BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pengomposan Tandan Kosong Kelapa Sawit Menggunakan Pupuk Organik Aktif Dari Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit : Pengaruh Lubang Asupan Udara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 POTENSI DAN KESINAMBUNGAN DARI LIMBAH TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT MENJADI KOMPOS

  Kelapa sawit merupakan tumbuhan tropis yang diperkirakan berasal dari Nigeria (Afrika Barat) karena pertama ditemukan di hutan belantara Negara tersebut. Kelapa sawit pertama masuk ke Indonesia pada tahun 1848, dibawa dari Mauritus Amsterdam oleh seorang warga Belanda. Bibit kelapa sawit yang berasal dari kedua tempat tersebut masing-masing berjumlah dua batang dan pada tahun itu juga ditanam di Kebun Raya Bogor. Hingga saat ini, dua dari empat pohon tersebut masih hidup dan diyakini sebagai nenek moyang kelapa sawit yang ada di Asia Tenggara. Sebagian keturunan kelapa sawit dari Kebun Raya Bogor tersebut telah diperkenalkan ke Deli Serdang (Sumatera Utara) sehingga dinamakan varietas Deli Dura.

  Pada tahun 1911, budidaya kelapa sawit di Indonesia secara komersial dimulai ketika seorang warga negara Belgia, Adriaen Hallet, yang kemudiannya diikuti oleh K. Schadt mengembangkan perkebunan di pantai timur Sumatera. Pada masa itu, area perkebunan sawit adalah seluas 5,123 ha. Namun, pada waktu penjajahan Jepang terjadi kemunduran perkembangan kelapa sawit. Setelah Indonesia mendapatkan kemerdekaannya, bisnis kelapa sawit ini mulai memulih dan masih bertahan sekarang [15].

  Kelapa sawit adalah salah satu komoditas perkebunan yang memiliki nilai ekonomis dan prospek yang cerah untuk dikembangkan secara luas yang mana data total areal perkebunan kelapa sawit dan produksinya dari tahun 2008-2013 dapat dilihat pada Tabel 2.1. Pada tahun 2013, menurut Direktorat Jenderal Perkebunan (2013) total areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah seluas 9.149.919 ha dengan total produksi minyak mentah sawit atau crude palm oil (CPO) sebesar 24.431.640 ton.

Tabel 2.1 Data luas areal perkebunan kelapa sawit dan produksi CPO di Indonesia dari tahun 2008-2013 [2]

  Tahun Luas Area (Ha) Jumlah Produksi (Ton) 2008 7.363.847 17.539.788 2009 8.248.328 19.324.294 2010 8.385.394 21.958.120 2011 8.992.824 23.096.541 2012 9.074.621 23.521.071 2013 9.149.919 24.431.640

  Berdasarkan data di atas dapat dilihat bahwa industri kelapa sawit di Indonesia semakin meningkat, oleh karena itu dengan meningkatnya pertumbuhan produksi kelapa sawit maka jumlah limbah yang dihasilkan baik limbah padat dan cair juga semakin besar. Upaya untuk mengatasi limbah padat, Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) melakukan teknologi pengomposan dengan memanfaatkan hasil limbah pabrik menjadi kompos yang memiliki nilai ekologi dan ekonomi yang tinggi. Bahan yang diperlukan untuk produksi kompos tersebut adalah Limbah TKKS dan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS). Sebagai gambaran, apabila sebuah pabrik kelapa sawit mengolah sekitar 100 ton dari tandan buah segar (TBS) setiap hari menjadi crude palm oil (CPO), selama proses berlangsung akan dihasilkan limbah (residu) baik dalam bentuk padat dan cair.

  Limbah padat, terutama dalam bentuk TKKS dihasilkan sebanyak 27% dari TBS yang diolah, sedangkan limbah cair dalam bentuk LCPKS yang dihasilkan lebih

  3

  dari 500 kg (sekitar 0,5 m ). Kebanyakan kedua limbah ini dibuang selama pengolahan, oleh karena itu dengan memanfaatkan teknologi pengomposan, suatu pabrik yang mengolah TBS 100 ton/hari dan limbah yang dihasilkan sebanyak 27

  3

  ton TKKS dan 50 m POME, maka akan menghasilkan produk kompos sebanyak 27 ton/hari [7]. Limbah sebanyak ini semuanya dapat diolah menjadi kompos hingga tidak menimbulkan masalah pencemaran, sekaligus mengurangi biaya pengolahan limbah yang cukup besar [10]. Berikut ini diagram alir proses pengolahan kelapa sawit dari aktivitas produksi pabrik kelapa sawit yang mengasilkan limbah dalam jumlah yang besar.

Gambar 2.1 Proses Pengolahan Kelapa Sawit [16]

  Janjang/tandan kosong merupakan limbah padat dengan volume terbesar dalam material balance pengolahan TBS selain cangkang fibre. Janjang/tandan kosong dihasilkan dari proses perontokan buah (Threshing) setelah proses perebusan (sterilizing). Proses sterilisasi buah adalah proses rebusan atau sterilisasi yang dilakukan dalam bejana besar dengan menggunakan injeksi uap (tekanan uap 2,5

  • – 3,0 atm) dengan lama rebusan 90 – 100 menit pada temperatur

  o

  135

  C. Dalam proses ini dapat terjadi kehilangan minyak akibat sebagian

  • – 140 minyak tercampur dengan air kondensat dan terserap tandan kosong [17].

  

2.2 KARAKTERISTIK TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT (TKKS)

DAN PUPUK ORGANIK AKTIF (POA)

2.2.1 Karakteristik Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS)

  Tandan kosong kelapa sawit terdiri dari 18-21% lignin, 40-45% selulosa dan 19-21% hemiselulosa. TKKS umumnya berbentuk serat, dan serat tersebut berbentuk seperti tongkat yang secara keseluruhan membentuk ikatan pembuluh [18]. TKKS merupakan sampah residu yang dihasilkan dari industri kelapa sawit. Tandan tersebut disterilkan dalam sterilisasi uap horizontal untuk menonaktifkan enzim yang ada. Tandan disterilkan dengan cara dimasukkan ke drum perontok rotari untuk melepaskan buah dari tandan. TKKS berwarna coklat kering dengan bentuk yang tidak seragam dan bobot rendah. Panjang dan lebar tergantung pada ukuran tandan buah segar dan dapat bervariasi dari panjang 17-30 cm dan lebar 25-35 cm. Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) merupakan bahan organik yang mengandung : 42,8 % C, 2,90 % K

2 O, 0,80% N, 0,22 % P

  2 O 5 , 0,30% MgO dan

  unsur-unsur mikro antara lain 10 ppm B, 23 ppm Cu dan 51 ppm Zn. Dalam setiap 1 ton Tandan Kosong sawit mengandung unsur hara yang setara dengan 3 Kg Urea, 0,6 kg RP, 12 kg MOP [19].

