UNITED CULTURE ALA CINTA LAURA SEKOLAH
Sekolah
Internasional,
Identitas dan
Postmodernisme
Tugas Akhir Filsafat
Gita Widya Laksmini NPM 0806 437374
PROGRAM MAGISTER PROFESI PENDIDIKAN KELAS B FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK 2008
BAB I PENDAHULUAN
Cinta Laura Kiehl
Siapa gerangan Cinta Laura dan mengapa ia sampai dibahas dalam tulisan ini? Cinta Laura Kiehl, putri pasangan Michael Kiehl asal Jerman dan Herdiana asal Indonesia dan lahir di Jerman tanggal 17 Agustus 1993, adalah seorang pemain sinetron dan penyanyi (Wikipedia, Cinta Laura, 2008). Yang membedakan Cinta Laura dengan pemain sinetron lain adalah kemampuannya berbahasa Indonesia. Di usia 13 tahun, pada saat ia mulai main sinetron stripping (sinetron yang tayang tiap hari), ia baru belajar berbahasa Indonesia (Kompas, 20 Juli 2008).
Akibat belajar kilat, gaya bicara Cinta Laura agak cadel kebule-bulean. Gaya bahasa inilah yang membuat dirinya berbeda dan menjadi perhatian. Kata- kata ya Udah hujyan, ga ada oujyek, bechyek ... laris dijadikan ring back tone (nada sambung telpon Akibat belajar kilat, gaya bicara Cinta Laura agak cadel kebule-bulean. Gaya bahasa inilah yang membuat dirinya berbeda dan menjadi perhatian. Kata- kata ya Udah hujyan, ga ada oujyek, bechyek ... laris dijadikan ring back tone (nada sambung telpon
Hati-hati Pejalan Kaki ala Cinta Laura
Anda Hanya Hidup Satu Kali Saja Jadi Berhati-hatilah ala Cinta Laura
Hati-hati Jalan Becek ala Cinta Laura
Apa yang membuat Cinta Laura, anak dari seorang ibu berkebangsaan Indonesia tulen dan tinggal di Bogor ini, sampai tidak bisa berbahasa Indonesia? Salah satu dari banyak penyebab adalah karena Cinta Laura bersekolah di sekolah internasional.
Tulisan ini bertujuan untuk mengupas tentang sekolah internasional dengan mengaitkannya pada persoalan identitas – khususnya lewat bahasa. Topik ini dipilih karena penulis mengambil kekhususan di bidang Psikologi Pendidikan. Sesuai dengan penugasan mata kuliah ini, tulisan ini menggunakan kacamata postmodernisme dalam membahas fenomena di atas.
Adapun sistematika yang digunakan dalam tulisan ini adalah sebagai berikut. Yang pertama dibahas adalah tentang apa itu postmodernisme. Penjelasan tersebut akan diikuti dengan bagaimana postmodernisme memandang tentang persoalan identitas. Tulisan ini akan dilanjutkan mengaitkan pembahasan tersebut dengan sekolah internasional dan menggunakan Cinta Laura sebagai sebuah studi kasus. Terakhir, sebelum Daftar Pustaka, tulisan ini akan ditutup dengan Kesimpulan.
BAB 2 POSTMODERNISME
Cinta Laura Kiehl
Bagian ini akan menerangkan tentang postmodernisme. Sistematika penulisan yang digunakan adalah sebagai berikut. Bagian pertama menelusuri munculnya istilah postmodernisme. Bagian ini akan dilanjutkan dengan tinjauan terhadap postmodernisme sebagai sebuah aliran filsafat, dengan mengacu pada pemikiran Jean- François Lyotard khususnya soal narasi besar (grand narrative). Penjelasan tentang postmodernisme ini dilanjutkan dengan melihat kebingungan yang terkait erat dengan postmodernisme, dimana di dalam bagian ini penulis menyertakan penggolongan postmodernisme menggunakan pandangan Rosenau.
2.1. Munculnya Postmodernisme
Apa yang dimaksud dengan postmodernisme? Untuk mengupas ini, kita perlu untuk terlebih dahulu mengetahui apa yang dimaksud dengan modernisme. Secara umum, modernisme dianggap lahir dengan Renaisans dari apa yang disebut sebagai jaman kuno (Antiquity) (Sarup, 2008). Modernisme adalah rangkaian sistem sosial, ekonomi dan politik yang muncul di Barat kurang lebih sejak abat ke-18. Rangkaian sistem inilah yang kemudian melahirkan negara-negara industri kapitalis modern.
Lalu apakah itu postmodernisme? Dari segi asal usul kata posmodernisme, Maulana (dalam Ritzer, 2008) juga Hassan dan Jenks (dalam Sugiharto, 1996) menyebut bahwa istilah tersebut pertama kali digunakan oleh Federico de Oniz pada tahun 1930-an dalam bukunya yang berjudul Antologia de la Poesia Espanola a Hispanoamericana untuk menunjukkan reaksi yang muncul dari dalam modernisme. Menurut de Oniz, postmodernisme adalah periode pendek yang mengindikasikan reaksi kecil atas modernisme di bidang sastra antara tahun 1905-1914, yang juga disebut sebagai
periode i ter ezzo atau perte gahan.
Istilah postmodernisme ini juga kemudian muncul dalam bidang historiografi oleh ahli sejarah Arnold Toynbee dalam bukunya A Study of History (1947). Bagi Toynbee, pengertian postmodern adalah masa yang ditandai dengan perang, gejolak sosial, revolusi yang menimbulkan anarki, runtuhnya rasionalisme dan etos pencerahan. Hal ini dipakainya untuk menyebut tahap kontemporer dari kebudayaan Barat yang ditandai dengan adanya peralihan politik pada pola pemikiran negara nasional ke interaksi global.
Pada tahun yang sama pula, 1947, istilah postmodernisme juga dipakai oleh Rudolf Panwitz dalam buku Die Krisis de Europaischen Kultur yang isinya membahas
a usia a usia
Kemudian pada tahun 1957, Peter Drucker dalam buku The Landmarks of Tomorrow dengan subjudul Laporan tentang Dunia Pascamodern, juga memperkenalkan pengertian baru tentang gejala postmodern dalam perkembangan ekonomi. Postmodernisme menurut Drucker sama artinya dengan pasca-industri atau pasca- kapitalis dan revolusi gelombang ketiga. Sampai pada tahun ini, pengertian postmodern masih serba kabur dan ambigu.
