5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Luka Operasi 2.1.1 Definisi Infeksi Luka Operasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi Luka Operasi

2.1.1 Definisi Infeksi Luka Operasi Infeksi luka operasi adalah infeksi dari luka yang didapat setelah operasi.

  Dapat terjadi diantara 30 hari setelah operasi, biasanya terjadi antara 5 sampai 10 hari setelah operasi. Infeksi luka operasi ini dapat terjadi pada luka yang tertutup ataupun pada luka yang terbuka, dikarenakan untuk proses penyembuhannya. Dapat juga terjadi pada jaringan dari organ tubuh dan juga dapat terjadi pada jaringan superfisial (yang dekat dengan kulit) ataupun pada jaringan yang lebih dalam. Pada kasus yang serius dapat mengenai organ tubuh (Anonim, 2008).

  Kriteria untuk mendefinisikan infeksi luka operasi, yaitu: a.

  Infeksi Superfisial, yaitu infeksi yang terjasi diantara 30 hari setelah operasi dan infeksi hanya mengenai pada kulit atau jaringan subkutan pada daerah bekas insisi.

  b.

  Infeksi Dalam, yaitu infeksi yang terjadi diantara 30 hari setelah operasi dimana tidak menggunakan alat-alat yang ditanam pada daerah dalam dan jika menggunakan alat-alat yang ditanam maka infeksi terjadi diantara 1 tahun dan infeksi yang terjadi berhubungan dengan luka operasi dan infeksi mengenai jaringan lunak yang dalam dari bekas insisi. c.

  Organ atau ruang, yaitu infeksi yang terjadi diantara 30 hari setelah operasi dimana tidak menggunakan alat yang ditanam pada daerah dalam dan jika menggunakan alat yang ditanam maka infeksi terjadi diantara 1 tahun dan infeksi mengenai salah satu dari bagian organ tubuh, selain pada daerah insisi tetapi juga selama operasi berlangsung karena manipulasi yang terjadi.

  Infeksi yang terjadi pada luka operasi disebabkan oleh bakteri, yaitu bakteri gram negatif (E.coli), gram positif (Enterococcus) dan terkadang bakteri anaerob yang dapat berasal dari kulit, lingkungan, dari alat-alat untuk menutup luka dan operasi. Bakteri yang paling banyak adalah Staphylococcus (Raymond, 2009).

2.1.2 Patogenesis

  Pada akhir operasi, bakteri dan mikroorganisme lain mengkontaminasi seluruh luka operasi, tetapi hanya sedikit pasien yang secara klinis menimbulkan infeksi. Infeksi tidak berkembang pada kebanyakan pasien karena pertahanan tubuhnya yang efektif untuk menghilangkan organisme yang mengkontaminasi luka operasi. Infeksi potensial terjadi tergantung pada beberapa faktor, diantaranya yang terpenting adalah: a.

  Jumlah bakteri yang memasuki luka b. Tipe dan virulensi bakteri c. Pertahanan tubuh host d. Faktor eksternal, seperti: berada di rumah sakit beberapa hari sebelum pembedahan dan operasi yang berlangsung lebih dari 4 jam. Selain itu juga dipengaruhi faktor lain yaitu: a.

  Operating suite, yaitu tidak adanya batas yang jelas antara ruang untuk operasi dan ruang untuk mempersiapkan pasien atau untuk pemulihan dan juga pakaian yang digunakan hampir tidak ada bedanya.

  b.

  Operating room, ruangan yang digunakan untuk operasi harus dijaga sterilitasnya.

  c.

  Tim operasi, yaitu harus ada orang yang merawat pasien dari sebelum, saat dan setelah operasi. Operator, asisten dan instrumen harus menjaga sterilitas karena berhubungan langsung dengan daerah lapangan operasi. Orang-orang yang tidak ikut sebagai tim operasi harus menjauhi daerah lapangan operasi dan menjauhi daerah alat karena mereka tidak steril dan pasien bisa terinfeksi nantinya.

  (Raymond, 2009). Faktor pasien: a.

  Umur Menurut Purwandari 2008, bayi mempunyai pertahanan yang lemah terhadap infeksi, lahir mempunyai antibody dari ibu, sedangkan sistem imunnya masih imatur. Dewasa awal sistem imun telah memberikan pertahanan pada bakteri yang menginvasi. Pada usia lanjut, karena fungsi dan organ tubuh mengalami penurunan, sistem imun juga mengalami perubahan. Peningkatan infeksi juga sesuai dengan umur dimana pada usia 65 tahun kejadian infeksi tiga kali dari pada usia muda. b.

