Perkembangan Tenun Ulos di Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan 1980-2006

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Manusia

menciptakan

kebudayaan

dalam

menjalani

dan

mengisi

kehidupannya. Kebudayaan itu berkembang dari waktu ke waktu, dengan tujuh unsur
universal yaitu agama, bahasa, organisasi, sosial, pendidikan, teknologi dan kesenian,
yang diwujudkan dalam bentuk ide (gagasan), kegiatan (tindakan) dan artifak (bendabenda). Dalam kebudayaan masyarakat Batak khususnya masyarakat Angkola Sipirok
di Tapanuli Selatan memiliki artifak budaya berupa kain yang lazim disebut ulos atau

abit.
Sipirok 1 merupakan salah satu kecamatan di wilayah Kabupaten Tapanuli
Selatan, Provinsi Sumatera Utara. Masyarakat Sipirok tergolong dalam sub etnis
Batak yaitu Batak Angkola yang mayoritas masyarakatnya adalah marga Siregar.
Masyarakat Sipirok pada umumnya hidup dengan mata pencaharian dari sektor
pertanian, pedagang, pegawai negeri, guru, pengusaha kerajinan tangan atau bertenun
dan sebagainya. Kegiatan bertenun kain merupakan tradisi yang telah lama dilakukan
masyarakat Sipirok, yaitu sejak awal abad ke 20. Tidak diperoleh keterangan yang

1

Menurut cerita lisan yang hingga kini masih hidup di tengah masyarakat, kata Sipirok berasal
dari nama jenis kayu yang disebut Sipirdot. Setelah mengalami transformasi, kata Sipirdot berubah
menjadi Sipirok yang digunakan sebagai nama untuk mengidentifikasikan satu kelompok masyarakat
dan suatu kawasan tertentu yang merupakan wilayah kehidupan masyarakat yang bersangkutan di
Kabupaten tapanuli Selatan.

1

Universitas Sumatera Utara


pasti sejak kapan sesungguhnya kegiatan bertenun tersebut berkembang di Sipirok.2
Akan tetapi yang jelas, masyarakat Sipirok telah melakukan kegiatan bertenun sejak
lama dalam memproduksi kain adat sekaligus pemasok utama Abit Godang 3 dan
ParompaSadun 4, kedua jenis kain tenun ini digunakan dalam kegiatan upacara adat
oleh masyarakat Sipirok.
Kegiatan bertenun sangat identik dengan kaum wanita. Umumnya, kegiatan
bertenun dilakukan diteras-teras rumah penduduk, dengan menggunakan alat tenun
tradisional yang biasa mereka sebut dengan hasaya. 5 Pelaku kegiatan bertenun dapat
dibagi dalam beberapa golongan, antara lain: a) para pengrajin mandiri, yaitu mereka
yang mengerjakan seluruh tahapan pekerjaan dengan tenaga sendiri dan modal

2

Z. Pangaduan Lubis dan Zulkifli B. Lubis, Sipirok Na Soli Bianglala Kebudayaan
masyarakat Sipirok, Medan: BPPS dan USU Press, 1998, hal. 105.
3
Abit Godangyang berarti “Kain Kebesaran” merupakan kata lain dari penyebutan ulos bagi
masyarakat Angkola Sipirok. Abit Godang atau Ulos adalah kain tenun khas Batak berbentuk
selendang, yang melambangkan ikatan kasih sayangg antara anak dan orangtua dan anak – anaknya

