Pengaruh budaya Hindu, Buddha, dan Peradaban Islam

2.2.4 Pengaruh budaya Hindu, Buddha, dan Peradaban Islam

2.2.4.1 Pengaruh budaya Hindu dan Buddha

Perkembangan agama Hindu di Kabupaten Subang ditandai dengan beberapa temuan benda arkeologi, antara lain dua buah patung nandi (sapi jantan), mangkuk perunggu, cawan, batu pipisan, manik- manik, patung maitreya, dan bokor. Benda-benda tersebut ditemukan di Sagalaherang dan dibeberapa tempat di Kabupaten Subang. Dengan demikian wilayah Sagalaherang diduga sebagai pusat penyebaran agama Hindu.

Dua buah patung nandi yang menjadi koleksi Museum Daerah Kabupaten Subang merupakan replika patung nandi yang telah menjadi koleksi Museum Negeri Sri Baduga Bandung. Dua buah patung tersebut terbuat dari batu andesit atau batu kali. Sedangkan pembuatan patung tersebut masih sangat sederhana. Nandi merupakan hewan yang sangat disakralkan dalam agama Hindu. Menurut keyakinan penganut agama Hindu, nandi merupakan tunggangan Dewa Siwa, dari dunia menuju nirwana. Patung nandi biasanya disimpan di depan candi. Dengan demikian bisa ditarik kesimpulan bahwa agama Hindu yang berkembang di Sagalaherang atau di wilayah Subang berliran Sivaistik.

Di daerah Kasomalang ada temuan lukisan telapak kaki kanan pada sebuah batu. Melihat kebiasaan yang terjadi pada Hinduisme, yang biasa digambarkan adalah telapak kaki Dewa Wisnu. Di daerah Gunung Burangrang yaitu perbatasan daerah Subang, Bandung, Purwakarta, pernah ditemukan peninggalan berupa patung Ganesha dan Yoni yang terdapat pada Sivaisme dalam ajaran Hindu.

Peninggalan berbentuk sebuah patung Budhistis atau patung Maitreya ditemukan di Batu Kapur Kecamatan Sagalaherang. Patung Maitreya dikenal Peninggalan berbentuk sebuah patung Budhistis atau patung Maitreya ditemukan di Batu Kapur Kecamatan Sagalaherang. Patung Maitreya dikenal

Dari teori yang dikemukakan oleh para sarjana Belanda dan Indonesia tentang masuknya pengaruh India ke Indonesia, ada satu persamaan pendapat bahwa pengaruh India masuk melalui jalan pantai. Dalam hal ini pelabuhan memegang peranan penting. Kemungkinan besar pengaruh Hinduisme dan Budhisme yang masuk ke daerah Subang berasal dari pelabuhan, terutama pelabuhan yang berada di bagian utara (Bapeda Subang, 2010:7).

Di Jawa Barat kita mengenal adanya tiga kerajaan besar yang telah mendapat pengaruh Hindu. Kerajaan pertama ialah Kerajaan Tarumanegara. dari prasasti yang ditinggalkan dapat ditarik kesimpulan bahwa kerajaan Tarumanegara merupakan kerajaan yang sangat teratur. Artinya raja yang menguasai kerajaan Tarumanegara berhasil menciptakan ketenteraman dan kedamaian dalam kerajaannya. Kemudian abad ke-8 M muncul suatu kerajaan di daerah Kawali, yaitu kerajaan Galuh. Pada masa itu kerajaan Tarumanegara sudah tidak ada lagi. Besar kemungkinan wilayah Subang pada masa itu masuk daerah kekuasaan Galuh (Bapeda Subang, 2010:8).

