PENGARUH PENGGUNAAN ALAT PERAGA TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS SISWA PADA PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL

PENGARUH PENGGUNAAN ALAT PERAGA TERHADAP
PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS SISWA
PADA PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL
(Studi Terhadap Siswa Kelas VII MTs Negeri 2 Bandar Lampung
Semester Ganjil Tahun Pelajaran 2014/2015)

(Skripsi)

Oleh

EKA RATNAWATI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2014

ABSTRAK

PENGARUH PENGGUNAAN ALAT PERAGA TERHADAP
PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS SISWA PADA
PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL

(Studi pada Siswa Kelas VII MTs Negeri 2 Bandar Lampung T.P.2014/2015)

Oleh
EKA RATNAWATI

Penelitian eksperimen semu bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan
alat peraga terhadap pemahaman konsep matematis siswa pada pembelajaran
kontekstual. Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII MTs Negeri 2
Bandar Lampung tahun pelajaran 2014/2015. Sampel pada penelitian ini adalah
siswa kelas VII D dan siswa kelas VII F yang dipilih dengan menggunakan teknik
purposive sampling.

Berdasarkan analisis data diperoleh bahwa rata-rata

pemahaman konsep matematis siswa yang mengikuti pembelajaran kontekstual
dan disertai penggunaan alat peraga lebih baik dari pada siswa yang mengikuti
pembelajaran kontekstual tanpa penggunaan alat peraga.

Dengan demikian,


penggunaan alat peraga berpengaruh positif terhadap pemahaman konsep
matematis siswa pada pembelajaran kontekstual.
Kata kunci: alat peraga, pemahaman konsep matematis

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Taman Negeri, Kecamatan Way Bungur, Kabupaten
Lampung Timur pada tanggal 16 Maret 1989. Anak pertama dari dua bersaudara,
buah hati pasangan Bapak Sehono dan Ibu Sunariyah.

Pendidikan formal yang telah diikuti adalah TK Pertiwi Taman Negeri pada tahun
1995, SD Negeri 1 Taman Negeri, Kecamatan Way Bungur pada tahun 2001,
SLTP Negeri 1 Purbolinggo (sekarang menjadi SMP Negeri 1 Purbolinggo) tahun
2004, dan SMA Negeri 1 Purbolinggo pada tahun 2007. Pada tahun 2007 penulis
terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika Jurusan
Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Lampung melalui jalur Penelusuran Kemampuan
Akademik dan Bakat (PKAB).

Penulis melaksanakan Program Pengalaman Lapangan (PPL) di SMP Negeri 1

Natar tahun 2010. Sejak tahun 2001 penulis terdaftar menjadi siswa Persaudaraan
Setia Hati Terate (PSHT) dan disahkan menjadi warga pada 19 Februari 2005.
Saat penulis duduk dibangku SMA, penulis dipercaya sekolah untuk mengikuti
berbagai macam kegiatan yang berkaitan dengan ekstrakurikuler yang penulis
ikuti, yaitu KIR dan ROHIS.

Selama menjadi mahasiswa penulis aktif di Generasi Muda (Gema) Forum
Pembinaan dan Pengkajian Islam (FPPI) FKIP Unila tahun 2007, Anggota Bidang
Bimbingan Baca Alqur’an (BBQ) tahun 2008, angkatan IX Unit Kegiatan
Mahasiswa Penelitian (UKM Penelitian) Unila pada tahun 2008, Kepala Divisi
Dana dan Usaha UKM Penelitian Unila pada tahun periode 2009-2010, dan
Bendahara Umum UKM Penelitian Unila periode 2010-2011. Sejak juni 2012
hingga sekarang penulis menjadi pengajar matematika di lembaga bimbingan
belajar Ganesha Operation.

PERSEMBAHAN
Alhamdulillahirobbil ’Alamin…
Terucap syukur yang mendalam kepada Allah SWT,
ku persembahkan skripsi ini sebagai tanda cinta, kasih sayang, dan baktiku
kepada :


Bapak dan Mamak
yang selalu ada untuk mendoakan keberhasilanku dan memberikan
nasihat
Adikku tercinta Tesa Marwanto
Para pendidik yang telah mendidikku dengan penuh kesabaran
Sahabat-sahabatku yang selalu menjadi penyemangat bagiku
Dan
Almamater tercinta

Sesungguhnya Alloh tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum
mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri…
(Q.S Ar Ra’d:11)

“Tiada kesuksesan bagi peragu dan penunda”
(Penulis)

SANWACANA

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, nikmat, dan

karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Pengaruh Penggunaan Alat Peraga terhadap Pemahaman Konsep
Matematis Siswa pada Pembelajaran Kontekstual (Studi pada Siswa Kelas VII
MTs Negeri 2 Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2014/2015)”.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa terselesaikannya penyusunan skripsi ini
tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan
terima kasih yang tulus ikhlas kepada:
1. Bapak Dr. H. Bujang Rahman, M.Si., selaku Dekan FKIP Universitas Lampung beserta staf dan jajarannya yang telah memberikan kesempatan dan
fasilitas kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;
2. Bapak Dr. Caswita, M.Si., selaku Ketua Jurusan Pendidikan MIPA FKIP
Universitas Lampung;
3. Bapak Dr. Haninda Bharata, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan
Matematika;
4. Ibu Dra. Arnelis Djalil, M.Pd., selaku pembahas atas kesediannya memberikan
sumbangan pemikiran, saran, dan kritik baik selama perkuliahan maupun
selama penyusunan skripsi sehingga skripsi ini menjadi lebih baik;

