Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Petani Sayuran dalam Penggunaan Pestisida di Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara

PENGET
P
TAHUAN, SIKAP, DAN TIN
NDAKAN
N
PETAN
NI SAYUR
RAN DAL
LAM PEN
NGGUNA
AAN PES
STISIDA
DI KECA
AMATAN
N BATUR
R, KABUP
PATEN BANJARN
B
NEGARA
A


NA
ADHIRO
OH

DEPA
ARTEMEN
N PROTEK
KSI TANA
AMAN
FAKULT
TAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANI
P
IAN BOGO
OR
BOGOR
2013

ABSTRAK
NADHIROH. Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Petani Sayuran dalam

Penggunaan Pestisida di Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara. Dibimbing
oleh DADANG dan ALI NURMANSYAH.
Penggunaan pestisida pada tanaman sayuran umumnya dilakukan secara
intensif. Salah satu cara menekan penggunaan pestisida adalah dengan
menerapkan pengendalian hama terpadu (PHT), yang diperkenalkan oleh
pemerintah kepada petani melalui sekolah lapang pengendalian hama terpadu
(SLPHT). Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi perbedaan pengetahuan, sikap,
dan tindakan antara petani SLPHT dan non SLPHT dalam penggunaan pestisida,
serta hubunganya dengan karakteristik petani. Data penelitian diperoleh langsung
dengan cara wawancara menggunakan kuesioner terstruktur di tujuh desa di
Kecamatan Batur, dengan 105 petani SLPHT dan 105 petani non SLPHT, pada
bulan Februari hingga April 2013. Data kemudian diolah menggunakan uji MannWithney dan khi-kuadrat. Hasil uji menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara
pengetahuan, sikap, dan tindakan petani SLPHT dan non SLPHT, dan memiliki
hubungan satu sama lain. Pengetahuan dan sikap petani non SLPHT, serta sikap
petani SLPHT memiliki hubungan dengan pendidikan petani, sedangkan tindakan
petani SLPHT memiliki hubungan dengan status kepemilikan lahan dan
penghasilan total.
Kata kunci: PHT, SLPHT, non SLPHT

ABSTRACT

NADHIROH. Vegetable Farmer’s Knowledge, Attitude, and Practice in Using
Pesticides in the District of Batur, Banjarnegara Regency. Under supervised by
DADANG and ALI NURMANSYAH.
The use of pesticides in vegetables is done intensively. One strategy in order
to reduce the use of pesticides is by implementation of the concept of Integrated
Pest Management (IPM) which it has been introduced by government through the
Integrated Pest Management Field School (IPMFS). This study aimed to identify
differences in knowledges, attitudes, and practices IPMFS and non IPMFS
farmers in the use of pesticides, as well as the relation to the characteristics of the
farmers. The research data obtained directly by interviews using a structured
questionnaire in seven villages in District of Batur, with 105 IPMFS farmers and
105 non IPMFS farmers from February to April 2013. The data was then analyzed
using the Mann-Whitney test and chi-square. The results show that there is a
difference between knowledges, attitudes, and practices at IPMFS and nonIPMFS farmers, and have relationship with each other. Knowledges and attitudes
of non IPMFS farmers, as well as the attitudes of IPMFS farmers have a
relationship with the farmer education, while practices IPMFS farmers have a
relationship with the land ownership status and total income
Keywords: IPM, IPMFS, non IPMFS

© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

5

PENGETAHUAN, SIKAP, DAN TINDAKAN
PETANI SAYURAN DALAM PENGGUNAAN PESTISIDA
DI KECAMATAN BATUR, KABUPATEN BANJARNEGARA

NADHIROH

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian

pada
Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi: Keragaan Plasma Nutfah Padi (Oryza sativa) pada Kondisi Suhu
Tinggi
Nama
: Mildatus Noviarini
NIM
: A24090008

Disetujui oleh

Dr Desta Wimas, SP MSi
Pembimbing


Diketahui oleh

Tanggal Lulus:

I

1 OC ·

7
Judul Skripsi

: Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Petani Sayuran dalam
Penggunaan Pestisida di Kecamatan Batur, Kabupaten
Banjarnegara
Nama Mahasiswa: Nadhiroh
NIM
: A34090005

Disetujui oleh


Prof. Dr. Ir. Dadang, MSc
Pembimbing I

Dr. Ir. Ali Nurmansyah, MSi
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, MSi
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

9

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang

dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 ini ialah
Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Petani Sayuran dalam Penggunaan Pestisida di
Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Dadang, MSc. dan
Dr. Ir. Ali Nurmansyah, MSi., selaku dosen pembimbing atas bimbingan dan
arahannya. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada kepala desa
dan aparat desa Dieng kulon, Karang Tengah, Bakal, Kepakisan, Pekasiran,
Sumberejo, dan Batur atas kesediannya mengijinkan penulis mengambil data
penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Dul Sukur,
Ibu Sobiyah, dan keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. Selain itu, ucapan
terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada Ibu Soipah dan
Freddiyan Rosyid, yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran selama
proses pengambilan data, serta teman-teman PTN46 dan kost 3RRR, atas
masukan dan dukungannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2013
Nadhiroh

11


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hipotesis
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Pengambilan Contoh Petani dan Pengumpulan Data
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum
Karakteristik Petani
Karakteristik Budidaya Sayuran
Permasalahan Hama dan Penyakit
Pengetahuan Penggunaan Pestisida

Sikap terhadap Penggunaan Pestisida
Tindakan Penggunaan Pestisida
Hubungan antara Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

vii
viii
xi















11 
14 
16 
21 
25 
25 
25 
26 
28 
65 

13

DAFTAR TABEL

1
2
3
4

Pendapatan petani
Status kepemilikan dan luas lahan
Varietas tanaman sayuran yang dibudidayakan
Hubungan karakteristik petani terhadap pengetahuan mengenai
penggunaan pestisida
5 Hubungan karakteristik petani terhadap sikap tentang penggunaan
pestisida
6 Volume semprot yang digunakan oleh petani SLPHT dan non SLPHT
7 Hubungan karakteristik petani terhadap tindakan penggunaan  
pestisida




13 
16 
19 
21

DAFTAR GAMBAR

1 Jenis tanaman yang dibudidayakan oleh petani
2 Pola tanam yang dilakukan oleh petani
3 Perbedaan pengetahuan tentang pestisida antara petani SLPHT
dan non SLPHT
4 Sumber informasi dalam penggunaan pestisida
5 Perbedaan sikap pada penggunaan pestisida antara petani
SLPHT dan non SLPHT
6 Perbedaan tindakan dalam penggunaan pertisida antara petani
SLPHT dan non SLPHT
7 Perbedaan intensitas aplikasi pestisida pada tanaman kentang
pada musim hujan dan musim kemarau
8 Hubungan tingkat pengetahuan terhadap tingkat sikap petani
SLPHT dalam penggunaan pestisida
9 Hubungan tingkat pengetahuan terhadap tingkat tindakan petani
SLPHT dalam penggunaan pestisida
10 Hubungan tingkat sikap terhadap tingkat tindakan petani SLPHT
dalam penggunaan pestisida
11 Hubungan tingkat pengetahuan terhadap tingkat sikap petani
non SLPHT dalam penggunaan pestisida
12 Hubungan tingkat pengetahuan terhadap tingkat tindakan petani
non SLPHT dalam penggunaan pestisida
13 Hubungan tingkat sikap terhadap tingkat tindakan petani
non SLPHT dalam penggunaan pestisida



