BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Apendisitis - Perbandingan Keakuratan Antara C – Reaktif Protein Dan Hitung Leukosit Dalam Mendiagnosis Radang Apendiks Akut Pada Anak Di Rumah Sakit Pendidikan FK USU

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Apendisitis

  Apendisitis merupakan peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis, dan merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering. Sampai saat ini belum diketahui secara pasti apa fungsi apendiks sebenarnya. Apendisitis dapat disebabkan karena infeksi atau obstruksi pada apendiks. Obstruksi menyebabkan apendiks menjadi bengkak , perubahan flora normal dan mudah diinfeksi oleh bakteri. Jika diagnosis lambat ditegakkan, dapat terjadi perforasi pada apendiks. Sehingga akibatnya terjadi Peritonitis atau terbentuknya abses

  ( Schwartz, 2006 )

  disekitar apendiks Apendisitis akut dapat disebabkan oleh terjadinya proses radang bakteria yang dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus diantaranya hiperplasia jaringan limfe, fekalith, tumor apendiks, dan cacing askaris yang menyumbat. Ulserasi mukosa merupakan tahap awal dari kebanyakan penyakit ini. namun ada beberapa faktor yang mempermudah terjadinya radang apendiks, diantaranya : ( Sabiston , 2008 )

  1. Faktor sumbatan (obstruksi)

  Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%) yang diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hyperplasia jaringanlymphoid sub mukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing dan sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing

  2. Faktor Bakteri

  Infeksi enterogen merupakan faktor patogenesis primer pada apendisitis akut. Adanya fekalith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi memperburuk dan memperberat infeksi, karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen apendiks, pada kultur didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara Bacteriodes fragililis dan E.coli, lalu Splanchicus, lacto-bacilus, Pseudomonas, Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah kuman anaerob sebesar 96% dan aerob < 10%.

  3. Faktor ras dan diet

  Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari.Bangsa kulit putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai resiko lebih tinggi dari negara yang pola makannya banyak serat. Bangsa kulit putih telah merubah pola makan mereka ke pola makan tinggi serat. Justru Negara berkembang yang dulunya memiliki tinggi serat kini beralih ke pola makan rendah serat, memiliki resiko apendisitis yang lebih tinggi.

2.1.1. Anatomi

  Apendiks vermikularis adalah divertikulum intestinal yang berukuran kurang lebih 6 – 10 cm dan terletak pada caecum. Organ ini berbentuk tabung dengan lumen yang sempit pada bagian proksimal dan melebar pada bagian distal , kapasitas apendiks sendiri kurang lebih 0,1 ml. Organ ini tersusun dari jaringan limfoid dan merupakan bagian integral dari GALT ( Gut Associated Lymphoid Tissue ). Lo kasi apendiks t erbanyak berasal dari bagian posteromedial caecum, di bawah ileocaecal junction. Apendiks sendiri memiliki mesenterium yang mengelilinginya, yang disebut mesoapendiks yang berasal dari bagian posterior mesenterium yang mengelilingi ileum terminalis.

  Posisi terbanyak dari apendiks adalah retrocaecal, namun demikian ada variasi dari lokasi apendiks ini. 65 % dari posisi apendiks terletak intraperitoneal sementara sisanya retroperitoneal. Disini variasi posisi apendiks menentukan gejala yang akan muncul saat terjadi peradangan, Beberapa variasi posisi apendiks terhadap caecum adalah sebagai berikut : ( Aschraff, 2000 ) 1 . R e t r o c a e c a l ( 6 5 % )

  2 . P e l v i c 3 . A n t e c a e c a l 4 . P r e i l e a l 5 . P o s t i l e a l

  Gambar 1. Variasi Posisi Appendix

  Posisi terbanyak adalah retrocaecal, namun demikian posisi apendiks dapat ditemukan dengan me ne lusuri ket iga t aenia ya ng t erdapat pada caecum (dan co lo n), ya it u taenia co lica, taenia libra dan taenia omentalis.

  Vaskularisasi appendik berasal dari arteri ileocolica yang merupakan cabang dari arteri mesent erika superior. Cabang arteri ileo ko lika ini d isebut art eri appendicularis, dengan aliran venanya berasal dari vena ileocolica dan akan kembali ke vena mesenterika superior. Art eri appendicular is ini t ida k me milik i ko lateral sehingga ket ika terjadi o klusi a p a p u n p e n y e b a b n y a , m a k a m u d a h t e r j a d i i s k e m i a d a n g a n g r e n , h i n g g a a k h i r n y a perforasi. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n . v a g u s yang me ng ikut i a.mesenterica superior dan a. appendicularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri visceral pada apendisitis bermula di sekitar umbilicus.

