitat pesisir
menggunakan inderaja satelit.
Pemetaan habitat dasar perairan ini memberikan informasi yang penting
khususnya untuk keberadaan dan keberlangsungan hidup ikan terumbu. Agus
(2012) dalam penelitiannya mengaitkan antara konektivitas struktural habitat
ontogeni. Keragaman dan kelimpahan ikan terumbu tentu terkait dengan
habitatnya, dari berbagai jenis habitat yang ada akan mempengaruhi jenis-jenis
apa saja ikan yang terdapat di dalamnya. Hal ini juga tentu akan bermanfaat bagi
para nelayan maupun pemerintah setempat dalam penentuan kawasan konservasi.
Semakin detail habitat yang terpetakan maka akan semakin banyak juga informasi
yang diperoleh. Dalam penelitian ini habitat dasar perairan mampu dikelaskan
hingga 9 kelas habitat dengan akurasi 69,72 %, walaupun nilai akurasinya lebih
rendah jika dibandingkan dengan 7 kelas namun dengan standar nilai akurasi yang
didapatkan dengan kategori yang cukup baik, 9 kelas habitat ini layak untuk
dipakai sebagi acuan dasar pemetaan habitat dasar perairan dangkal dengan skema
klasifikasi habitat ekosistem terumbu karang.

16
Tabel 5. Berbagai penelitian pemetaan habitat terumbu karang
Peneliti
Agus (2012)

Subjek
12 kelas habitat

Citra
Quickbird

Metode
Klasifikasi
unsupervised
dan supervised

Akurasi
Keseluruhan
68,98 %

Andrefouët
et al. 2003

3-15 kelas bentik

Ikonos
Landsat ETM

Klasifikasi
unsupervised
dan/atau
supervised

77% untuk 4–5
kelas, 71% untuk
7–8 kelas, 65%
untuk 9–11
kelas, dan
53% untuk >13
classes
Landsat: 56%
untuk 5–10kelas
Penilaian
kualitatif

contextual
editing

Andrefouët
& Guzman
2005

Keanekaragaman
Geomorfologi
dab bentik

Landsat ETM
Landsat TM

·Interpretasi
secara visual
·Klasifikasi
supervised
·contextual
editing
Klasifikasi
supervised

Capolsini et al.
2003

5 level
klasifikasi
(3,4,5,7,9 kelas)

Joyce et al.
2004

5 kelas bentik

Landsat ETM
ASTER
SPOT HRV
Ikonos
MASTER
Landsat ETM

Mumby et al.
1997

Perbandingan 3
klasifikasi sensor
(4,8,13 kelas)
Serta komposisi
kuantitatif bentik

Landsat MSS
Landsat TM
SPOT XS
SPOT Pan
merged Landsat
TM/SPOT Pan
CASI

·Klasifikasi
supervised
·contextual
editing

Mumby et
al.1998

2 level klasifikasi,
4(karang, alga,
pasirlamun)-9 kelas
bentik

CASI

·Klasifikasi
supervised
·contextual
editing

Neil et al.
2000

10 kelas
geomorfologi

Landsat TM

· Klasifikasi
unsupervised

Roelfsema
et al. 2002

mikroalga
(konsentrasi
klorofil)

Landsat TM

Siregar (2010)

5 kelas habitat

Quickbird

·Reflektansi
spektral
· Klasifikasi
supervised
· Klasifikasi
unsupervised
dan supervised

· Klasifikasi
unsupervised

Sumber : Agus (2012),Mazieres (2008), Siregar (2010)

Landsat ETM:
48-81%
Ikonos: 86%65%
keseluruhan 41%
dari 74% - 12%
untuk lokasi
dari 72% - 0%
untuk bentik
4 kelas: 55%73% (Landsat
TM) 8 kelas:
38% - 52%
(Landsat TM)
13 habitat: 21% 37% (SPOT XS)
CASI: 72% 93%
89% dan 81%
untuk tipe buruk
dan baik dari
penurunan
habitat
Tidak ada

