BAB II SIMANINGGIR HINGGA PERIODE 1954 2.1. Kondisi Alam dan Geografis - Chapter II (560.7Kb)

BAB II SIMANINGGIR HINGGA PERIODE 1954

2.1. Kondisi Alam dan Geografis

  Desa Simaninggir secara administratif berada di wilayah Kecamatan Parlilitan, Kabupaten Tapanuli Utara dengan ibukotanya adalah Tarutung. Di Kecamatan Parlilitan terdapat 17 (tujuh belas) desa, yang salah satunya adalah Desa Simaninggir. Letak geografis kecamatan Parlilitan ini, 300-2000 meter di atas permukaan laut. Dengan luas wilayah 858,50 km. Kecamatan Parlilitan berbatasan dengan : Sebelah Utara : Kec. Harian dan Dairi Sebelah Selatan : Kec. Pakkat Sebelah Barat : Kabupaten Tapanuli Tengah

  

  Simaninggir sendiri pernah menjadi sebuah desa sampai tahun 1993, untuk kemudahan administratif di Desa Simaninggir, maka pada tahun 1993 desa ini telah disatukan dengan Desa Hutari Pusuk II dengan nama baru yaitu Pusuk II Simaninggir. Karena pada tahun 1993 penduduk yang mendiami Desa Simaninggir hanya tinggal beberapa rumah tangga saja, yaitu tidak lebih dari sepuluh rumah tangga. Di mana pada tahun 2002

   Desa Simaninggir benar-benar ditinggalkan oleh semua penduduknya. Oleh karena itu, 11 12 BPS, Parlilitan dalam angka 1990, Parlilitan: BPS, 1991, hal.1.

  Wawancara dengan Parisan Nainggolan dan Tiomina Marbun, Pusuk 1, 25 April 2013. dalam penelitian ini, penulis lebih tertarik dan fokus untuk meneliti pemukiman yang pernah ada di Desa Simaninggir, bukan desa tersebut secara administratif.

  Berdasarkan letak geografis Kecamatan Parlilitan tersebut, dapat kita simpulkan bahwa kawasan Kecamatan Parlilitan terdapat di dataran tinggi yang memiliki hutan yang cukup karena terletak di perbukitan. Kawasan Parlilitan ini juga memiliki sumber daya alam yang dapat dinikmati oleh masyarakatnya. Disebabkan daerah ini terdapat di perbukitan, maka sejumlah desa, letaknya terdapat di balik bukit-bukit yang tidak dapat dilalui oleh kendaraan. Penyebabnya karena harus melewati bukit-bukit yang berlembah curam dan juga dipisahkan oleh jurang yang dalam.

  Penduduk desa dapat menyesuaikan kehidupan mereka, dan tetap dapat mempertahankan lahan mereka, khususnya di lereng gunung yang lebih terjal, dan sangat

  

  sulit dicapai. Untuk dapat mengakses desa Simaninggir, maka terlebih dahulu dari simpang tiga Desa Pusuk I dengan jarak sekitar 3 km hingga ke Desa Hutari yang sekarang menjadi

14 Desa Pusuk II Simaninggir . Sepanjang jalan tersebut dapat ditempuh dengan kendaraan

  bermotor roda empat. Nama-nama perkampungan yang ada di sekitar daerah Simaninggir: 1.

  Desa Sampean 2. Hutari (Pusuk II Simaninggir) 3. Pusuk 1 4. Banua Rea 13 14 Tania Murray Li, Op.Cit., hal.24.

  Untuk kemudahan administratif di Desa Simaninggir, maka pada tahun 1993 desa ini telah disatukan

dengan Desa Hutari Pusuk II dengan nama baru yaitu Pusuk II Simaninggir. Karena pada tahun 1993 penduduk

yang mendiami Simaninggir hanya tinggal beberapa rumah tangga saja, yaitu tidak lebih dari sepuluh rumah

tangga. Di mana pada tahun 2002 Desa Simaninggir benar-benar ditinggalkan oleh semua penduduknya. Hasil wawancara dengan Martua Mahulae, Kantor Kepala Desa Pusuk II Simaninggir, 25 April 2013. Desa Pusuk II Simaninggir merupakan satu-satunya desa yang dilalui menuju Simaninggir meskipun ada jalan setapak dari Desa Banua Rea yang secara administratif berbeda kecamatan dengan Desa Simaninggir. Adapun jarak dari Desa Pusuk II Simaninggir menuju Desa Simaninggir sekitar 6 km dan tidak bisa ditempuh dengan kendaraan bermotor karena letaknya yang berada di atas bukit dengan medan jalan setapak, curam di pinggiran jurang dan terjal. Masyarakat akan melalui akses jalan ini hanya dengan berjalan kaki serta melalui jurang yang dihubungkan dengan jembatan terbuat dari susunan batang

  

  kayu. Adapun batas administratif dari desa Simaninggir ini adalah :

   1.

  di bawah Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Banua Rea, dengan Aek Mas Dolog Pinapan sebagai pembatas administratif antar Desa.

  2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Sijarango, dengan Aek Sipang sebagai pembatas administratif antar desa.

  3. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Sampean, dengan Dolog Sipahutu-hutu sebagai sambungan dari Dolog Pinapan menjadi pembatas administratif antar desa.

  4. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Pusuk I, dengan Aek Sisira sebagai

   Pembatas Administratif antar desa.

  Gambaran geografis yang dimaksud oleh penulis, yaitu penggambaran wilayah- wilayah tanah Batak Toba khususnya desa Simaninggir, sekaligus dengan hasil-hasil bumi 15 Wawancara dengan Parisan Nainggolan dan Magdalena Simanullang, Pusuk 1, 25 April 2013.

  Penulis juga melakukan observasi ke daerah yang dimaksud, lihat lampiran gambar 4. 16 Disebut sebagai Aek Mas karena memang Dolok Pinapan mengandung emas yang dibawa mengalir

oleh Aek Mas tersebut. Hal ini telah disurvei oleh orang Jerman yang pada tahun 2007. Masyarakat Banua Rea

juga sering mandulang (mencari emas dari aek mas tersebut dengan cara membuat lubang-lubang dan kemudian

mengayak pasir tersebut sampai menemukan biji emas. Ibid., Martua Mahulae, Kantor Kepala Desa Pusuk II

Simaninggir, 25 April 2013. 17 Ibid ., Martua Mahulae, Kantor Kepala Desa Pusuk II Simaninggir, 25 April 2013.

  serta peternakan yang terdapat di daerah itu. Maksud penggambaran yang demikian untuk dapat diketahui hubungan keadaan wilayah tempat tinggal dengan mata pencaharian, serta kepada latar belakang migrasi mereka yang terjadi kemudian hari.

