Masa Kolonialisme Belanda dan Inggris

2.3 Masa Kolonialisme Belanda dan Inggris

Pada masa kebesaran kerajaan Pajajaran, daerah Subang termasuk wilayah kerajaan tersebut. Sarana komunikasi di daerah Subang bagian utara yang penting diantaranya berupa jalan yang melalui Pamanukan dan Ciasem yang akhirnya juga bersambung dengan jalan raya Pajajaran di sebelah selatan di Karawang. Baik jalan yang melalui Pamanukan ke Ciasem maupun jalan yang dikenal dengan nama jalan raya Pajajaran, sebagai sarana perhubungan mempunyai arti penting bagi perkembangan bidang politik, sosial, dan ekonomi daerah Subang yang terletak di antara daerah Sumedang dan Karawang.

Peristiwa-peristiwa yang terjadi baik di Sumedang maupun di Karawang mempunyai pengaruh besar terhadap proses perkembangan sejarah daerah Subang. Karena itu dalam menelusuri sejarah Subang, kita tidak bisa terlepas dari tinjauan terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di daerah tersebut, khususnya Sumedang sebagai suatu pusat kekuasaan.

Seperti telah kita ketahui, kerajaan Pajajaran runtuh pada tahun 1579/1580 karena serangan tentara Banten. Waktu itu yang memerintah di Banten ialah Maulana Yusuf. Setelah kerajaan Pajajaran runtuh, munculah kerajaan baru yaitu Sumedang Larang. Kerajaan tersebut dianggap sebagai penerus Kerajaan Pajajaran. Wilayah Sumedang Larang terbentang antara Sungai Cisadane di sebelah barat sampai ke Cipamali di sebelah timur. Tetapi tidak termasuk dalam wilayah tersebut ialah bekas ibukota Pakuan Pajajaran dan sekitarnya yang telah jatuh di bawah kekuasaan Banten. Cirebon berada di bawah pemerintahan Panembahan Ratu daerah Galuh. Dari keterangan tersebut, jelaslah bahwa daerah Subang, setelah runtuhnya kerajaan Pajajaran merupakan salah satu daerah termasuk wilayah Sumedang Larang. Yang memerintah Sumedang Larang antara kira-kira tahun 1580-1608 ialah Geusan Ulun.

Menurut Asikin Widjajakoesoema dan R.. Moehamad Saleh, salah seorang putera Geusan Ulun dengan ratu Harisbaya yaitu Raden Rangga Nitinagara, merupakan tokoh yang menurunkan keluarga Wangsatanu yang memerintah sebagai bupati-bupati di Pagaden. Sedangkan menurut P. De Haan, pada tahun 1663 tersebutlah seorang tokoh namanya Kentol Wasentaka putera Kyai Anggawangsa yang memerintah Pamanukan. Dalam Babon Sejarah Loeloehoer Sumedang, Raden Anggawangsa tercatat sebagai putera Santoaan Wirakusuma dan

Santosaan Wirakusuma ini tiada lain adalah salah seorang adik dan Geusan Ulun. Baik Geusan Ulun maupun Santosan Wirakusuma adalah putera Pangeran Santri (1530-1579). Dengan demikian Anggawangsa dengan Nitingara saudara sepupu (misan). Dari keterangan ini dapat diketahui bahwa bupati-bupati yang memerintah di Pagaden dan Pamanukan mempunyai hubungan kekeluaigaan dengan para bupati Sumedang Larang.

Pada tahun 1620 Sumedang Larang ada di bawah pengaruh Mataram. Pada tahun 1628 dan 1629, Sultan Agung mengerahkan pasukan (angkatan) perangnya untuk mengusir VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) dari Batavia. Penyerangan terhadap Batavia ini melibatkan penduduk Priangan dalam peperangan. Penduduk yang masih kuat memanggul senjata di bawah pimpinan umbul (senapati) masing-masing, dikerahkan untuk memperkuat pasukan Mataram Yang memimpin para umbul dari Priangan menyerang kedudukan VOC di Batavia ialah Dipati Ukur. Mereka mula-mula berkumpul di Karawang dan dari sana melanjutkan perjalanannya menuju Batavia untuk merebut kota tersebut dari tangan VOC.

Pasukan Mataram yang hendak menyerang Batavia bertolak dengan kapal dari pelabuhan Tegal, mereka menyusur pantai utara Pulau Jawa. Setelah sampai di muara Sungai Cipunagara. sebagian dari pasukan Mataram mendarat di sana. Mereka menempuh jalan darat melalui Pamanukan-Ciasem-Karawang menuju Batavia.

