Strategi Coping Stres Penderita Diabetes Mellitus dengan Self Monitoring sebagai Variabel Mediasi

Strategi Coping Stres Penderita Diabetes Mellitus dengan Self
Monitoring sebagai Variabel Mediasi
Muhammad Jamaluddin, M.Si
(Dosen Fakultas Psikologi UIN Malang)

Abstract
Diabetes is a health problem which attacks to almost all linings of world
societies. Diabetes can not heal totally, therefore, what is needed is just a
good treatment towards the disease both physically (by controlling blood
sugar level and eat pattern) and psychologically (by controlling emotion,
feeling of depress or stress) since the impact of this disease is also both
physically and psychologically. This research is aimed to reveal the
correlation between diabetes stress and coping strategy with self monitoring
as the mediation variable of the diabetes patients in Public Regional
Hospital of Yogyakarta Region. This research consists of one dependent
variable, that is, diabetes stress and one independent variable, that is,
coping strategy and, one mediation variable, that is, self monitoring. The
data collection is conducted using the scale method. The subjects of this
research are forty two diabetes patients in Public Regional Hospital of
Yogyakarta Region. The data analysis used is the path analysis. The findings
of this research show that there are no significant correlations between

diabetes stress and coping strategies with self monitoring as the mediation
variable with beta = 0.230, -0.127, 0.143, and p > 0.050. Furthermore, there
also no significant correlations between the coping strategy and the stress of
diabetes patients with beta of = 0.230, t = 1.470, and p = 0.150. Self
monitoring was correlates insignificantly to the diabetes stress with beta of
= -0.127, t = -0.811, and p = 0.422.
Keywords: Diabetes Stress, Coping Strategy, Self Monitoring.

PENDAHULUAN
Pada saat ini, diabetes melitus merupakan masalah kesehatan dunia
yang menghinggapi hampir seluruh lapisan masyarakat dunia. Di negara
maju, diabetes melitus merupakan problem utama, sementara di negaranegara berkembang penyakit menular dan kurang pangan masih menjadi
masalah utama kesehatan. Akan tetapi, menurut survey Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO), meskipun termasuk negara yang sedang

1

2

berkembang, Indonesia menempati urutan keempat terbesar dalam jumlah

penderita diabetes. Di atasnya adalah negara India, China dan Amerika
dengan prevalensi 8,6 persen dari total penduduk. Pada tahun 2006, di
Indonesia diperkirakan terdapat 14 juta orang dengan diabetes, tetapi baru
50 persen yang sadar mengidapnya dan di antara mereka baru sekitar 30
persen yang datang berobat secara teratur (Kompas dan WHO, 2005).
Dari tahun ke tahun jumlah penderita diabetes melitus baik di
Indonesia maupun di negara-negara lain semakin meningkat. Berdasarkan
data dari World Health Organisation (WHO), diabetes melitus sudah menjadi
epidemi atau penyakit yang mewabah di dunia. Secara global, jumlah
diabetes mencapai 120 sampai 140 juta orang. Diperkirakan pada tahun 2025,
angka ini akan meningkat dua kali lipat menjadi 300 juta penderita.
Peningkatan ini lebih disebabkan oleh pola makan yang tidak sehat dan
kurangnya aktivitas fisik (Republika, 2006).
Menurut Suyono (1996) bila dilihat angka kejangkitan diabetes
dewasa ini, ternyata peradaban barat sangat mempengaruhi peningkatan
kejangkitan penyakit diabetes ini. Penelitian Zimmet (dalam Suyono, 1996)
menemukan bahwa di Samudera Pasifik, diabetes melitus sangat jarang
ditemui pada orang polinesia yang masih melakukan gaya hidup tradisional,
beda dengan daerah urban Polinesia seperti Tonga, Hawai, Tahiti, jumlah
pasien diabetes sangat tinggi. Menurut buku Diabetes (2004) tingginya angka

kasus diabetes terutama dipicu pergeseran gaya hidup masyarakat di era
globalisasi ini, khususnya yang bermukim di kawasan perkotaan di berbagai
negara di Asia. Salah satu aspek paling menonjol adalah tingginya konsumsi
makanan gaya barat seperti makanan-makanan instan yang banyak
mengandung kadar gula tinggi, kolesterol, zat pengawet, zat-zat campuran
lainnya serta kurangnya mengkonsumsi makanan yang berasal langsung
dari alam (Kompas, 2005). Komersialisasi yang canggih dari jaringan cepat
saji ala barat menarik minat konsumen, terutama remaja dan anak-anak,

3

serta paling nikmat bila dibarengi dengan minuman ringan yang kadar
gulanya tinggi. Semua ini menunjukkan adanya hubungan erat antara
lingkungan, budaya dan diabetes.
Selain itu, cara hidup yang sangat sibuk dengan pekerjaan dari pagi
sampai sore bahkan kadang-kadang sampai malam hari duduk di belakang
meja menyebabkan banyak orang kurang gerak bahkan tidak ada
kesempatan untuk berolah raga atau berekreasi. Apalagi bagi para eksekutif
hampir tiap hari harus lunch atau dinner dengan para relasinya dengan menu
makanan barat yang wah seperti makanan siap saji yang sudah diawetkan

dan siap untuk dimakan tanpa peduli terhadap bahan campuran yang ada
pada

makanan

tersebut.