atau antara seseorang dan orang lain. Bentuknya menyerupai selendang dengan panjang sekitar 1,8
meter dan lebar 1 meter, kedua ujungnya berjuntai – juntai dengan panjang sekitar 15 cm. Abit Godang
biasanya digunakan sebagai sabe-sabe atau selendang manortor, penutup hidangan upacara Mangupa,
barang bawaan yang diberikan oleh orang tua ketika putrinya menikah,dan sebainya.
4
Parompa sadun biasanya diucapkan paroppa adalah kain tenun tradisional sub suku batak
Angkola.Kain ini berukuran kurang lebih 100 x 200 cm, dihiasi dengan manik – manik dan rumbai di
ujung kain, dan tenunan motif khas.Paroppa dimaksudkan sebagai kain gendong meskipun tidak
dipakai sehari – hari karena yang dipakai tiap hari untuk menggendong adalah tetap kain batik
panjang. Kain adat ini diberikan oleh orang tua kepada seorang anak wanitanya yang baru di anugerahi
anak pertama, baik bayi laki – laki atau perempuan, tetapi jika anak pertama adalah perempuan
biasanya akan diberikan lagi jika adik lelaki pertama lahir, akan tetapi jika anak pertama adalah laki –
laki, adik perempuannya tidak diberi lagi.
5
Hasaya merupakan seperangkat alat tenun tradisional masyarakat Angkola, Tapanuli
Selatan.Alat ini merupakan alat tenun yang tergolong paling tua di angkola karena berkembang paling
awal.Dalam pengerjaannya lebih mengutamakan tenaga tangan.Alat tenun tersebut terdiri dari
beberapa bagian, yakni pamapan, pambibir, balobas, guyung sijobang, guyun raya, guyun lok-lok,
simbolan, tipak, pagabe, pamanggung, dan tadokan.Alat tenun ini merupakan alat tenun
sederhana.Terbuat dari kayu, bambu atau batang riman dan pelepah enau.Sebagai alat pengikat

menggunakan rotan, tali ijak atau plastik.Semua bahan, peralatan dan perlengkapan untuk membuatnya
dapat diperoleh disekitar kawasan permukiman pengrajin.Sehingga mudah dibuat oleh kaum laki – laki
setempat.

2

Universitas Sumatera Utara

sendiri, b) pekerja upahan, yaitu mereka yang hanya mengandalkan tenaga dan
kepandaian bertenun dengan cara mengambil upahan sesuai dengan jenis pekerjaan
yang dikuasai dan diminati, c) para pengusaha 6, yaitu mereka yang memiliki modal
besar dan dengan modal tersebut mereka mengupah orang lain untuk memproduksi
kain tenun.
Kegiatan bertenun telah dikembangkan sebagai sebuah kegiatan usaha
ekonomi di Sipirok. Hal ini dipelopori oleh seorang ibu rumah tangga yang kini lebih
dikenal dengan nama Ompu Rivai. Kegiatan bertenun mampu menyerap sejumlah
tenaga kerja wanita di daerah Sipirok sehingga sebagian dari wanita di Sipirok
menjadikan kegiatan bertenun sebagai mata pencaharian utama dan sebagian lagi
sebagai mata pencaharian selingan atau sumber penghasilan tambahan disela-sela
aktivitas pertanian atau pekerjaan lainnya. 7

Pembinaan dan pengembangan kerajinan tradisional bertenun memperluas
lapangan kerja sehingga dapat menampung pencari kerja, dan sekaligus melestarikan
warisan budaya. Tidak dapat dipungkiri bahwa tumbuhnya jalur pemasaran
merupakan salah satu pendorong berkembangnya kerajinan tradisional bertenun.
Selain

merupakan

suatu

warisan

budaya

yang

perlu

dilestarikan,


dalam

perkembangannya, kerajinan tradisional bertenun sudah banyak mengalami
perubahan karena adanya inovasi dalam peningkatan benda-benda kerajinan yang
menyangkut proses pembuatan, bentuk maupun motif-motif yang digunakan. Banyak
6

Para pengusaha ini pada umumnya merupakan sebagai pedagang yang memiliki toko di
pasar Sipirok, atau memiliki jaringan pemasaran di luar Sipirok.
7
Z. Pangaduan Lubis dan Zulkifli B. Lubis,op.cit., hal. 105.

3

Universitas Sumatera Utara

diantara hasil kerajinan tradisional yang mengandung nilai artistik yang khas dan
sebagian telah memasuki pasaran sehingga memiliki nilai ekonomi yang semakin
tinggi. Dengan demikian barang kerajinan tradisional artistik itu tidak hanya sekadar
berfungsi dalam budaya masyarakat pendukungnya. 8

