BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Persepsi Pengguna Jalan Terhadap Jalur Pejalan Kaki Di Jalan Gatot Subroto Medan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Persepsi

  Istilah persepsi berasal dari Bahasa Inggris yakni dari kata “perception” yang berarti penglihatan, keyakinan dapat melihat atau mengerti (Muchtar, T.W., 2007:13).

  Selanjutnya Muchtar mengemukakan: “Persepsi adalah pengamatan tentang objek-objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi, menafsirkan pesan dan memberikan makna pada stimulus indrawi (sensory stimuli)”.

  Persepsi merupakan proses memperoleh atau menerima informasi dari lingkungan (Laurens, 2004:56), dimana hasil akhir dari informasi yang ditangkap individu atas dasar sensasi dan memori yang berasal dari lingkungan dan ditangkap oleh suatu individu (Neiser, 1976). Suatu rangsangan dipandang sebagai kejadian-kejadian yang ada dalam lingkungan eksternal individu yang ditangkap oleh indera penglihatan dengan menggunakan alat sel syaraf yang selanjutnya akan terjadi proses pengolahan sensasi. Ketika sejumlah sensasi masuk kedalam struktur yang lebih dalam dari sistem susunan syaraf (misal otak) maka sensasi ini akan diolah, proses pengolahan sensasi inilah yang disebut sebagai persepsi (Neiser, 1976 dalam Sukmana, 2003).

  Berdasarkan definisi di atas terdapat persamaan bahwa persepsi muncul oleh adanya rangsangan (dari luar atau lingkungan) yang diproses di dalam susunan saraf dan otak (di dalam tubuh penerima rangsangan). Sukmana juga menjelaskan lebih lanjut bahwa selain persepsi muncul akibat rangsangan dari lingkungan, persepsi lebih merupakan proses yang terjadi pada struktur fisiologis dalam otak (Sukmana, 2003).

  2.1.1 Konsep yang mempengaruhi persepsi dalam arsitektur Gifford dalam Ariyanti (2005), juga menyebutkan bahwa persepsi manusia dipengaruhi oleh beberapa hal sebagai berikut: a. Personal Effect

  Dalam hal ini kebiasaan yang dilakukan masing-masing individu akan dihubungkan dengan perbedaan persepsi terhadap lingkungan. Hal tersebut, sudah jelas akan melibatkan beberapa faktor antara lain kemampuan perseptual dan pengalaman atau pengenalan terhadap kondisi lingkungan. Kemampuan perseptual masing-masing individu akan berbeda-beda dan melibatkan banyak hal yang berpengaruh sebagai latar belakang persepsi yang keluar. Proses pengalaman atau pengenalan individu terhadap kondisi lingkungan yang dihadapi, pada umumnya mempunyai orientasi pada kondisi lingkungan lain yang telah dikenal sebelumnya dan secara otomatis akan menghasilkan proses pembandingan yang menjadi dasar persepsi yang dihasilkan. Pembahasan terhadap hal-hal yang berpengaruh sebagai latar belakang terbentuknya persepsi akan mencakup pembahasan yang sangat luas dan kompleks.

  b. Cultural Effect Gifford memandang bahwa konteks kebudayaan yang dimaksud berhubungan dengan tempat asal atau tinggal seseorang. Budaya yang dibawa dari tempat asal dan tinggal seseorang akan membentuk cara yang berbeda bagi setiap orang tersebut dalam “melihat dunia”. Selain itu, Gifford menyebutkan bahwa faktor pendidikan juga dapat mempengaruhi persepsi seseorang terhadap lingkungan dalam konteks kebudayaan.

  c. Physical Effect Kondisi alamiah dari suatu lingkungan akan mempengaruhi persepsi seseorang yang mengamati, mengenal dan berada dalam lingkungan tersebut. Lingkungan dengan atribut dan elemen pembentuknya yang menghasilkan karakter atau tipikal tertentu akan menciptakan identitas bagi lingkungan tersebut. Misalnya, ruang kelas secara otomatis akan dikenal bila dalam ruang tersebut terdapat meja yang diatur berderet, dan terdapat podium atau mimbar dan papan tulis dibagian depannya.

  Untuk itu dapat disimpulkan bahwa persepsi selain terjadi akibat rangsangan dari lingkungan eksternal yang ditangkap oleh suatu individu, juga dipengaruhi oleh kemampuan individu tersebut dalam menangkap dan menterjemahkan rangsangan tersebut menjadi suatu informasi yang tersimpan menjadi sensasi dan memori atau pengalaman masa lalu. Oleh karena itu, persepsi yang terbentuk pada masing- masing individu dapat berbeda-beda. Selanjutnya menurut Laurens, dikemukakan bahwa persepsi sangat diperlukan oleh perencana dalam menentukan apa saja yang dibutuhkan oleh masyarakat baik secara personal maupun sebagai kelompok pengguna. Sebagian besar arsitektur dibentuk oleh persepsi manusia (Laurens, 2004:55).

  Oleh karena itu, dalam menciptakan karya-karya arsitektur faktor persepsi sebagai salah satu bentuk respon yang keluar secara personal setelah menangkap, merasakan dan mengalami karya-karya tersebut menjadi salah satu pertimbangan yang cukup penting . Respon tersebut mencerminkan sesuatu yang diinginkan oleh individu pengguna dan penikmat hasil karya yang ada. Respon yang keluar berdasarkan pengalaman ruangnya, pengetahuan akan bentuk dan simbolisasi yang didapat dari pendidikannya (Laurens, 2004:92).

  2.1.2 Karakteristik persepsi Istilah yang digunakan oleh Laurens bagi pengalaman ruang, pengetahuan akan bentuk dan simbolisasi adalah peta mental (mental image). Peta mental tersebut akan berbeda-beda antara individu yang satu dengan individu yang lain. Beberapa pendapat dari ahli yang dirangkum oleh Laurens menyebutkan beberapa karakteristik yang membedakan peta mental seseorang adalah sebagai berikut:

  a. Gaya Hidup (Milgram, 1977)

  Gaya hidup seseorang menyebabkan timbulnya selektivitas dan distorsi peta

  mental (Laurens, 2004). Hal tersebut erat kaitannya dengan tempat (jenis, kondisi, jumlah, dan lain sebagainya) yang pernah dikunjungi sesuai dengan gaya hidup yang dimiliki.

  b. Keakraban dengan lingkungan (Evan, 1980) Hal ini menyangkut pada seberapa baik seseorang mengenal lingkungannya.

  Semakin kuat seseorang mengenal lingkungannya, semakin luas dan rinci peta mentalnya. c. Keakraban Sosial (Lee, 1980) Semakin luas pergaulannya, semakin luas wilayah yang dikunjungi, dan semakin ia tahu akan kondisi wilayah tertentu maka semakin baik peta mentalnya.

  d. Kelas Sosial (Michelson, 1973) Semakin terbatas kemampuan seseorang, semakin terbatas pula daya geraknya dan semakin sempit peta mentalnya.

  e. Perbedaan Seksual (Appleyard, 1970) Laki-laki biasanya mempunyai peta mental yang lebih baik dan terinci dari pada perempuan karena kesempatan pergaulan dan ruang geraknya juga lebih luas.

