Kajian Terhadap Aspek Sosiologis dan Historis dari Masyarakat Hukum Adat Dayak, Serta Permasalahan Yang Dihadapi Masyarakat

C. Kajian Terhadap Aspek Sosiologis dan Historis dari Masyarakat Hukum Adat Dayak, Serta Permasalahan Yang Dihadapi Masyarakat

1. Latar Belakang Wilayah

Aspek geografi merupakan salah satu aspek kondisi kewilayahan yang mutlak diperhatikan sebagai ruang dan subyek pembangunan. Aspek geografi memberikan gambaran mengenai karakteristik lokasi dan wilayah, potensi pengembangan wilayah. Dari uraian ini diharapkan dapat terpetakan potensi dan permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan Kabupaten Pulang Pisau, terutama dalam kaitannya dengan pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat.

Kabupaten ini mempunyai wilayah dengan luas 8.997 km2 atau sekitar 5.85% dari luas Kalimantan Tengah (153.564 km2). Wilayah Kabupaten Pulang Pisau terletak di daerah khatulistiwa, yaitu antara 10º sampai 0º Lintang Selatan dan 110º sampai 120º Bujur Timur. Secara administratif wilayah Kabupaten Pulang Pisau berbatasan dengan:

(1) Sebelah Utara berbatasan Kabupaten Gunung Mas; (2) Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Kapuas; (3) Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Katingan dan Kota

Palangka Raya;

(4) Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Jawa. 44

Secara administrasi pemerintahan Kabupaten Pulang Pisau dikepalai oleh Bupati dan Wakil Bupati yang juga membawahi koordinasi atas wilayah administrasi kecamatan yang dikepalai oleh Camat. Jumlah kecamatan yang ada di Kabupaten Pulang Pisau sebanyak 8 kecamatan

44 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Pulang Pisau 2013-2018, 7.

yang terdiri dari 95 desa dan 4 kelurahan. Ibukota Kabupaten Pulang Pisau terletak di Pulang Pisau.

Kecamatan yang memiliki luas wilayah terbesar adalah Kecamatan Sebangau Kuala yaitu seluas 3.801 km2 atau 42,25% dari total luas wilayah Kabupaten Pulang Pisau. Sedangkan kecamatan yang memiliki luas wilayah paling sempit adalah Kecamatan Kahayan Hilir dengan

persentase luas 4% dari luas wilayah Kabupaten Pulang Pisau. 45 Rincian luas wilayah masing-masing kecamatan dapat dilihat dalam table dibawah ini: No Nama

Persentase Jumlah Kecamatan

Ibukota

Luas

Kecamatan Wilayah

terhadap

Desa/Kelurahan

(Km2)

Luas Kabupaten

3 Pandih Batu Pangkoh

Bukit Rawi

Berdasarkan data dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Pulang Pisau tahun 2013, penggunaan lahan mengacu kepada

45 Ibid 8.

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pulang Pisau yang berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 2002 untuk Kawasan Hutan adalah seluas 5.095 km2, dengan rincian sebagai berikut:

(1) Kawasan Hutan lindung dengan Luas : 1.961 km2 (2) Kawasan Hutan gambut dengan Luas

: 2.789 km2 (3) Kawasan mangrove (bakau) dengan Luas : 280 km2 (4) Kawasan air hitam dengan Luas

: 65 km2

2. Aspek Sosiologis dan Historis dari Masyarakat Hukum Adat Dayak

a. Aspek Sosiologis Masyarakat Hukum Adat Dayak

Mengenai asal usul (geneologis) masyarakat hukum adat Dayak masih banyak perbedaan-perbedaan pendapat. Ada yang berpendapat bahwa suku Dayak berasal dari langit ke tujuh (tetek tatum), dan ada juga

