BAB I PENDAHULUAN - Gambaran Kesejahteraan Psikologis pada Wanita Dewasa Madya ditinjau dari Grandparenting Style

  !

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam era kehidupan modernisasi ini, bukanlah suatu hal yang

  mengherankan lagi apabila harapan hidup manusia ataupun yang sering disebut dengan life expectancy terus meningkat. Hal ini pada umumnya disebabkan oleh perkembangan dalam dunia medis dan juga kondisi nutrisi yang diterima masyarakat sekarang. Rata-rata harapan hidup di seluruh dunia pada tahun 2002 telah meningkat hingga usia 65.2 dibandingkan dengan tahun 1950-1955 yang berusia 46.5 (WHO, dalam Papalia, Olds, dan Feldman, 2007). Di Indonesia sendiri, angka harapan hidup telah meningkat dari usia 45.7 pada tahun 1971 hingga usia 72.6 pada tahun 2010 (Sensus Penduduk, dalam BKKBN, 2013).

  Harapan hidup (life expectancy) merupakan usia dimana seseorang dalam generasi tertentu secara statistik memiliki kemungkinan untuk hidup berdasarkan rata-rata usia panjang dalam suatu populasi (Papalia dkk., 2007). Oleh sebab itu, ketika angka harapan hidup meningkat, maka lamanya manusia untuk hidup pun akan semakin panjang. Berdasarkan angka harapan hidup yang telah dipaparkan di atas, dapat dilihat bahwa di Indonesia dulunya rata-rata usia seseorang dapat bertahan hidup yaitu hingga usia 41.5, namun sekarang ini rata-rata usia seseorang dapat bertahan hidup telah mencapai usia 71.1 tahun. Dengan demikian, individu yang hidup pada zaman sekarang ini memiliki kesempatan yang lebih besar untuk memasuki rentang hidup baru, yakni masa dewasa madya.

  %! !

  Individu dewasa madya rata-rata memiliki kepuasan hidup yang cukup tinggi (Myers; Myers & Diener; Walker, Skowronski, & Thompson, dalam Papalia, 2007). Hal ini dapat dijelaskan karena segala emosi positif yang berhubungan dengan pengalaman yang menyenangkan akan cenderung bertahan, sedangkan emosi negatif yang berhubungan dengan pengalaman tidak menyenangkan akan memudar. Masa dewasa madya juga ditandai dengan masa dimana individu akan cenderung terlibat dalam berbagai peran, seperti dalam pekerjaan, komunitas atau organisasi sosial, dan keluarga (Sigelman & Rider, 2003). Dalam menjalankan berbagai peran tersebut, individu dewasa madya dapat memperoleh atau mencapai suatu tahapan normatif yang disebut dengan

  generativity.

  Generativity merupakan sebuah tahapan dimana seseorang

  mengembangkan perhatiannya untuk memandu dan memberi pengaruh kepada generasi selanjutnya (Erikson dalam Papalia dkk., 2007). Generativity muncul seiring dengan penyesuaian psikososial individu dalam berbagai tantangan ataupun peran yang dihadapi pada usia dewasa madya. Nilai utama dari tahapan

  

generativity adalah care. Individu akan memiliki komitmen yang lebih tinggi

  untuk menjaga atau merawat produk-produk, ide-ide, dan individu lainnya, serta memandu generasi selanjutnya untuk melihat potensi diri mereka di masa depan.

  

Generativity umumnya dianggap sebagai suatu tanda kematangan psikologis dan

  juga kesehatan mental (McAdams, dalam Papalia dkk., 2007). Ketika seseorang telah mencapai tahapan generativity, maka akan muncul perasaan dalam diri individu bahwa ia telah melakukan kontribusi yang bermanfaat bagi

  &! ! lingkungannya, sehingga pada akhirnya dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis individu (Papalia dkk., 2007).

  Kesejahteraan psikologis atau yang sering disebut sebagai psychological

  

well being bukanlah hanya sebatas terhindarnya seseorang dari masalah-masalah

  ataupun perolehan akan kesenangan, namun Ryff (dalam Ryan & Deci, 2001) mendefinisikannya sebagai usaha individu untuk mencapai kesempurnaan yang menggambarkan kesadaran akan potensi dalam dirinya. Menurut Ryff, individu yang sehat secara psikologis memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri dan orang lain, mampu membuat keputusan dan meregulasi perilaku sendiri, serta mampu memilih atau membentuk lingkungannya agar sesuai dengan kebutuhannya. Individu juga memiliki goal atau tujuan yang dapat membuat hidupnya menjadi lebih bermakna, serta berjuang dengan cara mengeksplorasi dan mengembangkan diri mereka sebaik mungkin (Papalia dkk., 2007).