  Terlebih lagi, dalam kondisi masyarakat yang ada pada umumnya akan lebih memberi peluang kepada kaum pria untuk bergerak dengan berbagai aktivitas.

  Hal-hal inilah yang akan memberi pengertian bagaimana menciptakan bangunan atau lingkungan yang mudah dilihat dan diingat, sekaligus membangkitkan kekayaan pengalaman orang yang memakainya terutama pada fasilitas publik (Laurens, 2004). Berdasarkan hal tersebut, maka dalam penelitian disertakan persepsi masyarakat sekitar, dalam hal ini adalah masyarakat yang tinggal dan beraktivitas di kawasan studi, yaitu di jalur Jalan Gatot Subroto Medan. Pemilihan jenis peta mental masyarakat tersebut dikarenakan bahwa dengan tinggal ataupun beraktivitas di lingkungan atau kawasan studi dapat diartikan bahwa mereka mengenal kondisi lingkungan tersebut. Berdasarkan faktor peta mental seseorang perlu diketahui jika karakteristik masyarakat meliputi jenis kelamin, tingkat pendidikan, mata pencaharian untuk mengetahui aktivitas utama sehari-hari dan tingkat pendapatan. Pengklasifikasian karakteristik masyarakat berdasarkan jenis kelamin, tingkat pendidikan, mata pencaharian untuk mengetahui aktivitas utama sehari-hari dan tingkat pendapatan tersebut merupakan pendekatan terhadap kemungkinan terbentuknya persepsi yang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang telah diungkapkan diatas.

  2.1.3 Proses terjadinya persepsi Damayanti (2000) dalam Prasilika, Tiara H. (2007:12-13) menggambarkan proses pembentukan persepsi pada Gambar 2.1.

  Rangsangan/Sensasi Seleksi Input Proses Pengorganisasian Lingkungan Persepsi Interpretasi

  Pengalaman Proses Belajar

Gambar 2.1 Proses Pembentukan Persepsi

  Sumber: Damayanti(2000) dalam Prasilika, Tiara H.(2007:12-13) Proses pembentukan persepsi dimulai dengan penerimaan rangsangan dari berbagai sumber melalui panca indera yang dimiliki, setelah itu diberikan respon sesuai dengan penilaian dan pemberian arti terhadap rangsang lain. Setelah diterima rangsangan atau data yang ada diseleksi. Untuk menghemat perhatian yang digunakan rangsangan-rangsangan yang terlah diterima diseleksi lagi atau diproses pada tahapan yang lebih lanjut. Setelah diseleksi rangsangan diorganisasikan berdasarkan bentuk sesuai dengan rangsangan yang telah diterima. Setelah data diterima dan data diatur, proses selajutnya individu menafsirkan data yang diterima dengan berbagai cara. Dikatakan telah terjadi persepsi setelah data atau rangsang tersebut berhasil di tafsirkan.

  2.1.4 Faktor–faktor yang mempengaruhi persepsi Persepsi seseorang tidaklah timbul begitu saja, melainkan dipengaruhi oleh beberapa faktor baik yang bersifat internal maupun yang bersifat eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang berkenaan dengan keberadaan individu yang bersangkutan, sedangkan faktor eksternal adalah faktor pengaruh yang diakibatkan oleh keberadaan rangsangan tersebut.

  Mar’at menjelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang yaitu:

  a. Pengalaman, tiap individu akan dapat memberikan persepsi yang berbeda-beda dan hal itu tergantung kepada bagaimana pengalaman yang diterima terhadap objek yang dipersepsi.

  b. Proses belajar, persepsi yang akan diberikan setiap individu itu selain berdasarkan pengalaman juga melalui proses belajar, maksudnya selama ia bergaul dengan objek yang diteliti, maka akan turut memberikan penilaian dan hal ini bisa saja menjadi tidak sama antara yang dipersepsi saat itu dengan yang akan datang.

  c. Cakrawala dan pengetahuan, persepsi yang diberikan seseorang itu sebenarnya tidak terlepas dari pengetahuan yang diterimanya mengenai objek yang sedang di persepsi. d. Manusia mengamati suatu objek psikologi, dengan kaca matanya sendiri yang diwarnai oleh nilai dan kepribadiannya, misalnya jika seseorang yang memiliki kepribadian yang selalu berfikiran negative terhadap orang lain, ia akan memberikan persepsi negative juga terhadap objek yang akan di persepsi.

  Jalaludin Rakhmat (1999) dengan rinci mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi adalah sebagai berikut: a. Faktor yang bersifat fungsional, diantaranya kebutuhan, pengalaman, motivasi, perhatian, emosi dan suasana hati.

  b. Faktor yang bersifat struktural diantaranya intensitas rangsangan, ukuran rangsangan, perubahan rangsangan dan pertentangan rangsangan.

  c. Faktor kultural atau kebudayaan yaitu norma-norma yang dianut oleh individu.

  Pendapat serupa dikemukakan oleh Sarlito Wirawan (1984) yang mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang adalah sebagai berikut: a. Kuat lemahnya rangsangan, yang ditemukan oleh kejelasan, pengulangan gerak, ukuran dan bentuk rangsangan. Makin kuat rangsangan, makin kuat pula kerja indera.

  b. Cara kerja alat indera menentukan cepat tepatnya dan lancarnya proses terjadinnya persepsi.

  c. Kadar intensitas kebutuhan, besarnya perhatian, kebutuhan dan kesiapan yang dimiliki individu menyebabkan terjadinya persepsi.

  d. Pengalaman individu tentang stimulus atau rangsangan yang bersangkutan.

  Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa persepsi dipengaruhi oleh faktor rangsangan yang datang dari objek maupun peristiwa, dan faktor individu yang bersangkutan dengan karakteristiknya. Oleh karena itu, dapat diasumsikan dari persepsi ini bahwa individu akan menyimpulkan pendapat dan kesan berupa senang atau tidak senangnya, baik ataupun buruk dan adanya kesiapan untuk menerima ataupun menolak rangsangan yang diterimanya.

2.2 Pejalan Kaki (Pedestrian)

  Pejalan kaki atau pedestrian adalah setiap orang yang bergerak menggunakan kaki, kursi, roda, atau alat dengan tenaga manusia diluar pengguna sepeda (Washington State Departement of Transportation, 1997). Sedangkan istilah pedestrian berasal dari bahasa latin pedesterpedestris atau pedos yang berarti kaki. Pedestrian juga dapat diartikan sebagai pergerakan atau sirkulasi atau perpindahan orang dari satu tempat titik asal (origin) ketempat lain sebagai tujuan (destination) dengan berjalan kaki (Rubenstein, 1992).

