II. TINJAUAN PUSTAKA - Analisis Pengaruh Investasi Pertanian dan Tenaga Kerja Pertanian terhadap PDRB Kabupaten Asahan Propinsi Sumatera Utara.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Investasi
Investasi yang lazim disebut juga dengan istilah penanaman modal atau pembentukan modal merupakan komponen kedua yang menentukan dalam tingkat pengeluaran agregat. Teori ekonomi mengartikan atau mendefinisikan investasi sebagai ”pengeluaran-pengeluaran untuk membeli barang-barang modal dan peralatan peralatan produksi dengan tujuan untuk mengganti dan terutama menambah barang-barang modal dalam perekonomian yang akan digunakan untuk memproduksikan barang dan jasa di masa depan”.
Persyaratan umum pembangunan ekonomi suatu negara menurut Todaro et
al (2003) adalah : (1) Akumulasi modal, termasuk akumulasi baru dalam bentuk
tanah, peralatan fisik dan sumber daya manusia; (2) Perkembangan penduduk yang disertai dengan pertumbuhan tenaga kerja dan keahliannya; dan (3) Kemajuan teknologi.
Akumulasi modal akan berhasil apabila beberapa bagian atau proporsi pendapatan yang ada ditabung dan diinvestasikan untuk memperbesar produk
(output) dan pendapatan di kemudian hari. Untuk membangun itu seyogyanya
mengalihkan sumber-sumber dari arus konsumsi dan kemudian mengalihkannya untuk investasi dalam bentuk (capital formation) untuk mencapai tingkat produksi yang lebih besar. Investasi di bidang pengembangan sumberdaya manusia akan meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia, sehingga menjadi tenaga ahli yang terampil yang dapat memperlancar kegiatan produktif.
Menurut Sukirno (1999) kegiatan investasi memungkinkan suatu masyarakat terus menerus meningkatkan kegiatan ekonomi dan kesempatan kerja, meningkatkan pendapatan nasional dan meningkatkan taraf kemakmuran masyarakat. Peranan ini bersumber dari tiga fungsi penting dari kegiatan investasi, yakni (1) investasi merupakan salah satu komponen dari pengeluaran agregat, sehingga kenaikan investasi akan meningkatkan permintaan agregat, pendapatan nasional serta kesempatan kerja; (2) pertambahan barang modal sebagai akibat investasi akan menambah kapasitas produksi; (3) investasi selalu diikuti oleh perkembangan teknologi.
Dengan semakin besarnya investasi pemerintah pada barang publik maka diharapkan akan mendorong pertumbuhan sektor pertumbuhan sektor swasta dan rumah tangga dalam mengalokasikan sumberdaya yang ada di suatu daerah. Hal ini pada akhirnya akan menyebabkan makin meningkatnya PDRB.
a. Teori Investasi dari Keynes
John Maynard Keynes mendasarkan teori tentang permintaan investasi atas konsep efisiensi marjinal kapital (Marginal Efficiency of Capital atau MEC).
Sebagai suatu defenisi kerja, MEC dapat didefenisikan sebagai tingkat perolehan bersih yang diharapkan (Expected net rate of return) atau pengeluaran kapital tambahan. Tepatnya, MEC adalah tingkat diskonto yang menyamakan aliran perolehan yang diharapkan dimasa yang akan datang dengan biaya sekarang dari kapital tambahan. Secara matematis, MEC dapat dinyatakan dalam bentuk formula sebagai berikut :
1
2 Ck
.........................(1)
= + + +
1 2 ⋯
3 (1+ (1+ (1+ ) ) )
Dimana R adalah perolehan yang diharapkan ( expected return) dari suatu proyek, dan Ck adalah biaya sekarang (current cost) dari modal tambahan.
Apakah suatu investasi itu dilakukan atau tidak, sangat bergantung pada perbandingan antara present value (PV) di satu pihak dan Current Cost of
Additional Capita (Ck) di lain pihak. Kalau PV > Ck, maka diputuskan investasi
dilakukan, sebaliknya kalau PV < Ck diputuskan investasi tidak dilakukan.Sedangkan hubungan permintaan investasi dan tingkat bunga (i) dengan MEC tertentu , oleh keynes dinyatakan dalam bentuk fungsi sebagai berikut : I = f (i) ........................................................................................ ………..(2) Secara grafik, hubungan antara investasi dan tingkat bunga dapat digambarkan sebagai berikut : Tingkat bunga (i)
1
2
I = I (i)Investasi (I)
Gambar 1. Kurva Permintaan Investasi
Sumber : Nanga, M (2005)
b. Teori Akselerator
Teori akselerator ini memusatkan perhatiannya pada hubungan antara permintaan akan barang modal (capital goods) dan permintaan akan produk akhir
(final product), dimana permintaan akan barang modal dilihat sebagai permintaan turunan (derived demand) dari permintaan akan barang atau produk akhir. Teori ini mulai dengan mengasumsikan adanya capital-output ratio (COR) tertentu, yang ditentukan oleh kondisi teknis produksi. Hubungan antara kapital dan output (COR) tersebut secara matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :
K
= k ......................................................................................................................(3)
Y
Dimana K adalah jumlah kapital yang digunakan, Y adalah tingkat output agregat, k adalah rasio kapital output yang tetap (fixed capital output ratio). Hal diatas menjelaskan bahwa untuk menghasilkan tingkat output Yt pada periode waktu t, membutuhkan jumlah kapital sebesar Kt yang besarnya sama dengan k.Yt. Dari hal diatas, persamaan tersebut dapat ditulis kembali menjadi : Kt = k . Yt ......................... ...............................................................................(4) Kt-1 = k . Yt-1 ..................................................................................................(5) Karena investasi bersih (net investment ) pada kurun waktu t : It = Kt - Kt-1 = k (Yt – Yt-1) = k. Δ Yt ..........................................................................................................(6)
Persamaan diatas menunjukkan bahwa investasi netto adalah sama dengan koefisien akselerator (k) dikali dengan perubahan dalam output agregat selama kurun waktu t (Yt). Oleh karena k diasumsikan konstan, maka investasi netto dengan sendirinya menjadi fungsi dari perubahan di dalam output agregat. Kalau output agregat meningkat, maka investasi netto akan positif. Jika output agregat meningkat dengan jumlah yang semakin besar, maka investasi netto akan meningkat dengan jumlah yang lebih besar lagi.