Seperti yang sudah dikatakan diatas, produksi kain tenun masyarakat Sipirok
pada awalnya hanya terbatas pada dua jenis kain adat yaitu Abit Godang dan
Parompa Sadun. Namun, sejak tahun 1980 mulai dikembangkan jenis hasil tenunan
lainnya seperti bakal baju, kain sarung atau songket, hiasan dinding, taplak meja, dan
lain-lain. Tidak hanya dari segi jenis hasil tenunan, masyarakat pengrajin kain tenun
juga mulai berkreasi dengan kain tenun, mulai dari corak ataupun warna.
Penganekaragaman jenis produk tenunan di Sipirok, secara langsung dan bertahap
dapat meningkatkan permintaan jumlah tenaga kerja terampil. Hal ini tidak terlepas
dari adanya bantuan dari pemerintah yang memberikan suntikan modal, peralatan
Alat Tenun Bukan Mesin 9, serta pelatihan. Sehingga, dalam perkembangan usaha
kain tenun di Sipirok tidak terlepas dari peran pemerintah daerah Sipirok. Pemerintah
daerah Sipirok senantiasa berusaha mendampingi pengrajinnya dalam memajukan
hasil karya khas milik daerahnya, yang dalam hal ini berada dalam naungan Dinas
Koperasi Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Tapanuli Selatan beserta Dewan
Kerajinan Nasional Daerah Tapanuli Selatan.
8

J. Gultom,Pengrajin Tradisional di Daerah Sumatera Utara, Tanpa kota dan penerbit, hal.

2.

9

Alat Tenun Bukan Mesin lebih dikenal dengan sebutan Silungkang oleh penenun di
Sipirok.Sebutan Silungkang untuk ATBM mereka analogikan dengan tenunan Silungkang di Sumatera
Barat. Padahal, alat ini merupakan bentuk/ukuran standar yang sama di balai pertenunan tradisional
yang ada di Indonesia.

4

Universitas Sumatera Utara

Dari uraian di atas, penulis tertarik untuk mengetahui lebih lanjut tentang
perkembangan tenun ulos di Sipirok yang juga berpengaruh terhadap perekonomian
masyarakat Sipirok yang juga tidak terlepas dari peran pemerintahnya dalam
kesungguhannya untuk memperkenalkan dan memajukan hasil karya masyarakatnya.
Penulis merasa tertarik memilih judul “Perkembangan Tenun Ulos di Kecamatan
Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan (1980 – 2006)”. Penulis mulai dari tahun
1980, karena pada tahun ini perkembangan dari tenun ulos Sipirok mulai tampak dari
tahun-tahun sebelumnya. Hal ini dapat dilihat dari jenis produksi kain tenun yang
awalnya hanya terbatas pada kain adat yaitu Abit Godang dan Parompa Sadun kini

lebih bervariasi, seperti bakal baju, kain sarung atau songket dan sebagainya,
sehingga wilayah pemasaran kain tenun Sipirok tidak hanya untuk wilayah Tapanuli
Selatan tetapi juga ke berbagai daerah. Hal ini menjadikan masyarakat Sipirok lebih
serius dengan kegiatan bertenun, yaitu dengan menjadikannya sebagai mata
pencaharian pokok. Selain dari jenis produksi kain tenun yang mulai bervariasi, para
pengrajin atau penenun mulai diperkenalkan sekaligus menggunakan Alat Tenun
Bukan Mesin disamping mereka masih menggunakan alat tenun tradisional hasaya
milik mereka. Penelitian ini diakhiri tahun 2006, karena pemerintah daerah Sipirok
semakin gencar memperkenalkan kain tenunnya kepada masyarakat luas yaitu dengan
menjadikan kain tenun khas Sipirok sebagai ikon Sipirok yang dimulai dengan
keputusan Bupati Tapanuli Selatan saat itu Ongku P. Hasibuan untuk mewajibkan
kepada para pegawainya untuk menggunakan seragam dari kain tenun Sipirok. Hal

5

Universitas Sumatera Utara

ini merupakan salah satu cara pemerintah daerah Sipirok untuk memperkenalkan dan
mempromosikan kain tenun masyarakat Sipirok.
1.2 Rumusan Masalah

Dalam melakukan suatu penelitian, rumusan masalah menjadi landasan yang
sangat penting dari sebuah penelitian karena akan memudahkan peneliti dalam proses
pengumpulan data dan analisis data. Dari latar belakang yang telah dipaparkan diatas,
maka penelitian ini mencoba melihat perkembangan pertenunan ulos di Kecamatan
Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan pada tahun 1980-2006. Penjabaran permasalahan
yang akan dikaji dalam penelitian ini akan dipandu melalui pertanyaan – pertanyaan
utama sebagai berikut:
1. Bagaimana kegiatan bertenun ulos di Sipirok sebelum tahun 1980?
2. Bagaimana perkembangan pertenunan di Sipirok dari tahun 1980 hingga
2006?
3. Bagaimana peran pemerintah daerah dalam perkembangan pertenunan di
Sipirok?
1.3 Tujuan dan Manfaat penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka, adapun
tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah untuk:
1. Menjelaskan kegiatan bertenun ulos di Sipirok sebelum tahun 1980.
2. Menjelaskan perkembangan pertenunan di Sipirok dari tahun 1980 hingga
2006.