5. Ibu Dr. Tina Yunarti, M.Si., selaku Pembimbing Utama atas kesediaannya
memberikan bimbingan, sumbangan pemikiran, kritik, dan saran, baik selama
perkuliahan maupun selama penyusunan skripsi sehingga skripsi ini menjadi

lebih baik;
6. Bapak Dr. Sugeng Sutiarso, M.Pd., selaku Pembimbing Pembantu atas
kesediaannya memberikan bimbingan, sumbangan pemikiran, kritik, dan
saran, baik selama perkuliahan maupun selama penyusunan skripsi sehingga
skripsi ini menjadi lebih baik;
7. Seluruh dosen yang telah mendidik dan membimbing penulis selama
menyelesaikan studi;
8. Pak Lianto yang telah banyak membantu penulis terutama pada saat ingin
memakai peralatan gedung G. Sosok yang secara tidak langsung telah mengajarkan tentang keikhlasan, kejujuran, kesabaran dan arti kerja keras;
9. Bapak Drs. H Ridwan Hawari, MM selaku Kepala MTs Negeri 2 Bandar
Lampung yang telah memberikan izin penelitian;
10. Ibu Asnah Yusfit, S.Pd, selaku guru mitra yang telah banyak memberikan
arahan dan masukan selama penelitian, serta murid-murid kelas VIID dan
VIIF MTs Negeri 2 Bandar Lampung atas partisipasinya dalam penelitian ini;
11. Bapak, mamak, dan adikku tercinta Tesa serta keluarga besarku yang selalu
menyayangi, mendoakan, dan selalu memberikan dukungan untuk keberhasilanku. Terima kasih untuk lautan kasih sayang, kesabaran, dan pengertian
yang kalian berikan;
12. Teman-teman seperjuangan angkatan 2007 Reguler: Rini, Abdul, Ifal, Wahyu,
Ahmad, Ulfa, Vivi, Lisa, Widya, Maryati, Kamsuri, Shera, Meilan, Iim, Sella,


Catur, Sartika, Putri, Evi, Iswan, Adit, Fantini, Risa, Firman, Endah, Munib,
Jesi, Maya, Wawan, Miftah, Bambang, Gede, Victor, Ikhwan. Terima kasih
untuk persahabatan dan kebersamaannya selama ini, tetap semangat untuk
menjadi the best mathematic teacher;
13. Keluarga besar UKM Penelitian Unila: bang Iwan, bang Lapri, bang Agung,
bang Gery, Mb Deta, Mb Ari, Mb Yuni, Mb Devi, Mb Mar, Riyan, Jasi,
Candra, Dodi, Ngudi, Auliana, Biyatmi, Nur, Afri, Desi, Astri, Priska, Rovi,
Agung I, Nanang, Rahman, Agung W, Dery, Juni, Maiyulis, Dedi, Asep,
Rendi, Terimakasih atas dukungan, semangat, serta kesediannya menjadi
tempat berbagi pemikiran baik dalam suka dan duka. Semoga UKM Penelitian
jaya di persada nusantara. Building Better Life By Science!;
14. Teman-teman PPL SMP Negeri 1 Bandarlampung :Maylisa, Mb Eva, Mb
Putri, Putri N, Shufiyanti, Paul, Asrul, Koko, Desti, Riri, dan Selvi, atas
kebersamaan selama 3 bulan yang luar biasa;
15. Teman-teman angkatan 2007 NR, kakak-kakakku angkatan 2006 dan 2005,
teman-teman dan adik-adikku angkatan 2008, 2009, dan 2010 atas
kebersamaannya;
16. Teman-teman keluarga Astri 21: Mb Tati, Mb Dian, Mb Iceu, Mb Binti N, Mb
Binti A, Mb Ria, Mb Rita, Mb Hotlina, Mb Fitri, Mb Nana, Mb Marhama, Mb
Mery S, Mb Mery E, Mb Vita, Yunita, Umi, Rika, Ika, Nani, Eny, Astri, Ichi,

Mita, Kiki, Mela, Prita, Fany, Desi. Terimakasih atas kebersamaannya dan
rasa solidaritasnya.
17. Teman-teman keluarga ”Cemara” Nunyai: Mb Erni, Mb Mela, Widya, dan Eti.
Terimakasih atas kesediannya mendengarkan keluh kesahku, bantuan dalam

setiap keadaan, semangat, dukungan, serta kasih sayang dalam meniti
kehidupan.
18. Almamater yang telah mendewasakanku;
19. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis berharap semoga Allah SWT senantiasa membalas semua kebaikan yang
telah diberikan dan semoga skripsi ini bermanfaat.

Bandarlampung, Desember 2014
Penulis,

Eka Ratnawati

DAFTAR ISI


Halaman
DAFTAR TABEL
DAFTAR LAMPIRAN
I.

II.

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah......................................................................

1

B. Rumusan Masalah................................................................................

5

C. Tujuan Penelitian.................................................................................

5


D. Manfaat Penelitian...............................................................................

6

E. Ruang Lingkup Penelitian...................................................................

6

TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan pustaka..................................................................................

8

1. Pembelajaran Matematika...............................................................

8

2. Pendekatan Kontekstual……………...............................................

11


3. Alat Peraga…………………….......................................................

18

4. Pemahaman Konsep Matematis……………………………….......

23

B. Kerangka Pikir.....................................................................................

25

C. Anggapan Dasar...................................................................................

27

D. Hipotesis..............................................................................................

28

III. METODE PENELITIAN

IV

V.

A. Populasi dan Sampel............................................................................

29

B. Desain Penelitian.................................................................................

30

C. Data Penelitian…................................................................................

31

D. Teknik Pengumpulan Data..................................................................

31

E. Teknik Analisis Data dan Pengujian Hipotesis

36

1. Teknik Analisis Data.......................................................................

36

2. Teknik Pengujian Hipotesis.............................................................

38

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian....................................................................................

40

B. Pembahasan.........................................................................................

45

SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan................................................................................................

50

B. Saran....................................................................................................... 50
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 52
LAMPIRAN........................................................................................................... 55

DAFTAR TABEL

Tabel
Halaman
3.1 Daftar Kelas VII MTs Negeri 2 Bandar Lampung..............................
29
3.2 Desain Penelitian .................................................................................

31

3.3 Kriteria Tingkat Kesukaran ...............................................................

34

3.4 Klasifikasi Daya Pembeda . ...............................................................

35

4.1 Skor Pemahaman Konsep Matematis.................................................

40

4.2 Pencapaian Indikator Pemahaman Konsep Kelas Eksperimen .........

41

4.3 Pencapaian Indikator Pemahaman Konsep Kelas Kontrol .............

42

4.4 Nilai

Data Pemahaman Konsep Matematis .................................

43

4.5 Nilai F Data Pemahaman Konsep Matematis ....................................

43

4.6 Nilai Uji t pada Perbedaan Dua Rata-rata Konsep Matematis ...........

44

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

Halaman

A. PERANGKAT PEMBELAJARAN
A.1 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) ...................................

56

A.2 Lembar Kerja Peserta Didik ..........................................................

93

B. PERANGKAT TES
B.1 Kisi-Kisi Tes Pemahaman Konsep ..............................................

114

B.2 Instrumen Tes Pemahaman Konsep .............................................

116

B.3 Kunci Jawaban dan Teknik Penskoran Tes Pemahaman Konsep

118

B.4 Pedoman Penskoran Tes Pemahaman Konsep .............................

