BAB II PENGATURAN SISTEM JAMINAN SOSIAL BAGI PEKERJABURUH A. Sejarah Pengaturan Sistem Jaminan Sosial Bagi PekerjaBuruh - Pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Bagi Pekerja/Buruh Setelah Berlakunya Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara J

BAB II PENGATURAN SISTEM JAMINAN SOSIAL BAGI PEKERJA/BURUH A. Sejarah Pengaturan Sistem Jaminan Sosial Bagi Pekerja/Buruh Sejarah pengaturan sistem jaminan sosial bagi pekerja/buruh di Indonesia

  dari waktu ke waktu selalu berubah-ubah, berikut ini penulis akan menerangkan sejarahnya dari awal pembentukan sampai dengan sekarang.

1. Pasca Indonesia Merdeka

  Menurut perundang-undangan Indonesia, melahirkan anak

  (maternity) bukanlah keadaan yang memerlukan jaminan sosial, karena

  dipandang sebagai istirahat dengan upah penuh. Peraturan yang terdahulu di Indonesia adalah undang-undang yang berkenaan dengan pemberian ganti-rugi kecelakaan, yaitu Undang-Undang Kecelakaan 1947 dan

   Schepelingen Ongevallen-regeling 1940 (Peraturan Kecelakaan Pelaut).

  Undang-Undang Kecelakaan 1947 adalah Undang-Undang Jaminan Sosial pertama yang diundangkan pasca proklamasi kemerdekaan, dan hebatnya lagi masih diundangkan di masa pemerintahan

  

  darurat pasca perang agresi Belanda kedua. Schepelingen Ongevallen-

  regeling 1940 (Peraturan Kecelakaan Pelaut) adalah merupakan dasar

  

  17 18 Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, 1981, Hal. 191 Asih Eka Putri, Jaminan Sosial, “Karya Besar Abad Keduapuluh”, , diakses 24 April 2015 a.

  Ganti-rugi menurut Undang-Undang Kecelakaan 1947 Dalam membahas Undang-Undang Kecelakaan 1947 harus ada perhatian dari hukum perburuhan. Dalam hukum perdata biasa, ganti- rugi hanya dimintakan dari seseorang yang telah bersalah melakukan

  

  perbuatan yang menimbulkan kerugian itu. . Dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,

   mengganti kerugian tersebut”.

  Demikianlah juga menurut pasal 1602w Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi “Majikan wajib mengatur dan memelihara ruangan-ruangan, alat-alat dan perkakas yang dipakai untuk melakukan pekerjaan, dan pula wajib mengenal cara melakukan pekerjaan, mengadakan aturan-aturan serta memberi petunjuk-petunjuk sedemikian rupa sehingga buruh terlindung dari bahaya yang mengancam badan, kehormatan dan harta bendanya sebagaimana dapat

  

  dituntut mengenai sifat pekerjaan”. Jika buruh hendak minta ganti- rugi karena kecelakaan, dia harus membuktikan bahwa kecelakaan itu terjadi karena kesalahan majikan atau kelalaian majikan tidak 20 memenuhi kewajibannya untuk mengatur dan memelihara tempat kerja 21 Imam Soepomo, Loc .cit. 22 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Ibid. dan alat kerja sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan kecelakaan yang mengakibatkan kerugian bagi buruh.

  Bahwa pembuktian ini bagi buruh adalah sulit, bahkan kadang- kadang tidak jelas. Jika memang hendak melindungi buruh, maka harus ditempuh jalan lain. Karena itu mula-mula dalam Ongevallen-

  

regeling 1939 dan kemudian Undang-Undang Kecelakaan 1947 dan

Schepelingen Ongevallen-regeling 1940, dilepaskan dasar kesalahan

  tersebut dan ganti-rugi karena kecelakaan itu selanjutnya didasarkan atas tanggungjawab majikan atas kerugian yang terjadi di perusahaannya. Pemberian ganti-rugi dipandang sebagai resiko menjalankan perusahaan (risque professionnel).

  Undang-Undang Kecelakaan 1947 jika dibandingkan dengan

  

Ongevallen-regeling 1939 dan Schepelingen Ongevallen-regeling

  1940, sudah lebih maju lagi, karena Undang-Undang itu meliputi suatu kecelakaan yang menimpa buruh dalam hubungan kerja. Misalnya seorang buruh yang baru saja keluar meninggalkan rumahnya menuju ke tempat pekerjaan atau telah meninggalkan tempat pekerjaan menuju ke rumah jadi tidak di perusahaan mendapat kecelakaan dia sudah berhak atas ganti rugi seperti yang tercantum dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang kecelakaan 1947 yaitu "Di perusahaan yang diwajibkan memberi tunjangan, majikan berwajib membayar ganti kerugian kepada buruh yang mendapat kecelakaan berhubung dengan hubungan kerja pada perusahaan itu, menurut yang ditetapkan dalam Undang-undang ini”.

  Disamakan dengan kecelakaan adalah penyakit yang timbul sebagai akibat menjalankan pekerjaan di perusahaan, artinya seorang buruh yang menderita penyakit jabatan (occupational disease) berhak atas ganti-rugi seperti yang tercantum dalam Pasal 1 ayat 2 Undang- Undang Kecelakaan 1947 yaitu “Penyakit yang timbul karena

   hubungan kerja dipandang sebagai kecelakaan”.