6


Universitas Sumatera Utara

3. Menjelaskan peran pemerintah dalam perkembangan pertenunan di Sipirok
dari tahun 1980 hingga 2006.
Dan adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah
1. Bagi kepentingan ilmu pengetahun, penelitian ini dapat memberikan
informasi perkembangan usaha tenun kain dan pengaruhnya terhadap
perekonomian masyarakat Sipirok.
2. Bagi masyarakat, terutama masyarakat angkola agar mengetahui tentang hasil
budaya daerah asalnya sebagai generasi pewaris dan penerus.
3. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pandangan ke
depan untuk pelestarian sekaligus memajukan warisan budaya serta terus
mendampingi para penenun hingga mampu mandiri.
1.4 Tinjauan Pustaka
Dalam penelitian ini, buku pertama yang menjadi rujukan penulis adalah
karya Z. Pangaduan Lubis dan Zulkifli B. Lubis (1998) yang berjudul Sipirok Na Soli
Bianglala Kebudayaan Masyarakat Sipirok. Buku ini menjelaskan mengenai
kehidupan masyarakat Sipirok dengan keberagaman kebudayaannya. Buku ini sangat
membantu penulis dalam memahami bagaimana corak kehidupan masyarakat Sipirok
yang mengidentifikasikan diri mereka sebagai Halak Angkola(orang angkola) yang
menjadi bagian utama dalam penelitian ini.
Selanjutnya, terdapat karya dari Ahmad Husin Ritonga,dkk. (1993) yang
berjudul Kerajinan Tradisional Abit Godang dan Parompa Sadun Daerah Sumatera

7

Universitas Sumatera Utara

Utara. Dalam buku ini, Ahmad Husin, dkk. mencoba untuk menjelaskan secara jelas
tentang hasil kerajinan tradisional masyarakat Sipirok yaitu Abit Godang dan
Parompa Sadun. Kain tenun Abit Godang dan Parompa Sadun dihasilkan untuk
kegiatan upacara adat masyarakat angkola Sipirok seperti upaca perkawinan,
kematian, upacara danak tubu, manjagit parompa dan sebagainya. Sebagai bagian
dari kegiatan upacara adat masyarakat angkola Sipirok, setiap motif atau corak
beserta warna yang terdapat dalam Abit Godang dan Parompa Sadun memiliki
makna yang penting dalam adat dan kehidupan masyarakat Sipirok.
Kemudian terdapat buku dari J. Gultom,dkk. (1991) yang berjudul Pengrajin
Tradisional di Daerah Provinsi Sumatera Utara. Buku ini merupakan hasil kegiatan
Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya, dalam rangka menggali dan
mengungkapkan khasanah budaya luhur bangsa. Buku ini menjelaskan sejauh mana
pengrajin tradisional khususnya pengrajin daerah Provinsi Sumatera Utara terhubung
dengan kegiatan ekonomi, khususnya dalam hal peningkatan pendapatan dan
bagaimana kaitannya dengan penyerapan tenaga kerja.
Selanjutnya terdapat tesis dari Bontor Arifin Hutasoit (2005) yang berjudul
Hubungan Subkontraktor Antara Partonun dengan Toke: Studi kasus pada industri
kerajinan ulos di Kecamatan Siatas Barita Kabupaten Tapanuli Utara.Tesis ini
menggambarkan bagaimana pola hubungan yang terjadi antara penenun dengan toke
dalam industri pertenunan dengan melihat aspek modal, bahan baku, tenaga kerja dan
pemasaran. Buku ini dianggap sangat perlu karena dapat melihat dan juga