Gambar 2.2 Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) [20]

  TKKS umumnya dijadikan mulsa dengan cara penumpukkan di sekitar pohon kelapa sawit. Padahal cara ini tidak akan menciptakan produk kompos organik yang bermutu, karena nilai C/N masih tinggi. Pengomposan adalah penurunan rasio atau perbandingan antara karbon dan nitrogen dengan singkatan nilai C/N. Bahan organik dapat diserap tanah adalah mempunyai C/N yang sama dengan tanah ialah sekitar 10

  • – 12 oleh karena itu, limbah sawit (cair dan padat) yang mempunyai nilai C/N tinggi harus diturunkan [21].

  Keunggulan TKKS jika dijadikan kompos meliputi: kandungan kalium yang tinggi, tanpa penambahan starter dan bahan kimia, memperkaya unsur hara yang ada di dalam tanah, dan mampu memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi. Selain itu kompos TKKS memiliki beberapa sifat yang menguntungkan antara lain:

  1. Memperbaiki struktur tanah berlempung menjadi ringan.

  2. Membantu kelarutan unsur-unsur hara yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman.

  3. Bersifat homogen dan mengurangi risiko sebagai pembawa hama tanaman.

  4. Merupakan pupuk yang tidak mudah tercuci oleh air yang meresap dalam tanah.

  5. Dapat diaplikasikan pada sembarang musim.

2.2.2 Karakteristik Pupuk Organik Aktif (POA) Dari Effluent Biogas Pengolahan Lanjut Limbah Cair Kelapa Sawit (LCPKS)

  Penggunaan pupuk dengan memanfaatkan jenis mikroorganisme lokal (MOL) menjadi alternatif penunjang kebutuhan unsur hara. Larutan MOL mengandung unsur hara makro, mikro, dan mengandung mikroorganisme yang berpotensi sebagai perombak bahan organik, perangsang pertumbuhan, dan agen pengendali hama dan penyakit tanaman sehingga baik digunakan sebagai dekomposer, pupuk hayati, dan pestisida organik [22].

  Methanobacterium dan Methanobacillus yang terdapat dalam effluent

  diketahui dapat membentuk N

  2 dan untuk menambah unsur makro lain seperti

  posfat dibutuhkan bakteri pengolahnya yaitu Bacillus.sp, yang belum diketahui kuantitasnya didalam effluent. Oleh karena itu dibutuhkan aktivator yang dapat menambah mikroorganisme didalam pupuk organik aktif. Proses pembuatan pupuk dilakukan menggunakan larutan effective microorganisme 4 disingkat EM- 4 [23].

  Berikut ini data POA effluent dari pengolahan LCPKS LP3M-Biogas USU yang akan digunakan sebagai bahan tambahan proses pengomposan TKKS :

Tabel 2.2 Data POA effluent biogas dari pengolahan LCPKS LP3M-Biogas USU

  [23] No Parameter Satuan Kandungan

  1. Nitrogen % 0,14

  2. P

  2 O 5 total % 0,05

  3. K O % 0,07

  2

  4. MgO % 0,1

  5. CaO Mg/l ≤ 0,001 6.

  C- Organik % 0,12

  • 7. Ph

  8,09

  • 8. Ratio C/N

  0,86 Pupuk Organik Aktif yang digunakan mengandung bakteri perombak

  6 sellulotik sebanyak 4,5 x 10 /ml [24].

  

2.3 PROSES PENGOMPOSAN DAN FAKTOR - FAKTOR YANG

MEMPENGARUHI PROSES PENGOMPOSAN

  2.3.1 Kompos

  Kompos adalah hasil penguraian bahan organik melalui proses biologis dengan bantuan organisme pengurai. Proses penguraian dapat berlangsung secara aerob (dengan udara) maupun anaerob (tanpa bantuan udara) [25]. Kompos dari limbah padat organik semakin penting di seluruh dunia, dalam kerangka terpadu manajemen limbah padat dan khususnya pengalihan biodegradables dari penimbunan [26].

  Fungsi utama kompos adalah membantu memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Secara fisik kompos dapat menggemburkan tanah, aplikasi kompos pada tanah akan meningkatkan jumlah rongga sehingga tanah menjadi gembur. Sementara sifat kimia yang mampu dibenahi dengan aplikasi kompos adalah meningkatkan Kapasitas Tukar Kation (KTK) pada tanah dan dapat meningkatkan kemampuan tanah dalam menyimpan air (water holding capacity). Sedangkan untuk perbaikan sifat biologi, kompos dapat meningkatkan populasi

  mikroorganisme dalam tanah. Keunggulan kompos adalah kandungan unsur hara

  makro maupun mikronya yang lengkap. Unsur hara makro yang terkandung dalam kompos antara lain N, P, K,Ca, Mg,dan S, sedangkan kandungan unsur mikronya antara lain Fe, Mn, Zn, Cl, Cu, Mo, Na dan B. Dalam proses pengomposan organisme pengurai mengambil sumber makanan dari sampah atau bahan organik yang diolah lalu mengeluarkan sisa metabolisme berupa karbon dioksida (CO), serta panas yang menghasilkan uap air (H

  2 O). Oleh karena itu, kinerja organisme

  pengurai dapat dipantau dengan pengamatan temperatur (suhu), tekstur, struktur dan perubahan warna serta bau. Peningkatan suhu, tekstur dan struktur tidak lengket dan remah serta warna manjadi gelap mengkilat menandakan adanya kegiatan organisme pengurai yang berjalan dengan baik dan bau menyengat kompos yang semakin hari semakin hilang [25].

