IDEOLOGI DALAM NOVEL PABRIK KARYA PUTU WIJAYA

IDEOLOGI DALAM NOVEL PABRIK KARYA PUTU WIJAYA

Ideology in Putu Wijaya’s Pabrik

Ahmad Zamzuri

Balai Bahasa Yogyakarta, Jalan I Dewa Nyoman Oka 34, Yogyakarta 55224 Indonesia Telepon/Faksimile (0274) 562070, Pos-­‐el: alakazam80@gmail.com

(Naskah Diterima Tanggal 1 Maret 2017—Direvisi Akhir Tanggal 24 April 2017—Disetujui Tanggal 26 April 2017)

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap ideologi dan formasi ideologi dalam novel Putu Wijaya yang berjudul Pabrik dengan menggunakan teori hegemoni Gramsci. Masalah penelitian ini adalah ideologi apa yang dapat ditemukan dalam novel dan bagaimanakah pembentukannya. Untuk mengungkap ideologi dan formasi ideologi dalam novel ini, penelitian menggunakan metode melalui langkah-­‐langkah berikut: (1) menentukan subjek penelitian; (2) melakukan studi kepustakaan; (3) mengidentifikasi ideologi berdasarkan teori hegemoni Gramsci; dan (4) menganalisis formasi ideologi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada empat ideologi dalam novel tersebut, yaitu (1) ideologi otoritarianisme; (2) ideologi individualisme; (3) ideologi liberalisme; dan (4) ideologi anarkisme. Formasi ideologi dalam novel tersebut muncul dalam tiga hubungan, yaitu hubungan kontradiktif antara ideologi otoritarianisme dan demokrasi, hubungan korelatif antara ideologi liberalisme dan hedonisme, dan hubungan bawahan antara ideologi otoritarianisme dan liberalisme.

Kata-­‐Kata Kunci: novel; ideologi; hegemoni; subaltern; dominan

Abstract: This study aims to reveal the ideology and ideological formation in Putu Wijaya's novel entitled Pabrik using Gramsci's theory of hegemony. The problem of this study is what ideology that can be found in the novel and how its formation is. In revealing the ideology and ideological formation in the novel, this research is organized through the following steps: (1) determining the subject of research; (2) conducting library research; (3) identifying ideologies based on Gramsci's theory of hegemony; and (4) analyzing the ideological formation. The results show that there are four ideologies in the novel; those are (1) the ideology of authoritarianism; (2) the ideology of individualism; (3) the ideology of liberalism; and (4) the ideology of anarchism. The ideological formation in the novel appears in three relationships, namely the contradictory relationship between the ideology of authoritarianism and democracy, the correlative relationship between the ideology of liberalism and hedonism, and the subordinate relationship between the ideology of authoritarianism and liberalism.

Key Words: novel; ideology; hegemony; subaltern; dominant

How to Cite: Zamzuri, A. (2017). Ideologi dalam Novel Pabrik Karya Putu Wijaya. Atavisme, 20 (1), 14-­‐26 (doi: 10.24257/atavisme.v20i1.303. 14-­‐26)

Permalink/DOI: http://doi.org/10.24257/atavisme.v20i1.303.14-­‐26

PENDAHULUAN

dekade 1950-­‐an (Sumardjo, 1991:108). Putu Wijaya adalah salah satu sastrawan

Karya-­‐karya Putu Wijaya, antara lain produktif pada dasawarsa 1970-­‐an. Pro-­‐

bergenre novel, cerpen, drama, dan duktivitas Putu Wijaya setara dengan

puisi. Karya novel Putu Wijaya, antara produktivitas Pramoedya Ananta Toer di

lain Bila Malam Bertambah Malam

14 © 2017, Atavisme, ISSN 2503-­‐5215 (Online), ISSN 1410-­‐900X (Print)

© 2017, Atavisme, ISSN 2503-­‐5215 (Online), ISSN 1410-­‐900X (Print) 15

(1971), Stasiun (1977), Telegram (1973), Tak Cukup Sedih, Ratu, Sah (ketiganya terbit tahun 1977), dan Keok (1978). Kumpulan cerpennya, antara lain Bom (1978) dan Es (1980). Karya drama Putu Wijaya, di antaranya Dalam Cahaya Bu-­‐ lan (1964), Bila Malam Bertambah Ma-­‐ lam (1965), Invalid (1964), Matahari yang Terakhir (1965), Burung Gagak (1966), Tak Sampai Tiga Bulan (1967), Orang-­‐Orang Malam (1966), Lautan Ber-­‐ nyanyi (1967), Tidak (1969), Almarhum (1969), Dapdap (1971), dan Orang-­‐ Orang Mandiri (1971), Anu (1974), Aduh (1975), dan Dag Dig Dug (1976). Puisi-­‐ puisi Putu dikumpulkan dalam Dadaku Adalah Perisaiku (1974) (Sumardjo, 1991:110-­‐111)

Sebagai seorang sastrawan yang mengalami dan merasakan perubahan sosial di Indonesia, gagasan-­‐gagasan Putu Wijaya tidak terpisah dari konteks wacana yang sedang bergulir ketika mencipta karya sastra. Setidaknya, Putu Wijaya telah melewati dua masa, yaitu Orde Lama dan Orde Baru, yang berideo-­‐ logi berbeda di masing-­‐masing orde. Or-­‐

de Lama di bawah Soekarno lebih ber-­‐ orientasi pembangungan dalam hal poli-­‐ tik. Pada Orde Baru di bawah kendali Soeharto, kondisi Indonesia dalam hal politik, ekonomi, sosial, budaya, perta-­‐ hanan dan keamanan, serta pendidikan diarahkan menuju era modern dengan mempraktikkan ideologi pembangunan yang didasarkan Pancasila dan UUD 1945. Selama Orde Baru, Garis-­‐Garis Be-­‐ sar Haluan Negara (GBHN) menjadi lan-­‐ dasan kebijakan untuk mengendalikan pembangunan (Salam, 2016:34)