  Pada usia dewasa madya, kesejahteraan psikologis seseorang sangatlah dipengaruhi oleh hubungannya dengan orang lain (Markus dkk., dalam Papalia dkk., 2007). Hubungan ini dapat berfungsi sebagai suatu sumber kesehatan dan kepuasan dalam hidup individu. Hal ini sejalan dengan tahapan generativity yang diungkapkan oleh Erikson, yang mana salah satu alasan seseorang melakukan tahapan generativity yakni karena ingin merasa dirinya diperlukan oleh orang lain.

  

Generativity, salah satu faktor yang berkontribusi cukup besar terhadap

  kesejahteraan psikologis individu dewasa madya, dapat diwujudkan melalui berbagai hal, salah satunya yaitu melalui grandparenting atau pengasuhan cucu.

  '! !

  Rata-rata usia seseorang memperoleh peran kakek nenek kini berada pada rentang usia 47-an, yakni pada masa dewasa madya (Conner, dalam Sigelman & Rider, 2003). Dahulu pandangan akan peran kakek nenek merupakan individu yang berada pada usia tua, namun kini gambaran tersebut telah berubah, seperti kakek nenek telah menjadi lebih muda, aktif, energetik, penuh dengan ide, sehat, serta penuh antusias (Troll, dalam Craig, 1996; DeGenova, 2008).

  Sebagian besar individu dewasa madya yang memperoleh peran kakek nenek pada umumnya menganggap pengalaman tersebut sebagai sesuatu yang menyenangkan (Somary & Stricker; Szinovacz, dalam Cavanaugh & Blanchard- Fields, 2006). Hal ini dikarenakan kakek nenek menganggap hal tersebut sebagai kesempatan kedua untuk menjadi orangtua, sehingga tidak heran apabila cukup banyak kakek nenek yang ingin terlibat dalam pengasuhan cucu. Dalam suatu hubungan yang terjalin antara kakek nenek dengan cucunya, individu yang memiliki kedekatan emosional dengan sang cucu akan cenderung memilih untuk tinggal dekat dengan cucunya dan bersikap lebih interaktif karena individu ingin terlibat dalam sebagian besar aktivitas yang dilakukan cucu (Griggs, Tan, Buchanan, Attar-Schwarts, & Flouri, 2010).

  Beberapa manfaat yang dapat pula diperoleh dari peran pengasuhan cucu atau grandparenting, antara lain adalah keterlibatan dalam kehidupan dan aktivitas anak dan cucu, menyediakan dukungan extended family, menjadi seorang kakek nenek yang lebih baik dibandingkan ketika menjadi orangtua, dan memberi kesinambungan nilai yang dianut keluarga pada generasi selanjutnya (Mader, 2007). Selain itu, cucu pun dapat menjadi sumber emosional positif yang penting

  (! ! bagi kakek nenek, seperti kesenangan dan perasaan bahwa hidupnya menjadi lebih bermakna. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh dua responden:

  “Awalnya lumayan susah. Capek. Terus cucu lasak lagi. Tapi kalau ngak

  dijaga kasihan juga. Orangtuanya pada sibuk kerja. Lama-lama jadi makin sayang sama cucu. Sekarang malah senang jaga cucu.

  (Komunikasi Personal, 29 April 2014) “Dengan jaga cucu gini, saya bisa tetap aktif. Biar ngak cepat pikun juga.

  Meskipun agak sibuk tapi dengan jaga cucu gini saya senang karena bisa tetap dapat menjaga hubungan sama anak sama cucu saya. Daripada di rumah ngak ada kerjaan apa-apa.

  (Komunikasi Personal, 29 April 2014) Di satu sisi adanya berbagai manfaat yang dapat diperoleh dalam pengasuhan cucu, di sisi lain, Pruchno & McKenney (2002) menemukan beberapa faktor yang dapat memunculkan afek negatif pada individu yang mengasuh cucu, terutama ketika beban atau tanggung jawab untuk mengasuh cucu semakin besar.