c. Teori Neoklasik
Teori Neoklasik tentang investasi merupakan teori tentang akumulasi capital optimal. Stok kapital yang diinginkan ditentukan oleh output dan harga dari jasa kapital relatif terhadap harga output. Harga jasa kapital pada gilirannya bergantung pada harga barang-barang modal, tingkat bunga, dan perlakuan pajak atas pendapatan perusahaan. Menurut teori ini, perubahan di dalam output atau harga dari jasa capital relatif terhadap harga output akan mengubah atau mempengaruhi, baik stok capital maupun investasi yang diinginkan.
e. Teori q dari Tobin
Teori ini menyatakan bahwa stok kapital dan investasi yang diinginkan berhubungan positif dengan q, yaitu rasio antara nilai pasar (market value) dari modal terpasang perusahaan dengan biaya penggantian (replacement cost) modal terpasang perusahaan. Teori investasi q Tobin dapat dinyatakan : I = I (q) ........................................... ................................................................(7) Dimana kalau q meningkat, maka I akan meningkat pula. Selanjutnya hubungan q dengan nilai pasar dari perusahaan dan biaya penggantian dari aset perusahaan, dinyatakan : Nilai Pasar dari modal terpasang
Nilai Pasar dari Modal terpasang q = ......................................(8)
Biaya Penggunaan dari modal terpasang
2.1.1. Sektor Pertanian
Mengutip pernyataan Gunnar Mirdal dalam Todaro (2003) yang menyatakan bahwa dalam sektor pertanianlah ditentukan berhasil atau tidaknya upaya–upaya pembangunan ekonomi jangka panjang. Jika suatu negara menghendaki pembangunan yang lancar dan berkesinambungan maka negara itu harus memulainya dari sektor pertanian khususnya. Intisari yang terkandung dalam masalah kemiskinan yang terus meluas, ketimpangan distribusi pendapatan yang semakin parah , laju pertumbuhan penduduk yang semakin cepat, serta terus melonjaknya tingkat pengangguran pada awalnya tercipta dari stagnasi serta terlalu seringnya kemunduran kehidupan perekonomian di sektor pertanian.
Secara tradisional, peranan sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi hanya dipandang pasif dan sebagai unsur penunjang semata.
Berdasarkan pengalaman historis dari negara-negara barat, apa yang disebut sebagai pembangunan ekonomi identik dengan transformasi struktural yang cepat terhadap perekonomian, yakni perekonomian yang bertumpu pada kegiatan pertanian menjadi industri modern dan pelayanan masyarakat yang lebih kompleks. Dengan demikian, peran utama pertanian hanya dianggap sebagai sumber tenaga kerja dan bahan-bahan pangan yang murah berkembangnya sektor- sektor industri yang dinobatkan sebagai “sektor” dinamis dalam strategi pembangunan ekonomi secara keseluruhan.
Dewasa ini, nampak jelas bahwa para pakar ilmu ekonomi pembangunan mulai kurang berminat untuk memberikan perhatian yang besar pada upaya industrialisasi secara cepat. Nampaknya mereka mulai menyadari bahwa daerah pedesaan umumnya, dan sektor pertanian khususnya ternyata tidak bersifat pasif, tetapi jauh lebih penting dari sekedar penunjang dalam proses pembangunan sebenarnya, yakni sebagai unsur atau elemen unggulan yang sangat penting, dinamis, dan bahkan sangat menentukan dalam strategi-strategi pembangunan secara keseluruhan.
Suatu strategi pembangunan ekonomi yang dilandaskan pada prioritas pertanian dan ketenagakerjaan paling tidak memerlukan tiga unsur pelengkap dasar, yakni : (1) percepatan pertumbuhan output melalui serangkaian penyesuaian teknologi, institusional, dan insentif harga yang khusus dirancang untuk meningkatkan produktivitas para petani kecil, (2) peningkatan permintaan domestik terhadap output pertanian yang dihasilkan dari strategi pembangunan perkotaan yang beroirentasi pada upaya pembinaan ketenagakerjaan, (3) diversifikasi kegiatan pembangunan daerah yang bersifat padat karya, yaitu non pertanian, yang secara langsung dan tidak langsung akan menunjang dan ditunjang oleh masyarakat pertanian. Karena itu, pada skala yang lebih luas, pembangunan sektor pertanian kini diyakini sebagai intisari pembangunan nasional secara keseluruhan oleh banyak pihak.
Harus diingat bahwa tanpa pembangunan daerah pedesaan/pertanian yang integratif, pertumbuhan industri tidak akan berjalan dengan lancar, dan kalaupun bisa berjalan, pertumbuhan industri tersebut akan menciptakan berbagai ketimpangan internal yang sangat parah dalam perekonomian yang bersangkutan Pada gilirannya, segenap ketimpangan tersebut akan memperparah masalah- masalah kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan pengangguran (Todaro, 2003).
Menurut Analisa klasik dari Kuznets (1964) dalam Tambunan.T (2003), ekonomi yang sangat potensial dalam empat bentuk kontribusinya terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi nasional, yaitu sebagai berikut : Pertama, ekspansi dari sektor-sektor ekonomi non pertanian sangat bergantung pada produk-produk dari sektor pertanian, bukan saja untuk kelangsungan pertumbuhan suplai makanan, tetapi juga untuk penyediaan bahan-bahan baku untuk keperluan kegiatan produksi di sektor-sektor non pertanian tersebut, terutama industri pengolahan, seperti industri-industri makanan dan minuman, tekstil dan pakaian jadi, barang-barang dari kulit, dan farmasi.
