BAB 2 DESKRIPSI PROYEK - Stadion Sepakbola Medan (Arsitektur High Tech)

BAB 2 DESKRIPSI PROYEK

2.1. TERMINOLOGI JUDUL

  Judul proyek ini adalah Stadion Sepakbola Medan. Adapun penjelasan dari judul tersebut adalah sebagai berikut:  Stadion

  1 • Stadion adalah lapangan olahraga yang dikelilingi tempat duduk.

  • Stadion (modern) adalah tempat untuk olahraga outdoor, konser, atau acara lainnya dan terdiri dari lapangan atau panggung dan sebagian atau seluruhnya dikelilingi oleh struktur yang dirancang untuk memungkinkan

  2 penonton untuk berdiri atau duduk dan melihat acara tersebut.

  • Stadion olahraga pada dasarnya adalah sebuah teater besar untuk

  3 menampilkan prestasi-pretasi heroik.

  • Stadion adalah tempat tertutup yang menggabungkan ruang yang luas untuk permainan atletik dan pameran lainnya dengan kapasitas tempat duduk penonton yang besar. Nama ini berasal dari unit ukuran Yunani, stadia, yaitu jarak yang ditempuh dalam lomba lari asli Yunani (sekitar 600 kaki atau 180

  4 meter).

   Sepak Bola

  • Sepak bola adalah permainan beregu diatas lapangan, menggunakan bola sepak dari dua kelompok yang berlawanan yang masing-masing terdiri atas sebelas pemain, berlangsung selama 2 x 45 menit, dan kemenangan

  5 ditentukan oleh selisih gol yang masuk ke gawang lawan.

  • Sepak bola adalah permainan di mana dua tim dengan sebelas pemain menggunakan setiap bagian dari tubuh mereka kecuali tangan dan lengan, mencoba untuk menggiring bola ke gawang tim lawan. Hanya kiper yang
  • 1 diizinkan memegang bola dan hanya dapat melakukannya dalam area 2 www.kbbi.web.id 3 en.wikipedia.org 4 STADIA: A Design and Development Guide 5 www.britannica.com www.kbbi.web.id

      6 penalti sekitar gawang. Tim yang mencetak gol lebih banyak menang.

       Medan • Medan adalah nama dari ibukota provinsi Sumatera Utara.

      Jadi Stadion Sepakbola Medan dapat dirangkum menjadi “Suatu sarana yang menyediakan tempat (lapangan) bermain/bertanding sepak bola dengan bangunan yang mengelilinginya yang memiliki tempat bagi penonton untuk melihat acara tersebut (tribun)”.

    2.2. TINJAUAN UMUM

      Tinjauan ini akan membahas perihal seputar sepak bola dan stadion secara umum.

    2.2.1. Sepak Bola

      Sepak bola telah memiliki perjalanan yang panjang dalam sejarah olahraga, bahkan kebudayaan manusia, dan perkembangannya sekarang ini semakin pesat karena berkembangnya sistem manajemen dan pelatihan sepak bola, dan juga teknologi yang dapat diterapkan pada perlengkapan, infrastruktur, maupun publikasi/entertainmentnya.

      Sejarah olahraga menyepak bola sudah lama sekali ada. Yang tercatat yaitu

      Woggabaliri di Australia, Harpastum di kekaisaran Romawi, dan sejak abad ke-2

      dan 3 SM di Cina dengan nama Tsu Chu. Di masa Dinasti Han tersebut, masyarakat menggiring bola kulit dengan menendangnya ke jaring kecil. Permainan serupa juga dimainkan di Jepang dengan sebutan Kemari. Di Italia, permainan menendang dan membawa bola juga digemari terutama mulai abad ke-16.

      Sepak bola modern mulai berkembang di Inggris dan menjadi sangat digemari. Di beberapa kompetisi, permainan ini menimbulkan banyak kekerasan selama pertandingan sehingga akhirnya Raja Edward III melarang olahraga ini dimainkan pada tahun 1365. Raja James I dari Skotlandia juga mendukung larangan ini. Tetapi tahun 1815, sebuah perkembangan besar menyebabkan sepak bola menjadi terkenal di lingkungan universitas dan sekolah. Kelahiran sepak bola modern terjadi di Freemasons Tavern pada tahun 1863 ketika sekolah dan klub 6

      www.britannica.com berkumpul dan merumuskan aturan baku untuk permainan ini. Bersamaan dengan itu, terjadi pemisahan yang jelas antara olahraga rugby dengan sepak bola (soccer). Pada tahun 1869, membawa bola dengan tangan mulai dilarang dalam sepak bola.

      Selama tahun 1800-an, sepak bola modern dibawa oleh pelaut, pedagang, dan tentara Inggris ke berbagai belahan dunia, begitu juga di wilayah nusantara oleh Belanda. Pada tahun 1904, asosiasi tertinggi sepak bola dunia yaitu Fédération

      Internationale de Football Association (FIFA) dibentuk dan pada awal tahun 1900-

      an, berbagai kompetisi dimainkan diberbagai negara, begitu juga Piala Dunia pertama kali dimulai di Uruguay tahun 1930. Asian Football Confederation (AFC) juga berdiri pada tahun 1954 di Manila, Filipina sebagai salah satu konfederasi regional FIFA.

      Permainan sepak bola di Indonesia pertama kali diperkenalkan oleh para penjajah/bangsa Eropa, termasuk Belanda. Di akhir tahun 1920, pertandingan

      

    voetbal atau sepak bola sering kali digelar untuk meramaikan pasar malam,

      biasanya dilaksanakan sore hari. Lapangan Singa (Lapangan Banteng) menjadi saksi dimana orang Belanda sering menggelar pertandingan. Khusus untuk sepak bola, serdadu di barak-barak militer sangat sering bertanding yang akhirnya membentuk bond atau perkumpulan sepak bola. Dari bond-bond itulah kemudian terbentuk satu klub besar. Tak hanya serdadu militer, warga Belanda, Eropa, dan Indonesia juga membuat bond-bond serupa.

      Dari bond-bond itu kemudian terbentuklah Nederlandsch Indische Voetbal

      

    Bond (NIVB) yang pada tahun 1927 berubah menjadi Nederlandsch Indische

    Voetbal Unie (NIVU). Sampai tahun 1929, NIVU sering mengadakan pertandingan

      termasuk dalam rangka memeriahkan pasar malam dan tak ketinggalan sebagai ajang judi. Bond China menggunakan nama antara lain Tiong un Tong, Donar, dan UMS. Adapun bond pribumi biasanya mengambil nama wilayahnya, seperti Cahaya Kwitang, Sinar Kernolong, atau Si Sawo Mateng.