  2.3.2 Proses Pengomposan

  Pengomposan dapat terjadi secara alamiah maupun dengan bantuan manusia. Pengomposan secara alamiah yaitu dengan cara penumpukan sampah di alam, sedangkan pengomposan dengan bantuan manusia yaitu dengan cara menggunakan teknologi modern maupun dengan menggunakan bahan bioaktivator dan menciptakan kondisi ideal sehingga proses pengomposan dapat terjadi secara optimal dan menghasilkan kompos berkualitas tinggi. Untuk dapat membuat kompos dengan kualitas baik, diperlukan pemahaman proses pengomposan yang baik pula. Proses pengomposan secara sederhana dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap aktif dan tahap pematangan. Selama tahap awal proses, oksigen dan senyawa-senyawa yang mudah terdegradasi akan segera dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik yang kemudian akan digantikan oleh bakteri

  termofilik . Suhu tumpukan kompos akan meningkat dengan cepat, kemudian akan

  diikuti dengan peningkatan pH kompos. Suhu akan meningkat hingga mencapai

  o

  70 C. Suhu akan tetap tinggi selama fase pematangan.

  Mikroba mesofilik kemudian tergantikan oleh mikroba termofilik, yaitu mikroba yang aktif pada suhu tinggi. Pada saat terjadi penguraian bahan organik yang sangat aktif, mikroba-mikroba yang ada di dalam kompos akan menguraikan

  • bahan organik menjadi NH , CO, uap air dan panas melalui sistem metabolisme dengan bantuan oksigen. Setelah sebagian besar bahan telah terurai, maka suhu akan berangsur-angsur mengalami penurunan hingga kembali mencapai suhu normal seperti tanah. Pada fase ini terjadi pematangan kompos tingkat lanjut, yaitu pembentukan komplek liat humus. Selama proses pengomposan akan terjadi penyusutan volume maupun biomassa bahan. Pengurangan ini dapat mencapai 30- 50 % dari bobot awal tergantung kadar air awal [25]. Bahan Baku Uap Air, Panas, CO , NO, gas lain
  • 2 Oxygen Produk Akhir

      Karbon, Nitrogen, Inorganics, Air, Bahan gulma , mikroba yang Pathogens, benih Pencampuran Curing Microorganisme, menguntungkan Tumpukan organik, Kompos mikroorganisme anorganik – bahan

    Gambar 2.3 Skema Proses Pengomposan [18]p

    2.3.3 Metode Pengomposan

      Metode pengomposan yang umum digunakan seperti : pengomposan pasif, windrows, penumpukan aerasi, dan sekelompok metode yang umum dikenal sebagai pengomposan di wadah tertutup. Pengomposan pasif hanya terdiri dari penumpukan bahan baku dan meninggalkan bahan kompos untuk proses pengomposan selama jangka waktu yang panjang. Pengomposan metode windrow adalah pembuatan kompos dengan menumpuk bahan organik atau limbah biodegradable, seperti kotoran hewan dan sisa tanaman, dalam tumpukan berbaris yang panjang, metode windrow merupakan metode yang paling umum digunakan dalam pengomposan skala pertanian. Pengomposan metode penumpukan aerasi menggunakan blower untuk memasok udara ke bahan kompos, blower ini dilengkapi pengontrolan langsung dari proses dan memungkinkan untuk pengomposan tumpukan yang lebih besar. Pengomposan di wadah tertutup merupakan bentuk industri kompos limbah biodegradable yang terjadi dalam reaktor tertutup. Umumnya proses ini menggunakan tangki logam atau bunker beton di mana aliran udara dan suhu dapat dikontrol [27].

    2.3.3.1 Metode Silo (In-Vessel) Dalam Proses Pengomposan

      Teknologi pengomposan vertikal silo telah diperkenalkan sejak 1980 untuk biosolid kota. Vertikal silo digunakan untuk pengomposan sampah organik kota secara pasif dan aerasi, maksudnya tidak ada aerasi paksa. Sebaliknya, bahan terisi dalam kondisi vertikal, ayakan kawat yang ada didalam kurungan memungkinkan udara untuk melintasi. Kurungan memiliki ukuran 3,7 - 4,3 m tinggi dan panjang hanya beberapa kaki [28].

      Keuntungan utama dari sistem in-vessel dibandingkan (windrows, tumpukan statis soda dan lain-lain) adalah pemendekan tahap mesofilik dan termofilik, efisiensi proses yang lebih tinggi, dan penurunan jumlah patogen, sehingga lebih aman dan produk akhir lebih berharga. Selain itu, kebutuhan lahan umumnya lebih sedikit dibandingkan dengan metode lain. Namun, penting untuk dicatat bahwa semua sistem memerlukan stabilisasi akhir kompos. Kekurangan dari metode in-vessel termasuk modal yang tinggi dan biaya operasional akibat penggunaan peralatan komputer dan tenaga kerja terampil. In-vessel kompos umumnya lebih otomatis dari windrow atau sistem tumpukan statis, dan dapat menghasilkan top kualitas produk jadi secara konsisten. Alasan umum untuk memilih in-vessel pengomposan atas metode lain meliputi : kontrol bau, keterbatasan ruang di lokasi, proses dan penanganan material kontrol, penerimaan publik yang lebih baik karena estetika/penampilan dari situs pengomposan, kebutuhan tenaga kerja sedikit dan kualitas produk yang lebih konsisten [29].

    Gambar 2.4 Pengomposan In Vessel Menggunakan Empat Channel [29]Tabel 2.3 Perbedaan Empat Metode Utama Pembuatan Kompos [29]

      Parameter Jenis-jenis Metode Pembuatan Kompos

      Passive Turned Aerated Static In-Vessel Channel Windrow Windrow Pile (Silo)

      

    Umum Teknologi Sistem aktif Efektif untuk Sistem skala besar

      Sederhana yang paling peternakan dan untuk aplikasi Masalah umum di penanganan komersial

      Kualitas peternakan sampah kota

      

    Buruh Sedikit Peningkatan Desainsistem Memerlukan

      sesuai dan tingkat konsistensi frekuensi perencanaan managemen aliran aerasi dan sangat penting produk untuk perencanaan Diperlukan efisiensi biaya yang buruk pemantauan

      

    Lahan Membutuhkan Dapat Lahan yang Lahan sangat

      lahan yang Memerlukan terbatas terbatas, karena luas lahan yang memberikan tingkat yang cepat luas laju lebih cepat dan operasi yang dan volume berkesinambungan tumpukan yang efektif

      Bulking Kurang Fleksibel Kurang Fleksibel Agent fleksibel, fleksibel, harus

      harus berpori berpori

      