  Kampung Simaninggir ini sulit untuk diketahui oleh masyarakat yang mendengar nama Simaninggir. Hal ini disebabkan sangat minimnya sarana yang tersedia dengan ditandai akses jalan yang seadanya untuk bisa menuju Simaninggir, disebabkan kondisi alam yang sulit untuk dijangkau. Dari Observasi yang penulis lakukan, ternyata menuju Simaninggir harus mendaki Dolog Pinapan dengan akses jalan setapak yang curam juga sangat tersembunyi di antara hutan belantara dikurung oleh sungai dan jurang, dan bukit-bukit yang menghalangi pemandangan wajah kampung juga ditutupi oleh batu-batu besar.

  Pada 1950-an perjalanan menuju kampung Simaninggir kadangkala ditandai dengan suara-suara burung dan binatang lain di antara bukit-bukit dan hutan-hutan. Semakin terdengar jelas suara anjing menggonggong, ayam berkokok, dan ternak lain seperti babi yang masih berkeliaran di halaman rumah penduduk. Kegirangan anak-anak yang sedang bermain-main seperti permainan tradisional Marbilon, marbende-bende, margaltuk,

  marsitekka dan lain sebagainya serta suara lesung penumbuk padi yang dilakukan oleh muda-

  mudi secara gotong-royong masih jelas terlihat saat berkunjung ke desa ini. Rumah-rumah penduduk yang khas terbuat dari papan yang telah berwarna coklat hingga kehitam-hitaman dengan atap jerami sebagiannya ada yang berlumut warna hijau. Dibuat bertingkat karena

   hewan peliharaan dapat dibuat di bawah kolong rumah.

  Pada umumnya, tanah Batak Toba adalah daerah pegunungan. Bila dibandingkan luas wilayah pegunungan dan dataran rendah, maka dataran rendahnya sempit saja. Karena itu 18 Wawancara dengan Parisan Nainggolan dan Tiomina Marbun, Pusuk 1, 25 April 2013. hutan merupakan wajah tanah Simaninggir, walaupun pada beberapa bagian hanya

  

  merupakan hutan ilalang dan sampilpil. Hamparan hutan tropis sebagai sumber daya alam yang menghasilkan kemenyan, rotan, batu kapur, sarang wallet dan kotoran wallet. Dolog Pinapan yang aliran airnya mengandung emas serta tersedianya flora dan fauna yang dapat dinikmati oleh masyarakat Simaninggir menjadikan desa ini sebagai tempat yang layak untuk dijadikan sebagai pemukiman.

  Awalnya daerah ini ditumbuhi oleh semak belukar dan berbagai jenis pepohonan. Salah satu jenis pohon yang tumbuh yaitu rotan. Rotan ini kemudian dibentuk menjadi barang jadi untuk diperdagangkan di pasar. Seiring dengan makin meningkatnya aktivitas kehidupan penduduk di desa ini, hutan belantara tersebut mereka eksploitasi untuk dijadikan lahan pertanian seperti persawahan dan perladangan. Adapun prosesnya yakni dengan cara ditebangi dan kayunya dijadikan papan dan tiang untuk rumah-rumah mereka, serta ada juga dengan membakar hutan. Sebagian wilayah perbukitan yang hanya ditumbuhi oleh rerumputan liar dianggap layak sebagai tempat pengembalaan ternak.

  Adapun jenis ternak yang digembalakan yaitu hanya kerbau, yang bebas berkeliaran di perbukitan tersebut tanpa diikat dengan tali tambatan. Penduduk yang rata-rata memiliki ternak kerbau hanya menempelkan kalung di leher si kerbau, yang terbuat dari kayu berbentuk seperti lesung dengan ukuran mini, dan diberi lubang di tengah lesung tersebut layaknya seperti lonceng yang menimbulkan bunyi saat kerbau bergerak. Masing-masing pengembala kerbau cukup kreatif untuk membuat jenis kalung kerbau yang berbeda-beda,

19 Sampilpil , yaitu sejenis tumbuhan liar yang tumbuh di padang luas. Batangnya dipakai sebagai kayu bakar dan alat tulis (seperti tangkai pena). Nama latinnya Discranopteris Liniaris.

  sehingga mereka tetap bisa mengetahui kerbau gembalaan mereka. Rumput liar yang tumbuh subur di perbukitan menjadi santapan kerbau yang diternakkan di sana.

  Daerah pengembalaan kerbau tersebut lama-kelamaan terbentuk kubangan yang berisi genangan air serta terlihat seperti lapangan, sehingga Desa Banua Rea yang merupakan desa tetangga Simaninggir ikut menjadikan perbukitan ini sebagai lahan pengembalaan ternak mereka. Berbeda hal nya dengan pengembala Simaninggir, para pengembala kerbau dari Desa Banua Rea memberikan tanda dengan mengikat setiap tanduk kerbau tersebut dan juga ada yang mengecat dengan warna hitam di punggung kerbau.

  Mengandalkan kekayaan alam menjadi ciri khas masyarakat Simaninggir untuk mempertahankan keberlangsungan hidup mereka. Terutama dalam pemenuhan kebutuhan pokok yaitu sandang, pangan, dan papan maka akan mengambilnya dari hutan di sekitar pemukiman mereka. Kegiatan mencari rotan untuk kemudian dijual di pasar pada akhir pekan yang merupakan waktu untuk melakukan transaksi jual-beli dengan penduduk dari desa lain yang akan datang ke pasar, yang pada saat itu ada di Desa Pusuk 1.

2.2 Latar Belakang Historis Desa Simaninggir

  Perang di tanah Batak berlangsung kurang lebih 29 tahun, dimulai dari tahun 1878 sampai dengan tahun 1907. Peperangan ini disebut juga dengan Perang Batak atau Perang Sisingamangaraja, di bawah pimpinan Si Singamangaraja XII, yaitu “raja” terakhir dari tanah batak. Perlawanan ditujukan untuk menentang kekuasaan pemerintah Hindia Belanda yang akan menguasai daerah Tanah Batak pada abad ke-19. Perang berlangsung selama tujuh tahun di daerah Tapanuli Utara, seperti diDolok Sanggul, Pada tahun 1894, Belanda melancarkan serangan untuk menguasaipusat kedudukan dan pemerintahan Sisingamangaraja. Akibat penyerangan ini, Sisingamangaraja XII terpaksa pindah ke

  Ketika pasukan Belanda berhasil menduduk i Daerah Dolok Sanggul, kepala-kepala kampung di sini dipaksa membayar denda. Pasukan Belanda terus bergerak ke kampung- kampung dan membakar beberapa kampung yang dilewatinya, sehingga selalu menimbulkan perlawanan dari pejuang-pejuang Batak Toba setempat. Dengan meluasnya daerah yang tunduk kepada Pemerintah Belanda, maka daerah gerak Sisingamangaraja semakin sempit dan pengikutnya semakin berkurang. Sekarang pasukannya bertahan di sebelah Barat Daerah

   Danau Toba, yaitu daerah Pak-pak dan Dairi. Sampai dengan akhir abad ke-19

  Sisingamangaraja XII masih giat melakukan perlawanan-perlawanan. Akan tetapi perlawanan yang dilakukannya tidak lagi bersifat menyerang lawan, melainkan lebih bersifat mempertahankan diri dari serangan lawan.