120

C. ANALISIS DATA
C.1 Tabel Data Nilai Pokok Bahasan Bilangan ................................

122

C.2 Analisis Tes Uji Coba ...................................................................

125

C.3 Data Ketercapaian Pemahaman Konsep Matematis .....................

128

C.4 Uji Normalitas Data Pemahaman Konsep Matematis ..................

132

C.5 Uji Homogenitas Pemahaman Konsep Matematis .......................

140

C.4 Uji Hipotesis .................................................................................

141

D. LAIN-LAIN
D.1 Surat Izin Penelitian Pendahuluan ..............................................

143

D.2 Surat Kesediaan Membimbing .....................................................

144

D.3 Daftar Hadir Seminar Proposal ....................................................

147

D.4 Surat Izin Penelitian .....................................................................

148

D.5 Surat Keterangan Penelitian .........................................................

149

D.4 Daftar Hadir Seminar Hasil ..........................................................

150

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sumber daya manusia merupakan salah satu faktor penentu kemajuan suatu
bangsa.

Sedangkan kualitas sumber daya manusia ditentukan oleh mutu

pendidikannya. Pendidikan merupakan investasi sumber daya manusia jangka
panjang yang mempunyai nilai strategis bagi kelangsungan peradaban manusia di
dunia. Oleh karena itu, hampir semua negara menempatkan pendidikan sebagai
faktor yang penting dan utama dalam konteks pembangunan bangsa dan negara.
Begitu juga Indonesia menempatkan pendidikan sebagai sesuatu yang penting dan
utama.

Hal ini terlihat pada isi Pembukaan UUD 1945 alinea IV yang

menegaskan bahwa salah satu tujuan nasional bangsa Indonesia adalah
mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini juga diperjelas dalam Undang-undang
Republik Indonesia nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional
pasal 3 yaitu:
“ Pendidikan nasional berfungsi membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab”.
Pendidikan merupakan aset bagi siswa agar dapat mengembangkan potensi
dirinya sehingga menjadi manusia yang berilmu dengan memiliki pengetahuan

2
faktual, konseptual, dan prosedural dalam ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan
budaya dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, peradaban terkait
fenomena dan kejadian di kehidupan sehari-hari serta berakhlak mulia.

Salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan kita adalah masalah lemahnya
kebermaknaan dalam proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran, anak
kurang didorong untuk mengembangkan kemampuan berpikir.

Proses

pembelajaran di dalam kelas diarahkan kepada kemampuan untuk menghafal
informasi.

Siswa dilatih untuk menimbun dan menghafal informasi tanpa

memahami informasi yang diterimanya untuk dihubungkan dalam kehidupan
sehari-hari, sehingga ilmu yang diperoleh siswa di sekolah tidak mampu
diaplikasikan dalam kehidupannya sehari-hari. Pembelajaran di kelas seperti ini
biasanya menggunakan pembelajaran konvensional. Pembelajaran konvensional
ditandai dengan guru lebih banyak mengajarkan tentang konsep-konsep, sehingga
siswa lebih banyak mendengarkan dan pasif di dalam kelas. Tujuan pembelajaran
konvensional biasanya adalah

peserta mengetahui sesuatu, bukan untuk

melakukan sesuatu. Pembelajaran seperti ini terbukti berhasil dalam kompetensi
mengingat dalam jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali siswa
memecahkan masalah dalam kehidupan jangka panjang.

Belajar akan lebih bermakna jika siswa mengalami apa yang dipelajarinya, bukan
mengetahuinya. Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual atau biasa disebut
dengan Contextual Teaching and Learning (CTL) membantu guru mengaitkan
antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong
siswa untuk membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan

3
penerapan dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.
Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual diharapkan dapat sesuai dengan
kriteria pembelajaran yang diharapkan dalam PP No.32 Tahun 2013:
“Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk
berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik
serta psikologis peserta didik”.

Pembelajaran kontekstual telah sesuai dengan teori Piaget tentang perkembangan
struktur kognitif bahwa pembelajaran disesuaikan dengan tingkat perkembangan
kognitif siswa. Pada teori Piaget disebutkan bahwa anak pada usia di atas 11
tahun berada pada tahap operasional formal. Ciri pokok perkembangan pada
tahap ini adalah siswa sudah mampu berpikir abstrak dan logis dengan
menggunakan pola berpikir kemungkinan. Tetapi anak usia di atas 11 tahun (usia
SMP) merupakan tahapan awal dari tahap operasi formal, sehingga dalam
mengembangkan kemampuan berpikir abstrak perlu dikaitkan dengan tahapan
sebelumnya, yaitu operasi konkret. Oleh sebab itu, keterkaitan dengan obyek,
fenomena, dan pengalaman konkret dalam mengembangkan berpikir abstrak perlu
dilakukan.
Objek dasar yang dipelajari dalam matematika adalah abstrak.

Matematika

dengan konsep-konsep abstrak yang terstruktur akan sulit dipahami siswa.
Penggunaan alat peraga pada pembelajaran kontekstual menjadikan konsepkonsep abstrak pada matematika dapat dipahami berdasarkan pemikiran yang
dibangun dari situasi nyata tertentu yang sudah dikenal dengan baik oleh siswa.
Masalah matematika yang berkaitan dengan situasi nyata yang sudah dikenal baik

4
oleh siswa relatif mudah dipahami, sehingga memudahkan dalam pemecahannya.
Pendekatan kontekstual disertai dengan alat peraga memudahkan siswa belajar
matematika dengan memulai konsep dari yang konkret (kerja praktek) ke arah
yang abstrak (simbolisasi).
Alat peraga dapat membantu siswa meningkatkan pemahaman, menyajikan data
dengan menarik dan terpercaya, memudahkan penafsiran data, dan memadatkan
informasi. Selain itu, alat peraga juga dapat membangkitkan motivasi serta minat
belajar siswa. Penggunaan alat peraga memungkinkan siswa berinteraksi secara
langsung dengan lingkungan atau model matematika yang nyata.