12 
14 
15 
17 
18 
22 
22 
23 
23 
24 
24 

15

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kuesioner penelitian
2 Rincian skoring pengetahuan, sikap, dan tindakan petani dalam
penggunaan pestisida
3 Rekapitulasi karakteristik petani
4 Rekapitulasi permasalahan hama tanaman sayuran di Kecamatan
Batur
5 Rekapitulasi permasalahan penyakit tanaman sayuran di Kecamatan
Batur
6 Rekapitulasi data pengetahuan dalam penggunaan pestisida oleh petani
7 Hasil uji perbedaan pengetahuan petani SLPHT dan non SLPHT
menggunakan uji Mann-Whitney
8 Tabel kontingensi dan hasil olah data khi-kuadrat hubungan
pengetahuan dengan karekteristik petani
9 Rekapitulasi data sikap dalam penggunaan pestisida oleh petani
10 Hasil uji perbedaan sikap petani SLPHT dan non SLPHT
menggunakan uji Mann-Whitney
11 Tabel kontingensi dan hasil olah data khi-kuadrat hubungan
sikap dengan karekteristik petani
12 Hasil uji perbedaan tindakan petani SLPHT dan non SLPHT
menggunakan uji Mann-Whitney
13 Rekapitulasi data tindakan dalam penggunaan pestisida oleh petani
14 Tabel kontingensi dan hasil olah data khi-kuadrat hubungan
tindakan dengan karekteristik petani
15 Tabel kontingensi dan hasil olah data khi-kuadrat hubungan
pengetahuan dan sikap petani SLPHT
16 Tabel kontingensi dan hasil olah data khi-kuadrat hubungan
pengetahuan dan tindakan petani SLPHT
17 Tabel kontingensi dan hasil olah data khi-kuadrat hubungan
sikap dan tindakan petani SLPHT
18 Tabel kontingensi dan hasil olah data khi-kuadrat hubungan
pengetahuan dan sikap petani non SLPHT
19 Tabel kontingensi dan hasil olah data khi-kuadrat hubungan
pengetahuan dan tindakan petani non SLPHT
20 Tabel kontingensi dan hasil olah data khi-kuadrat hubungan
sikap dan tindakan petani SLPHT

28
33
35
36
37
38
39
40
45
46
47
52
53
54
59
60
61
62
63
64

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sayuran merupakan salah satu kelompok tanaman hortikultura yang banyak
dibudidayakan di Indonesia. Menurut BPS dan Direktorat Jenderal Hortikultura
(2012), terdapat 25 jenis sayuran yang dibudidayakan di Indonesia. Sistem
budidaya tanaman di Indonesia, termasuk sayuran, sebenarnya diatur dalam
Undang-Undang nomor 12 tahun 1992. Penyelenggaraan budidaya tanaman
menekankan aspek keamanan lingkungan, khususnya pada pengolahan lahan,
pembuatan media tumbuh, dan pemeliharaan tanaman. Pemeliharaan tanaman
yang tertulis pada Undang-Undang tersebut tepatnya pasal 28 ayat 2, menyatakan
bahwa dalam pemeliharaan tanaman, setiap orang atau badan hukum dilarang
menggunakan sarana dan atau cara yang mengganggu kesehatan dan atau
mengganggu kesehatan manusia, menimbulkan gangguan dan kerusakan
sumberdaya alam dan atau lingkungan hidup. Salah satu cara pemeliharaan
tanaman yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan dan lingkungan adalah
dengan melakukan pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT)
menggunakan pestisida sintetik secara tidak bijaksana.
Menurut Sulistiyono (2012), penggunaan pestisida harus didasarkan pada
nilai ambang ekonomi (AE), namun kenyataan di lapangan penggunaan pestisida
masih menjadi prioritas utama. Penggunaan pestisida untuk mengendalikan OPT
sayuran sudah umum dilakukan oleh petani sayuran di Indonesia. Hasil penelitian
Gusfi (2002) menyatakan bahwa 86.0% petani sayuran di Cipanas melakukan
penyemprotan secara terjadwal dan 92.7% segera melakukan penyemprotan
sebelum gejala serangan hama atau penyakit muncul. Petani sayuran di Cianjur
mengaplikasikan pestisida sintetik secara terjadwal yang dimulai seawal mungkin
saat hama menyerang (Irfan 2008). Sebanyak lebih dari 63% petani kentang di
Pengalengan, Bandung melakukan pengendalian OPT menggunakan pestisida
(kimiawi) (Eslita 2010). Di Desa Sumber Rejo, Kecamatan Ngablak, Magelang,
Jawa Tengah, lebih dari sebagian petani sayuran melakukan pencampuran 2–5
jenis pestisida dalam satu kali aplikasi, dengan alasan agar tanaman terhindar dari
hama dan menghemat biaya (Yuantari 2009), sedangkan di Jawa Timur,
Sulistiyono (2012) menyatakan bahwa penggunan pestisida merupakan teknik
pengendalian hama dan penyakit tanaman sayuran yang paling banyak dilakukan
oleh petani sayuran di Jawa Timur. Penggunaan pestisida secara berlebihan dapat
memberikan dampak yang merugikan bagi tanaman, manusia, dan lingkungan.
Dampak tersebut diantaranya adalah resistensi, resurjensi, ledakan hama sekunder,
terbunuhnya organisme bukan sasaran, keracunan pada manusia, dan pencemaran
lingkungan. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk menekan penggunaan
pestisida sintetik adalah dengan menerapkan teknik pengendalian hama terpadu
(PHT).
Berdasarkan Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 pasal 20, perlindungan
tanaman dilaksanakan dengan sistem PHT. Sistem PHT adalah upaya
pengendalian yang dikembangkan dalam suatu kesatuan, untuk mencegah
timbulnya kerugian secara ekonomis dan kerusakan lingkungan hidup. Wudianto
(2008) menyatakan bahwa strategi PHT bukan eradikan atau pemusnahan,
pembasmian, atau pemberantasan, melainkan pembatasan. Menurut Oka (2005),

2
penggunaan pestisida yang bijaksana termasuk dalam konsepsi PHT yang telah
dikembangkan dan diterapkan secara luas di Indonesia baik untuk mengendalikan
hama tanaman pangan (padi, palawija, sayuran dataran rendah dan tinggi),
maupun untuk tanaman perkebunan. PHT diperkenalkan oleh pemerintah
Indonesia melalui program Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu
(SLPHT).
SLPHT merupakan salah satu usaha pokok dalam mencapai tujuan program
nasional PHT, dalam hal mengembangkan sumberdaya manusia (Kementan
1994). SLPHT merupakan cara yang sangat efektif untuk mencapai pertanian
yang berkelanjutan dalam kaitannya dengan PHT (Korani 2012). Berg dan Jiggins
(2007) meninjau bukti dari studi tentang investasi pendidikan yang dirancang
untuk memberi hak kepada petani untuk menerapkan PHT, menyimpulkan bahwa
SLPHT menunjukkan manfaat secara langsung dalam praktek PHT. Hasil
penelitian Rambe (2012) menyatakan bahwa pengalaman petani sayuran di
Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor yang mengikuti SLPHT berpengaruh
pada keputusan dalam melakukan pengendalian. Hasil penelitian Sulistiyono
(2012), menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara petani sayuran
di Jawa Timur yang telah mengikuti SLPHT dan tidak dalam penggunaan
pestisida, dilihat dari nilai distribusi frekuensi bahwa petani SLPHT lebih sedikit
dalam penggunaan macam pestisida jika dibandingkan dengan petani non SLPHT.
Beberapa petani sayur di Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, telah
mengikuti program SLPHT yang diselenggarakan oleh pemerintah. Kegiatan
SLPHT di kecamatan ini sudah dilakukan sejak tahun 1991 hingga 2010, yang
tersebar di 8 desa dan diikuti oleh 17 kelompok tani (PHP Banyumas 2012a).
Pada tahun 2011, LPHP Banyumas mengadakan kegiatan training of trainer
(TOT) SLPHT untuk alumni dan SLPHT kentang untuk alumni di Desa Bakal,
dan SLPHT kentang di Desa Karangtengah, Kecamatan Batur (PHP Banyumas
2012b). Berdasarkan data tersebut, seharusnya terdapat perbedaan pengetahuan,
sikap, dan tindakan petani sayuran di daerah tersebut dalam penggunaan pestisida
antara petani yang telah mengikuti SLPHT dan yang tidak mengikuti SLPHT.
Penelitian mengenai perbedaan hal tersebut perlu dilakukan, mengingat
Kabupaten Banjarnegara merupakan salah satu kabupaten sentra produksi sayuran
dataran tinggi di Indonesia (Rauf 1999).
Hipotesis
Ada perbedaan dan hubungan pengetahuan, sikap, dan tindakan petani
sayuran SLPHT dan non SLPHT, serta karakteristik yang mempengaruhinya
dalam penggunaan pestisida di Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi perbedaan pengetahuan, sikap, dan
tindakan petani sayuran dalam penggunaan pestisida serta karakteristik petani
yang mempengaruhinya, dan hubungan antara pengetahuan dengan sikap, sikap
dengan tindakan, dan pengetahuan dengan tindakan, pada dua sasaran, yaitu
petani yang telah mengikuti SLPHT dan tidak mengikuti SLPHT, di Kecamatan
Batur, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.