Pola

hidup

berisiko

seperti

inilah

yang

menyebabkan tingginya risiko penyakit di antaranya adalah diabetes

melitus.
Pada dasarnya terdapat dua macam penyakit diabetes, yaitu diabetes
tipe I dan diabetes tipe II. Tipe I atau yang disebut Insulin Dependent Diabetes
Melitus (IDDM) merupakan bentuk diabetes yang paling lazim pada anakanak dan dewasa muda, meskipun ini dapat timbul juga pada usia
berapapun (WHO, 1995; Leslie, 1991; Margatan, 2001). Penanganan untuk
tipe I ini biasanya dengan memberikan suntikan insulin (Fisher dkk, 1982).
Tipe yang kedua adalah Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM).
Tipe ini biasanya menyerang orang-orang dewasa dan merupakan kondisi
atau penyakit yang diturunkan (Margatan, 2001). Menurut Fisher dkk, (1982)
penyakit diabetes (terutama tipe II) juga sering muncul setelah seseorang
memasuki usia di atas 40 tahun, terutama pada mereka yang memiliki
kelebihan berat badan sehingga tubuhnya tidak peka lagi terhadap insulin.
Dampak psikologis dari penyakit diabetes mulai dirasakan oleh
penderita sejak ia didiagnosis dokter dan penyakit tersebut telah
berlangsung selama beberapa bulan atau lebih dari satu tahun. Penderita
mulai mengalami gangguan psikis diantaranya adalah stres pada dirinya

4

sendiri yang berkaitan dengan tritmen yang harus dijalani (Tjokroprawiro,

1989).
Menurut Fisher dkk (1982) diabetes dan stres merupakan dua hal
yang saling mempengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung.
Kontrol yang kurang pada glukosa darah akan menimbulkan perasaan stres
dan begitu pula sebaliknya. Hal senada juga diungkapkan oleh Surwit (2002)
dan Discovery Health (2007) bahwa stres telah lama menjadi salah satu
faktor yang muncul pada penderita diabetes. Menurutnya, stres sangat
berpengaruh terhadap penyakit diabetes karena hal itu akan berpengaruh
terhadap pengendalian dan tingkat kadar glukosa darah. Bila seseorang
menghadapi situasi yang menimbulkan stres maka respon stres dapat
berupa peningkatan hormon adrenalin yang akhirnya dapat mengubah
cadangan glikogen dalam hati menjadi glukosa. Kadar glukosa darah yang
tinggi secara terus menerus dapat menyebabkan komplikasi diabetes.
Menurut Bianchi (2004) permasalahan stres pada penderita diabetes
ini juga erat kaitannya dengan cara atau strategi pemecahan masalah (coping)
yang dilakukan oleh penderita diabetes. Menurutnya, coping yang dilakukan
oleh penderita diabetes merupakan usaha pasif atau aktif yang dilakukannya
dalam menghadapi situasi yang dirasa menyebabkan stres.
Peyrot (dalam D'arrigo, 2000) mengatakan bahwa strategi coping yang
dilakukan oleh penderita diabetes sangatlah berpengaruh terhadap kondisi

stresnya yakni apabila penderita diabetes mempunyai penyesuaian yang
baik dengan strategi copingnya, maka individu tersebut berhasil mengatasi
masalah yang dihadapi dan begitu pula sebaliknya.
Dalam melakukan coping, penderita diabetes dapat melakukan banyak
cara agar mampu menangani stres akibat penyakit diabetesnya dengan
efektif. Lazarus (dalam Santrock, 1996) membagi strategi coping menjadi dua
bentuk: a). Perilaku coping yang berorientasi pada masalah (Problem Focused
Coping-PFC): adalah strategi kognitif dalam penanganan stres atau coping

5

yang digunakan oleh individu yang menghadapi masalahnya dan berusaha
menyelesaikannya. b). Perilaku coping yang berorientasi pada emosi (Emotion
Focused Coping-EFC): adalah strategi penanganan stres dimana individu
memberikan respon terhadap situasi stres dengan lebih mengedepankan
pendekatan emosional.
Selain strategi coping, peran self monitoring juga tidak kalah penting
terhadap penatalaksanaan penyakit diabetes. Self monitoring terkait dengan
cara individu mengontrol dan memantau keadaan penyakit diabetesnya. Self
monitoring merupakan konsep kepribadian yang diperkenalkan oleh Snyder