8

Universitas Sumatera Utara

menggambarkan dengan jelas hubungan penenun dengan toke yang terjalin secara
spontan, informal dan tidak tertulis.
1.5 Metode Penelitian
Setiap penelitian diwajibkan menggunakan metode, terutama metode penelitian.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah. Metode penelitian sejarah
adalah sekumpulan prinsip dan aturan yang sistematis yang dimaksudkan untuk
memberikan bantuan secara efektif dalam usaha untuk mengumpulkan bahan – bahan
bagi sejarah, kemudian menilainya secara kritis untuk selanjutnya disajikan dalam
suatu sintesa dari hasil-hasilnya, yang biasanya dalam bentuk tulisan. Metode sejarah
merupakan proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan jejak-jejak
peninggalan sejarah. 10 Dalam penerapannya, metode sejarah menggunakan empat
tahapan pokok, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi.
Tahap pertama adalah heuristik, pada tahap heuristik dilakukan pengumpulan
data atau sumber yang berhubungan dengan topik penelitian. Tentu dalam hal ini
adalah yang berkaitan dengan kegiatan bertenun khususnya untuk wilayah Sipirok,
baik primer maupun sekunder, lisan maupun tulisan. Sumber tertulis didapatkan
dengan menggunakan studi kepustakaan, seperti yang terdapat dari koleksi milik
berbagai perpustakaan seperti Perpustakaan Pusat Universitas Sumatera Utara,
Perpustakaan Kota Medan, Perpustakaan Daerah Sumatera Utara. Penulis juga
menggunakan sumber internet sebagai bahan rujukan.
10

Louis Gottchalk, Mengerti Sejarah, terjemahan dari Nugroho Notosusanto, Jakarta:UI
Press, 1985, hal. 39.

9

Universitas Sumatera Utara

Proses heuristik awal dilakukan di Kota Padangsidimpuan dan juga Sipirok. Hal
pertama yang penulis lakukan adalah mengunjungi kantor-kantor dinas pemerintahan
daerah yang berhubungan dengan industri pertenunan di Sipirok. Kantor Dinas
Koperasi Perindustrian dan Perdagangan dan Dewan Kerajinan Nasional Daerah
Kabupaten Tapanuli Selatan adalah dua instansi pemerintah yang bersentuhan
langsung dengan kegiatan pertenunan di Sipirok. Data-data yang tersedia tergolong
sedikit, karena ketidakpedulian para pegawai pemerintah dalam menjaga dan
merawat data-data pemerintah terdahulu, sehingga data-data terdahulu sangat sulit
untuk ditemukan dikantor pemerintahan ini. Kesulitan dalam memperoleh data dari
pihak pemerintah, penulis mencoba menggali informasi dari pihak penenun di
Sipirok. Dalam hal ini, penulis sangat terbantu atas informasi dari pihak penenun,
akan tetapi sedikit kesulitan ketika ditanyakan angka atau tahun pasti ketika penenun
melakukan

kegiatan-kegiatan

untuk

perkembangan

pertenunan

di

Sipirok.

Selanjutnya, penulis melakukan studi kepustakaan dengan mengunjungi beberapa
perpustakaan daerah Tapanuli Selatan, perpustakaan Kota Padangsidimpuan, dan
perpustakaan lainnya.
Setelah pengumpulan sumber, maka tahap selanjutnya adalah kritik sumber.
Pada tahap ini, sumber-sumber relevan yang telah diperoleh diverifikasi kembali
untuk mengetahui keabsahannya. 11 Oleh karena itu perlu dilakukan kritik untuk
mengetahui otensitas atau memastikan kebenaran sumber yang didapatkan dengan

11

Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya, 1995, hal.