Selama proses pencapaian stabilitas sosial, ekonomi, dan politik, Orde Baru

melakukan tindakan yang cenderung melahirkan birokrasi paternalistik yang disebut dengan terminologi bapakisme, atau asal bapak senang (Raillon, 1985:250). Dalam ikhwal ekonomi, Orde Baru memberlakukan pengendalian

ketat terhadap harga barang yang bersi-­‐ fat sentralistik dan cenderung kapitalis-­‐ tik. Misalnya, stabiliasi harga pangan di-­‐ kendalikan oleh Bulog. Awalnya, Bulog hanya bertugas membeli beras bagi para pegawai negeri yang sebagian gajinya berupa barang. Sejak dikeluarkan Kep-­‐ pres No. 11/1969 yang berisi pengatur-­‐ an kembali struktur dan organisasi Bu-­‐ log, Bulog selanjutnya dimobilisasi men-­‐ jadi alat untuk stabilisasi harga pangan dan berbisnis, serta distribusi beras, te-­‐ pung, dan sebagainya.

Kebijakan tersebut selanjutnya ber-­‐ pengaruh terhadap kondisi sosial ma-­‐ syarakat dengan terbentuknya pihak do-­‐ minan, yakni kalangan yang dekat de-­‐ ngan penguasa, dan pihak subordinat, atau kalangan yang berada di bawah kendali pihak dominan. Terciptanya ka-­‐ langan dominan dan subaltern menun-­‐ jukkan bahwa penguasa (Negara) telah menguasai ideological state apparatus yang berupa (produk) hukum. Dalam si-­‐ tuasi negara yang telah menggunakan produk hukum untuk melakukan represi terhadap masyarakat, Salam (2016:28) mengatakan bahwa pada saat itulah pe-­‐ nguasa melakukan hegemoni untuk me-­‐ langgengkan status quo. Dampaknya, si-­‐ tuasi tersebut memunculkan pergolakan pihak-­‐pihak subordinat terhadap pihak yang berkuasa (dominan). Situasi pada Orde Baru menciptakan ruang bagi ideo-­‐ logi dan gagasan untuk saling berkontes-­‐ tasi sehingga memberikan pengaruh ke-­‐ pada cara pandang masyarakat, terma-­‐ suk Putu Wijaya, terhadap bagaimana kondisi suatu masyarakat dikonstruksi.

Cara pandang Putu Wijaya yang berwujud gagasan dan opini dalam kar-­‐ ya sastra tidak lepas dari ruang-­‐ruang ideologis yang bersifat hegemonik. Seba-­‐ gai bagian dari formasi ideologi, gagasan dalam karya sastra pada akhirnya dapat bermuatan kontra hegemonik dan inkorporasi sehingga bersifat resisten terhadap wacana dominan yang sedang

© 2017, Atavisme, ISSN 2503-­‐5215 (Online), ISSN 1410-­‐900X (Print) 16

dijalankan oleh penguasa. Resistensi ter-­‐ jadi manakala gagasan kontra hegemo-­‐ nik berbenturan dengan wacana domi-­‐ nan yang sedang berlangsung (Holub, 2005:77).

Novel Pabrik karya Putu Wijaya menjadi satu gambaran pertarungan ideologi dominan dan subaltern yang di-­‐ pengaruhi oleh konteks sosial masa Orde Baru. Melalui gaya realisme, ikhwal do-­‐ minasi pemilik modal terhadap pekerja/ buruh yang menjadi isu krusial pada Orde Baru digambarkan secara konven-­‐ sional sehingga tetap membuat orang bertanya tentang maksud (gagasan) Putu (Sumardjo, 1991:108). Kelugasan bercerita Putu yang dipadu dengan po-­‐ tongan-­‐potongan kejadian yang padat, intens dalam pelukisan, dan ekspresif bahasanya, bagaimanapun, selalu terikat pada konteks, yakni lingkungan ideo-­‐ logis yang melingkupi ketika wacana ter-­‐ sebut diproduksi.

Berdasarkan latar belakang terse-­‐ but, masalah penelitian ini dapat diru-­‐ muskan dalam pertanyaan sebagai beri-­‐ kut. Ideologi apa sajakah yang ada dalam novel Pabrik karya Putu Wijaya? Bagai-­‐ manakah formasi ideologi dalam novel Pabrik karya Putu Wijaya? Tujuan pene-­‐ litian ini adalah untuk mengungkap dan mengetahui ideologi-­‐ideologi dan forma-­‐ si ideologinya dalam novel Pabrik karya Putu Wijaya.

Bertalian dengan novel Pabrik karya Putu Wijaya sebagai objek material, stu-­‐ di terdahulu yang dilakukan oleh Angga Ramses Wijakangka (2008) menempat-­‐ kan novel Pabrik sebagai objek kajian yang disarikan dalam artikel berjudul Analisis Hegemoni Kekuasaan dalam No-­‐ vel Pabrik Karya Putu Wijaya. Dalam hal pembahasan, artikel tersebut hanya membicarakan bentuk, fungsi, dan mak-­‐ na

(Wijakangka, 2008:187). Lebih lanjut, meskipun judul artikel menyiratkan he-­‐ gemoni sebagai pijakan analisis, aspek-­‐

aspek ideologis yang mendukung mun-­‐ culnya kekuasaan belum menjadi fokus pembahasan. Kekuasaan lebih dianggap sebagai bentuk hegemoni dan belum mempertimbangkan hadirnya ideologi sebagai unsur yang turut menggerakkan lahirnya kekuasan. Padahal, dalam kon-­‐ sep Gramsci, munculnya kelas hegemo-­‐ nik, atau kelompok kelas hegemonik, ter-­‐ jadi lantaran adanya sistem aliansi per-­‐ juangan politik dan ideologi (Simon, 2004:22). Ideologi mengatur dan mem-­‐ berikan tempat bagi manusia untuk ber-­‐ gerak mendapatkan kesadaran akan po-­‐ sisi mereka (Gramsci, 1971:367). Oleh sebab itu, penelitian ini lebih fokus pada ideologi dengan mendasari analisisnya menggunakan teori hegemoni Gramsci.