(dalam Snyder dan Gangestad, 1986). Menurutnya, Self monitoring dapat
diartikan sebagai kemampuan individu untuk melakukan kontrol dalam
memahami pola, kesan dan citra yang dibentuk orang lain. Adapun
pengontrol itu dikaitkan terhadap perilaku, interaksi sosial serta perasaan.
Self monitoring dalam penelitian ini difokuskan pada pemantauan individu
terhadap penyakit diabetes melitus. Self monitoring diabetes ini meliputi
pemantauan terhadap kadar glukosa darah, diet, insulin dan latihan fisik
atau olah raga.
Menurut Wagner dkk, (1998) pemantauan kadar glukosa darah ini
biasanya menggunakan Self Monitoring Of Blood Glucose (SMBG). SMBG
digunakan untuk mengukur fluktuasi (level) glukosa dalam peredaran
darah. Sementara pemantauan terhadap diet dilakukan dengan cara
mengikuti pola makan yang sehat yang telah dianjurkan oleh para petugas
kesehatan (dokter dan ahli gizi yang biasa menangani pola makan untuk
orang diabetes).
Pemantauan selanjutnya adalah pemantauan terhadap insulin.
Menurut Leslei (1991) perawatan insulin bertujuan untuk memulihkan kadar
insulin normal dalam tubuh. Sementara menurut Guyton (1982) terapi
insulin ini dapat mencegah bagian terbesar efek akut diabetes (poliuria atau
kencing terus-terusan, polidipsia atau haus terus-terusan atau banyak minum,


6

polipagia atau selalu ingin makan) dan sangat memperlambat timbulnya efekefek kroniknya. Pemantauan yang terakhir adalah pemantauan terhadap
latihan fisik atau olah raga. Menurut Tjokroprawiro (1989) diabetes melitus
akan terawat baik apabila terdapat keseimbangan yang baik antara diet,
latihan fisik teratur setiap hari, dan kerja insulin. Latihan fisik atau olah raga
yang teratur merupakan komponen yang penting dalam pengobatan
diabetes. Dengan olah raga teratur setiap hari, dapat memperbaiki
metabolisme glukosa dan asam lemak. Dengan olah raga juga dapat
membuang

kelebihan

kalori,

sehingga

mencegah


kegemukan,

juga

bermanfaat untuk mengatasi adanya insulin resistance pada obesitas.
Berdasarkan uraian di atas dapat diperoleh gambaran bahwa strategi
pemecahan masalah (coping) merupakan salah satu faktor yang ada dalam
diri individu yang mempunyai peranan penting dalam masalah penanganan
stres akibat dari penyakit yang dideritanya. Selain faktor strategi coping, self
monitoring juga merupakan faktor lain yang tidak kalah berpengaruh
terhadap diri individu yang dapat membantunya dalam menghadapi
penyakit maupun permasalahan yang muncul akibat dari penyakit
diabetesnya, hanya saja dari kedua faktor atau variabel dalam penelitian ini,
menurut peneliti variabel self monitoring lebih cocok dilakukan oleh
penderita diabetes dibandingkan faktor strategi coping karena faktor strategi
coping masih bersifat umum (tidak hanya pada penderita diabetes saja)
sementara faktor self monitoring lebih fokus dan hanya diperuntukkan pada
pemantauan penyakit diabetes saja (penmantauan terhadap pola makan,
olah raga, glukosa darah dan lain sebagainya). Oleh karena itu peneliti ingin
melakukan penelitian dengan menggunakan variabel strategi coping dan self

monitoring sebagai permasalahan yang akan diteliti dalam kaitannya dengan
stres akibat penyakit diabetes, sehingga secara umum permasalahan yang
akan diteliti adalah apakah strategi coping yang dilakukan oleh penderita
diabetes dan self monitoring sebagai variabel mediasi berhubungan dengan

7

tingkat stres penderita diabetes mellitus. Berdasarkan latar belakang di atas,
maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan
antara stres pada penderita diabetes mellitus dan strategi coping dengan self
monitoring sebagai variabel mediasi?

METODE PENELITIAN
Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Variabel Tergantung: Stres pada penderita diabetes
2. Variabel Bebas: Strategi Coping Stres
3. Variabel Mediasi: Self Monitoring Penyakit Diabetes
Subjek penelitian ini adalah penderita diabetes mellitus. Adapun
kriteria subjek dalam penelitian ini adalah:
1. Penderita DM berdasarkan diagnosis dokter.
2. Sedang melakukan pengobatan di RSUD Kota Yogyakarta (baik rawat
inap maupun rawat jalan)
3. Usia 40 tahun ke atas. Hal ini dikarenakan rata-rata usia penderita DM
adalah di atas 40 tahun
4. Lama menderita minimal 1 tahun, karena setelah 1 tahun pasien telah
mengalami dan merasakan perubahan atau keluhan fisik dan psikis
selama menderita diabetes
5. Laki-laki dan perempuan
6. Bersedia sebagai subjek penelitian
Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini
adalah model skala yang Likert dengan empat alternatif jawaban, yaitu:
Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS) dan Sangat Tidak Sesuai
(STS) atau Selalu (SL), Sering (SR), Kadang-kadang (KD) dan Tidak pernah
(TP). Jumlah skala yang digunakan ada tiga dan satu angket identitas diri.
Skala-skala tersebut adalah Skala Stres, Skala Strategi Coping dan Skala Self
Monitoring. Skoring untuk skala stres dan self monitoring adalah SL=4, SR=3,