      Pada 19 April 1930, Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia (PSSI) dibentuk di gedung Soceiteit Hande Projo, Yogyakarta. Disinilah perkembangan sepak bola di Indonesia diawali dengan berdirinya PSSI dalam pimpinan Soeratin Sosrosoegondo, insinyur sipil lulusan Jerman yang lama tinggal di Eropa. Sejak saat itu, kegiatan sepak bola semakin sering digerakkan oleh PSSI dan semakin banyak rakyat bermain di jalan atau alun-alun tempat Kompetisi I perserikatan/bond diadakan. Adapun lahirnya PSSI ini tidak terlepas juga dari gerakan menentang penjajahan dengan strategi menyemai benih nasionalisme bagi pemuda Indonesia.

      Pada tahun 1930-an, di Indonesia berdiri tiga organisasi sepakbola berdasarkan suku bangsa, yaitu Nederlandsch Indische Voetbal Unie (NIVU) dari bangsa Belanda, Hwa Nan Voetbal Bond (HNVB) dari bangsa Tionghoa, dan Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia (PSSI) dari orang pribumi.

      Paku Buwono X kemudian mendirikan stadion Sriwedari di Surakarta (Solo) lengkap dengan lampu, sebagai apresiasi terhadap kebangkitan “Sepakbola Kebangsaan” yang digerakkan oleh PSSI. Stadion itu diresmikan pada 1933. Dengan adanya stadion ini, kegiatan persepak bolaan pun semakin gencar.

      Pada tahun 1938 Indonesia lolos ke Piala Dunia walaupun akhirnya membawa nama Hindia Belanda (Dutch East Indies). NIVU mengajak PSSI bekerjasama yang ditandai dengan Gentlemen’s Agreement 15 Januari 1937. Persetujuan perjanjian ini berarti secara de facto dan de jure Belanda mengakui PSSI. Perjanjian itu menegaskan bahwa PSSI dan NIVU menjadi pucuk organisasi sepak bola di Hindia Belanda. Salah satu isinya juga berisi tentang tim yang dikirim ke Piala Dunia, dimana dilakukan pertandingan antara tim bentukan NIVU melawan bentukan PSSI sebelum diberangkatkan (seleksi tim). Tapi NIVU melanggar perjanjian dan memberangkatkan tim bentukannya menggunakan bendera NIVU yang diakui FIFA. Memang akhirnya Hindia Belanda kalah 0-6 dari Hongaria. Atas tindakan sepihak dari NIVU ini, Soeratin Sosrosoegondo sangat geram. Ia menolak memakai nama NIVU. Alasannnya, kalau NIVU diberikan hak, maka komposisi pemain akan dipenuhi oleh orang Belanda. Akhirnya PSSI membatalkan secara sepihak perjanjian tersebut saat Kongres di Solo pada 1938.

      Dalam pertandingan internasional, PSSI terbukti. Pada 7 Agustus 1937, tim PSSI berhasil menahan imbang 2-2 tim Nan Hwa dari Cina di Gelanggang Union, Semarang. Padahal Nan Hwa pernah mengalahkan Belanda dengan skor 4-0. Disini kedigdayaan tim PSSI sudah tersohor.

      Lebih jauh, Soeratin mendorong pula pembentukan badan olahraga nasional agar kekuatan olahraga pribumi semakin kokoh melawan dominasi Belanda. Pada tahun 1938 berdirilah ISI (Ikatan Sport Indonesia) yang kemudian menyelenggarakan Pekan Olahraga ISI (15-22 Oktober 1938) di Solo. Nama PSSI ini kemudian berubah dalam kongres PSSI 1950 di Solo menjadi Persatoean Sepakbola Seloeroeh Indonesia.

      Sepeninggalan Soeratin Sosrosoegondo, prestasi tim nasional sepak bola Indonesia tidak terlalu memuaskan karena pembinaan tim nasional tidak diimbangi dengan pengembangan organisasi dan kompetisi. Pada era sebelum tahun 1970- an, beberapa pemain Indonesia sempat bersaing dalam kompetisi internasional, di antaranya Ramang, Sucipto Suntoro, Ronny Pattinasarani, dan Tan Liong Houw.

      Dalam perkembangannya, PSSI telah memperluas kompetisi sepak bola dalam negeri, di antaranya dengan penyelenggaraan Liga Super Indonesia, Divisi Utama, Divisi Satu, dan Divisi Dua untuk pemain non amatir, serta Divisi Tiga untuk pemain amatir. Selain itu, PSSI juga aktif mengembangkan kompetisi sepak bola wanita, futsal, dan kompetisi kelompok umur tertentu (U-15, U-17, U-19, dan U-23).

      Masuknya Jepang ke Indonesia menyebabkan PSSI pasif dalam berkompetisi, karena Jepang memasukkan PSSI sebagai bagian dari Tai Iku Kai, yakni badan keolahragaan buatan Jepang. Tetapi Jepang semakin terdesak dalam Perang Pasifik sehingga tidak dapat lagi mengurus kegiatan olahraga di Indonesia. Dalam situasi itu urusan olahraga diserahkan kembali kepada Indonesia terutama sejak tahun 1944 dengan terbentuknya Gerakan Latihan Olahraga Rakyat (GeLORa). Selama tahun 1942-1945 yakni selama kekuasaan Jepang di indonesia, tidak banyak peristiwa olahraga penting tercatat, karena Jepang terus terdesak kedudukannya sehingga dengan sendirinya perhatian Jepang tidak dapat diharapkan untuk memajukan olahraga di Indonesia. Akhirnya PSSI baru lepas menjadi otonom kembali dalam kongres PORI III di Yogyakarta (1949).

      Adapun Persatuan Olahraga Republik Indonesia (PORI) dibentuk tahun 1946 yang dibantu oleh Komite Olimpiade Republik Indonesia (KORI). Keduanya telah dilebur dan menjadi KONI. Dalam mempersiapkan para atlet Indonesia untuk Olimpiade XIV di London tahun 1948, Indonesia menemui banyak kesulitan. PORI sebagai badan olahraga resmi Indonesia saat itu belum diakui dan menjadi anggota Internasional Olympic Committee (IOC) sehingga para atlet yang akan dikirim tidak dapat diterima dan berpartisipasi dalam olahraga sedunia tersebut. Pengakuan dunia atas kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia yang belum diperoleh waktu itu menjadi penghalang besar. Paspor Indonesia saat itu tidak diakui oleh Pemerintah Inggris, sedangkan kenyataan bahwa atlet-atlet Indonesia hanya bisa berpartisipasi dengan memakai paspor Belanda tidak dapat diterima. Alasannya karena delegasi Indonesia hanya mau hadir di London dengan membawa nama Indonesia. Alasan inilah yang menyebabkan rencana kepergian beberapa pengurus besar PORI ke London menjadi batal dan menjadi topik pembahasan pada konferensi darurat PORI tanggal 1 Mei 1948 di Solo. Konferensi itu sepakat untuk mengadakan Pekan Olahraga yang direncanakan berlangsung pada bulan Agustus atau September 1948 di Solo. PORI ingin menghidupkan kembali pekan olahraga yang pernah diadakan ISI.

