Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Teologi Agama-Agama Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) D 762010701 BAB II

BAB II
SOSIOLOGI GERAKAN KEAGAMAAN

Bab ini mengelaborasi dan mendiskusikan agama dalam
perspektif sosiologis dan gerakan keagamaan sebagai tipe
gerakan sosial. Ada tiga pemikiran klasik yang dijadikan
rujukan tentang konsepsi agama, yaitu pemikiran Karl Marx,
Emile Durkheim, dan Max Weber. Asumsi yang ada di balik
pemilihan ketiga sosiolog klasik ini adalah karena pemikiran
mereka menjadi dasar pemikiran bagi semua abstraksi tentang
agama dalam sosiologi modern dan kontemporer. Segmen
kedua dalam bab ini adalah konsepsi gerakan keagamaan
sebagai salah satu tipe khas gerakan sosial. Elaborasi dan
diskusi teori berpusat pada tiga konsep besar, yaitu tindakan
sosial, perilaku kolektif, dan gerakan sosial berorientasi nilai.
1. Agama dalam Perspektif Sosiologis
Pada dasarnya sosiologi adalah studi tentang
kehidupan sosial manusia, baik dalam kelompok-kelompok
maupun di dalam komunitas-komunitas. Disiplin ini muncul
seiring terjadinya perubahan sosial yang sangat signifikan di
Eropa pada abad ke-18. Sosiologi hendak menjelaskan secara

objektif dan deskriptif tindakan manusia dalam dunia sosial.
Mengapa orang-orang bertindak dan beraksi dengan cara-cara
tertentu menjadi persoalan utama dalam sosiologi. Demi
menjelaskan tindakan-tindakan manusia dalam dunia sosial
maka dibedakan tiga jenis eksplanasi sosiologis, yaitu
eksplanasi kualitas personal, eksplanasi relasi-relasi sosial,
dan eksplanasi sistem-sistem sosial.1
1 Inger Furseth, An Introduction to the Sociology of Religion (Burlington USA:
Ashgate Publishing Limited, 2006), 1.

27

28 Redefinisi Tindakan Sosial …

Eksplanasi kualitas personal menyatakan bahwa
sebuah peristiwa terjadi karena adanya kualitas-kualitas
individual yang dipandang stabil.2 Eksplanasi ini sering juga
disebut eksplanasi dari dalam. Ketika seorang individu
menunjukan perilaku keagamaan yang radikal maka
eksplanasi dari dalam menyatakan bahwa individu tersebut

memiliki personalitas keagamaan yang mendalam. Eksplanasi
kualitas personal ini cenderung mengandung elemen pujian
atau sebaliknya pengapkiran moral. Oleh sebab itu ekspalanasi
jenis ini sering menunjuk pada karakteristik-karakteristik
kelompok-kelompok
atau
kategori-kategori
secara
keseluruhan. Eksplanasi relasi-relasi sosial memperdalam
pertanyaan
eksplanasi
kualitas
personal
dengan
mempersoalkan mengapa individu memiliki personalitas
keagamaan yang mendalam. Dalam menjawab pertanyaan ini,
eksplanasi relasi sosial bersandar pada prinsip pemikiran
bahwa sebuah fakta atau peristiwa sosial harus dipahami
melalui relasi-relasi sosial di mana orang-orang terlibat. Kata
relasi-relasi menandakan sebuah modicum permanen tertentu

dalam pertalian-pertalian personal. Relasi-relasi sosial bisa
terjadi secara langsung maupun secara tidak langsung melalui
media massa. Eksplanasi struktural biasa disebut juga
eksplanasi sistem. Bentuk eksplanasi seperti ini dapat
ditemukan dalam kehidupan sehari-hari seperti misalnya
ketika orang berbicara tentang pembangunan masyarakat
sebagai kekuatan formatif yang mempengaruhi hidup orangorang.3
Kendatipun terdapat nuansa ekplanasi tersebut di atas
tetapi fokus utama dari sosiologi adalah mempelajari
interaksi-interaksi sosial dan format-format sosial masyarakat.

2
3

Ibid., 2
Ibid.,3

Sosiologi Gerakan Keagamaan 29

Istilah format sosial mengandung pengertian yang luas yang

mencakup struktur-struktur sosial dan patron-patron
dinamika
relasi-relasi
sosial
yang
secara
mutual
mempengaruhi satu sama lain. Pada satu sisi individu-individu
memiliki kemampuan untuk merubah format-format
kemasyarakatan, khususnya ketika mereka bertindak dalam
sebuah organisasi yang berorientasi tujuan dan terkordinasi.
Pada sisi lain, individu-individu juga dilahirkan dalam sebuah
masyarakat dan mereka dipengaruhi oleh masyarakat di mana
mereka lahir dalam ragam cara. Peter Berger menyebut proses
ini sebagai proses dialektika fundamental yang terdiri dari tiga
tahapan, yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi.
Melalui
eksternalisasi
individu-individu
menciptakan

masyarakat. Melalui objektivasi mayarakat menjadi suatu
realitas sui generis. Dan melalui internalisasi masyarakat
menciptakan individu-individu.4
Sosiologi mempelajari agama sebagai bagian dari
struktur sosial dan yang mempengaruhi interaksi-interaksi
sosial. Oleh sebab itu para sosiolog yang tertarik untuk
mengkaji agama berkepentingan untuk melihat bagaimana
agama mempengaruhi masyarakat dan sebaliknya bagaimana
masyarakat mempengaruhi kehidupan keagamaan. Berikut
beberapa pandangan sosiolog klasik tentang agama.
1.1. Karl Marx: Agama sebagai Proyeksi dan Ilusi
Di dalam karya-karya Marx memang tidak ditemukan
pemikiran yang sistematis tentang agama, tetapi di dalam
teori-teori sosialnya, khususnya teori alienasi manusia kita
dapat melihat pandangannya tentang agama. Marx
menunjukan bagaimana di dalam masyarakat kapitalis para

4 Peter L. Berger, The Sacred Canopy: Elements of a Sociological Theory of
Religion (New York: Anchor Books, 1967), 4.


30 Redefinisi Tindakan Sosial …

pekerja diperlakukan sebagai komoditi atau objek. Ia
menunjukan fakta ekonomi yang aktual, yaitu bahwa semakin
buruh bekerja menghasilkan barang maka semakin miskin
keadaannya, semakin banyak hasil pekerjaannya, maka
sebagai sebuah komoditi, harga buruh menjadi sangat murah.
Artinya peningkatan nilai barang ada dalam proporsi langsung
dengan devaluasi nilai manusia. Ia menegaskan, “The object
which labour produces… confronts it as something alien, as a
power independent of the producer. The product of labour is
labour which has been congealed in an object, which has become
material: it is the objectification of labour.”5 Berangkat dari
asumsi tersebut Marx membangun lebih lengkap teori
alienasinya. Ia mengatakan bahwa hasil pekerjaan buruh
berada di luar dirinya sendiri secara tidak bergantung, sebagai
sesuatu yang asing baginya dan menjadi sebuah kekuasaan
yang menentang dirinya. Karl Marx berkata, “The life which he
has conferred on the objects confronts him as something hostile
and alien.”6

Pandangan ini dipengaruhi oleh konsep alienasi
Ludwigh Feuerbach yang mendasarkan agama di dalam
eksistensi duniawi manusia dan percaya bahwa di dalam
agama, manusia mengekspresikan mimpinya tentang sebuah
dunia yang berbeda dan lebih baik. Bukan Tuhan yang telah
menciptakan manusia, seperti yang diajarkan agama, tetapi
manusialah yang telah menciptakan Tuhan. Manusia telah
mengobjektifkan keberadaanya sendiri pada Tuhan dan
kemudian menyediakan kreasinya dengan sebuah kekuatan
kreatif dari yang dipunyainya. Dengan cara ini, sang objek,
konsep tentang Tuhan yang diciptakan oleh manusia, telah
menjadi subjek, dan subjek yang sesungguhnya, manusia, telah
5 Karl Marx, “The Economic and Philosophic Manuscripts” dalam Robert C.
Tucker (Ed.),The Marx-Engels Reader (London: W.W. Norton & Company, 1978), 71
6Ibid.,72.