8

KD=2, dan TP=1 untuk aitem Favorable, sedangkan SL=1, SR=2, KD=3, dan
TP=4 untuk aitem Unfavorable. Sementara strategi coping, untuk aitem
Favorable: SS = 4; S= 3; TS= 2; dan STS=1. Untuk aitem Unfavorable: SS=1; S=2;
TS=3; dan STS=4. Skala Stres dan Skala Self Monitoring disusun sendiri oleh
peneliti sedangkan skala strategi coping adaptasi dari Sihombing (2004).
1. Skala Stres
Skala ini digunakan untuk mengukur dan mengungkap berbagai
gangguan yang merupakan menifestasi dari stres akibat penyakit diabetes
mellitus. Skala ini terdiri dari tiga aspek, yakni aspek fisiologis, emosional
dan kognisi.
Tabel 1. Distribusi Item Skala Stres Penderita Diabetes
No

Aspek

No Item

1

Fisiologis

Favorable
1, 8, 15, 17, 19

2
3

Emosional
Kognisi
Jumlah

2, 9, 12, 18, 20
3, 7, 11
13

Unfavorable
6, 10, 13
5, 16
4, 14
7

Jumlah
8
7
5
20

2. Skala Strategi Coping
Skala ini bertujuan untuk mengetahui strategi coping yang dilakukan
oleh penderita diabetes mellitus. Skala ini terdiri dari dua aspek, yaitu aspek
perilaku coping yang berorientasi pada masalah (Problem Focused Coping/PFC)
dan perilaku coping yang berorientasi pada emosi (Emotion Focused
Coping/EFC).
Tabel 2. Distribusi Item Skala Strategi Coping
No
1
2

Aspek
PFC
EFC
Jumlah

No Item
2, 3, 6, 8, 9, 12, 13, 16, 17, 19, 20
1, 4, 5, 7, 10, 11, 14, 15, 18
20

Jumlah
11
9
20

9

3. Skala Self Monitoring
Skala ini difokuskan pada pemantauan terhadap penyakit diabetes,
yakni pemantauan terhadap glukosa darah, pola makan atau diet, insulin
dan olahraga.
Tabel 3. Distribusi Item Skala Self Monitoring
No

Aspek

1

Pemeriksaan kadar
Glukosa Darah
Pola makan atau diet
Insulin
Olah raga
Jumlah

2
3
4

No Aitem
Favorable
Unfavorable
3, 7, 17
14
1, 6, 8, 10
4, 18
2, 5, 9, 20
13

13, 16
11, 19
12, 15
7

Jumlah
4
6
4
6
20

Data dari hasil penelitian yang dikumpulkan melalui skala yang
sudah diuji kesahihan dan keandalannya dianalisis dengan menggunakan
metode analisis regresi alur (path analysys). Keseluruhan komputasi data
dilakukan menggunakan fasilitas komputer SPSS (Statistic Program for Social
Science) for Windows Release 10.0.

TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hipotesis dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan
antara strategi coping dan stres penderita diabetes dengan self monitoring
sebagai variabel mediasi. Berdasarkan hasil pengujian analisis regresi alur
(path analisis) maka didapatkan hasil sebagai berikut :
Tabel 1. Hasil Uji Analisis Regresi Alur
Variabel
Strategi coping (X1)
Stres diabetes (Y)
Self monitoring (X2)
Stres diabetes (Y)
Strategi coping (X1)
Self monitoring (X2)

beta
0.230

t
1.470

p
0.150

-0.127

-0.811

0.422

0.143

0.912

0.367

10

Berdasarkan data tabel di atas menunjukkan bahwa strategi coping
dan stres penderita diabetes dengan self monitoring sebagai variabel mediasi
tidak memiliki hubungan dengan p > 0.050. Hal tersebut bermakna bahwa
hipotesis mayor dalam penelitian ini ditolak. Lebih lanjut dari tabel 1 dapat
dijelaskan bahwa tidak terdapat hubungan antara strategi coping dengan
stres penderita diabetes dengan beta =

0.230, t = 1.470, dan p = 0.150.