      Dilihat dari sarana olahraga, pada saat itu kota Solo telah memenuhi semua persyaratan pokok dengan adanya stadion Sriwedari yang dilengkapi dengan kolam renang, pada saat itu juga termasuk fasilitas olahraga yang terbaik di Indonesia. Selain itu seluruh pengurus besar PORI juga berkedudukan di Solo, sehingga hal inilah yang menjadi bahan-bahan pertimbangan untuk menetapkan kota Solo sebagai kota penyelenggara Pekan Olahraga Nasional pertama (PON I) pada tanggal 8-12 September 1948 dengan mempertandingkan 12 cabang olahraga. Selain itu, PON I juga membawa misi untuk menunjukkan kepada dunia luar bahwa bangsa Indonesia dalam keadaan daerahnya yang dipersempit akibat Perjanjian Renville, membuktikan sanggup mengadakan acara olahraga dengan skala nasional.

      Lalu dalam perkembangannya, PSSI telah menjadi anggota FIFA sejak tanggal 1 November 1952 pada kongres FIFA di Helsinki. Setelah diterima menjadi anggota FIFA, lalu PSSI diterima pula menjadi anggota AFC tahun 1952, bahkan menjadi pelopor pembentukan AFF (ASEAN Football Federation).

      Di kota Medan sendiri sepak bola juga sudah lama berkembang. Persatuan Sepak Bola Medan Sekitarnya (PSMS) dirikan pada tanggal 21 April 1950. Meski demikian sejak tahun 1930 telah berdiri klub Voetbal Bond Medan en Omstreken (VBMO) dan Oost Sumatera Voettbal Bond (OSVB) yang diyakini merupakan embrio PSMS. Sejak dahulu kota Medan dikenal dunia karena perkebunan tembakau Delinya. Tak heran kalau logo PSMS adalah "daun" dan "bunga tembakau Deli". PSMS mengalami jaman gemilang di bidang prestasi yang dibuktikan mulai tahun 1954.

      Pada saat itu PSMS sering diundang dan mengundang tim-tim dari luar negeri seperti Gak Graz dari Austria, Kowloon Motorbus dari Hongkong, Grasshoppers dari Eropa, Star Soccerites dari Singapura, dan lain-lain. Berkat kemenangan yang sering dipegang oleh PSMS melawan kesebelasan luar negeri, PSMS mendapat julukan “The Killer” atau algojo kesebelasan-kesebelasan luar negeri. Di tahun 1950-an di awal berdirinya, PSMS berada di puncak kejayaannya. Beberapa turnamen di dalam dan luar negeri selalu menjadi ajang meraih gelar juara. Adapun dibawah ini merupakan data-data kejuaraan PSMS dalam beberapa kompetisi hingga kini.

      Juara I

      Sumatera Utara

      Irian Jaya Jakarta Raya

      XII 1989

      Sumatera Utara

      Jawa Timur Jakarta Raya Sumber: Sejarah Olahraga Sumatera Utara (1992)

    Tabel 2.2. Hasil Kejuaraan PSSI 1951-1990 No. Tahun

      Juara II Juara III

      Jawa Timur

      I 1951 Persebaya PSM Persija

      II 1952 Persebaya

      PSMS

      Persib

      III 1954 Persija PSMS Persebaya

      PSMS

      Persib V 1959 PSM Persib PSIS

      XI 1985

      Sumatera Utara

    Tabel 2.1. Hasil Kejuaraan PON: Bidang Olahraga Sepak Bola Ke

      Sumatera Utara

      Tahun Juara I

      Juara II Juara III

      II 1951 Jawa Barat Jakarta Raya Jawa Timur

      III 1953

      Sumatera Utara

      Jakarta Raya Jawa Timur

      IV 1957

      Sumatera Tengah Jawa Tengah V 1961 Sulawesi Selatan Jawa Tengah Jakarta Raya

      IX 1977 Jakarta Raya Irian Jaya Aceh X 1981 Lampung

      VI 1965 dibatalkan karena peristiwa G 30 S PKI

      VII 1969

      Sumatera Utara

      Jakarta Raya Jawa Timur

      VIII 1973

      Sumatera Utara

      Jawa Timur Sulawesi Selatan

    IV 1957 PSM

      VI 1961 Persib PSM Persija

      PSMS

      Persebaya

      XVII 1981 Persiraja - -

      XVIII 1983

      PSMS

      Persib Persebaya

      XIX 1985

      Persib PSM

      XVI 1979 Persipura

      XX 1986 Persib Persemen Persija

      XXI 1987 PSIS Persebaya Persib

      XXII 1988 Persebaya Persija Persib

      XXIII 1990 Persib Persebaya - Sumber: Sejarah Olahraga Sumatera Utara (1992)

      Prototipe awal untuk fasilitas olahraga modern dari semua jenis yang ada adalah Stadia dan Hippodromes Yunani kuno. Di sini kontes olahraga Olimpiade dan yang lainnya telah digelar kira-kira pada abad ke-8 SM pertama kalinya.

      Stadia – stadion Yunani (stadion lomba lari) dirancang dalam bentuk U,

      dengan ujung start berbentuk datar saja. Stadion-stadion ini agak bervariasi dalam panjangnya, yang di Delphi hanya di bawah 183 m dan yang di Olympia sekitar 192 m. Stadion tersebut dibangun di semua kota dimana permainan tersebut dimainkan. Beberapa, mengikuti pola teater Yunani, yang dipotong dari lereng bukit sehingga bagian kursi tepi dengan pandangan yang baik dapat terbentuk secara alami, sementara yang lain dibangun di tanah datar. Dalam kasus terakhir, daerah permainan kadang sedikit digali untuk memungkinkan tingkatan kursi yang rendah di sepanjang sisi dalam.

