BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Keagenan - Pengaruh Komisaris Independen, Komite Audit, Kepemilikan Manajerial, dan Kepemilikan Institusional Terhadap Manajemen Laba pada Perusahaan Otomotif yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Teori Keagenan

  Dalam perekonomian modern, manajemen dan pengelolaan perusahaan semakin banyak dipisahkan dari kepemilikan perusahaan. Hal ini sejalan dengan teori agensi yang menekankan pentingnya pemilik perusahaan (pemegang saham) menyerahkan pengelolaan perusahaan kepada para tenaga profesional yang lebih mengerti dalam menjalankan bisnis. Teori keagenan mendeskripsikan hubungan antara pemegang saham sebagai prinsipal dan manajemen sebagai agen.

  Manajemen merupakan pihak yang dikontrak untuk bekerja demi kepentingan pemegang saham dan memiliki keleluasaaan dalam menjalankan manajemen perusahaan. Sementara, pemilik perusahaan (pemegang saham) hanya bertugas mengawasi jalannya perusahaan yang dikelola oleh manajemen serta mengembangkan sistem insentif bagi pengelola manajemen untuk memastikan bahwa mereka bekerja demi kepentingan perusahaan.

  Teori agensi memiliki asumsi bahwa masing-masing individu semata-mata termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara prinsipal dan agen. Pihak prinsipal termotivasi mengadakan kontrak untuk menyejahterakan dirinya dengan profitabilitas yang selalu meningkat. Agen termotivasi untuk memaksimalkan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan psikologisnya, antara lain dalam hal memperoleh investasi, pinjaman, maupun kontrak kompensasi.

  Teori agensi pertama sekali dipopulerkan oleh Jensen dan Meckling pada tahun 1976 . Definisi yang dibuat oleh Jensen dan Meckling (2012: 17) “A

  contract under which one or more persons (the principal/s) engage another person (agent) to perform some service on their behalf which involve delegating some decisions making authority to the agent. If both partners to relationship are utility maximizers there is good reason to believe that the agent will not always act in the best interest of the principal ”.

  Hubungan keagenan merupakan suatu kontrak dimana satu atau lebih orang (prinsipal) memerintah orang lain (agen) untuk melakukan suatu jasa atas nama prinsipal serta memberi wewenang kepada agen membuat keputusan yang terbaik bagi prinsipal. Jika kedua belah pihak tersebut mempunyai tujuan yang sama untuk memaksimumkan nilai perusahaan, maka diyakini agen akan bertindak dengan cara yang sesuai dengan kepentingan prinsipal.

  Prinsipal tidak memiliki informasi yang cukup tentang kinerja agen. Agen mempunyai lebih banyak informasi mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja, dan perusahaan secara keseluruhan. Hal inilah yang mengakibatkan adanya ketidakseimbangan informasi yang dimiliki oleh prinsipal dan agen.

  Ketidakseimbangan informasi inilah yang disebut dengan asimetri informasi. Asimetri informasi dan konflik kepentingan yang terjadi antara prinsipal dan agen mendorong agen untuk menyajikan informasi yang tidak sebenarnya kepada prinsipal, terutama jika informasi tersebut berkaitan dengan pengukuran kinerja agen. Asimetri informasi antara manajemen dengan pemilik dapat memberikan kesempatan kepada manajer untuk melakukan manajemen laba dalam rangka menyesatkan pemilik (pemegang saham) mengenai kinerja ekonomi perusahaan.

2.1.2 Good Corporate Governance

2.1.2.1 Definisi Corporate Governance

  Corporate governance merupakan konsep yang didasarkan pada teori

  keagenan, diharapkan bisa berfungsi sebagai alat untuk memberikan keyakinan kepada para investor bahwa mereka akan mendapatkan return atas dana yang telah mereka investasikan. Penerapan prinsip good corporate governance ke seluruh aspek kegiatan perusahaan sangat diperlukan. Hal ini disebabkan prinsip utama dari good corporate governance adalah keadilan bagi seluruh pemegang saham, keterbukaan melalui laporan keuangan yang akurat dan informasi tepat waktu atas kinerja perusahaan.

  Good Corporate Governance dapat didefinisikan sebagai suatu proses dan

  struktur yang digunakan oleh organ perusahaan (Pemegang Saham/Pemilik Modal, Komisaris/Dewan Pengawas, dan Direksi) untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan pemangku kepentingan lainnya, berlandaskan peraturan perundang-undangan dan nilai-nilai etika.

  Adapun pengertian corporate governance menurut Forum for Corporate

  

Governance in Indonesia (FCGI) yaitu seperangkat peraturan yang menetapkan

  hubungan antara pemegang saham, pengurus, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan ektern lainnya sehubungan dengan kata hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan.