3
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian dapat dimanfaatkan oleh pemerintah, masyarakat
Kecamatan Batur, masyarakat Indonesia pada umumnya, perguruan tinggi, dan
institusi yang berkepentingan, sebagai bahan pertimbangan pengambilan
keputusan yang berkaitan dengan pengetahuan, sikap, dan tindakan petani sayuran
dalam penggunaan pestisida di Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Jawa
Tengah.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada tanggal 13 Februari hingga 10 April 2013, di
Desa Dieng Kulon, Karang Tengah, Bakal, Kepakisan, Pekasiran, Sumber Rejo,
dan Batur, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Penentuan
desa contoh dilakukan secara terpilih berdasarkan adanya petani alumni SLPHT di
Kecamatan Batur.
Pengambilan Contoh Petani dan Pengumpulan Data
Setiap desa contoh diambil 30 petani, yang terdiri dari 15 petani SLPHT dan
15 petani non SLPHT, sehingga terdapat 105 petani SLPHT dan 105 petani non
SLPHT. Petani kemudian diwawancarai secara langsung menggunakan kuesioner
terstruktur (Lampiran 1) di rumah atau di lapang, untuk mendapatkan data primer.
Pertanyaan di dalam kuesioner yang diajukan secara umum meliputi keberadaan
organisme bukan sasaran, pengertian pestisida, 5 tepat aplikasi pestisida, serta
pengelolaan pestisida dan alat semprot setelah aplikasi. Data sekunder diperoleh
dari desa contoh berupa profil desa dan informasi langsung yang diperoleh dari
aparat desa setempat.
Analisis Data
Analisis data dilakukan secara deskriptif untuk menjelaskan pengetahuan,
sikap, dan tindakan dalam penggunaan pestisida. Hasil wawancara kemudian
diskoring (Lampiran 2) dan ditentukan karegorinya dengan kriteria rendah (skor
terendah – (skor terendah + 33% dari jarak skor tertinggi–terendah)), sedang
((skor terendah + 33% dari jarak skor tertinggi–terendah) – (skor terendah + 67%
dari jarak skor tertinggi–terendah), dan tinggi ((skor terendah + 67% dari jarak
skor tertinggi–terendah) – skor tertinggi), kemudian diolah menggunakan uji
jumlah-peringkat Wilcoxon atau uji Mann-Whitney, menurut Supangat (2007):

Z

n n
N N

∑R

∑R

n

∑R

N

n n N
4 N

Keterangan:
N
: nx + ny
nx
: Banyaknya petani SLPHT
ny
: Banyaknya petani non SLPHT
Rx
: Rangking keseluruhan untuk variabel SLPHT saja
Ry
: Rangking keseluruhan untuk variabel non SLPHT saja
Uji Mann-Whitney dilakukan untuk mengetahui perbedaan pengetahuan,
sikap, dan tindakan antara petani SLPHT dan non SLPHT. Analisis hubungan
antara pengetahuan, sikap, dan tindakan, serta karakteristik yang
mempengaruhinya dilakukan menggunakan uji khi-kuadrat. Kedua analisis diolah
menggunakan program komputer Microsoft Excel 2007 dan SPSS versi 20.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum
Kecamatan Batur terletak di Kabupaten Banjarnegara, dengan batas wilayah
sebelah utara Kabupaten Batang, sebelah timur Kabupaten Wonosobo, sebelah
selatan Kecamatan Pejawaran, dan sebelah barat Kecamatan Wanayasa.
Kecamatan ini berada di Dataran Tinggi Dieng, dengan suhu udara 11–20 oC,
kecuali pada bulan Juni–Agustus mencapai kurang dari 5 oC, dan sering terjadi
embun upas/Frost. Curah hujan rata-rata 10 tahun terakhir (terhitung hingga tahun
2011) 3 046 mm, dengan jumlah hari hujan 182 hari/tahun. Luas wilayahnya 4
717.100 ha, yang sebagian besar difungsikan sebagai lahan pertanian (64.6%) dan
hutan negara (22.5%). Jumlah penduduk sebanyak 21 153 jiwa. Sebanyak 15 319
jiwa memiliki mata pencaharian sebagai petani tanaman hortikultura. Tanaman
hortikultura yang dibudidayakan adalah kentang, kubis, bawang daun, wortel, dan
kacang merah, dengan luas panen terbesar pada tanaman kentang seluas 3 846 ha.
Kecamatan ini terdiri dari 8 desa, yaitu desa Batur, Sumberejo, Pasurenan,
Pekasiran, Kepakisan, Bakal, Karangtengah, dan Dieng Kulon. Pada setiap desa
terdapat kelompok tani. Jumlah kelompok tani di Kecamatan Batur sebanyak 74
kelompok tani, dan 8 Gapoktan.
Karakteristik Petani
Petani SLPHT maupun non SLPHT adalah laki-laki dan perempuan dengan
persentase laki-laki lebih besar daripada perempuan. Petani memiliki kisaran
umur yang relatif sama, yang berkisar antara 25 hingga lebih dari 44 tahun.
Jenjang pendidikan yang ditempuh petani SLPHT sebagian besar SD hingga
SLTA, sedangkan non SLPHT sebanyak 50% petani hanya menamatkan SD.
Meskipun demikian, petani non SLPHT yang menempuh pendidikan hingga S1
lebih besar dibanding dengan SLPHT. Jumlah tanggungan keluarga dapat dilihat
dari banyaknya anggota keluarga. Lebih dari 50% petani baik SLPHT maupun
non SLPHT memiliki jumlah anggota keluarga sebanyak 4–6 orang (Lampiran 3),
dengan rata-rata jumlah anggota keluarga yang sama yaitu 4 orang.
Seluruh petani yang diwawancarai memiliki pekerjaan utama sebagai petani,
dengan pengalaman bertani berkisar antara 1 hingga lebih dari 20 tahun, dengan
rata-rata pengalaman bertani yang sama, yaitu 14.3 tahun. Lebih dari 75% petani
tidak memiliki pekerjaan sampingan namun beberapa diantara mereka memiliki
pekerjaan sampingan (Lampiran 3). Pekerjaan sampingan yang paling banyak
dipilih adalah pedagang dan pegawai swasta paruh waktu. Pedagang merupakan
salah satu pekerjaan yang menjanjikan mengingat sebagian besar desa di
Kecamatan Batur merupakan kawasan wisata Dataran Tinggi Dieng. Di beberapa
desa di kecamatan ini juga terdapat pabrik jamur merang dan pembangkit listrik
tenaga panas bumi yang memberikan kesempatan kepada masyarakat di
sekitarnya untuk menjadi pegawai paruh waktu, tanpa harus meninggalkan
pekerjaan utamanya.
Sumber pendapatan petani berasal dari pekerjaan utamanya sebagai petani
dan pekerjaan sampingannya. Besar pendapatan dari bertani sangat beragam.
Pendapatan minimal petani sebesar Rp100 000, sedangkan maksimal pendapatan
hingga Rp100 juta, namun baik petani SLPHT maupun non SLPHT sebagian