    Masa 6-24 bulan 21-40 hari 21-40 hari 21-35 hari

    Aktif

      Curing Tidak berlaku 30+ hari 30+ hari 30+ hari

      Tergantung pada

      Ukuran Tinggi 1-4 meter 1-2,8 meter 3-4,5 meter design Lebar 3-7 meter 3-6 meter Variasi Variasi

      Panjang Variasi Variasi Variasi Variasi Sistem Hanya Pembalikan Positif/negatif Ekstensif

      konveksi mekanis dan aliran udara pembalikan secara

      aerasi

      alami konveksi secara paksa mekanik dan aerasi alami melalui tumpukan

    Kontrol Hanya Pembalikan Campuran Campuran awal.

    campuran campuran awal. Aerasi, Aerasi, suhu dan

      proses awal awal suhu dan kontrol waktu.

      kontrol waktu Pembalikan

    Faktor Semakin Dari Bau bisa Bau bisa terjadi .

      bau besar permukaan terjadi , tapi seringkali karena

      windrow area windrow. kontrol dapat kegagalan maka semakin Pembalikan digunakan , peralatan atau bau dapat seperti isolasi keterbatasan desain menimbulkan tumpukan sistem . bau selama dan filter pada minggu awal sistem udara

    2.3.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Pengomposan

      Menurut Tchobanoglous (1993) Untuk menghasilkan produk kompos yang bermutu tinggi, maka dalam proses pengomposan harus juga memperhatikan faktor nutrisi dan faktor lingkungan. Faktor nutrisi mencakup makronutrien, mikronutrien, sedangkan faktor lingkungan dibagi menjadi temperatur dan kadar air, sedangkan faktor lain seperti ukuran partikel, C/N, pencampuran dengan bahan lain, penambahan air, penambahan mikroorganisme, kadar air, pengadukan, temperatur, kontrol patogen, udara, pH, derajat dekomposisi, dan lahan pengomposan harus dikontrol. Berikut ini penjelasan dari beberapa faktor yang mempengaruhi proses pengomposan.

    2.3.4.1 Nutrisi

      Carbon ( C ), nitrogen ( N ), fosfor ( P ) dan kalium ( K ) adalah nutrisi utama yang dibutuhkan oleh mikroorganisme yang terlibat dalam pengomposan, serta nutrisi utama untuk tanaman dan akan mempengaruhi kualitas kompos. Hampir semua bahan organik yang digunakan untuk kompos mengandung semua nutrisi ini di berbagai tingkatan yang menggunakan mikroorganisme untuk energi dan pertumbuhan. Sebuah pasokan nutrisi tidak mencukupi atau berlebihan dapat menyebabkan kompos berkualitas rendah. Tirado (2008) menjelaskan efek menguntungkan dari kompos terhadap pertumbuhan tanaman dikaitkan dengan peningkatan pasokan nutrisi bagi tanaman.

      2.3.4.2 Rasio C/N

      Zat arang atau karbon (C) dan nitrogen (N) ditemukan diseluruh bagian sampah organik. Dalam proses pengomposan, C merupakan sumber energi bagi mikroba sedangkan N berfungsi sebagai sumber makanan dan nutrisi bagi mikroba. Besarnya rasio C/N tergantung pada jenis sampah, namun rasio C/N yang efektif untuk proses pengomposan berkisar antara 30:1 hingga 40:1 [25].

      2.3.4.3 Ukuran Partikel

      Ukuran partikel bahan kompos berkaitan dengan nutrien misalnya distribusi nutrien yang tergantung pada ukuran partikel sampah. Secara teoritis, laju dekomposisi akan meningkat dengan partikel organik yang semakin kecil [30]. Reduksi ukuran partikel dapat dilakukan dengan pencacahan. Ukuran partikel mempengaruhi drag force antara partikel sampah, internal friction, dan

      bulk density .

      Sebagian besar dari dekomposisi aerobik pengomposan terjadi pada permukaan partikel, karena oksigen bergerak mudah sebagai gas melalui ruang pori tapi jauh lebih lambat melalui bagian cair dan padat dari partikel. Partikel yang lebih kecil mengurangi porositas efektif. Kualitas kompos ynang baik biasnya diperoleh ketika ukuran partikel berkisar dari rata-rata diameter 1/8-2 inci [27].

      2.3.4.4 Temperatur

      Suhu adalah indikator proses yang baik. Pengomposan pada dasarnya berlangsung dalam dua rentang, dikenal sebagai mesofilik (10 - 40 C) dan termofilik (di atas 40

      C) . Kebanyakan pengomposan berlangsung pada suhu antara 45 C dan 65 C. Suhu termofilik merupakan kondisi suhu yang menghasilkan dekomposisi yang lebih cepat [27].

      Peningkatan temperatur disebabkan oleh reaksi eksoterm dan aktifitas metabolisme mikroorganisme. Pada metode windrow, temperatur akan naik karena pengadukan dan hanya dapat dikontrol secara tidak langsung dengan pengukuran setelah pengadukan. Setelah pengadukan, biasanya temperatur akan turun 5

    • – 10°C , namun akan kembali naik setelah beberapa jam. Temperatur pada

      windrow turun 10

    • – 15 hari setelah oksidasi organik, suhu akan dapat berhenti naik pada hari ke 9 atau ke 10 sehingga aktifitas mikroorganisme pun menurun [31].

      2.3.4.5 pH

      Pengontrolan pH sangat penting seperti temperatur dalam mengevaluasi aktifitas mikroorganisme dan kestabilan sampah.pH pengomposan awal sampah organik berkisar antara 5 -7. Pada awal pengomposan, pH akan turun sampai 5 atau kurang dari itu karena organik akan berada pada temperatur ambien dan aktifitas mikroorganisme mesofil akan meningkat dalam menduplikasi diri sehingga produksi asam organik akan meningkat dan pH akan turun. Pada saat termofilik, temperatur akan naik dan terjadi aerobik proses sehingga pH akan naik sampai 8

    • – 8,5. Setelah kompos matang, pH akan turun menjadi 7 – 8 [31]. Pada pengomposan bahan dengan kandungan lignin yang tinggi dengan lumpur biologis, pH cenderung rendah yakni sekitar 5,1-5,5 [32].