  Good Corporate Governance secara definitif merupakan sistem yang

  mengatur dan mengendalikan perusahaan untuk menciptakan nilai tambah untuk semua pemangku kepentingan. Ada dua hal yang ditekankan dalam konsep ini, pertama, pentingnya hak pemegang saham untuk memperoleh informasi dengan benar (akurat) dan tepat pada waktunya, dan kedua, kewajiban perusahaan untuk melakukan pengungkapan secara akurat, tepat waktu, dan transparan terhadap semua informasi kinerja perusahaan, kepemilikan, dan pemangku kepentingan.

  Tujuan dari corporate governance adalah untuk menciptakan pertambahan nilai bagi pihak pemegang kepentingan.

2.1.2.2 Prinsip – Prinsip Corporate Governance

  Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (2006), asas Good

  

Corporate Governance adalah transparansi, akuntabilitas, resposibilitas,

  independensi, serta kewajaran dan kesetaraan diperlukan untuk mencapai kesinambungan usaha perusahaan dengan memperhatikan pemangku kepentingan

  Beberapa prinsip dasar GCG adalah sebagai berikut : 1.

  Transparansi, mewajibkan adanya suatu informasi yang terbuka, tepat waktu, serta jelas dan dapat diperbandingkan, yang menyangkut keadaan keuangan,pengelolaan perusahaan, dan kepemilikan perusahaan.

  2. Akuntabilitas, menjelaskan peran dan tanggungjawab, serta mendukung usaha untuk menjamin penyimpangan kepentingan manajemen dan pemegang saham, sebagaimana yang diawasi oleh Dewan Komisaris.

  3. Responsibity, perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen.

  4. Independensi, untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.

  5. Kewajaran dan Kesetaraan, dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperlihatkan kepentingan pemegang saham dan stackeholder lainnya Berdasarkan asas kewajaran dan kesetaaraan.

2.1.2.3 Manfaat Corporate Governance

  Manfaat corporate governanace menurut pedoman Umum Good Governance Indonesia (2006) adalah: 1.

  Mendorong tercapainya kesinambungan perusahaan melalui pengelolaan yang didasarkan pada asas transparansi, akuntanbilitas, responsibilitas, independensi serta kewajaran dan kesetaraan.

  2. Mendorong pemberdayaan fungsi dan kemandirian masing-masing organ perusahaan, yaitu dewan komisaris, dewan direksi dan rapat umum pemegang saham.

  3. Mendorong pemegang saham, anggota dewan komisaris dan anggota direksi agar dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakannya dilandasi oleh nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.

  4. Mendorong timbulnya kesadaran dan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar perusahaan.

5. Mengoptimalkan nilai perusahaan bagi pemegang saham dengan tetap memperhatikan pemangku kepentingan lainnya.

  6. Meningkatkan daya saing perusahaan secara nasional maupun internasional, sehingga meningkatkan kepercayaan pasar yang dapat mendorong arus investasi dan pertumbuhan ekonomi nasional yang berkesinambungan.

2.1.3 Komisaris Independen Dewan komisaris memiliki peran untuk memonitor kebijakan direksi.

  Peran komisaris ini diharapkan dapat meminimalisir permasalahan agensi yang muncul antara dewan direksi dan pemengang saham, sehingga kinerja yang dihasilkan oleh perusahaan sesuai dengan tujuan yang telah direncanakan. Dewan komisaris memegang peran penting dalam mengarahkan strategi dan mengawasi jalannya perusahaan serta memastikan bahwa para manajer benar- benar meningkatkan kinerja perusahaan sebagai bagian dari pencapaian perusahaan.

  Dewan komisaris merupakan inti dari corporate governance yang ditugaskan untuk menjamin pelaksanaan strategi perusahaan, mengawasi manajemen dalam mengelola perusahaan, serta mewajibkan terlaksananya akuntabilitas (Egon, 2000).

  Fama dan Jensen (1983) menyatakan bahwa komisaris independen dapat bertindak sebagai penengah dalam perselisihan yang terjadi diantara para manajer internal dan mengawasi kebijakan manajemen serta memberikan nasihat kepada manajemen. Komisaris independen merupakan posisi terbaik untuk melaksanakan fungsi monitoring agar terciptanya perusahaan good corporate governance.

  Dewan komisaris yang independen secara umum mempunyai pengawasan yang lebih baik terhadap manajemen , sehingga mempengaruhi kemungkinan kecurangan dalam menyajikan laporan keuangan yang dilakukan oleh manajer (Chtourou et al.,2001) atau dengan kata lain, semakin kompeten dewan komisaris maka semakin mengurangi kemungkinan kecurangan dalam pelaporan keuangan.

  Komisaris independen diangkat karena pengalamannya dianggap berguna bagi organisasi tersebut. Mereka bisa mengawasi dewan komisaris dan mengawasi bagaimana dewan direksi menjalankan perusahaan tersebut. Komisaris independen biasanya berguna dalam melerai sengketa antara dewan direksi, atau antara pemegang saham dan dewan komisaris. Komisaris independen dianggap berguna karena mereka bisa bersikap objektif dan memiliki resiko kecil dalam

  conflict of interest .

  Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (2006) menetapkan beberapa kriteria untuk menjadi komisaris independen pada perusahaan tercatat sebagai berikut: 1.

  Tidak memiliki hubungan afiliasi dengan pemegang saham pengendali perusahaan yang bersangkutan.

  2. Tidak memiliki hubungan afiliasi dengan Direktur dan/atau Komisaris lainnya pada perusahaan yang bersangkutan.

  3. Tidak bekerja rangkap sebagai Direktur di perusahaan lainnya yang terafiliasi dengan perusahaan yang bersangkutan.

  4. Tidak menduduki jabatan eksekutif atau mempunyai hubungan bisnis dengan perusahaan yang bersangkutan dan perusahaan-perusahaan lainnya yang terafiliasi dalam jangka waktu 3 tahun terakhir.

  5. Tidak menjadi partner atau principal di perusahaan konsultan yang memberikan jasa pelayanan professional pada perusahaan dan perusahaan- perusahaan lainnya yang terafiliasi.

  6. Bebas dari segala kepentingan dan kegiatan bisnis atau hubungan yang lain yang dapat diinterpretasikan akan menghalangi atau mengurangi kemampuan Komisaris Independen untuk bertindak dan berpikir independen demi kepentingan perusahaan.

  7. Memahami peraturan perundang-undangan PT, UU Pasar Modal dan UU serta peraturan-peraturan lain yang terkait.

  Dengan demikian, terlihat bahwa pada dasarnya komisaris independen memiliki peranan yang sama dengan komisaris yaitu menjamin pelaksanaan strategis perusahaan, mengawasi manajemen perusahaan dalam mengelola perusahaan, serta terlaksananya akuntabilitas. Pada intinya komisaris independen merupakan suatu mekanisme independen (netral) mengawasi dan mekanisme untuk memberikan petunjuk dan arahan pada pengelola perusahaan.

2.1.4 Komite Audit

  Komite audit merupakan sekelompok orang yang dipilih dari dewan komisaris perusahaan yang bertanggung jawab untuk membantu auditor dalam mempertahankan independensinya dari manajemen. Keberadaan komite audit sangat penting bagi pengelolaan perusahaan. Komite audit merupakan komponen baru dalam sistem pengendalian perusahaan. Selain itu komite audit dianggap sebagai penghubung antara pemegang saham dan dewan komisaris dengan pihak manajemen dalam menanggung masalah pengendalian.

  Ikatan Komite Audit Indonesia (IKAI) mendefinisikan komite audit sebagai suatu komite yang bekerja secara profesional dan independen yang dibentuk oleh dewan komisaris dan, dengan demikian, tugasnya adalah membantu dan memperkuat fungsi dewan komisaris (atau dewan pengawas) dalam menjalankan fungsi pengawasan atas proses pelaporan keuangan, manajemen risiko, pelaksanaan audit dan implementasi dari corporate governance di perusahaan-perusahaan.

  Berdasarkan Surat Edaran BEI, SE-008/BEJ/12-2001, keanggotaan komite audit terdiri dari sekurang-kurangnya tiga orang termasuk ketua komite audit.

  Anggota komite ini yang berasal dari komisaris hanya sebanyak satu orang, anggota komite yang berasal dari komisaris tersebut merupakan komisaris independen perusahaan tercatat sekaligus menjadi ketua komite audit. Anggota lain yang bukan merupakan komisaris independen harus berasal dari pihak eksternal yang independen.

  Tujuan pembentukan komite audit dalam perusahaan adalah untuk meningkatkan efektifitas, akuntabilitas, transparansi, dan obyektivitas dewan komiaris dan dewan direksi. Tujuan komite audit adalah memungkinkan dewan komisaris untuk memberikan penilaian independen atas kinerja keuangan perusahaan, memperkuat posisi auditor eksternal, membuat indepensi serta obyektivitas auditor internal dalam memberikan rekomendasi perbaikan, memperbaiki kualitas pelaporan keuangan yang mengakibatkan meningkatnya keyakinan publik, khusunya investor terhadap perusahaan.

2.1.5 Kepemilikan Manajerial

  Menurut Wahidahwati (2001) Kepemilikan manajerial adalah pemegang saham dari pihak manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan perusahaan.