Sedangkan self monitoring dengan stres penderita diabetes juga tidak
memiliki hubungan dengan beta = -0.127, t = -0.811, dan p = 0.422. Hal ini
bermakna seluruh hipotesis minor dalam penelitian ini ditolak.
Pada hasil analisis regresi alur diperoleh hasil tidak terdapat
hubungan antara strategi coping dan stres penderita diabetes dengan self
monitoring sebagai variabel mediasi dengan beta = 0.230, -0.127, 0.143, dan p
> 0.050. Hasil penelitian ini didukung pendapat Sarafino (1998) yang
mengatakan bahwa stres dapat dikelola dengan baik apabila individu
memahami seluk beluk tentang stres dan memiliki ketrampilan untuk
mengubah stres tersebut, bukan hanya tergantung pada strategi coping dan
monitoring yang dilakukan oleh individu saja Selain itu, stres penderita
diabetes ini juga masih tergantung pada pengaruh keluarga dan kelompok
dalam mengatasi stres tersebut.
Pada hasil analisis regresi model bertahap diperoleh hasil bahwa tidak
terdapat hubungan antara strategi coping dengan stres penderita diabetes
dengan beta = 0.230, t = 1.470, dan p = 0.150. Hal ini bermakna bahwa tingkat
stres akibat penyakit diabetes tidak ditentukan oleh tingkat coping yang
dilakukan oleh penderita atau dengan kata lain tingkat stres akibat penyakit
diabetes tidak dapat diprediksikan dari tingkat coping yang dilakukan oleh
penderita.
Hasil penelitian ini didukung oleh Parker (1986) yang menemukan
bahwa coping itu kurang berhubungan terhadap stres diakibatkan karena
coping itu sendiri masih dipengaruhi oleh variabel lain seperti karakteristik

11

situasional, lingkungan dan faktor personal atau perbedaan individu. Selain
itu, menurut peneliti, variabel coping yang dilakukan dalam penelitian ini
diperkirakan kurang fokus terhadap satu aspek saja (misalkan memakai
PFC-Problem Focus Coping atau EFC-Emotional Focus Coping saja). Hal ini
didukung oleh Coelho dkk. (dalam Asri, 2006) yang mengatakan bahwa
selain EFC dan PFC, pada umumnya penderita diabetes lebih cenderung
menggunakan strategi coping secara pasif atau menghindar, menerima atau
pasrah terhadap keadaannya serta mengekspresikan emosi (seperti marah,
kecewa dan putus asa) dalam memandang kehidupannya bersama diabetes,
karena apapun yang dilakukannya tidak akan mampu menyembuhkan
penyakit diabetesnya secara total.
Hal yang senada juga diungkapkan oleh Holahan dan Moos (dalam
Aspinwill dan Taylor, 1992) dan Krantz (1983) bahwa strategi coping yang
biasanya digunakan oleh para orang tua terutama penderita diabetes adalah
strategi coping yang berfokus pada emosi (EFC) karena mereka akan lebih
menerima keadaannya apa adanya (salah satu aspek dari Emotional Focus
Coping adalah acceptance yakni menerima keadaan diri apa adannya)
sementara strategi coping yang berfokus pada masalah (PFC) lebih banyak
dilakukan oleh para remaja misalnya yang berkaitan dengan prestasi belajar,
mereka akan mengambil tindakan-tindakan langsung (active coping) dan
aktivitas-aktivitas pencarian informasi seperti diskusi dan lain sebagainya.
Namun dalam penelitian ini, hasil uji deskriptif ditemukan bahwa para
penderita diabetes lebih dominan menggunakan problem focus coping dengan
mean sebesar 34.74 dibanding dengan emotional focus coping dengan mean
sebesar 30.33.
Hasil wawancara dan observasi (tanggal 10 Juni 2007) juga ditemukan
bahwa kebanyakan tingkat stres para penderita itu kurang berhubungan
dengan coping dikarenakan para penderita lebih fokus pada kontrol obat,
pola makanan serta biaya yang harus dikeluarkan daripada harus

12

memikirkan aspek psikologis yang harus dilakukannya seperti coping
terhadap stres.
Pada hasil analisis regresi model bertahap lain juga diperoleh hasil
bahwa tidak terdapat hubungan antara self monitoring dengan stres diabetes
dengan beta = -0.127, t = -0.811, dan p = 0.422. Heisler (2004) dalam
penelitiannya menemukan bahwa self monitoring merupakan variabel yang
sangat efektif dalam memantau diabetes jika hal tersebut dilakukan dengan
dibantu orang lain (keluarga atau teman) untuk mengontrolnya, akan tetapi
apabila self monitoring tersebut dilakukan seorang diri maka kontrol diri
terhadap penyakit diabetes yang diderita akan kurang sehingga penderita
kurang mampu mengendalikan dampak yang timbulkan termasuk dampak
psikologis seperti stres.
Sementara dalam penelitian ini (dari hasil wawancara dan observasi,
tanggal 8 dan 10 Juni 2007) ditemukan bahwa salah satu faktor yang
mempengaruhi tingkat stres penderita diabetes adalah adanya penderita
diabetes yang terorganisir jadi satu serta adanya solidaritas kelompok yang
tinggi antara penderita satu dengan lainnya (seperti program senam dan
rekreasi rutin yang diadakan RSUD Kota Yogyakarta). Salah satu contohnya
adalah

mereka

akan

semangat

melakukan

pengontrolan

terhadap

diabetesnya jika hal tersebut dilakukan secara bersama-sama dengan
penderita lain (terkordinir) dan sebaliknya, jika pengontrolan penyakit
diabetes tersebut dilakukan secara sendirian (penderitanya saja) tanpa
terorganisir dengan penderita lain, maka tidak menutup kemungkinan rasa
malas untuk mengontrol penyakitnya dan perasaan mudah tertekan akan
muncul pada penderitanya. Selain itu, manfaat dari terorganisirnya
kelompok penderita diabetes ini selain untuk meningkatkan semangat antar
penderita dalam mengontrol diabetesnya juga bernilai sebagai sarana
rekreatif bagi para penderita karena mereka bisa saling tukar informasi,