  Menurut Undang-Undang Kecelakaan 1947 itu, tidak semua perusahaan diwajibkan memberi ganti-rugi. Pasal 2 membatasinya

  

  pada perusahaan tertentu sebanyak 13 jenis perusahaan yaitu : 1) yang mempergunakan satu atau beberapa tenaga mesin; 2) yang mempergunakan gas-gas yang telah dicairkan, dikompa atau yang jadi cair karena tekanan;

  3) yang mempergunakan zat-zat baik padat, baik cair, maupun gas, yang amat tinggi panasnya atau mudah terbakar atau menggigit, mudah meletus, mengandung racun, menimbulkan penyakit atau dengan cara yang lain berbahaya atau dapat merusak kesehatan;

  4) yang membangkitkan, mengobah, membagi-bagi, mengalirkan atau mengumpulkan tenaga listrik;

  5) yang mencari atau mengeluarkan barang galian dari tanah; 6) yang menjalankan pengangkutan orang atau barang-barang; 7) yang menjalankan pekerjaan memuat dan membongkar barang- barang;

  8) yang menjalankan pekerjaan mendirikan, mengubah, membetulkan atau membongkar bangunbangunan, baik dalam atau di atas tanah, maupun dalam air, membuat saluran-saluran dalam tanah dan jalan-jalan;

  9) yang mengusahakan hutan; 10) yang mengusahakan siaran radio; 11) 23 yang mengusahakan pertanian;

  Imam Soepomo, Op.cit., Hal. 191-192

  12) yang mengusahakan perkebunan; 13) yang mengusahakan perikanan.

  Dalam hal ini ke 13 perusahaan tersebut harus tetap memberikan tunjangan kepada pekerja/buruh agar berlanjutnya hubungan kerja dari majikan lama kepada majikan baru.

  Penderita kecelakaan dapat menuntut pembayaran ganti-rugi berdasarkan ketentuan pada pasal 1602w Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bahwa seorang majikan yang tidak memenuhi kewajibannya untuk mengatur dan memelihara ruangan, alat perkakas, dimana atau dengan mana ia menyuruh melakukan pekerjaan sedemikian rupa sehingga buruh terlindung dari bahaya yang mengancam badan, kehormatan dan harta bendanya, wajib mengganti kerugian yang karenanya menimpa buruh dalam menjalankan

  

  pekerjaannya. Sehingga dapat menuntut pembayaran upah seperti termaksud pada pasal 1602c Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi “Akan tetapi buruh berhak untuk meminta dan menerima upah, yang ditetapkan menurut lamanya buruh, bekerja untuk waktu yang tidak begitu lama, bila ía berhalangan melakukan pekerjaan karena sakit atau mengalami kecelakaan, kecuali bila sakitnya atau kecelakaan itu disebabkan oleh kesengajaan atau

25 Imam Soepomo, Op.cit., Hal. 193

  kebejatannya atau oleh cacat badan yang dengan sengaja diberi

   keterangan palsu pada waktu membuat perjanjian kepada majikan”.

  Undang-Undang Kecelakaan Kerja 1947 akan tetap berlaku apabila ada aturan yang masih diatur didalam Undang-Undang tersebut dan belum terdapat aturan penggantinya sehingga berlaku azas

  Metaprinciple yang mengatakan “Lex Posterior Generalis , Non Derogat Legi Priori Specialis” yang berarti

  Undang-Undang yang terbit kemudian bersifat

  generalis tidak mengesampingkan pendahulunya yang

   spesialis .

  b.

  Ganti-rugi karena kecelakaan pelaut Bagi para pelaut yang mendapat kecelakaan, berlaku peraturan tersendiri, yaitu Schepelingen Ongevallen-regeling 1940 (Peraturan

   Kecelakaan Pelaut 1940), mulai berlaku tanggal 1 Januari 1940. .

  Menurut Prof. Iman Soepomo, S.H., Schepelingen-

  Ongevallen-regeling 1940 masih berlaku secara khusus

  hingga saat ini, sepanjang tidak diikutsertakan dalam

   program jaminan sosial (social secutiry) yang ada saat ini.

  26 27 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata P hi li p us M. H adj o n, A r gum en ta si Huku m ”, G aj a h Mad a U ni ve r si t y P r e ss , Yo gya ka rt a, H al . 54 28 29 Imam Soepomo, Loc.cit. diakses 24 April 2015

  Majikan wajib memberi ganti-rugi kepada anak-kapal yang mendapat kecelakaan dalam hubungannya dengan pekerjaannya di kapal atau untuk keperluan kapal. Kehilangan perlengkapan karena kecelakaan kapal dipandang sebagai kecelakaan yang menimpa buruh.

  Prinsip yang dianut dalam Schepelingen Ongevallen-regeling 1940 ini ialah kecelakaan yang ada hubungannya dengan pekerjaannya dan adalah tidak seluas prinsip yang dipakai sebagai dasar dalam Undang-Undang Kecelakaan 1947.

  Walaupun tanggungjawab majikan diperluas terhadap tiap kecelakaan yang terjadi di kapal juga yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan buruh, namun tetap kurang luas dibandingkan

  

  dengan Undang-Undang Kecelakaan 1947. Hal ini disebabkan sedikitnya ruang aturan yang ada dalam Schepelingen Ongevallen-

  regeling 1940. Seperti masalah kapal penarik serta kapal yang ditarik

  oleh kapal penarik pada Schepelingen Ongevallen-regeling 1940 tidak diatur dalam Undang-Undang kecelakaan 1947.

  Kapal yang diwajibkan memberi ganti-rugi adalah : 1)

  Kapal yang digunakan untuk mengangkut orang atau barang atau untuk usaha perikanan; 2)

  Kapal penarik serta kapal yang ditarik oleh kapal penarik; 3)

  Kapal pemadam kebakaran; 4)

  Kapal clayton dan kapal pembersih lainnya; 5)

  Perahu penolong dan sampan/sekoci yang merupakan alat pertolongan serta tidak digunakan untuk keperluan lainnya;

6) Kapal keruk yang ada di laut atau dalam perairan sendiri.

