BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
MENGENAI TINDAK PIDANA PERKOSAAN
A. Tindak Pidana
Harkristuti Harkrisnowo tentang tindak pidana, merupakan suatu bentuk prilaku tindakan yang membawa konsekuensi sanksi hukuman pidana pada
siapapun yang melakukannya. Oleh karena itu, tidak sulit difahami bahwa tindak- tindak semacam ini layaknya dikaitkan dengan nilai-nilai mendasar yang
dipercaya dan dianut oleh suatu kelompok masyarakat pada suatu tempat dan waktu tertentu. Tidak mengherankan bahwa perbedaan ruang tempat dan waktu
juga akan memberikan perbedaan pada perumusan sejumlah tindak pidana.
1
Seperti yang terjadi antara hukum Positif dan hukum Islam, walaupun terdapat beberapa persamaan tetapi juga memiliki perbedaan yang mendasar mengenai
sudut pandangannya tentang hukum pidana itu sendiri. Dibawah ini akan dijelaskan mengenai tindak pidana menurut :
1. Hukum Positif
Istilah tindak pidana atau dalam bahasa Belanda, strafbaar feit, yang sebenarnya merupakan istilah resmi dalam strafwetboek atau Kitab Undang-
undang Hukum Pidana, yang sekarang berlaku di Indonesia. Ada istilah dalam
1
Hakristuti Hakrisnowo, Tindak Pidana Kesusilaan dalam Perspektif Kitab Undang- undang Hukum Pidana
, dalam Pandangam Muhammad Amin Suma, dkk, Pidana Islam di Indonesia
Pelaung,Prospek, dan Tantanagn, Jakarta : Pusaka Firdaus. 2001,h. 179.
20
21
bahasa asing, yaitu delic.
2
Delic menurut kamus hukum mengandung pengertian tindak pidana, perbuatan yang diancam dengan hukuman.
3
Menurut Dr. Hakristuti Hakrisnowo tindak pidana yakni suatu perilaku dikenakan ancaman pidana hanya apabila prilaku itu dipandang dapat
mengancam keseimbangan dalam masyarakat. Dalam hal ini, mungkin ada sejumlah perilaku yang dipandang “tidak baik” atau “bahkan buruk” dalam
masyarakat. Akan tetapi karena tingkat ancamannya kepada masyarakat dipandang tidak terlalu besar, maka perilaku tersebut tidak dirumuskan
sebagai suatu tindak pidana.
4
Sementara Simons,
memberikan definisi mengenal tindak pidana yakni
suatu perbuatan yang diancam pidana, melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan oleh orang yang dapat mempertanggungjawabkan perbuatan itu.
5
Unsur-unsur dalam tindak pidana, yakni : a.
Subjek tindak pidana Dalam pandangan KUHP, yang dapat menjadi subjek tindak pidana
adalah seseorang manusia sebagai oknum. Selain itu, suatu perkumpulan atau korporasi dapat juga menjadi subjek pidana.
6
2
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Bandung : PT. Refika Aditama, 2003, h. 59.
3
Soebekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Jakarta : Pradnya Paramita, 1972,h. 35.
4
Hakristuti Hakrisnowo, Tindak Pidana Kesusilaan, h. 180.
5
Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, Penerapan Syari’at Islam Konteks Modernitas,
Bandung : Asy-Syamil Prees Grafika, 2001,h. 132.
6
Ibid,h. 134.
22
b. Perbuatan dari tindak pidana
Unsur perbuatan dirumuskan dalam suatu tindak pidana formil, seperti pencurian pasal 362 KUHP perbuatannya dirumuskan
sebagai “mengambil barang”. c.
Hubungan sebab-akibat causal vervand Bahwa untuk tindak pidana sebagai unsur pokok harus ada suatu
akibat tertentu dari perbuatan si pelaku berupa kerugian atas kepentingan orang lain, menandakan keharusan ada hubungan sebab-
akibat causal vervand antara perbuatan si pelaku dan kerugian kepentingan tertentu, terdapat dua teori mengenal sebab-akibat ini
yakni :
Pertama dari Von Buri 1869 yang disebut teori condition sine que
non teori syarat mutlak yang mengatakan, suatu hal adalah sebab
dari suatu akibat ini tidak akan terjadi jika sebab itu tidak ada. Dengan demikian, teori ini mengenal banyak sebab dari suatu akibat.
Kedua dari Von Bar 1870 yagn kemudian diteruskan oleh
Van kriese yang disebut adequate veroorzaking penyebaban yang bersifat dapat dikira-kirakan, dan yang mengajarkan bahwa suatu hal
baru dapat dinamakan sebab dari suatu akibat apabila menurut
23
pengalaman manusia dapat dikira-kira bahwa sebab itu akan diikuti oleh akibat.
7
d. Sifat melawan hukum Onrechtmatigheld
Sebenarnya dalam setiap tindak pidana ada unsur melawan hukum, namun tidak semua tindak pidana memuatnya dalam rumusan. Ada
berbagai tindak pidana yang unsur melawan hukum disebutkan secara tegas, misalnya pasal 362 KUHP tentang pencurian, disebutkan bahwa
pencurian adalah mengambil barang yang sebagaian atau sepenuhnya kepunyaan orang lain dengan maksud untuk memiliki secara melawan
hukum.