yang berpendapat suku Dayak dari Proto Melayu. 46 Dari Kepercayaan Kaharingan, dikatakan bahwa nenek moyang suku Dayak diturunkan dari langit ketujuh dan diturunkan dengan ‘Palangka Bulau’ oleh ‘Ranying Hatalla Langit’, atau singkatnya oleh ‘Ranying’ dan ‘Hatalla’

yang dalam Bahasa Indonesia berarti ‘Tuhan’ atau ‘Allah’. 47 Menurut kajian sejarah dan arkeologi modern, nenek moyang suku Dayak berasal dari daerah Yunan yang datang secara bergelombang. Gelombang pertama adalah Melayu Tua (Proto Melayu) kemudian Melayu Muda. Dikarenakan kedatangan Melayu Muda, Melayu Tua terdesak masuk kepedalaman, karena peradaban dan kebudayaan Melayu Muda

lebih tinggi dibandingkan Melayu Tua (Dayak). 48

Suku Dayak tersebar di seluruh Kalimantan, kebanyakan dari mereka tinggal di daerah-daerah pedalaman dan perbukitan. Apabila dilihat dari aspek liguistik, maka ada 2 (dua) kelompok besar suku Dayak, yakni Dayak dan Bahasa Ngaju dari daerah Kahayan sampai

46 Hairus Salim, Masyarakat Dayak Meratus, Agama Resmi dan Emansipasi (PSPB, 2001) 11.

47 Ibid. 48 Wajidi, ‘Revitalisasi Hubungan Kekerabatan Etnis Dayak dengan Etnis Banjar’ (2002)

37 Kandil Journal 23, 40.

Kapuas, dan Dayak dan Bahasa Ot Danum yang banyak tersebar

diwilayah hulu. 49

Khusus untuk wilayah Propinsi Kalimantan Tengah dan Kabupaten Pulang Pisau pada khususnya, Suku Datak Ngaju adalah mayoritas utama. Namun Suku Dayak Ngaju sendiri terdiri dari 53 sub-sub suku. 50

b. Aspek Historis Masyarakat Hukum Adat Dayak

Menurut Tijik Riwut, 51 Masyarakat Hukum Adat Dayak di Kalimantan Tengah dan Kabupaten Pulang Pisau pada khususnya, memiliki ciri-ciri kekhususan, sebagai berikut:

1. Integrasi wilayah berdasarkan pertimbangan-pertimbangan etnis, sebagaimana berlaku umum di Indonesia, sudah sesuai dengan

aspirasi masyarakat seperti yang dinyatakan dalam istilah “Dewan Dayak Besar” atau “rumah orang dayak”. Dilihat dalam optik Pancasila dan “Bhinneka Tunggal Ika”, kenyataan yang demikian adalah manusiawi, dapat dikelola dan dapat ditoleransi (manageable dan tolerable) dalam kerangka integrasi wilayah dan nasional;

2. Berkembangnya bahasa Dayak Ngaju sebagai lingua franca di Kalimantan Tengah, bahasa Indonesia dan bahasa Melayu Banjar talah memainkan peranan yang integratif di antara suku-suku yang banyak dan terpencar-pencar. Kontak-kontak (interaksi) dengan Kalimantan Selatan jauh lebih intensif sejak dahulu jika dibandingkan dengan Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Kontak-kontak dibidang pemerintahan dan pembangunan terus berkembang diantara empat propinsi ini, termasuk proyek Trans Kalimantan;

3. Perpindahan penduduk dari daerah-daerah lain, terutama Banjar yang berlangsung sejak lama, Madura, Jawa, Bali, baik melalui transmigrasi berencana maupun spontan yang memberi warna

49 Ibid 45. 50 Ibid 55.

51 Tjilik Riwut, Kalimantan Membangun: Alam dan Kebudayaan, (PT Tri Wacana, Yogyakarta) 14.

pada wajah integrasi dan pembauran di daerah ini, dan akan membantu melenyapkan prasangka-prasangka negatif yang pernah ada terhadap penduduk di daerah ini. Kesadaran baru kian muncul

juga tentang kesatuan “darah” (nasional) Melayu Austronesia- Austroloid yang akan mendorong proses integrasi dan kerukunan;

4. Semangat bersaing dikalangan masyarakat Dayak memang cukup menonjol sebagaimana juga terdapat dikalangan masyarakat suku Batak (Koentjaraningrat, 1991). Kerajaan yang meliputi seluruh penduduk dan daerah Kalimantan Tengah memang belum pernah terjadi, malahan konflik antar suku yang berlangsung cukup lama.