  Kepemilikan manajerial menunjukkan adanya peran ganda seorang manajer, yakni manajer bertindak juga sebagai pemegang saham. Sebagai seorang manajer sekaligus pemegang saham tidak ingin perusahaan dalam keadaan kesulitan keuangan bahkan mengalami kebankrutan. Keadaan ini akan merugikan baik sebagai manajer atau sebagai pemegang saham. Sebagai manajer akan kehilangan insentif dan sebagai pemegang saham akan kehilangan return ataupun dana yang diinvestasikannya (Diah, 2009). Menurut Sofiana (2009) dalam Diah (2009) peran struktur kepemilikan manajerial dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu: pendekatan keagenan dan pendekatan informasi asimetri atau ketidakseimbangan informasi. Dimana pendekatan keagenan menganggap struktur kepemilikan manajerial sebagai sebuah instrumen atau alat untuk mengurangi konflik keagenan diantara berbagai klaim terhadap perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan meningkatkan kepemilikan manajerial untuk mensejajarkan kedudukan manajer dengan pemegang saham sehingga bertindak sesuai dengan keinginan pemegang saham.

  Sedangkan menurut pendekatan kedua, informasi asimetri menganggap struktur kepemilikan manajerial sebagai salah satu cara untuk mengurangi ketidakseimbangan informasi antara insiders dan outsiders melalui pengungkapan informasi di dalam pasar modal. Dengan adanya kepemilikan saham oleh pihak

  insiders , maka insiders akan ikut memperoleh manfaat langsung atas keputusan-

  keputusan yang diambilnya, selain itu para manajer juga akan semakin hati-hati dalam menentukan hutang perusahaan karena mereka akan memeperoleh manfaat langsung dari keputusan yang mereka ambil serta akan menanggung kerugian sebagai konsekuensi dari pengambilan keputusan yang salah. Sehingga kebangkrutan perusahaan bukan lagi menjadi tanggung jawab pemilik utama. Trisyanti (2009) dalam Diah (2009) menyatakan bahwa kepemilikan manajerial itu sendiri dapat dilihat dari konsentrasi kepemilikan atau prosentase saham yang dimiliki oleh dewan direksi dan manajemen. Prosentase tersebut diperoleh dari banyaknya jumlah saham yang dimiliki oleh manajerial. Semakin besar proporsi kepemilikan manajerial pada perusahaan, maka manajemen cenderung lebih giat untuk kepentingan pemegang saham dimana pemegang saham adalah dirinya sendiri.

2.1.6 Kepemilikan Institusional

  Konsentrasi kepemilikan institusional merupakan saham perusahaan yang dimiliki oleh institusi atau lembaga seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi dan kepemilikan institusi lain. Kepemilikan institusional memiliki arti penting dalam memonitor manajemen karena dengan adanya kepemilikan oleh institusional akan mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal. Pengaruh kepemilikan institusional sebagai agen pengawas ditekan melalui investasi mereka yang cukup besar dalam pasar modal.

  Kepemilikan institusional memiliki kemampuan untuk mengurangi insentif para manajer yang oportunis melalui pengawasan intensif. Kepemilikan institusional dapat menekan kecenderungan pemanfaatan diskresionari dalam laporan keuangan sehingga memberikan kualitas yang baik pada laba yang dilaporkan. Adanya pengawasan investor institusional secara optimal terhadap kinerja manajer, maka manajer akan memfokuskan perhatiannya terhadap kinerja perusahan dan akan lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan. Monitoring tersebut tentunya akan menjamin kemakmuran untuk pemegang saham. Hal ini didukung oleh penelitian dari Cruthley et al, (1999) dalam Septiyanto (2012) yang menemukan bahwa monitoring yang dilakukan oleh institusi mampu mensubtitusi biaya keagenan lain (hutang, deviden dan kepemilikan manajerial), sehingga biaya keagenan menurun dan nilai perusahaan meningkatkan kepercayaan pemegang saham.

  Jensen dan Meckling (1976) dalam Rivaldo (2013) menyatakan bahwa kepemilikan institusional memiliki peranan yang sangat penting dalam meminimalisasi konflik keagenan yang terjadi antara pemilik dan manajer. Keberadaan investor institusional dianggap mampu menjadi mekanisme pengawasan yang efektif dalam setiap keputusan yang diambil oleh manajer. Hal ini disebabkan investor institusional terlibat dalam pengambilan keputusan strategis sehingga tidak mudah percaya pada tindakan manipulasi laba.

2.1.7 Manajemen Laba

2.1.7.1 Definisi Manajemen Laba

  Manajemen laba didefinisikan sebagai upaya manajer perusahaan untuk mengintervensi atau mempengaruhi informasi-informasi dalam laporan keuangan dengan tujuan untuk mengelabui pemangku kepentingan yang ingin mengetahui kinerja dan kondisi perusahaan. Menurut Schipper (1989) manajemen laba adalah “suatu intervensi yang disengaja pada proses pelaporan eksternal dengan maksud untuk mendapatkan beberapa keuntungan pribadi”. Definisi tersebut mengartikan bahwa manajemen laba merupakan perilaku oportunistik manajer untuk memaksimumkan utilitas mereka. Manajer melakukan manajemen laba dengan memilih metoda atau kebijakan akuntansi terlebih dahulu untuk menaikkan laba atau menurunkan laba. Manajer dapat menaikkan laba dengan menggeser laba periode-periode yang akan datang ke periode kini dan manajer dapat menurunkan laba dengan menggeser laba periode kini ke periode-periode berikutnya.