      2.3.4.6 Kadar Air

      Moisture diperlukan untuk mendukung proses metabolisme mikroba dan merupakan suatu paremeter penting untuk dikendalikan dalam pengomposan [27]. Kelembaban yang optimum berkisar antara 50

    • – 60%.Kadar air dapat juga ditambahkan dengan penambahan air. Apabila kelembaban kompos kurang dari 40% maka reaksi akan melambat [31].

      Pada saat matang, kadar air yang disayaratan oleh SNI 19-7030-2004 adalah kurang dari 50%. Kadar air dalam kompos matang tidak baik apabila terlalu tinggi. Hal ini dikarenakan karena kadar air secara langsung berhubungan dengan nilai water holding capacity, hal ini sesuai dengan pernyataan dari

      Agricultural Analytical Services Laboratory The Pennsylvania State University pada tahun 2008.

      2.3.4.7 Penambahan Air, Mikroorganisme, dan Pencampuran Bahan Lain

      Dua faktor desain yang menentukan penambahan air, mikroorganisme, dan pencampuran dengan bahan lain yang mengandung C/N yang tinggi adalah kelembaban dan nilai C/N. Untuk dapat mencapai C/N yang optimum, kompos dapat juga dicampurkan dengan bahan-bahan yang mengandung sumber karbon yang tinggi seperti kertas, daun, kotoran hewan, dan lumpur dari instalasi pengoahan air limbah. Pencampuran dengan bahan lain menyebabkan pengontrolan terhadap kelembaban. Penambahan mikroorganisme juga dapat dilakukan untuk menghasilkan dekomposisi yang cepat.

    2.3.4.8 Pengadukan

      Pengadukan dilakukan untuk menambah atau mengurangi kelembaban pada kompos agar sampai pada kelembaban yang optimum. Pengadukan juga dapat dilakukan untuk meratakan distribusi nutrien untuk mikroorganisme. Pengadukan merupakan faktor yang penting dalam mengontrol kelembaban, kebutuhan udara atau oksigen untuk keadaan aerob. Untuk kompos dengan menggunakan sampah organik membutuhkan 15 hari periode pengomposan dengan kelembaban 50 -60% dan pengadukan lebih baik dilakukan setelah hari ketiga dan dilakukan setelah hari itu sampai mendapatkan pengadukan 4

    • – 5 kali [31]. Menurut Schloss dkk (1999), pengadukan sangat berpengaruh pada pencapaian suhu yang maksimum dan memperpanjang periode pengambilan oksigen [33].

    2.4 PENGGUNAAN TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT (TKKS) SEBAGAI KOMPOS DENGAN PENAMBAHAN BAHAN ORGANIK Banyak penelitian terdahulu dilakukan untuk pengolahan kompos dari TKKS.

      Zahrim dan Asis (2010) melakukan penelitian mengenai produksi semi-kompos tandan kosong kelapa sawit tanpa diparut dengan mencampurkan POME. Dimana penelitian ini dilakukan tanpa memotong TKKS. Prosesnya dilakukan dengan metode open turned windrow dengan dimensi area panjang 4 m, tinggi 1,5 m dan lebar 40 m. Setiap windrow berisi sekitar 120 metrik ton TKKS dan 324 metrik ton POME. Proses pembalikan dilakukan pada hari ke- 10, 20, 30 dan 40 dan pengambilan sampel untuk analisa dilakukan di sembilan titik pada unit windrow. Dibawah ini adalah proses pembalikan menggunakan traktor dengan macerator.

    Gambar 2.5 Pembalikan Kompos TKKS-POME Menggunakan Traktor

      Month pH N(%) P

      23 Average 7,9 1,9 0,6 2,0 0,8

      24 December 8,0 1,9 0,8 2,0 0,8

      18 November 7,7 1,8 0,7 3,4 0,6

      15 October 7,7 2,0 0,6 1,3 0,9

      20 September 7,8 2,1 0,7 1,4 1,0

      August 8,2 1,7 0,5 1,7 0,8

      2 O (%) MgO(%) C/N

      

    5

    (%) K

      2 O

    Tabel 2.4 Kualitas Kompos TKKS-POME bulan Agustus-Desember 2006 [9]

      Dengan Macerator [9] Hasil yang diperoleh pada gambar 2.6 menunjukkan bahwa total waktu pengomposan termasuk persiapan adalah sekitar 40-45 hari, temperatur selama pengomposan mengalami fluktuasi dimana suhu awal pengomposan adalah 53

    Gambar 2.6 Pengaruh Waktu Pengomposan Terhadap Suhu [9]

      2 O 2,0%; MgO 0,8 % dan rasio C/N 20.

      2 O 5 0,6 %; K

      C. Pada hari 10 sampai hari 25, suhu dipertahankan pada sekitar 45 sampai 55 ºC dengan bantuan putar yang kecil, namun pembalikan pada hari ke 40 tidak terjadi peningkatan suhu dan untuk kandungan oksigen dipertahankan di atas 10 %. Kompos yang dihasilkan memiliki kualitas pH 7,9 ; N 1,9%; P

      o

      C, setelah dilakukan pembalikan pertama, terjadi peningkatkan suhu lebih dari 50

      o

      Setelah dua hari, suhu turun di bawah 50

      o C.

      20 Standard Deviation 0,2 0,2 0,1 0,8 0,1 3,6 Penelitian yang dilakukan oleh Kananam et all., (2011) adalah untuk mengetahui perubahan biokimia pengomposan TKKS dengan lumpur decanter dan kotoran ayam sebagai sumber nitrogen. Pada penelitian ini juga dilakukan penambahan tanah merah yang mengandung Fe, berfungsi untuk acceptor elektron mikroorganisme dalam kondisi anaerobik, dan lumpur decanter yang digunakan berasal dari limbah pabrik kelapa sawit. Untuk kondisi aerobik pada penelitian ini ditambahkan benih mikroorganisme yang terdiri dari jamur (Corynascus sp.,

      

    Scytalidium sp., Chaetomium sp., dan Scopulariopsis sp) dan bakteri (Bacillus sp),

      sedangkan untuk kondisi anaerobik benih mikroorganisme yang ditambahkan mengndung ragi (Saccharomyces sp), bakteri asam laktat (Lactobacillus sp), dan bakteri katabolisme protein (Bacillus sp). Tabel 2.5 menunjukkan data yang diperoleh untuk kondisi anaerobik dan table 2.6 untuk kondisi aerobik.