  Ganti-rugi yang diberikan kepada anak-kapal yang ditimpa kecelakaan menurut Schepelingen Ongevallen-regeling 1940 adalah : 1)

  Pengobatan dan perawatan dengan cuma-cuma, termasuk pemberian obat dan alat pembalut, selama paling lama 1 tahun sesudah hari kecelakaan;

  2) Perumahan dan makanan cuma-cuma, bila mendapat kecelakaan dirawat di luar rumahnya sendiri;

  3) Pengangkutan ke tempat perawatan;

  4) Penguburan;

  5) Jika perjanjian kerja telah berakhir, segera setelah sembuh buruh diberi pengangkutan ke tempat perjanjian kerja itu dibuat.

  Termasuk biaya makan dan penginapan selama perjalanan; 6)

  Uang tunjangan kepada;

  a) Buruh yang tidak mampu lagi melakukan pekerjaan;

b) Kepada keluarga buruh jika buruh meninggal.

  Kehilangan perlengkapan karena kecelakaan kapal hanya diganti bila kehilangan itu tidak terjadi karena kelalaian besar (grove

  schuld ). Ganti-rugi diberikan untuk kerugian yang benar-benar diderita

  terhadap barang yang berhubung dengan kedudukan pangkat atau

  

pekerjaan buruh diperlukan di kapal.

  c.

  Bantuan/tunjangan sakit Ketentuan lain yang berlaku adalah Peraturan Menteri

  Perburuhan No. 15 tahun 1957 jo No. 3 tahun 1964 dan No. 3 tahun 1967 tentang pemberian bantuan/tunjangan kepada buruh dan keluarganya dalam hal sakit, hamil, bersalin, atau meninggal dunia, memberi kesempatan kepada majikan untuk mempertanggungjawabkan buruhnya beserta keluarganya pada dana

   31 jamina sosial terhadap sakit, hamil, bersalin atau meninggal dunia.

  Ibid., Hal. 193-195

  Peraturan Menteri Perburuhan No. 15 tahun 1957 jo No. 3 tahun 1964 merupakan cikal bakal lahirnya asuransi sosial tenaga kerja yang harus didirikan oleh perusahaan dan Peraturan Menteri Perburuhan No. 3 tahun 1967 menerangkan bahwa harus ada pemberian bantuan sosial bagi pekerja/buruh.

  Mengenai pengobatan/perawatan sakit terdapat beberapa ketentuan secara terpencar-pencar dalam berbagai peraturan yang bukan merupakan jaminan sosial (social security), melainkan merupakan bagian dari upah, yaitu bagian upah yang berupa barang atau jasa, tepatnya pengobatan dokter.

  Misalnya Kitab Undang-undang Hukum Perdata mewajibkan majikan jika seorang buruh bertempat tinggal padanya sakit selama berlangsungnya hubungan kerja tetapi paling lama untuk waktu 6 minggu, menguruskan perawatan dan pengobatannya sepantasnya, sekedar hal ini tidak diberikan berdasarkan peraturan lain.

  Indienstneming van Werklieden (Peraturan tentang

  Memperkerjakan Buruh) mewajibkan majikan memberi perawatan yang layak termasuk obat yang diperlukan. Pelanggaran atas kewajiban ini diancam dengan pidana denda sebanyak-banyaknya seratus rupiah.

  Aanvullende Platersregeling (Peraturan Perburuhan di

  Perusahaan Perkebunan) menetapkan bahwa jika buruh sakit, pengusaha selama hubungan kerja berlangsung tetapi selama-lamanya untuk 3 bulan, wajib memberi perawatan dan pengobatan yang layak. Perawatan dan pengobatan ini juga diberikan kepada keluarga buruh (istri, anak yang sah dan disahkan di bawah umur 21 tahun).

  Dalam Panglongkeur Soematra Oostkust dan Riouw

  Panglongregeling ditetapkan bahwa pengusaha wajib memberi

  pengobatan. Zee-arbeidsovereenkomst (perjanjian kerja laut) yang mengacu pada Buku II Bab 4 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang menetapkan jika seorang buruh yang telah mengadakan perjanjian kerja untuk sedikit-dikitnya 1 tahun atau selama 1 setengah tahundengan terus-menerus telah bekerja pada seorang pengusaha, jatuh sakit sedang ia melakukan pekerjaan di kapal, juga bila hubungan kerja telah putus, berhak mendapat upah penuh serta perawatan dan pengobatan yang layak, selama ia tinggal di kapal.

  Bila pengusaha mendaratkan buruh yang sakit itu pada suatu tempat, ia wajib membiayai perawatan dan pengobatan itu sampai

   sembuh, tetapi paling lama untuk 52 minggu.

  Soal persediaan untuk hari tua dan pemeliharaan janda dan anak yatim-piatu masih sepenuhnya terserah paka kebijaksanaan majikan atau organisasi buruh untuk memperjuangkannya terhadap majikan. Dalam praktik sudah ada berbagai perusahaan yang mempunyai peraturan pensiun.

  Barangkali dapat dipandang sebagai petunjuk permulaan bagi gagasan pemeliharaan janda dan anak yatim-piatu, ketentuan dalam

  

Aanvullende Plantersregeling yang menetapkan bahwa jika buruh

  meninggal dunia, kepada keluarga yang ditinggalkan dibayarkan upah bulan yang berjalan dan bulan berikutnya.

  Demikian pula dengan pensiun yang diberikan kepada pegawai negeri dalam Aanvullende Plantersregeling meliputi: 1)

  Pengobatan dan perawatan, 2)

  Tunjangan kepada yang bersangkutan, 3)

  Tunjangan kepada jandanya, bila pegawai negeri itu meninggal dunia.

  Menurut Prof. Imam Soepomo ,S.H. jaminan sosial (social

  security ) ini mengingat pembiayaannya dibagi dalam:

  1) Bantuan sosial (social assistance) dan

2) Pertanggungan sosial (social assurance).

  Pada bantuan sosial semua biaya dipikul oleh majikan, seperti pada ganti-rugi karena kecelakaan. Jika disini diadakan pertanggungan, maka pertanggungan itu diselenggarakan antara para majikan bersama, seperti misalnya dimaksud pada pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Kecelakaan 1947.