Keseluruhan
62% dari 11% 82%
Keseluruhan
79 %

17
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi nilai hasil perhitungan matriks uji
akurasi. Faktor yang pertama adanya kesalahan dalam pengelompokkan jenis
substrat berdasarkan yang sebenarnya yang terdapat di lapang pada saat
pengambilan data primer. Pengambilan data yang dilakukan oleh beberapa orang
akan menghasilkan persepsi yang berbeda juga, dikarenakan pendeskripsian dari
masing-masing orang yang tidak sama. Hal tersebut tentu akan berpengaruh
terhadap keakuratan data substrat yang diambil. Faktor lain adalah posisi pada
saat pengambilan data dengan koordinat yang ada pada citra Worldview-2 yang
seharusnya sama. Citra Worldview-2 yang termasuk golongan satelit dengan
sensor yang beresolusi sangat tinggi yang mampu mencapai tampilan pankromatik
dengan resolusi yang kurang dari 0,5 meter (lebih dari 0,46 m untuk jarak sampel)
dan untuk tampilan multispektral memiliki resolusi lebih dari 1,84 m. Namun
dengan menggunakan GPS Garmin etrex h dan GPS12 yang memiliki presisi 3- 5
meter dari posisi yang sebenarnya tentu akan sangat berpengaruh sekali terhadap
hasil akurasi yang didapatkan.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Pemetaan habitat dasar perairan dangkal dengan pendekatan transformasi
citra “depth invariant index” menggunakan citra Worldview-2 dapat menghasilkan
peta tematik dengan klasifikasi substrat dasar menjadi 9 kelas dan hasil reclass
menjadi 7 kelas pada satu skema klasifikasi habitat dasar. Sembilan kelas tersebut
yaitu, perairan dalam, karang hidup, campuran karang hidup dan rubble, lamun
tutupan sedang, lamun tutupan tinggi, pasir, pasir rubble, pasir campur lamun
serta mixel pasir, karang hidup dan lamun. Sedangkan pada tujuh kelas hasil
reclass, kelas lamun tutupan sedang dan lamun tutupan tinggi menjadi kelas
lamun dan kelas pasir bergabung dalam kelas pasir rubble. Pengklasifikasian
tersebut menghasilkan uji akurasi keseluruhan yang cukup baik menggunakan
confusion matrix, yaitu sebesar 69,72 % untuk 9 kelas dan 78,87 % untuk 7 kelas.
Kedua kelas tersebut memiliki kualitas pemetaan yang tergolong kategori sedang
karena nilai koefisien kappa berada pada kisaran 0,4 sampai 0,8.
Saran
Pengambilan data saat dilapangan sebaiknya lebih diperluas areanya untuk
mengurangi kesalahan penentuan posisi oleh GPS. Penggunaan GPS sebaiknya
yang compatible dengan citra yang dipakai, yaitu GPS dengan akurasi yang
tinggi, agar mendapatkan nilai akurasi yang tinggi juga pada peta tematik habitat
dasar perairan dangkal yang dihasilkan (peralatan yang mendukung). Perlunya
persamaan persepsi dalam tim pengambil data dalam penentuan jenis habitat pada
saat di lapang. Penggunaan skema klasifikasi yang digunakan harus jelas dalam
penentuan pemetaan habitat dasar.