Dari data-data yang didapatkan tentang kerajaan Tarumanegara yang berpusat di Bekasi dan kerajaan Galuh berpusat di Kawali, maka daerah Subang terletak di antara kedua pusat kerajaan tersebut. Dengan demikian daerah Subang Sudah dikenal pada waktu itu. Hal itu didasarkan pada bukti adanya jalan raya yang menghubungkan Galuh-Pajajaran yang dikenal dengan highway. Highway pada Dari data-data yang didapatkan tentang kerajaan Tarumanegara yang berpusat di Bekasi dan kerajaan Galuh berpusat di Kawali, maka daerah Subang terletak di antara kedua pusat kerajaan tersebut. Dengan demikian daerah Subang Sudah dikenal pada waktu itu. Hal itu didasarkan pada bukti adanya jalan raya yang menghubungkan Galuh-Pajajaran yang dikenal dengan highway. Highway pada

Sagalaherang sebagai daerah yang telah mempunyai sejarah yang sudah tua, terletak ditepi jalan raya dari ibukota Pakuan ke Kawali sebelah timur kerajaan Highway dapat disamakan dengan jalan desa sekarang. Keadaannya cukup baik untuk dilalui oleh pejalan kaki dan penunggang kuda. Kendaraan padati sudah dipakai tetapi belum merupakan kendaraan untuk umum. Orang yang bepergian belum bisa menggunakan kendaraan roda dua atau empat. Jembatan penyeberangan yang melintasi sungai-sungai besar belum ada, maka penyebe- rangan dilakukan dengan menggunakan rakit atau perahu.

Ke arah barat dari ibukota Pakuan, terbentang jalan sampai ke kota pelabuhan Banten dengan melalui Jasinga dan Lebak Ke arah timur melalui Cibarusa, Tanjungrasa, Karawang, Kosambi, Cikao, Purwakarta, Wanayasa. Sagalaherang, Cisalak, Conggeang, Ujungjaya, Karangsembung, Sindangkasih, Majalengka, Talaga, Panjalu, dan Kawali.

Pada masa pemerintahan Pajajaran, daerah Subang bagian selatan mempunyai peranan penting dibandingkan dengan daerah Subang bagian utara yang masih berawa-rawa. Jalan raya yang melalui Sagalaherang dan Cisalak itu merupakan urat nadi lalu lintas antara daerah bagian barat dengan bagian timur Pajajaran. Para padagang. pelancong, peziarah, dan petugas negara semuanya melalui highway. sehingga penduduk di daerah pegunungan Subang bagian selatan lebih banyak berhubungan dengan orang-orang dari luar daerah itu juga lebih banyak dikunjungi oleh pendatang yang kemudian menetap, karena ia tertarik oleh Pada masa pemerintahan Pajajaran, daerah Subang bagian selatan mempunyai peranan penting dibandingkan dengan daerah Subang bagian utara yang masih berawa-rawa. Jalan raya yang melalui Sagalaherang dan Cisalak itu merupakan urat nadi lalu lintas antara daerah bagian barat dengan bagian timur Pajajaran. Para padagang. pelancong, peziarah, dan petugas negara semuanya melalui highway. sehingga penduduk di daerah pegunungan Subang bagian selatan lebih banyak berhubungan dengan orang-orang dari luar daerah itu juga lebih banyak dikunjungi oleh pendatang yang kemudian menetap, karena ia tertarik oleh

Situs Talun secara administratif termasuk wilayah Kampung Talun, Desa Talagasari, Kecamatan Sagalaherang. Situs Talun berada di ujung selatan Dusun Talun. Dengan mengamati lokasi situs mendapat gambaran bahwa situs Talun merupakan lahan tanah datar di puncak bukit kecil. Kondisi lokasi situs berupa lahan kering yang ditumbuhi rumput. Sehari-hari lahan itu dimanfaatkan untuk menggembalakan ternak. Sedangkan sekeliling bukit berupa cekungan dan kolam untuk memelihara ikan.

Menurut folklor lisan masyarakat setempat, lokasi tersebut merupakan bekas alun-alun. Fakta arkeologis yang terdapat di situs tersebut berupa struktur bata kuna dengan ukuran panjang 31 cm, lebar 22 cm, tebal 8 cm, dan fragmen bata kuna yang ditemukan dalam keadaan berserakan. Tinggalan ini sudah diketahui masyarakat sejak lama. Penggalian yang dilakukan oleh kelompok masyarakat pada awal tahun 2006 telah menampakan struktur bangunan sisi barat, meliputi pula sudut barat daya dan barat laut serta bagian sisi utara dan sisi selatan. Panjang struktur sisi barat 7,80 meter terdiri dari dua bata.