Dalam padangan Gramsci, makna hegemoni berubah dari “strategi” (ber-­‐ dasarkan konsep Lenin) menjadi sebuah konsep yang, menurut konsep Marxis tentang kekuatan dan hubungan pro-­‐ duksi, menjadi sarana untuk memahami masyarakat dengan tujuan mengubah-­‐ nya. Hegemoni merupakan hubungan antara kelas dan kekuatan sosial. Lahir-­‐ nya kelas hegemonik terjadi karena ada-­‐ nya persetujuan dari kekuatan dan kelas sosial lain dengan cara menciptakan sis-­‐ tem aliansi melalui perjuangan politik dan ideologis (Simon, 2004:19-­‐22). De-­‐ ngan kata lain, kelompok hegemonik ha-­‐ rus melakukan perjuangan untuk mele-­‐ gitimasi kekuasaannya sehingga mem-­‐ buat kelompok lain menerima prinsip-­‐ prinsip, ide-­‐ide, dan norma atau nilainya sebagai milik mereka juga (Sugiono, 2006:40).

Dalam interaksi “pemimpin” dan “yang dipimpin” sejatinya ditunjukkan bahwa ideologi yang hegemonik tidaklah menyebar sendiri, melainkan menjadi tanggung jawab para intelektual. Penger-­‐ tian intelektual dalam konsep Gramsci harus dipahami sebagai strata sosial da-­‐ lam arti luas, yakni komponen yang menjalankan fungsi-­‐fungsi organisasi Dalam interaksi “pemimpin” dan “yang dipimpin” sejatinya ditunjukkan bahwa ideologi yang hegemonik tidaklah menyebar sendiri, melainkan menjadi tanggung jawab para intelektual. Penger-­‐ tian intelektual dalam konsep Gramsci harus dipahami sebagai strata sosial da-­‐ lam arti luas, yakni komponen yang menjalankan fungsi-­‐fungsi organisasi

analisis menggunakan sarana bahasa di-­‐ yang kedua adalah intelektual “tradisio-­‐

dasarkan atas penjelasan Thomson (da-­‐ nal” yang merujuk pada kategori intelek-­‐

lam Hafizh, 2016:133) bahwa bahasa tual yang sudah ada dalam masyarakat

menjadi media dasar untuk memahami (Gramsci, 1971:3-­‐4)

ideologi sebab bahasa berkorelasi de-­‐ Melalui

ngan cara-­‐cara bertindak sehingga mela-­‐ Gramsci, karya sastra tidak lagi berada

perspektif

hegemoni

lui bahasa seseorang tidak hanya untuk pada posisi sekadar gejala kedua yang

dipahami, melainkan juga untuk diperca-­‐ tergantung dan ditentukan oleh masya-­‐

yai, dipatuhi, dan dihormati, serta dibe-­‐ rakat kelas sebagai infrastrukturnya,

dakan dengan yang lainnya. Dari bahasa melainkan dipahami sebagai kekuatan

pulalah, ideologi kekuasan menyatu da-­‐ politik, sosial, dan kultural yang indepen-­‐

lam makna setiap ucapan. den, meskipun tidak lepas dari infrastuk-­‐

turnya. Karya sastra sebagai salah satu

HASIL DAN PEMBAHASAN

bagian (seni) integral kebudayaan dapat Novel Pabrik sebagai sebuah karya men-­‐ diasumsikan sebagai suatu situs hege-­‐

jadi wahana pertarungan bagi terben-­‐ moni dikarenakan sastrawan merupa-­‐

tuknya blok historis secara hegemonik kan salah satu aparatus hegemonik (in-­‐

yang berfungsi sebagai pemelihara per-­‐ telektual organis).

satuan blok sosial dan pemersatu antara Sebagai sebuah situs ideologi, karya

kekuatan sosial yang sesungguhnya ber-­‐ sastra tidak hanya menjadi arena perta-­‐

tentangan, yakni antara kalangan domi-­‐ rungan ideologi, tetapi juga berperan se-­‐

nan dan subaltern. Sebagai sesuatu yang bagai alat pemersatu antara kekuatan-­‐

berada di antara kalangan dominan dan kekuatan sosial yang sesungguhnya ber-­‐

kalangan terdominasi, novel Pabrik men-­‐ tentangan. Pada saat bersamaan pula,

jadi wahana pertarungan ideologi yang karya sastra menjadi ajang pertarungan

mungkin mendukung atau melegitimasi tindakan kolektif kelompok subordinat

posisi kalangan dominan dan meruntuh-­‐ (subaltern) untuk melakukan counter he-­‐

kan kalangan subaltern, atau menjadikan gemoni. Dalam situasi seperti itu, karya

kalangan subaltern yang common sense sastra akan mengandung ideologi-­‐ideo-­‐

menjadi good sense.

logi, baik bersifat bertentangan, korela-­‐ Sesuai judul objek material peneliti-­‐ tif, maupun subordinatif.

an, novel Pabrik menyajikan kehidupan di lingkungan suatu pabrik dengan kon-­‐

METODE

flik antara majikan (pemilik modal) dan Penelitian ini dilakukan dengan tahapan

buruh (subaltern). Sebagai situs pertaru-­‐ sebagai berikut: pertama, menentukan

ngan ideologi, novel Pabrik berisi ideolo-­‐ objek material, yaitu novel Pabrik karya

gi-­‐ideologi yang coba dinegosiasikan Putu Wijaya. Kedua, menentukan objek

oleh Putu Wijaya. Berikut adalah identifi-­‐ formal, yaitu ideologi, yang diteliti meng-­‐

kasi ideologi yang terdapat dalam novel gunakan teori ideologi Gramsci. Ketiga,

Pabrik

pengumpulan data dengan melakukan studi pustaka. Keempat, melakukan ana-­‐

Identifikasi Ideologi

lisis data melalui critical discourse analy-­‐

Ideologi Otoritarianisme

sis (CDA), yaitu menggunakan pendekat-­‐ Keberadaan pemilik modal (kalangan an kebahasaan dengan cara membaca

atas) yang diwakili oleh sosok seluruh peristiwa dalam novel dan

Tirtoatmojo memberikan gambaran ten-­‐ menghubungkan data temuan dengan

tang adanya hierarki status dalam novel

© 2017, Atavisme, ISSN 2503-­‐5215 (Online), ISSN 1410-­‐900X (Print) 17

© 2017, Atavisme, ISSN 2503-­‐5215 (Online), ISSN 1410-­‐900X (Print) 18

Pabrik. Kepemilikan modal dan properti bangunan pabrik menjadikan posisi Tirtoatmojo tidak saja berada pada hie-­‐ rarki tertinggi, tetapi juga memberikan peluang bagi dirinya untuk menguasai hierarki di bawahnya, baik pada lingku-­‐ ngan pabrik maupun masyarakat umum.