  Beberapa faktor tersebut, yakni kesehatan individu ketika mengasuh cucu dan kemungkinan adanya masalah perilaku atau perkembangan pada cucu, seperti anak berkebutuhan khusus (Hayslip, Shore, Henderson, & Lambert, 1998). Selain itu, usia cucu juga turut mempengaruhi.

  Giarusso, Feng, Wang, & Silverstein (1996) menemukan bahwa kesejahteraan psikologis kakek nenek lebih memungkinkan untuk meningkat apabila mereka menjaga cucu yang berada dibawah usia 13 tahun. Hal ini dikarenakan mengasuh cucu yang lebih muda dapat memberikan suatu peran baru yang bermakna bagi kakek nenek (Giarusso dkk., 1996). Peran tersebut bahkan dapat menyangga hal yang kurang menyenangkan dalam hidup individu ketika

  )! ! menjaga cucu. Sebaliknya, mengasuh cucu yang telah menginjak masa remaja dapat menimbulkan peran yang tidak diinginkan. Hal ini dikarenakan masa remaja sering diikuti dengan berbagai masalah yang muncul karena merupakan masa dimana teman sebayalah yang paling memberikan pengaruh terhadap diri seseorang (Giarusso dkk., 1996).

  Meskipun dengan adanya afek negatif yang dapat muncul dalam pengasuhan cucu, seperti gejala stress, beberapa bukti menunjukkan bahwa kakek nenek sering menikmati peran tersebut dan menerima tanggung jawab yang harus ia lakukan apabila ia memang memilih untuk terlibat secara ektensif untuk menjaga cucu. Dengan demikian, kesediaan kakek nenek untuk terlibat aktif dalam menyediakan pelayanan dan dukungan kepada cucu dapat bermanfaat dalam meningkatkan tujuan hidupnya, bahkan ketika mereka merasa peran tersebut melelahkan secara fisik dan emosional (Giarusso dkk., 1996; Statham, 2011).

  Di samping adanya berbagai manfaat yang diperoleh dalam pengasuhan cucu, terdapat perbedaan intensitas dalam menjalankan peran tersebut ditinjau dari faktor gender. Hubungan antara nenek dengan cucu akan lebih kuat dan sering dibandingkan hubungan antara kakek dengan cucu (Chan & Elder, dalam Sigelman & Rider, 2003; DeGenova, 2008). Peran gender tradisional dapat membantu menjelaskan hal tersebut, yang mana wanita umumnya lebih sering menjadi seorang pengasuh dan menjaga atau mempertahankan hubungan dengan anggota keluarga (Matlin, 2008). Dengan demikian, seorang nenek akan cenderung lebih bersedia untuk mengambil peran dalam menjaga cucunya, serta

  • !

  ! lebih sering memberikan nasihat ataupun menyalurkan nilai-nilai yang dianut keluarga, seperti halnya yang ditemukan dalam studi yang dilakukan oleh Hagestan (dalam Santrock, 2009) bahwa nenek memiliki hubungan yang lebih dekat dengan anak dan cucunya. Kakek lebih sering dianggap sebagai suatu figur otoritas. Kebanyakan cucu pun lebih sering mempersepsikan bahwa figur neneklah yang lebih sering merawat dan menjaganya daripada seorang kakek (Mann, Khan, & Leeson, 2009). Dengan demikian, nenek akan lebih menjalankan perannya dalam mengasuh cucu dibandingkan dengan kakek. Oleh sebab itulah, penelitian ini hanya akan ditujukan atau berfokus pada nenek.

  Dalam menjalankan peran grandparenting, terdapat pola interaksi berbeda yang dapat terjadi antara nenek dengan cucu, yang mana disebut sebagai

  

grandparenting style. Grandparenting style dapat diklasifikasikan oleh seberapa

  sering kontak yang terjadi antara nenek dengan cucu, dan jumlah pengaruh yang dapat diberikan nenek kepada cucu. Terdapat tiga grandparenting style yang dapat dilihat sebagai sebuah kontinum, yang mana ujung kontinum kiri berupa tipe yang tidak terlalu terlibat dengan cucu hingga pada ujung kontinum kanan dengan tipe yang sangat terlibat dengan cucu (Cherlin & Furstenberg, 1986; Wykle, Whitehouse, & Morris, 2005). Tiga tipe grandparenting style yang diungkapkan oleh Cherlin dan Furstenberg (dalam Sigelman & Rider, 2003), diantaranya yaitu remote, companionate, dan involved.