  Pada tahun 1907, Pasukan Marsose di bawah pimpinan Kapten Hans Christoffel berhasil menangkap Boru Sagala, istri Sisingamangaraja XII serta dua orang anaknya, sementara itu Sisingamangaraja XII dan para pengikutnya berhasil melarikan diri ke Hutan

21 Simsim. Ia menolak tawaran untuk menyerah, dan dalam pertempuran tanggal 17 Juni

  1907, Sisingamangaraja XII gugur bersama dengan putrinya Lopian dan dua orang putranya Sutan Nagari dan Patuan Anggi. Gugurnya Sisingamangaraja XII menandai berakhirnya

  20 21 Ibid. , hal. 266.

  Keturunan dari ajudan Sisingamangaraja yakni marga Nainggolan yang menjadi raja huta

Simaninggir memperkirakan bahwa Hutan Simsim yang dimaksud adalah daerah tempat mereka bersembunyi

yang pasca perang menjadi pemukiman mereka dan akhirnya Hutan Simsim tersebut mereka beri nama menjadi

Desa Simaninggir. Wawancara dengan Martua Mahulae, Kantor Kepala Desa Pusuk II Simaninggir, 24 April

2013.

22 Perang Tapanuli. Dengan gugurnya Sisingamangaraja XII, maka seluruh daerah Batak Toba

  jatuh ke tangan Belanda. Sejak itu rodi, penarikan pajak yang berat, serta berbagai peraturan pemerintahan kolonial yang merugikan rakyat masuk ke daerah ini. Struktur kehidupan tradisional dari masyarakat Batak Toba pun menjadi runtuh.

  Awal terbentuknya Desa Simaninggir ini terjadi pasca Perang Sisingamangaraja yang berkecamuk pada tahun 1907 sebelum akhirnya Sisingamangaraja gugur di Dairi pada tanggal 17 Juni 1907 di Ambalo Sienem Koden yang ditembak atas perintah komandan Batalion Marsuse Belanda, Kapten Christofel. Pada saat itu Raja Sisingamangaraja dikawal oleh ajudannya yang bermarga Nainggolan dari Samosir, menemukan tempat persembunyian di dalam gua yang berada di Desa Simaninggir ini. Kemudian Sisingamangaraja beserta panglimanya selanjutnya melakukan gerilya sampai ke Dairi, karena wilayah Bakkara dan wilayah Toba pada umumnya telah dibakar habis dan dikuasai oleh Belanda.

  Kondisi tersebut tidak memungkinkan lagi untuk bertahan dan meneruskan perjuangannya, sehingga beliau hijrah ke Dairi hingga akhirnya tewas. Marga Nainggolan yang merupakan panglima Sisingamangaraja tersebut, memilih untuk tetap diam di sekitar gua tersebut, agar terlindung dari penjajahan Belanda. Tersebar ke mana-mana keganasan pasukan Belanda serta penghancuran dan pembakaran pertahanan Sisingamangaraja. Rakyat pun telah menjadi korban keganasan pasukan Belanda, serta rumah-rumah dan kampung- kampung rakyat dibakar. Rakyat mengungsi selama pertempuran berkecamuk. Mereka berbondong-bondong untuk menyelamatkan diri dari malapetaka pertempuran. Dengan berjalan kaki mereka pergi menuju kampung saudaranya yang aman dari pertempuran. 22 Napitupulu, O.L. Perang Batak, Perang Sisingamangaradja. 1972. Jakarta: Yayasan Pahlawan Nasional Sisingamangaradja, hal. 269-273.

  Di antara mereka ada juga yang tak tentu arah tujuannya ke mana. Keluarga-keluarga yang hari demi hari terus berjalan menuju jarak yang jauh, sampai ke kampung-kampung Humbang, dan akhirnya bertemu dengan mantan ajudan Sisingamangaja yang bermarga Nainggolan tersebut. Beliau mengajak mereka untuk bersembunyi sementara waktu di sekitar gua Simaninggir tempat Sisingamangaraja dulu bersembunyi. Marga yang awalnya menduduki Simaninggir yaitu Nainggolan.

  Marga yang lain kemudian ada karena proses pernikahan dan akhirnya tinggal

  

  menetap di Simaninggir tersebut. Dengan demikian, maka terjadilah migrasi spontan Batak Toba (Marserak) dari beberapa daerah di Tapanuli Utara yang bergejolak pasca gugurnya Sisingamangaraja ke Desa Simaninggir. Simaninggir dengan isolasi wilayahnya, sangat menjanjikan menjadi tempat yang nyaman dan aman dari jangkauan musuh, terutama Belanda. Daerah ini hanya dapat ditelusuri dengan mendaki, karena letaknya yang berada di atas bukit, sehingga tidak dapat dijangkau oleh Belanda yang menggunakan kendaraan tempur untuk menduduki wilayah jajahannya pada masa itu.