Tulisan Leslie Fiedler pada tahun 1965 mulai memperjelas istilah postmodernisme. Ia mengkritisi modernisme dengan rasionalisme yang menyertainya dan humanisme liberalnya. Fiedler menyebut bahwa masyarakat mengalami kematian modernitas. Kelahiran postmodernisme ia cirikan sebagai antirasionalitas, romantisisme dan sentimentalitas. Dalam tulisannya, Fieldler menekankan pentingnya hal yang lokal dan tribal sebagai wujud perlawanan terhadap esensi penekanan dan keterbatasn makna. Tulisannya menunjukkan kecendungan anarkis namun kreatif yang melepaskan diri dari ortodoksi dan represi puritan, ini yang kemudian disebut-sebut sebagai ciri-ciri kebudayaan postmodern.
Di pertengahan tahun 1970-an, Ihab Hassan memproklamirkan dirinya sebagai pembicara utama postmodernisme dalam esainya POSTmodernISM: A Practical Bibliography dan menerapkan label tersebut pada eksperimentalisme seni dan kecenderungan ultra-teknologi dalam arsitektur. Menurut Ritzer (2008), postmodernisme berkembang biak begitu cepat dan menjadi semakin jelas pada periode tahun 1970-an ini.
Istilah postmodernisme kemudian menjadi lebih populer lagi ketika digunakan oleh para seniman, penulis dan kritikus dan lewat diskusi sastra pada tahun 1960-an di New York Istilah postmodernisme kemudian menjadi lebih populer lagi ketika digunakan oleh para seniman, penulis dan kritikus dan lewat diskusi sastra pada tahun 1960-an di New York
Di benua Eropa postmodernisme tampil pada tahun 1975 dalam arsitektur lewat karya Charles Jenks yang menyebut bahwa arsitektur postmodern mewakili sifat pluralitas kebahasaan. Postmodernisme kemudian digunakan dalam konteks yang lebih luas lagi di bidang arsitektur, seni visual, seni pertunjukan juga musik pada tahun 1980-an.
Magnis Suseno (1996) dalam Magnis Suseno (2005) juga menyebutkan bahwa postmodernisme berasal dari wilayah seni: musik, seni rupa, roman dan novel, drama, fotografi, arsitektur dan dari situlah merembet menjadi istilah mode yang dipakai oleh beberapa wakil dari beberapa ilmu. Sampai akhirnya istilah postmodernisme dipakai oleh seorang filsuf Perancis Jean-François Lyotard. Lyotardlah yang kemudian memasukkan postmodernisme ke dalam kawasan filsafat kemudian diperjualbelikan
se agai se uah is e aru.
2.2. Postmodernisme dalam Filsafat
Di bidang filsafat, menurut Sugiharto (1996) dan Ritzer (2008), istilah postmodern diperkenalkan oleh Jean-François Lyotard dalam tulisannya yang berjudul The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (La Condition Post-Modern: Raport Sur le Savoir) yang terbit dalam bahasa Inggris pada tahun 1979 dan sejak itu menjadi locus classicus dalam diskusi-diskusi tentang postmodernisme di bidang filsafat ini. Ritzer (2008) menyebut bahwa tulisan yang Lyotard buat sebagai laporan kepada Dewan Universitas Quebec di Kanada ini mengungkapkan berbagai fenomena postmodern yang Di bidang filsafat, menurut Sugiharto (1996) dan Ritzer (2008), istilah postmodern diperkenalkan oleh Jean-François Lyotard dalam tulisannya yang berjudul The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (La Condition Post-Modern: Raport Sur le Savoir) yang terbit dalam bahasa Inggris pada tahun 1979 dan sejak itu menjadi locus classicus dalam diskusi-diskusi tentang postmodernisme di bidang filsafat ini. Ritzer (2008) menyebut bahwa tulisan yang Lyotard buat sebagai laporan kepada Dewan Universitas Quebec di Kanada ini mengungkapkan berbagai fenomena postmodern yang
Pemikiran Lyotard dalam buku tersebut secara umum berkisar tentang posisi pengetahuan. Buku ini membahas bahwa selama empat puluh tahun terakhir proyek modernitas lewat perkembangan ilmu dan teknologi telah gagal membebaskan manusia dari belenggu dogmatisme (Munir, 2008). Secara khusus ia mengupas tentang bagaimana il u dilegiti asika elalui apa ya g ia se ut se agai arasi esar grand narrative) atau metanarasi tentang kebebasan, kemajuan dan emansipasi.
Awalnya, istilah narasi lebih dikenal sebagai terminologi kesusasteraan yang kurang lebih artinya adalah cerita, seperti misalnya novel, dongeng atau mitos (Piliang dalam Narasi Postmodernisme: Menuju Titik Balik Peradaban Modern, 2004). Akan tetapi Lyotard menggunakan istilah ini dalam konteks epistemologis yang luas, yaitu sebagai narasi kehidupan. Melalui narasi kehidupan ini, manusia merangkai konsep, memahami kehidupan dan memaknai realitas.
Narasi merupakan cara bagaimana dunia direpresentasikan ke dalam berbagai konsep, ide, gagasan serta cerita. Untuk memahami narasi diperlukan upaya-upaya interpretasi. Narasi memampukan setiap orang untuk mendapatkan pandangan global dan sinkronis tentang kehidupan. Narasi juga membentuk kesadaran kolektif (collective consciousness) dan melalui narasi ini terungkapkan kontradiksi-kontradiksi di dalam masyarakat.
Salah satu contoh narasi adalah Marxisme. Marxisme melukiskan tentang penyadaran kolektif mengenai dunia alienasi dan mistifikasi yang terjadi di dalam kapitalisme dalam rangka membangun sebuah cerita besar masyarakat tanpa kelas di masa depan. Marxisme kemudian menjelma menjadi sebuah narasi besar ketika di dalam alam Salah satu contoh narasi adalah Marxisme. Marxisme melukiskan tentang penyadaran kolektif mengenai dunia alienasi dan mistifikasi yang terjadi di dalam kapitalisme dalam rangka membangun sebuah cerita besar masyarakat tanpa kelas di masa depan. Marxisme kemudian menjelma menjadi sebuah narasi besar ketika di dalam alam
Piliang (2004) dalam tulisannya tersebut menjelaskan bahwa peradaban modern ini dibangun di atas fondasi narasi-narasi besar tersebut – baik pada tingkat epistemologi (misalnya Rasio, Universalitas, Episteme, Logos dan Spirit), metodologi, ideologi (seperti Imperialisme, Kapitalisme, Komunisme dan Fasisme), sosiologi, ekonomi, bahasa, kultural (contohnya Patriarki, Etnosentrisme, Rasisme dan Orientalisme) sampai ke seni. Peradaban tersebut dibangun berdasarkan klaim-klaim universal (seperti tentang manusia, hukum, bahasa, hak asasi, manajemen, nilai, dan sebagainya) dan rasionalitas (contohnya mengenai ekonomi, budaya, moral dan lain-lain).