Siswa

mengalami sendiri pembentukan konsep matematika, pembelajaran tidak monoton
pada konsep teoritis yang tertulis di buku sehingga pembelajaran akan lebih
menyenangkan dan siswa dapat memahami dengan baik konsep tersebut beserta
perkembangannya atau keterkaitannya dengan konsep yang lain.
Berdasarkan observasi yang dilakukan di kelas VII MTs Negeri 2 Bandar
Lampung, pembelajaran di dalam kelas dimulai dengan guru memberi tugas
kepada siswa untuk membaca materi yang akan dipelajari. Setelah siswa selesai
membaca, kemudian siswa diminta untuk mengerjakan contoh soal yang terdapat
di buku pegangan siswa. Jika siswa mengalami kesulitan dalam mengerjakan
contoh soal , siswa dipersilakan untuk menanyakannya kepada guru. Akan tetapi,
hanya beberapa siswa yang mengungkapkan kesulitannya kepada guru sedangkan
siswa yang lain terkesan pasrah walaupun mereka belum paham. Setelah itu,
siswa ditugaskan untuk mengerjakan soal-soal latihan yang terdapat di buku,
kemudian guru membimbing mengerjakan soal ketika sebagian besar siswa
mengalami kesulitan.

5
Jika dilihat dari adanya siswa yang tidak menanyakan apa yang belum
dipahaminya, ini menunjukkan bahwa kurangnya ide dari siswa untuk
mengajukan pertanyaan dan kurangnya antusias siswa dalam belajar matematika.
Sehingga diperlukan suatu pembelajaran yang menarik bagi siswa dan
memunculkan rasa ingin tahu yang mengakibatkan siswa lebih aktif bertanya.
Dalam hal ini, penggunaan alat peraga dalam pembelajaran kontekstual
diharapkan mampu mengatasi masalah tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan penelitian terhadap pembelajaran
matematika di kelas VII MTs Negeri 2 Bandar Lampung tahun ajaran 2014/2015
untuk mengetahui pengaruh penggunaan alat peraga terhadap pemahaman konsep
matematis siswa pada pembelajaran kontekstual.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah:
“Apakah terdapat pengaruh penggunaan alat peraga terhadap pemahaman konsep
matematis siswa kelas VII MTs Negeri 2 Bandar Lampung pada pembelajaran
kontekstual?”
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya pengaruh penggunaan alat
peraga terhadap pemahaman konsep matematis siswa kelas VII MTs Negeri 2
Bandar Lampung pada pembelajaran kontekstual.

6
D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini sebagai berikut:
1.

Bagi Guru
Dapat

memberikan

sumbangan

dalam

upaya

peningkatan

kualitas

pembelajaran matematika untuk meningkatkan mutu pendidikan dan
pemahaman konsep matematis siswa.
2.

Bagi Peneliti Lain
Dapat digunakan sebagai acuan untuk penelitian yang sejenis di masa yang
akan datang.

E. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup lingkup penelitian ini mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning) merupakan
konsep pembelajaran yang membantu guru untuk mengaitkan antara materi
ajar dengan situasi dunia nyata siswa. Situasi ini yang dapat mendorong siswa
membuat hubungan antara pengetahuan yang dipelajari dengan penerapannya
dalam kehidupan siswa sebagai anggota keluarga atau masyarakat.
2. Alat peraga yang digunakan dalam pembelajaran yaitu model benda nyata yang
digunakan untuk mengurangi keabstrakan materi matematika berupa miniatur
dan gambar.
3. Pengaruh dalam penelitian ini merupakan signifikansi dari perbedaan rata-rata
skor tes akhir siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan

7
kontekstual dengan rata-rata skor tes akhir siswa yang mengikuti pembelajaran
kontekstual dengan alat peraga.
4. Pemahaman konsep siswa merupakan kemampuan siswa dalam memahami
konsep matematika yang dipelajari dapat dilihat dari nilai pemahaman konsep
matematika siswa setelah proses pembelajaran.

Indikator kemampuan

pemahaman konsep dalam penelitian ini merujuk pada penjelasan teknis
Peraturan Dirjen Dikdasmen Depdiknas Nomor 506/C/Kep/PP/2004 tanggal 11
November 2004 yaitu,:
a. Menyatakan ulang suatu konsep
b. Mengklasifikasikan objek-objek menurut sifat-sifat tertentu
c. Memberi contoh dan noncontoh dari konsep
d. Menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematika
e. Mengembangkan syarat perlu dan syarat cukup suatu konsep
f. Menggunakan, memanfaatkan dan memilih prosedur atau operasi tertentu.
g. Mengaplikasikan konsep atau algoritma pemecahan masalah.
5. Penelitian ini dilaksanakan pada materi himpunan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Pustaka

1. Pembelajaran Matematika

Pembelajaran merupakan komunikasi dua arah, yang dilakukan oleh pendidik
sebagai fasilitator dengan siswa yang merupakan subyek yang mengalami proses
belajar. Menurut konsep komunikasi (Suherman, 2001: 9), pembelajaran adalah
proses komunikasi fungsional antara siswa dengan guru, dan siswa dengan siswa,
dalam rangka perubahan sikap dan pola pikir yang akan menjadi kebiasaan bagi
siswa yang bersangkutan. Sedangkan menurut Mulyasa (2007:14), pembelajaran
merupakan proses yang sengaja direncanakan dan dirancang sedemikian rupa
dalam rangka memberikan bantuan bagi terjadinya proses belajar.

Berarti

pembelajaran tidak hanya merupakan transfer ilmu dari guru ke siswa, melainkan
siswa yang membangun pengetahuannya melalui komunikasi atau diskusi antar
siswa dan siswa dengan guru berdasarkan dengan skenario pembelajaran yang
telah dirancang oleh guru.

Guru berperan dalam menentukan bagaiman sutu proses pembelajaran tersebut
berlangsung. Hal ini berdasarkan pendapat Dimyati dan Mudjiono (1999: 297)
yang menyatakan pembelajaran adalah kegiatan guru secara terprogram dalam
desain instruksional, untuk membuat siswa belajar secara aktif, yang menekankan
pada penyediaan sumber belajar.

Guru merancang skenario dalam rangka

9
menciptakan suasana yang memungkinkan

terjadinya komunikasi yang

menghubungkan pengetahuan awal siswa dengan pengetahuan yang baru. Dalam
hal ini siswa sendirilah yang mengalami proses membangun suatu pola atau
keterkaitan suatu konsep dengan konsep yang lain sehingga akan melekat dengan
baik di benak siswa.