      PSMS

      PSMS

      VII 1964 Persija PSM Persib

      PSMS

      VIII 1965 PSM Persebaya Persib

      IX 1966 PSM Persib

      PSMS

      X 1967

      PSMS

      Persib Persebaya

      XI 1969

      Persija PSM

      XV 1977 Persebaya Persija

      XII 1971

      PSMS

      Persija PSM

      XIII 1973 Persija

      PSMS

      Persebaya

      XIV 1975 Persija / PSMS - -

    2.2.2. Stadion

    Gambar 2.1. Denah, potongan, dan foto Stadia di Olympia

      Sumber: www.worldstadiums.com

      Stadia yang dibangun diatas tanah datar dapat dijumpai di Efesus, Delphi

      dan Athena. Satu yang di Delphi hampir 183 m panjangnya dengan lebar 28 m, memiliki tepi kursi rendah sepanjang satu sisi dan di sekitar ujung melengkung, dan kursi penilai 'berada di titik tengah dari sisi panjangnya – seperti yang umum dijumpai di fasilitas modern. Stadia di Athena pertama kali dibangun pada tahun 331 SM, direkonstruksi pada tahun 160, dan direkonstruksi kembali pada tahun 1896 untuk Olimpiade modern pertama. Dalam bentuk ini masih dapat dilihat, menampung sampai dengan 50 ribu orang dalam 46 baris. Stadia sisi bukit dapat dijumpai di Olympia, Thebes dan Epidauros, dan kemiripannya dengan teater Yunani sangat jelas – teater yang memanjang menjadi tempat pementasan prestasi fisik yang spektakuler, dan akhirnya dari inilah ditarik hubungan langsung bentuk bangunan pertama amphitheater bertingkat Romawi dan yang akhirnya juga menjadi stadion modern.

    Gambar 2.2. Foto Stadia di Delphi

      Sumber: en.wikipedia.org

      Hippodrome adalah stadion untuk pacuan kuda dan kereta dengan ukuran

      sekitar 198 sampai 228 m panjangnya dan 37 m lebarnya dan juga ditata dalam bentuk U. Seperti teater Yunani, hippodrome biasanya dibuat di lereng bukit untuk membuat tingkatan tribun, dan dari inilah kemudian berkembang sirkus Romawi meskipun lebih panjang dan sempit.

    Gambar 2.3. Foto Hippodrome di Aphrodisias

      Sumber: en.wikipedia.org

    Gambar 2.4. Foto Hippodrome di Jerash

      Sumber: en.wikipedia.org

      Amphitheatre – adapun bangsa Romawi yang militerisme lebih tertarik pada

      acara publik tentang pertarungan hidup-mati daripada balap ataupun atletik, dan untuk mengakomodasi ini mereka mengembangkan bentuk amphiteater baru, yaitu arena elips yang dikelilingi di semua sisinya oleh tribun bertingkat tinggi yang memungkinkan penonton dalam jumlah besar memiliki pandangan yang jelas untuk melihat peristiwa mengerikan yang dipentaskan tersebut. Istilah 'Arena' berasal dari kata Latin, yaitu 'pasir' atau 'tanah berpasir', mengacu pada lapisan pasir yang tersebar di lapangan untuk menyerap darah yang tumpah.

      Bentuk keseluruhannya pada dasarnya adalah dua teater Yunani yang bergabung membentuk sebuah elips lengkap. Tetapi ukuran amphiteater ini kemudian bergantung pada tanah lereng alami untuk memberikan profil tribun yang diperlukan, sehingga orang-orang Romawi mulai membangun lereng buatan di sekitar pusat arena, pertama dari kayu (tidak ada lagi peninggalannya) dan mulai abad pertama Masehi, dibuat dari batu dan beton.

    Gambar 2.5. Foto Amphitheatre di Arles

      Sumber: en.wikipedia.org Contoh megah dari yang terakhir ini mungkin masih terlihat di Arles dan

      Nimes (batu) dan di Roma, Verona dan Pula (batu dan bentuk beton). Amphiteater di Arles, dibangun sekitar 46 SM, dapat menampung 21 ribu penonton dalam tiga lantai dan terlepas dari kerusakannya, lantai ketiga memegang tiang pendukung atap tenda yang saat ini masih digunakan tiap tahun dalam adu banteng. Amphiteater Nîmes berasal dari abad ke-2, lebih kecil tetapi dalam kondisi yang sangat baik dan juga digunakan secara teratur sebagai arena adu banteng. Amphiteater besar di Verona dibangun sekitar tahun 100, terkenal di dunia sebagai tempat pertunjukan opera. Awalnya berukuran 152 x 123 m keseluruhan, namun sangat sedikit yang tersisa dari lorong luar dan saat ini memiliki kursi sekitar 22 ribu. Arenanya berukuran 73 x 44 m.

    Gambar 2.6. Foto Amphitheatre di Nimes

      Sumber: en.wikipedia.org Amphiteater Flavian di Roma atau lebih dikenal sebagai Colosseum sejak abad ke-8, adalah contoh terbesar dari jenis bangunan ini dan jarang dilampaui sebagai perpaduan rasional dari teknik, teater dan seni sampai hari ini. Konstruksinya dimulai pada tahun 70 dan selesai 12 tahun kemudian, membentuk elips raksasa 189 x 155 m dan meningkat setinggi empat lantai, menampung 48 ribu orang, suatu kapasitas yang tidak dapat dilampaui sampai abad ke-20. Penonton memiliki pandangan baik ke arena elips yang berukuran kira-kira 88 x 55 m dibatasi oleh dinding 4,6 m. Ada 80 bukaan pelengkung (arch) untuk tiga lantai yang lebih rendah (dengan kolom dan entablature melingkar yang diterapkan pada dinding luar sebagai ornamen), bukaan di lantai dasar menjadi pintu masuk ke tribun.

    Gambar 2.7. Potongan dan foto Amphitheatre Colosseum di Roma

      Sumber: en.wikipedia.org Seperti teater Yunani menjadi cikal bakal amphiteater Romawi, begitu juga

      hippodrome Yunani menjadi sirkus Romawi. Ini adalah stadion pacuan kuda

      berbentuk U dengan ujung datar membentuk pintu masuk dan menampung kandang kuda dan kereta. Trek mulai dan kembali dipisahkan oleh spina – tembok rendah yang dihiasi dengan ukiran dan patung. Tribun meningkat sepanjang sisi lurus dari U dan melengkung di putaran akhir, kursi yang lebih rendah terbuat dari batu dan disediakan untuk anggota kelas atas, sedangkan kursi atas terbuat dari kayu. Salah satu peninggalan yang penting adalah Circus Maximus di Roma (abad ke-4 SM). Inilah mungkin stadion terbesar yang pernah dibangun, yaitu sekitar 660 m panjangnya dan 210 m lebarnya dan semua penonton dapat duduk untuk tiga lantai sejajar trek. Di luar Roma terdapat Hippodrome Byzantium dari abad ke-2 dan

      Hippodrome Pessimus yang unik pada waktu itu karena terdiri dari teater Yunani dan hippodrome Romawi terhubung di tengah hippodrome melalui panggung teater. Dua acara bisa dipentaskan secara terpisah di teater dan hippodrome, atau dapat digunakan dalam kombinasi untuk acara besar tunggal. Bangunan ini adalah cikal bakal yang jelas dari kompleks stadion modern multi-fungsi.

    Gambar 2.8. Denah Circus MaximusGambar 2.9. Foto Circus Maximus di Roma

      Sumber: en.wikipedia.org Setelah memasuki abad pertengahan di benua Eropa, bangunan rekreasi dan hiburan tidak begitu berkembang hingga 15 abad kedepan, begitu juga stadion.