Klaim-klaim tersebut dapat menciptakan sebuah peradaban yang secara ideologis bertumpu dengan sangat kuat pada mekanisme oposisi biner (binary opposition) seperti rasional/irasional, Barat/Timur, dunia pertama/dunia ketiga dan perempuan/laki-laki. Klaim-klaim inilah yang kemudian melahirkan Etnosentrisme, Eurosentrisme, Orientalisme dan Rasisme: yaitu bahwa manusia dan peradaban Barat – dengan segala superioritas pikiran, akal budi, intelektualitas, ideologi dan budaya – adalah pusat dari perubahan dunia. Manusia dan peradaban Baratlah yang mempunyai otoritas untuk membuat sebuah cerita besar dunia. Sementara manusia-manusia lain berada pada batas terluar dari peradaban yang progresif tersebut.
Klaim-klaim akan narasi besar tersebut mulai tumbuh pada abad kelimabelas dan tujuh belas, yaitu ketika konsep manusia yang otonom dan berkesadaran sendiri (self- conscious) tumbuh di Barat. Manusia seperti ini mempunyai kapasitas untuk mengetahui dunia, skeptis terhadap ortodoksi, memberontak terhadap otoritas, bertanggung jawab terhadap keyakinan dan tindakannya, terobsesi dengan masa depan, bangga akan kemanusiaannya, sadar akan perbedaannya dengan alam, sadar akan kekuatan daya ciptanya, yakin akan kekuasaannya atas alam dan tidak terlalu Klaim-klaim akan narasi besar tersebut mulai tumbuh pada abad kelimabelas dan tujuh belas, yaitu ketika konsep manusia yang otonom dan berkesadaran sendiri (self- conscious) tumbuh di Barat. Manusia seperti ini mempunyai kapasitas untuk mengetahui dunia, skeptis terhadap ortodoksi, memberontak terhadap otoritas, bertanggung jawab terhadap keyakinan dan tindakannya, terobsesi dengan masa depan, bangga akan kemanusiaannya, sadar akan perbedaannya dengan alam, sadar akan kekuatan daya ciptanya, yakin akan kekuasaannya atas alam dan tidak terlalu
Piliang (2004) melanjutkan bahwa klaim-klaim universalitas, rasionalitas dan superioritas filsafat di atas kemudian menuntut adanya narasi-narasi besar pada tingkat ideologi politik, ekonomi dan kultural dalam mengelola manusia. Maka berkembangkan berbagai macam ideologi besar yang dianggap mampu mengelola kemajuan dan masa depan seperti fasisme, kapitalisme dan komunisme.
Menentang narasi-narasi besar tersebut, Lyotard menyebut bahwa postmodernisme ia artikan sebagai ketidakpercayaan terhadap segala bentuk narasi besar, penolakan filsafat metafisis, filsafat sejarah dan segala bentuk pemikiran yang mentotalisasi seperti Hegelianisme, Liberalisme, Marxisme atau apapun. Menurut Lyotard, narasi-narasi besar ini mengalami nasib serupa dengan narasi-narasi besar yang telah ada sebelumnya yaitu religi dan keyakinan akan keunggulan bangsa Barat. Akibatnya, narasi-narasi besar tersebut menjadi serba tidak mungkin, tidak masuk di akal dan sangat sulit untuk dipercaya. Dengan kata lain, narasi-narasi besar tersebut menjadi mitos (Munir, 2008).
Piliang dalam tulisannya bertajuk Merampungkan Proyek Modernitas: Habermas, Modernitas dan Posmodernitas (dalam Piliang, 2004) menjelaskan bahwa postmodernisme mengambil sikap untuk menolak segala bentuk narasi yang mempunyai klaim-klaim universalitas, rasionalitas dan sentralitas. Postmodernisme Lyotard rumuskan sebagai suatu periode dimana segala sesuatu tersebut didelegitimasikan. Menurut Lyotard, postmodernisme adalah sebuah upaya yang tak ada henti-hentinya untuk mencari kebaruan, melakukan eksperimentasi dan mencanangkan revolusi kehidupan secara terus menerus.
Dalam Narasi Postmodernisme: Menuju Titik Balik Peradaban Modern, Piliang (dalam Piliang, 2004) menegaskan bahwa dengan adanya kemunculan gelombang postmodernisme, terjadilah sebuah titik balik. Pada titik balik ini, klaim-klaim universalisme, humanisme, rasionalisme, fondasionalisme yang membangun ideologi peradaban modern menjadi kehilangan kekuatan, daya kritis dan legitimasinya. Pada titik balik ini ditawarkan klaim-klaim baru tentang pluralisme, relativisme, lokalisme, indeterminisme dan antifondasionalisme. Dengan kata lain, postmodernisme secara tegas
e olak arasi esar grand narrative de i arasi ke il little narrative).
Maka berkembangbiaklah hutan rimba ideologi-ideologi kecil dan bermunculanlah berbagai bentuk ideologi dengan bermacam ragam keyakinan, kecenderungan, tujuan dan strategi yang bahkan saling bertentangan satu dengan lainnya. Dalam Postmodernisme dan Kita: Identitas dalam Dekonstruksi Kebudayaan (2004), Piliang menyebutkan bahwa tak ada lagi pemisahan besar dalam budaya. Yang kini ada hanyalah fragmentasi budaya, yang sekarang terpecah-pecah menjadi fragmen-fragmen kultural yang kecil, banyak, beragam juga kompleks.
Dalam menganalisis kondisi masyarakat postmodernisme, Lyotard menggunakan apa yang disebut sebagai permainan bahasa (language game). Lyotard berpendapat bahwa setiap pengetahuan selalu diwarnai oleh permainan bahasa masing-masing. Permainan bahasa ini kemudian membuka perspektif kesadaran untuk menerima realitas yang serba plural. Heterogenitas menjadi kunci menuju postmodernisme. Kebenaran pun tak lagi bersifat mutlak. Kebenaran menjadi interpretatif, bersifat plural dan oleh karena itu, lebih tepat untuk dise ut se agai ke e ara hipotetis.
Piliang dalam Narasi Postmodernisme (2004) menegaskan bahwa postmodernisme berarti menghargai narasi-narasi kecil tersebut. Postmodernisme mengejawatah melalui penghargaan atas permainan bahasa yang bersifat heterogen, yang dimainkan di dalam Piliang dalam Narasi Postmodernisme (2004) menegaskan bahwa postmodernisme berarti menghargai narasi-narasi kecil tersebut. Postmodernisme mengejawatah melalui penghargaan atas permainan bahasa yang bersifat heterogen, yang dimainkan di dalam
Seraya menolak pemikiran yang totaliter, postmodernisme menghaluskan kepekaan terhadap perbedaan dan memperkuat kemampuan toleransi kita terhadap kenyataan yang tidak terukur. Maulana dalam Ritzer (2008) menyebut bahwa postmodernisme adalah sebuah gerakan global pencerahan atas pencerahan.