8
e. Kesalahan Pelaku Tindak Pidana
9
Unsur kesalahan ini bisa berupa tanpa kesengajaan atau kealpaan. Kesengajaan tersebut dapat mengenai unsur perbuatan yang dilarang,
akibat yang dilarang atau sifat melawan hukumnya.
10
Selanjutnya, tindak pidana didalam KUHP dibagi kedalam dua jenis yakni kejahatan misdrijiven dan pelanggran overtredingen. Menurut
M.v.T pembagian atas dua jenis ini didasarkan atas perbuatan prinsipil. Dikatan, bahwa kejahatan adalah “rectsdeliten”, yaitu perbuatan-
perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam Undang-undang sebagai
7
Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Islam,h. 61-62.
8
Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, h. 134.
9
Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, h. 65.
10
Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, h. 134.
24
perbuatan pidana telah dirasakan sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum. Pelanggaran sebaliknya adalah
“wetsdelikntern”, yaitu perbutan-perbuatan yang bersifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan
demikian. Tindak pidana selain dibedakan dalam kejahatan dan pelanggaran,
dibedakan juga berdasarkan : a.
Cara Perumusannya 1
Delik Formil, pada delik ini yang dirumuskan adalah tindakan yang dilarang beserta halkeadaan lainnya dengan tidak
mempersoalkan akibat dari tindakan tersebut. 2
Delik Materil, yakni selain dari pada tindakan yang terlarang itu dilakukan, masih harus ada akibatnya yang timbul karena
tindakan itu, baru telah dikatakan telah terjadi tindak pidana tersebut sepenuhnya.
11
b. Cara Melakukan Tindak Pidana
12
1 Delik Komisi, yakni delik yang terdiri dari melakukan sesuatu
berbuat sesuatu perbuatan yang dilarang oleh aturan-aturan pidana.
11
E.Y. Kanter dan S.R Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya
, Jakarta : Storia Grafika, 2002,h. 237.
12
Ibid., h. 238.
25
2 Delik Omisi, yakni delik yang terdiri dari tidak berbuat atau
melakukan sesuatu padahal mestinya berbuat, misalnya delik yang dirumuskan dalam pasal 164. mengetahui suatu permufakatan
jahat untuk melakukan kejahatan yang disebut dalam pasal itu, pada saat masih ada waktu untuk mencegah kejahatan, tidak
segera melaporkan kepada instansi yang berwajib atau orang yang terkena.
3 Delikta commisionis peromissionem, yakni delik-delik yang
umumnya terdiri dari berbuat sesuatu, tetapi dapat pula dilakukan dengan tidak berbuat, misalnya seseorang ibu yang membunuh
anaknya dengan jalan tidak memberi makan kepada anak itu.
13
c. Adatidaknya pengulangan atau kelanjutannya
1 Delik Mandiri, adalah jika tindakan yang dilakukan itu hanya satu
kali saja, untuk mana petindak pidana. 2
Delik Berlanjut, adalah tindakan yang sama berulang dilakukan, dan merupakan atau dapat dianggap sebagai pelanjut dari tindakan
semula.
14
d. Berakhir atau Berkesinambungannya suatu Delik
1 Delik Berakhir
2 Delik Berkesinambungan
13
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia,h. 76.
14
Kanter dan S.R Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia,h. 238.
26
e. Keadaan Memberatkan dan meringankan
15
1 Delik Biasa
2 Delik diwalifisiar diperberat, yaitu delik yang mempunyai
bentuk pokok yang disertai unsur memberatkan, misalnya pasal 363.
3 Delik diprivisilir diperingan, yaitu delik yang mempunyai
bentuk pokok yang disertai unsur meringankan, misalnya dalam pasal 341 lebih ringan dari pada 342.
16
f. Bentuk Kesalahan Pelaku
1 Delik Sengaja Dolus, yakni suatu tindak pidana yang dilakukan
dengan sengaja, misalnya pembunuhan dengan berencana pasal 338 KUHP.
2 Delik Alpa culpa, yakni tindak pidana yang tidak sengaja,
karena kealpaannya mengakibatkan matinya seseorang. Contoh pasal 359 KUHP.
17
g. Cara Penuntutan
1 Delik Aduan, yakni suatu tindak pidana yang memerlukan
pengaduan orang lain, jadi sebelum ada pengaduan belum merupakan delik. Contoh : penghinaan.
15
Ibid., h. 238-239.
16
Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Yogyakarta :Ghalia Indonesia, 1978,h. 97.
17
J.B. Daliyo, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta : PT Prenhalindo, 2001, h. 94.
27
2 Delik Biasa bukan delik aduan, yakni semua tindak pidana yang
penuntutannya tidak perlu menunggu adanya pengaduan dari korban atau dari keluarganya, contoh : pembunuhan dan
penganiyaan.
18
2. Hukum Islam