6
besar memiliki pendapatan kurang dari 2 juta rupiah (Tabel 1). Salah satu faktor
yang mempengaruhi besarnya pendapatan bertani masyarakat di Kecamatan Batur
adalah luas lahan yang dimiliki. Pendapatan bertani per bulan per ha rata-rata
petani SLPHT lebih besar dibandingkan dengan petani non SLPHT. Petani
SLPHT memiliki rata-rata pendapatan sebesar Rp5 685 283/bulan/ha, sedangkan
petani non SLPHT hanya sebesar Rp4 237 729/bulan/ha. Pendapatan dari
pekerjaan sampingan tidak sebesar pendapatan dari bertani. Pendapatan yang
didapatkan dari pekerjaan sampingan petani SLPHT maupun non SLPHT
sebagian besar kurang dari Rp500 000.
Tabel 1 Pendapatan petani
Petani (%)
SLPHT
Non SLPHT

Pendapatan
Pendapatan dari bertani (Rp)
10000000
Pendapatan dari pekerjaan sampingan
(Rp)
2000000

33.33
22.86
14.29
2.86
9.52
17.14

47.62
18.10
16.19
3.81
6.67
7.62

41.18
17.65
17.65
5.88
17.65

33.33
29.17
12.50
12.50
12.50

Karakteristik Budidaya Sayuran
Status Kepemilikan dan Luas Lahan
Status kepemilikan lahan di Kecamatan Batur hampir semuanya berstatus
milik sendiri (Tabel 2). Pemilik lahan dan penyewa memiliki kuasa penuh atas
pengelolaan lahan, mulai dari perencanaan hingga pasca panen. Berbeda dengan
pemilik lahan dan penyewa, penggarap tidak memiliki hak pengambilan
keputusan pengelolaan atau hanya memiliki hak sebagian saja. Luas lahan yang
dimiliki petani SLPHT lebih besar dibandingkan dengan petani non SLPHT
(Tabel 2). Sebanyak 26.67% petani SLPHT memiliki luas lahan lebih dari 1 ha,
dengan luas lahan tertinggi 20 ha. Petani non SLPHT sebagian besar hanya
memiliki luas lahan kurang dari 1000 m2 hingga 5000 m2. Rata-rata luas lahan
petani non SLPHT adalah 1 ha, sedangkan petani SLPHT adalah 1.2 ha.
Jenis dan Varietas Tanaman Sayuran yang Dibudidayakan
Berdasarkan hasil survei, terdapat 4 tanaman sayuran yang dibudidayakan
petani di Kecamatan Batur, yaitu kentang, wortel, kubis, dan bawang daun. Lebih
dari 80% petani di Kecamatan Batur memilih menanam kentang daripada tanaman
lain. Sebagian besar dari mereka baik petani SLPHT maupun non SLPHT

7
menyatakan bahwa menanam kentang sudah menjadi kebiasaan yang diajarkan
oleh orang tua mereka secara turun-temurun. Mereka juga berpendapat bahwa
kentang memiliki nilai ekonomi yang tinggi, serta cocok ditanam di wilayah
tersebut. Selain kentang, petani juga menanam wortel dan kubis, dengan
persentase jumlah petani yang menanam hampir sama, sedangkan bawang daun
hanya ditanam oleh seorang petani non SLPHT (Gambar 1).
Tabel 2 Status kepemilikan dan luas lahan
Status kepemilikan dan luas lahan

Petani (%)
SLPHT
Non SLPHT

Petani responden (%)

Status kepemilikan lahan
Milik sendiri
Sewa
Penggarap
Luas lahan (m2)
10000

96.19
3.81
0.00

94.29
4.76
0.95

6.67
15.24
22.86
3.81
24.76
26.67

15.24
28.57
20.00
4.76
13.33
18.10

100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

SLPHT
non SLPHT

kentang

kubis

wortel

bawang
daun

Tanaman yang dibudidayakan
Gambar 1 Jenis tanaman yang dibudidayakan oleh petani
Varietas kentang yang ditanam oleh petani SLPHT sebagian besar adalah
granola, sedangkan petani non SLPHT lebih memilih menanam granola MZ
(Tabel 3). Granola MZ sebenarnya adalah varietas yang belum terdaftar di Pusat
Perlindungan Varietas Tanaman (PPVT) Kementan. Varietas ini merupakan hasil
seleksi dari varietas granola oleh seorang petani di Desa Karang Tengah yang
bernama Muhzoto, dan menempatkan bibit hasil seleksinya di keranjang yang
terdapat singkatan namanya (MZ). Varietas granola dan granola MZ memiliki
perbedaan pada tinggi tajuk, besar umbi, bentuk akar, lama hidup, dan ketahanan

8
terhadap penyakit. Varietas tanaman wortel yang ditanam petani terdiri dari
varietas new curoda dan varietas lokal, dengan prevalensi varietas new curoda
lebih tinggi daripada lokal. Alasan mereka lebih memilih varietas new curoda
daripada varietas lokal adalah umur tanam varietas new curoda lebih singkat
daripada lokal. Selain itu, hasil produksinya lebih besar dan memiliki penampilan
lebih menarik meskipun harga benih lebih mahal. Semua varietas kubis yang
dibudidayakan petani adalah grand 11, sedangkan varietas bawang daun tidak
diketahui (Tabel 3).
Tabel 3 Varietas tanaman sayuran yang dibudidayakan
Varietas tanaman
Varietas kentang
Granola
Granola MZ
Lokal
Varietas wortel
New curoda
Lokal
Varietas Kubis
Grand 11
Varietas bawang daun
(tidak diketahui)

SLPHTa

Petani (%)
Non SLPHTb

71.74
27.17
1.09

40.86
54.84
4.30

71.43
28.57

83.33
16.67

100.00

100.00

0.00

100.00

a

Jumlah petani SLPHT kentang = 92, petani kubis = 6, petani bawang daun = 0, petani wortel = 7.
b
Jumlah petani non SLPHT kentang = 93, petani kubis = 5, petani bawang daun = 1, petani wortel
= 6.