99

10

Universitas Sumatera Utara

melalui kritik ekstern yang dilihat dari penampilan fisik sumber-sumber sezaman
serta kritik intern berupa analisa isi sumber dan perbandingan terhadap sumber yang
didapatkan atas kesamaan maupun ketidaksamaan yang ada. Tujuannya adalah untuk
mendapatkan kredibilitas sumber atau kebenaran isi dari sumber tersebut. 12
Penulis kemudian melanjutkan penelitian ini dengan tahap interpretasi yaitu
memuat analisis dan sintesis terhadap sumber yang telah dikritik dan diverifikasi.
Dalam tahapan ini fakta-fakta yang terkumpul ditafsirkan dengan menggabungkan
keterkaitan antara fakta yang satu dan lainnya, sehingga akan diperoleh data yang
objektif untuk diceritakan kembali kedalam sebuah tulisan.
Tahapan terakhir dari metode sejarah yaitu historiografi.Historiografi atau
penulisan merupakan proses menceritakan rangkaian fakta (penulisan sejarah) secara
kronologis dalam suatu bentuk tulisan yang kritis, analitis dan bersifat ilmiah
sehingga tahap akhir dalam penulisan ini dapat dituangkan dalam bentuk skripsi
dengan terlebih dahulu menulis rancangan isi skripsi.
1.6 Sistematika Penulisan
Hasil penelitian ini berupa skripsi yang terdiri atas beberapa bab, yang
menjelaskan mengenai perkembangan kegiatan bertennun ulos di Kecamatan Sipirok
yang dalam perkembangannya juga terdapat peran pemerintah daerah Kabupaten

12

Ibid.

11

Universitas Sumatera Utara

Tapanuli Selatan. Untuk menjelaskan bagian-bagian tersebut maka disusunlah
sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab satu merupakan bagian pendahuluan yang berisi tentang alasan pemilihan
tema penelitian, dengan rumusan permasalahan yang dibatasi secara spasial dan
temporal. Selain itu terdapat juga tujuan dan manfaat dari penulisan skripsi ini, serta
dicantumkan beberapa tinjauan pustaka sebagai acuan dan perbandingan dalam
penulisan skripsi ini. Skripsi ini menggunakan metode sejarah dengan empat tahapan
pokok, yaitu heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi, dan terdapat pula
sistematika penulisan yang menjelaskan poin-poin isi dari setiap bab.
Bab dua membahas tentang keadaan atau gambaran umum wilayah Sipirok.
Dalam bab ini penulis akan menjelaskan tentang wilayah penelitian yaitu Sipirok,
agar mempermudah dalam menggambarkan dan mengetahui keadaan wilayah
penelitian yaitu Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan. Selain itu, akan
dijelaskan pula tentang masyarakat Sipirok, kependudukannya, kebudayaan
masyarakat Sipirok, kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Sipirok. Hal ini
menjadi perlu dijelaskan karena untuk melihat pola atau corak kehidupan masyarakat
Tapanuli Selatan khususnya masyarakat di Sipirok.
Bab tiga membahas tentang kegiatan bertenun sebelum tahun 1980. Pada bab
ini, penulis akan menjabarkan tentang latar belakang adanya kegiatan bertenun yang
awalnya hanya memproduksi dua jenis kain adat yaitu abit godang dan parompa
sadun, dengan menggunakan alat tenun hasaya. Tenunan tradisonal abit godang dan

12

Universitas Sumatera Utara

parompa sadun sebagai hasil ataupun wujud kebudayaan masyarakat Sipirok, akan
penulis jelaskan tentang bentuk, corak atau motif hingga penggunaannya dalam
kegiatan upacara adat di Tapanuli Selatan.
Bab empat terfokus pada perkembangan tenun kain di Sipirok yang dimulai
dari tahun 1980 hingga tahun 2006. Bab ini dimulai dengan menjelaskan tentang Alat
Tenun Bukan Mesin yang menjadi awal adanya kesempatan bagi para penenun untuk
mewujudkan ide ataupun kreatifitas pada hasil produksi mereka, perolehan bahan
baku, modal, tenaga kerja, hubungan yang terjalin antara penenun dengan toke,
sistem pengupahan, modifikasi dan diversifikasi jenis produksi kain tenun Sipirok
hingga penyebaran wilayah pemasaran kain tenun Sipirok.
Bab lima membahas tentang peranan pemerintah dalam perkembangan
pertenunan di Sipirok. Akan dijelaskan beberapa bentuk dari peranan pemerintah
dalam perkembangan pertenunan seperti mengadakan pelatihan, menyediakan alat
tenun bukan mesin, memberikan bahan baku untuk kegiatan bertenun bagi
masyatakat Sipirok hingga pada tujuan pemerintah daerah Sipirok dalam
keikutsertaannya meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakat Sipirok serta
memajukan daerah Sipirok.
Bab Keenam merupakan bab akhir dari penelitian ini. Bab ini memaparkan
kesimpulan dari uraian yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, serta terdapat
saran dari penulis untuk perkembangan pertenunan di Sipirok untuk masa mendatang.

13

Universitas Sumatera Utara