Menurut Magnis Suseno (2000) dalam Magnis Suseno (2005), oleh Lyotard, postmodernisme didudukkan sebagai sebuah perlawanan melawan pemikiran totaliter dan filsafat identitas. Lyotard memandang semua usaha untuk menetapkan pemikiran secara universal termasuk narasi-narasi besar khas modernitas sebagai memperkosa kekhasan sekian banyak narasi-narasi kecil. Postmodernisme curiga terhadap prinsip- prinsip universal sebagai sarana dominasi atau kediktatoran pemaknaan yang menindas makna-makna nyata pada masing-masing komunitas. Narasi-narasi kecil tersebut dibungkam dan ditimbun oleh cerita besar teori, ideologi atau prinsip-prinsip etika modernitas sehingga mengancam identitas rohani komunitas. Narasi besar dikhawatirkan menjadi sarana dominasi totaliter kemaknaan dan dengan demikian, martabat manusia terancam.
Lyotard memandang postmodernisme sebagai keberpihakan pada kekhasan dan keunikan masing-masing komunitas melawan prinsip-prinsip besar yang dianggap sebagai biang keladi, atau sekurang-kurangnya salah satu biang keladi, keterancaman manusia. Postmodernisme menolak klaim prinsip-prinsip universal dan menegaskan hak-hak masing-masing komunitas atas cerita kecil mereka masing-masing. Postmodernisme peka terhadap narasi-narasi kecil yang dimiliki oleh komunitas- komunitas manusia yang ada di mana-mana yang merupakan wahana tradisi nilai-nilai dan menjadi lumbung pemaknaan kehidupan komunitas tersebut.
Dengan demikian, postmodernisme diharapkan menjadi pemikiran antitotaliter yang membebaskan manusia dari totalitarisme makna, yang dipandang sebagai penindasan paling buruk terhadap martabat manusia sebagai mahluk yang memahami dan bertanggung jawab sendiri. Menggunakan pandangan semacam ini, Lyotard membawa istilah postmodernisme ke dalam medan diskusi yang lebih luas lagi. Postmodernisme pun ditempatkan dalam bidang filsafat sebagai segala bentuk refleksi kritis atas paradigma-paradigma modern dan atas metafisika pada umumnya.
2.3. Kebingungan tentang Postmodernisme
Lalu apa definisi postmodernisme itu? Judith Butler (1995, dalam Ritzer, 2008) mengatakan bahwa baik kalangan modernis maupun postmodernis acap kali berucap,
“aya tidak tahu apa itu post oder is e. Kamus The Modern Day Dictionary of Received Ideas eru uska post oder is e se agai kata ya g tak pu ya arti, gu aka saja seseri g u gki “ugiharto,
. Sementara Herbert W. Simons
e ye ut, Ala pikira post oder e gutuk apapu tetapi tidak mengusulkan apapu . dala Pilia g, Hipermodernitas atau Akhir dari Posmodernitas, 2004).
Hal ini menyiratkan bahwa ada ambiguitas besar dan kontroversial pada apa yang dimaksud dengan postmodernisme. Sugiharto (1996) menyebut bahwa memang postmodernisme adalah istilah yang sangat kontroversial. Istilah postmodern telah digunakan dalam begitu banyak bidang dengan meriah dan hiruk pikuk. Piliang dalam Narasi Postmodernisme: Menuju Titik Balik Peradaban Modern (2004) menjelaskan postmodernisme sebagai sebuah istilah yang menunjuk pada berbagai pengertian, berbagai definisi, berbagai versi, berbagai disiplin, berbagai objek, berbagai ideologi, berbagai strategi, berbagai sistem – singkatnya berbagai hal. Tidak ada satu pengertian, satu produk, satu teks atau satu ideologi posmodernisme, yang ada hanyalah pengertian-pengertian, bentuk-bentuk, teks-teks dan ideologi-ideologi. Piliang dalam tulisan yang sama (2004) menyebutkan di dalam postmodernisme bahwa ada kelompok Hal ini menyiratkan bahwa ada ambiguitas besar dan kontroversial pada apa yang dimaksud dengan postmodernisme. Sugiharto (1996) menyebut bahwa memang postmodernisme adalah istilah yang sangat kontroversial. Istilah postmodern telah digunakan dalam begitu banyak bidang dengan meriah dan hiruk pikuk. Piliang dalam Narasi Postmodernisme: Menuju Titik Balik Peradaban Modern (2004) menjelaskan postmodernisme sebagai sebuah istilah yang menunjuk pada berbagai pengertian, berbagai definisi, berbagai versi, berbagai disiplin, berbagai objek, berbagai ideologi, berbagai strategi, berbagai sistem – singkatnya berbagai hal. Tidak ada satu pengertian, satu produk, satu teks atau satu ideologi posmodernisme, yang ada hanyalah pengertian-pengertian, bentuk-bentuk, teks-teks dan ideologi-ideologi. Piliang dalam tulisan yang sama (2004) menyebutkan di dalam postmodernisme bahwa ada kelompok
Apa yang dibentuk oleh postmodernisme adalah kondisi fragmentasi ideologis yang radikal. Di dalam postmodernisme tersebut, proses pencarian fondasi bersama, determinisme atau konsensus-konsensus ideologis tampaknya mustahil untuk dilakukan. Sebagai akibatnya, yang ada adalah sebuah rimba raya ideologi, yang di dalamnya setiap orang sibuk membangun tempat berteduhnya masing-masing, tanpa perlu merancang bersama-sama sebuah rencana induk (Piliang, 2004).
Hal ini menyebabkan apa yang Taufik dalam Ritzer (2008) deskripsikan dengan ilustrasi berikut ini. Sekonyong-konyong postmodernisme tiba dan mengocar-kacirkan para intelektual, para seniman dan pengusaha-pengusaha kebudayaan yang terperangah dan bimbang apakah mereka harus menaiki gerbong dan menikmati karnaval atau berdiam diri di luar garis batas sampai mode baru ini lenyap, begitu kira-kira celotahan Douglas Kellner (1989).
Taufik dalam Ritzer (2008) lebih lanjut menjelaskan bahwa kemeriahan ini menyebabkan setiap referensi kepadanya mengandung risiko dicap ikut mengabadikan mode intelektual yang dangkal. Istilah ini kerap digunakan dengan cara sinis dan berolok-olok, baik di bidang seni maupun filsafat, karena dianggap sebagai sekedar mode intelektual yang kosong atau sekedar refleksi yang bersifat reaksioner belaka atas perubahan- perubahan sosial yang kini sedang berlangsung.