  Secara kepemilikan, Tanah Simaninggir merupakan daerah yang diklaim sebagai tempat persembunyian Sisingamangaraja bersama panglimanya yakni marga Nainggolan tersebut. Dalam bahasa Batak Toba beliau disebut sebagai “Raja Ihutan sipukka huta ”, yakni orang yang pertama sekali menemukan dan menduduki pemukiman tersebut. Setelah mendiami dan mendirikan rumah di daerah tersebut bersama dengan keluarganya, beliau menawarkan bantuan tempat persembunyian kepada saudara semarga yang lain yang beliau jumpai di pasar dan di jalan yang membutuhkan tempat persembunyian sementara dari 23 Wawancara dengan Martua Mahulae, Kantor Kepala Desa Pusuk II, Minggu, 28 April 2013. peperangan. Maka, terbentuklah suatu pemukiman baru yang diberi nama Simaninggir. Awal mula perkembangan Simaninggir, penduduknya tentu tidak terlepas dari tradisi mereka sebelumnya, yakni dari tempat asal mereka. Masing-masing penduduk masih mengamalkan tradisi budaya asal mereka. Dalam masyarakat Batak Toba, di daerah asal (bona pasogit) hukum atas pemilikan tanah dan pendirian kampung didasarkan atas marga. Marga sebagai identitas yang cukup mendasar, membentuk norma-norma hubungan dalam tatanan kehidupan. Marga yang pertama datang ke daerah yang belum ada pemiliknya akan menjadi

  

raja huta di sana, dan merekalah kelak disebut sebagai marga tanah. Pemilikan atas tanah

  disebut “golat” dan yang memilikinya disebut “pargolat”. Dengan demikian, dalam hal ini hak atas golat Desa Simaninggir adalah marga Nainggolan tersebut, yang membuka dan memerintah di Desa Simaninggir.

  Tanah seperti ini dengan bebas dapat diberikan kepada anak-anaknya, dan diwariskan jika dia meninggal kelak. Betapapun jauhnya beliau pergi dan bermukim di tempat lain, tanah itu tetap menjadi miliknya. Dalam hal ini marganya mengukuhkan hak nya, itu adalah hak penguasaan tanah asli yang dipegang oleh marganya. Merekalah yang dapat menukarkan, meminjamkan tanahnya kepada orang lain yang datang ke daerah tersebut. Bagi generasi selanjutnya pembagian lahan terutama terjadi atas dasar pemberian orang tua.

  Pemberian sebidang tanah dilakukan setelah anak menikah atau berumah tangga.

  Keluarga muda berpisah dan berdiri sendiri dari lingkungan keluarga orang tua disebut manjae. Pemberian tanah kepada anak laki-laki yang sudah berkeluarga disebut

  

panjaean dan kepada anak perempuan disebut pauseang. Masih ada bentuk pemberian tanah

  oleh marga tanah kepada marga pendatang, yaitu kepada boru. Hal ini dapat terjadi apabila marga boru tinggal sampai tiga generasi atau lebih di kampung marga tanah dengan mengawini anak perempuan marga tanah dan atau mempunyai jasa terhadap marga tanah. Mereka dapat mendirikan satu atau lebih kampung sendiri di tengah kampung hula-hulanya atau di tanah pembagian harta pusaka yang diberikan kepadanya.

  Sekitar tahun 1958 juga pernah terjadi pergolakan politik antara PRRI dengan TRI

  

  yang melibatkan Desa Simaninggir. Penduduk Simaninggir menyebutnya dengan “masa pemberontakan“. Kala itu musim perang antara pasukan PRRI dengan TRI. Kemudian pasukan PRRI mundur dan lari ke hutan, saat mengetahui TRI telah tiba di Simaninggir. Saat PRRI masih ada di Simaninggir, para penduduk pergi ke hutan untuk bersembunyi, agar tidak diajak oleh Pasukan PRRI dan anak-anak mereka ada yang bersembunyi di gua yang ada di Simaninggir saat mendengar ada suara tembakan dari luar.

  Setelah TRI tiba di Simaninggir, mereka lalu mencari pasukan PRRI ke rumah-rumah penduduk dan bertanya apakah ada yang melihat pemberontak atau pasukan PRRI, tapi anak- anak yang tinggal di rumah yang tidak ikut mengungsi dengan orang tua mereka menjawab tidak mengetahui keberadaan mereka. Mereka menjawab saat pemberontak datang mereka 24 Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (biasa disingkat denganerupakan salah satu

  

gerakan pertentangan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat dengan keluarnya ultimatum dari Dewan Perjuangan yang dipimpin oleh

Letnan Kolonelkawasan tersebut

menyatakan mendukung PRRI. Konflik yang terjadi ini sangat dipengaruhi oleh tuntutan keinginan akan

adanyayang lebih luas. Selain itu ultimatum yang dideklarasikan itu bukan tuntutan

pembentukan negara baru maupun pemberontakan, tetapi lebih kepada konstitusi dijalankan. Pada masa

bersamaan kondisi pemerintahan di Indonesia masih belum stabil pasca agres Hal ini juga

mempengaruhi hubungan pemerintah pusat dengan daerah serta menimbulkan berbagai ketimpangan dalam

pembangunan, terutama pada daerah-daerah di luar pulaebelumnya bibit-bibit konflik tersebut dapat

dilihat dengan dikeluarkannya Perda No. 50 tahun 1950 tentang pembentukan wilayah otonom oleh provinsi

Sumatera Tengah waktu itu yang mencakup wilayah provinsi Sumatera Barat,

dansekarang. Namun apa yang menjadi pertentangan ini, dianggap sebagai sebuah pemberontakan oleh

pemerintah pusat yang menganggap ultimatum itu merupakan proklamasi pemerintahan tandingan dan

kemudian dipukul habis dengan pengerahan pasukan militer terbesar yang pernah tercatat di dalam sejarah

militer. C.S.T. Kansil dan Julianto, Sejarah Perjuangan dan Pergerakan Kebangsaan Indonesia (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa) , Jakarta: Erlangga, 1991, hal. 61. berada di ladang. Pasukan TRI menjadi marah dan memasak ubi dan mengambil beras milik penduduk dengan tetap mengarahkan senapan ke arah mereka. Kemudian karena tidak mendapat hasil apa-apa pasukan TRI kembali ke Pusuk 1 yang merupakan markas mereka, dengan tetap menembaki semua arah Simaninggir.

  Kejadian itu menorehkan ingatan traumatis bagi penduduk yang menyaksikan masa

  

  itu. Desa Simaninggir dijadikan sebagai tempat untuk persembunyian sementara dan juga sebagai tempat bergerilya untuk melawan Tentara Rakyat Indonesia. Anggota PRRI tidak mengganggu dan mengancam penduduk Simaninggir bahkan para informan berkata pemberontak adalah teman mereka. Kadang pemberontak mengajak anak-anak menari (marsitumba) dan memberikan mereka sebagian makanannya juga membagikan uang mereka kepada anak-anak Simaninggir. Pasukan PRRI di antaranya ada yang bermarga Pardede, Panjaitan, Simanjuntak.

2.3. Komposisi Penduduk

  Masyarakat Simaninggir secara keseluruhan adalah bersuku Batak Toba. Setiap orang Batak Toba, memakai marganya di belakang namanya. Di mana pun mereka berada marga

  

  itu selalu dipakai. Bagi orang Batak, marga adalah identitas. Marga berbau adat kalau di kalangan orang Batak, dan berbau suku kalau berhubungan sosial dengan suku bangsa lain.