Dalam pembelajaran yang berpusat pada siswa, guru diharapkan dapat berperan
sebagai fasilitator yang akan memfasilitasi siswa dalam belajar, dan siswa
sendirilah yang harus aktif belajar dari berbagai sumber belajar. Hal ini sejalan
dengan kurikulum 2013 di mana kegiatan pembelajaran berpusat pada siswa,
mengembangkan kreativitas, kontekstual, menantang dan menyenangkan,
menyediakan pengalaman belajar yang beragam, dan belajar melalui berbuat
sehingga diperlukan
pembelajaran.

partisipasi yang tinggi dari siswa dalam kegiatan

Untuk itu, guru perlu menemukan cara terbaik bagaimana

menyampaikan berbagai konsep yang diajarkan di dalam mata pelajaran yang
diampunya, sehingga semua siswa dapat menggunakan dan mengingatnya lebih
lama konsep tersebut dan bagaimana setiap konsep dipahami sebagai bagian yang
saling berhubungan dan membentuk satu pemahaman yang utuh. Guru perlu
dapat berkomunikasi secara efektif dengan siswanya yang selalu bertanya-tanya
tentang alasan dari sesuatu, arti dari sesuatu, dan hubungan dari apa yang mereka
pelajari, serta dapat membuka wawasan berpikir yang beragam dari siswa,
sehingga mereka dapat mempelajari berbagai konsep dan mampu mengkaitkannya
dengan kehidupan nyata.

10
Dalam mendesain pembelajaran, penting bagi guru untuk mempertimbangkan
tingkat perkembangan siswanya.

Menurut teori Piaget (Widyantini, 2010:4)

perkembangan intelektual seseorang hingga dewasa terbagi atas empat tahap yaitu
1. Tahap sensorik motorik (0 – 2 tahun)
2. Tahap pra operasional (2 – 7 tahun)
3. Tahap operasional konkrit (7 – 11 tahun)
4. Tahap formal (lebih dari 11 tahun)

Selain Piaget ahli lain mengemukakan pendapatnya tentang perkembangan belajar
seseorang adalah Bruner. Bruner (Widhyantini, 2010:4) membagi proses belajar
siswa menjadi tiga tahap yaitu tahap enaktif, ikonik dan simbolik.
1. Tahap Enaktif
Pada tahap ini, siswa dituntut untuk mempelajari pengetahuan dengan
menggunakan benda konkrit atau menggunakan situasi nyata bagi para
siswa.
2. Tahap Ikonik
Setelah mempelajari pengetahuan dengan benda nyata atau benda konkrit,
tahap berikutnya adalah tahap ikonik yaitu siswa mempelajari suatu
pengetahuan dalam bentuk gambar atau diagram sebagi perwujudan dari
kegiatan yang menggunakan benda konkrit atau nyata.
3. Tahap simbolik
Selain dua tahap diatas masih ada satu tahap lagi yaitu tahap simbolik
dimana siswa mewujudkan pengetahuannya dalam bentuk simbol-simbol
abstrak. Dengan kata lain siswa harus mengalami proses berabstraksi.

Berdasarkan teori di atas, siswa tingkat SMP merupakan peralihan dari tahap
operasional konkrit menuju ke tahap formal. Oleh karena itu, agar siswa dapat
menguasai konsep-konsep matematika yang bersifat abstrak maka dalam
membelajarkan matematika kepada siswa masih diperlukan azas peragaan.
Karenanya ketika proses pembelajaran matematika berlangsung sudah seharusnya
menggunakan model atau benda nyata (benda konkrit) yaitu alat peraga yang

11
dapat digunakan sebagai jembatan bagi siswa untuk berpikir abstrak berkaitan
dengan topik-topik tertentu yang dapat membantu pemahaman siswa.

Kegiatan pembelajaran dengan menggunakan menggunakan alat peraga sangat
besar peranannya bagi keberhasilan belajar siswa. Dengan menggunakan alat
peraga siswa dapat melihat, meraba, mengungkapkan dengan memikirkan secara
langsung obyek yang sedang mereka pelajari. Sehingga konsep abstrak yang
sedang dipelajari dapat dipahami dengan baik, melekat dan tahan lama dibenak
pikiran siswa. Penggunaan alat peraga erat kaitannya dengan aspek penanaman
konsep, pemahaman konsep, selanjutnya siswa dapat memahami secara logis
hubungan antar konsep dengan yang lain. Selain itu, penggunaan alat peraga
pembelajarn akan lebih menyenangkan sehingga dapat meningkatkan motivasi
serta minat belajar siswa.

2. Pendekatan Kontekstual

Guru memiliki peranan dalam merancang skenario pembelajaran yaitu dalam
pemilihan pendekatan pembelajaran. Menurut Komalasari (2010:54) pendekatan
pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap
proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu
proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginspirasi,
menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoritis tertentu.
Oleh karena itu, dalam pemilihan pendekatan pembelajaran guru hendaknya
menggunakan pendekatan pembelajaran yang dapat memotivasi siswa untuk
berpartisipasi aktif dalam pembelajaran.

12
Guru dapat menerapkan pendekatan belajar seperti yang disebutkan oleh Roy
Killen (Sanjaya, 2006:127) bahwa terdapat dua pendekatan dalam pembelajaran,
yaitu pendekatan yang berpusat pada guru (teacher-centred approaches) dan
pendekatan yang berpusat pada siswa (student-centred approaches). Pendekatan
yang berpusat pada guru menurunkan strategi pembelajaran langsung (direct
instruction), pembelajaran deduktif atau pembelajaran ekpositori.

Sedangkan

pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa menurunkan strategi
pembelajaran discovery, inkuiri, dan strategi pembelajaran induktif. Berdasarkan
pemaparan di atas terlihat jelas bahwa pendekatan pembelajaran yang dapat
memotivasi siswa untuk berperan aktif dalam pembelajaran serta membangun
suatu pengetahuannya sendiri yaitu dengan menerapkan pendekatan pembelajaran
yang berpusat pada siswa.

Salah satu pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa adalah
pembelajaran kontekstual. Pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran
yang mengaitkan konsep dengan kehidupan sehari-sehari seperti yang
diungkapkan oleh Aqib (2013:4), pendekatan kontekstual atau disebut juga
contextual teaching and learning (CTL) adalah konsep belajar yang membantu
guru mengaitkan antara materi pembelajaran dengan situasi dunia nyata siswa,
dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya
dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Jadi pengetahuan
yang diperoleh siswa dibangun dengan mengaitkan pengetahuan tersebut dengan
kehidupan sehari-hari.

13
Peran aktif siswa dalam pembelajaran sangat diperlukan dalam rangka
membangun suatu pengetahuan seperti yang dinyatakan oleh Sanjaya (2006: 255)
bahwa Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk
dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi
kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam
kehidupan mereka.

Sehingga dengan peran aktif siswa dalam pembelajaran,

siswa tidak paham secara konsep akan tetapi mengerti manfaat dari suatu konsep
tersebut serta dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.