  Pejalan kaki sebagai istilah aktif adalah seseorang yang bergerak atau berpindah dari suatu tempat titik tolak ke tempat tujuan tanpa menggunakan alat lain, kecuali mungkin penutup alas kaki dan tongkat yang tidak bersifat mekanis. Berdasarkan penjelasan yang disampaikan maka pejalan kaki dalam penelitian ini dapat diartikan sebagai orang yang melakukan perjalanan atau aktivitas di ruang terbuka publik tanpa menggunakan kendaraan.

  2.2.1 Karakteristik perjalanan Pada umumnya perjalanan yang dilakukan oleh pejalan kaki relatif dekat, karena biasanya pejalan kaki berjalan dari tempat parkir atau dari tempat pemberhentian umum yang tidak terlalu jauh pula. Jika maksud perjalanan (purpose trip) dan tipe perjalanan pejalan kaki dipahami maka suatu fasilitas pejalan kaki yang lebih baik dapat dikembangkan atau dibangun. Maksud pejalan kaki terkait dengan tipe pengguna lahan yang dikaitkan dengan asal dan tujuan perjalanan. Sejumlah perjalanan ditarik oleh aktifitas berdasarkan tipe dan skala, pertokoan eceran biasanya menarik lebih banyak pejalan kaki pada suatu kawasan.

  Menurut Weisman (1981) kenyamanan adalah suatu keadaan lingkungan yang memberi rasa yang sesuai kepada panca indera dan antropemetry disertai fasilitas yang sesuai dengan kegiatannya. Antropemetry adalah proporsi dan dimensi tubuh manusia serta karakter fisiologis lain-lainnya dan sanggup berhubungan dengan berbagai kegiatan manusia yang berbeda-beda dan mikro lingkungan. Kenyamanan terjadi setelah ditangkap menurut panca indera. Ukuran penting lainnya menurut Utterman (1984) adalah tingkat kenyamanan (comfort level) dan kapasitas sistem ruang pejalan kaki. Namun terpenuhinya kriteria menurut Richard Utterman tersebut dipengaruhi oleh latar belakang kondisi dan persepsi pejalan kaki.

  Tingkat Kenyamanan pejalan kaki dalam melakukan aktifitas dipengaruhi oleh faktor cuaca dan jenis aktivitas, kondisi ruang pejalan. Tingkat kenyamanan dihubungkan dengan kondisi kesesakan dan kepadatan, dipengaruhi oleh keamanan dan persepsi manusia dan kemudahan untuk bergerak. Kapasitas jalur pejalan kaki meliputi jumlah pejalan kaki persatuan waktu seperti orang berjalan, orang perhari. Adapun kapasitas jalur pejalan kaki (walkway capasity) dipengaruhi oleh penghentian, lebar jalur pedestrian, ruang pejalan kaki, volume, tingkat pelayanan, harapan pemakai dan jarak berjalan.

  2.2.2 Pola pergerakan pejalan kaki Pergerakan penduduk berdasarkan tempat kegiatan dalam hubungannya dengan jaringan lalu lintas digolongkan dalam tempat kegiatan yang terbebas dari jaringan lalu lintas dan tempat kegiatan yang tidak terbebas dari jaringan lalu lintas. Pola pergerakan dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu pergerakan rutin dan pergerakan tidak rutin.

  Terkait dengan pola jaringan jalan dan adanya perbedaan tingkat penggunaan moda angkutan berjalan sebagai moda utama dan moda antara, maka pengguna moda berjalan dapat diklasifikasikan menjadi empat kelompok utama (Syaifudian dalam BS Kusbiantoro, 2007), yaitu: 1.

  Kelompok pejalan penuh adalah mereka yang menggunakan moda angkutan berjalan sebagai moda utama dan digunakan sepenuhnya dari tempat asal ke tempat tujuan, sehingga jarak yang ditempuh relative lebih besar.

  2. Kelompok pejalan pengguna kendaraan umum, yaitu mereka yang menggunakan moda angkutan jalan kaki sebagai moda antara pada jalur-jalur berikut: a.

  Dari tempat asal ke tempat pemberhentian kendaraan umum.

  b.

  Pada jalur perpindahan rute kendaraan umum.

  c.

  Di dalam terminal atau di dalam stasiun.

  d.

  Dari tempat perhentian kendaraan umum ke tempat tujuan akhir pepergian.

  3. Kelompok pejalan pemakai kendaraan umum dan kendaraan pribadi adalah mereka yang menggunakan moda berjalan sebagai moda antara dari: a.

  Tempat parkir kendaraan pribadi ke tempat perhentian kendaraan umum.

  b.

  Di dalam terminal atau stasiun.

  c.

  Dari tempat perhentian kendaraan umum ke tempat tujuan akhir pepergian.

  4. Kelompok pejalan pemakai kendaraan pribadi penuh adalah mereka yang menggunakan atau memiliki kendaran pribadi dan hanya menggunakan moda angkutan berjalan sebagai moda antara dari tempat parkir kendaraan pribadinya ke tempat akhir pepergian yang hanya dapat ditempuh dengan berjalan.

2.3 Kebutuhan Pejalan Kaki

  Perencanaan dan perancangan fasilitas pejalan kaki sebaiknya dapat memenuhi kebutuhan penggunanya dari semua kelompok usia dengan karakteristik yang berbeda- beda. Dalam mendefinisikan kebutuhan pengguna jalur pejalan kaki, perancang harus mempertimbangkan makna sosial yang mendasari perilaku dan persepsi pengguna jalur pejalan kaki atau kelompok penggunanya dan bukan semata-mata hanya berdasarkan apa yang dikatakan oleh pengguna jalur pejalan kaki mengenai apa yang mereka butuhkan.

  2.3.1 Kebutuhan ruang berjalan kaki Kebutuhan ruang berjalan kaki menurut Rapoport (1977) dibagi menjadi dua macam yaitu ruang gerak dan ruang istirahat. Ruang gerak bersifat dinamis, kegiatannya antara lain berjalan dan bergerak walaupun dengan sangat lambat atau perlahan-lahan. Besaran dimensi ruang gerak tergantung juga pada jarak berpapasan baik itu dari arah yang sama maupun berbeda, dimensi minimun yang dibutuhkan sewaktu pengguna jalur berpapasan adalah 1,5m x 1,5m (Gambar 2.2).

Gambar 2.2. Jarak Aman Pejalan Kaki Ketika Berpapasan

  Sumber: Washington State Department Of Transportation (1997) Menurut Haries dan Dines (1988) kriteria fisik dalam merencanakan sirkulasi pedestrian, diantaranya yaitu:

  1. Kriteria dimensional ruang pedestrian, seperti yang terlihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Jarak Ruang Yang Dibutuhkan Antar Pejalan Kaki di Depannya

  Sesuai Lokasi (Harris dan Dines,1988) Sumber: Washington State Department Of Transportation (1997)

  2. Kriteria Pergerakan Faktor kecepatan pergerakan akan mengalami penurunan bila jumlah pejalan kaki meningkat, ada persimpangan dan naik atau turun tangga.