  Pada pertanggungan sosial, baik majikan maupun buruh membayar iuran untuk memperoleh bantuan yang dimaksudkan, misalnya jaminan sosial sakit, jaminan sosial hari tua, janda dan anak

  

yatim piatu serta pengangguran.

2. Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1977 Tentang Asuransi Sosial Tenaga Kerja (ASTEK)

  Dalam Ketentuan Umum Peraturan Pemerintah No. 33 tahun 1977 tentang Asuransi Sosial Tenaga Kerja (selanjutnya disebut Astek) adalah sistem perlindungan yang dimaksudkan untuk menanggulangi resiko sosial secara langsung mengakibatkan berkurangnya atau hilangnya penghasilan tenaga kerja.

  Berdasarkan peraturan ini maka perusahaan diwajibkan untuk menyelenggarakan program Astek, yaitu dengan cara mempertanggungkan buruhnya dalam asuransi kecelakaan kerja dan asuransi kematian, demikian pula dalam program tabungan hari tua pada badan penyelenggaraaan yaitu Perusahaan umum Asuransi Sosial Tenaga Kerja (Perum Astek) yang didirikan dengan Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 1977.

  Perusahaan dalam Peraturan Pemerintah No.33 tahun 1977 adalah semua perusahaan baik milik swasta, termasuk perusahaan yang didirikan menurut Peraturan Penanaman Modal Asing (PMA) serta Perusahaan Umum (PERUM), Perusahaan Perseroan (PERSERO) dan Perusahaan Milik Negara yang didirikan dengan atau berdasarkan undang-undang tersendiri.

  Namun demikian perusahaan yang wajib menyelenggarakan Astek masih dibatasi pada jumlah buruh yang dipekerjakan atau jumlah upah yang dibayarkan kepada buruhnya setiap bulannya. Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja Transmigrasi dan Koperasi No. 116-MEN/1977 tentang peraturan tata cara persyaratan pendaftaran pembayaran iuran dan pembayaran jaminan asuransi sosial tenaga kerja, ditetapkan bahwa perusahaan yang memperkerjakan sebanyak 100 orang atau lebih atau membayar upah paling sedikit lima juta rupiah sebulan adalah perusahaan yang diwajibkan ikut serta dalam program Astek. Dengan demikian semua perusahaan yang terletak diluar ketentuan tersebut, untuk sementara belum terkena wajib asuransi, sehingga jaminan-jaminan itu dapat dilaksanakan menurut kebijaksanaan perusahaan.

  Perkembangan lebih lanjut mengenai penentuan perusahaan yang wajib menyelenggarakan program Astek dapat dilihat dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP-278/MEN/83 adalah peraturan itu mengatur perusahaan yang memperkerjakan tenaga kerja sebanyak 25 orang atau lebih, atau membayar upah paling sedikit Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) sebulan. Hal ini terlihat bahwa pemerintah secara bertahap sudah mulai mengembagkan program jaminan sosial pada pekerja/buruh.

  Prinsip ini juga sama dengan kecelakaan kerja yang dianut Undang-Undang Kecelakaan 1947 yang dianut juga pada Peraturan Pemerintah No. 33 tahun 1977 sebagai peraturan pelaksanaan undang- undang tersebut dengan menetapkan bahwa kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang menimpa tenaga kerja berhubungan dengan hubungan

   kerja dan penyakit yang timbul karena hubungan kerja.

3. Undang-Undang No.3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja

  Pada tahun 1992, pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menerbitkan Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (selanjutnya disebut JAMSOSTEK), program jaminan sosial tenaga kerja meliputi empat program, yaitu jaminan hari tua, jaminan kematian, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan pemeliharaan kesehatan. Selanjutnya sebagai peraturan pelaksana undang-undang ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jamsostek yang mewajibkan setiap pengusaha atau perusahaan yang memiliki karyawan minimal 10 orang atau mengeluarkan biaya untuk gaji buruh/pekerjanya minimal 1 juta/bulan untuk mengikut sertakan pekerjanya dalam program jamsostek (pasal 2 ayat 3).

  Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 menugaskan PT Jamsostek sebagai pelaksana program Jamsostek dan hal ini dipertegas melalui Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1995 yang mengatur ditetapkannya PT Jamsostek sebagai badan penyelenggara Jamsostek. Program Jamsostek memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan minimal bagi tenaga kerja dan keluarganya, dengan memberikan kepastian berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga sebagai pengganti

   sebagian atau seluruhnya penghasilan yang hilang akibat resiko sosial.

  Jamsostek sebagai implementasi dari perlindungan hak buruh dan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan merupakan suatu rangkaian yang bertujuan untuk menciptakan hubungan perburuhan yang berlandaskan pancasila demi kelangsungan usaha dan demi kesejahteraan buruh/pekerja.

  Bentuk perlindungan hak buruh tersebut dapat kita lihat dari program-program jamsostek yang harus dilaksanakan, yaitu: a.

  Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) Kecelakaan kerja temasuk penyakit akibat kerja yang merupakan resiko yang harus dihadapi oleh tenaga kerja dalam melakukan pekerjaanya. Kecelakaan kerja menurut M. Sulaksono adalah suatu kejadian yang tak terduga dan yang tidak dikehendaki yang mengacaukan suatu aktivitas yang telah diatur, kecelakaan ini terjadi tanpa disangka-sangka dalam sekejap mata dan setiap kejadian tersebut terdapat empat faktor bergerak dalam satu kesatuan berantai,

   36 yakni lingkungan, bahaya, peralatan dan manusia. Yang digolongkan 37 Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, Hal.178-179 Buchari, Penanggulangan kecelakaan, Medan: Universitas Sumatera Utara (USU) sebagai penyakit yang timbul karena hubungan kerja sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden No. 22 Tahun 1993 tentang Penyakit yang timbul akibat hubungan kerja yaitu : 1)

  Pnemokoniosis yang disebabkan debu mineral pembentuk jaringan parut (silicosis, antrakosilikosis, asbestosis) dan silikotuberkolosis yang silikosis-nya merupakan faktor utama penyebab cacat atau kematian. 2)

  Penyakit yang disebabkan oleh arsen atau persenyawaannya yang beracun. 12)

  Penyakit yang disebabkan oleh derivate nitro dan amina dari benzene atau homolognya yang beracun. 19)

  Penyakit yang disebabkan oleh benzena atau homolognya yang beracun. 18)

  Penyakit yang disebabkan oleh derivate halogen dari persenyawaan hidrokarbon alifatik atau aroma yang beracun. 17)

  Penyakit yang disebabkan oleh carbon disulfida atau persenyawaannya yang beracun 16)

  Penyakit yang disebabkan oleh fluor atau persenyawaannya yang beracun 15)

  Penyakit yang disebabkan oleh timbal atau persenyawaannya yang beracun 14)

  Penyakit yang disebabkan oleh raksa atau persenyawaannya yang beracun 13)

  Penyakit yang disebabkan oleh mangan atau persenyawaannya yang beracun. 11)

  Penyakit paru dan saluran pernapasan (bronkhopulmoner) yang disebabkan oleh debu logam keras. 3)

  Penyakit yang disebabkan oleh krom atau persenyawaannya yang beracun 10)

  Penyakit yang disebabkan oleh fosfor atau persenyawaannya yang beracun 9)

  Penyakit yang disebabkan oleh kadmium atau persenyawaannya yang beracun. 8)

  Penyakit yang disebabkan oleh berilium atau persenyawaannya yang beracun. 7)

  Alveolitis allergika yang disebabkan oleh faktor dari luar sebagai akibat penghirupan debu organik. 6)

  Asma akibat kerja yang disebabkan oleh penyebab sensitisasi dan zat perangsang yang dikenal yang berada dalam proses pekerjaan. 5)

  Penyakit paru dan saluran pernapasan (bronkhopulmoner) yang disebabkan oleh debu kapas, vlas, henep dan sisal (bissisnosis) 4)

  Penyakit yang disebabkan oleh nitrogliserin atau ester asam nitrat

  20) Penyakit yang disebabkan oleh alkohol, glikol atau keton. 21)

  Penyakit yang disebabkan oleh gas atau uap penyebab asfiksia atau keracunan seperti carbon monoksida, hydrogensianida, hydrogen

  sulfide, atau derivatnya yang beracun, amoniak seng, braso dan nikel.

  22) Kelainan pendengaran yang disebabkan oleh kebisingan. 23)

  Penyakit yang disebabkan oleh getaran mekanik (kelainan-kelainan otot, urat, tulang persendian, pembuluh darah tepi atau syaraf tepi). 24)

  Penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dalam udara yang bertekanan lebih. 25)

  Penyakit yang disebabkan oleh radiasi elektro magnetik dan radiasi yang mengion. 26)

  Penyakit kulit (dermatosis) yang disebabkan oleh penyebab fisik, kimiawi atau biologic. 27)

  Kanker kulit epitelioma primer yang disebabkan oleh ter, pic, bitumen, minyak mineral, antrasena atau persenyawaan, produk atau residu dari zat tersebut. 28) Kanker paru atau mesotelioma yang disebabkan oleh asbes. 29)

  Penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri atau parasit yang didapat dalam suatu pekerjaan yang memiliki risiko kontaminasi khusus. 30)

  Penyakit yang disebabkan oleh suhu tinggi atau rendah atau radiasi atau kelembaban udara tinggi. 31)

  Penyakit yang disebabkan bahan kimia lainnya termasuk bahan

   obat.

  b.

  Program Jaminan Kematian Tenaga kerja yang meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja akan mengakibatkan terputusnya penghasilan yang akan sangat berpengaruh pada kehidupan sosial ekonomi bagi keluarga yang ditinggalkan, oleh karena itu diperlukan jaminan kematian dalam upaya meringankan beban keluarga baik dalam bentuk biaya pemakaman maupun santunan berupa uang. Ketentuan pasal 12 ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga 38 Kerja member pengertian bahwa dalam program jaminan kematian

  PT Jamsostek, Prinsip dan Praktik Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Jakarta: PT yang dimaksud dengan keluarga yang ditinggalkan adalah istri atau suami pekerja, keturunan sedarah dari pekerja menurut garis lurus kebawah, dan garis lurus keatas, dihitung sampai derajat keduatermasuk anak yang disahkan. Apabila garis lurus keatas dan kebawah tidak ada maka diambil kesamping dan mertua. Bagi pekerja yang tidak memiliki keluarga maka hak atas jaminan kematian diberikan kepada pihak yang mendapat surat wasiat dari pekerja yang bersangkutan atau perusahaan untuk pengurusan pemakaman. Urutan keluarga yang diprioritaskan dalam pembayaran santunan kematian menurut pasal 13 Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja adalah : 1) janda atau duda; 2) anak; 3) orang tua; 4) cucu; 5) kakek atau nenek; 6) saudara kandung; 7) mertua.

  Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja member batasan dan pengecualian bagi pekerja/buruh yang berhak menerima manfaat program ini. Pengecualian tersebut disebutkan dalam pasal 12 ayat (2) undang-undang ini, bidang-bidang pekerjaan yang tidak berhak menerima manfaat jaminan kematian manurut pasal ini antara lain : 1) murid atau pekerja yang sedang melakukan magang. 2) pekerja yang bekerja dalam pemborongan pekerjaan.

  3) narapidana yang melakukan pekerjaan.

  c.