13

saling curhat, saling kumpul sambil bercanda-canda bersama dan lain
sebagainya.
Tidak adanya hubungan antara self monitoring dengan stres diabetes
ini juga dikarenakan masih banyaknya variabel lain yang mempengaruhi self
monitoring itu sendiri seperti jenis kelamin, motivasi, kemampuan serta
performansi individu (Lippa, 1983, Webb dkk, 1989). Selain itu juga
diperkirakan karena berasal dari salah satu alat ukur yang dibuat oleh
peneliti yakni alat ukur berupa self monitoring, karena dalam skala tersebut
terdapat aspek yang menurut hasil wawancara (10 Juni 2007) kurang banyak
dilakukan oleh para penderita diabetes, aspek tersebut adalah aspek
monitoring (pemantauan) terhadap insulin. Hal tersebut dikarenakan adanya
biaya suntikan insulin yang sangat mahal serta tidak semua penderita yang
menjadi responden penelitian termasuk kategori penderita yang diabetesnya
tergantung pada insulin.
Pada penelitian ini juga ditemukan bahwa strategi coping dan self
monitoring memberikan sumbangan efektif terhadap stres hanya 6.1 persen.
Hal ini berarti masih ada 93.9 persen faktor lainnya yang dapat
mempengaruhi

stres

diabetes.

Salah

satunya

adalah

seperti

yang

diungkapkan oleh Carver dkk (1989) yang menemukan adanya pengaruh
faktor kepribadian terhadap tingkat stres individu. Individu yang memiliki
rasa optimis yang tinggi akan mampu mengatasi rasa stresnya. Sebaliknya,
individu yang pesimis cenderung bereaksi dengan perasaan negatif terhadap
situasi yang menekan dan cenderung menyalahkan diri sendiri. Menurut
Anderson dkk., (2000) keyakinan individu bahwa dirinya mampu mengelola
penyakit diabetes yang dideritanya merupakan tujuan penting dalam
perawatan dan proses penyembuhan diabetes. Selanjutnya, keberhasilan
dalam menjalankan pengelolaan penyakit diabetes akan mengurangi
simtom-simtom yang muncul atau mengurangi keluhan fisik maupun psikis
yang berkaitan dengan penyakit diabetes melitus yang dideritanya.

14

Sementara dalam penelitian (dari hasil obeservasi pada tanggal 8 Juni 2007)
juga ditemukan bahwa kebanyakan para penderita yang menjadi subyek
penelitian ini sangat antusias dan optimis terhadap pengelolaan diabetesnya.
Terbukti dengan adanya kesiapan dan antusiasme para penderita dalam
menjalankan program senam diabetes, yang mana sebelum dan sesudah
melakukan senam mereka tetap mengontrol dan selalu ingin mengetahui
perubahan yang terjadi sebelum dan sesudah senam terutama perubahan
yang terjadi pada tingkat kadar glukosa darahnya.
Pendapat yang senada juga diungkapkan oleh Koeske dkk, Kinicki
dan Latack (dalam Jex dkk, 2001) bahwa individu yang merasa yakin akan
kemampuan yang dimilikinya akan mampu menghadapi stressor yang
muncul. Sementara menurut Maramis (2004) daya tahan atau penyesuaian
individu terhadap stres akan berbeda satu sama lain karena masih akan
tergantung pada umur, jenis kelamin, tipe kepribadian, tingkat inteligensi,
emosi, status sosial atau pekerjaannya. Dari hasil observasi pada tanggal 8
Juni 2007 ditemukan bahwa salah satu faktor yang berpengaruh terhadap
tingkat stres penderita diabetes adalah kebanyakan dari para penderita
masih bisa melakukan pekerjaan dan kegiatannya setiap hari sehingga para
penderita tidak hanya terpaku dengan masalah pengelolaan

penyakit

diabetesnya saja.
Selain itu, faktor lamanya waktu menderita penyakit diabetes juga
termasuk faktor yang mampu mempengaruhi tingkat stres penderita
diabetes. Dari hasil wawancara (10 Juni 2007) dikatakan bahwa semakin
cepat seseorang mengetahui bahwa dirinya menderita penyakit diabetes,
maka semakin kecil kemungkinan tingkat stresnya karena masih bisa
ditolelir dengan perubahan gaya hidup dan belum sampai pada tahap
komplikasi. Hal ini juga didukung oleh hasil analisis deskriptif kategorisasi
subyek juga menunjukkan bahwa kebanyakan penderita diabetes (yakni 29