  3. Kriteria Visual Persyaratan visual (pemandangan) disesuaikan dengan sudut pandang mata atau tinggi sudut pandang pejalan kaki yang nyaman untuk melihat pandangan normal setinggi mata.

  Karateristik lingkungan yang ramah bagi pejalan kaki dapat diatur dengan membuat batasan atau perancangan fasilitas pejalan kaki yang terintegrasi dengan moda transportasi lainnya serta dapat menyesuaikan dengan kebutuhan saat ini dan masa akan datang. Tata guna lahan berupa pengaturan sirkulasi dan akses jalur pejalan kaki yang diarahkan ke pusat kota, tempat-tempat perbelanjaan, perkantoran, sekolah-sekolah, taman, dan kawasan lainnya dapat dilakukandengan menggunakan pengaturan pola guna lahan berbentuk grid atau blok-blok pendek pada kawasan perkotaan, hal ini dimaksudkan untuk memperpendek jarak tempuh perjalanan.

  Kontinuitas jaringan jalan perkotaan, jalur pejalan kaki, dan fasilitas pejalan kaki dapat meningkatkan pergerakan pejalan kaki dengan menggunakan teknik yang bisa memperlambat laju kendaraan misalnya dengan merancang bundaran, kerb dan sebagainya. Selain itu perletakan tempat pemberhentian kendaraan penumpang umum (TPKPU) yang mudah dicapai serta dilengkapi dengan perabotan jalan seperti bangku istirahat, lampu penerangan, tong sampah akan mampu menciptakan lingkungan yang menarik dan bermanfaat bagi pejalan kaki.

  Setiap jalur pejalan kaki sebaiknya mempunyai arah tujuan yang jelas dan menyediakan rute-rute yang dapat dipilih sesuai kebutuhan penggunanya dan menyediakan jalan pintas bila keadaan memungkinkan. Pertimbangan dalam perencanaan kebutuhan pejalan kaki di kawasan pusat kota adalah sebagai berikut (New Jersey Department of Transportation/NJDOT Pedestrian Compatible, 1999): a.

  Pertimbangan asal, tujuan dan jalur pejalan kaki untuk menentukan letak akses pejalan kaki dan dibagian mana akses yang harus ditutup dan menyediakan jalur alternatif.

  b.

  Pejalan kaki pada umumnya memilih rute terpendek. Oleh sebab itu ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan yaitu: Membuat rintangan atau hambatan dibagian yang tidak diperuntukkan bagi

  • pejalan kaki misalnya dengan menggunakan barikade, penghalang, papan informasi, dan lain-lain.
  • memasang papan informasi atau rambu-rambu.

  Menyediakan rute yang mudah diakses, dapat dipakai, aman, dengan

  c.

  Mendata guna lahan yang dapat membangkitkan perjalanan pejalan kaki misalnya guna lahan pendidikan, perkantoran, pusat perbelanjaan, dan sebagainya untuk menentukan apakah penambahan fasilitas pendukung diperlukan atau tidak. d.

  Mempertimbangkan kebutuhan pejalan kaki pada waktu malam hari, khususnya penerangan dan pandangan yang jelas.

  e.

  Menghindari pemblokiran jalur pejalan kaki oleh konstruksi bangunan atau peralatan lainnya.

  f.

  Petimbangkan teknik konstruksi panggung apabila tidak ada jalur alternatif bagi pejalan kaki.

  2.3.2 Pedestrianisasi jalur pejalan kaki Menurut Murtomo dan Aniaty (1991), jalur pejalan kaki atau pedestrian di kawasan perkotaan dapat berfungsi sebagai elemen yang mempengaruhi perkembangan kehidupan suatu kota, antara lain adalah:

  a. Pedestrianisasi dapat menumbuhkan aktivitas yang sehat sehingga mengurangi kerawanan kriminalitas.

  b. Pedestrianisasi dapat merangsang berbagai kegiatan ekonomis sehingga akan berkembang kawasan bisnis yang menarik.

  c. Pedestrianisasi sangat menguntungkan sebagai ajang kegiatan promosi, pameran, periklanan, kampanye dan lain sebagainya.

  d. Pedestrianisasi dapat menarik bagi kegiatan sosial, perkembangan jiwa dan spiritual.

  e. Pedestrianisasi mampu menghadirkan suasana dan lingkungan yang spesifik, unik dan dinamis di lingkungan pusat kota. f. Pedestrianisasi berdampak pula terhadap upaya penurunan tingkat pencemaran udara dan suara karena berkurangnya kendaraan bermotor yang lewat.

  Kenyamanan dari pejalan kaki dalam berjalan adalah tersedianya fasilitas-fasilitas yang mendukung kegiatan berjalan dan dapat dinikmati penggunanya. Kegiatan berjalan tersebut dilakukan tanpa adanya gangguan dari aktivitas lain yang menggunakan jalur tersebut. Fungsi jalur pedestrian yang sesuai adalah jalur pejalan kaki dapat menumbuhkan aktivitas yang sehat sehingga mengurangi kerawanan kriminalitas, menguntungkan sebagai sarana promosi dan dapat menarik bagi kegiatan sosial serta pengembangan jiwa dan spiritual.

  2.3.3 Penataan sirkulasi jalur pejalan kaki Kelancaran sirkulasi bagi pejalan kaki dan keselamatan dari ancaman kecelakaan oleh kendaraan merupakan salah satu tujuan utama keberadaaan jalur pejalan kaki. Metode untuk mengurangi konflik antara pejalan kaki dengan kendaraan adalah sistem penyekat waktu dan ruang diantara keduanya. Sistem penyekat waktu adalah pemisahan kedua jalur pada jam tertentu. Sistem penyekat ruang adalah pemisahan kedua jalur tersebut.

  Untuk system penyekat waktu dapat mempergunakan rambu-rambu lalu lintas sebagaialat bantu, sedangkan penyekat ruang dapat menggunakan jembatan penyeberangan di atas jalan atau di bawah permukaan tanah. Beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait sirkulasi pejalan kaki adalah dimensi jalan danjalur pedestrian, tempat asal sirkulasi dan ketepatan tujuan sirkulasi pejalan kaki, maksud perjalanan, waktu hari dan volume pejalan kaki.

  Menurut Rubenstein (1992), pola penataan sirkulasi dapat mempengaruhi atau mengkondisikan pejalan kaki untuk melakukan pergerakan atau aktifitas di suatu tempat.