Sosiologi Gerakan Keagamaan 31

membuat dirinya sendiri menjadi objek. Manusia telah
menjadi asing atau teralienasi dari dirinya sendiri dan agama

mengekspresikan alienasi manusia dari dirinya sendiri.
Dengan kata lain manusia sebagai subjek telah menciptakan
sebuah objek yang, oleh sebuah pembalikan dialektis, menjadi
subjek, sehingga manusia membuat dirinya sendiri sebagai
sang objek. Akan tetapi berbeda dengan Feuerbach yang
menghubungkan proses alienasi ini dengan agama, Karl Marx
percaya bahwa alienasi ini adalah perkara basis eksistensi
manusia di dalam dunia perburuhan.7
Aspek kedua dari alienasi adalah keterasingan buruh
dari tindakan atau aksi produksinya sendiri. Ia menghadapi
pekerjaannya sebagai orang asing. Hal ini terjadi karena di
dalam melakukan pekerjaannya, buruh menyangkali dirinya
sendiri dan tidak memiliki keberadaan esensialnya. Buruh
bekerja bukan atas dasar kebebasan dan kesukarelaan, tetapi
karena keterpaksaan dan tekanan. Marx mengatakan, “As a
result, therefore, the worker no longer feels himself to be freely
active in any but his animal functions – eating, drinking,
procreating, or at most in his dwelling and in dressing-up, etc;
and in his human functions he no longer feels himself to be
anything but animal. What is animal becomes human and what

is human becomes animal.”8
Selain memperhatikan kedua aspek tersebut, Marx
juga menyoroti keberadaan buruh sebagai manusia yang
memiliki kebebasan yang selayaknya memperlakukan dirinya
sendiri secara aktual, universal, dan kreatif. Manusia berbeda
dengan binatang karena manusia melihat tindakan dan
pekerjaannya sebagai objek dari kehendak bebas, kreatifitas,
dan kesadarannya. Manusia bergerak atas dasar aktivitas
7 Per Manson, “Karl Marx” dalam Heine Andersen & Lars Bo Kasperen (Ed.),
Classical and Modern Social Theory (Oxford: Blackwell Publishers Ltd, 2000), 20.
8Karl Marx, dalam Tucker (Ed.),The Marx-Engels Reader…, 74.

32 Redefinisi Tindakan Sosial …

kehidupan yang sadar. Ini yang membedakan tindakan
manusia dengan tindakan hewan. Akan tetapi dengan
objektifikasi maka buruh teralienasi dari dimensi natural dan
spiritual kemanusiaannya. Akhirnya, oleh ketiga aspek alienasi
di atas, yakni alienasi dari hasil pekerjaannya, alienasi dari
aksi pekerjaannya, dan alienasi dari spesiesnya sebagai

manusia, maka lahirlah aspek alienasi keempat, yaitu alienasi
sosial, yaitu keterasingan buruh dengan lingkungan sosialnya.9
Dengan demikian alienasi berhubungan dengan hilangnya
kontrol terhadap perkembangan manusia oleh kondisi-kondisi
material di dalam masyarakat. Pada gilirannya manusia
kehilangan eksistensi dan identitasnya, lalu ia berpaling ke
agama untuk memperoleh sebuah pemahaman tentang dunia
dan mendapatkan pengharapan di tengah keterasingannya.10
Dalam hal inilah agama memberikan gambaran yang keliru
tentang realitas. Oleh sebab itu bagi Marx agama adalah
sebuah proyeksi dan ilusi.
Marx cenderung membedakan antara agama sebagai
superstruktur dan agama sebagai ideologi. Dalam karyanya
German ideology, Marx menguraikan struktur dasar
masyarakat yang terdiri dari kekuatan-kekuatan produksi dan
relasi-relasi produksi. Di atas struktur dasar inilah terbangun
struktur politik, moralitas, perundang-undangan, hukum, dan
agama.11 Di dalam masyarakat dengan struktur kelas-kelas
sosial, ide-ide yang memerintahadalah ide-ide dari kelas yang
memerintah. Ide-ide ini menjadi alat manipulasi dan opresi

terhadap kelas-kelas yang rendah dalam masyarakat. Ide-ide
yang lazim, termasuk agama, memberi legitimasi terhadap
kepentingan kelas dominan.12
Ibid.,75-77.
Furseth, An Introduction to the Sociology of Religion…, 30.
11 Karl Marx, dalam Tucker (Ed.),The Marx-Engels Reader …, 146-154.
12Furseth, An Introduction to the Sociology…, 30-33.

9

10

Sosiologi Gerakan Keagamaan 33

Di dalam karyanya Contribution to the Critique of
Hegel’s Philosphy of Right, Marx mengatakan bahwa manusia
menciptakan agama dan bahwa agama memberi gambaran
yang keliru tentang realitas.13 Untuk itu, perjuangan terhadap
agama secara tidak langsung adalah perjuangan melawan
dunia yang dilukiskan oleh agama itu sendiri. Agama secara
simultan adalah instrumen ketidakadilan yang dipaksakan dan
pada saat yang sama adalah juga sikap protes terhadap
ketidakadilan. Agama adalah reaksi populer terhadap opresi.
Karena itu kritik terhadap agama adalah kritik bagi mereka
yang membutuhkan agama.
Marx
memiliki
pengaruh
besar
terhadap
perkembangan sosiologi agama. Idenya adalah bahwa agama
memenuhi kebutuhan-kebutuhan bagi mereka yang berada
pada level terbawah dalam stratifikasi sosial, dan bahwa
mereka berkompensasi dengan mencari tujuan-tujuan
alternatif di dalam agama. Inilah yang disebut sebagi teori
deprivasi.14 Teori ini memiliki pengaruh besar pada studi-studi
tentang agama kelas pekerja dan analisis tentang gerakan
keagamaan. Teori Marx dapat dipakai dalam studi-studi
tentang bagaimana kelompok-kelompok sosial menggunakan
agama untuk melegitimasi kepentingan-kepentingan mereka
dan di dalam analisis-analisis agama yang digunakan sebagai
kekuatan yang mendukung kelompok-kelompok tertentu.
1.2. Emile Durkheim: Agama sebagai Integrasi
Kontribusi teori Durkheim terletak pada perhatiannya
terhadap basis normatif integrasi sosial, bahaya-bahaya
individualisme dan anomi, serta signifikansi kolektivitas.
Durkheim berada dalam tradisi sosiologis Perancis yang punya

13
14

Karl Marx, dalam Tucker (Ed.),The Marx-Engels Reader …, 54-55
Furseth, An Introduction to the Sociology…, 34.