      Akhirnya pada abad ke-19, stadion sebagai jenis bangunan bangkit kembali setelah revolusi industri, yaitu dikarenakan bangkitnya juga kembali tradisi Olimpiade. Untuk tujuan ini, stadion kuno dari tahun 331 SM digali kembali dan dipelajari oleh arsitek/ arkeolog Jerman bernama Ziller, dan akhirnya dibangun ulang dengan bentuk U memanjang gaya Yunani kuno, teras-teras marmernya dapat menampung 50 ribu penonton.

      Pada tahun 1908 pertandingan tersebut diadakan di London, stadion White

      

    City dibangun untuk itu oleh James Fulton. Stadion ini bersifat fungsional, dapat

      menampung diatas 80 ribu penonton, terbuat dari rangka baja, dan merupakan stadion modern khusus Olimpiade yang pertama. Olimpiade 1960 di Roma menandai kebiasaan baru, yaitu bukan membuat semua kegiatan terpusat pada satu lokasi, tetapi membuat rencana desentralisasi dengan stadion atletik di satu bagian kota dan fasilitas-fasilitas lainnya jauh di daerah pinggiran kota.

      Dengan Olimpiade yang diadakan setiap empat tahun hingga sekarang, hasilnya telah banyak stadion yang dapat kita jumpai dengan desainnya yang beragam sekarang ini. Seperti stadion di Tokyo tahun 1964 dengan desain atap tertutup yang khas dan struktur kabelnya. Stadion Olimpiade 1972 di Munich, Jerman dengan lanskap hijau yang unik dan atap membran tembus pandang yang membentang ke area lainnya seperti mengapung diatas taman itu.

      Seperti stadion-stadion Olimpiade diatas, stadion-stadion untuk olahraga yang spesifik pun juga berkembang seperti stadion sepak bola, rugby, american

      football, bisbol, tenis dan cricket. Stadion sepak bola banyak berkembang di Eropa

      dan Amerika Selatan karena kepopulerannya disana. Tetapi karena tradisi yang berbeda maka ini menuntun ke tipe arsitektur yang berbeda pula.

      Di Inggris, setiap stadion dimiliki oleh sebuah klub sepak bola dan hanya untuk digunakan oleh klub tersebut saja. Spesialisasi stadion untuk olahraga tunggal ini dan pemasukan yang terbatas telah membentuk tradisi ‘intimasi’ penonton yang membawa dua bentuk. Pertama, teras berdiri dimana penonton berdiri berdekatan bersama, hal ini tidak diterima lagi oleh klub-klub divisi atas dengan alasan keamanan dan akhirnya semua teras berdiri diganti dengan kursi. Kedua, stadion sepak bola Inggris telah lama dirancang dengan posisi penonton yang sangat dekat dengan lapangan. Hal ini menciptakan kontak penonton yang intim dengan permainan tetapi menyulitkan penggabungan lintasan atletik di sekeliling lapangan.

      Di negara-negara Eropa yang lain berbeda pula polanya, setiap stadion dimiliki oleh pemerintah kota dan dipakai oleh banyak klub olahraga. Klub-klub sepak bola menjalankan undian mereka sendiri, mengambil keuntungan kembali dari pertandingan tersebut. Banyak stadion dipakai oleh olahraga lainnya, khususnya atletik. Karena ini stadion-stadion Eropa pada masa itu cenderung berkeuangan lebih baik daripada Inggris, serta dirancang dan dibangun agak lebih baik. Contohnya Düsseldorf, fasilitas dua fungsi ini telah mengurangi kontak penonton – pemain karena jarak yang ditimbulkan dari lintasan atletik, tetapi kurangnya intimasi ini harus dipertimbangkan terhadap keuntungan dari penggunaan komunitas yang lebih baik.

      Sepak bola sangat populer di Amerika Selatan, disana banyak permintaan akan stadion yang sangat besar. Yang terbesar di dunia adalah stadion Maracana di Rio de Janeiro, Brasil yang mempunyai kapasitas normal 103 ribu penonton dengan 77 ribu mendapat kursi. Stadion ini memiliki salah satu dari versi modern pertama parit kering untuk memisahkan penonton dari lapangan. Parit ini berukuran lebar 2,1 m dan sedalam 1,5 m, agak lebih kecil dari standar umum, tetapi ini telah memulai tren pemisahan yang telah dipakai di seluruh dunia, seperti stadion Olimpiade Seoul tahun 1988.

      Adapun perkembangan stadion di Indonesia berawal dari kebangkitan “Sepakbola Kebangsaan” yang digerakkan oleh PSSI. Hal ini menggugah Susuhunan Paku Buwono X yang kemudian mendirikan stadion Sriwedari sebagai apresiasi. Stadion itu diresmikan pada oktober 1933. Kemudian pada februari 1960 didirikanlah stadion utama Gelora Bung Karno (SUGBK) sebagai salah satu yang terbesar, termasuk untuk acara internasional.

      Di kota Medan sendiri, stadion Teladan dibangun pada tahun 1952-1953 (8 bulan) dalam rangka menyambut PON III september 1953. Saat itu ketika PON II 1951 di Jakarta ditutup, langsung diumumkan bahwa PON III dilangsungkan di Medan. Panitia PON selanjutnya harus memikul tugas yang amat berat, karena stadion belum ada, hanya ada stadion Kebun Bunga peninggalan Belanda. Stadion ini sama sekali tidak memenuhi syarat sebagai tempat berlangsungnya pembukaan, penutupan, dan pertandingan sepak bola untuk menampung penonton dalam jumlah yang lebih besar. Akhirnya diputuskanlah untuk membangun stadion baru.

      Lokasi stadion Teladan berada diatas tanah yang cukup luas karena juga direncanakan untuk membangun sarana olahraga lainnya seperti lapangan tenis, voli, bola basket, bulu tangkis, dan lain-lain. Sayang sampai PON III berakhir, tidak satupun sarana olahraga lain dapat dibangun karena keterbatasan dana, dan tanah kosong di sekitar stadion itupun digarap oleh penduduk. Dan Sumatera Utara juga tidak pernah lagi menjadi tuan rumah PON karena persyaratan sarana yang tidak pernah terlampaui lagi.

    2.3. TINJAUAN PROYEK

      Tinjauan ini akan membahas perihal seputar lokasi dengan pertimbangan- pertimbangannya dan deskripsi umum proyek.