  Program Jaminan Hari Tua Hari tua adalah umur pada saat dimana produktivitas buruh atau pekerja telah dianggap menurun, sehingga perlu diganti dengan buruh/pekerja yang lebih muda termasuk cacat tetap dan total (total

   and permanent disability) yang dapat dianggap sebagai hari tua dini.

  Hari tua dapat mengakibatkan terputusnya upah karena buruh/pekerja tidak mampu lagi bekerja. Akibat terputusnya upah tersebut dapat menimbulkan kesusahan bagi pekerja dan mempengaruhi ketenangan bekerja sewaktu masih bekerja, terutama bagi buruh yang memiliki penghasilan rendah. Jaminan hari tua merupakan program perlindungan bagi buruh/pekerja dan keluarganya yang manfaatnyaakan dibayarkan kepada peserta berdasarkan akumulasi dengan memenuhi salah satu persyaratan sebagai berikut : 1)

  Mencapai usia 55 tahun atau meninggal dunia, atau cacat total tetap.

  2) Mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) setelah menjadi peserta sekurang-kurangnya 5 tahun dengan masa tunggu 6 bulan.

  2) Pergi keluar negeri dan tidak kembali, atau menjadi pegawai

   negeri.

  d. 39 Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan 40 Adrian Sutedi, op.cit., Hal. 190

PT Jamsostek, Annual Report PT Jamsostek Tahun 2008, Jakarta; PT Jamsostek,

  Kesehatan kerja pertama kali tertuang dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan Pokok Mengenai Ketenagakerjaan serta Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja yang menyatakan bahwa kesehatan kerja merupakan bagian dari keselamatan kerja. Selanjutnya Undang- Undang No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan mengatur pula mengenai kesehatan kerja pada pasal 108 ayat (2) yang secara jelas menyebutkan bahwa untuk melindungi kesehatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya kesehatan kerja. Kesehatan kerja atau disebut juga Hyperkes (Hygiene Perusahaan dan Kesehatan) berkaitan dengan upaya-upaya : 1)

  Pemeriksaan tenaga kerja, baik pada awal bekerja maupun periodik selama bekerja; 2)

  Tambahan gizi bagi tenaga kerja diberikan makan siang atau dalam bentuk lainnya; 3)

  Kebersihan lingkungan kerja, termasuk pencegahan dan pengelolahan limbah; 4)

  Pencegahan dan penaggulangan sumber-sumber yang

  

membahayakan kesehatan.

  4. Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara 41 Jaminan Sosial (BPJS) Sentanoe Kertonegoro, Sistem Penyelenggaraan dan Badan Penyelenggara Jaminan

  Sosial Tenaga Kerja – Isu Privatisasi Jaminan Sosial , Jakarta: Yayasan Tenaga Kerja Indonesia,

  Pada akhir tahun 2004, Pemerintah juga menerbitkan UU Nomor

  40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Undang-undang itu berhubungan dengan Amandemen UUD 1945 tentang perubahan pasal 34 ayat 2, yang kini berbunyi: "Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan". Manfaat perlindungan tersebut dapat memberikan rasa aman kepada pekerja sehingga dapat lebih berkonsentrasi dalam meningkatkan motivasi maupun produktivitas kerja.

  Kiprah Perusahaan PT Jamsostek (Persero) yang mengedepankan kepentingan dan hak normatif Tenaga Kerja di Indonesia dengan memberikan perlindungan 4 (empat) program, yang mencakup Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) bagi seluruh tenaga kerja dan keluarganya terus berlanjutnya hingga berlakunya UU No

  24 Tahun 2011.

  Tahun 2011, ditetapkanlah UU No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Sesuai dengan amanat undang-undang, tanggal 1 Januri 2014 PT Jamsostek akan berubah menjadi Badan Hukum Publik. PT Jamsostek (Persero) yang bertransformsi menjadi BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Ketenagakerjaan tetap dipercaya untuk menyelenggarakan program jaminan sosial tenaga kerja, yang meliputi

  Menyadari besar dan mulianya tanggung jawab tersebut, BPJS Ketenagakerjaan pun terus meningkatkan kompetensi di seluruh lini pelayanan sambil mengembangkan berbagai program dan manfaat yang langsung dapat dinikmati oleh pekerja dan keluarganya.

   B.

  

Jaminan Sosial Bagi Pekerja/Buruh Menurut Undang-Undang No. 24

Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)

  Dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 99 ayat 1 dan 2 disebutkan bahwa :

  1. Setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga kerja.

  2. Jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat 10, dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  Jaminan sosial merupakan hak setiap pekerja/buruh yang sekaligus merupakan kewajiban dari pegusaha. Pada hakikatnya program jaminan sosial dimaksudkan untuk memberikan kepastian berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga sebagai pengganti sebagian atau seluruh penghasilan yang hilang.

1. Program Jaminan Sosial Pekerja

  Dalam merumuskan konsep jaminan sosial, tim Sistem Jaminan Sosial Nasional yang dibentuk dengan Kepres No. 20 tahun 2002 menyepakati suatu sistem jaminan sosial harus dibangun dengan tiga pilar.

   a.

  Pilar Bantuan Sosial Pilar jaminan sosial menjelaskan sumber dana dan mekanisme yang harus dijalankan dalam sebuah sistem jaminan sosial. Pilar jaminan sosial digunakan di berbagai negara karena sifatnya yang universal.

  Prinsip yang digunakan sama di seluruh dunia. Tetapi, rincian mekanisme proses dan besaran manfaat untuk memenuhi kebutuhan dasar yang berbeda-beda antara satu negara dengan negara lain. Pilar jaminan sosial yang universal adalah :

  Bagi mereka yang miskin dan tidak mampu atau tidak memiliki penghasilan tetap yang memadai untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak. Dalam Undang-Undang No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (selanjutnya disebut SJSN), bantuan sosial diwujudkan dengan bantuan iuran oleh pemerintah (Pusat) agar mereka yang miskin dan tidak mampu dapat tetap menjadi peserta JKN.

  b.