  Peletakan parkir akan berpengaruh pada fasilitas parkir, kapasitas, akses dan layout. Perjalanan pejalan kaki biasanya relatif dekat. Karena kebanyakan pejalan kaki berjalan dari tempat parkir atau dari pemberhentian umum yang tidak terlalu jauh pula. Jika maksud perjalanan (purpose trip) dan tipe perjalanan pejalan kaki dipahami maka suatu fasilitas pejalan kaki yanglebih baik dapat dikembangkan atau dibangun. Maksud pejalan kaki terkait dengan tipe pengguna lahan yang dikaitkan dengan asal dan tujuan perjalanan. Sejumlah perjalanan ditarik oleh aktifitas berdasarkan tipe dan skala. Pertokoan eceran biasanya menarik lebih banyak pejalan kaki.

  Standar ruang untuk pejalan kaki menurut Harris dan Dines (1988), dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Lebar a.1. Lebar jalur pedestrian tergantung pada tujuan dan intensitas pemakaian a.2. Satu orang sama dengan 24 inchi (60cm), dengan lebar minimum jalan setapak adalah 4 ft (120cm). a.3. Memperhatikan kelengkapan dan perlengkapan jalan (street furniture)

  b. Kemiringan b.1. Longitudinal, dengan dasar pertimbangan kebiasaan atau kemudahan bergerak dan tujuan desain: b.1.1. Ideal : 0–3% b.1.2. Maksimum : 5% b.1.3. Tergantung Iklim : 5–10% b.1.4. Untuk ram : 1,5–8% b.2. Transversal b.2.1. Minimum tergantung material : 1% b.2.2. Ideal rata-rata : 3% b.2.3. Maksimum untuk drainase : 3%

  c. Perhitungan dimensi untuk lebar pedestrian Lebar efektif minimum ruang pejalan kaki berdasarkan kebutuhan orang adalah

  60cm ditambah 15cm untuk bergoyang tanpa membawa barang, sehingga kebutuhan total minimal untuk 2 orang pejalan kaki atau 2 orang pejalan kaki berpapasan tanpa terjadi berpapasan menjadi 150cm. Dalam keadaan ideal untuk mendapatkan lebar minimum Jalur Pejalan Kaki (W) dipakai rumus sebagai berikut:

  Lebar jalan (W) =

  P

  • 1,5 Keterangan: W = lebar Jalur Pejalan Kaki. P = volume pejalan kaki (orang/menit/meter)

  35

2.4 Jalur Pejalan Kaki (Pedestrian Path)

  Jalur pejalan kaki atau pedestrian path adalah tempat atau jalur khusus bagi orang yang berjalan kaki. Jalur pedestrian pada saat sekarang dapat berupa trotoar, pavment,

  

sidewalk , pathway, plaza dan mall. Jalan dipergunakan juga dalam kata kerja berjalan, selain itu diartikan sebagai road, yaitu suatu media di atas bumi yang memudahkan manusia dalam tujuan berjalan.

  Menurut Utterman (1984) dalam sebuah perancangan jalur pejalan kaki yang baik harus memenuhi beberapa kriteria berikut ini: a.

  Keamanan, pejalan kaki harus aman dari kecelakaan yang disebabkan kendaraan bermotor, selain itu masalah kriminalitas juga merupakan hal yang harus dipertimbangkan; b. Kemudahan, jalur pedestrian yang baik merupakan jalur terpendek dan mudah dicapai serta bebas dari hambatan; c.

  Kenyamanan, pejalan kaki harus dapat merasa nyaman di area pejalan kaki; d. Daya tarik, daya tarik dapat berasal dari jalur pejalan kaki, elemen pendukung pejalan kaki, dan lampu penerangan.

  Pada umumnya kegiatan pejalan kaki cenderung terkonsentrasi pada area yang berdekatan dengan sudut jalan, dimana pada tempat tersebut jarak pandang yang baik sangat diperlukan oleh pengguna jalan. Dalam Pertland Pedestrian Design Guide (1998) disebutkan terdapat 5 (lima) atribut jaringan sudut jalan yang baik bagi pejalan kaki yaitu: a.

  Ruang yang bebas, sudut jalan harus bersih dari penghalang dan mempunyai cukup ruang untuk mengakomodasi kebutuhan pejalan kaki yang hendak menyeberang, serta memiliki kemiringan kerb yang baik, untuk tempat pemberhentian kendaraan penumpang umum dan juga tersedia ruang untuk berinteraksi dengan sesama pejalan kaki lainnya. b.

  Jarak pandang yang baik pada area sudut jalan untuk mempermudah pengendara kendaraan bermotor melihat pejalan kaki yang hendak menyeberang.

  c.

  Keberadaan signage pada area sudut jalan harus mudah dibaca dan jelas memberi sehingga dapat memberikan informasi bagi pejalan kaki tentang tindakan apa yang harus dilakukan.

  d.

  Ramp, tombol penyeberangan, rambu lalu lintas, marka jalan, tekstur dan sebagainya harus memenuhi standar aksesibilitas.

  e.

  Pemisahan area pejalan kaki dengan kendaraan bermotor, perancangan area sudut jalan harus efektif sehingga pengemudi kendaraan bermotor tidak dapat menggunakan area pejalan kaki.

  2.4.1 Jarak tempuh pejalan kaki Jarak tempuh yang termasuk dalam kategori nyaman antara lain dipengaruhi oleh kondisi geografi, iklim, dan tata guna lahan (Washington State Departemen of

  Transportatioan, 1997).

  Ketentuan jarak tempuh yang termasuk ke dalam kategori nyaman yaitu: a.

  Perletakan fasilitas, taman-taman umum, dan area yang menjadi tujuan pejalan kaki maksimal berjarak 400 meter dari tempat asal pejalan kaki.

  b.

  Perancangan tapak ditentukan maksimal berjarak 90 meter dari tempat parkir dan pintu masuk ke bangunan. Tempat penyeberangan jalan lebih efektif bila diletakkan tiap jarak 120 sampai 180 meter di area pejalan kaki. c.

  Jarak tempuh pejalan kaki ke TPKPU sekitar 300 meter dan ke tempat parkir kurang lebih 535 meter.

  Bila jarak tempuh dari titik asal ke tujuan perjalanan terlalu jauh maka seseorang memutuskan untuk tidak berjalan kaki dan lebih memilih moda transportasi lainnya menuju ke tempat tujuannya.

  2.4.2 Faktor-faktor pendukung jalur pejalan kaki Pendukung kegiatan merupakan kegiatan-kegiatan penunjang yang menghubungkan dua atau lebih pusat kegiatan yang berada pada suatu kawasan (Shirvani, 1985).

  Keberadaan pendukung kegiatan akan menambah pengalaman pengguna jalur pejalan kaki melalui keragaman dan intensitas kegiatan yang ada disekitarnya.

  Beberapa faktor pendukung jalur pejalan kaki yang harus dipenuhi untuk melayani kebutuan pejalan kaki adalah: a.