  Jadi, walaupun mereka hidup berpencar di seluruh dunia, marga itu tetap berfungsi adat untuk intern mereka. Misalnya, kalau dua orang marga Nainggolan bertemu di suatu 25 26 Wawancara Rusliana Simanullang dan Tiomina Marbun, Dusun Raba-raba, 25 April 2013.

  Menurut W. Hutagalung, marga berasal dari bahasa Sanskrit yaitu “warga” yang diartikan dengan keluarga, sekaum, satu keturunan yang dalam bahasa Batak dinamakan dengan “ sabutuha”. kampung, satu laki-laki dan yang satu perempuan, maka secara otomatis mereka berhubungan sosial secara namarito atau kakak beradik.

  Setelah mereka mengetahui derajat keturunan masing-masing dari raja Nainggolan, maka hubungan itu bisa menjadi hubungan bapak dan boru atau anak atau ama naposo (bapak muda) dan namboru (bibi). Setelah mengetahui partuturan atau hubungan kekeluargaan adat, maka dengan sendirinya berlaku adat persaudaraan dan tanggung jawab secara adat. Berlaku adat hak dan kewajiban, yang boleh dan tidak boleh di dalam hubungan sosial mereka. Perasaan persaudaraan, semarga seketurunan dan senenek moyang itu muncul

   dengan sendirinya. Manifestasinya terwujud di dalam hubungan sosial sehari-hari.

  Marga yang terdapat pada masyarakat Simaninggir diantaranya adalah: Nainggolan, Munte, Sihotang, Situmorang, Silalahi, Simanullang, Sitohang. Semua marga tersebut datang dari berbagai daerah di Tapanuli Utara karena berbagai alasan pasca perang Sisingamangaraja dan juga pemuda-pemudi Simaninggir menikahi penduduk dari luar Simaninggir yang kemudian tinggal menetap di Simaninggir. Mereka hidup dengan rasa kekeluargaan dalam satu kampung yang tumbuh dengan erat, karena persamaan nasib yang mereka rasakan solidaritas telah terpupuk terus dan silsilah dapat dipelihara dengan baik.

  Salah satu satuan pemukiman pada masyarakat Simaninggir disebut huta, karena pusat aktivitas hidup mereka yang berhubungan dengan tanah adalah huta. Huta terdiri dari tanah yang diperuntukkan bagi tapak rumah, pekarangan, jalan, ladang sekitar pemukiman, tepian (MCK), lumbung, pekuburan, tempat pemujaan, tempat permusyawaratan, tempat 27 Bungaran Antonius Simanjuntak, Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak Toba hingga 1945: suatu pendekatan sejarah, antropologi budaya politik, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006, hal: 90-91. menjemur peralatan dan hasil produksi, tempat menumbuk padi, bertukang, tempat melaksanakan upacara adat dan aspek kehidupan lainnya.

  Penduduk Simaninggir hidup dari hasil pertanian seperti persawahan untuk menanam padi, perladangan untuk menanam kopi robusta yang sangat menjamur di Simaninggir masa itu. Selain mengharapkan hasil pertanian, mereka juga masih memanfaatkan hasil alam, didukung dengan keahlian keterampilan sampingan sebagai pengrajin bambu, rotan, dan riman yang dibentuk menjadi beberapa peralatan rumah tangga seperti: sarung golok, tempayan yang terbuat dari bambu, keranjang yang terbuat dari rotan dan lainnya. Begitu juga hal nya dengan pengembalaan ternak yang biasa dilakukan oleh pemuda dan pemudi biasanya bergotong-royong pada malam minggu untuk menumbuk padi di lesung yang sengaja dibuat panjang agar dapat ditumbuk secara bersamaan.

  Keahlian dan keterampilan yang dimiliki oleh setiap penduduk Simaninggir untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka berbeda-beda. Hal ini karena mereka berasal dari daerah yang berbeda pula, sehingga di Desa Simaninggir terdapat beragam hasil pertanian dan kerajinan seperti yang disebut di atas. Meskipun hasil pertanian beragam, hal tersebut tetap tidak dapat memenuhi kecukupan kebutuhan mereka karena kondisi geografis Simaninggir yang tidak memungkinkan untuk memiliki lahan pertanian yang luas.

2.4 Sistem Mata Pencaharian Penduduk Dalam masyarakat agraris, tanah merupakan salah satu faktor produksi yang penting.

  Dalam sistem nilai masyarakat Batak Toba tradisional, memiliki tanah terutama persawahan memberikan status yang tinggi bagi mereka. Tanah merupakan lambang kekayaan dan kerajaan. Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan keluarganya, setiap keluarga di

  Simaninggir memperluas areal pertanian mereka. Ruang produksi adalah tanah untuk lahan pertanian berupa ladang dan sawah. kedua jenis lahan tersebut diharapkan akan menghasilkan kebutuhan sandang pangan dan keperluan untuk upacara sepanjang daur hidup. Hutan adalah tempat pengambilan kayu untuk rumah dan bangunan lainnya, peralatan rumah tangga, tempat berburu. Juga merupakan ruang untuk memperoleh bahan ramuan bagi kehidupan seperti obat-obatan dan kemenyan.

  Pembagian ruang tersebut bila diklasifikasikan dari segi pemilikan, akan terlihat bahwa milik perorangan pada ruang pemukiman adalah pertapakan rumah, perladangan dan persawahan. Sedangkan jalan, pekarangan desa, pekuburan, tempat bermusyawarah, tepian pemandian, adalah milik bersama dan dikelola secara bersama. Milik perorangan diurus, dimanfaatkan dan dialihkan oleh perorangan atau keluarga. Akan tetapi jalan, pekarangan desa, pekuburan, tempat bermusyawarah, tepian untuk mandi, tidak dapat diwariskan atau dialihkan kepada perorangan atau kepada orang lain oleh seseorang termasuk pemimpin desa. Hal yang menyangkut tempat-tempat tersebut harus dikelola secara musyawarah, karena berkaitan dengan identitas dan kelengkapan desa sebagai milik bersama.

  Hubungan manusia dengan tanah sangatlah erat, karena di atasnya manusia dilahirkan, dibesarkan, disosialisasikan, berketurunan serta pada akhir hayatnya dikuburkan ke dalam tanah. Hubungan itu mutlak dan tidak dapat dipisahkan. Disinilah pula ditemukan kehidupan dan perkembangan unsur kebudayaan universal yakni, sistem bahasa sebagai lambang komunikasi, sistem mata pencaharian hidup, sistem organisasi sosial, sistem

  

  pengetahuan, sistem teknologi, sistem keberanian dan kepercayaan atau religi. Dari uraian tersebut tergambar bagaimana arti dan fungsi tanah bagi masyarakat Desa Simanainggir.