Karena itulah menurut KHA. Usop, 52 Rapat Damai Tumbang Anoi merupakan satu tonggak sejarah peradaban yang penting. Adanya kekuasaan dan pemerintahan kolonial Belanda merupakan tantangan sekaligus sumbangan bagi integrasi masyarakat. Karena itulah perjalanan sejarahnya difokuskan pada proses integrasi yang berwujud pada Pakat Dayak I, II, III dan IV.

Tahap-tahap perkembangan integrasi masyarakat itu, diberi nama Pakat Dayak yang sudah sejak 1926 dipergunakan oleh tokoh-tokoh masyarakat Dayak sebagai nama sebuah organisasi dengan keanggotaan yang cukup luas di Kalimantan Tengah. Organisasi itu terutama bergerak di bidang pendidikan dan sosial. Hapakat dalam bahasa Dayak Ngaju berarti: 1).Mengerjakan sesuatu secara bersama-sama atau bekerjasama; 2).Merundingkan sesuatu bersama-sama, bermusyawarah, bermufakat; 3).Bergotong

dorong, saling menyumbangkan pikiran; 4).Berukun-rukun, berdamai, berintegrasi.

“Pakat” berarti hasil atau wujud kegiatan-kegiatan ”hapakat” yaitu kesepakatan atau mufakat.

Periode Pakat Dayak I (1859-1894) meliputi Perang Banjar dan Perang Barito

52 KHA Usop, Pakat Dayak: Sejarah, Integrasi dan Jatidiri Masyarakat Dayak dan Daerah Kalimantan Tengah, 23-45.

Perang Banjar (1859-1963) yang merupakan tahap terakhir runtuhnya Kerajaan Banjar setelah 1598 ketika VOC/Belanda menginjakkan kakinya di bumi Kalimantan. Pada 1845, 247 tahun kemudian, Gubernur Belanda yang pertama sudah berkedudukan di Banjarmasin, setelah dapat menguasai daerah pantai dan muara sungai yang merupakan “pintu” perdagangan atau ekonomi daerah Kalimantan Selatan dan Tengah. Dengan politik adu domba dan kekuatan bersenjata,

14 tahun kemudian, yaitu pada 1862, seluruh wilayah kerajaan Banjar dikuasai oleh Belanda, setelah Pangeran Tamdjidillah menyerah kepada Belanda (1859) dan disusul oleh Pangeran Hidayat pada 1862.

Reaksi masyarakat Dayak, khususnya masyarakat Barito, terhadap kekuasaan Belanda itulah yang menimbulkan “pakat” atau proses

integrasi, pembauran, rasa persatuan dan kesetiakawanan tidak hanya diantara masyarakat Banjar dan masyarakat Dayak, bahkan diantara kelompok-kelompok di dalam masyarakat Banjar dan di dalam masyarakat Dayak itu sendiri.

Periode Pakat Dayak II (1894-1926)

Meliputi masa bangkitnya kesadaran peradaban berupa kesediaan seluruh suku-suku Dayak di Kalimantan, terutama sekali di daerah- daerah pedalaman atau pehuluan sungai-sungai, untuk menghentikan kayau-mengayau dan permusuhan diantara mereka melalui perdamaian atau Rapat Damai Tumbang Anoi (1894).