  Tipe remote merupakan figur simbolik yang mana nenek jarang bertemu dengan cucunya. Nenek pada tipe ini tidak terlalu terlibat dengan kehidupan cucu.

  Kebanyakan nenek jarang mengunjungi cucu dikarenakan faktor geografis. Nenek

  • !

  ! pun berharap agar bisa tinggal lebih dekat dengan cucunya (Sigelman & Rider, 2003). Meskipun jarang bertemu, ketika sekali berkunjung, nenek dapat menghabiskan waktu yang cukup intens dengan cucunya, misalnya selama sebulan liburan sekolah (Cherlin & Furstenberg, 1986). Beberapa nenek pada tipe

  

remote di satu sisi karena tidak tinggal dekat dengan cucunya, maka dapat

  menyebabkan kurangnya kedekatan emosional atau afeksi terhadap cucu. Namun, di sisi lain beberapa nenek lainnya dapat saja membangun kedekatan emosional dengan cucu selama kunjungan yang dilakukan. Selain itu, nenek pun dapat mempertahankan hubungan dengan cucunya, misalnya melalui telepon yang rutin (Smith, 2005). Hal ini dapat dilihat dari pernyataan yang diungkapkan oleh beberapa responden:

  “Yah karena cucu tinggal di Singapura jadinya susah ketemu. Ingin ketemu

  juga ngak bisa sering-sering kesana. Tiap kali pas telepon anak saya yang di Singapura, terus cucu saya tahus saya yang nelpon pasti dia lari-lari buat bicara sama saya. Pas dia pulang Medan juga nanti tinggal di rumah saya. Sering main bersama. Tidur pun di kamar saya. Pokoknya senang sekali pas bisa habisin waktu sama cucu.

  (Komunikasi Personal, 13 September 2014) “Kangen sekali sama Lora. Pas Lora pulang senang banget lah. Ngak bisa

  dideskripsikan lagi senangnya. Lora paling pulang setiap hari ulang tahun saya saja atau pas natal. Pas pulang juga tinggal sama saya dan tidur di kamar saya. Jadi hampir habisin waktu bersama seharian tiap harinya. Di pagi atau siang gitu bisa nonton bareng, makan bareng, atau pergi jalan- jalan. Malamnya bisa ngobrol-ngobrol lagi. Tiap kali waktu Lora mau balik lagi pasti sedih banget. Biasanya tetap telpon-telponan biar ngak putus hubungan.

  (Komunikasi Personal, 17 September 2014) “Dulu pas cucu saya kecil 3 tahun gitu pernah tinggal bersama sekitar 7

  bulan. Terus mereka pindah Jakarta. Jadinya jarang ketemu. Sewaktu mereka mau pindah saya sedih sekali. Sudah sekitar 5 tahun juga sejak saya

  ,! !

  tidak tinggal dengan cucu saya. Sampai sekarang juga masih bisa kangen sekali. Sering-sering telpon kesana deh buat nanya kabar cucu, gimana sehat ngak, sekolahnya gimana, dan pastinya ngobrol sama cucu. Pas cucu

pulang Medan saya senang banget. Bisa main-main lagi sama cucu.

  (Komunikasi Personal, 18 September 2014) Tipe kedua, companionate, dapat digambarkan dengan hubungan antara nenek dan cucu yang dekat, perhatian, dan sering melakukan aktivitas yang menyenangkan dengan cucu. Nenek tipe companionate cenderung tinggal dekat dengan cucunya sehingga sering berinteraksi dengan cucu. Tipe ini merupakan tipe yang paling umum yang sesuai dengan gambaran kebanyakan orang akan peran nenek, yakni hadir ketika diperlukan, misalnya menjaga cucu ketika orangtua memiliki urusan, dekat dengan cucunya, sering bermain bersama, memberi bantuan ketika diperlukan, namun tidak terlalu ikut campur dalam hal mendisiplinkan cucu atau mengenai bagaimana cara anaknya membesarkan cucunya (Cherlin & Furstenberg, dalam Sigelman & Rider, 2003).