Pada hierarki tertinggi, Tirtoatmojo memiliki otoritas mutlak yang tidak da-­‐ pat dipertanyakan oleh orang-­‐orang yang berada pada hierarki bawah. Ketika memberikan

perintah,

perintah

Tirtoatmojo berlaku absolut bagi sese-­‐ orang yang menerima perintah. Siyem,

misalnya, sebagai batur, posisi Siyem ti-­‐ dak memungkinkan untuk membuat pe-­‐ nolakan karena, salah satunya, faktor ke-­‐ pemilikan modal. Dalam kondisi apa pun, perintah Tirtoatmojo adalah otori-­‐ tas tertinggi bagi Siyem. Situasi tersebut tergambar dalam kutipan data berikut.

Siyem cepat berdiri, mau membangun-­‐ kan seluruh pembantu rumah tangga. Tetapi baru saja ia menggugah Salim, tukang kebon, namanya sudah dipang-­‐ gil lagi. Ia segera kembali. “Ya, tuan.:” “Bawa itu orang semua ke sini. Se-­‐ karang juga!” “Baik, tuan.” “Cepat!” Siyem terbirit-­‐birit membangunkan se-­‐ mua orang. Tengah malam itu, tukang kebon, sopir, juru masak, semuanya enak, cepat-­‐cepat berkumpul ke kamar juragan. (Wijaya, 2005:11).

Reaksi cepat Siyem ketika panggilan Tirtoatmojo mengarah padanya menjadi salah satu indikator bahwa otoritas kelas atas mampu menggerakkan perilaku orang-­‐orang pada hierarki di bawahnya. Situasi seperti itu juga menunjukkan bahwa posisi Siyem tidak mampu mem-­‐ produksi otoritas tandingan terhadap Tirtoatmojo. Dalam hal itulah dapat di-­‐ lihat bahwa otoritas hanya dapat diberi-­‐ kan “dari atas” dan tidak dapat datang

“dari bawah” seperti yang diumpakan dalam situasi di tempat kerja bahwa oto-­‐ ritas berada di tangan majikan dan ma-­‐ najer, atau dalam situasi masyarakat ba-­‐ wah pemerintah memegang otoritas pe-­‐ nuh (Heywood, 2016:130)

Otoritas yang hadir bersama Tirtoatmojo sejatinya berasal dari kepe-­‐ milikan properti berupa pabrik. Properti bagi Tirtoatmojo adalah aset yang signi-­‐ fikansinya mendalam dan hampir mistis sifatnya yang bermanfaat secara psiko-­‐ logis dan sosial. Tirtoatmojo menjaga be-­‐ tul properti miliknya dalam kehati-­‐hati-­‐ an dengan manajemen keuangan yang baik. Kepemilikan atas properti menum-­‐ buhkan kepemilikan atas kepentingan tertentu sehingga muncul kewajiban da-­‐ lam diri Tirtoatmojo untuk memperta-­‐ hankan hukum dan ketertiban. Menjaga ketertiban berarti melanggengkan otori-­‐ tas yang dimiliki. Tirtoatmojo tidak me-­‐ noleransi segala tindakan yang menga-­‐ rah pada akuisi properti secara paksa. Tindakan seperti itu bagi Tirtoatmojo adalah pelanggaran berat, bahkan diang-­‐ gap sebagai kejahatan. Sikap Tirtoatmojo dalam mempertahankan properti dapat dilihat dalam kutipan data berikut.

”Dengar baik-­‐baik,” kata Tirtoatmojo, “Joni sudah kembali ini waktu. Tapi ikke suka dia injak ini rumah. Dus barang siapa ketemu dia lantas tidak boleh te-­‐ rima baik dia. Paham? Kamu orang se-­‐ mua mesti unjuk sikap tidak peduli. Ini rumah, pabrik, dan seluruh kekayaan, ikke masih pegang penuh. Dia tidak bisa ambil over begitu saja tanpa ada perse-­‐ tujuan. Itu anak sudah terlalu jahat. Dia bisa sikat ini usaha yang susah payah dibangun, dalam satu-­‐dua hari untuk main judi. (Wijaya, 2005:12).

Tirtoatmojo tidak hanya menunjuk-­‐ kan otoritasnya kepada Siyem, tetapi ju-­‐

ga pada pekerja lainnya. Otoritasnya menjadi semacam tongkat komando ga pada pekerja lainnya. Otoritasnya menjadi semacam tongkat komando

ri atas” yang diterapkan pada sebuah po-­‐ Properti berupa rumah, pabrik, dan ke-­‐

pulasi dengan atau tanpa persetujuan kayaan lainnya dipertahankan dengan

anggota populasi dan keyakinan bahwa teguh oleh Tirtoatmojo dan tidak rela bi-­‐

tatanan sosial hanya dapat dipertahan-­‐ la hal semua itu diambil alih kepemilikan

kan oleh kepatuhan mutlak (dari kalang-­‐ oleh Joni. Bagi Tirtoatmojo, kehilangan

bawah) (Heywood, properti berarti hak otoritas pribadi su-­‐

dah dilanggar. Dalam kondisi otoritas pribadi telah

Ideologi Individualisme

dilanggar, Tirtoatmojo menjalankan pe-­‐ Kesenjangan antara Tirtoatmojo dan pa-­‐ merintahan “dari atas” melalui tindakan

ra pekerja menjadi masalah krusial da-­‐ represif terhadap para pekerja. Berikut

lam novel Pabrik. Konflik antara adalah kutipan data tentang gagasan

Tirtoatmojo dan pekerja menciptakan Tirtoatmojo yang mengarah pada diam-­‐

celah bagi segelintir orang untuk meng-­‐ bilnya tindakan represif untuk memper-­‐

ambil posisi strategis demi kepentingan tahankan properti, atau lebih jauhnya

pribadi.