Sementara itu di sisi lain, kenyataan menunjukkan bahwa istilah itu telah memikat minat masyarakat luas bahkan hingga ke luar dunia akademik. Keluasan wilayah di mana istilah postmodernisme digunakan saja cukup mencengangkan. Istilah itu digunakan di bidang musik, seni rupa, fiksi, film, drama, fotografi, arsitektur, kritik sastra, antropologi, Sementara itu di sisi lain, kenyataan menunjukkan bahwa istilah itu telah memikat minat masyarakat luas bahkan hingga ke luar dunia akademik. Keluasan wilayah di mana istilah postmodernisme digunakan saja cukup mencengangkan. Istilah itu digunakan di bidang musik, seni rupa, fiksi, film, drama, fotografi, arsitektur, kritik sastra, antropologi,
Jadi di satu sisi, postmodernisme begitu memikat dan pengaruhnya menjalar kemana- mana. Sedangkan di sisi lain, terdapat kebingungan tentang apa itu postmodernisme. Menurut Magnis-Suseno (1996) dalam Magnis Suseno (2005) kebingungan tentang istilah post oder is e adalah aki at akhira -is e ya. Post odernisme menjadi
membingungkan karena memberikan kesan bahwa kita berhadapan dengan sebuah aliran atau paham tertentu, seperti Marxisme, eksistensialisme, idealisme dan lain-lain. Padahal menurutnya, postmodernisme lebih merupakan sebuah suasana, sebuah naluri, sebuah kecenderungan daripada sebuah pikiran eksplisit. Istilah postmodernisme menurut pandangan Magnis Suseno ini digunakan supaya ada payung konseptual untuk melihat kesamaan yang ada di antara banyak pendekatan-pendekatan yang ditawarkan. Kesamaan tersebut adalah adanya penolakan terhadap kediktatoran pemikiran dalam konsep-konsep yang lalu.
M e urut “ugiharto , a ala post pada post oder is e juga menimbulkan
a yak perde ata . Apakah post itu erarti pe utusa hu u ga pe ikira total dari segala pola modernitas? Atau sekedar koreksi atas aspek-aspek tertentu saja dari modernitas? Atau jangan-jangan postmodernisme itu justru bentuk radikal dari modernitas itu sendiri? Atau barangkali ini adalah wajah arif modernitas yang telah sadar diri? Ataukah postmodernisme adalah sekedar satu tahap dalam proyek modernisme yang memang belum selesai?
Sebagian orang melihat postmodernisme adalah bagian inheren atau turunan dari modernitas, demikian menurut Maulana (dalam Ritzer, 2008). Hanya saja po st oder is e ta pil le ih de ga teriaka ada protes di te gah ko pleksitas
oder itas utopis ya g telah terla jur ditelah oleh ereka de ga e gaku oder . Sementara Pauline Rosenau (1992) dalam Ritzer (2008) menyebut postmodernisme merupakan kritik atas modernisme. Jadi menurut Rosenau (1992) dalam Ritzer (2008), teoritisi postmodern menawarkan intermediasi dari determinasi, perbedaan (diversity) ketimbang persatuan (unity), perbedaan daripada sistesis dan kompleksitas ketimbang simplifikasi.
Terkait dengan relasi postmodernisme dengan modernisme, Smart (1993a) dalam Ritzer (2008) menjelaskan bahwa ada tiga posisi pokok yang digunakan dalam teoretisi sosial postmodern.
Posisi pertama, atau postmodernis ekstrim: bahwa telah terjadi perpecahan besar dalam masyarakat modern yang digantikan dengan masyarakat postmodern. Sekalipun tak senang dengan pelabelan, Jean Baudrillard jelas mempercayai bahwa masyarakat mengalami perubahan yang sangat cepat. Demikian juga dengan pemikir postmodern Paul Virilio.
Posisi kedua, lebih moderat: di samping perubahan terjadi dan megnambil tempat, postmodernitas terus berkembang karena postmodernitas meninggalkan modernitas dan ia merupakan kelanjutan dari modernitas. Orientasi ini dianut oleh Fredric Jameson dan David Harvey juga para feminis postmodern seperti Nancy Fraser, Donna Haraway dan Linda Nicholson.
Terakhir, ada posisi teoretis yang memandang postmodern sebagai epos dimana lebih baik modernitas dan postmodernitas dipandang seperti menetapkan hubungan yang Terakhir, ada posisi teoretis yang memandang postmodern sebagai epos dimana lebih baik modernitas dan postmodernitas dipandang seperti menetapkan hubungan yang
Ironisnya, sementara Rosenau melakukan penggolongan para filsuf postmodernisme ke dalam kelompok-kelompok seperti dijabarkan pada Ritzer (2008), para pemikir postmodernisme justru tidak akan senang diberi label sebagai postmodernis. Banyak di antara mereka mengaku dengan terus terang sebagai modernis. Yang lain lebih suka berpikir sebagai poststrukturalis. Sementara yang lain tidak senang atau bahkan menentang labelisasi.
Ada beberapa alasan yang menerangkan keengganan ini. Sebagian besar pemikir postmodernisme tersebut kesulitan bahkan enggan membicarakan soal modernitas dan postmodernitas dalam kerangka transisi historis di antara keduanya. Ini karena mereka melihatnya diskursus tersebut sebagai narasi besar (grand narrative) yang mereka tolak. Dengan kata lain, pemikir postmodernisme pada umumnya menolak adanya kebenaran tunggal dalam dunia filsafat maupun ilmu (Munir, 2008)
Penjelasan lain adalah karena pola pikir seperti ini menggunakan pemikiran linear dan kronologis, yang diasosiasikan dengan modernitas, yang juga mereka tolak. Selain itu, banyak postmodernis menolak gaya diskursus akademis modern yang teliti dan bernalar (Nuyen, 1992 dalam Ritzer, 2008).
BAB 3 GLOBALISASI
Cinta Laura Kiehl
Bagian ini akan membahas tentang bagaimana gagasan postmodernisme tersebut tercermin dalam globalisasi. Sebelum membahas lebih jauh soal globalisasi, penulis merasa perlu untuk sebelumnya memperjelas apa yang dimaksud dengan globalisasi.
Dalam bukunya The Lexus and The Olive Tree: Understanding Globalization, Thomas L. Friedman (2000) menjelaskan bahwa globalisasi sebetulnya bukanlah hal baru. Semenjak pertengahan 1800-an sampai akhir 1920an, sudah ada sebuah sistem perdagangan dan perekonomian yang menghubungkan berbagai tempat di penjuru dunia yang dikenal dengan nama globalisasi, dimana Inggris menjadi kekuatan yang paling dominan ketika itu. Globalisasi model pertama tersebut terputus sesaat akibat Perang Dunia I, Revolusi Rusia, Era Depresi dan masa-masa Perang Dingin pasca Perang
Dunia I yang membagi-bagi dunia ke dalam geopolitiknya masingmasing. Namun ketika Te ok Berli ru tuh tahu
, ulailah Glo alisasi ‘o de Kedua.