Pola Tanam yang Digunakan
Sebanyak 75.24% petani SLPHT melakukan rotasi tanaman. Petani non
SLPHT yang melakukan rotasi tanaman sebanyak 46.67%, namun tidak berbeda
jauh dengan jumlah petani yang masih menerapkan pola monokultur (43.81%)
(Gambar 2). Jumlah petani yang melakukan rotasi tanaman lebih tinggi daripada
monokultur karena sebagian dari mereka menyadari bahwa melakukan pola tanam
monokultur secara terus menerus menyebabkan hasil panen berkurang. Baik
petani SLPHT maupun non SLPHT yang menanam kentang melakukan rotasi
tanaman menggunakan tanaman kubis dan atau wortel, sedangkan yang menanam
kubis atau wortel melakukan rotasi tanaman menggunakan tanaman kentang.
Alasan penggunaan pola rotasi sebagian besar petani SLPHT adalah untuk
memutus siklus OPT. Pola tanam monokultur hanya dilakukan oleh petani yang
menanam kentang dan beberapa petani SLPHT yang menanam wortel dengan
tujuan menurunkan jumlah sista NSK. Alasan penggunaan pola monokultur
kentang sebagian besar petani non SLPHT adalah karena kebiasaan yang sudah
diajarkan secara turun-temurun.
Jumlah petani yang melakukan pola tumpang sari antara petani SLPHT dan
non SLPHT sama (Gambar 2). Tanaman tumpangsari yang mereka gunakan
adalah bawang daun, jagung, seledri, wortel, kacang kapri, kacang babi, dan atau
cabe dieng. Alasan penggunaan pola tumpang sari adalah hasil dari tanaman
tumpangsari dapat memberikan tambahan pendapatan atau sekedar memenuhi

9
kebutuhan konsumsi sehari-hari. Jumlah petani yang melakukan bera juga sama
antara petani SLPHT dan non SLPHT. Alasan mereka melakukannya untuk
memutus siklus OPT dan berdasarkan pangalaman mereka, melakukan bera dapat
mencegah penyakit layu bakteri.
Petani responden (%)

100
80
60
40

SLPHT

20

non SLPHT

0
monokultur

rotasi
tanaman

tumpang sari

Pola tanam
Gambar 2 Pola tanam yang dilakukan oleh petani
Permasalahan Hama dan Penyakit
Permasalahan Hama
Sebagian besar hama yang menyerang tanaman kentang di Kecamatan Batur
adalah trips, Liriomyza sp., kutu daun, dan kutu kebul (Lampiran 4). Tingkat
keempat serangan hama tersebut antara sedang hingga berat. Trips dan Liriomyza
sp. adalah hama yang menyerang seluruh tanaman kentang di kecamatan ini.
Tingkat serangan hama ini umumnya sedang. Kutu daun juga menjadi masalah
pada budidaya tanaman kentang. Hama ini juga menjadi vektor virus pada
tanaman kentang. Tingkat serangan berat paling banyak dikeluhkan petani akibat
serangan kutu kebul (Bemisia tabaci). Berdasarkan pengalaman mereka, B. tabaci
agak sulit dikendalikan karena ketika disemprot hama tersebut terbang, kemudian
kembali lagi beberapa saat setelah disemprot, sehingga harus menggunakan
perekat yang banyak pada saat penyemprotan.
Hama uret hanya menjadi masalah pada tanaman kentang di beberapa desa
saja, yaitu di Desa Dieng Kulon, Karang Tengah, dan beberapa di Desa Bakal.
Hama tersebut menyerang pada musim kemarau dan menyebabkan kerusakan
yang cukup tinggi. Selain itu, terdapat juga hama vertebrata, yaitu musang dan
babi hutan. Kedua hama tersebut juga menyebabkan kerusakan tinggi, terutama
pada lahan-lahan di perbatasan lahan masyarakat dan lahan gunung (bekas hutan).
Hama yang lain, baik oleh petani SLPHT maupun non SLPHT, dirasa tidak
menimbulkan kerusakan yang cukup berarti.
Hama kubis yang banyak dikeluhkan petani adalah ulat tanah, Plutella sp.,
dan Crocidolomia sp.. Tingkat serangan keempat hama tersebut rendah–sedang.
Crocidolomia sp. atau ulat krop dikeluhkan oleh semua petani SLPHT yang
menanam kubis. Ulat tersebut dapat menyebabkan kerugian yang nyata bagi
petani. Pada bawang daun, hama yang menjadi masalah bagi petani adalah kutu
kebul dan kutu daun, sedangkan hama pada wortel adalah ulat daun (Lampiran 4).

10
Permasalahan Penyakit
Permasalahan penyakit yang paling utama pada kentang di Kecamatan Batur
adalah busuk daun, layu, dan nematoda sista kentang (NSK) (Lampiran 5). Busuk
daun yang disebabkan oleh Phytophthora infestans merupakan penyakit tanaman
kentang yang umum ada di Kecamatan Batur. Penyakit ini umumnya terjadi pada
musim hujan dengan intensitas serangan sedang hingga berat. Keadaan cuaca
seperti suhu dan curah hujan di wilayah ini memang mendukung untuk
perkembangan patogen tersebut. Menurut Semangun (2007), pada suhu 10–25 oC,
dan jika tersedia air, konidium akan membentuk zoospora dalam waktu ½-2 jam,
dan zoospora tersebut akan membentuk pembuluh kecambah dalam waktu 2–2 ½
jam. Penyakit layu atau sering disebut ‘lier’ oleh masyarakat sekitar, merupakan
penyakit yang tidak jarang menyebabkan kerugian besar, terutama pada tanah
dengan drainase yang buruk. Penyakit layu ini terdiri dari layu bakteri dan layu
fusarium. Namun, yang sering ditemui di wilayah ini adalah layu bakteri. Penyakit
ini termasuk yang sangat dikhawatirkan karena belum ada cara yang efektif untuk
mengendalikannya, dan menjadi masalah di hampir seluruh desa di kecamatan ini.
Berbeda dengan busuk daun dan layu, penyakit akibat NSK dengan serangan berat
hanya terjadi di sekitar Desa Dieng Kulon, Karangtengah, dan Bakal. Ketiga desa
tersebut adalah desa tertinggi di Kecamatan Batur. Berdasarkan hasil penelitian
Lestari (2012), semakin tinggi suatu lokasi, semakin tinggi juga jumlah sista NSK
yang ditemukan.
Penyakit utama pada kubis di kecamatan ini adalah akar gada dan busuk
hitam (Lampiran 5). Penyakit akar gada dikeluhkan oleh seluruh petani yang
menanam kubis. Tingkat serangan penyakit termasuk berat, dan juga merupakan
kendala utama bagi petani yang ingin menanam kubis. Penyakit ini sering menjadi
penyebab gagal panen kubis. Penyakit busuk hitam dikeluhkan dengan tingkat
serangan sedang hingga berat, dan terjadi pada musim hujan. Kerugian langsung
yang dirasakan petani adalah menurunnya nilai jual. Pada wortel, penyakit yang
menyerang adalah penyakit busuk daun (Lampiran 5). Baik penyakit maupun
hama pada wortel hanya dirasakan oleh petani yang sudah lama menanam wortel,
dan serangan keduanya tidak dirasa berat.
Cara perhitungan beratnya serangan hama maupun penyakit petani non
SLPHT dilakukan berdasarkan tingkat kesulitan pengendaliannya. Petani SLPHT
juga melakukan hal yang sama, namun beberapa dilakukan atas dasar perkiraan
gejala secara keseluruhan dan perhitungan gejala per 10 tanaman terserang.
Perhitungan gejala per 10 tanaman terserang merupakan cara yang dipelajari pada
saat SLPHT berlangsung. Meskipun demikian, terdapat juga petani non SLPHT
yang melakukan perhitungan tersebut. Tiga petani dari 4 petani yang melakukan
perhitungan tersebut mengetahui dari keikutsertaan mereka pada pelatihanpelatihan pertanian.
Cara Pengendalian
Sebanyak 97.14% petani SLPHT dan 99.05% petani non SLPHT melakukan
pengendalian hama dan penyakit. Tiga petani SLPHT dan 1 petani non SLPHT
lainnya tidak melakukan pengendalian hama dan penyakit pada tanaman yang
mereka budidayakan, yaitu tanaman wortel. Keseluruhan petani non SLPHT
menggunakan pestisida sintetik sebagai alternatif utama pengendali hama dan
penyakit. Alasan petani non SLPHT menggunakan pestisida sintetik karena