adalah tentang harga diri. Sosok Tatang adalah gambaran orang yang mencoba mengambil sisi un-­‐

“… Ikke bikin ini pabrik, ikke tolong me-­‐

tung di antara konflik Tirtoatmojo dan

reka dapat duit, kenapa terus menerus

para pekerja. Kedekatan Tatang dengan

ikke mesti terima perintah-­‐perintah.

Joni, anak Tirtoatmojo, menjadi pertim-­‐

Ikke tidak bisa istirahat, mereka mau

bangan untuk tetap berada pada posisi

tuntut semua dan ikke ditendang, satu

“aman” tanpa memihak Tirtoatmojo

kaligus. Kacung-­‐kacung itu mesti ikke

maupun kawan-­‐kawan buruhnya. Mes-­‐

bikin bersih. Ikke bisa cari lain orang yang lebih disiplin.”

kipun merasa tidak memiliki kepenting-­‐ (Wijaya, 2005:45). an dalam konflik tersebut, Tatang de-­‐

ngan sengaja menciptakan “jalur aman” Sebagai

untuk dirinya sendiri jika kelak terjadi Tirtoatmojo tidak mengenal “perintah

pemegang

otoritas,

suksesi kepemilikan pabrik. Kondisi ter-­‐ balik” dari orang-­‐orang berhierarki di

sebut dapat dilihat dalam kutipan data bawahnya. Tuntutan para pekerja, bagi

berikut.

Tirtoatmojo, merupakan sebuah pelang-­‐

garan karena otoritas Tirtoatmojo hanya

Seandainya Joni yang sudah lama ingin

mengenal kepatuhan mutlak dari ba-­‐ memimpin pabrik itu dapat meyakin-­‐

kan Tirto bahwa sudah waktunya ia di-­‐

wahan tanpa ada unsur dialogis di da-­‐

beri kesempatan. Tatang teringat bebe-­‐

lamnya.

rapa pengalaman kecil bersama Joni.

Dalam situasi seperti Tirtoatmojo

Kemudian ia teringat beberapa kawan

dengan otoritas yang berasal “dari atas”

buruh Ilyas, Dringgo, Eko, Robin,

dapat ditarik benang merah bahwa

Muginah, Siti…, yang ingin menuntut

Tirtoatmojo berideologi otoritarianisme.

pada Tirto agar diberi saham, karena

Hal itu dibuktikan dengan pemikiran

mereka telah menyerahkan tanah me-­‐

dan keyakinan dalam diri Tirtoatmojo

reka untuk pabrik. Seandainya Joni te-­‐

bahwa dialog (memerintah balik) tidak

lah kuasa, bagaimana nasib mereka.

perlu ada dan dalam setiap pengambilan

Tatang sendiri berdiri di luar karena ia

keputusan tidak perlu ada persetujuan tak mempunyai janji apa-­‐apa. Ia buruh

biasa, yang kebetulan saja tergaet. Pada

dari orang-­‐orang pada hierarki bawah.

mulanya ia hanya gelandang biasa. Joni

Dengan kata lain, otoritarianisme adalah

menemukannya sebagai pedagang obat

© 2017, Atavisme, ISSN 2503-­‐5215 (Online), ISSN 1410-­‐900X (Print) 19 © 2017, Atavisme, ISSN 2503-­‐5215 (Online), ISSN 1410-­‐900X (Print) 19

yang dia kuasai. Guna mengamankan

bungkannya dengan pabrik. Pokoknya

aset, Tirtoatmojo lantas mendoktrin pa-­‐

yang paling penting, ia adalah sahabat

ra buruh untuk mengacuhkan Joni di

Joni, lebih dari buruh-­‐buruh lainnya

mana pun berada. Intinya, Joni tidak me-­‐

(Wijaya, 2005:34).

miliki tempat dan terbatas ruang gerak-­‐

nya.

Tatang tidak ubahnya buruh biasa

Joni, sikap otoritarian seperti kawan-­‐kawannya, Ilyas, Dringgo,

Bagi

Tirtoatmojo merupakan halangan bagi-­‐ Eko, Robin, Muginah, dan Siti. Hanya sa-­‐

nya untuk bergerak bebas. Joni tidak ja, Tatang memiliki “investasi” kedekat-­‐

ingin dibatasi oleh aturan-­‐aturan yang an dengan Joni sehingga tumbuh pemi-­‐

mempersempit ruang geraknya. Ke-­‐ kiran bahwa kelak “investasi” itu akan

inginan Joni untuk merdeka, terbebas menghasilkan untung besar baginya ma-­‐

dari hegemoni Tirtoatmojo secara seder-­‐ nakala Joni menggantikan posisi

hana menjadi gambaran bahwa paham Tirtoatmojo.

Teman-­‐teman

buruh

liberalisme ada pada dirinya. Gambaran Tatang tidak lagi menjadi bahan pertim-­‐

tersebut dapat dilihat pada kutipan data bangan dalam penentuan sikap kelak ji-­‐

berikut.

ka suksesi kepemilikan pabrik berhasil.