34 Redefinisi Tindakan Sosial …

perhatian khusus terhadap persoalan disintegrasi sosial dan
unitas sosial. Pemahaman bahwa masyarakat membentuk
sebuah unitas yang terintegrasi cukup menonjol di Jerman dan
Perancis menjelang akhir abad kesembilan belas dan mencapai
signifikansinya pada pemikiran Durkheim. Di dalam tradisi ini,
masyarakat dipandang sebagai sebuah unitas yang terintegrasi
yang dalam beberapa hal bersesuaian dengan suatu organisme
hidup. Suatu organisme biologis ditentukan oleh suatu relasi
material, sementara masyarakat dipersatukan oleh ikatanikatan ide-ide dan unitas sosial. Tradisi ini menunjuk dua tema
kunci di dalam tulisan-tulisan Durkheim, yaitu moralitas dan
solidaritas sosial.
Selain dari pada faktor-faktor struktural, faktor-faktor
moral, seperti agama juga berkontribusi terhadap solidaritas
sosial. Inilah yang membawa Durkheim ke ranah sosiologi
agama. Dalam bukunya Suicide,15 Durkheim menunjukan
keterhubungan statistik antara angka bunuh diri dengan
denominasi keagamaan di beberapa negara Eropa Barat.
Negara-negara Protestan di Eropa Barat memiliki angka bunuh
diri yang lebih tinggi ketimbang negara-negara Katolik oleh
karena
gereja-gereja
Protestan
kurang
terintegrasi
dibandingkan dengan gereja Katolik. Gereja-gereja Protestan
kurang memberikan proteksi terhadap tipe-tipe bunuh diri
yang disebabkan oleh suatu level integrasi yang rendah
15Durkheim memilih topik ‘suicide’ karena bagi Durkheim ‘suicide’ belum
terdefinisi dengan baik di dalam masyarakat dan merupakan salah satu pokok yang
kalau dipelajari dengan baik maka ia akan menunjukan hukum-hukum sosial yang
dengannya akan terlihat posibilitas sosiologi yang lebih baik dibandingkan dengan
argumen-argumen dialektis dalam menjelaskan fenomena sosial. Durkheim
mengingatkan juga bahwa di dalam karyanya ini akan ditemukan problem-problem
metodologis. Namun Durkheim mengingatkan kembali bahwa metode sosiologis
bersandar pada prinsip dasar, yaitu bahwa fakta-fakta sosial harus dipelajari sebagai
benda-benda (things), yaitu sebagai realitas-realitas eksternal bagi individu. Durkheim
juga mengingatkan bahwa di dalam karyanya ini akan ada kesan yang kuat bahwa
individu didominasi oleh realitas moral yang lebih besar dari dirinya sendiri, yaitu
realitas kolektif. Lih. Emile Durkheim, Suicide, translated by John A. Spaulding and
George Simpson (London & New York: Routledge, 2002), xl.

Sosiologi Gerakan Keagamaan 35

(egoistic suicide) dibanding yang dilakukan oleh gereja Katolik
terhadap umatnya.16
Untuk mempelajari agama secara lebih dekat, ia
mengkaji agama yang paling primitif dan paling sederhana
yang dapat dikenal, dengan perkiraan bahwa agama itu akan
mewakili bentuk paling mendasar dari semua agama. The
Elementary Forms of the religious Life didasarkan pada studistudi yang sudah ada tentang kehidupan keagamaan penduduk
pribumi Australia. Agama primitif memperlihatkan aspek
kemanusiaan yang paling fundamental dan permanen dan
dapat menjelaskan hakikat religius manusia.17 Di dasar semua
sistem kepercayaan dan pemujaan Durkheim meyakini adanya
sejumlah representasi fundamental dan pola perilaku ritual
yang punya makna objektif dan fungsi yang sama di mana dan
kapanpun, lepas dari keragaman bentuknya masing-masing.
Elemen inilah yang membentuk sesuatu yang abadi dan
manusiawi dalam agama.18
Apa yang dimaksud dengan agama? Untuk menjawab
pertanyaan ini Durkheim mencatat dua hal. Pertama adalah
bahwa upaya mendefinisikan agama harus dimulai dengan
membebaskan pikiran dari ide-ide prapemahaman. Artinya,
agama-agama harus dipandang dalam kenyataan konkritnya.
Kedua adalah bahwa ciri-ciri umum agama harus menjadi
Semua
kepercayaan
religius
pusat
perhatian.19
memperlihatkan satu ciri yang umum, yaitu klasifikasi akan
yang profan dengan yang sakral. Durkheim memasukan pada
yang sakral itu misalnya kepercayaan, mitos, dogma, legenda.
Apa yang menjadi karakteristik yang sakral itu sehingga bisa
dibedakan dengan yang profan adalah bahwa yang sakral
Ibid., 123-125.
Emile Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life (New York &
London: The Free Press, 1915), 13.
18 Ibid., 20
19Ibid.,37-38.
16

17

36 Redefinisi Tindakan Sosial …

cenderung memiliki martabat dan kekuatan yang superior
ketimbang yang profan dan memiliki sifat absolut.20
Kepercayaan religius pada hakekatnya adalah
representasi-representasi yang mengekspresikan keadaan halhal yang sakral dan hubungannya dengan hal-hal yang sakral
lainnya atau dengan hal-hal yang profan. Kesimpulannya
adalah bahwa agama terbentuk ketika sejumlah hal yang
sakral memiliki relasi pengawasan dan subordinasi satu
dengan yang lainnya dan terbentuk semacam sistem koherensi
yang tidak dimiliki oleh sistem lain, maka pada saat itu secara
bersama kepercayaan dan ritus-ritus membentuk sebuah
agama.21
Dalam hubungan dengan definisi tentang agama,
Durkheim menyinggung konsep magis. Dalam beberapa hal
magi mempunyai kesamaan dengan agama, misalnya magis
juga berisi kepercayaan, ritus, dogma, dan mitos. Akan tetapi
Durkheim juga mengingatkan bahwa sering kali agama
bermusuhan dengan magis.
Lalu bagaimana Durkheim
membedakan secara tegas antara agama dengan magis?
Jawabnya adalah bahwa agama memiliki kelompok sosial dan
komunitas moral tertentu, sedangkan magis tidak, ia lebih
bersifat individual. Dengan ini maka secara implisit Durkheim
tidak menerima adanya agama personal yang bersifat
individual. Durkheim mendefinisikan agama sebagai “a unified
system of beliefs and practices relative to sacred things, that is
to say, things set apart and forbidden – beliefs and practices
which unite into one single moral community called a Church, all
those who adhere to them.”22

Ibid.,52-53.
Ibid., 55.
22Ibid.,62.