  Permasalahan manajemen laba merupakan masalah keagenan yang seringkali dipicu oleh adanya pemisahan peran atau perbedaan kepentingan antara pemilik (pemegang saham) dengan pengelola (manajemen) perusahaan. Healy dan Wahlen (1998) mendefinisikan manajemen laba sebagai:

  “ketika manajer menggunakan pertimbangan dalam pelaporan keuangan dan transaksi penataan untuk mengubah laporan keuangan baik menyesatkan beberapa pemangku kepentingan tentang kinerja ekonomi yang mendasari perusahaan, atau untuk mempengaruhi hasil kontrak yang tergantung pada laporan angka akuntansi ”.

  Sugiri (dalam widyaningdyah, 2001) membagi definisi manajemen laba menjadi dua, yaitu: a.

  Definisi sempit Manajemen Laba dalam hal ini hanya berkaitan dengan pemilihan metode akuntansi. Manajemen laba dalam artian sempit ini didefinisikan sebagai perilaku manajer untuk “bermain” dengan komponen discretionary accruals dalam menentukan besarnya laba.

  b.

  Definisi luas Manajemen laba merupakan tindakan manajer untuk meningkatkan (mengurangi) laba yang dilaporkan saat ini atas suatu unit dimana manajer bertanggung jawab, tanpa mengakibatkan peningkatan (penurunan) profitabilitas ekonomis jangka panjang unit tersebut. Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa manajemen laba merupakan tindakan yang dilakukan oleh manajemen yang mempengaruhi dalam pelaporan keuangan untuk memanipulasi laba yang diperoleh selama periode berjalan.

  2.1.7.2 Motivasi Manajemen Laba

  Watts dan Zimmmerman (2011: 31-36) secara umum terdapat beberapa hal yang memotivasi individu atau badan usaha melakukan tindakan manajemen laba, diantaranya adalah sebagai berikut : 1.

  Motivasi Bonus. Dalam sebuah perjanjian bisnis, pemegang saham akan memberikan sejumlah insentif dan bonus sebagi umpan balik atau evaluasi atas kinerja manajer dalam menjalankan operasional perusahaan. Kinerja manajemen salah satunya diukur dari pencapaian laba usaha sehingga memotivasi para manajer untuk manajemen laba agar dapat menampilkan kinerja yang baik demi mendapatkan bonus yang maksimal.

  2. Motivasi Utang. Untuk kepentingan ekspansi perusahaan, manajer seringkali melakukan beberapa kontrak bisnis dengan pihak ketiga, dalam hal ini adalah kreditor. Agar kreditor mau menginvestasikan dananya diperusahaan, tentunya manajer harus menunjukkan performa yang baik dari perusahaannya.

  3. Motivasi Pajak. Perpajakan merupakan salah satu alasan utama mengapa perusahaan mengurangi laba yang dilaporkan. Dengan mengurangi laba yang dilaporkan maka perusahaan dapat meminimalkan besar pajak yang harus dibayarkan kepada pemerintah.

  4. Motivasi Penjualan Saham. Motivasi ini banyak digunakan oleh perusahaan yang akan go public ataupun sudah go public. Salah satu ukuran kinerja yang dilihat oleh calon investor adalah penyajian laba pada laporan keuangan perusahaan. Untuk mempengaruhi keputusan calon investor maka manajer berusaha menaikkan laba yang dilaporkan.

  5. Motivasi Pergantian Direksi. Menjelang berakhirnya masa jabatan, direksi akan melakukan strategi memaksimalkan laba agar performa kerjanya terlihat baik sehingga memperoleh bonus yang maksimal pada akhir masa jabatannya.

  6. Motivasi Politik. Motivasi politik biasanya terjadi pada perusahaan besar yang bidang usahanya menyentuh masyarakat luas. Perusahaan cenderung menurunkan laba untuk mengurangi visibilitas perusahaan terutama selama periode kemakmuran tinggi. Hal ini dilakukan untuk memperoleh kemudahan dan fasilitas dari pemerintah misalnya subsidi.

  2.1.7.3 Pola Manajemen Laba

  Menurut Scott (1997) merangkum pola umum yang banyak dilakukan dalam praktik manajemen laba sebagai berikut :

  1. Pola Taking a Bath Pola ini dilakukan dengan cara mengatur laba perusahaan tahun berjalan menjadi sangat tinggi atau rendah dibandingkan laba periode tahun sebelumnya atau tahun berikutnya. Pola ini biasa dipakai pada perusahaan yang mengalami masalah organisasi (organization stress) atau sedang dalam proses pergantian pimpinan manajemen perusahaan.