Hal ini kemudian disebut sebagai kontribusi produk. Kedua, karena kuatnya bias agraris dari ekonomi selama bertahap - tahap awal pembangunan, maka populasi di sektor pertanian (daerah pedesaan) membentuk suatu bagian yang sangat besar dari pasar (permintaan) domestik terhadap produk-produk dari industri dan sektor lain di dalam negeri, baik untuk barang-barang produsen maupun barang-barang konsumen. Yang kemudian disebut sebagai kontribusi
Pasar. Ketiga, karena relatif pentingnya pertanian (dilihat dari sumbangan
outputnya terhadap pembentukan PDB dan andilnya terhadap penyerapan ternaga kerja) tanpa bisa dihindari menurun dengan pertumbuhan atau semakin tingginya tingkat pembangunan ekonomi, sektor ini dilihat sebagai suatu sumber modal untuk investasi di dalam ekonomi. Jadi pembangunan ekonomi melibatkan transfer surplus modal dari sektor pertanian ke sektor-sektor non pertanian. Hal ini disebut sebagai kontribusi faktor-faktor produksi. Keempat,sektor pertanian mampu berperan sebagai salah satu sumber penting bagi surplus neraca perdagangan atau neraca pembayaran (sumber devisa), baik lewat ekspor hasil- menggantikan impor (substitusi impor). Hal ini disebut sebagai kontribusi
devisa. Menurut Tambunan. (2003), kontribusi sektor pertanian di suatu negara terhadap pendapatan devisa adalah lewat pertumbuhan ekspor dan/atau pengurangan impor negara tersebut atas komoditi-komoditi pertanian. Tentu, kontribusi sektor pertanian terhadap ekspor juga bisa bersifat tidak langsung, misalnya lewat peningkatan ekspor atau pengurangan impor produk-produk berbasis pertanian, seperti makanan dan minuman, tekstil, dan produk–produknya.
2.1.2. Investasi Pertanian
Sektor pertanian masih memegang peranan penting bagi perekonomian nasional. Setidaknya ada empat hal yang dapat dijadikan alasan. Pertama, Indonesia merupakan negara berkembang yang masih relatif tertinggal dalam penguasaan Iptek muktahir serta masih menghadapi kendala keterbatasan modal, jelas belum memiliki keunggulan komparatif (comparative advantage) pada sektor ekonomi yang berbasis Iptek dan padat modal. Oleh karena itu pembangunan ekonomi Indonesia sudah selayaknya dititikberatkan pada pembangunan sektor-sektor ekonomi yang berbasis pada sumberdaya alam, padat tenaga kerja, dan berorientasi pada pasar domestik.
Dalam hal ini, sektor pertanianlah yang paling memenuhi persyaratan. Kedua, menurut proyeksi penduduk yang dilakukan oleh BPS penduduk Indonesia diperkirakan sekitar 228-248 juta jiwa pada tahun 2008-2015. Kondisi ini merupakan tantangan berat sekaligus potensi yang sangat besar, baik dilihat dari sisi penawaran produk (produksi) maupun dari sisi permintaan produk (pasar) khususnya yang terkait dengan kebutuhan pangan.
Selain itu ketersedian sumber daya alam berupa lahan dengan kondisi agroklimat yang cukup potensial untuk dieksplorasi dan dikembangkan sebagai usaha pertanian produktif merupakan daya tarik tersendiri bagi para investor untuk menanamkan modalnya. Ketiga, sektor pertanian tetap merupakan salah satu sumber pertumbuhanoutput nasional yang penting. Keempat, sektor pertanian memiliki karakteristik yang unik khususnya dalam hal ketahanan sektor ini terhadap guncangan struktural dari perekonomian makro.
Mengingat pentingnya peranan sektor pertanian dalam perekonomian nasional tersebut sudah seharusnya kebijakan kebijakan negara berupa kebijakan fiskal, kebijakan moneter, serta kebijakan perdagangan tidak mengabaikan potensi sektor pertanian. Bahkan dalam beberapa kesempatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pentingnya sektor pertanian dengan menempatkan revitalisasi pertanian sebagai satu dari strategi tiga jalur (triple trackstrategy) untuk memulihkan dan membangun kembali ekonomi Indonesia.
Salah satu tantangan utama dalam menggerakan kinerja dan memanfaatkan sektor pertanian ini adalah modal atau investasi. Pengembangan investasi di sektor pertanian diperlukan untuk dapat memacu pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan petani, serta pengembangan wilayah khususnya wilayah perdesaan (Indra, 2008).
Menurut Soetrisno dan Kalangi (2006) menyatakan bahwa sektor pertanian hanya akan mampu mengangkat kesejahteraan petani kalau produktivitas pertanian ditingkatkan.
Produktivitas bukan semata pada output fisik/ satuan input, akan tetapipada nilai tambah. Untuk itu diperluaskan beberapa hal, yaitu: (1) mengadakan restrukturisasi usaha pertanian menuju skala yang kompetitif dan mendukung kemandirian ekonomi dan dapat dijalankan dalam skala individual dan kelompok/koperasi/ perusahaan, (3) kembalikan pola pertanian dengan model kesatuan yang terkait dengan industri pengolahan dan ekspor, dan (4) perlu adanya reorientasi kebijakan bahwa tujuan pembangunan pertanian adalah kesejahteraan petani Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris.
Oleh karena itu, mayoritas penduduknya bergantung pada sektor pertanian. Sehingga untuk pengembangan pertanian secara menyeluruh tentu dibutuhkan jumlah investasi yang besar. Tanpa adanya investasi yang besar dalam pengembangan infrastruktur penunjang serta peningkatan kualitas produk pertanian maka akan sulit bagi Indonesia untuk bersaing dengan negara lain di sektor ini.
2.1.3. Identifikasi Penyebab Investasi Pertanian Terhambat
Perkembangan investasi untuk sektor pertanian memiliki kecenderungan yang terus menurun. Terdapat beberapa hal yang dapat menjadi penyebab ketidaktertarikan investor untuk menanamkan modalnya ke sektor petanian, diantaranya:
Pertama, sektor pertanian memiliki risiko dan ketidakpastian yang sangat tinggi
dibanding sektor lain. Terlebih lagi dengan adanya climate change yang menyebabkan kemungkinan terjadinya fluktuasi produksi menyebabkan ketidakpastian dan risiko yang dihadapi semakin tinggi.
Kedua, pada kasus pertanian di Indonesia, minimnya sarana pendukung yang
tersedia menjadi salah satu faktor yang membuat investasi pada pertanian semakin tidak menarik. Seperti yang telah banyak diketahui, saat ini sarana pertanian seperti irigasi misalnya yang ada di daerah adalah peninggalan masa orde baru dan sudah semakin tidak terawat. Selain itu, karena umumya sentra produksi pertanian berada di daerah, dan infrastruktur sepeti jalan yang ada pada beberapa jalur misalkan pada jalur pantura kurang baik sehingga besarnya kemungkinan terjadi kerusakan barang semakin tinggi.
Ketiga, masih sulitnya birokrasi yang ada apabila hendak mendirikan usaha
pertanian yang memiliki skala ekonomi yang cukup besar sehingga menjadi kurang menarik.