      20 Tabel 2.5 Sifat Fisika-Kimia dari Kompos Untuk Kondisi Anaerobik [10] Parameters

      Parameters Control An 1 An 2 An 3 An 4 0 day 90 days 0 day 90 days 0 day 90 days 0 day 90 days 0 day 90 days pH 8.18 ±0.07 8.33 ±0.07 7.53±0.09 7.90±0.07 7.64±0.10 8.19±0.09 7.27±0.12 8.25±0.06 7.43±0.10 8.18±0.05

      NM : No Measurement

      2 O (%) NM NM 1.62±0.14 1.85±0.08 1.69±0.13 1.61±0.09 2.25±0.15 2.75±0.23 1.39±0.12 1.51±0.07

      K

      2 O 5 (%) NM NM 2.16±0.16 2.57±0.14 1.70±0.13 2.18±0.15 1.29±0.07 1.59±0.13 1.27±0.10 1.37±0.03

      C/N ratio 95±6 45.6±3.7 38.1±3.6 14.6±1.3 39.8±0.8 16.3±0.6 35.1±2.3 10.1±0.8 38.6±3.8 10.57±0.11 P

      OM (%) 93.3±2.6 77.6±3.7 70.1±3.5 40.0±0.6 53.3±3.9 32.0±0.9 99.1±0.5 57.1±0.7 67.9±2.4 36.4±1.0 N (%) 0.57±0.04 0.86±0.06 1.08±0.14 1.60±0.13 0.78±0.05 1.14±0.02 1.64±0.11 3.30±0.24 1.03±0.14 2.00±0.06

      EC (dS/m) 2.79±0.06 2.00 ±0.06 2.37±0.03 1.36±0.11 2.25±0.03 1.35±0.08 1.96±0.05 1.62±0.15 1.91±0.16 1.48±0.18 OC (%) 54.1±1.5 42.2±2.1 40.7±0.6 23.2±0.4 30.9±2.3 18.5±0.5 57.5±0.3 33.1±0.4 39.4±1.4 21.1±0.6

    Tabel 2.6 Sifat Fisika-Kimia dari Kompos Untuk Kondisi Aerobik [10]

      Control An 1 An 2 An 3 An 4 0 day 90 days 0 day 90 days 0 day 90 days 0 day 90 days 0 day 90 days pH 8.07 ±0.04 8.15 ±0.07 7.49±0.12 7.51±0.15 7.44±0.08 8.12±0.05 7.23±0.14 7.77±0.11 7.35±0.09 7.87±0.10

      NM : No Measurement

      

    2 O (%) NM NM 1.62±0.14 1.85±0.08 1.69±0.13 1.61±0.09 2.25±0.15 2.75±0.23 1.39±0.12 1.51±0.07

      (%) NM NM 1.88±0.29 2.07±0.17 1.60±0.32 1.69±0.08 1.01±0.09 1.23±0.18 1.28±0.03 1.36±0.04 K

      5

      2 O

      C/N ratio 98.4±1.4 62.2±0.9 38.9±0.8 25.6±1.6 40.0±2.9 28±4 35.0±1.3 20.2±1.4 38.5±0.7 22.4±2.9 P

      OM (%) 95.5±2.4 85.0±3.5 72.9±3.5 65.8±2.5 56.9±3.1 50.0±2.1 99.30±0.27 89.8±1.4 66.0±2.0 60.2±3.2 N (%) 0.56±0.02 0.79±0.02 1.09±0.05 1.50±0.11 0.83±0.02 1.07±0.15 1.65±0.06 2.59±0.22 0.99±0.02 1.58±0.27

      EC (dS/m) 2.72±0.07 2.35 ±0.04 1.16±0.18 1.30±0.16 0.90±0.05 1.04±0.12 0.94±0.10 1.24±0.14 0.68±0.04 1.05±0.06 OC (%) 55.4±1.4 49.1±2.1 42.3±2.1 38.2±1.5 33.0±1.8 29.0±1.2 57.59±0.15 52.1±0.8 38.3±1.2 34.9±1.9

      Universitas Sumatera Utara Penelitian yang dilakukan oleh Hayawin et al. (2012) mengenai

      vermicomposting dari TKKS dengan tambahan POME. Penelitian bertujuan untuk

      mengevaluasi kualitas nutrisi kompos yang dihasilkan dari TKKS dan POME dengan menggunakan epigeic cacing tanah Eisinia fetida. Prosesnya TKKS diparut menjadi bahan berserat longgar (panjang

      ≈ 3,68 mm, lebar ≈ 165,45 μm) menggunakan mekanik thermo refiner. Pengomposan dilakukan pada enam unit

      vermicomposter dengan dimensi panjang 14 cm, lebar 12 cm dan tinggi 7 cm.

      Setiap vermicomposter diisi dengan komposisi TKKS dan POME yang berbeda. Setelah 15 hari TKKS dan POME dicampur pada masing

    • – masing unit

      

    vermicomposter dengan komposisi yang telah ditentukan, lalu ditambahkan 5 gr

    Eisinia fetida pada masing vermicomposter dan kelembapan substrat

      dipertahankan sekitar 80 ± 10 dengan memercikan air ke bahan.

    Tabel 2.7 Komposisi Pengolahan [11]

      Empty Fruit Palm Oil Mill Composition of Feed Vermicomposter Bunch Effluent

      (%) (EFB) (%) (POME) (%)

      V EFB (100)

      80

      1 V

      2 EFB (90) + POME (10)

      72

      8 V

      3 EFB (80) + POME (20)

      64

      16 V

      4 EFB (70) + POME (30)

      56

      24 V EFB (60) + POME (40)

      48

      32

      5 V EFB (50) + POME (50)

      40

      40

      6 Semua sampel dianalisa jumlah karbon organik (TOC), total kjeldhal

      nitrogen (TKN), jumlah kalium (TK), jumlah kalsium total (TCA), total potassium (TP), pH dan rasio C/N. Adapun hasil yang diperoleh setelah pengomposan dapat dilihat pada table 2.8 dan table 2.9.