  Status nutrisi yang buruk Kondisi gizi buruk dapat mengakibatkan pasien mengalami berbagai komplikasi pasca operasi dan mengakibatkan pasien menjadi lebih lama dirawat di rumah sakit. Komplikasi yang sering terjadi adalah infeksi pasca operasi, dehisiensi, demam dan penyembuhan luka yang lama.

  c.

  Merokok d. Obat-obat yang digunakan

  Di dalam tubuh manusia, selain ada bakteri yang patogen oportunis, ada pula bakteri yang secara mutualistik yang ikut membantu dalam proses fisiologis tubuh. Pengetahuan tentang mekanisme ketahanan tubuh orang sehat yang dapat mengendalikan jasad renik oportunis perlu diidentifikasi secara tuntas. Dengan demikian bahaya infeksi dengan bakteri oportunis pada penderita penyakit berat dapat diatasi tanpa harus menggunakan antibiotika.

  (Suparyanto, 2011)

2.1.3 Gejala Infeksi Luka Operasi

  Gejala yang sering ditemukan pada pasien infeksi luka operasi diantaranya adalah:

a. Nyeri

  dalah perasaan tidak nyaman, baik ringan maupun berat. Nyeri ini hanya dapat dirasakan oleh individu tersebut tanpa dapat dirasakan oleh orang lain, serta mencakup pola fikir, aktivitas seseorang secara langsung, dan juga perubahan hidup seseorang. Nyeri merupakan tanda dan gejala penting yang dapat menunjukkan telah terjadinya gangguan secara fisiologikal (Potter dan Ferry, 2005). Penyebab nyeri diantaranya yaitu : i. Trauma. Trauma ini juga terbagi menjadi beberapa macam. Penyebab trauma ini terbagi menjadi: a)

  Mekanik. Rasa nyeri yang diakibatkan oleh mekanik ini timbul akibat ujung-ujung saraf bebas mengalami kerusakan. Contoh dari nyeri akibat trauma mekanik ini adalah akibat adanya benturan, gesekan, luka dan lain- lain.

  b) Thermis. Nyeri karena hal ini timbul karena ujung saraf reseptor mendapat rangsangan akibat panas, dingin, misal karena api dan air.

  c) Khemis. Nyeri yang ditimbulkan karena adanya kontak dengan zat kimia yang bersifat asam atau pun basa kuat.

  d) Elektrik. Nyeri yang ditimbulkan karena adanya pengaruh aliran listrik yang kuat mengenai reseptor rasa nyeri yang menimbulkan kekejangan otot dan luka bakar. ii. Neoplasma. Neoplasma ini juga terbagi menjadi dua yaitu:

  a) Neoplasma Jinak.

  b) Neoplasma Ganas. iii. Gangguan sirkulasi darah dan kelainan pembuluh darah. Hal ini dapat dicontohkan pada pasien denga yang dirasakan adalah adanya nyeri dada yang khas. iv. Peradangan. Nyeri yang diakibatkan karena adanya kerusakan ujung-ujung saraf reseptor akibat adanya peradangan atau terjepit oleh pembengkakan.

  Contohnya adalah nyeri karena abses.

  Pengkajian nyeri masih tergolong subyektif karena tergantung dari penilaian seseorang untuk merasakan nyeri. Pengukuran nyeri dapat digunakan dengan metode Verbal Rating Scale (VRS). Verbal Rating Scale merupakan jenis pengukuran nyeri yang telah lama dipergunakan dan merupakan pengukuran nyeri dalam bentuk sederhana. Dapat berupa pertanyaan sederhana 'apakah anda merasa nyeri?', yang dapat dijawab pasien dengan 'iya' atau 'tidak'. Namun, biasanya dalam pengukuran ini mempergunakan 4 sampai dengan 5 titik intensitas skala dengan deskripsi seperti; tidak nyeri, sedikit nyeri, nyeri sedang, sangat nyeri.

b. Eksudat

  Infeksi luka operasi juga mengeluarkan eksudat yang berlebihan dan tidak terkontrol. Peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan sekresi faktor permeabilitas vaskular oleh sel tumor merupakan penyebab pengeluaran eksudat yang berlebihan. Produksi eksudat juga akan meningkat ketika terjadi infeksi dan rusaknya jaringan karena protease bakteri (Naylor, 2002).