Berdasarkan fakta tersebut dilakukan ekskavasi yang bertujuan untuk penyelamatan data yang juga mencari gambaran tentang denah bangunan, jenis bangunan, dan masa berdirinya bangunan. Salah satu kotak ekskavasi menemukan konsentrasi bata yang sudah tidak tersetruktur, dan di sisi lain juga ditemukan beberapa bata dalam keadaan tertata secara mendatar.

Temuan struktur bata yang paling utuh ditemukan di kotak ekskavasi yang lain. Posisi bata dalam keadaan berdiri (rolak). Di kotak ekskavasi yang lainnya Temuan struktur bata yang paling utuh ditemukan di kotak ekskavasi yang lain. Posisi bata dalam keadaan berdiri (rolak). Di kotak ekskavasi yang lainnya

Temuan penting lainnya berupa dua keping fragmen keramik asing. Temuan pertama merupakan keramik Cina masa dinasti Ming (abad XIV - XVII) berasal dari bentuk mangkuk. Keramik kedua ditemukan di kotak ekskavasi yang lain, fragmen keramik ini berasal dari Cina masa dinasti Tang (abad VII-X) dari bentuk buli-buli.

Berdasarkan data yang telah terkumpul melalui pengamatan permukaan dan ekskavasi dapat disimpulkan bahwa bata yang telah tersingkap merupakan sisi barat suatu bangunan. Bangunan tersebut berdenah bujur sangkar berukuran 7 m x

7 m, berbentuk semacam batur (pendapa). Sudut bangunan yang sudah tidak utuh lagi hanya dibagian timur laut. Di sebelah timur bangunan ini terdapat unit bangunan lagi. Bagian yang telah berhasil ditemukan hanya sebagian pondasi sisi barat. Bentuk dan ukuran denah bangunan belum dapat diketahui karena belum terlihat bagian-bagian penting lainnya. Tata letak bangunan bila dikaitkan dengan batur (pendapa) yang sudah tampak, agak bergeser ke selatan.

Artefak keramik yang telah ditemukan menunjukan bahwa bangunan tersebut berasal dari kurun waktu antara abad VIII dan abad XVII. Di Jawa Barat pada kurun waktu tersebut merupakan masa kerajaan Sunda. Apabila dikaitkan dengan beberapa data arkeologis masa kerajaan Sunda, situs Talun merupakan bekas pusat pemerintahan di bawah raja.

Situs Patenggeng secara administratif berada di Desa Margasari, Kecamatan Kalijati, benda tinggalan dari situs Patenggeng banyak ditemukan berupa pecahan- Situs Patenggeng secara administratif berada di Desa Margasari, Kecamatan Kalijati, benda tinggalan dari situs Patenggeng banyak ditemukan berupa pecahan-

Di bagian barat daerah ini terdapat sebuah makam yang dianggap keramat oleh penduduk. Dalam laporan peneliti tim arkeologi dikatakan bahwa makam itu adalah Makam Brajadikeling atau Raden Kalangsungging. Raden Kalangsungging adalah penguasa wilayah Patenggeng.

Menurut penelitian tim Balai Arkeologi Bandung tahun 2004 kuat dugaan situs Patenggeng telah berkembang sebagai sebuah situs pemukiman yang telah dihuni sejak zaman prasejarah dan terus berlanjut sampai abad XVI. Secara keseluruhan masing-masing temuan yang berhasil didapatkan selama kegiatan penelitian pada bulan Nopember 2004.

Abad XV Masehi di dalam sejarah Indonesia merupakan zaman Kerajaan Majapahit. Sedangkan kerajaan Sriwijaya sudah tidak berkuasa lagi. Hubungan dagang pada waktu itu terjadi antara kerajaan Majapahit dengan kerajaan Cina. Pada abad itu pula hubungan Majapahit dengan kerajaan Sunda terjadi keretakan sebagai akibat Perang Bubat yang terjadi pada tahun 1357. Pada peristiwa tersebut raja Sunda, Sri Maharaja dan pasukannya gugur, tentu saja kejadian tersebut akan melemahkan kerajaan Sunda.