Pemikiran Tatang pada ungkapan: po-­‐

Lucu sekali. Bagaimana seseorang yang

koknya yang paling penting, ia adalah sa-­‐

masih mempunyai kaki dan otak dice-­‐

habat Joni, lebih dari buruh-­‐buruh lain-­‐

gah untuk mengunjungi tempat-­‐tempat

nya (Wijaya, 2005) menunjukkan bahwa

yang terbuka. Undang-­‐undang melin-­‐

Tatang berdaulat penuh pada pikiran

dungi tindakan-­‐tindakanku. Saya ma-­‐

dan tubuhnya sendiri.

suk dengan sopan, tidak seorang pun

Kecenderungan Tatang yang me-­‐

berhak mengusir seseorang yang mela-­‐

mentingkan pribadinya mengarahkan

kukan percakapan dengan kawannya

diri untuk mengingkari dimensi sosial.

dalam sebuah kantin umum. Melarang

Bahkan, cenderung oportunis yang di-­‐ perbuatan yang tidak terlarang bisa di-­‐

adukan kepada polisi!

wujudkan melalui sikap-­‐sikap “peng-­‐ (Wijaya, 2005:15)

hambaan” terhadap hierarki yang ber-­‐

ada di atasnya. Kegembiraan melaksana-­‐ Joni merasa dirinya adalah orang

kan perintah atasan, ataupun yang ber-­‐ yang bebas dari segala pembatasan. Bagi

kaitan dengan urusan publik, sementara Joni kebebasan berbicara di muka umum

kawan-­‐kawannya sedang berkonflik, merupakan bagian dari kebebasan yang

menjadikan diri Tatang tampak sebagai dianutnya dan dilindungi oleh undang-­‐

sosok asosial terhadap kondisi kawan-­‐ undang. Sikap Joni yang tergambar da-­‐

kawan buruh (Wijaya, 2005:110-­‐111). lam kutipan tersebut merupakan wujud

Mempertimbangkan diri sendiri sebagai ideologi liberalisme yang mengusung ke-­‐

realitas yang berbeda dengan individu bebasan berpikir dan berekspresi. Se-­‐

lainnya dalam hal pemenuhan kepen-­‐ cara sosial-­‐politik, sikap Joni tersebut

tingan diri menjadi satu ciri paham indi-­‐ mengandung ideologi liberalisme dari vidualisme (Heywood, 2016:47, 89).

sudut pandang kehidupan, kebebasan, dan hak milik (Hafizh, 2016:134).

Ideologi Liberalisme

Selain sosok Joni, buruh bernama Selain konflik Tirtoatmojo (majikan) de-­‐

Dringgo juga melakukan upaya pembe-­‐ ngan para buruh, konflik internal juga

basan diri dari hegemoni Tirtoatmojo. terjadi antara Tirtoatmojo dan Joni

Hanya saja, capaian Dringgo bukanlah (anaknya). Tirtoatmojo sudah mencium

akuisisi kepemilikan pabrik, melainkan keinginan Joni mengambil alih pabrik

20 © 2017, Atavisme, ISSN 2503-­‐5215 (Online), ISSN 1410-­‐900X (Print) 20 © 2017, Atavisme, ISSN 2503-­‐5215 (Online), ISSN 1410-­‐900X (Print)

kalau dilipatgandakan dibanding pen-­‐

da dirinya dan kawan-­‐kawan buruh lain-­‐

dapat pabrik ini. Dia maju terus, kita

nya dalam hal perbaikan gaji. Pemikiran

mau dikuburnya di sarang pelacuran

dan gagasan Dringgo tentang hak-­‐hak

itu! Dia sengaja membiarkan kita main

yang seharusnya diterima menjadi salah judi, Paman dilepasnya supaya kita jadi

penjudi, kita dibiarkan kalau sudah hu-­‐

satu indikator bahwa Dringgo memiliki

tang, kita akan lupa tanah ini kepunya-­‐

ideologi liberalisme.

an kita, tanah ini kita sewakan kepada-­‐ nya. Kita sudah lupa mengusut siapa

“Kita bukan priyayi. Kita membutuhkan yang sudah membakar kampung kita bayaran yang lebih baik. Bisa apa de-­‐

ini dulu”.

ngan uang yang kita terima sekarang? (Wijaya, 2005:69). Kalian belum berkeluarga, kalian belum

bisa merasakan. Aku? Tidak banyak-­‐ba-­‐

Kutipan data tersebut merupakan

nyak. Asal cukup saja. Pabrik ini sudah

bagian dialog Dringgo ketika mendengar

maju sekarang, kapan mereka mau ba-­‐

informasi bahwa tunjangan hari raya

las sedikit jasa kita. Kita sudah bantu dia sejak tak punya apa-­‐apa. Tanah kita

akan dilimpahkan nanti untuk hadiah ta-­‐

serahkan. Katanya kita ikut sebagai pe-­‐

hun baru. Ungkapan, kita akan lupa ta-­‐

milik. Buktinya apa. Malah ada kawan-­‐

nah ini kepunyaan kita, tanah ini kita se-­‐

kawan yang dipecat. Dan ingat, Joni

wakan kepadanya. Kita sudah lupa meng-­‐

sendiri anaknya tak urung dia sikat,

usut siapa yang sudah membakar kam-­‐

apalagi kita. Kita harus bertindak seka-­‐

pung kita ini dulu, menunjukkan Dringgo

rang. Jangan tunggu. Tunggu apa lagi.”

berusaha menyadarkan kawan-­‐kawan (Wijaya, 2005:19) buruh untuk mengingat bahwa jangan

sampai terperdaya dengan janji dan re-­‐ Kenaikan upah, bagi Dringgo, diang-­‐

torika Tirtoatmojo.

gap sebagai wujud balas jasa dari pabrik Liberalisme dalam novel Pabrik cen-­‐ kepadanya dan kawan-­‐kawan buruh

derung muncul sebagai akibat tidak yang turut membesarkan pabrik; buruh-­‐

diberikannya hak yang seharusnya di-­‐ buruh telah menyerahkan tanah untuk

peroleh oleh para buruh. Ideologi libera-­‐ lokasi pembangungan pabrik. Ajakan

lisme sangat tampak pada tokoh Dringgo terhadap kawan-­‐kawan buruh-­‐

Dringgo.