15

orang atau 69.05 persen) menderita penyakit diabetes ini berkisar antara 0.5 –
8.5 tahun.
Tidak terbuktinya hasil penelitian di atas didukung dari hasil
observasi dan wawancara singkat dengan beberapa responden penelitian
antara lain :
1. Adanya pemahaman responden yang menganggap penelitian psikologi
kurang begitu bermanfaat terhadap diabetesnya, karena pengaruh dari
psikologi itu sendiri kurang begitu nyata dan waktu berpengaruhnya
terlalu lama dibandingkan dengan ilmu kedokteran, sehingga responden
terlihat bermalas-malasan dalam mengisi skala, hal ini terlihat dari
antusiasme responden ketika peneliti lain (para dokter muda yang
sedang praktikum) ingin meneliti kadar gulanya. Berikut ini sebagian
dari hasil wawancaranya:
"wah mas.. mas…bolak balik kok ngisi skala lagi, dulu saya juga
pernah ngisi kayak gini juga lho.... Kalo gak salah dulu juga dari
psikologi.....? tapi hasilnya sampai sekarang saya juga gak tahu lho
mas apalagi kalo masih di hitang-hitung lagi...... gak seperti yang lain
(kedokteran), misalnya kontrol gula, langsung kelihatan hasilnya
entah itu tinggi apa rendah......".
Hal senada juga diungkapan oleh Prawitasari (20 Juni 2007) bahwa terjadi
pemahaman seperti itu karena kebanyakan peneliti psikologi kurang
memberikan sesuatu yang berarti (misalnya terapi psikologi) pada
respondennya dan mereka hanya memberikan angket untuk diisi
sehingga hubungan timbal baliknya sangat kurang.
2. Adanya bias penelitian dengan tidak terbuktinya hipotesis dalam
penelitian ini, menurut peneliti dimungkinkan karena keterbatasan
waktu yang tersedia karena pengambilan data dilakukan pada waktu jam
terakhir kegiatan para penderita diabetes yakni setelah penderita berolah
raga sehingga para responden sudah mengalami kelelahan berolah raga
dan kesulitan untuk berkonsentrasi.

16

3. Banyaknya subyek atau pasien yang tidak mengembalikan angket skala
karena tidak banyak waktu untuk mengisinya, selain itu juga, subyek
merasa bosan dan malas karena beberapa waktu yang lalu sudah pernah
mengisi angket psikologi tapi untuk mengetahui hasilnya harus
menunggu beberapa lama tidak bisa langsung diketahui hasilnya.
4. Banyaknya subyek yang gugur dikarenakan selain alasan di atas, juga
dikarenakan sebagian dari mereka ada yang tiba-tiba meninggal, pindah
rumah atau kesulitan membaca karena sudah mengalami komplikasi.
Jumlah awal dari subyek adalah sebanyak 100 orang namun akhirnya
yang bisa dihubungi dan dikonfirmasi hanya 42 orang saja.

KESIMPULAN
Secara keseluruhan berdasarkan analisis regresi alur menunjukkan
tidak terdapat hubungan yang erat antara strategi coping dengan stres
penderita diabetes dan self monitoring sebagai variabel mediasi. Hal ini
berarti tingkat stres akibat penyakit diabetes tidak ditentukan oleh tingkat
coping serta self monitoring yang dilakukan oleh penderita atau dengan kata
lain tingkat stres akibat penyakit diabetes ini tidak dapat diprediksikan dari
tingkat coping dan self monitoring yang dilakukan oleh penderita.

DAFTAR PUSTAKA

Aldwin, C.M. dan Revenson, T.A. 1987. Does Coping Help? A
Reexamination of The Relation Between Coping and Mental Health.
Journal of Personality and Social Psychology. 53 (2): 337-348.
Aspinwill, L.G. dan Taylor, S.E. 1992. Modeling Cognitive Adaptation: A
Longitudinal Investigation of the Impact of Individual Differences and
Coping on College Adjustment and Performance. Journal of Personality
and Social Psychology. Vol. 63, No. 6, 989-1003.