Dala glo alisasi odel ya g elaka ga i ilah du ia e jel a e jadi desa glo al (global village). Menurut Joseph Stiglitz dalam bukunya Globalization and its Discontent (2002), menurunnya biaya transportasi dan komunikasi secara drastis dan runtuhnya hambatan-hambatan artifisial antar negara terhadap aliran barang, jasa, modal, pengetahuan juga manusia menyebabkan negara dan individu di seluruh dunia menjadi semakin terintegrasi. Berbeda dengan globalisasi model pertama dimana banyak negara berkembang tertinggal, jejaring informasi dan ekonomi pada globalisasi ronde kedua ini mempengaruhi tidak hanya semua negara, tetapi juga semua individu.
Piliang (2004) dalam Globalisasi Informasi dan Virus Sosial menyebutkan bahwa di dalam era globalisasi ekonomi dan informasi dewasa ini, orang bicara tentang lenyapnya batas-batas teritorial, batas-batas negara dan bangsa, batas-batas kesukuan dan kepercayaan, batas-batas politik dan kebudayaan. Di masa lalu, batas-batas tersebut dipandang sebagai hambatan dalam interaksi global.
Dengan demikian banyak konsep-konsep sosial seperti integrasi, kesatuan, persatuan, nasionalisme dan solidaritas, semakin kehilangan realitas sosialnya dan akhirnya malah menjadi mitos (Piliang, Ekonomi Virtual dan Masyarakat Cyber, 2004).
Globalisasi ekonomi, informasi dan kebudayaan ini menawarkan berbagai keterbukaan dan kebebasan. Keterbukaan telah mendorong perkembangbiakan, pelibatgandaan dan penganekaragaman produk, informasi, tanda dan kesenangan yang tanpa batas dalam skala global yang menawarkan pula hutan rimba pilihan.
Sebagai akibat dari keterbukaan dan kebebasan ini, banyak hal hadir secara bersama- sama dalam globalisasi. Maka terciptakan wajah globalisasi yang paradoks. Paradoks Sebagai akibat dari keterbukaan dan kebebasan ini, banyak hal hadir secara bersama- sama dalam globalisasi. Maka terciptakan wajah globalisasi yang paradoks. Paradoks
Jadi di satu sisi, terdapat kecenderungan terbentuknya unifikasi, aliansi dan kesalingbergantungan; terjadinya homogenisasi, standarisasi dan generalisasi; terciptanya dunia tanpa batas, masyarakat terbuka dan pasar bebas. Di sisi lain, berkembang separatisme, otonomi dan desentralisasi, terjadinya penganekaragaman, pengayaan dan pluralitas; berkembangnya tribalisme, kedaerahan juga sektarianisme.
Kecenderungan ini disebut oleh Zdravko Mlinar (dalam Piliang, Hiperglobalisasi, 2004) sebagai kecenderungan unity of opposite – berkembangnya individuasi (diversifikasi) bersamaan dengan perkembangan globalisasi (homogenisasi), sehingga menciptakan berbagai kontradiksi.
Karakteristik seperti ini identik dengan postmodernisme sebagai sebuah aliran pemikiran. Postmodernisme yang berawal dari sebuah pemikiran yang berawal dari itikad menolak narasi besar demi menghargai narasi kecil melahirkan tumbuhnya bermacam ragam ideologi yang boleh jadi saling bertentangan satu dengan lainnya. Serupa dengan wajah globalisasi, wajah postmodernisme pun wajah yang paradoks. Sebagai tambahan, di dalam Munir (2008), globalisasi memang nyata-nyata disebut menjadi salah satu tanda postmodernisme.
Globalisasi menjadi topik yang memikat dan banyak dibahas oleh para pemikir postmodernisme. Bagian berikut ini mengkaji dua cara pandang tentang globalisasi yaitu melihat globalisasi sebagai bentuk homogenisasi dan pemikiran postmodernisme yang melihat globalisasi sebagai pertukaran budaya (cultural exchange).
3. 1. Globalisasi sebagai Homogenisasi Budaya
Ada begitu banyak pandangan tentang globalisasi. Salah satu pandangan melihat globalisasi sebagai sebuah kecenderungan dimana dunia berkembang ke arah sistem yang semakin seragam sehingga menuju bentuk yang makin lama makin homogen. Oleh Francis Fukuyama (dalam Piliang, Hiperglobalisasi, 2004), kondisi seperti ini ia sebut sebagai titik akhir e olusi ideologi u at a usia da e tuk akhir pe eri taha
e tuk apa yang ia sebut sebagai akhir sejarah (end of history).
a usia da de ga de ikia e
Menurut Fukuyama, di masa depan tak ada lagi ruang tersedia bagi keragaman budaya (end of plurality) dan mulailah apa yang disebut sebagai keseragaman budaya atau homogenitas budaya. Dalam proses homogenisasi tersebut, televisi, internet dan berbagai alat komunikasi dan teknologi muktahir menjadi kendaraan yang memperlancar proses tersebut. Sebagai akibat dari proses homogenisasi tersebut, negara-negara berbeda yang mengalami modernisasi ekonomi seringkali secara kultural menjadi semakin mirip satu dengan lainnya. Alhasil yang kita temui adalah monoculture – homogenisasi budaya, gaya hidup, teknologi yang menghancurkan tradisi dan sistem ekonomi lokal.
Francis Fukuyama (dalam Piliang, Hiperglobalisasi, 2004) melihat homogenisasi ini sebagai sebuah keniscayaan sejarah. Artinya, tak ada lagi pilihan yang tersedia. Globalisasi menciptakan setiap tempat tampak sama seperti tempat-tempat yang lainnya dan setiap orang - mau tidak mau - harus merasa betah hidup di dalamnya.
Hal serupa disampaikan oleh George Ritzer (dalam Piliang, Hiperglobalisasi, 2004) dengan apa yang ia sebut sebagai McDonalization. Ia melihat bahwa restoran cepat saji McDonald menjelma sebagai sebuah budaya dan cara hidup (way of life) global. Budaya dan cara hidup tersebut tanpa ampun melindas bersih setiap lembaga-lembaga dan Hal serupa disampaikan oleh George Ritzer (dalam Piliang, Hiperglobalisasi, 2004) dengan apa yang ia sebut sebagai McDonalization. Ia melihat bahwa restoran cepat saji McDonald menjelma sebagai sebuah budaya dan cara hidup (way of life) global. Budaya dan cara hidup tersebut tanpa ampun melindas bersih setiap lembaga-lembaga dan
Selain mengalami McDonalization, Richard Barnet dan John Cavanagh (dalam Piliang, Hiperglobalisasi, 2004) menyebut soal jaringan hiburan MTV (Music Television) sebagai proses penyeragaman manusia. Cyberspace atau internet juga tak lain dari bentuk virtual McDonalization yang menghasilkan keseragaman pengalaman, kerangka konseptual, kategori pengetahuan, isi pengetahuan, gaya hidup dan pandangan hidup (dalam Piliang, Hiperglobalisasi, 2004).