11
pestisida sintetik lebih efektif dalam mengendalikan hama dan penyakit
dibandingkan dengan pengendalian lain dan sudah menjadi kebiasaan yang sulit
untuk dihilangkan.
Sebanyak 74.29% petani SLPHT kembali menggunakan pestisida sintetik
sebagai alternatif utama pengendalian OPT. Mereka menyatakan bahwa jika
mereka menggunakan pestisida sintetik sebagai alternatif terakhir pengendalian
pada budidaya sayurannya, kemungkinan hasil panen tidak memuaskan atau
sekedar menutupi modal. Sementara itu, 27 petani SLPHT (25.71%) menjadikan
pengendalian kimiawi sebagai cara pengendalian utama. Mereka menyatakan
bahwa mereka mengetahui cara pengendalian lain seperti pengendalian fisik,
mekanik, biologi, dan nabati dari SLPHT. Beberapa petani melakukan
pengendalian secara biologi dan nabati terutama untuk mengendalikan hama, dan
secara mekanik untuk mengendalikan penyakit, terutama layu bakteri. Tanaman
yang digunakan sebagai insektisida nabati adalah bawang putih, daun sambiloto,
daun sirsak, daun mimba, serai, dan tembakau. Bawang putih dan tembakau
digunakan untuk mengendalikan kutu kebul. Beberapa diantaranya juga
memanfaatkan tanaman lokal yaitu daun gigil (Gynura procumbens) sebagai
insektisida nabati untuk mengendalikan uret. Pengendalian penyakit
menggunakan ekstrak tanaman dilakukan oleh 2 petani SLPHT menggunakan
kunyit, untuk mengendalikan busuk daun. Alasan petani SLPHT melakukan
pengendalian non pestisida sintetik sebagian besar karena untuk mengurangi
residu.
Sebanyak 17 petani non SLPHT juga melakukan tindakan pengendalian
selain menggunakan pestisida sintetik. Pengendalian lain yang mereka lakukan
adalah pengendalian nabati dan pengendalian mekanik. Tanaman yang digunakan
sebagai pengendali nabati umumnya sama dengan yang digunakan petani SLPHT.
mereka mengetahui cara pengendalian tersebut dari pelatihan-pelatihan yang
mereka ikuti, salah satunya pelatihan dari mahasiswa KKP/KKN. Pengendalian
secara mekanik juga mereka lakukan dengan pencabutan tanaman sakit untuk
penyakit layu bakteri. Alasan pengendalian secara mekanik untuk layu bakteri ini
baik petani non SLPHT maupun SLPHT adalah karena tidak ada alternatif
pengendalian lain.
Pengetahuan Penggunaan Pestisida
Perbedaan Pengetahuan Petani SLPHT dan Non SLPHT
Petani SLPHT maupun non SLPHT diberikan pertanyaan yang sama
mengenai pengetahuan mereka dalam penggunaan pestisida. Pertanyaan yang
diberikan meliputi keberadaan organisme bukan sasaran, pengertian pestisida,
jenis-jenis pestisida, cara aplikasi yang baik, 5 tepat aplikasi pestisida, pencucian
alat semprot sesudah penggunaan, penyimpanan pestisida, dan penggantian bahan
aktif pestisida (Lampiran 6). Pengetahuan tentang pestisida petani SLPHT
berbeda nyata dengan petani non SLPHT, pada taraf nyata 0.1% berdasarkan hasil
uji Mann-Whitney dengan nilai-P 0.000 (Lampiran 7). Terlihat pada Gambar 3
bahwa tingkat pengetahuan penggunaan pestisida petani SLPHT lebih baik
daripada petani non SLPHT. Pada petani non SLPHT, tingkat pengetahuan tinggi
hampir sama dengan tingkat pengetahuan sedang, sedangkan pada petani SLPHT,
tingkat pengetahuan tinggi mencapai lebih dari 70%. Perbedaan tingkat

12

Petani responden (%)

pengetahuan ini terlihat pada pengetahuan petani mengenai keberadaan organisme
bukan sasaran, cara aplikasi pestisida yang baik, dan 5 tepat aplikasi pestisida
(Lampiran 6).
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

SLPHT
non SLPHT

rendah

sedang

tinggi

Tingkat pengetahuan
Gambar 3 Perbedaan pengetahuan tentang pestisida antara petani SLPHT dan non
SLPHT
Jumlah petani non SLPHT yang mengetahui keberadaan organisme bukan
sasaran besar, namun lebih rendah dibandingkan dengan petani SLPHT.
Pengetahuan petani non SLPHT tersebut berdasarkan pengamatan yang mereka
lakukan. Organisme bukan sasaran menurut mereka adalah binatang yang tidak
mengganggu tanaman mereka. Sebagian besar petani non SLPHT menyatakan
bahwa laba-laba dan cacing adalah organisme bukan sasaran, namun mereka tidak
mengetahui bahwa laba-laba adalah musuh alami hama. Petani SLPHT
mengetahui keberadaan musuh alami di ladang mereka berdasarkan yang telah
mereka pelajari di SLPHT.
Seluruh petani SLPHT mengetahui bahwa pestisida adalah zat kimia yang
mengandung racun, sedangkan petani non SLPHT yang mengetahuinya sebanyak
95.24%, meskipun mereka menyebutkan pestisida sebagai obat. Sebagian besar
petani SLPHT dan non SLPHT juga mengetahui jenis-jenis pestisida (Lampiran
6). Hampir seluruh petani di wilayah ini menyebutkan insektisida sebagai racun,
dan fungisida kontak sebagai tepung. Sebagian besar dari mereka tidak
mengetahui adanya bakterisida dan nematisida, serta fungsinya. Mereka
mengetahui bahwa insektisida digunakan untuk mengendalikan hama berupa
serangga, dan fungisida untuk mengendalikan penyakit. Namun, sebagian besar
tidak mengetahui bahwa penyakit disebabkan oleh beberapa patogen yang
berbeda. Beberapa petani menyebutkan bahwa nematisida digunakan untuk
mengendalikan semua hama yang ada di dalam tanah, termasuk uret, orong-orong,
dan ulat tanah.
Sebagian besar petani non SLPHT mengetahui cara aplikasi pestisida
berdasarkan pengetahuan turun temurun dari orang tua mereka. Terdapat beberapa
petani yang mendapatkan pengetahuan dari orang lain yang mereka anggap sukses
dalam bertani. Pengetahuan cara aplikasi yang menurut mereka benar namun pada