Kalau kita kaji peristiwa tersebut mungkin pada zaman dahulu Patenggeng merupakan daerah kekuasaan kerajaan Galuh. Setelah Sri Maharaja meninggal, Kalau kita kaji peristiwa tersebut mungkin pada zaman dahulu Patenggeng merupakan daerah kekuasaan kerajaan Galuh. Setelah Sri Maharaja meninggal,

Setelah pusat kekuasaan politik dan kerajaan pindah dari Galuh ke Pakuan, maka Patenggeng pun berada di bawah kekeuasaan Pakuan Pajajaran. Setelah kerajaan Pajajaran berkembang lalu mengadakan hubungan dengan kerajaan Cina pada abad XV. Seperti kerajaan lainya di Indonesia, Patenggeng juga diperkirakan runtuh setelah agama Islam masuk. Islam mulai masuk pada akhir abad XVI melalui daerah Subang selatan yang berpusat di Sagalaherang (Bapeda Subang, 2005:20).

2.2.4.2 Islam di daerah Subang

Pada umumnya penyebaran agama Islam di Indonesia berlangsung secara damai (penetrasion pasifique). Jika proses masuknya Islam ke Jawa Barat berlangsung damai, maka timbul pertanyaan "Mengapa agama Islam mudah diterima oleh rakyat?" Untuk menjawab pertanyaan ini kita perlu mengetahui secara singkat mengenai kepercayaan masyarakat pada waktu itu, terutama pada masa menjelang berakhirnya kekuasaan Pajajaran. Gambaran mengenai hal ini dapat kita lihat pada kepercayaan masyarakat Baduy sekarang, yang bisa dianggap sebagai sisa masyarakat Pajajaran 400 tahun yang lalu.

Demikianlah keadaan kepercayaan rakyat Pajajaran dengan bercermin kepada masyarakat Baduy sekarang pada masa mereka mulai berkenalan dengan Islam. Dengan kepercayaan yang bersifat monotheistis, maka agama yang Demikianlah keadaan kepercayaan rakyat Pajajaran dengan bercermin kepada masyarakat Baduy sekarang pada masa mereka mulai berkenalan dengan Islam. Dengan kepercayaan yang bersifat monotheistis, maka agama yang

Pada pertengahan abad XVI ke Sagalaherang datang seorang pengelana yang masih muda bersama beberapa orang pengikutnya, mereka berasal dari Talaga. Pemuda itu memastikan untuk menetap di Sagalaherang di tengah-tengah masyarakat yang berlainan kepercayaan. Mereka beragama Islam sedangkan masyarakat setempat beragama Hindu yang merupakan warisan dari nenek moyangnya. Kemudian mereka menyesuaikan diri dengan kehidupan masyarakat di tempat kediamannya yang baru itu.

Pemuda itu bernama Aria Wangsa Goparana yang merupakan putera dari Sunan Wanapen. raja di Talaga. Menurut silsilah ia merupakan putera Sunan Ciburuang putera Sunan Wana Wangsaperi (Ciburuang), Ciburangrang dari Limbangan. Bagaimanapun juga Goparana adalah putera Talaga keturunan Ratu Galuh dan Siliwangi (raja Pajajaran). Sebagai seorang pemuda yang suka memikirkan soal hidup dan mati, ia tidak merasa puas terhadap agama yang diwariskan oleh leluhurnya. Ia hidup semasa dengan Sunan Gunung Jati di Cirebon.

Atas kegiatan Sunan Gunung Jati dan para pembantunya, agama Islam menyebar di kalangan rakyat Jawa Barat bagian timur yaitu Kuningan, Talaga. Majalengka, Sumedang, Garut, Galuh, di Talaga Ana. Wangsa Goparana merupakan orang yang pertama kali memeluk Agama Islam. la melihat masa depan kehidupannya penuh dengan kegiatan sesuai dengan semangat pengorbanan untuk menyebarkan Agama Islam di tempat-tempat yang belum dikenalnya, la ingin menyumbangkan tenaganya untuk membantu pekerjaan Sunan Gunung Jati, Atas kegiatan Sunan Gunung Jati dan para pembantunya, agama Islam menyebar di kalangan rakyat Jawa Barat bagian timur yaitu Kuningan, Talaga. Majalengka, Sumedang, Garut, Galuh, di Talaga Ana. Wangsa Goparana merupakan orang yang pertama kali memeluk Agama Islam. la melihat masa depan kehidupannya penuh dengan kegiatan sesuai dengan semangat pengorbanan untuk menyebarkan Agama Islam di tempat-tempat yang belum dikenalnya, la ingin menyumbangkan tenaganya untuk membantu pekerjaan Sunan Gunung Jati,