3. 2. Globalisasi sebagai Pertukaran Budaya
Akan tetapi tidak semua pemikir postmodernisme melihat globalisasi sebagai upaya penyeragaman. Tidak semua berpandangan bahwa globalisasi hanya menciptakan homogenisasi budaya atau kloning budaya. Tidak semua pemikir melihat globalisasi sebagai sebuah ancaman serius bagi keberadaan budaya-budaya lokal.
Salah satunya adalah Ahmed Gurnah (dalam Piliang, Hiperglobalisasi, 2004) yang melihat globalisasi budaya tidak sederhana sebagaimana sebuah homogenisasi budaya. Apa yang dilihatnya pada globalisasi adalah proses seleksi, pertukaran dan pengaruh interkultural yang rumit dan kompleks. Proses tersebut justru dapat bersifat positif, konstruktif dan produktif bagi perkembangan budaya lokal.
Hal ini terjadi karena pengalaman sebuah kebudayaan bergaul dengan kebudayaan lain, menurut Gurnah, bersifat parsial, tidak pernah superfisial dan total. Jarang sekali sebuah Hal ini terjadi karena pengalaman sebuah kebudayaan bergaul dengan kebudayaan lain, menurut Gurnah, bersifat parsial, tidak pernah superfisial dan total. Jarang sekali sebuah
Menurut Gurnah, yang membuat orang-orang di negara-negara berkembang begitu antusias dengan budaya imperialis adalah adanya hasrat yang aktif untuk mengkonstruksi common denominator kebudayaan yang khas, kuat dan saling menguntungkan dengan budaya tersebut melalui proses pertukaran budaya (cultural exchange). Proses pertukaran budaya tersebut dapat menciptakan budaya-budaya baru. Proses tersebut berlangsung dalam sebuah hubungan yang terus-menerus paradoksal: global/lokal, tradisi/kemajuan juga masa lalu/masa depan. Akan tetapi yang pasti, proses pertukaran ini tidak pernah menggiring pada keseragaman atau kloning.
Hal ini karena pola-pola yang berubah di dalam kebudayaan yang berbeda tidak pernah dapat mereproduksi satu sama lainnya. Pola-pola yang berubah tersebut dibentuk dari bahan-bahan baku kebudayaan yang berbeda yang ditempa di dalam sejarah yang beraneka ragam pula.
Proses pertukaran yang kompleks di antara berbagai kebudayaan yang berinteraksi tersebut disebut oleh Gurnah dengan istilah cultural complex (dalam Piliang, Hiperglobalisasi, 2004). Culture-complex ia defi isika se agai ... ra gkaia proses ya g memotivasi setiap orang untuk bekerja dalam proses menyaring, menyusun, memisahkan, memilih dan mengaktifkan tanda-tanda dan simbol-simbol kultural supaya kita menjadikan pertemuan kebudayaan menjadi produktif, bermakna dan
e u gki ka eksis.
Singkatnya cultural-complex ini memungkinkan dibangunnya common denominator budaya di antar kebudayaan-kebudayaan berdasarkan aturan main tertentu (rule of the Singkatnya cultural-complex ini memungkinkan dibangunnya common denominator budaya di antar kebudayaan-kebudayaan berdasarkan aturan main tertentu (rule of the
Sebagai hasilnya, pertemuan dan pertukaran budaya tersebut dapat menciptakan sebuah kartografi makna kultural yang sangat kaya dan kompleks. Di setiap titik pertemuan tersebut, terjadi pula reposisi makna, nilai dan identitas.
3. 3. Budaya Rhizome dan Budaya Global
Pandangan tentang pertukaran budaya di atas segendang sepenarian dengan pandangan-pandangan Deleuze dan Guattari (Piliang, Hiperglobalisasi, 2004) yang melihat kebudayaan sebagai sebuah rhizome. Istilah rhizome ini meminjam dari ilmu biologi yaitu jenis akar tanaman yang bercabang-cabang dan melebar ke mana-mana. Kebudayaan yang dilihat sebagai rhizome mengandung unsur yang saling berhubungan satu sama lainnya dengan berbagai garis hubungan.
Artinya, kebudayaan yang dibangun berdasarkan prinsip rhizome adalah kebudayaan yang tidak pernah berhenti menghubungkan rantai semiotik, tanda, simbol, makna, pengetahuan dan kode-kode kebudayaan dengan kebudayaan lain, dalam rangka menciptakan makna, pengetahuan dan relasi-relasi sosial yang baru dan kreatif. Ia adalah sebuah kebudayaan yang tidak pernah berhenti berhubungan, berinteraksi, berdialog, bersaing, berubah bahkan berpindah.
Dalam kondisi seperti ini, muncullah istilah budaya global (global culture). Konsep ini menjelaskan tentang mendunianya berbagai aspek kebudayaan, yang di dalam ruang global tersebut terjadi proses penyatuan, kesalingberkaitan dan kesalingterhubungkan. Konsep budaya global ini berbeda dengan gagasan kebudayaan dalam pemikiran Wallerstien tentang sistem dunia (world system) (Piliang, Hiperglobalisasi, 2004). Pemikiran Wallerstien ini melihat kebudayaan sebagai sesuatu yang selalu mengacu Dalam kondisi seperti ini, muncullah istilah budaya global (global culture). Konsep ini menjelaskan tentang mendunianya berbagai aspek kebudayaan, yang di dalam ruang global tersebut terjadi proses penyatuan, kesalingberkaitan dan kesalingterhubungkan. Konsep budaya global ini berbeda dengan gagasan kebudayaan dalam pemikiran Wallerstien tentang sistem dunia (world system) (Piliang, Hiperglobalisasi, 2004). Pemikiran Wallerstien ini melihat kebudayaan sebagai sesuatu yang selalu mengacu
Sudah tentu, budaya global ini akan sangat mempengaruhi aktor-aktor yang hidup di dalamnya, yaitu manusia yang memiliki identitas. Berkat identitas, setiap orang sama, identik dengan dirinya sendiri, akan tetapi juga sekaligus berbeda dengan orang lain. Kemudian bagaimana globalisasi mempengaruhi identitas manusia? Lalu apakah ini berarti manusia memiliki identitas yang majemuk? Pertanyaan-pertanyaan ini akan dicoba untuk dijawab pada bagian berikut ini.