    • 3
    • 3
    • 2
    • 3
    • 3
    • 3
    • 2
    • 3
    • 3
    • 3
    • 2
    • 3
    • 3
    • 3
    • 2
    • 3

    • 3
    • 3
    • 2
    • 3

    • 3
    • 3
    • 2
    • 3
    • 3
    • 3
    • 2
    • 3
    • 2
    • 3
    • 3
    • 2
    • 3
    • 3
    • 3
    • 3
    • 3
    • 3
    • 3
    • 3
    • 3
    • 3
    • 3
    • 3
    • 3

      5 8.3±0.1 1.0 ±9x10

    Tabel 2.9 Variasi nilai C/N selama Vermicomposting [11]

      0.5±4x10

      1.4 ±5x10

      8.2±0.2 1.7 ±5x10

      6

      V

      0.23±2x10

      0.9 ±8x10

      V

      7x10

      Vermi composter Days

      0.8 ±8x10

      4 8.5±0.2 0.8 ±5x10

      V

      0.13±1x10

      0.7 ±4x10

      3 8.1±0.1 0.7 ±9x10

      V

      ±1x10

      0.2±2x10

      15 Days

      0 Day

      4

      3 closed anaerobic methane digested tank dengan TKKS yang telah ditekan dan dirobek pada proses

      Penelitian yang dilakukan oleh Samsu et al. (2010) mengenai pengaruh dari POME anaerobic sludge yang berasal dari 500 m

      6 38.6±0.3 28.2±0.4 22.4±1.1 20.6±1.6 17.0±2.8 10.5±0.1

      V

      123.1±1.5 79.3±0.1 61.6±0.1 51.5±0.2 20.9±3.7 15.5±0.7

      5

      V

      73.1±0.3 56.8±1.2 46.1±1 36.9±0.3 18.4±4.5 12.1±0.5

      V

      30 Days

      3 153.3±0.2 94.8±0.9 65.0±0.4 54.0±0.2 32.6±0.2 19.5±0.8

      V

      2 114.5±1.5 88.5±1.3 79.6±0.5 66.5±1.2 44.5±1.2 20.1±0.2

      V

      1 178.1 ±0.5 165.1±0.3 125.2±2.8 100.6±4.8 75.9±0.3 54.0±0.4

      V

      84 Days

      60 Days

      45 Days

      0.4 ±3x10

      8.1±6x10

      0.6 ±2x10

      0.2 ±8x10

      V

      ±1x10

      5x10

      0.2 ±6x10

      3 5.5±0.3 0.5 ±4x10

      V

      ±1x10

      3x10

      2 6.6±0.2 0.5 ±1x10

      6.3±0.2 0.5 ±4x10

      V

      ±1x10

      3x10

      0.1 ±1x10

      1 5.9 ±0.1 0.3 ±2x10

      V

      Feed mixtures pH TKN TP TK Initial physic-chemical characteristics of initial feed mixture

      Dihasilkan dari Rasio yang Berbeda TKKS + POME [11]

    Tabel 2.8 Karakteristik Kimia-Fisika dari Bahan Baku dan Vermicompost yang

      4

      0.2 ±1x10

      2

      9x10

      V

      ±8x10

      6x10

      0.2 ±2x10

      7.9 ±0.2 0.4 ±6x10

      1

      V

      Physico-chemical characteristics of final vermicomposts obtain from different vermicomposting

      ±1x10

      0.3 ±3x10

      6x10

      6 6.3±0.2 1.2 ±6x10

      V

      ±1x10

      7x10

      0.3 ±1x10

      6.3±0.1 0.6 ±3x10

      5

      V

      ±1x10

      pengomposan. Proses dilakukan pada unit composter berbentuk blok yang disusun dari batu bata dengan dimensi panjang 2,1 m, lebar dan tinggi 1,5 m. Pada penelitian ini TKKS ditekan dan dirobek dengan ukuran panjang 15 sampai 20 cm, lalu dicampur di blok composter dengan POME anaerobic sludge, rasio penambahan TKKS : POME sebanyak 1:1. Untuk mempertahankan kadar air tumpukan kompos, POME ditambahkan setiap tiga hari dengan menggunakan pompa dan penambahan POME dihentikan seminggu sebelum dilakukan panen, sedangkan pengadukan dilakukan tiga kali seminggu. Hasil yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 2.10.

    Tabel 2.10 Karakteristik Kompos TKKS pada awal (2 hari) dan akhir (40 hari) [12]

      EFB Compost EFB Compost Parameters (Initial-day 2) (Final-day 40)

      Moisture (%) 64,5 ± 1,2 51,8 ± 3,7 pH 8,56 ± 0,2 8,12 ± 0,8 C (%) 42,49 ± 5,2 28,81 ± 3,3 N (%) 0,93 ± 0,05 2,31 ± 0,08 C/N 45,6 12,4

    • 1

      Oil and Greases(mg kg ) 1340,0 ± 20,0 140,0 ± 27,5

    • 1

      Electrical Condusct. (dS m ) 4,87 ± 1,0 7,02 ± 0,3 Cellulose (%) 51,31 ± 5,0 33.86 ± 4,7 Hemicellulose (%) 21,81 ± 2,6 15.02 ± 2,5 Lignin (%) 20,24 ± 3,1 38.14 ± 3,1

      Composition of nutrients and metal elements

      Phosphorus (%) 0,86 ± 0,1 1,36 ± 0,5 Potassium (%) 1,52 ± 0,3 2,84 ± 0,6 Calcium (%) 0,61 ± 0,1 1,04 ± 0,3 Sulphur (%) 0,13 ± 4,3 0,18 ± 6,5 Ferrum (%) 0,04 ± 0,1 0,98 ± 0,2 Magnesium (%) 0,38 ± 0,08 0,90 ± 0,1

    • 1

      Zinc (mg kg ) 12,91 ± 3,7 157,32 ± 56,0

    • 1

      Manganase (mg kg ) 11,88 ± 2,3 151,2 ± 30,8

    • 1

      Copper (mg kg ) 11,71 ± 2,8 74,30 ± 10,2

    • 1

      Boron (mg kg ) 4,00 ± 1,1 11,01 ± 2,6

    • 1

      Molibdenum (mg kg ) n.d n.d

    • 1

      Cadmium (mg kg ) n.d n.d

    • 1

      Nickel (mg kg ) 12,24 ± 1,1 19,32 ± 2,4

    Gambar 2.7 Propil Temperatur Kompos (Δ), level Oksigen (o), moisture

      content

      (♦) [12] Penelitian yang dilakukan Fukumoto et al.(2003) mengenai pengaruh kotoran babi terhadap serbuk gergaji pada kondisi aerobik. Proses pengomposan dilakukan sebanyak 2 run, dimana Run I (berat 320 kg; 0,7 m tinggi dan diameter 1,4 m) dan Run II (berat 780 kg; 0,9 m tinggi dan diameter 2 m).