  Tempat Pemberhentian Kendaraan Penampang Umum (TPKPU) merupakan faktor pendukung untuk melayani pejalan kaki yang menggunakan angkutan umum untuk sampai ke tempat tujuannya. TPKPU harus dirancang sebagai satu kesatuan dengan jalur pejalan kaki; b.

  Fasiltas perparkiran merupakan faktor pendukung yang diharapkan dapat mempersingkat jarak tempuh pejalan kaki ke tempat tujuannya; c.

  Keterjangkauan pelayanan umum kawasan khusus diperuntukkan pejalan kaki hendaknya dapat dijangkau oleh pelayanan umum seperti truk pengangkut sampah, ambulan, pemadam kebakaran, dan sebagainya; d.

  Sirkulasi pejalan kaki hendaknya lancar dan aman dari bahaya kecelakaan lalu lintas misalnya dengan pengguna penyekat ruang dan waktu. Penyekat ruangan adalah pemisahan jalur pejalan kaki dengan kendaraan misalnya dengan jembatan penyeberangan atau terowongan penyeberangan, sedangkan pemisahan waktu adalah pemberlakuan waktu-waktu tertentu bagi pejalan kaki dan kendaraan untuk bergerak misalnya dengan lampu lalu lintas; e.

  Bangunan-bangunan di sepanjang jalur pejalan kaki keberadaan fasilitas pejalan kaki diharapkan memperkuat atau memperjelas karakter bangunan-bangunan tersebut; f. Perabot jalan seperti tempat duduk, lampu, telepon umum, bak bunga, tong sampah, rambu lalu lintas, halte, dan sebagainya yang tertata dengan baik merupakan faktor pendukung bagi perjalanan disepanjang jalur pejalan kaki.

  g.

  Pemeliharaan fasilitas pejalan kaki memerlukan pemeliharaan secara kontinue agar dapat berfungsi dengan baik misalnya penggantian material yang rusak, pembersihan sepanjang trotoar, dan sebagainya. Pendukung kegiatan menyangkut seluruh penggunaan dan kegiatan yang menunjang keberadaan ruang kota. Ruang kota yang dimaksud yaitu ruang atau bangunan yang diperuntukan kepentingan umum. Kegiatan dan ruang kota tersebut saling mengisi dan melengkapi satu sama lain. Bentuk tempat dan karakteristik suatu kawasan akan menentukan fungsi dan penggunaan yang spesifikasi pada kawasan tersebut.

  Bentuk pendukung kegiatan bagi jalur pejalan kaki antara lain dapat berupa layanan penjualan makan dan minum, layanan penjualan barang, fasilitas hiburan, dan fasilitas umum yang dapat digunakan untuk menikmati lingkungan yang menarik di sekitarnya. Keragaman bentuk pendukung kegiatan tersebut dapat memberikan citra visual yang spesifikasi dan menjadi ciri khas bagi kehidupan di suatu kawasan perkotaan.

  2.4.3 Aksesbilitas Faktor-faktor yang mempengaruhi aksesbilitas jalur pejalan kaki adalah: a.

  Waktu/Time, tergantung dari tujuan perjalanan yang akan dilakukan seperti rekreasi atau berbelanja pengguna jalur pejalan kaki akan mampu berjalan lebih lama. Sedangkan untuk aktifitas tertentu seperti bekerja yang membutuhkan ketepatan waktu maka pejalan kaki akan berjalan lebih singkat.

  b.

  Kenikmatan/Convenience, perencanaan jalur pejalan kaki yang sesuai dengan kebutuhan seluruh lapisan penggunanya, baik dari kebutuhan ruang seperti trotoar maupun tempat perlindungan dari cuaca. Perencanaan jalur pejalan kaki yang nyaman akan mendorong penggunanya untuk berjalan menuju tempat tujuannya.

  c.

  Kemudahan berkendara, kemapanan ekonomi suatu negara akan berimplikasi pada ketersedian kendaraan bagi masyarakat sehingga mempengaruhi perencanaan suatu sistem jalan lalu lintas yang baik pula pada kawasan tersebut dan bagi negara yang memiliki moda transportasi umum yang baik maka akan mendorong masyarakatnya untuk berjalan lebih aktif di jalur pejalan kaki.

  d.

  Pola penggunaan lahan, pemanfaatan lahan untuk aktifitas tunggal akan mempersulit pejalan kaki untuk melakukan aktifitas yang berbeda dengan berjalan kaki khususnya bagi yang memiliki keterbatasan waktu. Selain itu pola guna lahan tunggal akan memberikan rasa bosan dan rasa tidak nyaman bagi pejalan kaki. Menurut Utterman (1984) kenyamanan pejalan kaki dipengaruhi oleh jarak tempuh dengan waktu berlangsungnya aktifitas yang dilakukan. Jarak tempuh juga terkait dengan kenikmatan berjalan antara lain dengan penyediaan area berjalan kaki yang berkualitas. Cuaca juga akan mempengaruhi jarak tempuh pengguna jalur pejalan kaki, dimana cuaca yang buruk akan dapat memperpendek jarak tempuh pejalan kaki karena orang enggan berjalan pada ruang terbuka baik itu terkait waktu siang atau malam hari.

  Kecepatan berjalan kaki dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut: a.

  Karakteristik pejalan kaki, misalnya usia, jenis kelamin, kondisi fisik badan.

  b.

  Karakteristik perjalanan, misalnya tujuan perjalanan, rute yang telah dikenal, jarak tempuh.

  c.

  Karakteristik rute, lebar trotoar, kemiringan permukaan trotoar, perlindungan daya tarik, kepadatan pejalan kaki, antrian penyeberangan.

  d.

  Karakteristik lingkungan, misalnya kondisi cuaca. Secara umum manusia berjalan kaki dengan kecepatan antara 2,9 km/jam hingga 6,5 km/jam. Dalam kondisi tubuh sehat, seorang lelaki dewasa dapat berjalan kaki dengan kecepatan sekitar 4,3 km/jam, dan orang lanjut usia dan penyandang cacat berjalan lebih lambat dengan kecepatan sekitar 3,2 km/jam hingga 3,6 km/jam. (Dinas Bina Marga, Kementrian PU).

2.5 Fasilitas Pada Jalur Pejalan Kaki

  Pushkarev (1975), mengemukakan bahwa pada tahap tertentu arus pejalan kaki akan mengurangi kapasitas jalan yang ada, sehingga jalan perkotaan perlu diberi fasilitas pejalan kaki seperti trotoar, tempat penyeberangan, jembatan penyeberangan dan pagar pengaman. Fasilitas tersebut berguna untuk menghindarkan konflik pejalan kaki dengan kendaraan menjadi lebih kecil dan moda jalan kaki akan menjadi lebih nyaman. Dalam Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1993 tentang Prasarana Lalu Lintas Jalan menyebutkan bila fasilitas pedestrian dapat dikelompokkan sebagai berikut:

  1. Fasilitas utama, berupa jalur untuk berjalan, yang dapat dibuat khusus sehingga terpisah dari jalur kendaraan, namun trotoar tidak termasuk dalam jenis ini.