nya untuk melakukan “pergerakan”

menjadi satu tanda bahwa Dringgo me-­‐

Ideologi Anarkisme

miliki ideologi liberalisme. Ideologi anarkisme dalam novel Pabrik Dringgo tidak hanya melakukan

tampak pada gagasan-­‐gagasan Dringgo tuntutan hak perbaikan gaji semata, me-­‐

dalam menyelesaikan konflik dengan lainkan juga melakukan penyadaran un-­‐

Tirtoatmojo. Dringgo melawan otoritas tuk menolak lupa dengan peristiwa pem-­‐

Tirtoatmojo dengan membangun kesa-­‐ bakaran rumah penduduk di awal ber-­‐

daran setiap buruh bahwa tunduk ke-­‐ dirinya pabrik Tirtoatmojo. Proses pe-­‐

pada Tirtoatmojo sama artinya rela diha-­‐ nyadaran yang dilakukan oleh Dringgo

pus karena hakikat diri sudah ditindas tergambar dalam kutipan data berikut.

dan dihisap menuju ketergantungan yang melumpuhkan.

“Ini sudah melewati batas. Bertahun-­‐

Dalam

pandangan Dringgo,

tahun kita percaya omongannya. Kita

Tirtoatmojo tidak ubahnya penguasa (in-­‐

dijanjikan perumahan, kita dijanjikan

stitusi) yang harus digulingkan bersama

saham, kita dijanjikan jaminan hidup, lihat sekarang! Kita mau dikubur! Bera-­‐

perangkat otoritasnya. Dringgo gigih

pa banyak tunjangan Hari Raya itu

beroposisi terhadap Tirtoatmojo. Tujuan

© 2017, Atavisme, ISSN 2503-­‐5215 (Online), ISSN 1410-­‐900X (Print) 21

Dringgo hanya satu, yakni mengguling-­‐

Formasi Ideologi

kan Tirtoatmojo dengan seluruh perang-­‐ Analisis formasi ideologi dilakukan de-­‐ kat otoritasnya. Kegigihan Dringgo dapat

ngan memperhatikan peristiwa-­‐peris-­‐ dilihat dalam kutipan data berikut.

tiwa fungsional yang menentukan/me-­‐ mengaruhi perkembangan alur. Semen-­‐

“Kalau kampung ini masih berdiri, kita

tara, peristiwa kaitan, atau peristiwa

sudah punya rumah yang permanen se-­‐

yang mengaitkan peristiwa-­‐peristiwa

karang. Kita tidak usah numpuk dengan

fungsional, di kesampingkan karena pe-­‐

pelacur-­‐pelacur dan kita tidak usah

ristiwa kaitan dapat dihilangkan tanpa

bergantung nyawa dari pabrik jahanam

memengaruhi logika cerita.

ini. Ya, apalagi namanya kalau bukan ja-­‐

hanam. Kita sudah dapat dibelinya, di-­‐ kurasnya. Sabar-­‐sabar terus kita akan

Perlawanan Buruh

masuk kubur. Sekarang kita bertindak.

Peristiwa ini menceritakan pertemuan

Kita harus mogok kerja. Mogok semua,

tiga laki-­‐laki buruh pabrik Tirtoatmojo di

jangan ada yang ambil muka. Pabrik ini

rumah Muginah. Satu diantara tiga laki-­‐

harus dihajar. Kalau tidak ada kita, ma-­‐

laki tersebut bernama Dringgo. Dringgo

na bisa ia jalan sendiri!”

dan dua kawannya masih menunggu se-­‐ (Wijaya, 2005:74) orang kawan lagi, Ilyas.

Pada kesempatan itu, Dringgo me-­‐ Sikap oposisi Dringgo terhadap oto-­‐

nunjukkan ketidaksabarannya menung-­‐ ritas Tirtoatmojo diwujudkan dalam

gu kedatangan Ilyas yang dalam setiap ajakan melakukan mogok kerja. Ajakan

kali pertemuan selalu menyuruh kawan-­‐ mogok kerja menjadi satu tindakan nya-­‐

kawan buruh untuk selalu bersabar. ta dalam melawan kekuasaan institusi.

Pernyataan Dringgo, sekarang kita ber-­‐

“Sudah Dringgo, jangan terlalu ambisi-­‐

tindak. Kita harus mogok kerja. Mogok

us. Harus ada perhitungan.”

semua, jangan ada yang ambil muka.

“Boleh, perhitungan boleh saja. Tapi

Pabrik ini harus dihajar, menunjukkan

jangan terus membuat kita kendor. La-­‐

bahwa pabrik, bagi Dringgo, dianggap

ma-­‐lama kita akan dipaksa melepaskan

sebagai institusi yang membelenggu

hak kita atas tanah ini. Kalau kita sudah sama-­‐sama miskin, dia akan bayar kita

hak-­‐hak kaum buruh sehingga mutlak

semua. Sudah itu dia tidak akan mem-­‐

untuk dihancurkan.

punyai ikatan apa-­‐apa lagi. Lantas kita

Sikap Dringgo yang tidak mau kom-­‐

diusirnya. Ini bahaya. Sesudah pabrik

promi dengan Tirtoatmojo menyebab-­‐

maju, baru ia tidak butuh kita! Benar ti-­‐

kan ekskalasi perlawanannya meningkat

dak?”

dengan memunculkan opsi keras, yakni

Tak ada yang berani menjawab. Diam-­‐

kematian buruh atau hancurnya pabrik.

diam memikirkan kebenaran Dringgo,

(Wijaya, 2005:78). Munculnya perlawan-­‐

yang tidak pernah mau ngerem sedikit

an dan opsi keras Dringgo, dari sudut

mulutnya itu untuk basa-­‐basi. Dringgo

pandang sosial politik menunjukkan

sendiri memahami keadaan itu. Tetapi

bahwa sesungguhnya ideologi anarkis-­‐ ia kemudian menjadi jemu juga me-­‐

nunggu keberanian kawan-­‐kawannya.