    Gambar 2.8 Skema Proses Pengomposan (Chamber System) [13]Gambar 2.9 Perubahan Temperatur Bahan selama Pengomposan Pada Run I dan Run II serta Temperatur Udara Didalam Chamber [13]

      Penelitian yang dilakukan Sahwan et al. (2004) mengenai pengomposan sampah kota skala rumah tangga. Komposter yang digunakan sebanyak 2 buah dibuat dari drum plastik dengan ukuran tinggi 94 cm, diameter 46 cm, volume 160 L. Drum plastik tersebut dilubangi pada sekeliling bagian atas, sekeliling bagian bawah dan pada seluruh bagian alasnya dengan masing-masing lubang berdiameter 2,5 cm. Komposter I tanpa pembalikan, sedangkan komposter II dengan pambalikan satu minggu sekali. Parameter pengamatan adalah suhu kompos, suhu ruangan, warna, bau, penyusutan berat, pH, kadar air, ratio C/N, kandungan N total, N-NH , N-NO , P dan K. Adapun data yang diperoleh dapat

      3

      3 dilihat pada tabel 2.11, gambar 2.10, gambar 2.11, gambar 2.12 dan gambar 2.13.

    Gambar 2.10 Propil Suhu Kompos dan Suhu Udara [14]Gambar 2.11 Propil Rasio C/N [14]Gambar 2.12 Propil pH [14]Gambar 2.13 Propil Penyusutan Berat[14]

    2.5 STANDAR KUALITAS KOMPOS DI INDONESIA

      Standar kualitas kompos di Indonesia merujuk pada SNI 19-7030-2004 tentang parameter kualitas kompos seperti yang ditampilkan pada tabel 2.12. Regulasi tersebut diperlukan sebagai pembatasan produk limbah (kompos) yang didesain sebagai perubah tanah organik atau pupuk dimana fokus utamanya adalah terletak pada pembatasan penggunaan dalam pertimbangan aspek konservasi lingkungan tanah.

    Tabel 2.12. Standar Kualitas Kompos [34]

      No Parameter Satuan Minimum Maksimum

    • 1 Kadar Air %

      50

      2 Temperatur Temperatur air ⁰C tanah

      3 Warna Kehitaman

      4 Bau Berbau tanah

      5 Ukuran partikel Mm 0,55

      25

      6 Kemampuan ikat air %

      58 7 pH 6,8 7,49

      8

    • Bahan asing % 1,5 UnsurMakro

      9 Bahan organic %

      27

      58

      

    10 Nitrogen % 0,40 -

      11 Karbon % 9,80

      32

    • 12 Pospor % 0,10

      13 C/N rasio

      10

      20

      14 Kalium

    • % 0,20 UnsurMikro
    • 15 Arsen mm/kg

      13

    • 16 Kadmium mm/kg

      3

      17 Kobal mm/kg 34 *

    • 18 Kromium mm/kg 210

    • 19 Tembaga mm/kg 100

      

    20 Merkuri mm/kg * 0,8

    • 21 Nikel mm/kg

      62

    • 22 Timbal mm/kg 150

      23 Selenium mm/kg *

      2

      24 Seng mm/kg 500 * Unsur lain

    • 25 Kalsium % 25,50

      26 Magnesium % 0,60 *

      27 Besi % 2,00 *

    • 28 Alumunium % 2,20
    • 29 Mangan % 0,10 Bakteri

      30 Fecal Coli MPN/gr 1000

      31 Salmonella sp MPN/4 gr

      3

      2.6 KEMATANGAN KOMPOS

      Agar dapat digunakan sebagai pupuk bagi tanaman, kompos yang digunakan harus benar-benar stabil (matang). Menurut Sahwan (2004) terdapat beberapa parameter yang digunakan sebagai indikator kematangan kompos yang terdapat pada tabel 2.13:

    Tabel 2.13. Parameter Kematangan Kompos [14]

      Parameter Indikator Suhu mendekati suhu udara ratio C/N ≤ 20 penyusutan berat ≥ 60%

      Warna coklat kehitam-hitaman

    Bau bau tanah

    Struktur hancur kandungan n-nh 4 < 10% total n

      2.7 Pemanfaatan Kompos

      Pemanfaatan kompos memiliki banyak manfaat yang ditinjau dari beberapa aspek yaitu:

      1. Aspek Bagi Tanah Dan Tanaman a.

      Memperbaiki produktivitas dan kesuburan tanah

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Obat - Uji Disolusi Tablet Parasetamol Produksi Pt. Kimia Farma (Persero) Tbk. Plant Medan

0 1 20

UJI DISOLUSI TABLET PARASETAMOL PRODUKSI PT. KIMIA FARMA (PERSERO) TBK. PLANT MEDAN TUGAS AKHIR - Uji Disolusi Tablet Parasetamol Produksi Pt. Kimia Farma (Persero) Tbk. Plant Medan

0 0 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Air - Perbandingan Efektivitas Poly Alumunium Chloride (PAC) dan Tawas dalam Menurunkan Turbidity (Kekeruhan) dan Derajat Keasaman (pH) pada Turbidity 590 NTU

0 0 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Filariasis - Evaluasi Pengelolaan Obat Program Filariasis Di Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara

0 0 9

BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Pengertian Arsip - Analisis Pengelolaan Arsip Nasabah Dinamis Aktif Pada PT. Bank XXX Medan

0 1 33

Pengaruh Kepemimpinan Terhadap Produktivitas Kerja Pegawai Pada Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang

0 1 15

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Kepemimpinan Terhadap Produktivitas Kerja Pegawai Pada Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang

0 0 22

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Dampak Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 Terhadap Wajib Pajak Usaha Mikro Kecil Menengah (Umkm) Dan Penerimaan Pajak Penghasilan (Pph) Pasal 4 Ayat 2pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Lubuk Pakam

0 0 57

Pengomposan Tandan Kosong Kelapa Sawit Menggunakan Pupuk Organik Aktif Dari Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit : Pengaruh Lubang Asupan Udara

0 2 36

Pengomposan Tandan Kosong Kelapa Sawit Menggunakan Pupuk Organik Aktif Dari Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit : Pengaruh Lubang Asupan Udara

0 1 5