20

21

Sosiologi Gerakan Keagamaan 37

1.3. Max Weber: Agama sebagai Legitimasi
Weber memperhatikan tindakan-tindakan keagamaan
sebagai sebuah tipe khusus tindakan sosial. Untuk meraih
sebuah
pemahaman
tentang
tindakan
sosial,
ia
memandangnya dari sudut pandang makna yang dimiliki oleh
tindakan itu. Oleh karena itu tindakan keagamaan terorientasi
ke tujuan-tujuan yang masuk akal. Ia menginterpretasi
tindakan keagamaan dengan memahami motif-motif sang
aktor dari sudut pandang subjektif.23
Dalam karyanya The Sociology of Religion Weber
menggambarkan agama sebagai suatu sistem sosial yang
berakar pada abstraksi dan rasionalisasi pemahamanpemahaman keagamaan. Peta pemikirannya tentang agama
dimulai dari persoalan bagaimana agama itu mengambil
tempat di dalam struktur sosial. Dalam hal ini terdapat dua
issu penting, yakni abstraksi dan rasionalisasi. Proses
abstraksi terjadi di dalam instansi-instansi perilaku kegamaan
yang paling primitif, yaitu ketika mulai terbentuk pemahaman
bahwa di belakang aktivitas objek-objek natural, artifakartifak, binatang-binatang, dan orang-orang terdapat sesuatu
yang tidak dapat ditentukan, tidak dapat dilihat, bersifat non
personal, tetapi memiliki pengaruh yang kuat terhadap
kenyataan. Sesuatu ini dapat masuk ke dalam sebuah objek
yang konkrit sehingga objek tersebut memiliki kualitas
tertentu. Sesuatu itu disebutnya spirit dan kualitas tertentu itu
disebutnya charisma.24 Jadi agama muncul sebagai hasil
abstraksi dan rasionalisasi manusia terhadap pengalamanpengalaman hidupnya.
Tema yang konsisten di dalam karya-karya Weber
adalah untuk mendefinisikan dan menjelaskan ciri-ciri
Furseth, An Introduction to the Sociology…, 36.
Max Weber, The Sociology of Religion, translated by Ephraim Fischoff
(Boston: Beacon Press, 1992), 3.
23

24

38 Redefinisi Tindakan Sosial …

istimewa peradaban Barat. The Protestant Ethic dapat
dianggap sebagai pengantar untuk tema ini. Di dalam karya ini
Weber menentukan suatu interelasi ide-ide keagamaan
dengan tingkah laku ekonomi. Tesisnya adalah bahwa ide-ide
Puritan mempengaruhi perkembangan kapitalisme.25
Kontras dengan Durkheim, yang memandang agama
sebagai sebuah ekspresi kesadaran dari keseluruhan
masyarakat, Weber berpikir bahwa ide-ide dapat memiliki
fungsi-fungsi integratif bagi sebuah kelompok. Namun
demikian, ia membuat pokok yang sama dengan Marx tentang
hal itu ketika menegaskan bahwa ada sebuah keterhubungan
antara konten dari suatu ideologi dengan posisi sosial dari
kelompok yang mengusungnya. Tetapi keterhubungan ini
tidak bersifat deterministik. Kontras dengan Marx, Weber
berpikir bahwa satu ideologi tidak selalu terbatas terhadap
anggota-anggota dari satu stratum sosial saja. Juga, semua
anggota dari satu stratum sosial tidak akan menjadi anggota
dari satu agama yang sama.
2. Gerakan Keagamaan sebagai Tipe Gerakan Sosial
Para sosiolog klasik tersebut di atas memandang
agama sebagai bagian dari struktur sosial masyarakat.
Pemikiran mereka membawa pada pemahaman bahwa
dinamika keagamaan adalah bagian dari fenomena sosial. Oleh
sebab itu gerakan-gerakan keagamaan dapat dipandang
sebagai tipe khusus gerakan-gerakan sosial.
Penelitian tentang gerakan-gerakan keagamaan tidak
hanya signifikan secara normatif, tetapi juga yang tidak kalah
pentingnya adalah meneliti kebutuhan-kebutuhan sosialnya,
gaya-gaya dan tingkat kesadaran sosialnya, konsekwensi-

25 Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, translated by
Talcott Parsons (New York: Charles Scribner’s Sons, 1958), 155.

Sosiologi Gerakan Keagamaan 39

konsekwensi disrupsi sosial dan patron-patron responsif
terhadapnya. Itu berarti gerakan-gerakan keagamaan harus
dianggap sebagai sebuah pola aksi sosial yang terstimulasi
oleh interpretasi-interpretasi keagamaan terhadap prosesproses perubahan sosial kontemporer.26 Teori-teori terkini
tentang gerakan-gerakan keagamaan didasarkan pada konsepkonsep tindakan sosial, perilaku kolektif dan gerakan sosial.
Para sosiolog yang tertarik dengan gerakan-gerakan
keagamaan memikirkan persoalan bagaimana gagasangagasan, individu-individu, kejadian-kejadian, dan organisasiorganisasi telah terhubung satu sama lain dalam sebuah
proses tindakan kolektif. Isu-isu utama yang diperhatikan
adalah hubungan antara perubahan-perubahan struktural dan
transformasi dalam patron-patron konflik sosial, peran
representasi kultural dalam konflik sosial, proses yang di
dalamnya nilai-nilai, kepentingan-kepentingan, dan gagasangagasan berkembang menjadi tindakan kolektif, dan konteks
sosial, politik, kultural yang memfasilitasi keberhasilan
gerakan-gerakan keagamaan baru.27
Dengan meluasnya issu yang diusung oleh gerakangerakan keagamaan, dari isu konflik antara kelas dalam
masyarakat kapitalis hingga isu kesetaraan gender, hak-hak
sipil bagi kelompok minoritas, kebebasan beragama, isue
rasial, dan lingkungan hidup, maka dirasakan pendekatan
terhadap gerakan-gerakan kegamaan tidak cukup hanya
dengan mengandalkan model Marxist dan model strukturalfungsionalis.28 Model ini mengandaikan suatu hubungan
kausal yang linier di mana ketegangan-ketegangan struktural
26 Bryan Wilson, Magic and the Millenium: A Sociological Study of Religious
Movements (New York : Harper & Row Publisher, 1973), 1.
27 Bryan Wilson & Jamie Cresswell (Ed.), New Religious Movements:
Challenge and Response (London & New York: Routledge, 1999), 1-12.
28 Donatella Della Porta dan Mario Diani, Social Movements: An Introduction
(Malden MA: Blackwell Publishing, 2006), 6.

40 Redefinisi Tindakan Sosial …

akan dapat menghasilkan ketidaknyamanan psikologis yang
pada gilirannya menghasilkan tindakan kolektif. Ragam
ketegangan dalam kehidupan sosial memunculkan tingkat
ambiquitas normatif dan sosial tentang bagaimana harusnya
menanggapi keadaan dan kondisi sosial yang berubah.29 Dalam
hal ini gerakan-gerakan keagamaan dapat dilihat sebagai
mekanisme pelarian diri dari orang-orang yang merasa
terasing dan tidak berdaya menghadapi berbagai perubahan
sosial dan yang melaluinya individu-individu merasa berdaya
dan bersatu kembali. Singkatnya, gerakan-gerakan keagamaan
tidak lain dari pada mekanisme-mekanisme untuk mengatasi
ketidaknyamanan psikologis yang diakibatkan oleh
ketegangan-ketegangan struktural.
Pendekatan struktural-fungionalis ini kemudian
dilengkapi oleh pendekatan teori mobilisasi sumber daya yang
memandang gerakan-gerakan keagamaan sebagai tindakan
rasional dan manifestasi tindakan kolektif yang terorganisasi.
Dengan pendekatan ini sumber daya dan struktur-struktur
mobilisasi, seperti organisasi-organisasi gerakan yang normal
dipandang perlu untuk menciptakan ketidakpuasan kolektif.30
Gerakan-gerakan keagamaan sebagai tipe yang khas dari
gerakan sosial kemudian dipandang sebagai suatu pernyataan
yang terorganisasi dan terstruktur melalui mekanismemekanisme mobilisasi sumber daya strategis bagi tindakan
kolektif yang berlanjut. Berdasarkan nuansa ini maka
perspektif teoritis yang hendak menjadi sorotan di sini adalah
bagaimana melihat komponen-komponen utama gerakangerakan keagamaan sebagai salah satu tipe khas dari gerakangerakan sosial.