Pada waktu itu persenjataan VOC lebih kuat. maka penyerangan pasukan Mataram itu berakhir dengan kegagalan. Faktor lain yang menyebabkan lemahnya pasukan Mataram yaitu karena kekurangan bahan makanan. Sehingga mereka Pada waktu itu persenjataan VOC lebih kuat. maka penyerangan pasukan Mataram itu berakhir dengan kegagalan. Faktor lain yang menyebabkan lemahnya pasukan Mataram yaitu karena kekurangan bahan makanan. Sehingga mereka

Setelah penyerangan terhadap Batavia tahun 1629 mengalami kegagalan, Sultan Agung menyadari akan pentingnya suatu daerah sebagai sumber bahan makanan atau daerah penunjang untuk memperkuat perjuangan tentaranya dalam menyerang Belanda di Batavia. Daerah yang terpilih untuk keperluan ini ialah Karawang dan Subang. Tetapi daerah tersebut terutama Karawang harus dibersihkan dahulu dan pengaruh Banten.

Yang diberi tugas oleh Sultan Agung untuk membersihkan daerah Karawang dari pengaruh Banten ialah Aria Surenggono dari Wirasaba karena itu ia dikenal sebagai Ana Wirasaba. Ia bertolak dengan kapal dari Tegal melalui Brebes, Cirebon, Indramayu, dan sampailah di muara Sungai Cipunagara. Di tempat itu bersama anak buahnya berlabuh, kemudian ia menempuh jalan darat menuju daerah Karawang.

Dalam perjalanan itu ia sampai di suatu tempat yang banyak pohon asemnya Tempat ini diberi nama Ciasem. Di Ciasem mereka beristirahat untuk beberapa waktu. Di sini ditinggalkannya sebanyak 40 orang tentara Mataram. Penempatan tentara di Ciasem ini dimaksudkan, untuk menjaga serangan musuh dari belakang dan juga untuk cadangan jika sewaktu-waktu kedudukan mereka di Dalam perjalanan itu ia sampai di suatu tempat yang banyak pohon asemnya Tempat ini diberi nama Ciasem. Di Ciasem mereka beristirahat untuk beberapa waktu. Di sini ditinggalkannya sebanyak 40 orang tentara Mataram. Penempatan tentara di Ciasem ini dimaksudkan, untuk menjaga serangan musuh dari belakang dan juga untuk cadangan jika sewaktu-waktu kedudukan mereka di

Dengan demikian di daerah Subang sebelah utara khususnya Ciasem terdapat tentara Mataram, yaitu sebagian dari anak buah Aria Wirasaba. Sedangkan daerah Pagaden dan Pamanukan ada di bawah pemerintahan bupati-bupati keturunan Sumedang menobatkannya ialah Rangga Gede. Penobatan tersebut teijadi pada tahun 1633 Dengan demikian di daerah Subang sebelah utara khususnya Ciasem terdapat tentara Mataram, yaitu sebagian dan anak buah Ana Wirasaba. Sedangkan daerah Pagaden dan Pamanukan ada di bawah pemerintahan bupati-bupati keturunan Sumedang.

Daerah Subang yang meliputi Pamanukan, Ciasem dan ke selatan antara lain Segalaherang dan sekitarnya, termasuk ke dalam prefektur Karawang. Penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan pertahanan yang dilakukan oleh H.W. Daendels sudah tentu memerlukan biaya, padahal hubungan dengan negeri Belanda terputus karena blokade Inggris. Hal ini mengakibatkan H.W. Daendels tidak mungkin mengharapkan bantuan keuangan dan pemerintah di Negeri Belanda. Karena itu H.W. Daendels dengan berbagai cara berusaha untuk mendapatkan uang di antaranya dengan jalan menjual tanah kepada pihak swasta.

Di antara tanah yang telah dijual oleh H.W. Daendels ialah Jasinga, Basuki, Panarukan, dan Probolinggo. Dengan demikian mulailah sejarah tanah-tanah swasta di Jawa. Penduduk yang menempati daerah tersebut juga turut terjual. Nasib mereka tergantung kepada para pemilik tanah. Kehidupan penduduk di sana Di antara tanah yang telah dijual oleh H.W. Daendels ialah Jasinga, Basuki, Panarukan, dan Probolinggo. Dengan demikian mulailah sejarah tanah-tanah swasta di Jawa. Penduduk yang menempati daerah tersebut juga turut terjual. Nasib mereka tergantung kepada para pemilik tanah. Kehidupan penduduk di sana

Gubernur Jenderal Jansens (1811), pengganti dari H.W. Daendels (1808- 1811), akhirnya pada Agustus 1811 terpaksa menandatangani kapitulasi tentang sebagai akibat dari kekalahan-kekalahan yang diderita tentara Belanda melawan Inggris. Dengan kapitulasi ini. Belanda menyerahkan kekuasaannya atas Jawa (Indonesia) kepada Inggris.