me menolak institusi (negara) dengan

“Terus terang saja, aku sudah tidak sa-­‐

otoritas tertinggi di atas semua individu

bar. Kalau kalian mau terus juga berun-­‐

pada ruang tertentu, yakni hukum pub-­‐

ding-­‐berunding-­‐berunding-­‐berunding,

lik, kehidupan ekonomi, intervensi mo-­‐

seperti priyayi, aku akan bertindak sen-­‐

ralitas, dan pikiran pribadi setiap orang

diri. Sampai sekarang, aku belum punya

(Heywood, 2016:241).

alasan memukulnya, padahal sudah ga-­‐ tal sekali. Paling tidak kalau aku tidak

22 © 2017, Atavisme, ISSN 2503-­‐5215 (Online), ISSN 1410-­‐900X (Print) 22 © 2017, Atavisme, ISSN 2503-­‐5215 (Online), ISSN 1410-­‐900X (Print)

Kutipan data tersebut menggam-­‐ Memperhatikan wacana tersebut,

barkan peran Ilyas yang meredam gejo-­‐ dapat disimpulkan bahwa peristiwa ini

lak buruh dan negosiator kepentingan dipengaruhi oleh ideologi liberalisme

buruh dan pabrik. Bagi Dringgo, Ilyas yang diwakili oleh semangat untuk men-­‐

berada di posisi yang tidak jelas; antara dapatkan hak atas saham kepemilikan

memihak buruh, mendukung pemilik pabrik. Dringgo mulai tidak percaya de-­‐

modal, atau memperjuangkan diri sendi-­‐ ngan Ilyas yang notabene sebagai peng-­‐

ri? Meskipun dipandang seperti itu, Ilyas hubung antara buruh dan Tirtoatmojo.

tetap menempati posisi yang disegani Peristiwa tersebut termasuk peristiwa

oleh para buruh.

fungsional yang memengaruhi alur ceri-­‐ Sebagai negosiator, Ilyas berhasil ta, yakni Dringgo menjadi semakin keras

meredam emosi para buruh ketika dijan-­‐ melawan segala usaha pemilik pabrik

jikan berlipatnya tunjangan hari raya se-­‐ yang tidak memihak kaum buruh.

perti terlihat pada kutipan data berikut. Ideologi yang memengaruhi peris-­‐

tiwa tersebut adalah liberalisme yang di-­‐

“Nah, pembicaraan belum selesai. Ke-­‐

wakili oleh pandangan bahwa persama-­‐

mungkinan memang ada. Mari bicara di

an hak sebagai pemilik saham pabrik ha-­‐

belakang semua, apa yang akan kita la-­‐

rus direalisasikan. Di sinilah titik pen-­‐

kukan. Ayo, jangan di sini. Kita melang-­‐

ting pengaruh munculnya peristiwa ini

gar jam kerja kalau bicara di sini. Ayo,

dalam alur cerita.

yang lain kembali. Tidak perlu semua.

Nanti waktu istirahat boleh kumpul se-­‐

muanya. Aya, ayo, apa kita mau terje-­‐

Gerakan Kompromi

bak diri kita sendiri?

Gerakan kompromi muncul sebagai pe-­‐

Ilyas akhirnya berhasil juga mengatur

ngaruh dari peristiwa fungsional perte-­‐

orang-­‐orang itu. Sebagian besar disu-­‐

muan buruh di rumah Muginah. Ilyas se-­‐

ruh kembali meneruskan pekerjaan-­‐

bagai orang yang dianggap pimpinan bu-­‐

nya. Ia mengajak beberapa orang, ter-­‐

ruh melakukan penyadaran-­‐penyadaran

masuk Dringgo, mengadakan pembi-­‐

pada para buruh tentang strategi lobi

caraan di gudang.

untuk memenangkan tuntutan buruh.

(Wijaya, 2005:70)

Ilyas selalu berada di tengah-­‐tengah an-­‐

tara pemilik pabrik dan buruh. Ilyas se-­‐ Ilyas mencoba membuka wacana lalu mengedepankan lobi dan perbin-­‐

dialogis bersama buruh bahwa meng-­‐ cangan untuk menyelesaikan masalah.

gantungkan nasib pada pabrik memang mudah untuk dipermainkan, tetapi da-­‐

“Sabar, sabar,” kata Ilyas. “Kalau mau

lam bertindak harus hati-­‐hati dan tidak

bunuh-­‐bunuhan biar aku dibunuh lebih

perlu kekerasan. Alur cerita yang di-­‐

dahulu…”

mainkan oleh tokoh Ilyas memainkan

Kelompok itu jadi tertegun. Saat ini di-­‐

peran penting pada peristiwa selanjut-­‐

pergunakan dengan baik oleh Ilyas. Ia

nya, yaitu peristiwa kekerasan yang dila-­‐

membuat janji-­‐janji lkagi menyurutkan

kukan oleh Dringgo.

hati teman-­‐temannya.

“Percayalah, kalian boleh lihat hasilnya

Kekerasan sebagai Akibat Otoritarian-­‐

nanti. Hadiah Hari Raya akan dibayar li-­‐

isme

pat hari ini. Kalau tidak, aku yang me-­‐ nanggung risikonya!”

Akibat sikap perlawanan Dringgo dan

“Betul!” kata Paman. “Hadiah dibayar ti-­‐

adanya pertemuan di rumah Muginah,

ga kali lipat.”

Tirtoatmojo sebagai pemilik pabrik

© 2017, Atavisme, ISSN 2503-­‐5215 (Online), ISSN 1410-­‐900X (Print) 23 © 2017, Atavisme, ISSN 2503-­‐5215 (Online), ISSN 1410-­‐900X (Print) 23

“Kami memperjuangkan hak-­‐hak kami

gai pemilik modal, Tirtoatmojo lantas

sebagai manusia. Kami yang mati atau

memanggil buruh-­‐buruh yang terindika-­‐

pabrik ini yang lenyap!

si terlibat dalam pergerakan Dringgo.

Paman memandang Dringo dengan ji-­‐

Dringgo semakin menunjukkan sikap jik.

“Kamu sudah dipecat, kamu tidak perlu

berlawanan dengan Tirtoatmojo. Keda-­‐