13
kenyataannya kurang tepat adalah penyemprotan searah bedengan, tekanan
semprot rendah, tidak mengganti bahan aktif, penyemprotan dilakukan secara
terjadwal, dan pengulangan penyemprotan hingga 3 kali semprot. Beberapa petani
non SLPHT juga mengetahui cara aplikasi pestisida yang baik seperti tepat waktu,
sesuai petunjuk kemasan, pengabutan, searah angin, dan penggunaan pakaian
pelindung, walaupun tidak sebanyak petani SLPHT. Meskipun demikian, baik
petani SLPHT maupun non SLPHT masih banyak yang menyatakan bahwa
penyemprotan yang baik adalah penyemprotan yang merata, tanpa mempedulikan
cara penyemprotannya. Sebagian besar petani yang beranggapan demikian adalah
petani pemilik lahan atau penyewa yang tidak melakukan aplikasi pestisida
sendiri.
Lima tepat dalam aplikasi pestisida memang tidak umum diketahui oleh
petani, bahkan petani SLPHT pun tidak banyak yang mengetahui konsep tersebut.
Terdapat 48.57% petani SLPHT yang mengetahui konsep 5 tepat, sedangkan
petani non SLPHT yang mengetahui hanya 18.10%. Sebanyak 47.37% petani non
SLPHT (dari total petani yang mengetahui 5 tepat) mengetahui konsep tersebut
dari formulator pestisida yang melakukan penyuluhan produknya. Sumber
informasi lain didapatkan dari pendidikan formal, penyuluhan dari dinas
pertanian, kemasan pestisida, teman, dan membaca buku. Sebanyak 84.31%
petani SLPHT (dari total petani yang mengetahui 5 tepat) mengetahui konsep ini
pada saat pelatihan SLPHT, sedangkan lainnya berasal dari formulator dan teman.
Hubungan Pengetahuan Penggunaan Pestisida dengan Karakteristik Petani
Berdasarkan hasil uji khi-kuadrat (Lampiran 8), terdapat karakteristik petani
yang berkorelasi dengan pengetahuan dalam penggunaan pestisida, yaitu
pendidikan. Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa nilai-P hasil uji khi-kuadrat pada
karakteristik pendidikan petani non SLPHT kurang dari 0.05 yang artinya ada
hubungan antara pendidikan terhadap pengetahuan dalam penggunaan pestisida,
pada taraf nyata 5%.
Tabel 4

Hubungan karakteristik petani terhadap pengetahuan mengenai
penggunaan pestisida
Nilai-Pa
Karakteristik
SLPHT
Non SLPHT
Umur
0.637
0.141
Status kepemilikan lahan
0.257
0.109
Pendidikan
0.124
0.033b
Pengalaman bertani
0.520
0.187
Penghasilan total
0.264
0.986
a

Berdasarkan hasil uji khi-kuadrat
Tolak H0 pada taraf nyata 5%.

b

Pengaruh pendidikan terhadap pengetahuan hanya terdapat pada petani non
SLPHT karena petani non SLPHT dengan tingkat pengetahuan yang tinggi
cenderung berinisiasi untuk mencari informasi mengenai kebutuhan mereka.
Petani non SLPHT, rata-rata mendapatkan pengetahuan mengenai pestisida hanya
dari membaca kemasan, pelatihan dari formulator, pengalaman, teman, dan toko

14

Petani responden (%)

pestisida (Gambar 4), sedangkan secara keseluruhan petani SLPHT telah
mendapatkan pengetahuan dari kegiatan SLPHT.
50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0

SLPHT
non SLPHT

Sumber informasi penggunaan pestisida
Gambar 4 Sumber informasi dalam penggunaan pestisida
Sikap terhadap Penggunaan Pestisida
Perbedaan Sikap Petani SLPHT dan Non SLPHT
Pernyataan mengenai sikap dalam penggunaan pestisida yang diajukan
kepada petani SLPHT dan non SLPHT adalah pernyataan mengenai peran musuh
alami hama, dampak penggunaan pestisida yang terlalu sering, tepat jenis
pestisida, penggunaan dan dosis pestisida sesuai kemasan, waktu semprot, arah
semprot, penggunaan pakaian pelindung, tempat pencucian alat semprot, tempat
penyimpanan pestisida yang aman, dan penggantian bahan aktif pestisida
(Lampiran 9).
Berdasarkan hasil uji Mann-Whitney, ada perbedaan antara sikap petani
SLPHT dan non SLPHT dalam penggunaan pestisida, pada taraf nyata 1% dengan
nilai-P sebesar 0.001 (Lampiran 10). Pada Gambar 5 terlihat bahwa sikap petani
SLPHT terhadap penggunaan pestisida lebih baik dibandingkan dengan petani
non SLPHT. Hampir keseluruhan hasil dari pernyataan petani mengenai sikap
juga menunjukkan bahwa sikap petani SLPHT lebih baik daripada petani non
SLPHT. Perbedaan sikap yang paling besar adalah pada pernyataan peran musuh
alami. Meskipun demikian, sikap petani non SLPHT dalam penyimpanan
pestisida lebih baik daripada petani SLPHT (Lampiran 9). Mereka menyadari
dampak negatif yang mungkin terjadi jika pestisida dapat dijangkau anak-anak.
Namun beberapa petani menyatakan bahwa pestisida harus disimpan di tempat

15

Petani responden (%)

yang aman, tidak hanya aman dari jangkauan anak-anak, tetapi juga aman dari
pencuri.
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

SLPHT
non SLPHT

Rendah

Sedang

Tinggi

Sikap pada penggunaan pestisida
Gambar 5 Perbedaan sikap pada penggunaan pestisida antara petani SLPHT dan
non SLPHT
Sikap yang positif dari petani SLPHT terhadap keberadaan musuh alami
merupakan hasil dari kegiatan SLPHT. Mereka mendapat informasi mengenai
keberadaan dan peran musuh alami, serta melihat sendiri di lapangan sehingga
pola pikir mereka mengenai musuh alami berubah dari hanya sekedar tahu
menjadi peduli. Petani non SLPHT cenderung tidak mempercayai bahwa terdapat
musuh alami hama karena mereka tidak melihat langsung kegiatan memangsa
hama oleh musuh alami. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh beberapa
petani SLPHT, musuh alami memang sudah jarang mereka temukan karena ikut
mati akibat aplikasi pestisida, sejak mereka belum mengikuti SLPHT.
Petani SLPHT dan non SLPHT banyak yang meragukan dan tidak
menyetujui pernyataan bahwa tanaman yang sering disemprot dapat mengandung
racun, meskipun mereka mengetahui bahwa pestisida adalah zat kimia yang
mengandung racun. Menurut petani non SLPHT, tidak ada racun yang tersimpan
dalam tanaman mereka, karena tidak ada kasus kematian atau keracunan makanan
akibat konsumsi hasil panen mereka. Beberapa petani kentang menyatakan bahwa
tidak ada hubungannya antara aplikasi pestisida dengan terdapatnya racun
pestisida di dalam umbi kentang. Berdasarkan keyakinan mereka, aplikasi
pestisida yang umumnya dengan cara penyemprotan pada tajuk tidak dapat
menembus masuk hingga ke umbi, sehingga umbi tidak terkontaminasi oleh racun
pada pestisida. Berbeda dengan petani non SLPHT, petani SLPHT meragukan dan
tidak menyetujui pernyataan tersebut karena belum pernah mengetahui adanya
penelitian mengenai hal tersebut.
Sebagian besar petani SLPHT dan non SLPHT menyetujui bahwa masingmasing jenis pestisida seharusnya hanya digunakan untuk mengendalikan jenis
hama atau penyakit tertentu saja. Meskipun demikian, masih ada petani yang
meragukan bahkan tidak menyetujui pernyataan tersebut. Alasan mereka tidak
menyetujuinya karena menurut mereka ada juga insektisida yang dapat