    2.3.1. Kriteria Lokasi Tapak Perancangan

      Adapun beberapa kriteria awal yang menjadi acuan pertimbangan lokasi tapak yang harus dipilih adalah sebagai berikut:

    Tabel 2.3. Kriteria Lokasi Tapak Perancangan Stadion No. Kriteria Penjelasan

      1 RUTRK / RTRW Poin ini harus menjadi dasar yang paling penting, karena jika RUTRK/RTRW sudah mengakomodasinya maka kesinambungan fungsi bangunan ini kedepannya dapat dipertahankan dengan baik karena banyak hal yang mendukung bangunan tersebut di lokasi tersebut, baik dari segi fungsi bangunan sekitar yang juga mendukung atau minimal tidak merugikan, adanya utilitas dan prasarana atau minimal jalur pengakomodasiannya, ketetapan peruntukannya, dan lain-lain.

    2 Lahan Luas dan kondisi eksistingnya.

      Bangunan stadion sepak bola memerlukan lahan yang cukup luas, kira-kira lebih dari 10 ha tergantung pada kelasnya (mempengaruhi kapasitas penonton dan jumlah parkirnya). Untuk proyek ini kira-kira 15-17 ha. Untuk kondisi eksistingnya diharapkan lahan tersebut berupa lahan kosong (tidak ada fungsi lain di dalamnya yang harus dipindahkan), kontur relatif datar (mengurangi biaya konstruksi), dimensi lahan agar dapat mengakomodasi orientasi bangunan, dan lain-lain yang berhubungan dengan struktur nantinya (jenis tanah, daya dukung tanah, air tanah, dll).

    3 Jalan / Sirkulasi Tingkatan jalan menurut peraturan dan juga kepadatannya.

      Fungsi stadion dengan besarnya kapasitasnya dapat membuat bangkitan kendaraan yang besar pada jalan tersebut. Hal ini tidak dapat dihindari, tetapi jika meningkat terus menerus maka dapat menyebabkan kemacetan yang dapat merugikan baik stadion maupun fungsi disekitarnya. Adapun peraturan kota nantinya dapat mengantisipasi hal ini, yaitu seperti penetapan tingkatan jalan (arteri primer/ sekunder, kolektor primer/sekunder) yang didalamnya telah diatur lebar jalan yang direncanakan dan GSB jalan tersebut walaupun belum sesuai dengan yang ada sekarang karena belum dibutuhkan, tetapi sudah mengantisipasi untuk pelebaran jalan nantinya.

      4 Pencapaian Mudah diakses dari berbagai penjuru kota. Memiliki akses jalan bebas hambatan bagi penonton yang berasal dari luar kota, bandara, dan pelabuhan. Memiliki banyak trayek angkutan umum bagi penonton yang tidak membawa kendaraan pribadi.

      5 Struktur Kota Yaitu berada di daerah pinggiran dengan kepadatan yang masih rendah dan sedikit polusi (aspek kesehatan, karena harus menampung banyak orang dalam area yang terbuka). Dan juga merupakan daerah pengembangan kota (perdagangan, pendidikan) untuk dapat menjadi subpusat kota yang baru yang dapat mengurangi penumpukan penggerak kota di daerah pusat kota. Hal ini dapat juga dipastikan didalam RTRW kota.

      6 Fungsi Sekitar Yaitu fasilitas pelayanan olahraga lainnya, pendidikan, perdagangan/komersial, dan juga kesehatan untuk mengantisipasi kecelakaan (penonton, pemain, kendaraan) pada saat hari pertandingan, juga sarana bagi perjalanan jarak jauh seperti SPBU.

      7 Utilitas Yaitu drainase kota, pedestrian, jaringan listrik, telekomunikasi, dan air. Adapun drainase di dalam tapak akan dirancang nantinya, akan tetapi drainase kota harus dapat menampung limpahannya. Pedestrian diperuntukkan bagi pengunjung di sekitar lokasi atau yang berjalan kaki. Adapun bangunan ini nantinya tidak mungkin mengandalkan jaringan listrik/telekomunikasi yang ada di atas tanah (tiang) karena besarnya pemakaiannya, sekaligus untuk membersihkan view nantinya.

    8 Pandangan / Yaitu view ke dalam dan ke luar tapak.

      View Adapun view ke dalam akan dirancang nantinya tetapi harus memiliki lahan yang cukup, sedangkan view ke luar dapat berupa vegetasi maupun bangunan tetapi harus memiliki jarak antar bangunan dan keteraturan yang baik terhadap pengaruh psikologis pengunjung.

      Sumber: Hasil olah data

    2.3.2. Analisa Pemilihan Lokasi

      Adapun dari kriteria awal diatas yang menjadi acuan pertimbangan lokasi tapak maka dapat dibuat analisa-analisa sebagai berikut:

    1. RUTRK / RTRW Kota

      Pada Perda Kota Medan no. 13 tahun 2011, tentang RTRW Kota Medan tahun 2011-2031, pasal 14 poin 6 dicantumkan berbagai subpusat pelayanan kota Medan sebagai berikut:

      a. Subpusat pelayanan kota Medan Belawan yang berfungsi sebagai pusat pelayanan transportasi laut, pusat kegiatan bongkar muat dan impor – ekspor, pusat pelayanan pertahanan keamanan, pusat kegiatan industri dan pusat kegiatan perikanan, ditetapkan di Kecamatan Medan Belawan, tepatnya di stasiun kereta api Pelabuhan Belawan Lama; b. Subpusat pelayanan kota Medan Labuhan yang berfungsi sebagai pusat kegiatan jasa dan perdagangan, pusat pelayanan transportasi, dan pusat pelayanan kesehatan, ditetapkan di Kecamatan Medan Labuhan, tepatnya di persimpangan jalan Marelan Raya dan Jalan Yos Sudarso, diantara Kelurahan Pekan Labuhan dengan Kelurahan Martubung;

      c. Subpusat pelayanan kota Medan Marelan yang berfungsi sebagai pusat kegiatan perdagangan kebutuhan pokok dan pusat kegiatan rekreasi serta wisata, ditetapkan di Kecamatan Medan Marelan, tepatnya dipersimpangan Jalan Marelan Raya dan Jalan Rahmad Budin di Kelurahan Terjun;

      d. Subpusat pelayanan kota Medan Perjuangan yang berfungsi sebagai pusat kegiatan perdagangan/bisnis dan pusat pelayanan olahraga, ditetapkan di Kecamatan Medan Tembung tepatnya disekitar aksara, meliputi Kecamatan Medan Perjuangan dan Medan Tembung; e. Subpusat pelayanan kota Medan Area yang berfungsi sebagai pusat pelayanan ekonomi dan pusat pelayanan transportasi, ditetapkan di