Pembelajaran kontekstual membantu siswa untuk menemukan makna dan manfaat
dari suatu konsep atau ide abstrak dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sejalan
dengan Hull’s dan Sounders (Komalasari, 2010:6) yang menyatakan bahwa dalam
pembelajaran kontekstual siswa menemukan hubungan penuh makna antara ideide abstrak dengan penerapan praktis di dalam konteks dunia nyata.

Siswa

menginternalisasi konsep melalui penemuan, penguatan, dan keterhubungan.
Pembelajaran kotekstual menghendaki kerja dalam sebuah tim, baik di kelas,
laboratorium, tempat bekerja, maupun bank. Pembelajaran kontekstual menuntut
guru mendesain lingkungan belajar yang merupakan gabungan beberapa bentuk
pengalaman untuk mencapai hasil yang diinginkan.

Dengan menciptakan lingkungan belajar dari berbagai bentuk pengalaman dapat
mendorong siswa untuk memunculkan ide atau pengetahuan dari pengalamanpengalaman yang di dapat oleh siswa pada kehidupan sehari-harinya.

Hal ini

dinyatakan oleh Sagala (2010: 87) bahwa pembelajaran kontekstual (Contextual

14
Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan
antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong
siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Ketika suatu konsep dibangun dari
pengetahuan yang dimiliki oleh siswa maka pengetahuan tersebut akan dipahami
dan terekam dengan baik oleh siswa tersebut.

Pembelajaran konstekstual dapat melibatkan siswa dalam pembelajaran yang
bermakna artinya siswa mengerti apa dan sadar dari apa yang mereka pelajari
karena dalam pembelajaran kontekstual terdapat beberapa komponen utama.
Menurut Ditjen Dikdasmen (2003:10-19) bahwa
”Terdapat tujuh komponen utama dalam pembelajaran kontekstual, yaitu:
a. Konstruktivisme (contructivism)
Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan
baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Pengetahuan
dibangun sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang
terbatas dan tidak dengan tiba-tiba.
Pengtahuan bukan merupakan
seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan
diingat, tetapi manusia harus mengonstruksi pengetahuan itu dan memberi
makna melalui pengalaman nyata.
b. Menemukan (inquiry)
Inquiry berarti proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan
penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Pengetahuan dan
keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat
seperangkat fakta-fakta, melainkan hasil dari menemukan sendiri melalui
siklus observasi, bertanya, mengajukan dugaan, pengumpulan data, dan
penyimpulan. Kata kunci dari strategi inquiry adalah siswa menemukan
sendiri.
c. Bertanya (questioning)
Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu bermula dari bertanya, karena
bertanya merupakan strategi utama dalam pembelajaran kontekstual. Dalam
sebuah pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya memiliki beberapa
kegunaan, yaitu:
1. Menggali informasi, baik administrasi maupun akademis.
2. Membangkitkan motivasi siswa untuk belajar.
3. Merangsang keingintahuan siswa terhadap sesuatu.
4. Memfokuskan siswa pada sesuatu yang diinginkan.

15

d.

e.

f.

g.

5. Membimbing siswa untuk menemukan atau menyimpulkan sesuatu
Masyarakat belajar (learning community)
Konsep learning community menyarankan agar hasil pembelajaran
diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dari
sharing antara teman, antar kelompok, dan dari yang tahu kepada yang
belum tahu. Dalam kelas yang menggunakan pendekatan kontekstual, guru
disarankan melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar.
Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok yang anggotanya heterogen.
Pemodelan (modelling)
Asas modelling adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu
sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa.
Refleksi (reflection)
Refleksi adalah proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari yang
dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian-kejadian atau
peristiwa pembelajaran yang telah dilaluinya.
Realisasinya dalam
pembelajaran antara lain sebagai berikut.
1. Pernyataan langsung, tentang apa-apa yang diperoleh hari itu.
2. Catatan atau jurnal di buku siswa.
3. Kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran hari itu.
4. Diskusi.
5. Hasil karya.
Penilaian yang sebenarnya (authentic assessment)
Penilaian nyata (authentic assessment) adalah proses yang dilakukan guru
untuk mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang
dilakukan siswa. Penilaian ini diperlukan untuk mengetahui keseriusan
siswa dalam pembelajaran, dan pengaruh pengalaman belajar siswa terhadap
perkembangan, baik intelektual maupun mental siswa.”

Berdasarkan pemaparan di atas, pada pembelajaran kontekstual, siswa tidak
sekedar

menghafal

materi

akan

tetapi

mengonstruksi

pengetahuannya.

Pengetahuan tersebut diperoleh dari pengetahuan siswa yang telah diketahui
sebelumnya kemudian dikembangkan melalui penemuan dan diskusi sehingga
terbentuk pengetahuan baru.

Terdapat prinsip-prinsip tertentu yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan
pembelajaran kontekstual.

Prinsip-prinsip tersebut seperti yang diungkapkan

Souders (Komalasari, 2010:8) bahwa
”Pembelajaran kontekstual difokuskan pada lima prinsip pembelajaran, yaitu:
a. Keterkaitan, relevansi (relating)

16

b.

c.

d.

e.

Proses pembelajaran hendaknya ada keterkaitan (relevansi) dengan bekal
pengetahuan (prerequisite knowledge) yang telah ada pada diri siswa, dan
dengan konteks pengalaman dalam kehidupan dunia nyata, seperti manfaat
untuk bekal kerja di kemudian hari.
Pengalaman langsung (experiencing)
Dalam proses pembelajaran, siswa perlu mendapatkan pengalaman langsung
melalui kegiatan eksplorasi, penemuan (discovery), inventori, investigasi,
penelitian, dan sebagainya.
Aplikasi (applying)
Applying adalah belajar dalam bentuk penerapan hasil belajar ke dalam
penggunaan dan kebutuhan praktis. Dalam praktiknya, siswa menerapkan
konsep dan informasi ke dalam kebutuhan kehidupan mendatang yang
dibayangkan.
Kerja sama (cooperating)
Cooperating adalah belajar dalam bentuk berbagi informasi dan
pengalaman, saling merespons, dan saling berkomunikasi. Bentuk belajar
ini tidak hanya membantu siswa belajar tentang materi, tetapi juga konsisten
dengan penekanan belajar kontekstual dalam kehidupan nyata. Dalam
kehidupan yang nyata siswa akan menjadi warga yang hidup berdampingan
dan berkomunikasi dengan warga lain.
Alih pengetahuan (transferring)
Transfering adalah kegiatan belajar dalam bentuk memanfaatkan
pengetahuan dan pengalaman berdasarkan konteks baru untuk mendapatkan
pengetahuan dan pengalaman belajar yang baru”.