16
mengendalikan semua hama yang ada di lahan mereka, dan beberapa insektisida
ada yang dapat mengendalikan hama tertentu, yang tidak tercantum dalam
kemasan.
Sebagian besar petani juga menyetujui bahwa sebelum melakukan
penakaran, seharusnya terlebih dahulu membaca label kemasan. Namun, masih
banyak juga petani yang tidak menyetujui penggunaan konsentrasi atau dosis
pestisida sesuai kemasan. Beberapa alasannya adalah penggunaan konsentrasi atau
dosis kurang dari yang dianjurkan sudah dapat membunuh hama. Alasan lain
adalah karena mereka melakukan pencampuran beberapa pestisida, sehingga
seharusnya konsentrasi atau dosis yang digunakan dibawah konsentrasi atau dosis
yang dianjurkan.
Petani masih banyak yang ragu dan tidak menyetujui pernyataan bahwa alat
semprot seharusnya tidak dicuci di sungai. Mereka beranggapan bahwa tindakan
mereka tidak membahayakan karena sungai tersebut tidak mengalir ke
pemukiman warga. Mereka kurang mengetahui bahwa sungai di Dataran Tinggi
Dieng merupakan hulu dari beberapa sungai di bawahnya, dan ada kemungkinan
masyarakat di sekitar aliran sungai tersebut memanfaatkannya untuk kehidupan
sehari-hari.
Hubungan Sikap Terhadap Penggunaan Pestisida dengan Karakteristik
Petani
Selain berkorelasi dengan tingkat pengetahuan, pendidikan juga
berpengaruh terhadap tingkat sikap petani SLPHT maupun non SLPHT.
Berdasarkan uji khi-kuadrat (Lampiran 11), pendidikan memiliki hubungan yang
nyata terhadap sikap petani dalam penggunaan pestisida pada petani SLPHT
maupun non SLPHT pada taraf nyata 1% (Tabel 5). Semakin tinggi jenjang
pendidikan petani SLPHT maupun non SLPHT, semakin rasional dalam
menyikapi pernyataan yang diajukan mengenai penggunaan pestisida. Mereka
menyadari bahwa penggunaan pestisida seharusnya dilakukan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
Tabel 5

Hubungan karakteristik petani terhadap sikap tentang penggunaan
pestisida
Nilai-Pa
Karakteristik
SLPHT
Non SLPHT
Umur
0.818
0.545
Status kepemilikan
0.677
0.318
0.011b
Pendidikan
0.000b
Pengalaman bertani
0.202
0.274
Penghasilan total
0.341
0.712
a

Berdasarkan hasil uji khi-kuadrat
Tolak H0 pada taraf nyata 1%.

b

Tindakan Penggunaan Pestisida
Perbedaan Tindakan Penggunaan Pestisida Petani SLPHT dan Non SLPHT
Berdasarkan uji Mann-Whitney, tingkat tindakan penggunaan pestisida
petani SLPHT dan non SLPHT berbeda nyata pada taraf nyata 1%, dengan nilai-P

17

Petani responden (%)

sebesar 0.000 (Lampiran 12). Perbedaan tersebut dapat dilihat pada Gambar 6.
Petani SLPHT melakukan tindakan penggunaan pestisida lebih baik dari petani
non SLPHT. Jumlah petani non SLPHT dengan tingkat tindakan sedang hampir
sama dengan yang memiliki tingkat tindakan tinggi. Berdasarkan data yang
diperoleh, secara keseluruhan tindakan petani SLPHT lebih baik dibandingkan
dengan petani non SLPHT (Lampiran 13).
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

SLPHT
Non SLPHT

Rendah

Sedang

Tinggi

Tindakan
Gambar 6 Perbedaan tindakan dalam penggunaan pertisida antara petani SLPHT
dan non SLPHT
Petani SLPHT dan non SLPHT banyak yang melakukan pengamatan
sebelum aplikasi pestisida, meskipun waktu aplikasi pestisida umumnya tetap
dilakukan secara terjadwal. Waktu aplikasi pestisida secara terjadwal didasarkan
pada pengalaman mereka dan atau orang tua mereka, mengenai OPT yang
biasanya menyerang pada umur tanaman dan kondisi cuaca tertentu. Baik petani
SLPHT maupun non SLPHT, sebagian besar melakukan pengamatan sehari
sebelum waktu aplikasi terjadwal. Alasan petani non SLPHT melakukan
pengamatan adalah untuk menentukan pestisida yang akan digunakan sesuai
dengan OPT yang ada di lapangan dan hampir sebagian petani SLPHT juga
menyatakan alasan yang sama. Sebagian lainnya beralasan untuk menentukan
waktu pengendalian, dan mengetahui perkembangan OPT sekaligus
perkembangan tanaman. Jika OPT pada tanaman terutama hama, dirasa belum
begitu merugikan, mereka akan menunda aplikasi pestisida sintetik, dan
melakukan aplikasi insektisida nabati.
Pada musim penghujan, petani kentang biasanya tetap melakukan aplikasi
pestisida secara terjadwal untuk menghindari serangan P. infestans, dengan atau
tanpa pengamatan. Intensitas aplikasi pestisida pada musim penghujan pun lebih
besar dibandingkan dengan musim kemarau (Gambar 7). Pada musim penghujan,
rata-rata petani kentang non SLPHT melakukan aplikasi hingga 22 kali pada satu
musim tanam, sedangkan petani kentang SLPHT hingga 20 kali aplikasi. Petani
yang menanam varietas kentang granola MZ melakukan aplikasi hingga 25 kali
pada musim tersebut karena waktu panennya lebih lama dibandingkan dengan
yang lain. Petani rata-rata melakukan aplikasi pestisida 2–3 hari sekali pada

18

Intensitas aplikasi (kali/musim
tanam)

musim ini, dengan menggunakan fungisida yang kebanyakan berbahan

Dokumen yang terkait

Gambaran Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Petani Penyemprot pada Penggunaan Pestisida di Desa Sugihen Kecamatan Dolat Rayat Tahun 2013

4 119 110

Pengetahuan, Sikap, Tindakan Petani Dalam Penggunaan Pestisida Dan Aktifitas Cholinesterase Pada Darah Di Desa Sempajaya Kecamatan Berastagi Tahun 2005

0 31 77

PENGARUH PENGETAHUAN PETANI KENTANG TERHADAP PERTANIAN BERKELANJUTAN DI DESA KEPAKISAN KECAMATAN BATUR KABUPATEN BANJARNEGARA

0 18 114

Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Petani Bawang Merah Dalam Penggunaan Pestisida (Studi Kasus di Kabupaten Nganjuk, Propinsi Jawa Timur)

5 40 139

Pengetahuan, Sikap Dan Tindakan Petani Dalam Penggunaan Pestisida

0 7 98

Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Petani Sayuran dalam Penggunaan Pestisida di Kabupaten Pandeglang, Banten.

1 46 67

HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP, DAN TINDAKAN PENGGUNAAN PESTISIDA DENGAN TINGKAT KERACUNAN Hubungan Pengetahuan, Sikap, Dan Tindakan Penggunaan Pestisida Dengan Tingkat Keracunan Pestisida Pada Petani Di Desa Kembang Kuning Kecamatan Cepogo.

0 5 12

SKRIPSI HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP, DAN TINDAKAN Hubungan Pengetahuan, Sikap, Dan Tindakan Penggunaan Pestisida Dengan Tingkat Keracunan Pestisida Pada Petani Di Desa Kembang Kuning Kecamatan Cepogo.

0 1 17

PENDAHULUAN Hubungan Pengetahuan, Sikap, Dan Tindakan Penggunaan Pestisida Dengan Tingkat Keracunan Pestisida Pada Petani Di Desa Kembang Kuning Kecamatan Cepogo.

0 1 8

DAFTAR PUSTAKA Hubungan Pengetahuan, Sikap, Dan Tindakan Penggunaan Pestisida Dengan Tingkat Keracunan Pestisida Pada Petani Di Desa Kembang Kuning Kecamatan Cepogo.

1 7 4