2.1.2. Fisiologi

  Apendiks merupakan suatu organ limfoid seperti tonsil, payer patch (analog dengan Bursa Fabricus) membentuk produk immunoglobulin. Apendiks adalah suatu struktur kecil, berbentuk seperti tabung yang berkait menempel pada bagian awal dari sekum. Pangkalnya terletak pada posteromedial caecum. Pada Ileocaecal junction terdapat Valvula Ileocecalis

  

(Bauhini) dan pada pangkal appendiks terdapat valvula appendicularis (Gerlachi). Panjang

  antara 7-10 cm, diameter 0,7 cm. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Appendiks terletak di kuadran kanan bawah abdomen. Tepatnya di ileosecum dan merupakan pertemuan ketiga taenia coli (taenia libera, taenia colica, dan taenia omentum) .

  Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir itu normalnya dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis.

  Dinding apendiks terdiri dari jaringan lymphe yang merupakan bagian dari sistem imun dalam pembuatan antibodi. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA. Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi system imun tubuh karena jumlah jaringan limfonodi di sini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh.

  Jaringan lymphoid pertama kali muncul pada apendiks sekitar 2 minggu setelah lahir. Jumlahnya meningkat selama pubertas, dan menetap saat dewasa dan kemudian berkurang mengikuti umur. Setelah usia 60 tahun, tidak ada jaringan lymphoid lagi di apendiks dan terjadi obliterasi lumen apendiks komplit.

  Secara histologis, apendiks mempunyai basis stuktur yang sama seperti usus besar. Glandula mukosanya terpisahkan dari vascular submucosa oleh mucosa maskularis. Bagian luar dari submukosa adalah dinding otot yang utama. Apendiks terbungkus oleh tunika serosa yang terdiri atas vaskularisasi pembuluh darah besar dan bergabung menjadi satu di mesoappendiks. Jika apendik terletak retroperitoneal, maka appendiks tidak terbungkus oleh tunika serosa.

  Histologis : - Tunika mukosa : memiliki kriptus tapi tidak memiliki villus.

  • Tunika submukosa : banyak folikel lymphoid.
  • Tunika muskularis : stratum sirculare sebelah dalam dan stratum longitudinale ( gabungan tiga tinea coli) sebelah luar.
  • Tunika serosa : bila letaknya intraperitoneal asalnya dari peritoneum viscerale.

  2.1.3. Etiologi

  Apendisitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri. Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetus. Diantaranya adalah obstruksi yang terjadi pada lumen apendiks. Obstruksi ini biasanya disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras (fekalit), hyperplasia jaringan limfoid, tumor apendiks, benda asing dalam tubuh dan cacing askaris dapat pula menyebabkan terjadinya sumbatan. Namun, diantara penyebab obstruksi lumen yang telah disebutkan di atas, fekalit dan hyperplasia jaringan limfoid merupakan penyebab obstruksi yang paling sering terjadi. Penyebab lain yang diduga menimbulkan apendisitis adalah ulserasi mukosa apendiks oleh parasit E. histolytica. Adanya obstruksi mengakibatkan mucin atau cairan mucosa yang diproduksi tidak dapat keluar dari apendiks, hal ini akan semakin meningkatkan tekanan intraluminal sehingga menyebabkan tekanan intra mucosa juga semakin tinggi. Tekanan yang tinggi akan menyebabkan infiltrasi kuman ke dinding apendiks sehingga terjadi peradangan supuratif yang menghasilkan pus atau nanah pada dinding apendiks. Selain infeksi, apendisitis juga dapat disebabkan oleh penyebaran infeksi dari organ lain yang kemudian menyebar secara Hematogen ke apendiks.

  2.1.4. Patofisiologi

  Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian proksimalnya dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa apendiks yang distensi. Obstruksi tersebut menyebabkan mucus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mucus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan intralumen. Kapasitas lumen apendiks normal hanya sekitar 0,1 ml. Jika sekresi sekitar 0,5 dapat meningkatkan tekanan intalumen sekitar 60 cmH20 .

  Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi bakteri. Infeksi menyebabkan pembengkakan apendiks bertambah (edema) dan semakin iskemik karena terjadi trombosis pembuluh darah intramural (dinding apendiks). Pada saat inilah terjadi Apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Gangren dan perforasi khas dapat terjadi dalam 24-36 jam, tapi waktu tersebut dapat berbeda-beda setiap pasien karena ditentukan banyak faktor.

  Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan Apendisitis supuratif akut.

  Apendisitis supuratif akut sebagian besar berhubungan dengan obstruksi lumen apendiks oleh fekalith atau hiperplasia. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan terbentuknya gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis ganggrenosa. Bila dinding yang telah rapuh tersebut pecah, akan terjadi apendisitis perforasi, pengeluaran pusnya ke dalam rongga peritoneum yang mengakibatkan peritonitis dan dapat berkembang menjadi septikemia dan menyebabkan kematian.

  Patologi apendisitis dapat dimulai di mukosa dan kemudian melibatkan seluruh lapisan dinding abdomen dalam waktu 24-48 jam pertama. Bila semua proses tersebut berjalan lambat maka usaha pertahanan tubuh adalah membatasi proses radang dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus atau adneksa sehingga terbentuk massa periapendikuler yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrate apendiks. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa periapendikuler akan menjadi tenang dan selanjutnya akan mengurai diri secara lambat . ( Hermanto, 2011 )

2.1.5. Klasifikasi Histopatologi

  Klasifikasi apendisitis pada anak secara umum yang sampai saat ini banyak dianut adalah klasifikasi yang berdasarkan pada stadium klinikopatologis dari Robbins Cotran , klasifikasi ini berdasarkan pada temuan gejala klinis dan temuan durante operasi : Apendisitis Simpel / Apendistis akut fokal (grade I):

  Stadium ini meliputi apendisitis dengan apendiks tampak normal atau hiperemis ringan dan edema, belum tampak adanya eksudat serosa.

  Gambar 2. Sel –sel radang akut di lapisan mukosa Apendisitis Supurativa (grade Il):

  Sering didapatkan adanya obstruksi,apendiks dan mesoapendiks tampak edema, kongesti pembuluh darah,mungkin didapatkan adanya petekhie dan terbentuk eksudat fibrinopurulen pada serosa serta terjadi kenaikan jumlah cairan peritoneal. Pada stadium ini mungkin bisa tampak jelas adanya proses walling off oleh omentum, usus dan mesenterium didekatnya.

  Gambar 3. Sel –sel radang akut di lapisan mukosa, submukosa dan muskularis

  Apendisitis Gangrenosa (grade III):

  Selain didapatkan tanda-tanda supurasididapatkan juga adanya dinding apendiks yang berwarna keunguan,kecoklatan atau merah kehitaman (area gangren). Pada stadium ini sudah terjadi adanya mikroperforasi, kenaikan cairan peritoneal yang purulen dengan bau busuk.

  

Gambar 4. Sel –sel radang akut dengan jaringan ikat fibrous dan daerah nekrotik

Apendisitis Ruptur (grade IV):

  Sudah tampak dengan jelas adanya rupture apendiks, umumnya sepanjang antemesenterium dan dekat pada letak obstruksi. Cairan peritoneal sangat purulen dan berbau busuk.

  

Gambar 5. Sel –sel radang akut pada seluruh ketebalan dinding apendiks disertai

disertai diskontinuitas jaringan

  Apendisitis Abses (grade V):

  Sebagian apendiks mungkin sudah hancur,abses terbentuk disekitar apendiks yang rupture biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrosekal, subsekal atau seluruh rongga pelvis bahkan mungkin seluruh rongga abdomen.

  Gambar 6. Sel –sel radang akut menginfiltrasi sampai lapisan serosa

  Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah.

  Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi mikroorganisme, daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding apendiks, omentum, usus yang lain, peritoneum parietale dan juga organ lain seperti vesika urinaria, uterus tuba, mencoba membatasi dan melokalisir proses peradangan ini. Bila proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi perforasi maka akan timbul peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah selesai tetapi masih belum cukup kuat menahan tahanan atau tegangan dalam cavum abdominalis, oleh karena itu pendeita harus benar-benar istirahat (bedrest).

  Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang diperut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut. (

  Santacrose, 2006 )

2.2. Gejala Klinis

  Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis adalah nyeri samar ( nyeri tumpul ) di daerah epigastrium di sekitar umbilicus atau periumbilikus. Keluhan ini biasanya disertai dengan rasa mual, bahkan terkadang muntah, dan pada umumnya nafsu makan menurun. Kemudian dalam beberapa jam, nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah, ke titik Mc Burney. Di titik ini nyeri terasa lebih tajam dan jelas letaknya, sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Namun terkadang, tidak dirasakan adanya nyeri di daerah epigastrium, tetapi terdapat konstipasi. Apendisitis kadang juga disertai dengan demam derajat rendah sekitar 37,5 – 38,5 derajat celcius

  6 Gambaran klinis yang sering dikeluhkan oleh penderita, antara lain

  1. Nyeri abdominal Nyeri ini merupakan gejala klasik appendisitis. Mula-mula nyeri dirasakan samar- samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium atau sekitar umbilicus. Setelah beberapa jam nyeri berpindah dan menetap di abdomen kanan bawah (titik Mc Burney). Nyeri akan bersifat tajam dan lebih jelas letaknya sehingga berupa nyeri somatik setempat. Bila terjadi perangsangan peritonium biasanya penderita akan mengeluh nyeri di perut pada saat berjalan atau batuk.

  2. Mual-muntah biasanya pada fase awal.

  3. Nafsu makan menurun.

  4. Obstipasi dan diare pada anak-anak.

  5. Demam, terjadi bila sudah ada komplikasi, bila belum ada komplikasi biasanya tubuh belum panas. Suhu biasanya berkisar 37,5º-38,5º C Gejala apendisitis akut pada anak-anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa nyerinya. Karena gejala yang tidak spesifik ini sering diagnosis apendisitis diketahui setelah terjadi perforasi . ( Aiken et all ,

  2007 )

2.3. Pemeriksaan Penunjang

2.3.1. Pemeriksaan Darah ( Penanda Inflamasi )

1. Neutrofil

  Disebut juga leukosit polimorfonuklear ( PMN ) karena gumpalan-gumpalan inti yang berikat secara fleksibel dapat mengambil sekian banyak (poly) bentuk (morf) , merupakan jenis granulosit sel darah putih dan yang paling banyak dalam leukosit 45 -75 % . Neutrofil berperan di dalam garis depan pertahanan seluler terhadap invasi kuman –kuman.

  Fungsi utama neutrofil adalah sebagai fagositosis dan pembersihan debris , partikel dan bakteri serta pemusnahan organisme mikroba , dan hal ini mungkin disebabkan spesialisasi membrannya untuk proses ini. Peran bermanfaat neutrofil yang telah terbukti adalah mencegah invasi oleh mikroorganisme patogen , serta melokalisasi dan mematikan patogen tersebut apabila telah terjadi invasi . ( Ronald A, 2004 )

  Neutrofil ditemukan dalam aliran darah , selama fase akut peradangan , terutama sebagai akibat infeksi bakteri , paparan lingkungan dan beberapa jenis kanker , neutrofil adalah salah satu yang pertama merespon sel-sel inflamasi untuk bermigrasi ke arah sumber peradangan. Bermigrasi melalui pembuluh darah , kemudian melalui jaringan interstitial , ditargetkan oleh sinyal kimia seperti interleukin -8 , interferon gamma , dalam proses yang disebut kemotaksis.

  Neutrofil berpindah dari plasma menuju daerah radang melalui diapedesis sel karena adanya sinyal-sinyal kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Perpindahan tersebut dikenal dengan kemotaksis atau perpindahan yang dirangsang oleh zat kimia. Kepekaan neutrofil terhadap rangsangan kimia tersebut menyebabkan neutrofil yang paling dahulu sampai di daerah inflamasi. Adapun urutan yang dialami oleh sel neutrofil adalah neutrofil bergerak ke tepi pembuluh darah

  → melekat pada dinding pembuluh darah → keluar dari pembuluh darah→ neutrofil menelan bakteri dan debris jaringan (fagositosis). ( Dalal I , 2005 )

2. C – Reaktif Protein

  C -Reaktif Protein merupakan protein darah yang terikat dengan C-polisakarida, pentamer 120 kDa. Kadarnya dapat meningkat 100 . 200 kali atau lebih tinggi pada inflamasi sistemik yang menyebabkan kerusakan endotel. CRP merupakan penanda inflamasi yang paling stabil. Suatu pemeriksaan C –reaktif protein adalah pemeriksaan darah yang mengukur jumlah protein C –reaktif di dalam tubuh. CRP yang meningkat sebagai respon terhadap peradangan (alat ukur beratnya peradangan dalam tubuh). ( Ronald A, 2004 )

  C-reactive protein (CRP) adalah protein yang mengikat fraksi C polisakarida dari

dinding sel pneumokokus. Protein ini adalah protein fase akut klasik yang dapat disintesis di

hati.Protein ini dibentuk akibat proses infeksi,peradangan, luka bakar dan keganasan.Respon

fase akut diikuti dengan peningkatan aktifitas koagulasi,fibrinolitik, leukositosis, efek

sistemik dan perubahan kadar beberapa jenisprotein plasma seperti CRP atau hsCRP.