Aria Wangsa Goparana memasuki tempat yang belum terisi antara Karawang dan Sindangkasih (Majalengka), yang di kedua tempat tersebut telah ada mubaligh Islam. Pemilihan tempat itu telah dilakukan dengan perhitungan yang tepat sekali. Hal itu dibuktikan oleh kenyataan berhasilnya pelaksanaan penyebaran Islam di daerah Subang, Pagaden. Purwakarta. Cianjur. Sukabumi, dan Limbangan. Aria Wangsa menerima ajaran Islam dan Sunan Gunung Jati yang mulai dalang ke Cirebon pada tahun 1470 (Bapeda Subang, 2010:20).

Sebagai pengikut ajaran Sunan Gunung Jati, Aria Wangsa Goparana mempunyai bahan pengetahuan yang cukup luas mengenai Islam untuk bertindak sebagai pelopor penyebar agama baru itu di Jawa Barat. Pada waktu itu daerah Subang jumlah penduduknya belum banyak. Penduduk yang terbanyak terdapat di bagian selatan, daerah pegunungan dengan jalan raya Pajajaran di sekitar Segalaherang dan Cisalak.

Puluhan tahun lamanya Aria Wangsa Goparana memberikan bimbingan dalam soal keagamaan kepada orang-orang yang datang untuk meminta penerangan. Ia mengetahui isi kepercayaan iama sehingga ia dapat Puluhan tahun lamanya Aria Wangsa Goparana memberikan bimbingan dalam soal keagamaan kepada orang-orang yang datang untuk meminta penerangan. Ia mengetahui isi kepercayaan iama sehingga ia dapat

Kepercayaan kepada Sang Hyang Widi yang sudah dikenal masyarakat setempat, oleh Aria Wangsa Goparana disalurkan kepada keimanan kepada Allah dengan mengajarkan shalat yang lima waktu dalam sehari semalam. Kemudian secara bertahap diajarkan pula rukun Islam lainnya. Setelah rasa keimanan mulai menyinari kalbu para muslim baru di Segalaherang. ajaran-ajaran Islam lanjutan dengan mudah dapat diterima dan dilaksanakan.

Aria Wangsa Goparana berputera lima orang, yaitu: Entol Wangsa Goparana, Wiratanudatar, Yudanegara, Cakradiparana, dan Yudamanggala. Salah seorang puteranya pindah ke Limbangan, menetap di sana menjadi cikal-bakal keluarga Limbangan. Wiratanudatar juga meninggalkan Segalaherang. Bersama keluarganya, seorang saudara dan tiga puluh orang kepala keluarga lainnya, ia mencari tempat kediaman baru di seberang Sungai Citarum. Untuk sementara waktu mereka tinggal di Cibalagung, tetapi kemudian mereka menetap di Cijegang (Majalaya. Cikalongkulon) di sebelah selatan Sungai Cikundul. Kepindahan itu merupakan tindakan lanjutan yang telah dirintis oleh ayahnya dengan meninggalkan kota Talaga.

Daerah antara Sungai Citanim dan Gunung Gede pada waktu itu rnasih kosong, hampir tidak berpenduduk, berhutan lebat yang belum terjamah tangan manusia. Kepindahan itu dijiwai oleh semangat mengembara, semangat perintisan, membuka daerah bani untuk selanjutnya membentuk masyarakat vang hidup atas dasar keimanan.

Sagalaherang menjadi pangkalan titik tolak penyebaran tenaga pembangunan masyarakat Jawa Barat sejak abad ke-XVI. Putera-putera Aria Wangsa Goparana baik yang menetap di Sagalaherang maupun yang pindah ke Limbangan dan Cikundul (Cianjur), melahirkan keturunan yang banyak menduduki posisi-posisi penting dalam urusan kemasyarakatan di Jawa Barat, misalnya pada bidang pemerintahan dan kerohanian. Sesudah Indonesia merdeka juga pada bidang perusahaan dan pertahanan. Sagalaherang pada masa lalu pernah memegang peranan dengan bukti historis terdapat di Segalaherang, yaitu adanya makam Aria Wangsa Goparana di Nangkabeurit.