      Kecamatan Medan Amplas tepatnya di sekitar persimpangan terminal Amplas, Kelurahan Timbang Deli, meliputi seluruh kelurahan di Kecamatan Medan Area, Medan Kota kecuali Kelurahan Pusat Pasar, Pasar Baru dan Kelurahan Mesjid;

      f. Subpusat pelayanan kota Medan Helvetia yang berfungsi sebagai pusat pelayanan ekonomi, pusat pelayanan transportasi wilayah bagian Barat, dan pusat kegiatan sosial-budaya, serta pusat pelayanan pertahanan keamanan, ditetapkan di Kecamatan Medan Helvetia tepatnya di Jalan Asrama, antara rel Kereta Api dan Jalan Gaperta, meliputi seluruh kelurahan di Kecamatan Medan Petisah kecuali Kelurahan Petisah Tengah dan Sekip;

      g. Subpusat pelayanan kota Medan Selayang yang berfungsi sebagai pusat kegiatan perdagangan/bisnis dan pusat pendidikan, ditetapkan di Kecamatan Medan Selayang tepatnya di sekitar simpang Pemda, meliputi Kecamatan Medan Tuntungan, Kecamatan Medan Baru kecuali Kelurahan Darat dan Petisah Hulu, seluruh kelurahan di Kecamatan Medan Selayang dan Kecamatan Medan Johor; dan h. Subpusat pelayanan kota Medan Timur yang berfungsi sebagai pusat kegiatan perdagangan/bisnis, pusat pelayanan transportasi (TOD), dan pusat kegiatan sosial-budaya, serta pusat pelayanan pertahanan keamanan, ditetapkan di Kecamatan Medan Timur tepatnya disekitar jembatan layang Pulo Brayan, meliputi Kecamatan Medan Deli, seluruh kelurahan di Kecamatan Medan Timur kecuali Kelurahan Persiapan Perintis dan Gang Buntu, seluruh kelurahan di Kecamatan Medan Barat kecuali Kelurahan Kesawan dan Silalas.

      Dari peraturan diatas didapat bahwa daerah kota yang diijinkan untuk pengembangan pelayanan olahraga adalah daerah subpusat pelayanan kota Medan Perjuangan (poin d) tepatnya di Kawasan Kompleks Olahraga Pancing di Kecamatan Medan Tembung karena hanya kawasan ini yang masih dikonservasi sebagai lahan kosong di sekitar daerah ini.

      Adapun subpusat pelayanan kota Medan Marelan (poin c) yang juga dijadikan pusat kegiatan rekreasi akan diperuntukkan secara khusus untuk pengembangan Theme Park dan Natural Park yang juga tercatat dalam Perda tersebut pada pasal 45 sebagai kawasan pariwisata dan pasal 54 sebagai kawasan strategis bidang fungsi dan daya dukung lingkungan hidup.

      Karena telah tertinggal satu pilihan lokasi maka dapat ditetapkan lokasi proyek ini adalah di Kawasan Kompleks Olahraga Pancing di jalan Willem Iskandar.

    2. Lahan

      Adapun Kawasan Kompleks Olahraga Pancing ini berukuran sangat luas, yaitu sekitar 45,6 ha. Ada juga bangunan yang sudah berdiri diatasnya, yaitu Gedung Serba Guna Sumut dan tiga dinas provinsi (Dinas Pemuda dan Olahraga, Dinas Penataan Ruang dan Permukiman, dan Dinas Perkebunan), Stadion Mini Pancing, dan Sirkuit IMI Sumut. Sehingga lahan yang tersisa adalah kira-kira 15 ha.

      Jln. LPP Stadion Mini

      Sirkuit IMI Pancing

      Sumut Jln. Pasar 7

      Dinas-Dinas Provinsi

      Jln. Williem Iskandar

      Gedung Serba Guna Sumut

      Jln. Pasar 5

    Gambar 2.10. Foto Kawasan Kompleks Olahraga Pancing

      Sumber: maps.google.com

    3. Jalan / Sirkulasi

      Jalan yang berada di sekitar tapak perancangan adalah jalan Willem Iskandar sebagai jalan primer (jaringan arteri sekunder) dan jalan LPP, Pasar 5, dan jalan Pasar 7 sebagai jalan sekunder.

      Tingkatan jalan Willem Iskandar adalah jalan arteri sekunder (Perda 13/ 2011) sedangkan yang lain tidak diatur. Jalan arteri sekunder sendiri berfungsi untuk menghubungkan antar kawasan, serta didesain untuk kecepatan minimal 30 km/j dengan lebar jalan minimal 11 m (PP 34/2006). Adapun yang pernah direncanakan dalam peraturan yaitu lebar jalan minimal 33 m dan GSB 18 m (Perda RTRW 2009).

      Adapun lebar jalan yang ada sekarang ini adalah sekitar 20 m (2 x 2 lajur + bahu + pulau jalan) untuk jalan Willem Iskandar, LPP, dan Pasar 7.

      4. Pencapaian

      Lokasi ini mudah diakses dari berbagai penjuru kota, karena berada di jaringan arteri sekunder. Dapat diakses dari jalan lingkar kota (jalan Cemara – Pertahanan (fly-over) – Helvetia – Asrama – Gagak Hitam – Ngumban Surbakti) maupun dari pusat kota (jalan H. M. Yamin – Letda Sujono – Perintis Kemerdekaan). Memiliki akses jalan tol Belmera dari arah utara bagi penonton yang berasal dari luar kota, bandara, dan pelabuhan. Dan juga memiliki banyak trayek angkutan umum bagi penonton yang tidak membawa kendaraan pribadi (

      PT. Mars, KPUM, CV. Mitra Transport, PT. Povri, CV. Kobun, PT. Rahayu Medan Ceria, CV. Laju Deli Sejahtera, CV. Medan Bus, FA. Mekar Jaya).

      5. Struktur Kota

      Lokasi ini berada di Kecamatan Medan Tembung – daerah pinggiran dan pengembangan subpusat kota, dengan tingkat polusi rendah ke menengah. Adapun kepadatan blok-blok kota di sekitar lokasi masih kecil karena didominasi oleh bangunan pendidikan. Blok-blok Kecamatan Medan Tembung yang padat adalah yang mengarah ke pusat kota.

      6. Fungsi Sekitar

      Fungsi eksisting di sekitar lokasi adalah pelayanan olahraga dan kelembagaannya (GSG Sumut, Stadion Mini, Sirkuit, KONI Sumut, Disporasu), pendidikan (Unimed, dll), komersial, kesehatan (RS. Haji Medan), dan juga SPBU di jalan Cemara.

      7. Utilitas Terdapat drainase kota di sekeliling lokasi dan pedestrian yang cukup lebar.

      Adapun jaringan listrik dan telekomunikasi harus mengandalkan sambungan khusus bawah tanah, karena jaringan tiang yang diatas adalah untuk memenuhi kebutuhan bangunan kecil. Jaringan ini sendiri termasuk air bersih dapat dibuktikan dengan adanya Gedung Serba Guna (GSG) Sumut yang juga merupakan bangunan besar.

    8. Pandangan / View

      View ke dalam akan dirancang kemudian, sedangkan view ke luar masih terhitung baik karena fungsi di sekitar didominasi oleh bangunan pendidikan yang memiliki kepadatan rendah dan vegetasi cukup banyak, tetapi ada juga dijumpai pertokoan dan hunian berderet di beberapa sisi.