17

Aswin, S., 2006. Psikologi Faal Lanjut. Handout Kuliah Fakultas Psikologi
UGM. Tidak diterbitkan
Asri, D.N., 2006. Kualitas Hidup Penderita Diabetes Melitus Tipe II Ditinjau
dari Efikasi Diri, Persepsi Dukungan Sosial dan Strategi Mengatasi
Masalah Aktif. Tesis. Tidak diterbitkan. Program Pascasarjan Fakultas
Psikologi. UGM. Yogjakarta.
Azwar, S. 2001. Reliabilitas dan Validitas. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
__________ 1996. Tes Prestasi: Fungsi dan Pengemangan Pengukuran Prestasi
Belajar, Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Bianchi, E.R.F., 2004. Stress and Coping among Cardiovascular Nurses: a
Survey In brazil. Issues in Mental Health Nursing, 25:737–745,
Billing, A.G., Moos, R.H., 1984. Coping, Stress, and Social Resources Among
Adulth with Unipolar Depression. Journal of Personality and Social
Psychology. 46 (4): 877-891.
Buku Diabetes. 2002. Dian Rakyat. Jakarta
Carver, C.S., Scheier, M.F. dan Meintraub, J.K. 1989. Assessing Coping
Strategies: Theorically Based Approach. Journal of Personality and Social
Psychology. 56, (2): 267-283.
D'arrigo, T., 2000. Stress dan Diabetes. Diaetes Forecast, 53 (4): 56
Dyson, P., 2004, Diet and Diabetes: The New Recommendations. Journal of
Diabetes Nursing.
Ellis, D.A., Frey, M.A., Naar-King, S., Templin, T., Cunningham, P.B., and
Cakan, N., 2005. The Effects of Multisystemic Therapy on Diabetes
Stress Among Adolescents With Chronically Poorly Controlled Type 1
Diabetes: Findings From a Randomized, Controlled Trial. Journal of the
American Academy of Pediatrics. 116; 826-832
Fisher, E.B., Declamater, A.M., Bertelson, Aniy D dan Kirkley, Betty G., 1982,
Psycological Faktor in Diabetes and Its Treatmen, Journal of Consulting
and Clinical Psychology. 50 (6): 993-1003.
Fleming, R., Baum, A., dan Sindor, J.E., 1984, Toward an Integrative
Approach to the Society of Stress. Journal of Personality and Social
Psychology, 53: 217-228.

18

Garvard JA, Lustman PJ, Clouse RE. 1993. Prevalence of depression in adults
with diabetes: an epidemiological evaluation. Diabetes Care, 16: 11671178.
Guyton, Arthur C., 1982. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. EGC,
Jakarta
Hadi, S. 2000. Seri program statistik versi 2000. Manual SPS Paket Midi.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Jameson, Paula L., 2006. Diabetes, Cognitive Function, and School Performance.
ndep.nih.gov/diabetes/pubs/SNN_May_2006.pdf.
Jebb, S., 2005. Pediatric and Adolescent Diabetes: Diet, Exercise and The
Obesity Epidemic. Journal of Diabetes Nursing.
Kompas, 2005. Kuncinya Kendalikan Faktor Resiko. Edisi 12 Agustus.
Leslei, 1991. Diabetes (edisi Indonesia). Jakarta.
Lloyd, CE, Dyer PH, Lancashire RJ, 1999. Association between stress and
glycemic control in adults with type 1 (insulin dependent) diabetes.
Diabetes Care, 22: 1278-1283.
Lin, Kenneth W., 2006. Common Complications of Undiagnosed Diabetes.
American Family Physician. Kansas City: Dec 1, Vol.74, Iss. 11;
pg. 1960, 2 pgs.
MacDonald, L.., 2005. Diabetes and Depression. www.lucymacdonald.com
Margatan, A., 2001, Yang Manis Jangan Pipis: Catur Laksana Pengendalian
Diabetes Melitus, CV. Aneka, Solo.
Republika, 2006. Agar Pra-diabetes tak Menjadi Diabetes. www.republika.co.id
Riddell, Michael C., Perkins, Bruce A., 2006. Type 1 Diabetes and Vigorous
Exercise: Applications of Exercise Physiology to Patient Management.
Canadian Journal of Diabetes. 30 (1): 63-71.
Robbins, S.P., 1998, Organizational Behavior: Concept Controversies,
Application, Eight Edition, New Jersey ; Prentice-Hall international
Inc.

19

Suyono, S., 1996. Masalah diabetes di Indonesia: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi ketiga. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
_________, 1996. Diet pada Diabetes: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi
ketiga. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
Soeharjono, L.B., Tjokroprawiro, A., Suagyo, A., 2002. Diabetes Mellitus
Tergantung Insulin (DM-TI): Aspek Psikologik Penderita dan
keluarga. Indonesian Psychological Journal, 17 (2): 161-169.
Snyder, M dan Gangestad, S. 1986. On The Nature of Self-Monitoring:
Matters of Assesment, Matters of Validity. Journal of Personality and
social Psychology. 51 (1): 125-139.
Strauss, A., Corbin, J., 1997, Basic of Qualitative Research (edisi terjemah). Bina
Ilmu, Surabaya.
Tjokroprawiro, A. 1989. Diabetes Mellitus: Klasifikasi, Diagnosis dan Dasar-dasar
Terapi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
_____________, 2002. Hidup Sehat dan Bahagia Bersama Diabetes. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Wagner. J.A., Schnoll, R.A., Gipson, M.T., 1998. Development of a Scale to
Measure Adherence to Self-Monitoring of Blood Glucose with Latent
Variable Measurement. Diabetes Care, 21, 1046-1051.
Wiyono, P., 1981. Dabetes Melitus Usia Muda: Tinajuan Pustaka dan Laporan
Penelitian. Fakultas Kedokteran UGM. Yogjakarta.
WHO, 1995, Prevention of Diabetes Mellitus (WHO TechnicalReport Series).