  Eksudat adalah setiap cairan yang merupakan filter dari sistem peredaran darah pada daerah peradangan. Komposisinya bervariasi, tetapi umumnya terdiri dari air dan zat-zat yang terlarut pada cairan sirkulasi utama seperti darah. Dalam hal ini, darah akan berisi beberapa protein plasma, sel darah putih, trombosit dan sel darah merah (apabila terjadi kasus kerusakan vascular lokal) (Crisp & Taylor, 2001).

  Jumlah eksudat juga dapat diukur dengan menggunakan alat ukur yang diambil dari Bates-Jensen wound assessment tool (Bates-Jensen & Sussman, 1998). Hasil pengukuran dikategorikan berdasarkan proporsi balutan yang terpapar eksudat. Jumlah eksudat diukur dengan membagi area menjadi 4 bagian.

  Kategori pengukuran digambarkan sebagai berikut: Tidak ada = jaringan luka tampak kering Kurang = jaringan luka tampak lembab, tidak terdapat eksudat yang diukur pada balutan Kecil = jaringan luka tampak basah, kelembaban terdistribusi pada luka, drainase pada balutan

  ≤ 25% Sedang = jaringan luka tampak jenuh, drainase dapat terdistribusi pada luka, drainase pada balutan > 25% s.d.

  ≤ 75%. Besar = jaringan luka basah, drainase bebas, dapat terdistribusi pada luka, drainase pada balutan

  ≥ 75%.

2.2 Perawatan Paliatif

  Perawatan paliatif adalah perawatan kesehatan terpadu yang bersifat aktif dan menyeluruh, dengan pendekatan multidisiplin yang terintegrasi. Tujuannya untuk mengurangi penderitaan pasien, memperpanjang umurnya, meningkatkan kualitas hidupnya, juga memberikan dukungan kepada keluarganya. Mesti pada akhirnya pasien meninggal, yang terpenting sebelum meninggal dia sudah siap secara psikologis dan spiritual, serta tidak stres menghadapi penyakit yang dideritanya. Jadi, tujuan utama perawatan paliatif bukan untuk menyembuhkan, dan yang ditangani bukan hanya penderita tetapi juga keluarganya (Diananda, 2009).

  Menurut dr. Maris A Witjaksono, dokter palliative Care Rumah Sakit Dharmais, (Diananda, 2009), prinsip-prinsip perawatan paliatif sebagai berikut: a.

  Menghargai setiap kehidupan.

  b.

  Menganggap kematian sebagai proses normal.

  c.

  Tidak mempercepat atau menunda kematian.

  d.

  Menghargai keinginan pasien dalam setiap pengambilan keputusan.

  e.

  Menghilangkan nyeri dan gejala lain yang mengganggu.

  f.

  Mengintegrasikan aspek psikologis, sosial, dan spiritual.

  g.

  Menghidari tindakan medis yang sia-sia.

  h.

  Memberikan dukungan yang diperlukan agar pasien tetap aktif sesuai dengan kondisinya sampai akhir hayat. i.

  Memberikan dukungan kepada keluarga dalam masa duka cita.

  2.3 Antibiotik

Antibiotik ialah segolongan senyawa, baik alami maupun sintetik, yang

  mempunyai efek menekan atau menghentikan suatu proses biokimia di dalam Berdasarkan mekanisme kerjanya, antimikroba dibagi dalam lima kelompok (Ganiswara, 1995): a.

  Mengganggu metabolisme sel mikroba b. Menghambat sintesis dinding sel mikroba c. Mengganggu permeabilitas dinding sel mikroba d. Menghambat sintesis protein sel mikroba e. Menghambat sintesis atau merusak asam nukleat mikroba.

  Setelah dokter menetapkan perlu diberikan antimikroba pada pasien, langkah berikutnya ialah memilih jenis antimikroba yang tepat, serta menentukan dosis dan cara pemberiannya. Dalam memilih jenis antimikroba yang tepat harus dipertimbangkan faktor sensitivitas mikrobanya terhadap antimikroba, keadaan tubuh hospes dan faktor biaya pengobatan (Ganiswara, 1995).

  2.4 Metronidazol

2.4.1 Pengertian

  Metronidazol (1b-hidroksi-etil)2-metil-5-nitroimidazol, ditemukan pada tahun 1950. Dikembangkan menjadi antibiotik yang sering dan sangat penting dalam menangani infeksi yang disebabkan oleh bakteri anaerob (Hauser, 2007).