  Pilar Asuransi Sosial Merupakan suatu sistem pengumpulan dana (risk polling) dengan mekanisme transfer resiko yang wajib diikuti oleh semua penduduk.

  Penduduk berpenghasilan (di atas garis kemiskinan) wajib membayar iuran yang proporsional terhadap penghasilannya/upahnya.

  c.

  Pilar Tambahan/ Pilar Suplemen 43 Tim SJSN, Kantor Wakil Presiden, Naskah Akademik RUU Sistem Jaminan Sosial

  Pilar yang disiapkan oleh mereka yang menginginkan (demand) jaminan/manfaat yang lebih memuaskan dari paket JKN. Untuk jaminan hari tua dan pensiun, pilar ketiga dapat sangat besar jumlahnya, jauh melebihi pilar I dan pilar II. Pilar ini dapat diisi dengan membeli asuransi komersil (baik asuransi kesehatan, pensiun, atau asuransi jiwa), tabungan sendiri, membeli saham, membeli surat berharga, menyimpan emas murni, atau program-program pribadi lainnya. Pilar ketiga dapat dilakukan perorangan, lembaga usaha (pemberi kerja), atau pemda yang kaya sebagai tambahan

   kesejahteraan.

  Program jaminan sosial pekerja mempunyai beberapa aspek antara lain : 1)

  Memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal bagi pekerja beserta keluarganya.

  2) Merupakan penghargaan kepada pekerja yang telah menyumbangkan tenaga dan pikirannya kepada perusahaan tempatnya bekerja.

  Dengan demikian, jaminan sosial pekerja mendidik kemandirian pekerja sehingga pekerja tidak harus meminta belas kasihan orang lain

  

  jika dalam hubungan kerja terjadi resiko akibat hubungan kerja. Karena telah didirikannya BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan untuk 44 menjamin pekerja/buruh dalam hal jaminan sosial bagi pekerja/buruh.

  Hasbullah Thabrany, Jaminan Kesehatan Nasional, Rajawali Press, Jakarta, 2014, Hal. 99-101 45 Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Rajawali Press, Jakarta,

2. Badan Penyelenggara Sistem Jaminan Sosial

  Di dalam Undang-Undang No. 24 tahun 2011 Pasal 1 ayat (1) dsebutkan bahwa “Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang selanjutnya disingkat BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk

   menyelenggarakan program jaminan sosial”.

  Dalam menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional BPJS mempunyai 3 asas, yaitu : a.

  Kemanusiaan, adalah asas yang terkait dengan penghargaan terhadap martabat manusia; b. adalah asas yang bersifat operasional

  Manfaat, menggambarkan pengelolaan yang efisien dan efektif; c.

  Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, adalah asas yang

   bersifat idiil.

  Tujuan dari BPJS adalah mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi Peserta

   dan/atau anggota keluarganya.

  Dalam pasal 4 UU BPJS disebutkan BPJS menyelenggarakan

  

  sistem jaminan sosial nasional berdasarkan prinsip : a. 46 Prinsip Kegotongroyongan

  Undang-Undang No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), Pasal 1 ayat (1) 47 Penjelasan Undang-Undang No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), Pasal 2 48 Undang-Undang No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), Pasal 3 49 Undang-Undang No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

  Adalah prinsip kebersamaan antar peserta dalam menanggung beban biaya jaminan sosial, yang diwujudkan dengan kewajiban setiap peserta membayar iuran sesuai dengan tingkat gaji, upah atau

  

  penghasilannya. Gotong royong dalam JKN harus terjadi antara peserta yang mampu kepada peserta yang kurang mampu, yang beresiko rendah membantu yang beresiko tinggi, dan yang sehat membantu yang sakit secara nasional. Ketiga unsur gotong royong tersebut tidak terjadi pada mekanisme asuransi kesehatan komersial yang berbasis mekanisme pasar. Melalui prinsip kegotongroyongan ini kita dapat mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dalam Pancasila. Hanya dengan prinsip ini, cakupan universal dapat dicapai. Prinsip ini diwujudkan dengan kewajiban membayar iuran persentase upah atau yang relatif proporsional terhadap pendapatan

   penduduk/peserta.

  b.

  Prinsip Nirlaba Adalah pengelolaan usaha yang mengutamakan penggunaan hasil pengembangan dana untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi

   seluruh peserta. Prinsip ini adalah konsekuensi transaksi wajib.

  Dalam transaksi sukarela (mekanisme pasar), keuntungan bagi sebagian orang merupakan hak orang yang berusaha menghasilkan dan

50 Penjelasan Undang-Undang No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan

  Sosial (BPJS), Pasal 4 51 52 Hasbullah Thabrany, Op.cit., Hal. 153-154 Penjelasan Undang-Undang No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan menjual produk bermutu dan harga bersaing. Hasil penjualan adalah milik perusahaan atau penjual.

  

c.

  Prinsip Keterbukaan Adalah prisip mempermudah akses informasi yang lengkap, benar, dan jelas bagi setiap peserta.

  d.

  Prinsip Kehati-hatian Adalah prinsip pengelolaan dan secara cermat, teliti, aman, dan tertib.

  e.

  Prinsip Akuntabilitas Adalah prinsip pelaksanaan program dan pengelolaan keuangan yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.

  f.

  Prinsip Portabilitas Adalah prinsip memberikan jaminan yang berkelanjutan meskipun peserta berpindah pekerjaan atau tempat tinggal dalam wilayah Negara kesatuan Republik Indonesia.

  

a.

  BPJS Kesehatan; dan Dalam UU BPJS Pasal 5 ayat (2), BPJS terbagi dalam 2 bagian yaitu : b.