Sehingga dalam pelaksanaan pembelajaran hendaknya masalah yang dimunculkan
disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan siswa sehingga akan timbul
ketertarikan siswa untuk mengeksplorasi dan memecahkan masalah tersebut.

Pembelajaran kontekstual menempatkan siswa dalam konteks bermakna yang
menghubungkan pengetahuan awal siswa dengan materi yang sedang dipelajari
dan sekaligus memperhatikan faktor kebutuhan individu siswa dan peran guru.
Sehubungan dengan itu, menurut Ditjen Dikdasmen (2003: 4-8) menjelaskan
bahwa
”pendekatan kontekstual harus menekankan pada hal-hal sebagai berikut:
1. Belajar berbasis masalah (problem-based learning), yaitu pendekatan
pengajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu
konteks bagi siswa untuk belajar tentang berpikir kritis dan keterampilan
pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep

17

2.

3.

4.

5.

6.

7.

yang esensi dari mata pelajaran. Dalam hal ini, siswa terlibat dalam
penyelidikan untuk pemecahan masalah yang mengintegrasikan
keterampilan dan konsep dari berbagai isi materi pelajaran. Pendekatan
ini mencakup pengumpulan informasi berkaitan dengan pertanyaan,
menyintesiskan, dan mempresen-tasikan penemuannya kepada orang
lain.
Pengajaran autentik (authentic instruction), yaituu pendekatan
pengajaran yang memperkenankan siswa untuk mempelajari konsep
bermakna. Pengajaran ini mengembangkan keterampilan berpikir dan
memecahkan masalah di dalam konteks kehidupan nyata.
Belajar berbasis inkuiri (inquiry-based learning) yang membutuhkan
strategi pengajaran yang mengakui metodologi sains dan menyediakan
kesempatan untuk pembelajaran bermakna.
Belajar berbasis proyek/tugas terstruktur (project-based learning) yang
membutuhkan suatu pengajaran komprehensif dimana lingkungan belajar
siswa (kelas) didesain agar siswa dapat melakukan penyelidikan terhadap
masalah autentik termasuk pendalaman materi suatu materi pelajaran,
dan melaksanakan tugas bermakna lainnya.
Pendekatan ini
memperkenankan siswa untuk bekerja secara mandiri dalam
mengonstruk (membentuk) pembelajarannya, dan mengulminasikannya
dalam produk nyata.
Belajar berbasis kerja (work-based learning) adalah suatu pendekatan
pengajaran yang memungkinkan siswa menggunakan konteks tempat
kerja untuk mempelajari materi pelajaran berbasis sekolah dan
bagaimana materi tersebut dipergunakan kembali di tempat kerja atau
sejenisnya, dan berbagai aktivitas dipadukan dengan materi pelajaran
untuk kepentingan siswa.
Belajar jasa layanan (service learning) yang memerlukan penggunaan
metodologi pengajaran yang mengombinasikan jasa layanan masyarakat
dengan struktur berbasis sekolah untuk merefleksikan jasa layanan
tersebut. Jadi, menekankan hubungan antara pengalaman jasa layanan
dan pembela-jaran akademis.
Belajar kooperatif (cooperatif learning) yang memerlukan pendekatan
melalui pendekatan kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam
memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar.

Sebagai usaha dalam pencaian tujuan pembelajaran, berikut ini langkah-langkah
pembelajaran matematika dengan pendekatan kontekstual (Nurhadi, 2004:4)
adalah:
1. Pendahuluan
a. Memulai pembelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang riil bagi
siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya (masalah
kontekstual) sehingga siswa segera terlibat dalam pembelajaran
bermakna.

18
b. Permasalahan yang diberikan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai
dalam pembelajaran tersebut.
2. Pengembangan:
a. Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model matematis
simbolik secara informal terhadap persoalan atau masalah yang diajukan.
b. Kegiatan pembelajaran berlangsung secara interaktif. Siswa diberi kesempatan menjelaskan dan memberi alasan terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban teman atau siswa lain, menyatakan
setuju atau tidak setuju terhadap jawaban yang diberikannya, memahami
jawaban teman atau siswa lain, dan mencari alternatif penyelesaian.
3. Penutup/penerapan:
Melakukan refleksi terhadap setiap langkah atau terhadap hasil
pembelajaran”.

Dengan demikian, pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang
memberdayakan siswa untuk membangun pengetahuan yang sudah ada pada
dirinya sebagai suatu pengalaman serta diperkaya dengan diskusi untuk dikaitkan
dalam materi pembelajaran untuk mengonstruksi pengetahuan baru sehingga akan
mendorong siswa untuk berperan aktif dalam pembelajaran dan memuculkan ideide sehingga memperoleh hasil belajar yang baik.

3.

Alat Peraga

Matematika dengan konsep-konsep abstrak yang terstruktur akan sulit dipahami
oleh siswa terlebih untuk siswa SMP yang tahap berfikirnya merupakan awal dari
tahap operasi formal. Dengan demikian, diperlukan model atau benda konkret
untuk menjembatani penalaran konsep matematika yang bersifat abstrak. Model
benda konkret yang digunakan untuk mengurangi keabstrakan konsep matematika
tersebut dinamakan alat peraga pembelajaran matematika. Hal ini berdasarkan
pendapat Sugiyono (2011:1), yang menyatakan bahwa
“Alat peraga matematika merupakan suatu perangkat benda konkrit yang
dirancang, dibuat, dihimpun atau disusun secara sengaja yang digunakan

19
untuk membantu menanamkan atau mengembangkan konsep-konsep atau
prinsip-prinsip dalam matematika”.
Dengan alat peraga hal-hal yang abstrak dapat disajikan dalam bentuk model
berupa benda konkrit yang dapat dilihat, dipegang diputarbalikkan sehingga
konsep mudah dipahami.

Perancangan atau penyusunan alat peraga disesuaikan dengan materi yang akan
dipelajari.

Menurut Estiningsih (Widyantini, 2010:5), alat peraga merupakan

media pembelajaran yang mengandung atau membawakan ciri-ciri dari konsep
yang dipelajari.

Penggunaan alat peraga yang mencirikan suatu konsep

memungkinkan siswa untuk mengetahui apa yang mereka pelajari sehingga
struktur konsep akan tergambar dengan jelas.