  Injeksi metronidazol adalah larutan steril, isotonis, dalam air untuk injeksi yang didapar, mengandung metronidazol tidak kurang dari 90,0% dan tidak lebih dari 110,0% dari jumlah yang tertera pada etiket (Ditjen POM, 1995).

  Metronidazol merupakan molekul kecil yang dapat melakukan difusi pasif ke dalam bakteri. Komponen yang sangat penting dari struktur metronidazol adalah nitro group yang tersambung pada ring siklik. Nitro group ini harus mengalami reduksi untuk mengaktifkan metronidazol. Nitro group dari metronidazol diperkirakan membentuk radikal bebas yang berefek pada kerusakan molekul DNA bakteri sehingga bakteri mati (Hauser, 2007).

  Metronidazol topikal bekerja dengan cara berikatan pada DNA bakteri dan mengganggu replikasi bakteri (Bale, dkk., 2004).

  Dalam sel atau mikroorganisme metronidazol mengalami reduksi menjadi produk polar. Hasil reduksi ini mempunyai aksi antibakteri dengan jalan menghambat sintesa asam nukleat sehingga menghambat replikasi bakteri (Hauser, 2007). Kelompok nitroimidazol seperti metronidazol mampu memecah pita ganda DNA menjadi fragmen-fragmen DNA. Metronidazol mampu menghambat pertumbuhan bakteri anaerob dan protozoa (Gambar 2.2).

Gambar 2.2 Mekanisme metronidazol dalam memecah DNA

2.4.3 Manfaat metronidazol

  Metronidazol bekerja efektif baik lokal maupun sistemik. Metronidazol telah digunakan secara luas sebagai agen topikal untuk mengatasi gejala luka kanker (Bale, dkk., 2004). Metronidazol topikal efektif mengatasi luka dengan eksudat dan tidak menimbulkan rasa nyeri ataupun tidak enak (Kalinski, dkk., 2005).

2.5 Larutan

  Larutan adalah sediaan cair yang mengandung satu atau lebih zat kimia yang terlarut, misal: terdispersi secara molekuler dalam pelarut yang sesuai atau campuran pelarut yang saling bercampur. Karena molekul-molekul dalam larutan terdispersi secara merata, maka penggunaan larutan sebagai bentuk sediaan umumnya memberikan jaminan keseragaman dosis dan memiliki ketelitian yang baik jika larutan diencerkan atau dicampur (Ditjen POM, 1995).

  2.5.1 Infus intravenus

  Infus intravenus adalah sediaan steril berupa larutan atau emulsi, bebas pirogen dan sedapat mungkin dibuat isotonis terhadap darah, disuntikkan langsung ke dalam vena dalam volume relatif banyak. Infus intravenus tidak diperbolehkan mengandung bakterisida dan zat dapar. Larutan infus intravenus harus jermih dan bebas partikel (Ditjen POM, 1979).

  2.5.2 Irigasi

  Irigasi adalah larutan steril yang digunakan untuk mencuci atau membersihkan luka terbuka atau rongga-rongga tubuh. Pemakaiannya secara topikal, tidak boleh digunakan secara parenteral (Ditjen POM, 1995).

  Larutan irigasi adalah larutan steril, bebas pirogen yang digunakan untuk tujuan pencucian dan perendaman. Larutan irigasi adalah sediaan larutan steril dalam jumlah besar. Larutan tidak disuntikkan ke dalam vena, tapi digunakan di luar sistem peredaran darah dan umumnya menggunakan jenis tutup yang diputar atau plastik yang dipatahkan, sehingga memungkinkan pengisian larutan dengan cepat (Ansel, 2005).

2.5.3 Larutan topikal

  Larutan topikal adalah larutan yang biasanya mengandung air tetapi seringkali mengandung pelarut lain, seperti etanol dan poliol, untuk penggunaan

2.6 Bakteri Anaerob

  Bakteri anaerob adalah bakteri yang tidak dapat tumbuh pada lingkungan yang kaya akan oksigen. Sebagian besar organisme ini tumbuh normal pada rongga mulut manusia, saluran gastrointestinal dan saluran genital wanita. Infeksi dari bakteri ini sering diikuti dengan kerusakan permukaan mukosa dimana bakteri ini tumbuh (Hauser, 2007).