BAB 4 IDENTITAS
Cinta Laura Kiehl
Sebetulnya, apakah yang dimaksud dengan identitas? Tulisan ini akan mencoba mengupas soal identitas dari dua pendekatan. Pendekatan pertama adalah identitas terkait dengan budaya. Dalam pendekatan pertama ini, penulis banyak bertumpu pada tulisan Sen tentang identitas dalam Kekerasan dan Ilusi tentang Identitas (2008). Pendekatan kedua adalah identitas sebagaimana dipandang dari kacamata psikologi. Untuk pendekatan kedua ini, penulis menggunakan sejumlah teori psikologi seraya secara khusus melihat proses pembentukan identitas pada individu.
4. 1. Identitas sebagai Mata Rantai
Menurut Jonathan Rutherford, identitas adalah sebuah mata rantai yang menghubungkan nilai-nilai sosial budaya masa lalu dengan masa sekarang (dalam Piliang, Hiperglobalisasi, 2004). Mata rantai ini menghubungkan identitas dengan Menurut Jonathan Rutherford, identitas adalah sebuah mata rantai yang menghubungkan nilai-nilai sosial budaya masa lalu dengan masa sekarang (dalam Piliang, Hiperglobalisasi, 2004). Mata rantai ini menghubungkan identitas dengan
Kata identitas sendiri adalah satu kata kunci yang bisa mengacu pada konotasi apa saja: sosial, politik, budaya dan sebagainya. Identitas, bagi situasi-situasi tertentu, bisa bermakna kekhawatiran, ketakutan atau keakuan.
Bagaimana hubungan antara identitas individu dengan kenyataan yang ada di luar dirinya? Menurut Piliang (dalam Abnormalitas dan Dekonstruksi Identitas, 2004) identitas bukanlah miliki individu semata-mata. Identitas merupakan sesuatu yang dimiliki secara bersama-sama oleh sebuah komunitas atau kelompok masyarakat tertentu. Sebagai hal yang mempersatukan, identitas ini sekaligus membedakan (difference) mereka dari komunitas atau kelompok masyarakat lainnya.
Hal ini berarti identitas memberikan pengertian kepada setiap individu di dalam sebuah masyarakat tentang posisi sosial mereka di dalam berbagai kelompok masyarakat lainnya. Identitas memberikan pengertian pada setiap individu tentang lokasi personalnya. Dalam lokasi personalnya ini, individualitas berada pada titik pusatnya yang stabil dan mantap (dalam Piliang, Abnormalitas dan Dekonstruksi Identitas, 2004). Pada tingkat ini, identitas memberikan seseorang pengertian tentang lokasi personal, titik pusat individualitas yang stabil dan mantap. Jonathan Rutherford menganalogikan identitas dengan satu tempat yang dinamai rumah, yaitu rumah sebagai tempat kembali dan alam dari mana berasal.
Dalam hubungannya dengan masyarakat, identitas mempunyai hubungan yang bersifat dialektis. Maka untuk menjaga keutuhan identitas, diperlukanlah integrasi sosial dan sistem normatif yang mengikat sebuah masyarakat. Menggunakan kacamata seperti ini Dalam hubungannya dengan masyarakat, identitas mempunyai hubungan yang bersifat dialektis. Maka untuk menjaga keutuhan identitas, diperlukanlah integrasi sosial dan sistem normatif yang mengikat sebuah masyarakat. Menggunakan kacamata seperti ini
Identitas merupakan topik bahasan yang banyak dikaji dalam bidang ilmu psikologi. Penelusuran terhadap makna dan konsep identitas pun merupakan suatu usaha
erkela juta ta pa akhir. Bagaika suatu jala ya g erliku, kata Yasraf A ir Pilia g. Oleh karena identitas bukan merupakan suatu entitas yang final dan statis melainkan sesuatu yang selalu tumbuh. Karena identitas bukanlah sesuatu yang final atau sesuatu yang senantiasa berubah, penelitian tentang identitas tidaklah mudah. Menggunakan psikologi sebagai titik tolak, tulisan ini akan mengambil cara pandang terhadap identitas ini fokus pada konteks mikro yaitu individu. Oleh karena itu, guna melengkapi kajian tentang identitas secara makro seperti diulas di bagian ini, berikut disampaikan identitas seperti dilihat dari kacamata ilmu psikologi.
4. 2. Identitas yang Berkembang
Abdilah (2002) menyebut bahwa karakter individu yang berakar pada identitas dasar semenjak lahir seperti adanya. Identitas menjadi suatu anugerah yang tidak bisa dihi dari. Ide titas dasar itulah ya g ke udia
e e tuk keakua da membedakan dengan yang lain (kamu, mereka dan dia). Hakikat dasar individu maupun kelompok tercermin dan terbentuk dari beberapa unsur yang melekat atau sengaja dilekatkan pada tubuh atau diri sang bayi ketika lahir.
Erik Erikson (1968 dalam Santrock, 2007) percaya bahwa perkembangan identitas merupakan titik penting dalam perkembangan khususnya di usia remaja dan di masa perguruan tinggi. Dalam perkembangan identitas ini, individu mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti: Siapa aku? Seperti apakah aku ini? Apa yang akan aku lakukan dalam hidup ini? Dalam pencarian jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tadi, Erik Erikson (1968 dalam Santrock, 2007) percaya bahwa perkembangan identitas merupakan titik penting dalam perkembangan khususnya di usia remaja dan di masa perguruan tinggi. Dalam perkembangan identitas ini, individu mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti: Siapa aku? Seperti apakah aku ini? Apa yang akan aku lakukan dalam hidup ini? Dalam pencarian jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tadi,
Berdasarkan kombinasi kedua tahapan tersebut, Marcia (1980, 1998 dalam Santrock, 2007) mengungkapkan empat tipe identitas yaitu:
Identity diffusion yang terjadi ketika indiviu belum mengalami krisis atau membuat komitmen, dimana mereka belum memutuskan pilihan pekerjaan dan
ideologis dan kemungkinan tidak begitu tertarik dengan persoalan-persoalan seperti ini.
Identity foreclosure yang terjadi pada saat individu membuat komitmen tetapi belum mengalami krisis. Hal ini kerap terjadi ketika orang tua menentukan
komitmen untuk anak remaja, seringkali secara otoriter. Dalam kesempatan ini remaja tidak punya cukup kesempatan untuk mengeksplorasi pendekatan, ideologi dan pilihan pekerjaan yang berbeda-beda sesuai keinginan mereka sendiri.
Identity moratorium terjadi sewaktu individu berada di tengah-tengah krisis tetapi komitmen mereka tidak ada atau baru didefinisikan secara samar-samar.
Identity achievement terjadi pada saat individu telah mengalami krisis dan telah membuat komitmen.