Keempat, masih tidak stabilnya iklim investasi di Indonesia. Hal ini berlaku secara keseluruhan, baik sektor pertanian maupun nonpertanian.
Kelima, masih tidak stabilnya iklim politik dan pada beberapa komoditi pertanian yang menjadi komoditi politik.
Keenam, masih maraknya pungutan-pungutan liar di Indonesia sehingga semakin
meningkatkan biaya yang harus dikeluarkan. Masih terdapatnya tumpang tindih kebijakan antar departemen atau kementrian yang ada dan kurangnya koordinasi antar instansi pemerintahan sehingga menimbulkan kebingungan pada investor
Ketujuh, adanya otanomi daerah yang terkadang kebijakannya tumpang tindih
dengan kebijakan pemerintah pusat.
Kedelapan, anggapan bahwa investasi sektor pertanian tidak menarik
dibandingkan dengan sektor lain (Kompasiana, 2012).Sektor pertanian adalah sektor yang memiliki peran penting dalam meningkatkan perekonomian, terutama perekonomian pedesaan. Saat ini tren investasi pertanian memiliki tren yang mengalami penurunan. Karena pentingnya kebijakan untuk membangkitkan iklim investasi dibidang pertanian.
Hal yang paling utama untuk meningkatkan minat investasi bidang pertanian adalah mensinergiskan kebijakan dalam pemerintahan, baik antara departemen/kementrian di pemerintah pusat maupun dengan pemerintah daerah. Dengan adanya kesinergisan kebijakan, maka investor mendapatkan suatu kepastian kebijakan investasi sehingga mereka dapat lebih mudah untuk mengambil keputusan investasi.
Pemerintah juga perlu melakukan upaya pendekatan kepada investor untuk menanamkan modalnya dibidang pertanian. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memberikan kemudahan untuk investasi misalkan bantuan untuk merampingkan jalur birokrasi, memberikan jaminan kestabilan politik dan keamanan investasi, serta perbaikan infrastruktur sehingga dapat meminimalisasi risiko dan ketidakpastian yang dihadapi.
Pengembangan permodalan dalam upaya peningkatan kesejahteraan petani untuk mengatasi keterbatasan permodalan dan lemahnya kelembagaan petani.
Kementerian Pertanian mengembangkan fasilitas pembiayaan dalam bentuk skim kredit program dengan subsidi bunga dan penjaminan, serta melaksanakan kegiatan pemberdayaan petani. Skim kredit program yang telah dikembangkan adalah Kredit Ketahanan Pangan (KKP) yang kemudian berubah menjadi Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E), Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan (KPEN-RP), Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS), dan Kredit Usaha Rakyat (KUR). KKP-E, KPEN-RP, KUPS adalah skim kredit dengan penjaminan.
Dana kredit sepenuhnya berasal dari Bank Pelaksana. Tingkat realisasi penyerapan skim kredit program KKP-E tersebut rata-rata masih rendah, berkisar 20% per tahun dari total komitmen bank pelaksana sebesar Rp. 8,779 triliun. Komitmen bank dan realisasi serapan KPEN-RP secara kumulatif (2007 -2011) per Oktober 2011 sebesar Rp. 1,818 triliun. Sedangkan komitmen bank dan realisasi serapan KUPS secara kumulatif (2009-2011) per Oktober 2011 sebesar Rp. 391,543 miliar.
Tabel 4. Komitmen Bank, Realisasi Serapan, Cakupan Komoditas Kredit
Program Tahun 2011 (per Oktober 2011) % Komitmen SkimRealisasi Terhadap No Cakupan Komoditas Bank Kredit (Rp.triliun) Komitmen (Rp.triliun Bank
Tan. Pangan, Kortikultura,
1 KKP-E 8,779 1,589 18,1 Perkebunan, Peternakan, pengadaan pangan
2 KPEN-RP Sawit, Kakao, Karet 38,603*) 1,818 4,7
3 KUPS Pembibitan Sapi 3,882 *) 0,392 10,1 Semua usaha produktif
4 KUR 20,000 3,993**) 16,4 semua sector
Keterangan :
- ) Komitmen bank untuk KPEN-RP th. 2007-2014 dan KUPS tahun 2009-2014
- ) Realisasi KUR untuk sektor pertanian. Realisasi KUR untuk semua sektor usaha Rp. 24,404 triliun.
Dari hasil evaluasi, rendahnya tingkat serapan kredit program tersebut disebabkan antara lain: 1) usaha pertanian dianggap perbankan mempunyai risiko yang tinggi, 2) terbatasnya penyediaan agunan yang dimiliki petani seperti sertifikat lahan yang dipersyaratkan perbankan, 3) perbankan menerapkan prinsip kehati-hatian mengingat risiko sepenuhnya ditanggung perbankan (kecuali KUR) dan 4) khusus calon debitur KPEN-RP masalah status lahan belum bersertifikat dan sebagain provinsi/kabupaten/kota belum memiliki RTRWP/RTRWK, 5) untuk KUR sektor pertanian sudah disediakan penjaminan sebesar 80 % namun suku bunga yang dibebankan petani cukup tinggi untuk KUR mikro (<Rp. 20 juta) maksimum 22% dan KUR ritel (>Rp.20 juta) maksimum 14 % per tahun.
Menyadari bahwa mayoritas petani memiliki skala usaha yang kecil, akses terbatas dan posisi tawar yang lemah di pasar, Kementerian Pertanian melakukan kegiatan pemberdayaan kelembagaan petani antara lain melalui Lembaga Mandiri yang mengakar di Masyarakat (LM3) dan Kelompok Tani/Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan). Sejak pelaksanaan kegiatan LM3 tahun 2007, Kementerian Pertanian setiap tahunnya telah melakukan kegiatan pemberdayaan petani rata- rata untuk 1.300 LM3.
Pada tahun 2011 kegiatan pemberdayaan dilaksanakan pada 1.033 LM3. Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP) merupakan program terobosan Kementerian Pertanian untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan dan pengangguran di perdesaan serta meningkatkan kemampuan dan keterampilan anggota Gapoktan sebagai pelaku usaha agribisnis. Pada tahun 2011, dari target 10.000 desa, kegiatan PUAP berhasil dilaksanakan di 9.096 Desa/Gapoktan (Laporan Kinerja Kementan 2011).