29Quintan Wiktorowicz, Gerakan Sosial Islam, diterjemahkan oleh Tim
Penterjemah Paramadina (Yogyakarta: Gading Publishing dan Paramadina, 2012), 43.
30Ibid., 47.

Sosiologi Gerakan Keagamaan 41

2.1. Tindakan Sosial sebagai Komponen Perilaku Kolektif
Menurut Talcott Parsons, secara logis sebuah tindakan
melibatkan seorang agen atau aktor, sebuah tujuan ke mana
tindakan itu diarahkan, sebuah situasi yang mencakup
ketentuan dan sarana untuk tindakan, serta seperangkat
norma yang mengarahkan tindakan tersebut.31 Pemikiran ini
mensyaratkan sebuah proses tindakan, pilihan-pilihan aktor
yang berkenaan dengan tujuan dan cara pencapaian,
subjektifitas, dan situasi.
Konsepsi ini bersumber dari
pemikiran Max Weber tentang tindakan sosial. Menurut
Weber tindakan sosial dapat berorientasi ke masa lalu, masa
kini, dan masa depan. Suatu tindakan bersifat sosial apabila
tindakan itu diarahkan kepada perilaku orang lain. Maka
berdasarkan orientasinya Weber mencirikan empat tipe
tindakan sosial. Pertama adalah tindakan sosial yang secara
instrumental berorientasi rasional yang ditentukan oleh
ekspektasi-ekspektasi yang digunakan sebagai kondisi-kondisi
atau cara-cara untuk meraih tujuan akhir yang telah
diperhitungkan sebelumnya oleh sang aktor. Kedua adalah
tindakan sosial yang berorientasi nilai yang ditentukan oleh
keyakinan yang sadar tehadap nilai etika, keindahan, dan
agama. Ketiga adalah tindakan sosial yang berorientasi afektif
emosional yang ditentukan oleh kondisi perasaan aktor.
Keempat adalah tindakan sosial tradisional yang ditentukan
oleh kebiasaan.32
Neil Smelser di dalam bangunan teorinya tentang
perilaku kolektif mengembangkan konsep tindakan sosial dari
Max Weber dan Talcott Parsons. Smelser sepaham bahwa teori
tindakan sosial memandang perilaku organisme hidup sebagai
31 Talcott Parsons, The Structure of Social Action (Illinois: The Free Press,
1949), 44 – 47.
32 Max Weber, Economy and Society (Berkeley: Univ. of California Press,
1968), 22-23.

42 Redefinisi Tindakan Sosial …

tindakan yang berorientasi pada pencapaian harapan dan
tujuan dengan cara mengeluarkan tenaga yang secara normatif
diregulasi. Ia juga menyebut empat hal yang berkaitan dengan
tindakan sosial, yaitu bahwa tindakan sosial selalu diarahkan
pada pencapaian tujuan atau harapan, terjadi di dalam situasi
sosial, bersifat normatif – regulatif, dan melibatkan upaya dan
motivasi.33 Akan tetapi menurut Smelser konsepsi Weber dan
Parson didasarkan pada sudut pandang aktor, sehingga pada
level abstraksi, individu-individu diperlakukan sebagai suatu
sistem utama dan penting. Menurutnya, konseptualisasi
dengan perspektif ini tidak dapat dipakai untuk memahami
perilaku kolektif. Oleh sebab itu ia menerapkan konsepsi
tindakan sosial terhadap sistem tindakan sosial yang
melibatkan dua aktor atau lebih. Smelser menggiring analisis
tindakan sosial pada level interaksi antara aktor dalam sebuah
sistem sosial.34 Ia kemudian memperhatikan peran-peran dan
organisasi-organisasi sosial lalu menyatakan bahwa kalau
tindakan sosial hendak dikaji secara sosiologis, maka level
sistem sosial merupakan sebuah keniscayaan.
Berdasarkan perspektif ini, Smelser menyebut empat
komponen utama tindakan sosial. Komponen pertama adalah
nilai-nilai (values) yang akan memberikan panduan terhadap
perilaku sosial yang disengaja. Nilai-nilai ini adalah komponen
yang paling umum dari tindakan sosial dan dapat ditemukan
dalam sebuah sistem nilai dengan terma-terma umum yang
menyatakan tujuan akhir atau kondisi akhir yang diharapkan.
Komponen kedua adalah aturan-aturan regulatif (norms) yang
mengatur pencapaian tujuan-tujuan perilaku sosial. Normanorma adalah aturan yang mewakili penegasan penerapan
nilai-nilai umum. Ia dapat ditemukan di dalam struktur
33

Neil Smelser, Theory of Collective Behavior (New York: The Free Press,

1962), 23.
34

Ibid., 24.

Sosiologi Gerakan Keagamaan 43

institusional yang resmi. Norma-norma bersifat lebih spesifik
ketimbang nilai-nilai, karena norma menentukan prinsipprinsip regulatif yang perlu jika akan mewujudkan nilai-nilai
yang ada. Norma-norma adalah cara di mana pola nilai budaya
dari sebuah sistem sosial diintegrasikan ke dalam aksi atau
tindakan yang konkrit dari unit-unitnya dalam interaksi
mereka satu sama lain. Komponen ketiga adalah mobilisasi
individu untuk meraih nilai-nilai sebagai tujuan tindakan
sosial berdasarkan norma-norma atau aturan-aturan regulatif.
Komponen ini berkaitan dengan persoalan siapa yang akan
menjadi agen di dalam mencapai atau mewujudkan tujuan
akhir atau nilai-hilai yang diharapkan, bagaimana tindakan
dari agen-agen ini akan disusun ke dalam peran-peran yang
terstruktur dan terorganisir, dan bagaimana mereka dihargai
atas partisipasinya di dalam peran dan organisasinya. Para
sosiolog menyebut peran ini sebagai peran organisasi sosial
atau struktur sosial. Komponen yang keempat adalah
ketersediaan fasilitas situasional yang dipakai oleh aktor
sebagai cara untuk ketiga hal di atas, yang mencakup
pengetahuan akan lingkungan, kemampuan memperkirakan
akibat dari tindakan, dan alat-alat serta ketrampilan.
Komponen ini melibatkan cara-cara dan halangan-halangan
yang memfasilitasi atau menghalangi pencapaian tujuantujuan konkrit di dalam konteks peran dan konteks organisasi.
Komponen ini merujuk pada pengetahuan aktor akan
kesempatan dan keterbatasan yang ada di lingkungannya dan
dalam beberapa hal pengetahuan aktor akan kemampuannya
sendiri untuk mempengaruhi lingkungannya.35
Berdasarkan perspektif konseptual tersebut, maka
pertanyaan-pertanyaan mendasar dalam setiap analisis
terhadap instansi tindakan sosial dalam gerakan keagamaan
35

Ibid.,25.