18

DAFTAR PUSTAKA
Agus SB. 2012. Kajian Konektivitas Habitat Ontogeni Ikan Terumbu
Menggunakan Pemodelan Geospasial Di Perairan Kepulauan Seribu [disertasi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Asmadin. 2011. Klasifikasi Habitat Perairan Dangkal dari Citra Satelit Quickbird
Menggunakan Metode Kecerdasan Buatan [tesis]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Butler MJA, Mouchot C, Barote V, Blanc LC. 1988. The Application of Remote
Sensing Technology to Marine Fisheries. An Introductory Manual. FAO
Fisheries Technical Paper 295: 129.
Congalton RG dan Green K. 2009. Assessing The Accuracy of Remotely Sensed
Data : Principles and Practices. Lewis Publishers. New York. xv + 179 hlm.
Danoedoro P. 1996. Pengolahan Citra Digital: Teori dan Aplikasinya dalam
Bidang Penginderaan Jauh. Yogyakarta: Fakultas Geografi Universitas Gajah
Mada. 254 hlm.
Dewi RR.2010. Pemetaan Habitat Dasar Perairan Dangkal dengan Menggunakan
Citra Ikonos Pansharpen di Karang Lebar dan Karang Congkak Kepulauan
Seribu, Jakarta [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Green PE, Mumby PJ, Edwards AJ, dan Edwards CD. 2000. Remote Sensing
Handbook for Coastal Management. United Nations Educational, Scientifics,
and Cultural organization. Paris.x + 316 hlm.
Hochberg EJ dan Atkinson MJ. 2000.Spectral discrimination of coral reef benthic
communities. Coral Reefs. 19:164–171.
Isoun E, Fletcher C, Frazer N dan Gradie J. 2003. Multi-spectral mapping of reef
bathymetry and coral cover: Kailua Bay, Hawaii. Coral Reefs. 22:68–82.
Lillesand TM, Kiefer RW. 1994. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra.
Dulbahri,Suharsono P, Suharyadi H, penerjemah; Sutanto, editor. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Remote Sensing and Image
Interpretation. 725 hlm.
Lunetta RS dan Lyon JG. 2004. Remote Sensing and GIS Accuracy Assessment.
CRC Press. New York. xvii + 304 hlm.
Lyzenga DR. 1978. Passive Remote Sensing Techniques for Mapping Water
depth and Bottom Features. Applied Optics.17:379-383.
Mazieres JD. 2008. Spatial distribution of reef fish communities: An investigation
of the coral Coast, Fiji islands. Coral Reef Initiatives for The Pacific. France:
University of the South Pacific. x + 98 hlm.
Mc. Kenzie LJ. 2003. Guidelines for the rapid assessment of seagrass habitats in
The western Pacific. Cairns: Department of Primary Industries Queensland,
Northern Fisheries Centre. SeagrassWacth.
Mount RE. 2006. Acquisition of Through-water Aerial Survey Images : Surface
Effects and the Prediction of Sun Glitter and Subsurface Illumination.
Photogrammetric Engineering and Remote Sensing. 71(12): 1407-1415.
Mumby PJ, Green EP, Clark CD, Edwards AJ. 1998. Digital Analysis of
Multispectral airbone imagery of coral reefs. Coral Reefs. 17:59-69

19
Mumby PJ dan Edwards AJ. 2002. Mapping marine environments with IKONOS
imagery: enhanced spatial resolution can deliver greater thematic accuracy.
Remote Sensing of Environment.82 (2002): 248-257
Muzaki AA. 2008. Analisis Spasial Kualitas Ekosistem Terumbu Karang
Seabagai Dasar Penentuan Kawasan Konservasi Laut dengan Metode Cell
Based Modelling di Karang Lebar dan Karang Congkak Kepulauan Seribu DKI
Jakarta. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Nurlidiasari M. 2004. The application of QuickBird and Multy-temporal Landsat
TM data for coral reef habitat mapping. Case study: Derawan Island, East
Kalimantan, Indonesia. [tesis]. Netherlands: International Institute for GeoInformation Science and Earth Observation-ITC.
Nybakken JW.1988. Biologi Laut : Suatu pendekatan ekologis. Jakarta: PT.
Gramedia. 459 hlm.
Poli D, Angiuli E, Remondino F. 2010. Radiomeric and geometric analysis of
worldview-2 stereo scenes. Joint Research Center. 6 hlm.
Purkis SJ, Kenter JAM, Oikonomou EK, dan Robinson IS. 2002. High resolution
ground verification, cluster analysis and optical model of reef substrate
coverage on Landsat TM imagery (Red Sea, Egypt). Int. J. Remote Sensing. 23
(8) :1677-1698.
Purwadhi SH. 2001. Interpretasi Citra Digital. Jakarta: PT Grasindo.
Siregar VP. 1996. Pengembangan Algoritma Pemetaan Terumbu Karang di
Pulau Menjangan Bali dengan Citra Satelit. Kumpulan Seminar Maritim 1996.
Jakarta: BPPT.
Siregar VP, Wouthuyzen S, Sukimin S, Agus SB, Selamat MB, Adriani, Sriati dan
Muzaki. 2010. Informasi Spasial Habitat Perairan Dangkal dan Pendugaan
Stok Ikan Terumbu Menggunakan Citra Satelit. Bogor (ID): SEAMEO
BIOTROP.
Wouthuyzen S. 2001. Pemetaan Perairan Dangkal Dengan Menggunakan Citra
Satelit Landsat-5 TM Guna Dipakai Dalam Pendugaan Potensi Ikan Karang :
Suatu studi Di Pulau-Pulau Padaido. Bogor (ID): Bakosurtanal.