  Tanah mengacu pada makna dan arti kehidupan dan penghidupan mereka, karena merupakan unsur penting dalam sistem dan nilai budayanya.

  Hukum adat Batak Toba sebagai bagian mutlak dari kebudayaannya mengatur dengan baik mekanisme pertanahan yang utuh, yang keberadaannya dilegitimasi oleh orang Batak Toba. Di dalam hukum adat tersebut telah diatur bahwa setiap anggota marga atau komunitas yang turut memiiliki tanah diwajibkan untuk melestarikan tanah itu sebagai milik bersama dan sebagai simbol identitas bersama. Eratnya keterikatan orang Batak Toba khususnya penduduk Desa Simaninggir dengan tanah, tersirat dalam alam pikiran dan cita-cita hidup mereka yang mendasar. Bagi mereka, cita-cita itu adalah mencari hamoraon (kekayaan),

  

hasangapon (kehormatan) dan hagabeon (berketurunan). Dalam usaha mewujudkan cita-cita

  yang pertama yakni hamoraon (kekayaan), salah satu pendukungnya adalah tanah, karena semakin luas tanah yang dimiliki, dikuasai serta dikelola, maka peluang untuk mencari cita- cita akan semakin terbuka.

  Analog dengan cita-cita tersebut, dalam kehidupan mereka pada umumnya tersirat suatu falsafah hidup yang menggambarkan keterikatan hidupnya dengan tanah dan keturunan. Falsafah tersebut berbunyi, lulu anak, lulu tano; yang artinya bila tidak ada anak maka tidak ada tanah atau mencari anak, mencari tanah. Dengan dasar demikian maka anak sebagai pembawa marga adalah pemilik tanah. Tanah adalah lambang eksistensi marga, 28 Bungaran Antonius Simanjuntak, dan Saur Tumiur Situmorang, Arti dan Fungsi Tanah bagi Masyarakat Batak , Medan: Kelompok Studi dan Pengembangan Masyarakat, 2004, hal. 27. artinya dengan memiliki tanah berarti marga mempunyai kekuasaan ke dalam dan ke luar. Ungkapan ini mengandung arti, semakin banyak anak (keturunan) dibutuhkan areal pertanian yang luas untuk menghidupi mereka. Lingkungan kampung dan areal pertanian yang terbatas mendorong petani untuk meninggalkan kampung halamannya.

  Pada masyarakat Batak Toba terdapat beragam jenis tanah, tetapi pada masyarakat Simaninggir hanya dikenal beberapa jenis tanah sesuai dengan pengelolaannya dan keadaan tanaman yang tumbuh di atasnya. Jenis-jenis tanah tersebut adalah: a.

  Tano tarulang atau tano kosong, yakni tanah kosong yang belum pernah dikerjakan.

  b.

  Tano na niulang, yakni jenis tanah untuk keperluan pertukaran penanaman yang dibiarkan terlantar. Tanah yang demikian ini terdiri dari beberapa jenis. Apabila tanah tersebut dibiarkan terlantar untuk jangka waktu yang singkat misalnya selama dua tahun kemudian diusahai kembali, maka tanah yang demikian dinamakan tano

  dipaombal .

  c.

  Jenis tanah lainnya adalah harangan dan tombak. Harangan adalah hutan asli yang belum pernah diolah, sedangkan tombak adalah hutan muda yang dulunya telah pernah dikerjakan.

  d.

  Hauma dan pargadongan. Hauma adalah jenis tanah yang biasanya ditanami padi.

  Istilah lain yang digunakan untuk menyebut jenis tanah ini adalah tano maraek.

  Pargadongan adalah sebutan untuk lahan perladangan yang biasanya ditanami dengan ketela, ubi rambat, singkong, kopi dan lain-lain.

  e.

  Tano parhutaan adalah jenis tanah perkampungan atau tempat pemukiman penduduk. f.

  Jalangan dan jampalan. Jalangan adalah tanah-tanah pengembalaan yang luas, di mana orang dapat membiarkan ternaknya merumput tanpa harus dijaga. Jampalan adalah tanah-tanah pengembalaan di mana ternak harus dijaga. Jenis tanah ini relatif lebih sempit dibandingkan dengan jalangan dan umumnya terletak di antara ladang

   dan persawahan.

  Dari uraian di atas, terlihat jenis-jenis tanah yang dikaitkan dengan jenis tanaman yang tumbuh di atasnya. Ada satu jenis tanah lagi yang dikenal oleh masyarakat Simaninggir yaitu parmualan (perairan yang biasanya berupa aliran sungai, mata air, atau pancuran).

  Secara geografis Kabupaten Tapanuli Utara, sebagian besar daerahnya berupa dataran tinggi, yang dikenal dengan dataran tinggi Toba dan berada pada punggung jajaran Bukit Barisan. Dilihat dari ketinggian dari permukaan laut berada antara 300 sampai dengan 1500 meter di atas permukaan laut dan topografi bergelombang sampai curam dengan kemiringan

  

  tanah antara nol sampai dengan di atas 40%. Keadaan permukaan tanah yang banyak bergunung dan berlembah-lembah menyebabkan berbagai hambatan dalam pengembangan usaha pertanaian, seperti perluasan areal dan juga kesulitan dalam pembangunan jalan dan sarana pengairan.

  Selain membuka persawahan, penduduk Simaninggir juga memelihara ternak sebagai salah satu cara untuk menambah pendapatan keluarga. Hampir setiap rumah tangga memelihara kerbau, babi, ayam, itik dan juga sebagian ada yang membudidaya ikan. Dikemudian hari jumlahnya semakin menurun dan penyebabnya menurut mereka ialah, 29 30 Wawancara dengan Parisan Nainggolan, Pusuk 1, 24 April 2013.

  Purba. O.H.S., Purba. Elvis F, Migrasi Spontan Batak Toba (Marserak): Sebab, Motif dan Akibat Perpindahan Penduduk dari Dataran Tinggi Toba , 1997, Medan: Monora, hal. 29-31. karena pemerintah masa itu mengenakan pajak ternak. Ternak berkurang, pendapatan

  

  masyarakat juga berkurang. Kopi robusta, padi dan ubi kayu adalah tumbuhan yang pertama ditanam oleh penduduk Simaninggir sebagai bahan pangan. Bibit kopi, dan jagung mereka dapatkan dari pasar, dan daerah asal mereka seperti dari Sipintu-pintu.