  Bakteri anaerob menyerang tubuh manusia dengan cara mengeluarkan racun yang berbahaya. Beberapa racun yang dihasilkan dari species clostridial diketahui luas merupakan salah satu racun berbahaya (Hauser, 2007).

2.6.1 Infeksi bakteri anaerob

  Infeksi anaerob adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang di dalam pertumbuhan dan perkembangannya tidak membutuhkan oksigen. Bakteri anaerob dapat menginfeksi luka dalam, jaringan yang terletak lebih dalam dan organ-organ internal yang sangat sedikit membutuhkan oksigen. Diagnosis infeksi kuman anaerob ditegakkan berdasarkan gejala-gejala utama, riwayat medis penderita dan lokasi infeksi. Infeksi yang menghasilkan nanah berbau busuk dari suatu abses merupakan tanda pasti adanya infeksi anaerob (Anonim, 2008).

2.7 Drug Related Problem (Masalah Terkait Obat)

2.7.1 Definisi

  Drug related problem adalah suatu kejadiaan yang tidak diinginkan yang

  dialami oleh pasien yang mana melibatkan atau diduga melibatkan terapi obat dan itu sebenarnya atau berpotensi berpengaruh terhadap hasil yang diinginkan pasien (Cipolle, dkk., 1998).

  Drug related problem terdiri dari Actual Drug related problem dan

Potential Drug related problem. Actual Drug related problem adalah masalah

  yang sedang terjadi berkaitan dengan terapi obat yang sedang diberikan pada penderita. Sedangkan Potential Drug related problem adalah masalah yang diperkirakan akan terjadi yang berkaitan dengan terapi obat yang sedang digunakan oleh penderita. Ketika sebuah Drug related problem terdeteksi, maka sangat penting untuk merencanakan bagaimana cara mengatasinya. Kita harus memberikan skala prioritas untuk Drug related problem tersebut, yang manakah yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Prioritas masalah tersebut didasarkan pada risiko yang mungkin timbul pada penderita. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menentukan skala prioritas Drug related problem adalah:

  a. Masalah yang manakah yang dapat diselesaikan atau dihindari segera, dan yang manakah yang dapat diselesaikan kemudian.

  b. Masalah yang merupakan bagian dari tugas atau tanggung jawab seorang farmasis. c. Masalah yang dapat diselesaikan dengan cepat oleh seorang farmasis dan penderitanya.

  d. Masalah yang dalam penyelesaiannya, memerlukan bantuan dari tenaga 2001).

2.7.2 Kategori Drug Related Problem

   Drug related problem dapat dikatagorikan berdasarkan macam-macam dan kemungkinan penyebab terjadinya drug related problem (Tabel 2.1).

Tabel 2.1 Katagori drug related problem.

  Macam- macam Drug Related Kemungkinan penyebab Drug Related Problem Problem

  Membutuhan terapi tambahan a.

  Pasien mempunyai kondisi medis baru obat yang membutuhkan terapi awal obat.

  b.

  Pasien mempunyai penyakit kronik yang membutuhkan terapi obat berkesinambungan.

  c.

  Pasien mempunyai kondisi kesehatan yang membutuhkan parmakoterapi kombinasi untuk mencapai efek sinergis atau potensiasi.

  d.

  Pasien dalam keadaan resiko pengembangan kondisi kesehatan baru yang dapat dicegah dengan penggunaan alat pencegahan penyakit pada terapi obat dan/atau tindakan pra medis.

  Terapi obat yang tidak perlu a.

  Pasien yang sedang mendapatkan pengobatan yang tidak tepat indikasi pada waktu itu.

  b.

  Pasien yang tidak sengaja maupun sengaja kemasukan sejumlah racun dari obat atau bahan kimia, sehingga menyebabkan rasa sakit pada waktu itu. Terapi salah obat Dosis terlalu rendah c.

  Pengobatan pada pasien pengkonsumsi obat, alkohol dan rokok.

  c.

  h.

  Pasien menerima kombinasi produk yang tidak perlu dimana single drug dapat memberikan pengobatan yang tepat.

  a.

  Pasien menjadi sulit disembuhkan dengan terapi obat yang digunakan.

  b.

  Dosis yang digunakan terlalu rendah untuk menimbulkan respon.

  Konsentrasi obat dalam serum di bawah range terapeutik yang diharapkan.

  g.

  d.