20
Lampiran 1 Data GPS dan habitat dasar perairan dangkal
No
1
2
3
5
8
10
12
13
14
16
17
18
19
20
21
22
25
26
27
30
31
32
34
35
40
41
42
44
45
46
47
50
51
52
53
54
55
56
58
59
60

Tipe
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint

Lintang
-5.74169
-5.74174
-5.7418
-5.74213
-5.74271
-5.74294
-5.74317
-5.74339
-5.74376
-5.74479
-5.74488
-5.74502
-5.74506
-5.74755
-5.74748
-5.74747
-5.74729
-5.74723
-5.74721
-5.74709
-5.74703
-5.74693
-5.74683
-5.74678
-5.74644
-5.74642
-5.74637
-5.74623
-5.7462
-5.74617
-5.74612
-5.7461
-5.74606
-5.74602
-5.74598
-5.74583
-5.74579
-5.74775
-5.74721
-5.74668
-5.74529

Bujur
106.6023
106.6023
106.6024
106.6027
106.6031
106.6033
106.6035
106.6037
106.6038
106.6032
106.6031
106.603
106.6029
106.6017
106.6014
106.6013
106.6006
106.6006
106.6006
106.6006
106.6006
106.6005
106.6005
106.6005
106.6003
106.6003
106.6003
106.6002
106.6002
106.6001
106.6
106.5996
106.5995
106.5994
106.5993
106.5991
106.599
106.5956
106.5939
106.5929
106.589

Substrat Dasar
pasir
pasir
pasir
lamun sedang
pasir
pasir lamun
pasir lamun
pasir lamun
pasir lamun
pasir lamun
pasir lamun
lamun sedang
pasir karang lamun
terumbu karang
pasir rubble
karang rubble
lamun sedang
pasir rubble
lamun tinggi
karang rubble
pasir karang lamun
pasir karang lamun
pasir lamun
lamun tinggi
pasir lamun
lamun sedang
lamun tinggi
pasir lamun
pasir lamun
pasir karang lamun
pasir lamun
pasir lamun
pasir
pasir
pasir
pasir
terumbu karang
perairan dalam
perairan dalam
terumbu karang
terumbu karang

21
Lanjutan
61
62
63
64
65
68
70
71
74
76
78
79
80
81
82
84
85
86
88
89
91
92
93
94
95
96
97
98
99
101
102
103
104
105
106
107
109
110
112
113
114

Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint
Waypoint

-5.74521
-5.74579
-5.74593
-5.7462
-5.74625
-5.74671
-5.74674
-5.74682
-5.74722
-5.74723
-5.74739
-5.74734
-5.74749
-5.74766
-5.74794
-5.74784
-5.74771
-5.74757
-5.74723
-5.74712
-5.74674
-5.74648
-5.7463
-5.74621
-5.74615
-5.74616
-5.74619
-5.74624
-5.74625
-5.74611
-5.74602
-5.74585
-5.74561
-5.74558
-5.74553
-5.74513
-5.74434
-5.74421
-5.7436
-5.74336
-5.74323

106.589
106.5896
106.5896
106.5898
106.5899
106.5912
106.5916
106.5917
106.5924
106.5926
106.593
106.5932
106.5934
106.5939
106.5946
106.5954
106.596
106.5963
106.5966
106.5968
106.597
106.597
106.5974
106.5978
106.5982
106.5983
106.5989
106.5994
106.5995
106.6003
106.6006
106.6009
106.6016
106.6017
106.6019
106.6026
106.6034
106.6035
106.6038
106.6037
106.6036

terumbu karang
terumbu karang
terumbu karang
pasir
pasir
pasir
terumbu karang
pasir
pasir
terumbu karang
terumbu karang
terumbu karang
terumbu karang
perairan dalam
terumbu karang
pasir
pasir
pasir
pasir
lamun sedang
lamun tinggi
pasir lamun
pasir lamun
pas