Perdamaian itu menguntungkan bagi masyarakat adat Dayak, karena:

1. Dengan meredanya konflik diantara mereka, masyarakat Dayak dan tokoh-tokohnya dapat lebih memusatkan perhatian pada upaya melakukan perlawanan terhadap Belanda;

2. Masyarakat melangkah ke tahap perkembangan yang lebih beradab: berlakunya hukum adat, penghapusan perbudakan, penghentian kayau-mengayau. Mereka mulai mengenal organisasi dan administrasi kekuasaan, baik melalui kekuasaan

Belanda maupun melalui kekuasaan kesultanan yang diperkenalkan oleh Sultan Matseman;

3. Masyarakat kemudian diperkenalkan kepada pendidikan. Bahasa Melayu masuk sebagai bahasa penghubung dan bahasa resmi. Tulisan Latin pun sudah mulai dikenal, demikian pula tulisan Arab Melayu yang diperkenalkan oleh Sultan Matseman melalui surat-surat keputusannya;

4. Perdamaian itu menimbulkan suatu kesadaran etnik Dayak yang

masyarakat atau persatuan/kesatuan/kerukunan. Tekanan kekuasaan Belanda yang kian kuat lebih menumbuhkan integrasi itu tidak hanya dikalangan masyarakat Dayak itu sendiri, tetapi juga mengembangkan kesetiakawanan, pembauran dan integrasi dengan pasukan dan pengikut Sultan Matseman.

membantu

integrasi

Periode Pakat Dayak III (1926-1957)

Meliputi tahap perkembangan selanjutnya yang ditandai oleh lahirnya suatu organisasi masyarakat yang pertama dengan nama Serikat Dayak (1926), 30 tahun setelah Perdamaian Tumbang Anoi, 42 tahun setelah mulai berkobarnya perang perlawanan terhadap Belanda di pahuluan sungai-sungai Barito, Kapuas dan Kahayan, 64 tahun setelah jatuhnya Banjarmasin dan meluasnya perlawanan terhadap Belanda di Barito Hilir.

Organisasi yang dirintis sejak 1919 itu, dipelopori oleh tokoh-tokoh Islam dan Kristen yang telah mengenyam pendidikan Belanda/Barat. Pada mulanya bergerak di bidang sosial dan pendidikan, tetapi kemudian pada tahun 1938 ruang lingkup kegiatannya meliputi juga politik dan ekonomi.

cikal bakal persatuan/kesatuan/kerukunan masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah yang kemudian berwujud pada Kelahiran Provinsi Kalimantan Tengah pada 1957 di lingkungan Republik Indonesia. Perang Kemerdekaan dan semangat Proklamasi 17 Agustus 1945 merupakan dorongan yang sangat besar bagi pakat atau integrasi masyarakat.

Pakat Dayak

inilah

yang

merupakan

Karena itu, periode ini dapat disebut sebagai Kebangkitan Daerah I yang dapat disejajarkan dengan Kebangkitan Nasional I (Budi Utomo 1908), yang pada hakekatnya adalah suatu gerakan kebudayaan yang meliputi ruang lingkup politik, sosial, ekonomi, pendidikan, keagamaan dan seni budaya.

Kesadaran itu kian meningkat dalam masa pendudukan Jepang dan masa masa perjuangan kemerdekaan, sehingga berkembang menjadi

“Dewan Dayak Besar” yang akhirnya menjadi Propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah (1957).

Periode Pakat Dayak IV (1957-1992)

Meliputi masa perjuangan untuk mendirikan Propinsi Kalimantan Tengah yang terpisah dari Kalimantan Selatan. Dalam masa ini, proses interaksi dan integrasi diantara berbagai golongan masyarakat mengalami suasana yang cukup sulit. Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa latar belakang sejarah yang penuh dinamika interaksi dan integrasi

dalam bentuk kesatuan/persatuan/kerukunan, sehingga perjuangan itu didukung oleh semua golongan: baik dari golongan-golongan Islam, Kristen dan Kaharingan, maupun dari berbagai aliran sungai di Kalimantan Tengah. Nilai-nilai yang berkembang dalam periode itu, antara lain:

1. Munculnya kesadaran etnik Dayak menuju suatu kepribadian atau identitas daerah Kalimantan Tengah di dalam suatu kerangka nasional Republik Indonesia. Kesadaran inilah yang membawa lahirnya Provinsi Kalimantan Tengah dengan komposisi penduduknya yang sebagian besar Dayak, pembauran Dayak dan Melayu beserta kaum pendatang dari daerah-daerah Indonesia lainnya di pantai.