  2. Pola Income Minimization Dilakukan dengan menjadikan laba periode tahun berjalan lebih rendah dari laba sebenarnya. Pola ini dilakukan dengan motivasi perpajakan. Agar nilai pajak yang dibayarkan tidak terlalu tinggi, manajer cenderung menurunkan laba periode tahun berjalan melalui penghapusan aset tetap atau pengakuan biaya - biaya periode mendatang ke periode tahun berjalan.

  3. Pola Income Maximization Pola ini dilakukan dengan cara menjadikan laba tahun berjalan lebih tinggi dari laba sebenarnya. Teknik yang dilakukan beragam, mulai dari menunda pelaporan biaya

  • – biaya periode tahun berjalan ke periode mendatang, pemilihan metode akuntansi yang dapat memaksimalkan laba, sampai dengan meningkatkan jumlah penjualan dan produksi.

  4. Pola Income Smoothing Pola ini dilakukan dengan mengurangi fluktuasi laba sehingga laba yang dilaporkan relative stabil. Untuk investor dan kreditur yang memiliki sifat

  

risk adverse , kestabilan laba merupakan hal penting dalam pengambilan

  keputusan. Stabilitas laba ini dapat diperoleh dengan mengombinasikan dua pola, yaitu meminimalkan laba atau memaksimalkan laba.

2.2 Penelitian Terdahulu

  Corporate Governance

  Kepemilikan Manajerial, Proporsi Dewan Komisaris dan Komite Audit berpengaruh secara signifikan terhadap Manajemen Laba. Uji parsial

  Variabel independennya adalah kepemilikan institusional, proporsi dewan komisaris, komite audit Variabel

  Terhadap Manajemen Laba Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek

  Corporate Governance

  Analisis Pengaruh Mekanisme Good

  2. Thiodora Panjaitan (2012)

  (proporsi dewan komisaris independen, komite audit, dan ukuran KAP) berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba.

  Beberapa hasil pengujian dari penelitian terdahulu dapat dilihat dari tabel 2.1 sebagai berikut :

Tabel 2.1 Penelitian terdahulu

  Variabel independennya adalah struktur kepemilikan, ukuran perusahaan, komposisi dewan komisaris independen, komite audit, ukuran kap. Variabel dependennya adalah manajemen laba.

  Terhadap Manajemen Laba

  Governance

  Pengaruh Struktur Kepemilikan Manajerial, Ukuran Perusahaan, dan Praktik Corporate

  1. Rizke Meitha Anggraeni (2013)

  Hasil Penelitian

  No. Nama Peneliti Judul Variabel Penelitian

  Struktur kepemilikan manajerial dan ukuran perusahaan tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba. Sementara itu praktik Indonesia Periode dependennya menunjukkan 2009-2010 adalah hanya manajemen laba. Kepemilikan

  Manajerial yang berpengaruh signifikan terhadap Manajemen Laba. Sedangkan Proporsi Dewan Komisaris dan Komite Audit tidak berpengaruh signifikan terhadap Manajemen Laba.

  3. Okta Rezika Analisis Pengaruh Variabel Kepemilikan Praditia (2010) Mekanisme indepedennya Institusional,

  Corporate adalah kepemilikan Governance kepemilikan manajerial,

  terhadap institusional, komisaris Manajemen Laba kepemilikan independen, dan dan Nilai manajerial, kualitas auditor Perusahaan pada komisaris tidak Perusahaan independen, berpengaruh Manufaktur yang kualitas auditor. terhadap Terdaftar di BEI manajemen laba.

  Variabel pada Tahun 2005- Kepemilikan dependennya 2008 institusional, adalah kepemilikan manajamen laba manajerial, dan dan nilai kualitas auditor perusahaan. tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan, sedangkan komisaris independen berpengaruh negatif signifikan terhadap nilai perusahaan.

  4. Panca Wahyuningsih (2009)

  Pengaruh Struktur Kepemilikan Institusional dan

  Corporate Governance

  terhadap Manajemen Laba

  Variabel independennya adalah struktur kepemilikan institusional, proporsi dewan komisaris independen, ukuran dewan komisaris, keberadaan komite audit, dan ukuran perusahaan.

  Variabel dependennya adalah manajemen laba.

  Semua variabel yaitu kepemilikan institusional, proporsi dewan komisaris independen, ukuran dewan komisaris, keberadaan komite audit, dan ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap manajemen laba.

  5. Rohans Rivaldo (2013)

  Analisis Pengaruh

  Corporate Governance, Leverage , dan

  Profitabilitas terhadap Manajemen Laba pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia.

  Variabel independennya adalah kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, proporsi komisaris independen, komposisi komite audit, leverage, dan profitabilitas. Variabel dependennya adalah manajemen laba.

  Secara simultan dan secara parsial kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, proporsi komisaris independen, komposisi komite audit, leverage, dan profitabilitas tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba.