  2. Fasilitas penyeberangan yang diperlukan untuk mengatasi konflik dengan moda dan angkutan lainnya.

  3. Fasilitas terminal untuk berhenti atau istirahat pejalan dapat berupa bangku- bangku, halte beratap atau fasilitas lainnya.

  Selain fasilitas pedestrian yang terdapat pada peraturan pemerintah tersebut, masih terdapat beberapa fasilitas lain yang dibutuhkan oleh pejalan kaki, yaitu: pepohonan, pelindung terhadap cuaca, penerangan dan sebagainya. Keberadaan fasilitas tersebut dapat menarik pejalan kaki untuk menggunakan jalur pedestrian tersebut.

  2.5.1 Halte Halte adalah salah satu tempat perhentian kendaraan penumpang umum (TPKPU) selain bus stop yang berfungsi untuk menurunkan atau menaikkan penumpang yang dilengkapi dengan bangunan (Departemen Perhubungan, 1996).

  Perencanaan halte pada suatu kawasan perkotaan bertujuan untuk: a.

  Menjamin kelancaran dan ketertiban arus lalu lintas; b.

  Menjamin keselamatan bagi pengguna angkutan penumpang umum; c. Menjamin kapasitas keselamatan untuk menaikkan dan/atau menurunkan penumpang; d.

  Memudahkan penumpang dalam melakukan perpindahan moda angkutan umum atau bus.

  Secara umum desain halte cukup bervariasi dan tidak ada suatu standar baku yang mengharuskan halte dirancang dalam suatu bentuk tertentu. Desain halte pada suatu kawasan ditentukan oleh kebijakan penguasa yang berada pada kawasan tempatnya berada (Gambar 2.4).

Gambar 2.4 Beberapa model halte yang ada di perkotaan

  Sumber: Dokumen Peneliti (2013) Persyaratan umum untuk Tempat Pemberhentian Kendaraan Penumpang Umum (TPKPU) adalah: a.

  Berada di sepanjang rute angkutan umum/bus; b.

  Terletak pada jalur pejalan kaki dan dekat dengan fasilitas pejalan kaki; c. Di arahkan dekat dengan pusat kegiatan atau permukiman; d.

  Dilengkapi dengan rambu petunjuk; e. Tidak mengganggu kelancaran lalu lintas.

  Berdasarkan peraturan yang berlaku bahwa jarak halte dan tempat pemberhentian bus dipengaruhi oleh tata guna lahan dan lokasi perletakan tempatnya berada, persyaratan tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Jarak Halte dan Tempat Perhentian Bis

  Zona Tata Guna Lahan Lokasi Jarak Tempat Henti (m)

  1 Pusat kegiatan sangat padat: pasar dan pertokoan CBD, Kota 200-300*)

  2. Padat: perkantoran, sekolah, jasa Kota 300-400 3.

  Permukiman Kota 300-400

  4. Campuran padat: perumahan, sekolah, jasa Pinggiran 300-500

  5. Campuran jarang: perumahan, ladang, sawah, tanah kosong Pinggiran 500-1000

  Keterangan: * jarak 200 m dipakai bila sangat diperlukan saja, sedang jarak umumnya 300m. Sumber: Departemen Perhubungan (1996)

  Tata letak halte terhadap ruang lalu lintas: a.

  Jarak maksimal terhadap fasilitas penyeberangan pejalan kaki adalah 100 meter; b.

  Jarak minimal halte dari persimpangan asalah 50 meter atau bergantung pada panjang antrian; c.

  Jarak minimal gedung seperti rumah sakit, tempat ibadah yang membutuhkan ketenangan adalah 100 meter; d.

  Perletakan di persimpangan menganut sistem campuran, yaitu antara sesudah persimpangan (farside), sebagaimana tertera pada Gambar 2.5 dan

  2.6. Gambar 2.5 Perletakan Halte di Pertemuan Jalan Simpang Empat Sumber: Dokumen Peneliti (2013)

Gambar 2.6 Perletakan Halte di Pertemuan Jalan Simpang Tiga

  Sumber: Dokumen Peneliti (2013)

  2.5.2 Vegetasi pada jalur pejalan kaki Penanaman vegetasi tepi jalan adalah untuk memisahkan pejalan kaki dari jalan raya dengan alasan keselamatan (Lynch, 1981). Untuk mencapai kesatuan (unity) dalam pengaturan penanamannya perlu diperhatikan jenis tanamannya terutama untuk jalur pejalan kaki. Menurut Department of Transport of British (1986), vegetasi tidak seharusnya menghalangi jalan dan harus di rawat secara teratur. Menurut Chaniago dalam Widjayanti (1993), pemilihan pohon harus memperhatikan beberapa karakteristik, yaitu:

  1. Akar pohon harus cukup kuat untuk menahan vibrasi yang diakibatkan oleh kendaraan yang lewat dan jenis pohon yang digunakan sebaiknya tidak mempunyai akar yang menembus aspal dan beton sehingga kerusakan utilitas dapat terhindari.

  2. Batang dan cabang, cukup elastis dan kuat untuk mencegah roboh dan rusaknya pohon akibat tiupan angin yang kencang.

  3. Naungan yang sangat berhubungan dengan penetrasi radiasi matahari sehingga temperatur udara di sekitar jalur pejalan kaki menurun.

  Untuk pemilihan jenis pohon menurut Arnold (1980), tinggi dan diameter tajuk merupakan hal paling penting diperhatikan. Pada beberapa tempat ketinggian cabang pohon yang nyaman berjalan di bawahnya berkisar 2,4–4,5 meter. Pergerakan kendaraan membutuhkan kejelasan pandangan sehingga diperlukan pohon peneduh jalan dengan ketinggian cabang minimum 4,5 meter. Pohon berukuran kecil (5,5–10,5 meter) dapat digunakan sebagai tirai (screening), dan seringkali digunakan sebagai penambah tekstur dan warna pada suatu kawasan.

  2.5.3 Rambu-rambu lalu lintas Sesuai Keputusan Menteri Perhubungan No. 63 tahun 1993 menjelaskan bahwa penempatan rambu-rambu lalu lintas pada sisi jalan memiliki ketinggian minimum 1,75 meter dan maksimum 2,65 meter, sedangkan pada kawasan pedestrian minimum 2 meter dan maksimum 2,65 meter.

  2.5.4 Lampu jalan Penerangan jalan bertujuan untuk mengakomodir pergerakan pejalan kaki dan kendaraan agar menjadi lebih aman (Harris dan Dinnes, 1988). Pemakai jalan dapat dibantu orientasinya untuk mengenal zona yang berbeda dari penggunaan suatu tapak melalui hirarki efek penerangan yang tepat. Hirarki tersebut dapat diatur dari perbedaan jarak, ketinggian dan warna cahaya lampu yang dipergunakan. Penerangan harus sesuai secara fungsional dan dalam skala yang baik bagi pejalan kaki dan jalur kenderaaan.