44 Redefinisi Tindakan Sosial …

adalah apa yang menjadi nilai-nilai yang melegitimasi tindakan
sosial tersebut pada level yang paling umum, oleh jenis normanorma apa tindakan sosial itu terkordinasikan, di dalam cara
apa tindakan sosial itu tersusun ke dalam peran-peran dan
organisasi-organisasi, dan jenis fasilitas situasional apa yang
tersedia bagi ketiga komponen sebelumnya. Pertanyaanpertanyaan ini kemudian ditempatkan dalam kerangka
berpikir “when strain is exerted on one or more of these
components, and when established ways of relieving the strain
are not available, various kinds of collective outbursts and
movements tend to arise.”36 Hubungan antara komponenkomponen tindakan sosial harus dipahami secara hirarkis.
Artinya, perubahan nilai akan membawa perubahan pada
norma, organisasi, dan fasilitas. Perubahan norma akan
mengakibatkan perubahan pada definisi organisasi dan
fasilitas. Perubahan organisasi akan mengakibatkan
perubahan pada definisi fasilitas.37 Itu berarti perubahan
bersifat top down, bukan bottom up. Artinya, apabila
ketegangan muncul maka komponen-komponen tindakan
sosial akan menjadi out of order dan memerlukan perbaikan.
Pertanyaannya adalah bagaimana ketegangan itu diatasi dan
bagaimana tindakan sosial diperbaiki. Sehubungan dengan
persoalan ini maka prinsip umum untuk menyusun kembali
tindakan sosial adalah bila ketegangan muncul maka perhatian
harus digeser ke level tindakan sosial yang lebih tinggi untuk
mencari sumber daya dalam mengatasi suatu ketegangan.
Dengan kata lain, ketika ketegangan muncul, yang terjadi pada
tindakan sosial adalah bahwa upaya-upaya dibuat untuk
bergerak ke komponen pada level yang lebih tinggi,
menyusunnya kembali, kemudian menggabungkan kembali

36
37

Ibid.,28.
Ibid., 33.

Sosiologi Gerakan Keagamaan 45

prinsip-prinsip yang baru tersebut ke level tindakan sosial
yang lebih konkrit dan operatif. Inilah prinsip dekonstruksi
dan rekonstruksi tindakan sosial.38
Komponen-komponen tindakan sosial menyediakan
kerangka teoritis yang umum untuk memahami isu-isu elusif
dari perilaku kolektif, misalnya apa jenis ketegangan
struktural yang memunculkan adanya perbedaan tipe perilaku
kolektif, di jalur mana respon perilaku kolektif terhadap
ketegangan struktural ini mengalir, apa tipe-tipe utama
perilaku kolektif dan bagaimana mereka terhubung satu sama
lain, serta bagaimana kontrol sosial mempengaruhi
perkembangan perilaku kolektif.39 Dengan demikian dalam
pandangan Smelser gerakan sosial dapat muncul apabila ada
ketegangan-ketegangan struktural di dalam masyarakat yang
berkaitan dengan nilai atau norma dan keteganganketegangan tersebut tidak dapat diatasi oleh struktur sosial
yang ada. Dalam hal inilah pada umumnya gerakan-gerakan
sosial berorientasi pada perubahan sosial.
2.2. Perilaku Kolektif sebagai Komponen Gerakan Sosial
Sosiologi pada umumnya menghubungkan perilaku
kolektif atau tindakan kolektif dengan respon-respon massif
yang terwujud di dalam ragam gerakan sosial untuk sebuah
perubahan sosial. Menurut Nicholas Abercrombie konsep
perilaku kolektif pertama kali muncul dalam teori kerumunan
dari G. Le Bon di tahun 1895. Pemikirannya yang utama adalah
bahwa ketika terjadi gejolak sosial maka masyarakat akan
terancam oleh aturan kerumunan. Pada saat itu mentalitas
individual akan dikuasai oleh mentalitas kolektif sehingga

38
39

Ibid., 67-70.
Ibid.,45-46.

46 Redefinisi Tindakan Sosial …

secara radikal perilaku individual akan ditransformasi menjadi
perilaku kolektif.40
Konsepsi awal perilaku kolektif sebagai tindakan
rasional tersebut kemudian dikembangkan dengan lengkap
oleh Neil Smelser. Ia mendefinisikan perilaku kolektif sebagai
suatu mobilisasi sosial yang berbasiskan kepercayaan dalam
rangka mengartikan kembali tindakan sosial.41 Itu berarti
perilaku kolektif bersangkutan dengan redefinisi kolektif
terhadap suatu keadaan yang tidak terstruktur. Ia berbeda
dengan perilaku konfensional sebab perilaku konfensional
merupakan hasil dari harapan-harapan yang sudah mapan.42
Berdasarkan definisi ini Smelser menyebutkan bahwa perilaku
kolektif dipandu oleh ragam jenis kepercayaan, pengkajian
terhadap situasi, harapan-harapan, dan keinginan-keinginan.
Kepercayaan-kepercayaan yang dimaksudkan oleh Smelser
mencakup kepercayaan akan eksistensi kekuatan-kekuatan
luar biasa (extraordinary forces).
Teori perilaku kolektif Smelser dibangun di atas dua
konstruksi, yaitu konstruksi komponen-komponen tindakan
sosial dan konstruksi proses pertambahan nilai. Yang pertama
adalah bahasa yang dipakai Smelser untuk menggambarkan
dan mengelompokan tindakan sosial, sedangkan yang kedua
adalah cara untuk mengatur faktor-faktor penentu di dalam
model-model eskplanasi.
Smelser mengatakan bahwa menurut logika
pendekatan pertambahan nilai, peristiwa atau situasi apapun
demi menjadi sebuah faktor penentu dari suatu episode
kolektif, maka ia harus terjadi di dalam batas-batas yang
dibuat oleh faktor-faktor penentu yang lain. Dalam bentuknya
40 Nicholas Abercrombie (et.al.), Kamus Sosiologi (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010), 92.
41 Smelser, Theory of Collective Behavior…, 6.
42 Ibid.,23.

Sosiologi Gerakan Keagamaan 47

yang paling sederhana pendekatan ini melibatkan klaim
bahwa terdapat keseragaman rangkaian empiris tertentu di
dalam perkembangan sebuah episode perilaku kolektif. Di
dalam proses pertambahan nilai ini ia membedakan antara
occurrence atau existence dari suatu peristiwa atau situasi
dengan activation dari peristiwa atau situasi itu sebagai satu
faktor penentu. Logika pertambahan nilai menyatakan secara
tidak langsung suatu rangkaian aktivasi temporal dari faktorfaktor yang menentukan. Akan tetapi semua faktor penentu ini
mungkin telah ada selama suatu periode yang tidak tentu
sebelum terjadinya aktivasi. Logika inilah yang menentukan
penjelasan dari sebuah episode perilaku kolektif. Singkatnya,
logika pertambahan nilai menempatkan sebuah rangkaian
tertentu bagi aktivasi faktor-faktor penentu, tetapi tidak
menempatkan sebuah rangkaian tertentu bagi pembentukan
secara empirik peristiwa-peristiwa atau situasi-situasi.
Menurut Smelser, peristiwa atau situasi empiris tertentu
mungkin menjadi penting sebagi faktor penentu perilaku
kolektif. Krisis finansial yang hebat misalnya akan
menciptakan deprivasi ekonomi yang meluas dan ketegangan
struktural sehingga dapat mencetuskan satu letupan sosial.
Perpecahan keagamaan yang berlangsung lama, akan
membuat frustrasi setiap kelompok. Di bawah kondisi-kondisi
ketegangan struktural seperti ini, faktor-faktor penentu laten
dapat diaktifkan untuk memberi kontribusi bagi sebuah
ledakan kolektif.43
Pemikiran Smelser yang relevan di sini adalah bahwa
perilaku kolektif dapat dikelompokkan dan dianalisis di bawah
kerangka konseptual yang sama dengan semua perilaku sosial,
dan bahwa bentuk-bentuk perilaku kolektif merupakan
sebuah serial yang bertingkat mulai dari yang sederhana
43

Ibid.,19-20..