(kelapa sawit, karet, kakao), peternakan (pembibitan sapi potong dan sapi perah) dan alat/mesin pertanian (pompa air dan traktor). Investasi untuk perkebunan berupa pembukaan kebun baru dengan rata-rata 1,67 ha untuk kelapa sawit, 1.10 ha untuk karet dan 0,91 ha untuk kakao, yang umumnya dilakukan pada tahun 1997.
Investasi tersebut didorong oleh harga komoditas yang tinggi sebagai akibat krisris ekonomi yang menyebabkan nilai tukar dolar AS terhadap rupiah melonjak tajam. Investasi untuk peternakan berupa pembelian sapi produk, pembangunan kandang dan kebun rumput, dengan rata-rata 3 ekor untuk pembibitan sapi potong dan 4 ekor untuk sapi perah. Sementara itu, investasi untuk pompa air dan traktor tangan masing-masing adalah 1 unit.
2.1.4. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Investasi Pendapatan nasional bisa naik atau turun karena perubahan investasi.
Kondisi ini tergantung pada perubahan teknologi, penurunan tingkat bunga, pertumbuhan penduduk, dan faktor-faktor dinamis lainnya (Samuelson dalam Makmun, 2003)
Sementara itu, lingkungan domestik masih belum mampu menciptakan iklim investasi yang sehat. Beberapa faktor domestik yang mengahambat iklim investasi belum mengalami perbaikan yang berarti. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah sebgain berikut (BKPM,2004): 1) Prosedur yang panjang dan berbelit. 2)
Tumpang tindihnya kebijakan pusat dan daerah di bidang investasi serta kebijakan antar sektor.
3) Kurangnya kepastian hukum dengan berlarutnya perumusan RUU Penanama
Modal 4) Kurang kondusifnya pasar tenaga kerja.
5) Stabilitas keamanan secara nasional relatife membaik
6) Kurangnya insentif investasi, termasuk insentif perpajakan dalam menarik penanaman modal di Indonesia.
Faktor penghambat utama investasi adalah kebutuhan modal yang besar untuk memulai atau perluasan usaha, baik perusahaan besar maupun petani.
Meningkatnya harga input, upah tenaga kerja serta kondisi lingkungan dan iklim yang kurang kondusif menghambat perkembangan usaha. Bagi perusahan besar, otonomi daerah cukup menambah beban finansial dalam bentuk pembayaran retribusi yang terlalu besar. Untuk sapi potong faktor penghambat utamanya adalah rendahnya harga jual sapi akhir-akhir ini.
2.1.5. Tingkat Bunga dan Investasi
Peningkatan permintaan terhadap dana pinjaman akan mendongkrak tingkat bunga equilibrium. Tingkat bunga yang lebih tinggi akan mengurangi arus modal neto. Permintaan investasi juga bisa berubah karena pemerintah mendorong atau membatasi investasi melalui undang-undang pajak. Sebagai contoh, anggaplah pemerintah menaikkan pajak pendapatan perorangan dan menggunakan peneriman tambahan tersebut untuk mengurangi pajak bagi orang-orang yang menginvestasikan dananya ke modal baru. Perubahan dalam undang-undang pajak seperti itu membuat banyak proyek investasi lebih menguntungkan dan, seperti inovasi teknologi, meningkatkan permintaan akan barang- barang investasi (Mankiw,1999)
2.1.6. Investasi dan GDP
Investasi merupakan unsur GDP yang paling sering berubah. Ketika pengeluaran atas barang dan jasa turun selama resesi, sebagian besar dari penurunan itu, berkaitan dengan anjloknya pengeluaran investasi. Para ekonomi mempelajari investasi untuk memahami fluktuasi dalam output barang dan jasa perekonomian dengan lebih baik.
Model GDP seperti model IS-LM didasarkan pada fungsi investasi sederhana yang mengaitkan investasi dengan tingkat bunga riil; I= I (r). Fungsi ini mnenyatakan bahwa tingkat bunga riil menurunkan investasi. Ada tiga jenis pengeluaran investasi, yaitu investasi tetap bisnis, investasi residensial dan investasi persediaan.
Investasi tetap bisnis mencakup peralatan dan struktur yang dibeli perusahaan untuk proses produksi. Investasi residensial, mencakup rumah baru yang orang beli untuk tempat tinggal dan yang dibeli tuan tanah untuk disewakan. Investasi persediaan mencakup barang-barang yang disimpan perusahaan di gudang, termasuk bahan-bahan persediaan, barang dalam proses, dan barang jadi.
Kebijakan Pemerintah kedepan, investasi oleh perusahaan besar baik PMDN dan PMA, maupun rakyat perlu ditempatkan dalam upaya peningkatan PDRB pertanian, produksi pertanian, pendapatan petani dan penyediaan kesempatan kerja. Namun undang-undang mengenai penanaman modal jangan sampai lebih mengutamakan investasi PMA tanpa diimbangi investasi PMDN dan
Hal ini perlu ditekankan jangan sampai lebih banyak Sumber Daya Alam yang dikuasai oleh pengusaha asing sehingga pengusaha nasional dan rakyat/petani kehilangan kesempatan untuk berusaha, utamanya di bidang perkebunan.
2.1.7. Investasi dan Penentuan Tingkat Upah
Faktor produksi sering diklasifikasikan menjadi empat, yaitu tanah, tenaga kerja, modal dan kewirausahaan. Pengklasifikasian terhadap keempat faktor produksi tersebut atas perbedaan elastisitas penawaran parsial, karakteristik yang terkandung pada setiap faktor produksi, dan imbalan yang diterima masing- masing pemilik faktor produksi. Secara historis, pembedaan ini bersesuaian dengan berkembangnya bargaining position antara tiga kelompok masyarakat, kapitalis, tuan tanah, dan tenaga kerja.
Kekuatan pasarlah yang kemudian menentukan berapa besar imbalan yang akan diterima masing-masing. Tenaga kerja akan mendapatkan upah, tuan tanah mendapatkan sewa tanah, pemilik modal mendapatkan tingkat bunga (Makmun dan Yasin, 2003).
Pandangan ekonomi kapitalis terhadap tenaga kerja tidak terlepas dari konsep faktor produksi atau input. Perkembangan iklim usaha menentukan adanya penyesuaian perlakuan terhadap tenaga kerja. Pada awalnya ada kecenderungan tenaga kerja dianggap sebagai suatu faktor produksi lainnya yang memberikan kontribusi relatif tetap terhadap produksi. Pandangan ini yang menghasilkan sistem pengupahan tetap terhadap tenaga kerja sebagaimana input tanah mendapatkan sewa tetap dan modal mendapatkan bunga.