  Tipe ketiga, involved, merupakan tipe dimana nenek juga sering bertemu dengan cucunya dan bermain-main dengan sang cucu, namun disini nenek memiliki keterlibatan yang lebih besar dalam kehidupan cucu. Nenek memainkan peran aktif dalam mengasuh cucu, seperti menerapkan beberapa aturan yang harus dipatuhi, mendidik cucu agar mematuhi aturan tersebut, dan mendisiplinkan cucu. Peran nenek pada tipe ini hampir tidak berbeda dengan peran orangtua. Nenek memiliki tanggung jawab yang cukup besar dalam menjaga dan merawat cucu (Cherlin & Furstenberg, dalam Sigelman & Rider, 2003).

  Kebanyakan nenek pada umumnya lebih memilih peran yang lebih mengutamakan kesenangan dan afeksi, dan di sisi lain memiliki tanggung jawab

  $-! ! yang tidak terlalu besar untuk menjaga cucu, yakni tipe companionate. Mayoritas dari nenek menemukan bahwa peran seperti ini sangatlah menyenangkan, terutama ketika mereka dapat sering bertemu dengan cucunya (Peterson, dalam Sigelman & Rider, 2003). Hal ini seperti yang diungkapkan oleh salah satu responden:

  “Dalam seminggu minimal ada ketemu tiga empat kali. Soalnya cucu

  biasanya kalau siap les pulang ke toko saya dulu sama anak saya. Jadi pas cucu sudah di toko saya gantian anak saya yang jaga toko jadi saya bisa main-main sama cucu. Kalau ngak main-main yah nonton kartun bareng sambil makan makanan ringan. Bisa habisin waktu sama cucu gini saya senang sekali. Dan lagian saya juga tidak bertanggung jawab untuk jaga mereka 24 jam, jadinya saya tidak terbebani sama hal itu. Cuma yah paling kadang-kadang dititipin pas mama mereka lagi sibuk. Kalau dititipin sesekali sih tidak apa-apa. Senang juga kok, apalagi pas lama-lama sekali cucu dititipin untuk nginap dengan saya.

  (Komunikasi Personal, 19 September 2014) Meskipun begitu, Giarusso dkk., (1996) juga menemukan bahwa individu yang lebih terlibat dan memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk menjaga dan merawat cucu, yakni tipe involved, dapat pula mempengaruhi kesejahteraan psikologis untuk menjadi lebih baik apabila memang terdapat kesediaan dalam diri individu untuk terlibat dalam peran tersebut. Hal ini disebabkan oleh adanya tanggung jawab baru untuk menjaga sang cucu dapat membuat nenek memiliki tujuan hidup yang lebih jelas, seperti halnya yang diungkapkan oleh salah satu responden:

  “Yah punya tanggung jawab besar untuk menjaga cucu cukup melelahkan

  ya. Apalagi saya sudah seperti orangtua dari cucu saya berhubung orangtuanya sibuk sekali. Jadi hampir semua kehidupan cucu saya yang atur. Awalnya saya agak terbebani dengan jaga cucu gini. Tapi lama-lama saya terbiasa dan senang sekali hidup dengan cucu.

  (Komunikasi Personal, 20 September 2014)

  $$! !

  Pada tipe remote dapat dilihat bahwa nenek memiliki tanggung jawab yang rendah dalam menjaga dan merawat cucu, serta afeksi atau kedekatan emosional yang kurang, namun semasa kunjungan yang dilakukan, nenek dapat menghabiskan waktu yang cukup intensif dengan sang cucu sehingga beberapa nenek tetap dapat membangun kedekatan emosional dengan cucunya.

  Dengan demikian, dapat dilihat bahwa pada tipe companionate nenek cenderung mengalami kesenangan dan kedekatan emosional dengan cucu, dan disisi lain memiliki tanggung jawab yang tidak terlalu tinggi untuk menjaga cucu. Pada tipe involved, nenek mengalami kesenangan, kedekatan emosional, serta tanggung jawab yang tinggi untuk menjaga cucu. Sedangkan pada tipe remote, nenek memiliki tanggung jawab yang rendah serta kedekatan emosional yang tidak terlalu tinggi, namun mereka dapat menikmati kesenangan selama menghabiskan waktu dengan sang cucu yang mana dapat membangun afeksi atau kedekatan emosional antar nenek dengan cucu. Oleh sebab itu, dengan adanya karakteristik yang berbeda dari setiap grandparenting style, maka kedekatan emosional yang terbangun dari interaksi tersebut pun menjadi berbeda, sehingga dapat memberikan sumbangan yang berbeda terhadap kesejahteraan psikologis individu.

  Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat dilihat bahwa dengan adanya karakteristik yang berbeda dari setiap grandparenting style, maka kedekatan emosional yang terbangun dari interaksi tersebut pun menjadi berbeda, sehingga dapat memberikan sumbangan yang berbeda terhadap kesejahteraan psikologis individu karena faktor emosi merupakan hal yang penting dalam kesejahteraan

  $%! ! psikologis. Oleh sebab itu, peneliti bermaksud untuk melihat gambaran kesejahteraan psikologis pada wanita dewasa madya ditinjau dari pengadopsian grandparenting style yang berbeda.

  B. RUMUSAN MASALAH

  Berdasarkan latar belakang di atas, adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Bagaimanakah gambaran kesejahteraan psikologis pada wanita dewasa madya ditinjau dari grandparenting style?

  C. TUJUAN PENELITIAN

  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kesejahteraan psikologis pada wanita dewasa madya ditinjau dari grandparenting style.

  D. MANFAAT PENELITIAN

  Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik dari segi teoritis maupun dari segi praktis, yaitu:

1. Manfaat Teoritis

  Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu psikologi perkembangan, khususnya dalam bidang Kesejahteraan Psikologis dan Grandparenting.

  $&! !

2. Manfaat Praktis

  a. Bagi Keluarga Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada keluarga mengenai grandparenting style manakah yang memiliki perkembangan kesejahteraan psikologis yang lebih baik pada seorang nenek.

  b. Bagi Peneliti Penelitian Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan referensi bagi peneliti selanjutnya yang ingin meneliti lebih lanjut mengenai

  grandparenting style.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

  Adapun sistematika penulisan peneilitian ini adalah:

  BAB I PENDAHULUAN Bab ini terdiri dari latar belakang masalah penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan penelitian.

  BAB II LANDASAN TEORI Bab ini menguraikan teori yang mendasari masalah yang menjadi variabel dalam penelitian yang kemudian diakhiri dengan pengajuan hipotesa penelitian.

  $'! !

  BAB III METODE PENELITIAN Bab ini menjelaskan mengenai metode-metode dasar dalam penelitian, yaitu identifikasi variabel penelitian, defenisi operasional, populasi dan teknik pengambilan sampel, metode dan alat pengumpulan data, dan metode analisis data.

  BAB IV ANALISA DAN INTERPRETASI DATA Bab ini berisikan tentang uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian dan analisisnya. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini berisikan kesimpulan dan saran penulis sehubungan penelitian yang dilakukan.

Dokumen yang terkait

Analisis Kesesuaian Pencatatan dan Pelaporan Keuangan pada Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota Medan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010

0 0 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Akuntansi - Analisis Kesesuaian Pencatatan dan Pelaporan Keuangan pada Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota Medan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010

0 1 25

BAB I PENDAHULUAN 1.1 - Analisis Kesesuaian Pencatatan dan Pelaporan Keuangan pada Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota Medan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010

0 0 7

Analisis Kesesuaian Pencatatan dan Pelaporan Keuangan pada Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota Medan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Auditor Switching - Pengaruh Client Size, Finacial Distress, Return on Asset, dan Public Ownership Terhadap Auditor Switching pada Perusahaan Real Estate & Property yang Terdaftar di BEI

0 0 17

Pengaruh Client Size, Finacial Distress, Return on Asset, dan Public Ownership Terhadap Auditor Switching pada Perusahaan Real Estate & Property yang Terdaftar di BEI

0 0 11

Pengaruh Client Size, Finacial Distress, Return on Asset, dan Public Ownership Terhadap Auditor Switching pada Perusahaan Real Estate & Property yang Terdaftar di BEI

0 1 13

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian - Pengaruh Ukuran Perusahaan Terhadap Profitabilitas Dengan Leverage dan Perputaran Persediaan Sebagai Variabel Moderasi Pada Perusahaan Manufaktur Sektor Konsumsi yang Terdaftar Di BEI Tahun 2011-2013

0 1 27

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Pengaruh Ukuran Perusahaan Terhadap Profitabilitas Dengan Leverage dan Perputaran Persediaan Sebagai Variabel Moderasi Pada Perusahaan Manufaktur Sektor Konsumsi yang Terdaftar Di BEI Tahun 2011-2013

0 0 8

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Konsep Diri Pengguna NAPZA di Pusat Rehabilitasi Al-Kamal Sibolangit Centre

0 0 8