Alat peraga merupakan bagian dari media pembelajaran. Kata media sendiri
berasal dari bahasa latin dan merupakan bentuk jamak dari kata medium yang
secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Sedangkan menurut Sardiman
(2002:6), media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan
pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan,
perhatian, dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses
pembelajaran terjadi. Jadi, alat peraga merupakan benda konkrit yang digunakan
sebagai pengantar dalam pembelajaran sehingga terbentuk suatu konsep tertentu.

Alat peraga dipilih dan digunakan sesuai dengan tujuan pembelajaran yang
diharapkan tercapai kompetensinya oleh siswa.

Menurut Sumardiyono

(Widyantini, 2010:5-6) terdapat ada enam golongan alat peraga yaitu:

20
1. Models (memodelkan suatu konsep)
Alat peraga jenis model ini berfungsi untuk memvisualkan atau
mengkonkretkan (physical) konsep matematika.
2. Bridge (menjembatani ke arah konsep)
Alat peraga ini bukan merupakan wujud konkrit dari konsep matematika,
tetapi merupakan sebuah cara yang dapat ditempuh untuk memperjelas
pengertian suatu konsep matematika. Fungsi ini menjadi sangat dominan
bila mengingat bahwa kebanyakan konsep-konsep matematika masih
sangat abstrak bagi kebanyakan siswa.
3. Skills (mentrampilkan fakta, konsep, atau prinsip)
Alat peraga ini secara jelas dimaksudkan agar siswa lebih terampil dalam
mengingat, memahami atau menggunakan konsep-konsep matematika.
Jenis alat peraga ini biasanya berbentuk permainan ringan dan memiliki
penyelesaian yang rutin (tetap).
4. Demonstration (mendemonstrasikan konsep, operasi, atau prinsip
matematika)
Alat peraga ini memperagakan konsep matematika sehingga dapat dilihat
secara jelas (terdemonstrasi) karena suatu mekanisme teknis yang dapat
dilihat (visible) atau dapat disentuh (touchable).
Jadi, konsep
matematikanya hanya “diperlihatkan” apa adanya.
5. Aplication (mengaplikasikan konsep)
Jenis alat peraga ini tidak secara langsung tampak berkaitan dengan suatu
konsep, tetapi ia dibentuk dari konsep matematika tersebut. Jelasnya, alat
peraga jenis ini tidak dimaksudkan untuk memperagakan suatu konsep
tetapi sebagai contoh penerapan atau aplikasi suatu konsep matematika
tersebut.
6. Sources (sumber untuk pemecahan masalah)
Alat peraga yang kita golongkan ke dalam jenis ini adalah alat peraga yang
menyajikan suatu masalah yang tidak bersifat rutin atau teknis tetapi
membutuhkan kemampuan problem-solving yang heuristik dan bersifat
investigatif. Penyelesaian masalah yang disuguhkan dalam alat peraga
tersebut tidak terkait dengan hanya satu konsep matematika atau satu
keterampilan matematika saja, tetapi merupakan gabungan beberapa
konsep, operasi atau prinsip. Hal ini bermanfaat untuk melatih kompetensi
yang dimiliki siswa dan melatih ketrampilan problem-solving.”

Selain dipilih dan digunakan seseuai tujuan, menurut (Sugiyono, 2011:2) terdapat
manfaat praktis dari penggunaan alat peraga dalam proses pembelajaran yaitu
sebagai berikut :
a. Media dapat mengatasi berbagai keterbatasan pengalaman yang dimiliki oleh
siswa dua orang yang hidup di dua lingkungan yang berbeda akan mempunyai

21
pengalaman yang berbeda pula.

Dalam hal ini media dapat mengatasi

perbedaan-perbedaan tersebut.
b. Media memungkinkan adanya interaksi langsung antara siswa dengan
lingkungan.
c. Media menghasilkan keseragaman pengamatan
d. Media dapat menanamkan konsep dasar yang benar, konkrit dan realistis.
e. Media dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baru.
f. Media dapat membangkitkan motivasi dan merangsang siswa belajar
g. Media dapat memberikan pengalaman yang integral dari suatu yang konkrit
sampai kepada yang abstrak.

Sejalan dengan hal di atas, Hamalik (Sugiyono, 2011:2) mengemukakan bahwa
pemakaian media pembelajaran dapat membangkitkan keinginan dan minat yang
baru, membangkitkan motivasi, dan rangsangan kegiatan belajar, dan akan
membawa pengaruh-pengaruh psikologis terhadap siswa. Selain membangkitkan
motivasi dan minat siswa, media pembelajaran juga dapat membantu siswa
meningkatkan pemahaman, menyajikan data dengan menarik dan terpercaya,
memudahkan penafsiran data, dan memadatkan informasi.

Penggunaan alat

peraga dapat menarik respon siswa untuk belajar serta membantu siswa dalam
memahami materi yang sedang dipelajari.

Media pembelajaran memiliki berbagai fungsi yang sangat bermanfaat bagi siswa.
Menurut Levie & Lentz (Sugiyono, 2011:3), terdapat empat fungsi media
pembelajaran, khususnya media visual ,yaitu:
a. Fungsi atensi, media visual merupakan inti, yaitu menarik dan mengarahkan
siswa untuk berkonsentrasi kepada isi pelajaran. Seringkali pada awal

22
pelajaran siswa tidak tertarik dengan materi pelajaran yang tidak disenangi
sehingga mereka tidak memperhatikan .
b. Fungsi afektif, media dapat terlihat dari tingkat kenikmatan siswa ketika
belajar (atau membaca) teks yang bergambar. Gambar atau lambang visual
dapat mengubah emosi dan sikap siswa, misalnya informasi menyangkut
masalah sosial.
c. Fungsi kognitif, media dapat terlhat dari temuan-temuan penelitian yang
menggunakan bahwa lambang visual atau gambar memperlancar pencapaian
informasi atau pesan yang terkandung dalam gambar.
d. Fungsi kompensatoris, media pembelajaran terlihat dari hasil penelitian
bahwa media yang memberikan konteks untuk memahami teks membantu
siswa yang lemah dalam membaca atau mengorganisasikan informasi dalam
teks dan mengingatnya kembali. Dengan kata lain, media pembelajaran
berfungsi untuk mengakomodasi siswa yang lemah dan lambat dalam
menerima dan memahami isi pelajaran yang disajikan dengan teks atau
disajikan secara verbal”.

Berdasarkan pemaparan d