  Waktu prophylaxis (presugikal) antibiotik diberikan terlalu cepat.

  e.

  Dosis dan fleksibilitas tidak cukup untuk pasien.

  f.

  Terapi obat berubah sebelum terapeutik percobaan cukup untuk pasien.

  g.

  Pasien yang terkena infeksi resisten terhadap obat yang digunakan.

  Pasien menerima obat efektif tetapi tidak aman.

  d.

  Pasien dimana obat tidak efektif.

  Kondisi kesehatan pasien lebih baik diobati dengan terapi tanpa obat.

  e.

  Pasien yang mendapatkan beberapa obat untuk kondisi yang mana hanya satu terapi obat yang terindikasi.

  f.

  Pasien yang mendapatkan terapi obat untuk pengobatan yang tidak dapat dihindarkan dari reaksi efek samping yang disebabkan dengan pengobatan lainnya.

  a.

  b.

  f.

  Pasien yang mempunyai riwayat alergi.

  c.

  Pasien penerima obat yang paling tidak efektif untuk indikasi pengobatan.

  d.

  Pasien dengan faktor resiko pada kontraindikasi penggunaan obat.

  e.

  Pasien menerima obat efektif tetapi least

coastly.

  Pemberian obat terlalu cepat. Reaksi obat yang merugikan Dosis terlalu tinggi.

  Kepatuhan a.

  Dosis obat meningkat terlalu cepat.

  Pasien tidak mengambil bebrapa obat yang diresepkan secara konsisten karena merasa sudah sehat.

  e.

  Pasien tidak mengambil beberapa obat yang diresepkan karena tidak mengerti.

  d.

  Pasien tidak mengambil obat yang diresepkan karena mahal.

  c.

  Pasien tidak menuruti rekomendasi yang diberikan untuk pengobatan.

  b.

  Pasien tidak menerima aturan pakai obat yang tepat (penulisan, obat, pemberian, pemakaian).

  a.

  Dosis dan interval flexibility tidak tepat.

  e.

  Obat, dosis, rute, perubahan formulasi yang tidak tepat.

  d.

  c.

  Pasien yang faktor resiko yang terbahaya bila obat yang digunakan.

  Konsentrasi obat dalam serum pasien diatas range terapeutil obat yang diharapkan.

  b.

  Pasien dengan dosis tinggi.

  a.

  Hasil laboratorium dapat berubah karena gangguan obat lain.

  f.

  Efek dari obat dapat diubah dengan pemindahan obat dari binding site oleh obat lain.

  e.

  Efek dari obat dapat diubah penghambat enzim/pemacu obat lain.

  d.

  Efek dari obat dapat diubah oleh substansi makanan pasien.

  c.

  Ketersediaan dari obat dapat menyebabkan interaksi dengan obat lain/makanan pasien.

  b.

  (Cipolle, dkk., 1998)

2.8 Rumah Sakit

  2.8.1 Definisi rumah sakit

  Rumah sakit adalah salah satu sarana kesehatan tempat menyelenggarakan upaya kesehatan dengan memberdayakan berbagai kesatuan personel terlatih dan terdidik dalam menghadapi dan menangani masalah medik untuk pemulihan dan pemeliharaan kesehatan yang baik. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat dan tempat yang digunakan untuk menyelenggarakannya disebut sarana kesehatan. Sarana kesehatan berfungsi melakukan upaya kesehatan dasar, kesehatan rujukan dan atau upaya kesehatan penunjang. Upaya kesehatan diselenggarakan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang diselenggarakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan (Siregar, 2004).

  2.8.2 Fungsi rumah sakit

  Rumah sakit mempunyai beberapa fungsi, yaitu menyelenggarakan pelayanan medik, pelayanan penunjang medik dan non medik, pelayanan dan asuhan keperawatan, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, pelayanan rujukan upaya kesehatan, administrasi umum dan keuangan. Maksud dasar keberadaan rumah sakit adalah mengobati dan perawatan penderita sakit dan terluka. Sehubungan dengan fungsi dasar ini, rumah sakit memberikan pendidikan bagi mahasiswa dan penelitian yang juga merupakan fungsi yang penting. Fungsi lain yaitu pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan juga telah menjadi fungsi rumah sakit. Jadi empat fungsi dasar rumah sakit adalah pelayanan penderita, pendidikan, penelitian dan kesehatan masyarakat (Siregar, 2004).