Kadar CRP biasanya meningkat 6 – 8 jam setelah demam dan mencapai puncak 24 –48 jam.

Pada orang normal kadar CRP < 5 mg/L dan dapat meningkat 30x dari nilai normal pada

  ( Lorentz, 2000 ) respon fase akut.

  C – Reaktif Protein dipakai untuk : • memberikan informasi seberapa akut dan seriusnya suatu penyakit.

  • deteksi proses peradangan sistemik di dalam tubuh.
  • membedakan antara infeksi aktifdan inaktif.
  • mengikuti hasil pengobatan infeksibakterial setelah pemberian antibiotika.
  • mendeteksi infeksi dalam kandungankarena robeknya amnion.
  • untuk mengetahui adanya infeksi pasca operasi.
  • membedakan antara infeksi dan reaksi penolakan pada transplantasisumsum tulang.
  • mempunyai korelasi yang baik dengan laju endap darah (LED). Sebagaimana disebutkan diatas, dikenal 2 macam protein fase akut reaktif yaitu

1. C-reactive protein (CRP) 2. high sensitive C-reactive protein (hsCRP).

  hsCRP dipakai untuk deteksi dini infeksi pada anak dan menilai resiko penyakit

jantung koroner. Hasil beberapa penelitian menyimpulkan bahwa hsCRP dipakai untuk

memprediksi resiko penyakit jantung koroner pada orang yang tampak sehat dan dapat

dipakai sebagai indikator prognosis. Oleh karena itu peningkatan kadar hsCRP tidak spesifik

  ( Bangert SK, 2004 ) dan tidak dapat dinilai tanpa ada pendapat klinis (keluhan). Gambar 7. Induction and synthesis of CRP in hepatocytes

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Perbandingan Daya Dukung Tiang Pancang Tunggal Diameter 0,6 Meter Berdasarkan Perhitungan Analitis dan Metode Elemen Hingga (Proyek Pembangunan Jalan Bebas Hambatan Medan – Kualanamu)

0 12 93

GINA PRIMTA BARUS 110406075 DEPARTEMEN ARSITEKTUR USU

0 1 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Arsitektur Karo 2.1.1 Pola Perkampungan - Transformasi Bentuk Arsitektural pada Rumah Tinggal Suku Karo

1 9 39

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kinerja 2.1.1 Pengertian Kinerja - Hubungan Karakteristik dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Bidan Desa dalam Pelayanan KB di Wilayah Kerja Puskesmas Kampung Mesjid Kecamatan Kualuh Hilir Kabupaten LabuhanBatu Utara Tahun 2015

0 1 24

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Hubungan Karakteristik dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Bidan Desa dalam Pelayanan KB di Wilayah Kerja Puskesmas Kampung Mesjid Kecamatan Kualuh Hilir Kabupaten LabuhanBatu Utara Tahun 2015

0 2 9

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Diabetes Mellitus - Karakteristik Penderita Penyakit Diabetes Mellitus Dengan Kompliksi yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Martha Friska Tahun 2014

0 7 24

17 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Analisis Kadar Residu Pestisida pada Sayuran Serta Tingkat Perilaku Konsumen Terhadap Sayuran yang Beredar di Pasar Tradisional Pringgan Kecamatan Medan Baru Tahun 2015

1 7 7

2.1.2 Penilaian Status Gizi - Hubungan Status Gizi dan Asupan Energi Dengan Kelelahan kerja pada Pekerja di PT. Perkebunan Nusantara I Pabrik Kelapa Sawit Pulau Tiga Tahun 2015

0 1 29

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Hubungan Status Gizi dan Asupan Energi Dengan Kelelahan kerja pada Pekerja di PT. Perkebunan Nusantara I Pabrik Kelapa Sawit Pulau Tiga Tahun 2015

0 0 8

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Motivasi dan Kompetensi Bidan terhadap Kualitas Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil pada Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Puskesmas di Kabupaten Aceh Barat

0 1 10