48 Redefinisi Tindakan Sosial …

sampai yang kompleks. Bentuk-bentuk yang lebih kompleks
akan mencakup lebih banyak komponen ketimbang bentukbentuk yang lebih sederhana.
Orang-orang yang berada di bawah situasi atau kondisi
ketegangan dapat memobilisir sumber daya mereka untuk
menyusun kembali tata sosial atas nama sebuah keyakinan
umum.44 Artinya, gerakan-gerakan sosial menjadi jalan
rasional yang diambil oleh sekelompok orang yang
menginginkan terjadinya perubahan sosial. Memang proposisi
ini sangat umum dan tidak cukup menolong untuk
menafsirkan data-data aktual ragam perilaku kolektif dalam
gerakan-gerakan sosial. Maka untuk membuatnya lebih
spesifik perlu diidentifikasi sejumlah keyakinan umum yang
berbeda dan kemudian dipertanyakan di bawah kondisi apa
orang akan mengembangkan keyakinan itu dan bertindak di
atasnya. Misalnya gerakan keagaman berorientasi nilai, di
bawah kondisi kondusifitas apa orang-orang akan
mengembangkan nilai-nilai agama dan bertindak di atasnya?
Pertanyaan inilah yang membuat proposisi utama Smelser
dapat diimplikasikan secara metodologis untuk memahami
tipe-tipe, level-level, dan kualitas-kualitas perilaku kolektif di
dalam masyarakat.
Perilaku kolektif memiliki empat komponen utama,
yaitu nilai-nilai (values) sebagai sumber daya umum bagi
legitimasi tindakan sosial, norma-norma (norms) sebagai
patokan regulatif (regulatory standard) dalam berinteraksi,
pengerahan (mobilization) motivasi individu untuk tindakan
yang terorganisir di dalam peran-peran dan kolektifitaskolektifitas, fasilitas-fasilitas situasional (situational facilities)
seperti informasi atau pengetahuan, ketrampilan, peralatan,
dan hambatan-hambatan dalam mencapai tujuan yang
44

Ibid., 385.

Sosiologi Gerakan Keagamaan 49

konkret.45 Berdasarkan keempat komponen ini dapat
dibedakan empat tipologi perilaku kolektif dan gerakan sosial.
Tipologi pertama adalah gerakan berorientasi nilai (the valueoriented movement) sebagai tindakan kolektif yang dimobilisir
atas nama sebuah keyakinan yang digeneralisasi (generalized
belief) dalam rangka menyusun kembali kembali nilai-nilai
dalam tindakan sosial. Kedua adalah gerakan berorientasi
norma (the norm-oriented movement) sebagai tindakan
kolektif yang dikerahkan untuk menyusun kembali normanorma dalam tindakan sosial. Ketiga adalah ledakan tindakan
permusuhan (the hostile outburst) sebagai tindakan kolektif
yang dikerahkan untuk meminta tanggung jawab para aktor
sosial atas keadaan yang tidak diinginkan. Yang keempat
adalah panik (the craze and panic) sebagai bentuk-bentuk
perilaku kolektif yang didasarkan pada redefinisi fasilitas
situasional bersama.46 Gerakan keagamaan adalah fenomena
perilaku kolektif berorientasi nilai yang berupaya untuk
merestorasi, memproteksi, memodifikasi, atau menciptakan
nilai-nilai demi sebuah keyakinan yang digeneralisir.
Keyakinan seperti itu melibatkan semua komponen tindakan
sosial dan mengharapkan rekonstitusi nilai-nilai, redefinisi
norma-norma, reorganisasi motivasi-motivasi individual, dan
redefinisi fasilitas-fasilitas situasional.47
Perilaku kolektif merupakan sebuah mobilisasi
tindakan sosial yang terinstitusionalisasi demi memodifikasi
ketegangan-ketegangan
struktural
berdasarkan
suatu
generalized constitution dari sebuah komponen tindakan
sosial. Secara historis perilaku kolektif sering diasosiasikan
dengan proses reorganisasi struktural komponen-komponen
tindakan sosial. Episode perilaku kolektif sering merupakan
Ibid., 25-28.
Ibid., 9
47 Ibid., 313.

45

46

50 Redefinisi Tindakan Sosial …

tahap awal dari perubahan sosial yang terjadi ketika kondisikondisi ketegangan telah muncul, sementara sumber daya
sosial belum dimobilisir untuk pemecahan atau penanganan
yang efektif terhadap sumber-sumber ketegangan tersebut.
Di dalam konteks transformasi kebudayaan sebagai
akibat proses globalisasi, Alberto Melluci mengembangkan
juga konsep dan teori perilaku kolektif yang disebutnya
sebagai tindakan kolektif (collective action).48 Berbeda dengan
Smelser yang membangun teori perilaku kolektif di atas dua
konstruksi dasar yaitu konstruksi tindakan sosial dan
konstruksi pertambahan nilai, Melluci lebih memperhatikan
konstruksi identitas kolektif di tengah transformasi budaya
yang sangat luar biasa dalam masyarakat kontemporer.
Perkembangan yang impresif di bidang teknologi komunikasi
telah menciptakan sebuah sistem media sedunia. Salah satu
akibatnya adalah terjadinya konfrontasi resiprokal yang
massif pada kebudayaan-kebudayaan manusia. Di sinilah
dimensi-dimensi kebudayaan tindakan manusia menjadi
sumber daya inti untuk produksi dan konsumsi.
Melluci melihat studi gerakan-gerakan sosial selalu
terbagi oleh warisan dualistik analisis struktural, yaitu analisis
pra kondisi untuk tindakan kolektif dan analisis motivasimotivasi individual. Akan tetapi eksplanasi-eksplanasinya
tidak pernah dapat mengatasi kesenjangan antara perilaku
dan makna, antara kondisi-kondisi objektif dengan motif-motif
subjektif dan orientasi-orientasi. Eksplanasi-eksplanasi dari
analisis struktural tidak pernah dapat menjawab persoalan
tentang bagaimana aktor-aktor sosial membentuk sebuah
kolektivitas dan mengakui bahwa diri mereka sendiri adalah
bagian dari kolektivitas itu; bagaimana mereka merawat diri

48 Alberto Melluci, Challenging Codes, Collective Action in the Information
Age (New York: Cambridge Univ. Press, 1996), 13-15.