  BPJS ketenagakerjaan. 53 Hasbullah Thabrany, Op.cit., Hal. 154 54 Penjelasan Undang-Undang No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan

  Model BPJS adalah penyelenggara jaminan sosial yang diselenggarakan oleh BPJS dengan tata laksana sesuai ketentuan Undang- Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Tatanan ini berlaku bagi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.Penyelenggaraan SJSN dilaksanakan oleh dua organ utama yaitu BPJS dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (selanjutnya disebut DJSN). DJSN dan BPJS adalah organ SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) yang dibentuk oleh Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN.Secara struktural DJSN dan BPJS adalah subordinasi penguasa publikyaitu Presiden. DJSN dan BPJS bertanggungjawab langsung kepada Presiden. DJSN berfungsi merumuskan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan sistem jaminan sosial.

  BPJS menjadi subyek pengawasan eksternal oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional, Otoritas Jasa Keuangan, dan Badan Pemeriksa Keuangan.

  Hubungan kelembagaan antara BPJS dengan DJSN adalah fungsional melalui pelaksanaan tugas dan wewenang DJSN dalam penyelenggaraan program jaminan sosial nasional. Sedangkan komunikasi diantara kedua lembaga ini terlaksana melalui empat media, yaitu keputusan DJSN, usulan DJSN, hasil monitoring dan evaluasi DJSN, serta tembusan laporan BPJS kepada Presiden mengenai pengelolaan program dan keuangan.

  BPJS melaksanakan keputusan DJSN yang memuat rumusan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan program-program jaminan sosial nasional. DJSN berkonsultasi dengan BPJS dalam rangka perumusan usulan investasi dana jaminan sosial dan usulan anggaran bagi Penerima Bantuan Iuran. DJSN menyampaikan usulan tersebut kepada

55 Presiden.

  BPJS bertanggungjawab kepada Presiden. Organ BPJS terdiri dari Dewan Pengawas dan Direksi. Anggota Direksi BPJS diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Presiden menetapkan Direktur Utama BPJS diawasi oleh pengawas internal dan pengawas eksternal. Pengawasan internal dilaksanakan oleh organ BPJS, yaitu Dewan Pengawas dan sebuah unit kerja di bawah Direksi yang bernama Satuan Pengawas Internal.

  Pengawasan eksternal dilaksanakan oleh badan-badan di luar BPJS, yaitu DJSN, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Badan Pemeriksa

56 Keuangan (BPK).

  DJSN bertugas sebagai pengawas eksternal BPJS dengan melakukan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan program jaminan sosial dan tingkat kesehatan keuangan BPJS. DJSN berkomunikasi dengan BPJS sepanjang tahun fiskal dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi karena monitoring dan evaluasi adalah aktivitas yang dilakukan secara

  

terus-menerus dan berkelanjutan.

  55 Asih Eka Putri, Paham SJSN (Sisitem Jaminan Sosial Nasional), Friedrich Ebert Stiftung, Jakarta, 2014, Hal. 37-38 56 Ibid., Hal. 38

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah - Analisis Pengaruh Cash Ratio, Return On Assets, Growth Firm Size, Debt To Equity Ratio Dan Net Profit Margin Terhadap Dividen Payout Ratio Pada Perusahaan Lq-45 Yang Terdaftar Di Bursa efek Indonesia Tahun 2

0 1 9

Analisis Pengaruh Cash Ratio, Return On Assets, Growth Firm Size, Debt To Equity Ratio Dan Net Profit Margin Terhadap Dividen Payout Ratio Pada Perusahaan Lq-45 Yang Terdaftar Di Bursa efek Indonesia Tahun 2010 -2012

0 0 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Signalling Theory (Teori Sinyal) - Analisis Pengaruh Profitabilitas, Likuiditas, Leverage, Free Cash Flow dan Ukuran Perusahaan terhadap Kebijakan Dividen pada Perusahaan Industri Barang Konsumsi yang Terda

0 1 25

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Analisis Pengaruh Profitabilitas, Likuiditas, Leverage, Free Cash Flow dan Ukuran Perusahaan terhadap Kebijakan Dividen pada Perusahaan Industri Barang Konsumsi yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Pe

0 0 10

C. Kuisioner Data Pengetahuan - Gambaran Pengetahuan, Sikap, Dan Tindakan Remaja Puteri Terhadap Pemeriksaan Payudara Sendiri (Sadari) Di Sma Katolik Budi Murni 1 Medan Tahun 2014

0 1 15

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengetahuan 2.1.1. Defenisi Pengetahuan - Gambaran Pengetahuan, Sikap, Dan Tindakan Remaja Puteri Terhadap Pemeriksaan Payudara Sendiri (Sadari) Di Sma Katolik Budi Murni 1 Medan Tahun 2014

0 0 21

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Gambaran Pengetahuan, Sikap, Dan Tindakan Remaja Puteri Terhadap Pemeriksaan Payudara Sendiri (Sadari) Di Sma Katolik Budi Murni 1 Medan Tahun 2014

0 0 10

II. Perilaku Responden A. Pengetahuan Jawablah pertanyaan berikut ini dengan memberikan tanda silang (X) pada jawaban yang kamu pilih ! - Pengaruh Promosi Kesehatan Dengan Menggunakan Metode Ceramah Dan Permainan Ular Tangga Terhadap Peningkatan Perilaku

0 2 49

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Promosi Kesehatan - Pengaruh Promosi Kesehatan Dengan Menggunakan Metode Ceramah Dan Permainan Ular Tangga Terhadap Peningkatan Perilaku Murid Kelas V Tentang Konsumsi Makanan Jajanan Di Sd Negeri Kecamatan Medan Petisah Tahun

0 0 39

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah - Pengaruh Promosi Kesehatan Dengan Menggunakan Metode Ceramah Dan Permainan Ular Tangga Terhadap Peningkatan Perilaku Murid Kelas V Tentang Konsumsi Makanan Jajanan Di Sd Negeri Kecamatan Medan Petisah Tahun

0 1 12