  Anggraeni (2013) melakukan penelitian mengenai pengaruh Karakteristik Dewan Komisaris dan Komite Audit Terhadap Manajemen Laba pada Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2009 sampai 2011. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa struktur kepemilikan manajerial dan ukuran perusahaan tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba.

  Sementara itu praktik Corporate Governance (proporsi dewan komisaris independen, komite audit, dan ukuran KAP) berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba.

  Panjaitan (2012) melakukan penelitian mengenai pengaruh mengenai pengaruh mekanisme good corporate governance terhadap manajemen laba terhadap perusahaan manufktur yang terdaftar di bursa efek inonesia pada periode 2009-2011. Hasil dari penelitian ini menunjukkan Kepemilikan Manajerial, Proporsi Dewan Komisaris dan Komite Audit berpengaruh secara signifikan terhadap Manajemen Laba. Uji parsial menunjukkan hanya Kepemilikan Manajerial yang berpengaruh signifikan terhadap Manajemen Laba. Sedangkan Proporsi Dewan Komisaris dan Komite Audit tidak berpengaruh signifikan terhadap Manajemen Laba.

  Praditia (2010) meneliti pengaruh mekanisme good corporate governance yang diproksikan dengan komisaris independen, kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, dan kualitas auditor terhadap manajemen laba. Hasilnya menunjukkan bahwa konsentrasi kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, komisaris independen dan kualitas auditor tidak berpengaruh terhadap manajemen laba.

  Wahyuningsih (2009) meneliti pengaruh struktur kepemilikan institusional dan corporate governance terhadap manajemen laba. Hasilnya menunjukkan bahwa semua variabel yaitu kepemilikan institusional, proporsi dewan komisaris independen, ukuran dewan komisaris, keberadaan komite audit, dan ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Husni (2013) meneliti pengaruh mekanisme good corporate governance, leverage, dan profitabilitas terhadap manajemen laba. Hasilnya menunjukkan bahwa kepemilikan institusional, leverage, dan profitabilitas tidak berpengaruh terhadap manajemen laba, sedangkan komisaris independen, ukuran dewan komisaris, ukuran dewan direksi, dan komite audit berpengaruh terhadap manajemen laba.

  Rivaldo (2013) meneliti pengaruh corporate governance, leverage, dan profitabilitas terhadap manajemen laba pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di bursa efek indonesia. Penelitian ini dilakukan menggunakan sampel sebanyak 103 perusahaan manufaktur. Hasil penelitian ini menujukkan bahwa secara simultan dan secara parsial kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, proporsi komisaris independen, komposisi komite audit, leverage, dan profitabilitas tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba.

2.3 Kerangka Konseptual

  Kerangka konseptual merupakan suatu model yang menjelaskan bagaimana hubungan suatu teori dengan faktor-faktor penting yang telah diketahui dalam suatu masalah tertentu. Kerangka konseptual dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Komisaris Independen

  H1

  Komite Audit

  H2

  Manajemen Laba Kepemilikan Manajerial

  H3

  Kepemilikan Institusional

H4 H5

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

2.4 Perumusan Hipotesis

2.4.1 Pengaruh Komisaris Independen Terhadap Manajemen Laba

  Dapat dikatakan bahwa komposisi dewan komisaris yang terdiri dari anggota yang berasal dari luar perusahaan mempunyai kecenderungan mempengaruhi manajemen laba. Terkait dengan manajemen laba, dewan komisaris independen tidak berkaitan langsung dengan perusahaan yang mereka tangani, karena mereka bertugas untuk memonitoring direksi perusahaan tanpa ada tekanan dari pihak manapun, sehingga pekerjaan yang dilakukannya murni tanpa ada campur tangan dengan pihak manapun. Berdasarkan pemaparan mengenai dewan komisaris independen terhadap manajemen laba, maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut

  H1: Komisaris Independen berpengaruh terhadap manajemen laba

  2.4.2 Pengaruh Komite Audit Terhadap Manajemen Laba

  Komite audit merupakan komite yanag dibentuk oleh dewan direksi yang bertugas melaksanakan pengawasan independen atas proses laporan keuangan dan audit eksternal. Komite audit dapat menjadi salah satu upaya untuk meningkatkan pengawasan terhadap tindakan manajemen yang memungkinkan untuk melakukan manipulasi keuangan. Anggraeni (2013) menemukan bahwa jumlah anggota komite audit yang lebih besar akan dapat menurunkan atau meminimalisir manajemen laba. Berdasarkan rangkaian penjelasan diatas, maka hipotesis alternatif yang dikemukakan adalah sebagai berikut:

  H2: Komite audit berpengaruh terhadap manajemen laba

  2.4.3 Pengaruh Kepemilikan Manajerian dengan Manajemen Laba

  Kepemilikan perusahaan merupakan salah satu mekanisme yang dapat dipergunakan agar pengelola melakukan aktivitas sesuai kepentingan pemilik perusahaan. Kepemilikan saham yang dimiliki oleh manajemen termasuk didalamnya dimiliki oleh manajemen secara pribadi maupun dimiliki oleh anak cabang perusahaan bersangkutan beserta afiliasinya. Jensen & Meckling (1976) menyatakan bahwa kepemilikan manajerial berhasil menjadi mekanisme untuk mengurangi masalah keagenan dengan menyelaraskan kepentingan-kepentingan manajer dengan pemegang saham. Masalah keagenan dapat diminimalisasi dengan cara meningkatkan kepemilikan manajerial karena dengan kepemilikan manajerial yang semakin meningkat maka manajemen akan cenderung berusaha meningkatkan kinerjanya untuk kepentingan pemegang saham. Berdasarkan ragkaian penjelasan diatas, maka hipotesis alternatif yang dikemukakan adalah sebagai berikut:

  H3: Struktur kepemilikan manajerial berpengaruh terhadap manajemen

  laba

2.4.4 Pengaruh Kepemilikan Institusional dengan Manajemen Laba

   Kepemilikan institusional merupakan salah satu cara untuk memonitor

  kinerja manajer dalam mengelola perusahaan sehingga dengan adanya kepemilikan oleh institusi lain diharapkan bisa mengurangi perilaku manajemen laba yang dilakukan manajer. Kepemilikan institusional diukur dari presentase antara saham yang dimiliki oleh institusi dibagi dengan banyaknya saham yang beredar. Kepemilikan institusional adalah persentase hak suara yang dimiliki oleh institusi. Kepemilikan institusional yang tinggi membatasi manajer untuk melakukan pengelolaan laba. Hal ini berarti bahwa kepemilikan institusional dapat meningkatkan monitoring terhadap perilaku manajer dalam mengantisipasi manipulasi yang mungkin dilakukan sehingga dapat tercipta manajemen laba yang baik.

  

H4: Kepemilikan institusional berpengaruh terhadap manajemen laba

2.4.5 Pengaruh Komisaris Independen, Komite Audit, Kepemilikan Manajerial, Kepemilikan Institusional Terhadap Manajemen Laba

  Dari uraian tentang pengaruh komisaris independen, komite audit, kepemilikan manajerial, dan kepemilikan institusional terhadap manajemen laba di atas yang telah diuraikan, maka juga dapat di simpulkan bahwa secara simultan, komisaris independen, komite audit, kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional memiliki pengaruh terhadap manajemen laba, dengan hipotesis sebagai berikut:

  H5: Komisaris independen, komite audit, kepemilikan manajerial, dan

  kepemilikan institusional secara simultan berpengaruh terhadap manajemen laba

Dokumen yang terkait

PERUBAHAN FUNGSI SOSIOEKOLOGIS LEKSIKON FLORA BAHASA PAKPAK DAIRI Dairi Sapta Rindu Simanjuntak dairisaptajuntakyahoo.com Dwi Widayati, Nurlela Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Abstract - Perubahan Fungsi Sosioekologis Leksikon Flora Bahasa

0 0 19

BAB II KERANGKA TEORI 2.1 Definisi Strategi - Analisis Strategi Pemasaran Pada Coruca Coffee Shop

0 0 26

BAB I PENDAHULIAN 1.1 - Analisis Strategi Pemasaran Pada Coruca Coffee Shop

0 0 8

Gambaran Paparan Asap Rokok Selama Kehamilan dan Berat Badan Bayi yang dilahirkan pada Ibu yang Melahirkan di Beberapa Rumah Sakit dan Klinik Bersalin di Medan

0 0 49

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Rokok dan efeknya terhadap hasil konsepsi - Gambaran Paparan Asap Rokok Selama Kehamilan dan Berat Badan Bayi yang dilahirkan pada Ibu yang Melahirkan di Beberapa Rumah Sakit dan Klinik Bersalin di Medan

0 0 15

KETERANCAMAN LEKSIKON EKOAGRARIS DALAM BAHASA ANGKOLAMANDAILING: KAJIAN EKOLINGUISTIK Deli Kesuma delikesumayahoo.com Dwi Widayati, Nurlela Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Abstrak - Keterancaman Leksikon Ekoagraris dalam Bahasa Angkola/Man

0 1 23

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Biometrika - Aplikasi Pendeteksian Wajah Manusia untuk Menghitung Jumlah Manusia Menggunakan Metode Viola-Jones

1 1 26

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Analisis Kemampuan - Kemampuan Menggunakan Harf Jarr Dalam Kalimat Bahasa Arab Oleh Mahasiswa Departemen Sastra Arab Usu Tahun Pembelajaran 2013/2014

0 1 23

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Leverage 2.1.1 Pengertian Leverage - Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kelengkapan Pengungkapan Laporan Keuangan pada PTPN-IV

0 0 20

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - Tata Cara Pengembalian kelebihan Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai pada Kantor Pelayanan Pajak Paratama Medan Petisah

0 0 16