    Tabel 2.4. Penilaian Lokasi Tapak Perancangan Stadion No. Kriteria Penilaian

      1 RUTRK / Sesuai

      RTRW

      2 Lahan Luas mencukupi (15 ha), kontur datar, dimensi lahan dapat mengakomodasi orientasi utara-selatan

      3 Jalan / Jaringan arteri sekunder (lebar 20 m, rencana 33 m), Sirkulasi kepadatan sedang – tinggi

      4 Pencapaian Baik Dapat dari pusat kota (jln. H. M. Yamin), dari ringroad (jln.

      Cemara), dan dari luar kota (jalan tol Belmera)

      5 Struktur Kota Baik Daerah tepi kota, daerah pengembangan subpusat kota

      6 Fungsi Sekitar Sesuai Pelayanan olahraga dan kelembagaannya, pendidikan, komersial, kesehatan, SPBU

      7 Utilitas Baik Drainase kota, pedestrian, jaringan listrik, telekomunikasi, air

      8 Pandangan / Baik View Kepadatan rendah dengan banyak vegetasi

      Sumber: Hasil olah data Dari penilaian diatas tepatlah bila lokasi perencanaan proyek ini adalah di

      Kawasan Kompleks Olahraga Pancing, jalan Willem Iskandar, Kelurahan Sidorejo, Kecamatan Medan Tembung.

    2.3.3. Deskripsi Umum Proyek

      Judul Proyek : Stadion Sepakbola Medan Tema : Arsitektur High Tech Status Proyek : Fiktif Fungsi : Pelayanan Olahraga, Rekreasi Luas Lahan : ± 15 Ha Pemilik : Pemerintah Wilayah : Kota Medan Kecamatan : Medan Tembung Lokasi Tapak : Kawasan Kompleks Olahraga Pancing, jln. Willem Iskandar Batas-Batas -Utara : Sirkuit IMI Sumut, Lembaga Pendidikan Perkebunan

    • Selatan : jln. Pasar 5, pertokoan
    • Timur : Unimed, jln. Pasar 7
    • Barat : jln. Willem Iskandar, GSG Sumut, Disporasu

    2.4. TINJAUAN FUNGSI

      Adapun tinjauan ini berisi penjelasan tentang semua pengguna bangunan dan kegiatan yang terjadi di dalamnya, sehingga memunculkan kebutuhan ruang dengan persyaratan-persyaratannya masing-masing.

    2.4.1. Deskripsi Pengguna dan Kegiatan

      Deskripsi yang dijelaskan disini dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu deskripsi kegiatan dari sisi pengguna dan dari sisi kategori fungsi. Adapun pengguna bangunan dapat dikelompokkan menjadi: penonton umum, penonton VIP, penonton VVIP, penonton penyandang cacat, pemain, pelatih dan manajemen klub, petugas/ofisial pertandingan, perwakilan asosiasi sepak bola, media, dan pengelola/servis.

      Sedangkan kategori fungsi dapat dibedakan menjadi: area pintu, area permainan, area kompetisi, area publik, area VIP/VVIP, area media, area pengelola, dan parkir/transportasi.

    2.4.1.1. Deskripsi Kegiatan Berdasarkan Pengguna

      1. Penonton Umum

      Penonton umum adalah penonton yang tidak membutuhkan/memiliki pelayanan khusus untuk menonton pertandingan. datang tiket + menonton pemeriksaan

      (tribun) pulang parkir sakit toilet makan/ belanja minum

      parkir / transportasi area pintu area publik

      Diagram 2.1. Diagram Kegiatan Penonton Umum

      2. Penonton VIP

      Penonton VIP adalah penonton yang memiliki pelayanan khusus untuk menonton pertandingan bahkan untuk urusan tertentu. Didalamnya sudah termasuk penonton VIP penyandang cacat. wawancara sakit datang hal privat + resepsionis + menonton menonton pemeriksaan

      (tribun) pulang (lounge) antar/ jemput toilet makan/ minum parkir

      parkir (khusus) area VIP area umum VIP

      Diagram 2.2. Diagram Kegiatan Penonton VIP

      3. Penonton VVIP

      Penonton VVIP adalah penonton yang memiliki pelayanan lebih khusus untuk menonton pertandingan bahkan untuk urusan tertentu. Didalamnya sudah termasuk penonton VVIP penyandang cacat. hal lebih privat wawancara sakit datang hal privat + resepsionis + menonton menonton pemeriksaan

      (tribun) pulang (lounge) antar/ jemput toilet makan/ lapangan minum parkir

      parkir (khusus) area umum VVIP area VVIP

      Diagram 2.3. Diagram Kegiatan Penonton VVIP

      4. Penonton Penyandang Cacat

      Penonton penyandang cacat adalah penonton umum yang memiliki kebutuhan khusus untuk menonton pertandingan karena menyandang cacat. Penonton tipe ini harus memiliki pendamping selama di dalam stadion untuk melayani kebutuhannya. menonton datang tiket +

      (tribun khusus) pemeriksaan pulang parkir sakit toilet makan/ belanja minum

      area pintu parkir (khusus) area publik (layanan khusus) (khusus)

      Diagram 2.4. Diagram Kegiatan Penonton Penyandang Cacat Selain penyandang cacat berkursi roda, ada juga penyandang cacat lainnya, yaitu tunanetra. Mereka tidak memerlukan fasilitas khusus, tetapi cukup didampingi dan ditempatkan dekat dengan komentator agar memahami pertandingan dengan baik.

      5. Pemain

      Pemain adalah orang dari tim/klub sepak bola yang menjadi objek utama acara pertandingan. Mereka membutuhkan fasilitas yang baik agar permainan mereka dapat menjadi maksimal.

      area kompetisi

      mandi pemanasan pijat /toilet persiapan

      lorong pemain

      datang bertanding antar

      (darurat) sakit periksa pulang doping

      tim lawan

      jemput

      (sama)

      konferensi wawancara /siaran singkat

      area pintu area permainan area media

      (khusus)

      Diagram 2.5. Diagram Kegiatan Pemain Tiap Tim

      6. Pelatih dan Manajemen Klub

      Pelatih dan manajemen klub adalah orang yang juga berasal dari tim/ klub sepak bola tersebut, bukan untuk menjadi objek utama pertandingan, tetapi untuk mendampingi tim mereka.

      area kompetisi

      toilet ruang pemain mendampingi bekerja datang antar tim

      /pertemuan /parkir pulang jemput konferensi wawancara

      /parkir /siaran singkat

      area pintu area permainan area media

      (khusus)

      Diagram 2.6. Diagram Kegiatan Pelatih dan Manajemen Klub

      7. Petugas / Ofisial Pertandingan