Adanya ketidakstabilan sifat dan karakter tenaga kerja, mendorong perusahaan untuk memberikan perlakuan lain terhadap tenaga kerja. Jika tanah dan modal dapat diperjualbelikan di pasar sedangkan tenaga kerja tidak demikian. Namun demikian, hal ini tidak cukup menjadikan alasan bagi aliran ekonomi utama (mainstream economy) untuk melakukan pembedaan analisis terhadap faktor produksi lain.
Jika kemudian tenaga kerja dibedakan dengan entrepeuner (wirausaha) adalah lebih didasarkan atas perbedaan karakteristik intrinsik yang ada pada kedua faktor produksi tersebut. Entrepreuner dipandang sebagai tenaga kerja yang berani mengambil resiko, sehingga ia berhak mendapatkan imbalan sesuai dengan resiko yang diambil dan nilainya belum tentu tetap.
Tenga kerja dipandang sebagai suatu faktor produksi yang mampu untuk meningkatkan daya guna faktor produksi lainnya (mengolah tanah, memanfaatkan modal, dan sebagainya) sehingga perusahaan memandang tenaga kerja sebagai investasi dan perusahaan memberikan pendidikan kepada karyawannya sebagai wujud kapitalisasi tenaga kerja.
2.2. Tenaga Kerja Pertanian
2.2.1. Definisi Tenaga Kerja
Tenaga kerja mencakup penduduk yang sudah atau sedang bekerja, yang sedang mencari pekerjaan dan yang melakukan kegiatan lain (seperti : bersekolah dan mengurus rumah tangga); walaupun sedang tidak bekerja mereka dianggap secara fisik mampu dan sewaktu-waktu dapat ikut bekerja. Secara praktis, pengertian tenaga kerja didefinisikan sebagai penduduk usia kerja (Simanjuntak, 1985).
Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tetang ketenagakerjaan, yang disebut sebagai tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat. Sumarsono (2003) menyatakan tenaga kerja sebagai semua orang yang bersedia untuk bekerja.
Pengertian tenaga kerja tersebut meliputi mereka yang bekerja untuk dirinya sendiri ataupun keluarga yang tidak menerima bayaran berupa upah; atau mereka yang bersedia bekerja dan mampu untuk bekerja namun tidak ada kesempatan kerja sehingga terpaksa menganggur. Dumairy (1996) mendefinisikan tenaga kerja adalah penduduk yang berusia dalam batas usia kerja.
Sedangkan Badan Pusat Statistik mendefinisikan tenaga kerja (manpower) sebagai seluruh penduduk dalam usia kerja (15 tahun keatas) yang berpotensi memproduksi barang dan jasa. Sitanggang dan Nachrowi (2004) memberikan ciri- ciri tenaga kerja yang antara lain :
1. Tenaga kerja umumnya tersedia di pasar tenaga kerja dan biasanya siap untuk digunakan dalam suatu proses produksi barang dan jasa. Kemudian perusahaan atau penerima tenaga kerja meminta tenaga kerja dari pasar tenaga kerja. Apabila tenaga kerja tersebut telah bekerja, maka mereka akan menerima imbalan berupa upah atau gaji.
2. Tenaga kerja yang terampil merupakan potensi sumber daya manusia (SDM) yang sangat dibutuhkan pada setiap perusahaan untuk mencapai tujuan. Jumlah penduduk dan angkatan kerja yang besar di satu sisi merupakan potensi SDM yang dapat diandalkan, tetapi disisi lain juga merupakan masalah besar yang berdampak pada berbagai sektor kerja. Angkatan kerja (labor force) terdiri dari : golongan yang bekerja dan golongan yang mencari pekerjaan atau menganggur. Sedangkan kelompok yang bukan angkatan kerja terdiri dari : golongan yang bersekolah, golongan yang mengurus rumah tangga dan golongan lain-lain atau penerima pendapatan. Ketiga kelompok bukan angkatan kerja sewaktu-waktu dapat menawarkan jasanya untuk bekerja sehingga kelompok ini dinamakan potensial labor force (Simanjuntak, 1985).
Tenaga Kerja = Angkatan Kerja + Bukan Angkatan Kerja Penduduk
Bukan Tenaga Kerja
Tenaga Kerja Angkatan Kerja
Bukan Angkatan Kerja Bekerja
Menganggur Sekolah
Penerima Mengurus
Pendapatan Rumah Tangga
Setengah Bekerja
Pengangguran Penuh
Kentara Tidak Kentara Produktivitas
Penghasilan Rendah
Rendah Sumber : Simanjuntak, 1985 Tenaga kerja dalam pertanian di Indonesia dibedakan ke dalam persoalan tenaga kerja dalam usahatani kecil-kecilan (usahatani pertanian rakyat) dan persoalan tenaga kerja dalam perusahaan pertanian yang besar-besar yaitu perkebunan, kehutanan, peternakan dan sebagainya.
Pembedaan ini penting karena apa yang dikenal sebagai tenaga kerja dalam usahatani tidaklah sama pengertiannya secara ekonomis dengan pengertian tenaga kerja dalam perusahaan-perusahaan dalam perkebunan. Dalam usaha tani sebagian besar tenaga kerja berasal dari keluarga petani sendiri yang terdiri atas ayah sebagai kepala keluarga, isteri, dan anak-anak petani. Anak-anak berumur 12 tahun misalnya sudah sudah dapat merupakan tenaga kerja yang produktif bagi usaha tani. Mereka dapat membantu mengatur pengairan, mengangkut bibit atau pupuk ke sawah atau membantu penggarapan sawah.
Selain itu anak-anak petani dapat menggembala kambing atau sapi, itik atau menangkap ikan dan lain-lain yang menyumbang pada produksi pertanian keluarga. Tenaga kerja yang berasal dari keluarga petani ini merupakan sumbangan keluarga pada produksi pertanian secara keseluruhan dan tidak pernah dinilai dalam uang. Memang usahatani dapat sekali-sekali membayar tenaga kerja tambahan misalnya dalam tahap penggarapan tanah baik dalam bentuk pekerjaan ternak maupun tenaga kerja langsung.