Sosiologi Gerakan Keagamaan 51

mereka sendiri dari waktu ke waktu; bagaimana tindakan
bersama dapat dimengerti oleh para partisipan di dalam
sebuah gerakan sosial; atau bagaimana makna tindakan
kolektif datang dari prakondisi-prakondisi struktural atau dari
puncak motif-motif individual.49
Kecenderungan baru gerakan sosial dalam masyarakat
dewasa ini adalah terjadinya pergeseran fokus dari issu kelas
dan ras ke issu-issu kebudayaan. Konflik-konflik sosial dan
aksi-aksi protes yang muncul di dalam masyarakat tidak
terekspresi melalui aksi politik saja, melainkan juga dalam
bentuk tantangan-tantangan kultural terhadap bahasa-bahasa
dominan, terhadap kode-kode yang mengatur informasi dan
membentuk praktek sosial. Dimensi-dimensi krusial
kehidupan sehari-hari, seperti waktu, ruang, relasi
interpersonal, identitas individu dan kelompok, terseret di
dalam konflik-konflik masyarakat. Sementara itu aktor-aktor
baru telah mengklaim otonomi mereka dalam memahami
kehidupan mereka.50 Di sinilah issu identitas dan tindakan
kolektif muncul dalam bentuk gerakan-gerakan sosial dan
kebudayaan.
Melluci menggambarkan masyarakat-masyarakat
kontemporer
sebagai
sistem-sistem
yang
sangat
terdiferensiasi, yang menginvestasi penciptaan pusat-pusat
tindakan swatantra individual dan pada saat yang sama
menuntut integrasi yang lebih dekat dan perluasan kontrol
atas motif-motif tindakan manusia. Dalam pandangannya,
gerakan-gerakan sosial mencoba menentang campur tangan
otoritas mapan di dalam kehidupan sosial. Baginya, gerakangerakan sosial memberi kesempatan kepada orang-orang
49Alberto Melluci, “The Process of Collective Identity” dalam Hank Johnston
and Bert Klandermans (Ed.), Social Movements and Culture (Minnesota: The Univ.
Minnesota Press, 1995), 42.
50Ibid.,43.

52 Redefinisi Tindakan Sosial …

untuk memperoleh kembali hak-hak individual dalam
mendefinisikan identitas mereka dan menentukan kehidupan
pribadi sehingga manipulasi sistem yang omnipresent dan
komprehensif dapat dihindari.51 Oleh karena itu gerakangerakan sosial kontemporer tidak membatasi diri mereka
hanya untuk memperoleh hal-hal yang material, tetapi
menantang pemahaman-pemahaman politik yang difusif di
dalam masyarakat. Aktor-aktor tidak mengharapkan
intervensi otoritas mapan untuk menjamin keamanan dan
kesejahteraan, tetapi bertahan terhadap ekspansi intervensi
ideologis
di
dalam
kehidupan
sehari-hari
dan
mempertahankan otonomi personal.
Melluci memahami tindakan kolektif sebagai hasil dari
sesuatu yang memiliki tujuan, sumber daya, dan keterbatasan;
sebagai sebuah orientasi yang memiliki maksud tertentu dan
yang dikonstruksi oleh cara-cara relasi-relasi sosial di dalam
sebuah sistem oportunitas dan ketidakleluasaan. Itulah
sebabnya tindakan kolektif tidak dapat dipandang hanya
sebagai efek prakondisi-prakondisi struktural ataupun
ekspresi nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan. Individuindividu yang bertindak secara kolektif mengkonstruksi
tindakan mereka berdasarkan investasi-investasi yang
terorganisir, atau dalam terma-terma kognitif, mereka
menentukan the field of possibilities dan ketidakleluasaan yang
mereka rasakan, sementara pada saat yang sama mereka
mengaktifkan relasi-relasi mereka sehingga memberi arti
terhadap keberadaan bersama mereka dan untuk tujuantujuan yang mereka kejar.52
Dalam hal inilah menurut Melluci, unitas sebuah
gerakan sosial atau gerakan keagamaan harus dipandang

51
52

Porta, Social Movements…,9.
Melluci, The Process of Collective Identity…, 43.

Sosiologi Gerakan Keagamaan 53

sebagai sebuah hasil ketimbang sebuah titik berangkat, sebuah
fakta yang perlu dijelaskan ketimbang sebuah evidence.
Peristiwa-peristiwa di mana sejumlah individu bertindak
secara kolektif mengkombinasikan perbedaan orientasiorientasi yang melibatkan aktor-aktor dari banyak bagian dan
melibatkan sebuah sistem opportunitas serta kendala yang
membentuk relasi-relasi mereka. Aktor-aktor memproduksi
tindakan kolektif karena mereka dapat mendefinisikan diri
mereka sendiri dan hubungan-hubungan mereka dengan suatu
lingkungan. Definisi yang dikonstruksi oleh aktor-aktor ini
tidak bersifat linear tetapi diproduksi oleh interaksi, negosiasi,
dan oposisi dari orientasi-orientasi yang berbeda.
Individu-individu
atau
sub-sub
kelompok
berkontribusi pada formasi kekitaan dengan memberikan tiga
aturan orientasi umum, yakni hal-hal yang berhubungan
dengan akhir tindakan, hal-hal yang berhubungan dengan
cara-cara, upaya, atau sarana, posibilitas dan batasan-batasan
tindakan, dan hal-hal yang berhubungan dengan relasi-relasi
dengan lingkungan atau bidang di mana tindakan terjadi.
Melluci menyebut identitas kolektif ini sebagai proses
konstruksi sistem tindakan.53 Dengan demikian identitas
kolektif adalah sebuah definisi interaktif dan bersama yang
dibuat oleh beberapa individu atau kelompok dan dengan
memperhatikan orientasi-orientasi tindakan dan bidang
oportunitas dan ketegangan di mana suatu tindakan terjadi.
Sehubungan dengan itu Melluci menekankan beberapa
hal. Pertama, identitas kolektif sebagai sebuah proses sangat
terkait dengan definisi-definisi kognitif mengenai tujuantujuan, cara-cara, dan bidang tindakan. Elemen-elemen
tindakan kolektif yang berbeda ini didefinisikan dalam sebuah
bahasa yang dimiliki bersama oleh sebagian atau keseluruhan
53

Ibid.,44.

54 Redefinisi Tindakan Sosial …

masyarakat atau yang spesisfik bagi sebuah kelompok. Mereka
tergabung dalam sekumpulan ritual, praktek hidup, artefakartefak kultural. Kedua, identitas kolektif sebagai sebuah
proses menunjuk pada jejaring (network) relasi-relasi yang
aktif antara aktor-aktor yang berinteraksi, berkomunikasi,
memengaruhi satu sama lain, bernegosiasi, dan membuat
keputusan-keputusan bersama. Bentuk-bentuk organisasi,
model-model kepemimpinan, saluran-saluran komunikatif,
dan teknologi komunikasi merupakan bagian-bagian
konstitutif dari jejaring relasi-relasi ini. Ketiga, diperlukannya
sebuah derajat investasi emosional, yang memampukan
individu-individu untuk merasa seperti bagian dari suatu
kesatuan umum di dalam konseptualiasi identitas kolektif.
Terma identitas secara umum digunakan oleh Melluci untuk
menunjuk pada kelanggengan sebuah subjek tindakan dari
waktu ke waktu dan yang tidak dipengaruhi oleh perubahanperubahan lingkungannya. Identitas menyatakan secara tidak
langsung pemahaman akan kesatuan dengan batas-batas yang
tetap dari sebuah subjek. Identitas menyatakan sebuah relasi
antara dua aktor yang memungkinkan rekognisi mutual
mereka. Dengan demikian pemahaman tentang identitas selalu
menunjuk pada tiga elemen, yaitu kontinuitas sebuah subjek
terhadap berbagai variasi dan adaptasinya dengan lingkungan,
delimitasi subjek tersebut berkenaan dengan yang lain, dan
kemampuan subjek untuk mengenal dan dikenal. Oleh karena
itu identitas kolektif menganda