  Wilayah Simaninggir tergolong wilayah yang kurang subur, terdiri atas perbukitan yang diapit batu-batu besar dan lembah. Tanahnya berjenis tanah liat berwarna merah. Pada umumnya juga terdiri dari bukit-bukit dan batu-batu tandus. karena itu sawah ladang harus diberi pupuk kompos agar tanah menjadi subur. Biasanya para petani mengambil kompos yaitu kotoran burung kelelawar yang berada dalam gua-gua di sekitar hutan Simaninggir. Untuk membawa kotoran kelelawar sampai ke ladang dan sawah membutuhkan waktu berminggu-minggu, karena bobot kotoran kelelawar itu sangat berat berbentuk menggumpal dan padat. Butuh tenaga dan waktu untuk mengumpulkannya sampai banyak.

  Menurut mereka kotoran kelelawar sangat ampuh dalam menyuburkan tanah dibanding dengan pupuk kimia yang dijual di onan atau pasar dengan harga yang sangat mahal pada masa itu. Selain mengumpulkan kotoran kelelawar, penduduk juga

  

  mengumpulkan takkal untuk menyuburkan tanah. Penduduk memanfaatkan pegunungan yang berhutan lebat dengan menanam pohon kemenyan sebagai perkebunan tradisional sejak nenek moyang. Lembah-lembah di antara celah bukit-bukit dimanfaatkan sebagai areal persawahan. Pada umumnya mata pencaharian penduduk adalah:

1. Bertani(bersawah dan berladang) 2.

  Berkebun 31 32 Wawancara dengan Parisan Nainggolan, Pusuk 1 , 25 April 2013.

  Takkal , selalu sebenarnya ditulis dengan tangkal tapi diucapkan dengan takkal. Artinya pupuk atau kompos dari kotoran kerbau, babi, ayam, juga sisa-sisa sampah yang sudah dibusukkan atau dibakar.

3. Beternak 4.

  dan Pengrajin atau bertukang Pertanian sangat tergantung kepada keadaan atau jenis tanah, tingkat kelembapan,

  

  ketinggian tanah, banyaknya curah hujan dan lainnya. Maka masyarakat desa atau petani mengembangkan tingkat dan bentuk adaptasi mereka terhadap berbagai kekhususan lingkungan alam itu, sehingga dalam kaitan ini dapat dipahami bahwa pola kebudayaan masyarakat Desa Simaninggir terikat dan mengikuti karakteristik khas lingkungan alamnya.

  Petani bekerja dengan alam. Semuanya serasa telah diatur dan ditentukan oleh alam, Sehingga penduduk Simaninggir tidak terlalu memerlukan hal-hal yang baru.

  Mengusahakan persawahan berarti menghasilkan beras sebagai makanan utama. Disamping beras, sawah juga dipergunakan untuk memelihara ikan, terutama ikan mas yang pembibitannya selalu diselaraskan dengan musim bertanam padi. Makanan utamanya adalah nasi, akan tetapi makanan utama tersebut hanya dimakan pada siang dan sore hari, sedangkan makanan paginya ubi kayu (garinghau) atau ubi rambat (gadong) yang disebut dengan istilah

  

manggadong yang kadangkala diberi lauk ikan asin. Mereka juga menanam nenas, tebu,

pisang, pinasa (nangka). Perkebunan yang hasilnya banyak dijual ialah kopi, kemenyan.

  Di samping itu ladang sering dipergunakan untuk menanam padi yang dinamakan

  

hauma atau ladang kering. Mereka juga mengusahakan perkebunan kopi yang

  diperdagangkan secara lokal, di onan. Para tengkulak mengumpulkan kopi-kopi tersebut lalu memasarkannya secara regional. Kadang-kadang, para tengkulak menyuruh mereka untuk menggongseng dan menumbuk kopi mentah menjadi kopi siap saji, sehingga para penduduk 33 Raharjo, Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1999, hal.66. tidak perlu membeli kopi siap saji dari pasar, karena beberapa rumah tangga juga dapat membuat kopi siap saji. Tentunya hal ini mendapatkan harga yang lebih tinggi dibanding dengan hanya menjual kopi mentah.

  Ada perkebunan haminjon atau kemenyan terutama di gunung-gunung. Mata pencaharian lain yaitu menanam tusam (pinus) dan pohon nangka, sejenis kayu yang dapat dipergunakan sebagai papan rumah maupun sebagai alat penerangan (obor, lampu). Itulah sebabnya tusam ditanami juga oleh penduduk Simaninggir saat itu. Berburu juga pernah menjadi mata pencaharian yang dilakukan oleh nenek moyang mereka. Hampir seluruh kemenyan di desa ini diperoleh dari pohon yang sengaja ditanam oleh leluhur mereka.

  Kebun-kebunnya terletak di dalam hutan dan di ladang. Menurut seorang pengolah dari Desa

34 Pusuk II Simaninggir , Pohon kemenyan yang ditanam di ladang baru mulai menghasilkan

  getah setelah 20 tahun. Pernyataan ini perlu dikonfirmasi lagi, dan mengapa proses berkebun ini ditinggalkan perlu diteliti lebih lanjut. Di dalam hutan, pohon mulai menghasilkan getah sesudah delapan tahun dan terus menghasilkan hingga sekitar 60 tahun, asalkan cara menyadapnya betul.

  Lebih baik jika getahnya dikutip (mangaluak haminjon) sewaktu cuaca mendung atau pagi maupun sore hari ketika matahari baru terbit atau mulai terbenam. Karena di bawah pengaruh matahari, getahnya akan mencair dan berwarna hitam. Warnanya juga tidak akan baik jika dikutip pada waktu hujan. Tali yang digunakan untuk memanjat terbuat dari serat kayu pohon aren (riman). Tali dari nilon tidak cocok karena terlalu licin. Tali riman ini dapat 34 Untuk kemudahan administratif di Desa Simaninggir, maka pada tahun 1993 desa ini telah disatukan

  

dengan Desa Hutari Pusuk II dengan nama baru yaitu Pusuk II Simaninggir. Karena pada tahun 1993 penduduk

yang mendiami Desa Simaninggir hanya tinggal beberapa rumah tangga saja, yaitu tidak lebih dari sepuluh

rumah. Dimana pada tahun 2002 Desa Simaninggir benar-benar ditinggalkan oleh semua penduduknya.