Bahwa peranan kerja yang berasal dari keluarga petani sendiri memang peranan yang penting tidaklah hanya khusus kita dapati di Indonesia saja. Juga di ikut aktif menyumbang pada kegiatan produksi. Kalau seorang petani mengalami kekurangan tenaga pada saat penggarapan tanah sawah maka ia dapat meminta tolong pada tetangga dan familinya dengan pengertian ia akan kembali menolongnya pada kesempatan yang lain.
Dengan cara begini tidak ada upah uang yang harus dibayar dan ini dapat menekan ongkos tenaga kerja. Sifat tolong menolong ini ada pada petani dimana saja, dalam satu desa atau lebih. Kaslan Tohir menunjukkan bahwa di Indonesia tolong menolong ini lebih banyak terdapat pada tanaman padi daripada palawija.
Ini berarti bahwa tolong menolong memang benar-benar lebih banyak terdapat pada tanaman daripada palawija. Ini berarti bahwa tolong menolong memang benar-benar banyak terdapat pada pekerjaan dimana dimungkinkan pengembalian pekerjaan yang sama pada tanaman yang sama.
Petani yang menanam tembakau misalnya walaupun memerlukan lebih banyak tenaga kerja tidak dapat mengharapkan bantuan tenaga secara gratis.
Pertama-tama ia akan mengerahkan tenaga kerja keluarga sendiri sebanyak- banyaknya, baru setelah itu belum cukup maka diupahnya tenaga kerja tambahan dari luar keluarga. Tenaga kerja dari luar dapat berupa tenaga kerja harian atau borongan tergantung pada keperluan. Tenaga kerja untuk penggarapan sawah biasanya diatur secara borongan.
2.2.2. Penawaran Tenaga Kerja.
Penawaran tenaga kerja merupakan suatu hubungan antara tingkat upah dengan jumlah tenaga kerja. Menurut Ananta (1990) penawaran terhadap pekerja adalah hubungan antara tingkat upah dengan jumlah satuan pekerja yang disetujui oleh pensuplai untuk ditawarkan. Jumlah satuan pekerja yang ditawarkan tergantung pada beberapa faktor yang antara lain : banyaknya jumlah penduduk, presentase penduduk yang berada dalam angkatan kerja, dan jam kerja yang ditawarkan oleh angkatan kerja. Simanjuntak (1985) mendefinisikan penawaran tenaga kerja merupakan jumlah usaha atau jasa kerja yang tersedia dalam masyarakat untuk menghasilkan barang dan jasa.
Menurut Arfida (2003) penawaran tenaga kerja adalah menggambarkan hubungan antara tingkat upah dengan jumlah tenaga kerja yang ditawarkan.
Penawaran tenaga kerja dalam jangka pendek merupakan suatu penawaran tenaga kerja bagi pasar dimana jumlah tenaga kerja keseluruhan yang ditawarkan bagi suatu perekonomian dapat dilihat sebagai hasil pilihan jam kerja dan pilihan partisipasi oleh individu. Sedangkan penawaran tenaga kerja dalam jangka panjang merupakan konsep penyesuaian yang lebih lengkap terhadap perubahan- perubahan kendala.
Upah C4 C3 E 4 E n C2 E 3 Cl E 2 B A
Ht Waktu Senggang o Gambar 3. Penawaran Tenaga Kerja.
Sumber : Simanjuntak, 1985 adalah tingkat upah, Pertambahan tingkat upah akan mengakibatkan pertambahan jam kerja bila substitution effect lebih besar daripada income effect (Simanjuntak,
1985). Pada gambar 3 terlihat bahwa besarnya penyediaan waktu bekerja sehubungan dengan peningkatan tingkat upah (bila substitution effect lebih besar daripada income effect) akan mendorong tenaga kerja untuk mengurangi waktu senggangnya dan menambah jam kerja, ini dapat dilihat pada pergeseran titik dari posisi E1 ke E2 dan ke E3 sehingga waktu untuk bekerja bertambah dari HD1 ke HD2 ke HD3. Namun bila substitution effect lebih kecil daripada income effect kenaikan tingkat upah juga dapat mengakibatkan pengurangan waktu bekerja, yakni dengan perubahan upah dari dari BC3 menjadi BC4 yang menyebabkan waktu untuk bekerja berkurang dari HD3 ke HD4 .
Upah
E E 5 4 S E 3 2 E 2 E 1 E 1 S 1 D
H Jumlah jam kerja Gambar 4. Fungsi Penawaran Tenaga Kerja.
Dalam gambar 4, dijelaskan bahwa pada awalnya jumlah jam kerja akan bertambah saat terjadi kenaikan tingkat upah yang ditunjukan oleh titik E1 E2.
Namun ketika telah mencapai jumlah waktu bekerja sebesar HD jam, tenaga kerja akan mengurangi jam kerja ketika tingkat upah mengalami kenaikan (seperti yang ditunjukan pada titik E3).
Kemudian terjadi penurunan jam kerja sehubungan dengan pertambahan tingkat upah seperti yang ditunjukkan pada titik E4 atau pada penggal grafik S2 dan S3. Penurunan jam kerja pada saat terjadi kenaikan upah dinamakan backward-bending.
2.2.3. Tingkat Partisipasi Kerja (TPK)
Tingkat partisipasi kerja (TPK) atau Labor Force Participation Rate (LFPR) adalah perbandingan antara jumlah angkatan kerja dengan jumlah penduduk dalam usia kerja dalam kelompok yang sama. Dalam bentuk persamaan matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :
ℎ = 100
ℎ Semakin besar TPK maka semakin besar angkatan kerja dalam kelompok yang sama dan sebaliknya semakin besar jumlah yang masih bersekolah dan mengurus rumah tangga maka semakin besar jumlah yang bukan angkatan kerja dan akibatnya semakin kecil TPK. Menurut Simanjuntak (1985) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi besar kecilnya TPK diantaranya :
1. Jumlah penduduk yang bersekolah Jumlah angkatan kerja dipengaruhi oleh jumlah penduduk yang bersekolah dan mengurus rumah tangga. Semakin sedikit jumlah penduduk yang tergolong angkatan kerja maka semakin rendah tingkat partisipasi kerja
2. Umur Tingkat partisipasi kerja mula-mula meningkat sesuai dengan pertambahan umur, kemudian menurun lagi menjelang usia pensiun (usia tua). Peningkatan tingkat partisipasi kerja sejalan dengan pertambahan umur ini pada dasarnya dipengaruhi oleh dua hal. Pertama, semakin tinggi tingkat umur maka semakin kecil proporsi penduduk yang bersekolah sehingga tingkat partisipasi kerja pada kelompok umur dewasa lebih besar dari kelompok umur yang lebih muda. Kedua, semakin tua seseorang maka tanggung jawabnya terhadap keluarga menjadi semakin besar sehingga tingkat partisipasi kerja menjadi lebih besar.