  Agar penerangan pada jalur pejalan kaki memberikan skala manusiawi maka penerangan dapat menggunakan lampu dengan ketinggian relatif yang menerangi kanopi bawah dari pohon tepi jalan. Penerangan pada jalur pedestrian sebaiknya di desain tidak seragam sepanjang jalan dan distribusi pencahayaan harus mencapai 2 meter agar penglihatan ke arah pejalan kaki lain tetap jelas.

  2.5.5 Tingkat pelayanan fasilitas pejalan kaki Penelitian yang dilakukan oleh Gallin (2001), mengenai pelayanan fasilitas pejalan kaki dimaksudkan untuk mengembangkan pedoman dalam memperkirakan level atau tingkatan pelayanan fasilitas pejalan kaki. Tingkat pelayanan fasilitas pejalan kaki secara menyeluruh. Ukuran ini berhubungan langsung dengan faktor-faktor yang mempengaruhi mobilitas, kenyamanan, dan keamanan, yang mencerminkan tingkat persepsi pengguna mengenai fasilitas pejalan kaki yang bersahabat.

  Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pelayanan fasilitas pejalan kaki terdiri dari faktor perancangan, faktor lokasi, dan faktor pengguna fasilitas pejalan kaki.

  a.

  Faktor Perancangan (karakteristik fisik).

1. Lebar Trotoar, ukuran lebar trotoar dalam meter yang dapat dilalui pejalan kaki.

  2. Kualitas permukaan trotoar, gambaran mengenai kualitas permukaan jalur pedestrian. Dikatakan memiliki kualitas yang baik berarti memiliki kontinuitas, halus tetapi tidak licin, tidak rusak atau hancur.

  3. Hambatan.

  4. Penyeberangan.

  5. Fasilitas pendukung, keberadaan fasilitas pejalan kaki membantu penggunanya misalnya rambu dan marka, penggunaan warna kontras pada kerb, pola-pola pada permukaan trotoar, dan sebagainya.

  b.

  Faktor Lokasi.

  1. Konektivitas menyangkut tingkat kegunaan trotoar sebagai penghubung langsung titik asal dan tujuan pejalan kaki.

  2. Lingkungan jalur pejalan kaki, tingkat kualitas lingkungan pejalan kaki ditentukan oleh keadaan disekelilingnya. Tingkat kenyamanan lingkungan di sekeliling berhubungan dengan jarak trotoar dengan jalan.

  3. Kemungkinan konflik dengan kendaraan bermotor.

  c.

  Faktor Pengguna.

  1. Volume pejalan kaki, perhitungan jumlah pejalan kaki yang menggunakan trotoar dalam rata-rata harian.

  2. Karakteristik pengguna.

  3. Keamanan individual. Sehubungan dengan definisi tingkat pelayanan fasilitas pejalan kaki sebelumnya, tingkat pelayanan fasilitas pejalan kaki dibagi atas beberapa level berdasarkan pemenuhan kebutuhan penggunanya dan pada hakikinya berhubungan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pelayanan fasilitas pejalan kaki tersebut. Level-level tersebut antara lain level A, merupakan sebuah lingkungan pejalan kaki yang ideal dan jumlah faktor negatif yang mempengaruhi tingkat pelayanan sangat sedikit.

  Level B, merupakan standar lingkungan pejalan kaki yang masih dapat diterima dan terdapat faktor-faktor negatif yang mempengaruhi tingkat pelayanan dalam jumlah kecil.

  Level C, merupakan kondisi dasar lingkungan pejalan kaki dengan faktor-faktor negatif yang mempengaruhi tingkat pelayanan dalam jumlah yang besar. Level D, merupakan kondisi lingkungan pejalan kaki yang buruk dan terdapat faktor-faktor negatif yang mempengaruhi tingkat pelayanan dalam skala yang luas, masalah keamanan perlu menjadi perhatian pada level ini. Level E, merupakan kondisi lingkungan pejalan kaki yang tidak sesuai atau tidak mampu memenuhi kebutuhan pejalan kaki.

  Pedoman mengenai tingkatan pelayanan trotoar yang merupakan salah satu fasilitas pejalan kaki yang ditetapkan oleh Dirjen Bina Marga berhubungan dengan standar perhitungan volume pejalan kaki per meter per menit dan ruang gerak pejalan kaki per m². Tingkatan pelayanan trotoar menurut Dirjen Bina Marga terdiri dari enam level yaitu level A sampai dengan level E dengan masing-masing karakteristik tertera pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Tingkatan Pelayanan Trotoar

2 Tingkatan Pelayanan Modul(m /orang) Volume(Orang/meter/menit)

  A ≥ 3,25 ≤ 23

  B 2,30 - 3,25 23 - 33 C 1,40 - 2,30 33 - 50 D 0,90 – 140 50 - 66 E 0,40 - 0,90 66 - 82

  Sumber: Direktorat Jenderal Bina Marga No. 007/T/BNKT/1990 (1990)

  Pengatur aliran air khususnya dari curah hujan yang terdapat di sepanjang sisi jalan pada beberapa kawasan perkotaan menggunakan parit tertutup. Jalur pejalan kaki biasanya diletakkan di belakang parit sebagai kawasan buffer antara kendaraan bermotor dan pedestrian.

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Informasi yang Menyesatkan dalam Perdagangan Efek Tanpa Warkat Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

0 0 19

Penilaian Kinerja RSUD Dr. Pirngadi Medan dengan Menggunakan Pendekatan Balanced Scorecard

0 0 37

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu - Penilaian Kinerja RSUD Dr. Pirngadi Medan dengan Menggunakan Pendekatan Balanced Scorecard

0 0 38

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Penilaian Kinerja RSUD Dr. Pirngadi Medan dengan Menggunakan Pendekatan Balanced Scorecard

0 0 10

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Amputasi - Mekanisme Koping Klien Pasca Amputasi Tungkai Bawah di Kota Medan

0 0 34

Mekanisme Koping Klien Pasca Amputasi Tungkai Bawah di Kota Medan

0 0 18

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Penilaian MPV dan Agregasi Trombosit pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2

0 0 32

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Onikomikosis - Uji Diagnostik Polymerase Chain Reaction –Restriction Fragment Length Polymorphism Dalam Menegakkan Diagnosis Onikomikosis.

0 0 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Bakteri - Perbandingan Aktivitas Antibakteri Antara Ekstrak Etanol dari Serbuk dan Serbuk Nano Daun Sirih Merah (Piper crocatum Ruiz & Pav.) Terhadap Strain Bakteri Methicillin Resistant Staphylococcus aureus

1 1 16

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebakaran Hutan - Pemetaan Daerah Rawan Kebakaran Hutan Di Propinsi Sumatera Utara Berdasarkan Data Satelit TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission)

0 1 11