  Wawancara dengan Martua Mahulae, Kantor Kepala Desa Pusuk II Simaninggir, 25 April 2013. digunakan selama 15 tahun jika tidak disimpan di tempat yang basah. Pada waktu pohon kemenyan memerlukan perhatian yang lebih, petani tinggal beberapa hari bahkan berminggu-

   minggu di hutan dan tidur disebuah pondok atau gubuk kecil.

  Mereka membawa bekal makanan untuk seminggu, seperti beras dan ikan kering, yang diletakkan dalam sebuah hirang atau keranjang yang kemudian diisi getah kemenyan saat mereka pulang. Mereka kembali ke kampung pada waktu pasar mingguan. Untuk menjual getahnya biasanya mereka bertemu pada hari pasar di lapo tuak dan warung kopi - tempat pertemuan penting bagi pria dewasa. Pohon yang telah habis getahnya tidak diganti satu per satu, tetapi kebunnya ditinggalkan begitu saja dan menjadi hutan.

  Mata pencaharian yang umum yang masih dilakukan adalah beternak. Terutama ternak yang erat hubungannya dengan manusia serta adat-istiadat, yaitu babi, kerbau, ayam, dan memelihara ikan. Peternakan ini dilakukan secara perseorangan, tetapi setiap orang memelihara semua jenis ternak. Kadang-kadang hanya beternak kerbau saja atau babi saja.

  Demikian juga dengan beternak ikan mas masih diusahakan oleh perseorangan dan tradisional. Perkembangan peternakan ikan mas terjadi terutama untuk kebutuhan umum secara komersial, karena pada umumnya orang Batak Toba selalu membutuhkan ikan mas untuk pesta adat. Peternakan kerbau merupakan kegiatan yang cukup penting. Masyarakat Simaninggir tidak menganggap kerbau sebagai binatang ternak biasa, sehingga tidak digunakan untuk bekerja. Kerbau mempunyai nilai simbolik yang tinggi, melambangkan kekayaan dan merupakan binatang kurban pilihan pada waktu upacara adat yang sering diadakan di kampung untuk menguatkan hubungan sosial. 35 Claude, Guillot (Terj. Daniel Perret), Lobu Tua Sejarah Awal Barus, Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Yayasan Obor Indonesia, 2002, hal. 244.

  Sebagian mengkhususkan diri dalam mata pencaharian bertukang, kerajinan tangan. Jenis lain yang dijadikan sebagai sumber penghidupan yaitu pekerja atau buruh. Mereka memiliki tenaga kerja berlebih karena sempitnya sawah dan ladang yang dapat dikelola, juga terbatasnya musim menanam padi yang hanya sekali setahun pada waktu itu, serta musim tanam yang berbeda-beda di setiap daerah, maka tenaga berlebih itu dapat menjadi buruh tani di tempat lain. Hal ini menyebabkan terjadinya perpindahan bermusim, artinya selama musim tanam atau musim menuai datang serombongan penjual tenaga ke daerah lain, kemudian setelah itu kembali lagi. Misalnya, Wilayah Silindung selalu menerima pekerja musim ini. Tawar-menawar tenaga kerja terjadi di onan atau di tepi jalan raya dengan istilah

  

“nga lakku hamu amang ” yang berarti: apakah bapak sudah laku? Pada umunya pekerja

  musim ini menerima upah padi dengan pembagian 1:8 atau 1:6, artinya dari setiap 6 ikatan si pekerja musim mendapat satu ikatan.

  Faktor alam juga dapat mempengaruhi kepribadian masyarakatnya. Seperti dikemukakan oleh O.E. Baker, sebagai akibat dari kedekatannya dengan alam, orang desa umumnya mengembangkan filsafat hidup yang organis. Artinya, mereka cenderung memandang segala sesuatu sebagai suatu kesatuan. Refleksi dari filsafat semacam ini dalam

  

  hubungan antar manusia adalah tebalnya rasa kekeluargaan dan kolektivitas. Dominasi alam yang kuat terhadap masyarakat Desa Simaninggir, juga mengakibatkan tebalnya kepercayaan mereka terhadap takhayul. Takhayul dalam hal ini merupakan proyeksi dari ketakutan atau ketundukan mereka terhadap alam disebabkan karena tidak dapat memahami dan menguasai alam secara benar.

36 Ibid. , hal. 67.

  Kebanyakan Jenis takhayul ini berkaitan dengan iklim, tanaman dan binatang. Misalnya, saat mata air di desa itu kering dan juga saat mata air tiba-tiba menjadi keruh, Raja adat yang mewakili penduduk memakai ulos. Mual atau mata air itu disembah atau dipele.

  Menurut Penduduk setempat di mata air atau mual tersebut terdapat seekor ular yang sangat besar sebagai penghuni mual tersebut, yang kadang-kadang menunjukkan dirinya kepada orang yang berbuat tidak sopan di desa tersebut. Takhayul yang berkaitan dengan pengaruh bulan terhadap pertanian juga mereka percayai, sehingga konsep kebudayaan tradisional di Desa Simaninggir ini mengacu pada gambaran tentang cara hidup masyarakatnya yang belum dirasuki oleh penggunaan teknologi modern serta sistem ekonomi uang pada masa itu sangat jarang.

  Dengan rumusan lain, pola kebudayaan tradisional desa ini adalah produk dari besarnya pengaruh alam terhadap masyarakat Simaninggir yang hidupnya tergantung pada alam yaitu pertanian. Tingkat teknologinya yang masih rendah dan produksinya hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka atau ekonomi subsisten. Pada masyarakat Simaninggir yang belum menggunakan teknologi modern dalam sistem pertanian mereka, dan disamping itu juga belum menggunakan uang dalam sistem perekonomian mereka, maka dalam kehidupan sosial mereka ditandai oleh adanya hubungan-hubungan yang akrab, serba informal serta permisif atau bebas dan santai.

  Kerukunan di antara mereka sangat kuat. Dengan tidak hadirnya teknologi modern, tercipta kondisi yang membuat mereka saling tolong-menolong satu sama lain atau barter tenaga, gotong-royong. Dengan sendirinya oleh suasana saling tolong-menolong secara langsung hal ini dapat menciptakan ketergantungan fungsional juga mengakibatkan terjadinya hubungan emosional yang erat antara penduduk Simaninggir. Kerukunan tersebut juga disebabkan oleh kesamaan-kesamaan nasib yang ada di antara mereka. Seperti misalnya, sama-sama korban yang lari dan bersembunyi dari keganasan penjajah sebelum mereka tinggal di Simaninggir, sehingga terdapat solidaritas yang kuat di antara mereka.