3. Tingkat upah Tingkat upah mempengaruhi penyediaan tenaga kerja melalui dua daya yang berlawanan. Kenaikan tingkat upah disatu pihak akan meningkatkan pendapatan (income effect) yang cenderung mengurangi tingkat partisipasi kerja. Dan dipihak lain peningkatan upah membuat harga waktu senggang relatif lebih mahal, sehingga pekerjaan menjadi lebih menarik untuk menggantikan waktu senggang (substitution effect). Daya subsitusi dari kenaikan upah akan mendorong kenaikan partisipasi kerja.
4. Tingkat pendidikan Semakin tinggi tingkat pendidikan maka akan semakin banyak waktu yang disediakan untuk bekerja, sehingga akan meningkatkan partisipasi kerja.
5. Kegiatan ekonomi Program pembangunan disatu pihak, menuntut keterlibatan banyak orang.
Dilain pihak program pembangunan membutuhkan harapan-harapan baru, harapan untuk dapat ikut menikmati hasil pembangunan tersebut, maka tingkat partisipasi kerja akan semakin besar.
2.2.4. Permintaan Tenaga Kerja
Pertambahan permintaan tenaga kerja tergantung pada pertambahan
permintaan masyarakat akan barang dan jasa yang diproduksi oleh perusahaan.
Dalam siatem ekonomi pasar diasumsikan bahwa seorang pengusaha tidak dapat
mempengaruhi harga.Disatu pihak, perusahaan bertindak sebagai price taker yaitu pe
rusahaan tidak dapat merubah harga dengan menurunkan maupun menaikan output yang diproduksi. Dipihak lain pengusaha dapat menjual berapa saja produksinya dengan harga yang berlaku. Dalam hal memaksimumkan laba, pengusaha hanya dapat mengatur jumlah karyawan yang dapat dipekerjakannya (Simanjuntak, 1985).
Dalam hal meminta tambahan tenaga kerja suatu perusahaan akan memperkirakan tambahan output yang akan diperoleh sehubungan dengan penambahan tenaga kerja tersebut atau yang disebut dengan
(marginal
physical of labor) . Selanjutnya pengusaha akan menghitung jumlah uang yang
akan diperoleh pengusaha dengan tambahan output marginal tersebut atau disebut dengan MR (marginal revenue). Sehingga MR (marginal revenue) sama dengan nilai dari yaitu besarnya dikalikan dengan harga per unit
= = Dimana MR merupakan penerimaan marginal, merupakan nilai pertambahan hasil marginal dari karyawan, merupakan marginal physical
of labor dan P merupakan harga jual barang yang diproduksi per unit.
D
VMPP 1 W
1 W W
2 D = MPP x
L P Perempuan A N B Gambar 5. Fungsi Permintaan Terhadap Tenaga Kerja.
Pada gambar 5. garis DD melukiskan besarnya nilai hasil marginal karyawan (
- value marginal physical product of labor), pengusaha dapat terus menambah laba perusahaan dengan memperkerjakan orang hingga ON. Dititik N pengusaha dapat mencapai laba maksimum dan nilai x P sama dengan upah yang dibayarkan kepada karyawan. Dengan kata lain pengusaha mencapai laba maksimum bila :
MPP L x P = W
Apabila pengusaha menambah pekerja/karyawan lebih besar dari ON (misalnya OB) akan mengurangi keuntungan keuntungan pengusaha. Pengusaha akan membayar upah dalam tingkat yang berlaku (W), pada nilai hasil marjinal yang diperolehnya hanya sebesar 2 yang lebih kecil dari W. Jadi pengusaha akan cenderung untuk menghindari jumlah karyawan yang lebih besar dari ON. Penambahan karyawan yang lebih besar dari ON dapat dilakukan hanya bila pengusaha yang bersangkutan dapat membayar upah dibawah W dan/atau pengusaha mampu menaikan harga jual output yang diproduksinya.
Aspek lain yang dapat ditarik sebagai kesimpulan dari hubungan tingkat upah, , harga barang dan jumlah karyawan yang dapat dipekerjakan adalah bahwa sebagai reaksi terhadap peningkatan upah : (i). Pengusaha menuntut peningkatan produktivitas kerja karyawannya sehingga pertambahan produksi yang dihasilkan karyawan senilai dengan pertambahan upah yang diterimanya; atau (ii) Pengusaha terpaksa menaikan harga jual barang; dan/atau (iii) Pengusaha mengurangi jumlah karyawan yang bekerja; atau (iv) Pengusaha melakukan kombinasi dari dua diantara ketiga alternatif di atas atau kombinasi dari ketiganya
2.2.5. Angkatan Kerja dan Pertumbuhan Ekonomi
Menurut Todaro (2003) pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan Angkatan Kerja (AK) secara tradisional dianggap sebagai salah satu faktor positif yang memacu pertumbuhan ekonomi. Jumlah tenaga kerja yang lebih besar berarti akan menambah tingkat produksi, sedangkan pertumbuhan penduduk yang lebih besar berarti ukuran pasar domestiknya lebih besar.
Meski demikian hal tersebut masih dipertanyakan apakah benar laju pertumbuhan penduduk yang cepat benar-benar akan memberikan dampak positif atau negatif dari pembangunan ekonominya. Selanjutnya dikatakan bahwa pengaruh positif atau negatif dari pertumbuhan penduduk tergantung pada kemampuan sistem perekonomian daerah tersebut dalam menyerap dan secara produktif memanfaatkan pertambahan tenaga kerja tersebut. Kemampuan tersebut dipengaruhi oleh tingkat dan jenis akumulasi modal dan tersedianya input dan faktor penunjang seperti kecakapan manajerial dan administrasi.
Dalam model sederhana tentang pertumbuhan ekonomi, pada umumnya pengertian tenaga kerja diartikan sebagai angkatan kerja yang bersifat homogen.