Tanggal 29 Agustus 1811 Inggris mengeluarkan proklamasi pertama tentang berdirinya kekuasaan Inggris di Indonesia. Kemudian tanggal 11 September dikeluarkan pernyataan bahwa Jawa dan semua daerah taklukannya (Jawa en onderhoorightien) menjadi milik The East India Company (EIC), suatu kongsi dagang Inggris.

Kongsi dagang EIC ini berpusat di Kalkuta dengan ptmpinannva yang berpangkat Gubernur Jenderal Ketika itu yang menjadi Gubernur Jenderal ialah Lord Mrnto. Untuk memerintah Indonesia diangkat Sir Thomas Stamford Raffles dengan pangkat Letnan Gubernur. Pengangkatannya itu terjadi pada tanggal 11 September 1811.

Untuk mengatur kembali pemerintahan, maka pada tanggal 18 Oktober 1811 The Order of the 18th October 1811 mengenai konstitusi pemerintahan di Jawa. Jawa dibagi atas 16 keresidenan dengan maksud untuk lebih menyederhanakan dan memudahkan jalannya pemerintahan. Daerah Subang ketika itu termasuk ke dalam administrasi Batavia dan Karawang (The Batavia Regencies Untuk mengatur kembali pemerintahan, maka pada tanggal 18 Oktober 1811 The Order of the 18th October 1811 mengenai konstitusi pemerintahan di Jawa. Jawa dibagi atas 16 keresidenan dengan maksud untuk lebih menyederhanakan dan memudahkan jalannya pemerintahan. Daerah Subang ketika itu termasuk ke dalam administrasi Batavia dan Karawang (The Batavia Regencies

Pemerintahan Inggris mengalami banyak kesulitan, terutama dalam segi keuangan. Raffles mempunyai bermacam-macam cara untuk mendapatkan sumber- sumber pemasukan keuangan bagi cara untuk mendapatkan sumber-sumber pemasukan keuangan bagi pemerintah. Di antaranya dengan monopoli penjualan garam dan bermacam-macam pajak. Dari tanah-tanah saja Raffles mengadakan landrente dan penjualan tanah-tanah. Khusus yang terakhir ini menyangkut antara lain nasib daerah Subang.

Selama awal tahun 1812, krisis keuangan meningkat. Untuk mengatasi krisis keuangan yang dihadapi perbendaharaan kolonial, Raffles memutuskan melakukan usaha drastis yang dianggap tepat dengan menjual tanah-tanah. Keputusan pemerintah untuk menjual tanah-tanah itu diadvertensikan dalam Java Government Gazette berturut-turut tanggal 5, 7. 14. 21 dan 28 November tahun 1812. Dalam advertensi itu disebut bahwa penjualan itu rencananya dengan cara lelang umum di Standhouse Batavia (Balai Kota yang sekarang menjadi Museum Jakarta) tanggal 1 Januan tahun 1813. Khusus untuk tanah- tanah yang termasuk daerah Karawang dibagi-bagi menjadi enam persil, di mana distrik Ciasem dan Pamanukan masuk persil 3 dan 4.

Ternyata lelang tersebut baru dapat dilaksanakan pada tanggal 25 Januari 1813 dengan persil 3 dibeli oleh J. Sharpnell seharga 35.000 sp. drs (dollar Spanyol) dan persil 4 dibeli oleh Muntinghe seharga 30.000 sp. drs. Akan tetapi kemudian Muntinghe menjual persil 4 ini kepada J. Sharpnell dan Ph. Skelton (kawan Sharpnell). Dengan demikian kedua orang inilah yang menjadi tuan tanah pertama, yang kemudian dikenal dengan Pamanoekan en Tjiasem Landen. Setelah J Shrapnell meninggal tahun 1815. pemilik tunggal tanah-tanah Pamanukan dan Ciasem (daerah Subang) ialah Ph. Skelton. yang meninggal tahun 1821. Kemudian pemilik tanah tersebut dipegang oleh orang-orang Inggris sampai tahun 1839, lalu dibeli oleh orang-orang Belanda swasta.