2. Kesadaran kebangsaan (nasionalisme) Indonesia yang telah ditempa oleh masa perlawanan terhadap penjajahan dan perjuangan kemerdekaan.

3. Kesadaran kebangsaan yang berlandas pada Pancasila, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika, telah mampu meningkatkan persatuan, 3. Kesadaran kebangsaan yang berlandas pada Pancasila, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika, telah mampu meningkatkan persatuan,

Periode Pakat Dayak V

Ditandai oleh kesadaran dan penghayatan yang kian mendalam akan semangat integrasi nasional dan daerah dikalangan tokoh-tokoh

masyarakat yang mengadakan Pertemuan “Bukit Raya” pada 5 Mei 1992 di Palangkaraya.

Dalam upaya membina dan mengarahkan perkembangan dan integrasi masyarakat di masa-masa yang akan datang, telah diselenggarakan Seminar Kebudayaan Dayak Kalimantan Tengah pada 24-25 Mei 1993 bertepatan dengan HUT Kalimantan Tengah ke 36 di Aula PT. Batang Garing Jaya di Palangkaraya. Seminar tersebut sekaligus merupakan persiapan untuk merayakan HUT ke 100 Rapat Damai Tumbang Anoi pada bulan Mei 1994.

3. Masalah yang dihadapi oleh Masyarakat Hukum Adat Dayak

Sebagai masyarakat asli (indigenous peoples), masyarakat hukum adat Dayak mengalami banyak kesulitan bertahan hidup dalam konstelasi modernisasi yang cenderung ekstraktif dan kapitalistik. Masyarakat adat pun menjadi termarjinalkan (marginalised people), baik secara ekonomi, politik dan juga budaya.

Tergerusnya nilai-nilai kearifan oleh nilai-nilai modernitas yang cenderung materialistik dan hedonis seolah ‘mengurung’ masyarakat adat Dayak dalam dilema berkepanjangan. Selain itu modernisasi dan

pembangunan ekstratif juga membawa konsekwensi hilangnya Sumber Daya Alam (SDA) komunal masyarakat hukum adat. Penguasaan turun temurun yang beralas pada kearifan lokal yang (sayangnya) kerap hanya lisan tergerus oleh legalitas sertifikat tanah, dan ijin konsesi yang dikeluarkan oleh pemerintah baik lokal maupun pusat.

Salah satu fakta yang diceritakan oleh salah satu responden dalam penelitian lapangan, disebutkan bahwa pada awal tahun 2004 telah terjadi praktek penebangan liar (illegal logging) di Kelurahan Kalawa,

Kecamatan Kahayan Hilir. Masyarakat adat Kalawa kemudian melayangkan surat keberatan terhadap praktek penebangan liar tersebut kepada aparat pemerintah daerah (Bupati Pulang Pisau) dan jajaran terkait (Kepala Dishutbun Pulang Pisau, Kepala Kacabjari Pulang Pisau dan DPRD Pulang Pisau). Selain itu masyarakat adat Kalawa juga melaporkan praktek penebangan hutan tersebut kepada aparat penegak hukum.

Pemerintah daerah merespon dengan membiayai survei kawasan hutan adat dan melakukan pengukuran kartografi terhadap wilayah adat Kalawa. Setelah proses survei dan pengukuran, masyarakat adat Kalawa secara unilateral mendeklarasikan wilayah hutan adat mereka berdasarkan SK Damang Kepala Adat Kahayan Hilir Nomor 04/SK/DKA- KH/VI/2005 pada tanggal 5 Juni 2005.

Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, juga merespon kejadian ini (dan beberapa kejadian-kejadian lain yang terjadi di Kabupaten lain di Kalimantan Tengah) dengan mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor

13 Tahun 2009 tentang Tanah Adat dan Hak-Hak Adat atas Tanah di Provinsi Kalimantan Tengah. Guna melindungi aset komunal masyarakat adat di Kalawa, pertemuan Mantir Adat kerap dilakukan guna mengkonsolidasi status kawasan hasil registrasi dan identifikasi oleh masyarakat adat. Namun sampai sekarang masih terjadi tarik-menarik kepentingan antara pihak- pihak yang berkepentingan.

Berdasarkan fakta-fakta diatas, Raperda ini bertujuan untuk memberi kesempatan-kesempatan strategik bagi masyarakat hukum adat Dayak di kabupaten Pulang Pisau untuk berkembang secara adil dan setara dalam bingkai modernisasi yang inklusif. Raperda ini berisi norma- norma pengakuan dan perlindungan, selain itu juga berisikan tentang tata cara dan proses untuk mendapatkan pengakuan hukum terhadap eksistensi masyarakat hukum adat dan sumber daya komunal mereka.

Dokumen yang terkait

ANALISIS PENGARUH PERATURAN PEMERINTAH NO.58 TAHUN 2005 TERHADAP AKUNTABILITAS KEUANGAN PEMERINTAH KABUPATEN BONDOWOSO

2 44 15

EFEKTIFITAS ISI PESAN MEDIA BANNER DALAM SOSIALISASI PERATURAN PENERTIBAN BERPENAMPILAN PADA PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MAHASISWA (Studi pada Mahasiswa FISIP UMM)

2 59 22

ANALISIS YURIDIS PERANAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI DALAM PENATAAN REKLAME BERDASARKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN REKLAME

2 64 102

EFEKTIVITAS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENEMPATAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI (PTKLN) BERDASARKAN PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NO.2 TAHUN 2004 BAB II PASAL 2 DI KABUPATEN BONDOWOSO (Studi Kasus pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupa

3 68 17

IMPLIKASI BERLAKUNYA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 72 TAHUN 2005 TENTANG DESA TERHADAP PEMERINTAHAN NAGARI DI SUMATERA BARAT

0 31 5

KAJIAN YURIDIS PENGAWASAN OLEH PANWASLU TERHADAP PELAKSANAAN PEMILUKADA DI KOTA MOJOKERTO MENURUT PERATURAN BAWASLU NO 1 TAHUN 2012 TENTANG PENGAWASAN PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH

1 68 95

PERSEPSI PESERTA DIDIK TERHADAP OPTIMALISASI PELAYANAN PENDIDIKAN BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 19 TAHUN 2005 TENTANG STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN DI SMA YP UNILA BANDAR LAMPUNG

0 13 72

RECONSTRUCTION PROCESS PLANNING REGULATORY FRAMEWORK IN THE REGIONAL AUTONOMY (STUDY IN THE FORMATION OF REGULATION IN THE REGENCY LAMPUNG MIDDLE ) REKONSTRUKSI PERENCANAAN PERATURAN DAERAH DALAM KERANGKA OTONOMI DAERAH (STUDI PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

0 34 50

RECONSTRUCTION PROCESS PLANNING REGULATORY FRAMEWORK IN THE REGIONAL AUTONOMY (STUDY IN THE FORMATION OF REGULATION IN THE REGENCY LAMPUNG MIDDLE ) REKONSTRUKSI PERENCANAAN PERATURAN DAERAH DALAM KERANGKA OTONOMI DAERAH (STUDI PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

0 17 50

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KEBIJAKAN KEMENTERIAN AGAMA DALAM PELAKSANAAN PERATURAN AKAD NIKAH DI KOTA BANDAR LAMPUNG TAHUN 2014

13 79 90